Anda di halaman 1dari 9

TRADISI PESANTREN DALAM NOVEL

Acep Zamzam Noor


(sastrawan)

Pesantren-pesantren tersebar merata di Jawa Barat, hampir di setiap kampung


selalu ada, paling tidak, sebuah pesantren. Bahkan di wilayah tertentu seperti Priangan
Timur, sejumlah pesantren hidup berdampingan di kampung yang sama. Pesantren terus
bertumbuhan dari waktu ke waktu, bahkan nyaris tak pernah terdengar ada pesantren
yang bubar atau bangkrut. Sebuah pesantren melahirkan para kiai yang kemudian
mendirikan pesantren, dan alumni dari pesantren tersebut menjadi kiai dan mendirikan
pesantren lagi, begitu seterusnya. Hal ini sudah berlangsung beradab-abad. Pesantren
kemudian menjadi budaya tersendiri, menjadi sub-kultur, yang tentu saja memperkaya
kebudayaan Sunda (dan Cirebon) yang sudah lama ada.
Sebagai sebuah sub-kultur posisi pesantren memang unik. Pesantren mempunyai
sistem kehidupannya tersendiri yang dijalankan secara ketat baik oleh para santri
maupun masyarakat sekitar. Pesantren juga mempunyai hirarki khusus yang berbeda
dan berada di luar hirarki formal kekuasaan. Hal ini nampak dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik dan budaya meski tentu saja tidak berarti bahwa pesantren berdiri
terpisah atau lepas sama sekali dari ikatan-ikatan umum dengan masyarakat luas.
Bahkan dalam banyak hal pesantren tetap mempunyai banyak pertautan dengan
kehidupan masyarakat luas di sekitarnya itu, hingga antara pesantren dan masyarakat
sekitar mempunyai hubungan timbal balik.
Dalam perjalanannya pesantren mengalami perubahan dari waktu ke waktu,
seiring perubahan yang terjadi di luar kehidupan tradisinya. Faktor sosial, ekonomi,
politik, budaya dan juga teknologi menjadi penentu perubahan itu. Faktor-faktor inilah
yang kemudian merubah bentuk pesantren yang tadinya tradisional menjadi bermacam-
macam. Ada yang masih tetap tradisional dengan salaf-nya, ada yang semi modern
dengan menggabungkan salaf dan sekolah umum, dan ada juga yang modern penuh.
Namun dari bentuk yang bemacam-macam itu, kiailah yang masih tetap memegang
otoritas tertinggi. Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk
sastra di dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi sang kiai sebagai
pimpinan.
Di masa lalu jenis karya sastra yang banyak ditulis para santri atau kiai ini
kebanyakan berupa nadoman atau syi’iran, sejenis salawat atau puji-pujian yang
merupakan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam bahasa
Arab atau daerah. Nadoman atau syi’iran ini kadang juga berisi petuah atau nasihat. Di
beberapa pesantren ada juga yang menulis naskah drama berdasarkan sejarah Islam atau
riwayat para nabi.
Komunitas santri ini mempunyai sistem nilai yang berbeda dengan sistem nilai
manapun. Sistem nilai yang berkembang mempunyai watak tersendiri, yang sering
diistilahkan Abdurrahman Wahid sebagai watak sub-kultur. Kendati demikian, jika
ditelaah lebih mendalam, ternyata pesantren tidak hanya berwatak sub-kultur saja. Nilai
pokok yang berkembang di dalam komunitas itu adalah bahwa seluruh kehidupan ini
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
dipandang sebagai ibadah. Sejak memasuki kehidupan komunitas ini, seorang santri
telah diperkenalkan dengan suatu kehidupan tersendiri, kehidupan yang bersifat
“keibadahan”. Nilai demikian ini mempunyai makna dinamis, tidak berhenti pada
penyerahan diri kepada Allah, asketisme atau lillahi ta’ala dalam artian tidak
menghiraukan kehidupan. Sebaliknya kehidupan keduniawian disubordinasikan dalam
rangkuman nilai-nilai ilahi yang telah mereka peluk sebagai sumber nilai tertinggi.
Kehidupan yang taat terhadap Allah tidak mesti menghilangkan aktivitas formal
yang secara langsung memberikan pengaruh-pengaruh materil, melainkan ketaatan
dalam artian mengorientasikan seluruh aktivitas keduniawian ini ke dalam suatu tatanan
nilai ilahiyah. Dengan demikian, ketaatan seorang santri terhadap kiai, misalnya, akan
dipandang sebagai ibadah. Dari sudut perlakuan terhadap ibadah inilah, kegiatan
mencari ilmu selama bertahun-tahun dan tinggal bersama dalam sebuah komunitas
dapat dimengerti. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan agama yang begitu kuat
merupakan landasan untuk memahami kehidupan yang serba ibadah ini.
Selain nilai yang serba ibadah dan cinta ilmu masih ada lagi suatu nilai yang banyak
mempengaruhi kehidupan seorang santri, yaitu keikhlasan. Melaksanakan sepenuhnya
apa yang diperintahkan kiai, tanpa rasa sungkan dan berat, merupakan bukti utama
keikhlasan. Begitu pula pengabdian seorang kiai untuk mengembangkan lembaga
pendidikan yang dikelolanya tanpa memperhatikan kepentingan pribadi, merupakan
sikap ikhlas timbal balik antara seorang santri dan kiainya. Rangkuman nilai-nilai inilah
yang kemudian membentuk suatu watak dunia pesantren, di mana mereka melihat
sesuatu tidak secara per-materi, tetapi materi itu di subordinasikan ke dalam suatu nilai-
nilai ilahiyah, yang kemudian secara tekun dilaksanakan dengan kerelaan dan tanpa rasa
berat.
Dari gambaran selintas di atas tampaklah, bahwa komunitas santri mempunyai
nilai dan watak tersendiri, yang secara esensial lahir dari pemahaman mereka terhadap
doktrin Islam. Berkat nilai dan watak itulah mereka mampu memberikan suatu dimensi
kehidupan yang lain, suatu dimensi kehidupan yang taat terhadap kekuatan-kekuatan
transendental, suatu kehidupan serba ibadah. Dengan demikian seluruh bentuk
kehidupan yang mereka jalani, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan
sebagainya, merupakan refleksi pemahaman dirinya terhadap ajaran Islam. Kendati pun
dalam perkembangannya kemudian, khususnya sekarang ini, tidak semua ciri-ciri
tersebut mampu dipertahankan terus, terutama dalam sikap dan cara dalam menghadapi
perkembangan zaman.
Dalam hubungannya dengan kesusastraan, nilai-nilai dan watak yang khas dari
dunia pesantren bukanlah hal yang asing dalam sastra Indonesia mutakhir. Semenjak
cerita-cerita romantik Djamil Suherman yang menggambarkan secara langsung
kehidupan pesantren pada tahun 1960-an, karya-karya Muhammad Fudoli yang juga
berlatar pesantren dan pedesaan, karya-karya Kuntowijoyo yang sarat dengan nilai-nilai
transendental, sampai karya-karya mutakhir dari Ahmad Tohari dan A Mustofa Bisri yang
banyak mengungkapkan dan membela orang-orang lemah atau yang dilemahkan secara
struktural, rasanya tak terlalu sulit untuk menemukan benang merah yang
menghubungkan karya-karya tersebut dengan nilai-nilai dan watak kaum santri.

***

PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA


LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
Di Jawa Barat sudah sejak lama sastra dan pesantren bertautan secara harmonis,
terutama tampak dalam cerpen maupun novel berbahasa Sunda. Pesantren selalu
menjadi latar cerita, tokoh-tokoh yang ditampilkan oleh Ki Umbara, Ahmad Bakri, Wahyu
Wibisana, Rachmatulloh Ading Afandi, Enas Mabarti sampai Usep Romli HM, misalnya,
hampir selalu berkaitan dengan kehidupan pesantren, khususnya pesantren tradisional.
Di sisi lain, sejak dua dekade lalu dalam kesustraan Indonesia mutakhir banyak
bermunculan penulis, terutama penyair, yang berlatar belakang pesantren. Ahmad
Syubbanuddin Alwy, Ahmad Faisal Imron, Sarabunis Mubarok, Matdon, Zulkifli
Sangyongan hingga Rendy Jean Satria, untuk menyebut bererapa nama, adalah penyair-
penyair yang pernah nyantri di pesantren. Memang tidak semuanya khusyuk dan
konsisten mengangkat tema pesantren ke dalam puisi-puisi mereka, malah pada
umumnya cenderung menggarap beragam tema, termasuk masalah cinta, sosial dan
politik. Meskipun begitu, jejak kesantrian mereka tetap terasa dan terdeteksi dari diksi-
diksinya.
Pada tahun 2007 di Kuningan terbit sebuah novel yang berjudul Tanah Biru karya
Pandu A Hamzah. Naskah novel ini terpilih sebagai salah satu pemenang dalam
sayembara penulisan novel DKJ pada tahun sebelumnya. Hampir setengah bagian dari
novel setebal 259 halaman ini menggambarkan dunia pesantren. Tokoh utamanya
bernama Amyah yang diceritakan sejak mulai balita hingga dewasa. Amyah anak seorang
kiai kampung yang pesantrennya habis dibakar sekolompok orang karena diduga
penganut aliran tarekat yang sesat. Ayahnya sendiri mati terbunuh. Novel ini diilhami
sebuah kisah nyata yang menghebohkan di Majalengka pada awal 1980-an. Deskripsi
tentang tradisi pesantren yang berbau mistik begitu tergambar jelas dan memikat, tentu
karena penulisnya mengenal dengan baik seluk beluk kehidupan pesantren. Tentang
novel ini penyair Ahmad Subbanuddin Alwy memberi komentar di sampul belakang
sebagai berikut: “Novel ini dengan memikat menguraikan sebuah instrument estetika
dari mulai tema, pencitraan, peristiwa, hingga konflik yang dibangun dan dihidupkan
dengan piawai. Kesan yang kemudian terbaca dari novel ini: penulisnya sangat paham
bagaimana mendeskripsikan teks sebagai gagasan teoritis maupun ide-ide yang terkait
dengan kenyataan di masyarakatnya”.
Beberapa tahun sebelumnya, seorang santri muda asal Tasikmalaya menerbitkan
novel filsafat yang berjudul Tapak Sabda (2004) dan Semesta Sabda (2005), nama
penulisnya Fauz Noor, yang waktu menyelesaikan kedua novel tersebut masih berusia 22
tahun. Jika novel Tanah Biru diterbitkan secara indie di Kuningan, maka kedua novel
karya Fauz Noor ini diterbitkan oleh penerbit mayor di Yogyakarta, yakni LKiS. Novel
yang menurut pengarangnya terilhami novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder ini
termasuk best seller, dengan mengalami beberapa kali cetak ulang. Tokoh yang
diceritakan Fauz adalah seorang santri muda yang mengajak pembaca merenungkan
eksistensi manusia dan alam semesta dengan caranya yang khas, cara seorang santri yang
bersahaja namun punya pikiran agak nakal. Setelah menulis dua novel berat namun
menyenangkan tersebut, Fauz banyak menulis esai tentang kajian filsafat Islam yang
kemudian diterbitkan LKis dengan judul Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju
Kepasrahan (2009).
Tahun 2013 kembali Fauz Noor menerbitkan novel lagi, judulnya Patung Cinta.
Seperti halnya kedua novel terdahulu, yang ditulis Fauz masih tentang dunia pesantren.
Kali ini tokoh utamanya seorang santri perempuan bernama Fika, tentu saja sebagai
santri ia berjilbab meskipun sikap dan cara berpikirnya cenderung berani dan nakal.
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
Banyak pernyataan dalam dialog tokoh utama dengan teman-teman maupun
keluarganya yang membuat pembaca tercengang. Fika yang berpikiran maju, kritis dan
terkadang absurd tampaknya tengah merangkai relasi antara kesadaran gender,
pesantren dan modernitas. Ia seolah menjadi tipikal santri perempuan masa kini.
Meskipun dicetak secara indie oleh sebuah penerbit di Bandung, novel ini juga termasuk
best seller. Dipasarkan lewat jaringan komunitas santri dan pesantren di berbagai daerah
novel ini mengalami beberapa kali cetak ulang. Sukses pemasaran ini kemudian
mengilhami Fauz Noor untuk mempunyai penerbit indie sendiri, ia kemudian mendirikan
Sabdabooks.
Penulis novel dari kalangan santri, khususnya dari Tasikmalaya, tidak berhenti
hanya pada nama Fauz Noor saja. Beberapa nama lain terus berproses hingga akhirnya
melahirkan buku. Salah satu yang menarik dan kelihatannya akan serius adalah Fuad
Hisyamudin. Santri kelahiran Ciawi yang merupakan cicit dari Mbah Jalalain, seorang kiai
legendaris dari Tasikmalaya bagian utara ini, pernah bekerja sebagai wartawan Radar
Tasikmalaya dan kini turut mengelola sebuah pesantren yatim dan dhuafa di Cisarua,
Bandung.
Novel setebal 425 halaman yang berjudul Pancar (2020) ini tokoh utamanya
adalah seorang santri dengan gelora cinta platonik berusaha keras mewujudkan cita-cita
hidupnya dengan melewati berbagai rintangan dan kecamuk perasaan. Novel yang
bergenre pop ini mungkin sejenis novel motivasi yang berlatar pesantren. Sebagai novel
pertama tentu saja masih ada kekurangan, misalnya dalam alur cerita cenderung
berlambat-lambat. Begitu juga soal konsistensi dalam model penulisan. Namun dalam
penokohan dan deskripsi tentang latar, baik saat masih di Ciawi maupun setelah di
Jepang, terasa mengalir lancar dan enak dibaca.
Setelah Fuad Hisyamuddin masih ada nama lain yang tengah berproses dengan
penuh semangat, salah satunya Dede Syifa Izzatul Aulia, santri dari Pesantren Cipasung,
siswa MAN 2 Tasikmalaya. Dede sudah menerbitkan 6 novel remaja, ia banyak bercerita
tentang santri masa kini dan tentu saja bergaya pop anak muda. Di antara novel-novelnya
tersebut ada yang diterbitkan oleh kelompok Mizan.

***

Dua bagian tulisan di atas hanyalah sebagai pembuka untuk menunjukkan bahwa
pesantren sebagai sub-kultur di Jawa Barat sangat potensial dan berkarakter kuat untuk
dijadikan bahan atau sekedar latar sebuah karya sastra, juga bagaimana novel-novel
yang berlatar pesantren lahir dari para penulis Jawa Barat yang mungkin selama ini
kurang dikenal secara luas. Sedang pada bagian berikutnya dari tulisan ini akan
membahas secara khusus novel Syahadah Musthafa karya Fauz Noor.
Selama masa pandemi Fauz Noor menulis tiga buah novel sejarah yang
menceritakan kia-kiai legendaris Tasikmalaya, yakni Syahadah Musthafa (2020), Cahaya
Muhsin (2020) dan Pembuka Hidayah (2021). Syahadah Musthafa dan Cahaya Muhsin
ceritanya berkaitan satu sama lain karena kedua tokoh tersebut masih kerabat dan
sedikit banyak terlibat dalam peristiwa yang sama. Novel pertama mengisahkan
perjuangan pahlawan nasional KH. Zainal Musthafa dari Sukamanah dan novel kedua
mengisahkan perjalanan hidup KH. Wahab Muhsin dari Sukahideng dalam
mengembangkan pesantren. Kedua pesantren terkenal ini lokasinya bertetangga dekat,
yang jaraknya kurang dari 1 kilometer. Meski diniatkan sebagai biografi, Fauz menulis
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
kedua novel ini dengan semangat sastra yang tinggi. Ia menciptakan tokoh-tokoh fiktif
dengan alur cerita tersendiri, namun tokoh-tokoh fiktif tersebut bergerak di atas fakta-
fakta sejarah. Sementara untuk novel Pembuka Hidayah (2021), ia menampilkan sosok
KH. Choer Afandi dari Manonjaya secara murni biografi, semua tokohnya ada dan
ceritanya nyata. Seperti kita diketahui Kiai Choer Afandi adalah mantan tokoh DI/TII
yang sukses membangun dan mengembangkan pesantren dengan ratusan cabang di
mana-mana. Baginya mengembangkan pesantren adalah implementasi dari semangat
jihad dan menghidupkan syariat Islam yang menjadi tekadnya.
KH. Zainal Musthafa adalah legenda Tasikmalaya. Namanya begitu terkenal
sebagai ulama yang dihormati. Sebagai pahlawan nasional yang dikagumi. Nama beliau
diabadikan menjadi nama jalan protokol di pusat kota. Meskipun begitu tak banyak orang
yang tahu riwayat hidupnya secara utuh, bahkan potret beliau pun orang tak
mengenalnya. Yang diketahui masyarakat hanyalah cerita dari mulut ke mulut tentang
keteguhannya dalam bersikap, kegagahanya dalam menentang penjajah serta
kesaktiannya yang tak mempan oleh peluru. Belum ada buku yang mengisahkan
biografinya secara lengkap, kecuali sebuah catatan kecil yang ditulis oleh Syarif Hidayat,
seorang kolonel yang pada masa mudanya pernah nyantri di Sukamanah. Buku tersebut
terbit sekitar tahun 1970-an dan dicetak terbatas.
Ketika novel Syahadah Musthafa terbit banyak orang mengira kandungannya
adalah cerita tentang kegagahan dan keberanian sang kiai. Tentang heroisme menentang
penjajah Jepang. Orang yang berekspektasi begitu tentu saja akan sedikit kecele. Novel
ini adalah karya sastra yang bercerita tentang Falah, seorang santri miskin dari Garut.
Falah adalah tokoh fiktif yang dihadirkan penulis dalam novel setebal 230 halaman ini.
Sebagai novel sastra penulis bukan hanya mendedahkan fakta-fakta sejarah yang ada,
tapi juga sebuah refleksi yang membuat pembaca bisa merenung lebih jauh. Meski novel
ini banyak memuat fakta-fakta sejarah, namun semuanya dirangkai dalam alur cerita
lewat tokoh-tokoh fiktif yang terkadang simbolis dan metaforis.
Fakta-fakta sejarah tersebut bukan hanya yang berkaitan langsung dengan KH.
Zainal Musthafa dan pemberontakan Sukamanah, namun juga gambaran umum tentang
pesantren-pesantren di Jawa Barat. Bagaimana tradisi pesantren Sunda yang cikal
bakalnya berasal dari Jawa, melalui perjalanan waktu kemudian menemukan
identitasnya sendiri, tradisinya sendiri. Tradisi yang merupakan pertautan dengan
budaya di mana pesantren itu berdiri, yakni budaya Sunda. Dalam sistem pengajaran di
pesantren ada istilah ngalogat, yang artinya menulis terjemahan kitab kuning di atas
lembar kitab itu sendiri. Seorang kiai membacakan terjemahan kalimat per kalimat,
kemudian santri menuliskan terjemahan tersebut dengan disertai kode dan simbol untuk
mempersingkat tulisan. Awalnya tradisi ngalogat ini memakai bahasa Jawa, namun kiai
dari pesantren Cilenga menggantinya dengan bahasa Sunda. KH. Zainal Musthafa
bersama KH. Ruhiat dari Cipasung yang merupakan alumni dari pesantren Cilenga secara
bersama-sama turut melakukan pembaruan dalam hal ngalogat di pesantrennya masing-
masing. Dimulai dari ngalogat dengan bahasa Sunda, pengajian kitab kuning memakai
bahasa Sunda, khotbah jum’at juga memakai bahasa Sunda, maka para mubalig jebolan
pesantren pun dalam setiap ceramahnya selalu memakai bahasa Sunda. Dengan
demikian, di pesantren seorang santri bukan hanya belajar agama, secara tidak langsung
mereka juga mendalami bahasa. Santri-santri dari Sumatera, Kalimantan dan NTT yang
belajar di Cipasung, misalnya, mereka juga dipaksa harus mengusai bahasa Sunda.

PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA


LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
Sampai hari ini peran pesantren dalam pelestarian bahasa daerah sangat luar biasa.
Selama masih ada pesantren di Jawa Barat, rasanya bahasa Sunda tidak akan punah.
Dalam novel ini tergambar juga bagaimana hubungan yang terjalin baik antar
pesantren di Jawa Barat. Pesantren-pesanteren di Sukabumi, Cianjur, Garut dan
Tasikmalaya mempunyai hubungan batin yang erat. Kiai-kiai dari pesantren tersebut
saling hormat dan menghargai, tidak ada yang merasa paling hebat. Karakter masing-
masing pesantren itu tidak sama, setiap pesantren mempunyai spesialisai serta
kecenderungannya masing-masing. Pesantren-pesantren di Garut umumnya
memperkuat ilmu alat, yakni ilmu tata bahasa, yang merupakan alat untuk menguasai
kitab-kitab kuning. Pesantren-pesantren di Tasikmlaya umumnya lebih menekankan
pada ilmu fikih dan tauhid, sementara pesantren-pesantren di Cianjur dan Sukabumi
cenderung memperdalam ilmu hikmah atau tasawuf. Seorang santri yang sudah
menyelesaikan tahap pengajian tertentu akan disarankan oleh kiainya untuk
melanjutkan sorogan ke pesantren lain, dan begitu seterusnya. Secara tidak langsung
terjadilah pertukaran santri antara pesantren. Bahkan banyak santri yang belum mau
memutuskan untuk bermukim (menetap) sebelum sorogan ke pesantren tertentu. Maka
muncul istilah santri kelana, santri yang berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain,
kadang hanya sekadar mengharap berkah dari kiai yang ditemuinya. Dengan tradisi ini
hubungan antar pesantren terjalin baik karena juga diikat oleh para alumni yang sama,
yang antara lain santri-santri kelana itu.
Falah adalah seorang santri kelana dari Garut. Sejak kecil belajar ilmu alat di
pesantren Sadang, Wanaraja. Oleh kiainya ia disarankan untuk melanjutkan pengajian ke
Sukamanah, selain itu ia juga diberi amanat oleh kakeknya untuk menyampaikan
“sesuatu” ke kiai Zainal Musthafa. Falah berjalan kaki dari Garut ke Sukamanah yang
berjarak puluhan kilo meter. Sepanjang perjalan ia kerap kali mampir di surau untuk
sembahyang atau beristirahat, dalam perjalanan ini tergambar bagaimana alam Priangan
Timur yang indah disertai tradisi serta kebersahajaan orang-orang kampung. Ketika
beristirahat di sebuah masjid di kota Singaparna, ia bertemu dengan seorang kiai yang
kemudian diketahui bernama KH. Muhammad Fakhruddin. Kiai Fakhru ini tidak
mempunyai pesantren namun ia mengajar santri-santrinya sehabis salat subuh di masjid.
Kiai Fakhru adalah seorang kiai intelektual, ia rajin menuliskan kajian-kajiannya tentang
agama. Salah satu kitab yang ditulisnya berjudul Futuhat sempat menghebohkan
kalangan pesantren, di mana dengan tegas ia menyatakan bahwa jilbab tidak wajib bagi
orang Sunda dan tradisi atau kebudayaan adalah anugrah yang harus disyukuri. Pada
bagian ini tampak penulis ingin menggambarkan bahwa antar kiai di Tatar Sunda ada
relasi yang kuat serta dialog yang terjalin baik, terbukti kitab Futuhat karya Kiai Fakhru
kemudian direspon oleh Kiai Sanusi dari Cianjur dengan kitabnya yang berjudul Al-
Kalimatul Mujhikal Liftiraayaatil-Futuhat. Dan pertemuan tidak sengaja dengan Kiai
Fakhru di beranda masjid semakin mengobarkan tekad Falah untuk segera pergi ke
Sukamanah.

***

Menciptakan tokoh-tokoh fiktif dalam novel sejarah tampaknya merupakan


strategi yang dilakukan para penulis untuk menghidupkan cerita, termasuk dilakukan
oleh Pramudya Ananta Toer dengan Bumi Manusia-nya. Demikian juga Fauz Noor, yang
dalam novel Syahadah Musthafa ini melakukan strategi yang sama. Fauz mengakui bahwa
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
ia terinspirasi oleh Tariq Ali yang menciptakan tokoh-tokoh imajinatif ketika menuliskan
novel-novel sejarahnya. Dalam salah satu novelnya tentang perjuangan Sultan
Salahuddin Al-Ayubi yang berjudul Salladin Books, Tariq Ali menulis: “Setiap
rekonstruksi fiksional atas kehidupan seorang tokoh historis mengandung sebuah
persoalan bagi penulisnya. Haruskah bukti sejarah aktual dibuang demi sebuah cerita?
Saya kira tidak. Kenyataannya, semakin seseorang menjelajahi kehidupan batin yang
dibayangkan dari tokoh-tokohnya, kian penting ia untuk setia pada fakta-fakta dan
peristiwa historis”. Tampaknya pernyataan inilah yang kemudian menjadi pegangan
Fauz dalam menulis serial novel sejarahnya.
Lewat sosok Falah misalnya, penulis menggambarkan sisi lain dari kehidupan Kiai
Zainal Musthafa secara lebih manusiawi. Kiai yang dikenal dengan keteguhan, kegagahan,
keberanian dan kesaktiannya tersebut ternyata juga seorang yang bersahaja, seorang
yang lembut lembut, seorang penyayang yang tak segan menggendong sendiri anaknya
ke mesjid. Pakaiannya pun kadang hanya memakai kaos singlet dan sarung kalau sedang
di rumah. Falah menjadi saksi bahwa keteguhan sikapnya untuk melawan penjajah juga
sangat terukur dan penuh kehati-hatian. Ketika situasi sedang genting dalam tekanan
tentara Jepang, tidak semua santri dikerahkan untuk ikut berperang. Beberapa santri
termasuk Adang Wahab (KH. Wahab Mukhsin) justru disuruh pulang dan diberi tugas
khusus yang tak kalah mulianya, yakni meneruskan pesantren, meneruskan pengajian.
“Tarekat Sukamanah adalah ngawuruk santri,” kata sang kiai. Dan terbukti santri-santri
yang disuruh pulang dan tidak ikut berperang tersebut di kemudian hari memimpin
pesantren atau menjadi kiai terkemuka di daerahnya masing-masing.
Setibanya di Sukamanah Falah memang tidak langsung menemui Kiai Musthafa.
Perasaan sungkan dan tidak percaya diri menyelimuti hatinya. Falah kemudian
berkenalan dengan Syakur, santri senior asal Banten. Ia menumpang tidur di kamarnya
selama beberapa hari, dan selama itu pula ia menyaksikan dari sebuah jarak bagaimana
kehidupan sehari-hari sang kiai, juga bagaimana sikapnya terhadap para santri. Bersama
Syakur ia menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi, baik di sekitar Sukamanah
maupun Singaparna. Banyak kekejaman yang dilakukan tentara Jepang terhadap
masyarakat. Ada perempuan yang dibuang di pinggir hutan, ada truk tentara yang mogok
dan berhasil dilarikan santri, ada tukang andong yang terbunuh secara misterius dan lain
sebagainya. Semua berlangsung di hadapan Falah dan Syakur, bahkan mereka bukan
hanya menyaksikan tapi kadang juga terlibat dalam kejadian-kejadian tersebut.
Di antara berbagai peristiwa yang terjadi muncul tokoh fiktif lain, seorang
perempuan. Namanya Rahmi, ia seorang jagun lanfu, seorang pelacur yang tugasnya
melayani napsu birahi tentara-tentara Jepang di Bandung. Rahmi bukan perempuan lugu,
ia seorang yang cerdas dan paham perkembangan politik. Ia pun ikut berjuang melawan
penjajah Jepang dengan caranya sendiri, cara seorang jagun lanfu. Sebelum menjadi
pelacur ia relawan Nerkai (Palang Merah Indonesia) dan kenal dekat dengan tokoh-tokoh
pergerakan, termasuk tokoh-tokoh di Tasikmalaya. Dari bagian cerita tentang Rahmi
kemudian terungkap bahwa tokoh-tokoh pergerakan yang selama ini namanya dikenal
sebagai nama jalan di Tasikmalaya ternyata kebanyakan tokoh-tokoh NU, dan mereka
punya hubungan erat dengan Kiai Zainal Musthafa. PC NU Tasikmalaya waktu itu diketuai
oleh Raden Sutisna Sanjaya, sekretasisnya dr. Sukardjo, rois syuriahnya Kiai Ruhiat
Cipasung, sedang Kiai Zainal Musthafa Sukamanah menjabat wakil rois.
Lewat tokoh Rahmi juga tergambakan bagaimana posisi Tasikmalaya sebagai kota
yang penting dalam pergerakan. Banyak sekali organisasi baik yang bersifat kesukuan,
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
nasionalis maupun keagamaan yang semuanya berjuang untuk mencapai kemerdekaan.
Kehidupan intelektual pun berkembang seperti tampak pada banyaknya penerbitan, baik
buku, majalah maupun koran. Setiap organisasi rata-rata mempunyai koran maupun
majalahnya sendiri. Syakur, seorang santri yang sehari-hari menjadi buruh tani, paham
perkembangan politik karena membaca media-media tersebut. PCNU Tasikmalaya juga
mempunya majalah Al-Mawaidz, yang juga memuat informasi-informasi perkembangan
politik. Syakur tahu bagaimana posisi Jepang dalam perang Pasifik, ia juga tahu bahwa di
sejumlah daerah terjadi pemberontakan terhadap Jepang.
Perlawanan Kiai Musthafa terhadap penjajah Jepang tidak dilakukan diam-diam.
Lewat pengajian maupun di khotbah-khotbah narasi perlawanan terus dikumandangan.
Begitu juga dalam pertemuan dengan ulama-ulama Tasikmalaya, Kiai Musthafa kukuh
dengan pendiriannya. Banyak rekan-rekannya baik dari kalangan pesantren maupun
organisasi pergerakan yang kurang setuju dengan perlawanan prontal Kiai Musthafa.
Ketidaksetujuan ini bukan karena percaya dengan penjajah namun lebih pada efeknya,
pada maslahat dan mudharatnya. Kemarahan Kiai Musthafa pada Jepang terutama
karena dalam setiap upacara selalu mewajibkan untuk melakukan Seikerai, yakni
perhormatan terhadap Dewa Matahari dengan cara merundukan diri pada matahari. Dan
menurutnya ini perbuatan musyrik.
Masyarakat pun secara luas mengetahui bagaimana sikap Kiai Musthafa terhadap
penjajah Jepang. Sebenarnya mereka banyak yang sepakat namun merasa tidak berdaya,
apalagi setiap hari menerima tekanan dari perangkat desa dan polisi dalam hal setoran
hasil bumi. Di sekitar Sukamanah cukup banyak pesantren-pesantren kecil yang
sebenarnya satu barisan dalam pemahaman keagamaan. Namun ketika peristiwa
pemberontakkan terjadi hanya pesantren Rancabolang pimpinan Kiai Makmur yang
mengirimkan santrinya untuk berperang. Meski setelah pemberontakkan berlangsung,
yang ditangkap tentara Jepang bukan hanya santri tapi juga masyarakat. Masyarakat
terus diawasi dan curigai, pesantren-pesantren terus dipantau setiap hari karena
khawatir akan ada pemberontakan lanjutan. Kiai-kiai pun ditangkap dan interogasi.

***

Dalam novel Syahadah Musthafa yang terdiri 9 bab, sebenarnya yang berkaitan
dengan pemberontakan hanya 2 bab saja. Pertama yang menceritakan pemberontakan
itu sendiri, dan kedua ketika para santri ditangkap dan dipenjara. Selebihnya, yang
seperti telah disinggung di atas, adalah cerita tentang tokoh-tokoh fiktif seperti Falah,
Syakur dan Rahmi. Falah yang belum sempat mengikuti pengajian seperti niat awalnya
pergi ke Sukamanah, terus berjalan dengan ceritanya sendiri. Syakur, yang menjadi salah
seorang komandan perang di pesantren, ditangkap tentara dan setelah beberapa bulan
meninggal di penjara. Begitu juga dengan Rahmi, yang tak lain merupakan kakak kandung
dari Syakur meskipun sudah lama terpisah, bergerak dengan cerita dan nasibnya sendiri.
Dan ending dari novel ini adalah bertemunya Falah dengan Rahmi di halaman penjara,
lalu mereka ditakdirkan menikah dan mengelola sebuah pesantren di Garut. Pesantren
tersebut dinamai Syahadah Musthafa.
Ada tiga hal yang menjadi catatan setelah membaca novel ini. Pertama, membaca
novel ini seakan melebihi ekspektasi sebelumnya. Yang mengira hanya akan disuguhi
cerita perjuangan dan heroisme peperangan yang penuh dengan adegan-adegan yang
bersifat fisik, ternyata yang didapat bukan sekadar itu. Tapi juga impresi puitis tentang
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
pengembaraan batin manusia di tengah berbagai peristiwa dahsyat yang disaksikannya.
Dalam pengembaraan tersebut terselip kisah-kisah teladan serta percikan-percikan nilai
baik dari tradisi pesantren maupun dari kebudayaan Sunda yang tampaknya bertautan
secara harmonis.
Kedua, sebagai novel sejarah apa yang ditulis Fauz Noor ini memberikan banyak
informasi tentang sejarah Tasikmalaya, terutama sejarah pergerakan dan intelektual
yang ditandai dengan lahirnya banyak organisasi serta maraknya penerbitan. Hal ini
tentu saja tidak terlepas dari pesantren-pesantren di mana para kiainya merupakan
tokoh penggerak dari organisasi-organisasi tersebut. Relasi antar kiai dan antar
pesantren kemudian mempertegas gerakan itu, yang ujungnya adalah cita-cita untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia.
Ketiga, sejarah tentang pemberontakan Sukamanah yang selama ini simpang siur
menjadi semakin jelas. Fauz Noor melakukan riset yang mendalam baik dari berbagai
literatur maupun informasi dari pihak-pihak yang masih berkaitan dengan peristiwa
tersebut. Riset yang dilakukannya tidak hanya terbatas tentang pemberontakan saja,
namun lebih jauh mengenai sejarah Tasikmalaya secara keseluruhan []

Tulisan ini disampaikan dalam Simposium Sastra Pesantren yang diselenggarakan Lesbumi
PWNU Jatim di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, 2-4 Desember 2022.

PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA


LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447

Anda mungkin juga menyukai