***
***
Dua bagian tulisan di atas hanyalah sebagai pembuka untuk menunjukkan bahwa
pesantren sebagai sub-kultur di Jawa Barat sangat potensial dan berkarakter kuat untuk
dijadikan bahan atau sekedar latar sebuah karya sastra, juga bagaimana novel-novel
yang berlatar pesantren lahir dari para penulis Jawa Barat yang mungkin selama ini
kurang dikenal secara luas. Sedang pada bagian berikutnya dari tulisan ini akan
membahas secara khusus novel Syahadah Musthafa karya Fauz Noor.
Selama masa pandemi Fauz Noor menulis tiga buah novel sejarah yang
menceritakan kia-kiai legendaris Tasikmalaya, yakni Syahadah Musthafa (2020), Cahaya
Muhsin (2020) dan Pembuka Hidayah (2021). Syahadah Musthafa dan Cahaya Muhsin
ceritanya berkaitan satu sama lain karena kedua tokoh tersebut masih kerabat dan
sedikit banyak terlibat dalam peristiwa yang sama. Novel pertama mengisahkan
perjuangan pahlawan nasional KH. Zainal Musthafa dari Sukamanah dan novel kedua
mengisahkan perjalanan hidup KH. Wahab Muhsin dari Sukahideng dalam
mengembangkan pesantren. Kedua pesantren terkenal ini lokasinya bertetangga dekat,
yang jaraknya kurang dari 1 kilometer. Meski diniatkan sebagai biografi, Fauz menulis
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
kedua novel ini dengan semangat sastra yang tinggi. Ia menciptakan tokoh-tokoh fiktif
dengan alur cerita tersendiri, namun tokoh-tokoh fiktif tersebut bergerak di atas fakta-
fakta sejarah. Sementara untuk novel Pembuka Hidayah (2021), ia menampilkan sosok
KH. Choer Afandi dari Manonjaya secara murni biografi, semua tokohnya ada dan
ceritanya nyata. Seperti kita diketahui Kiai Choer Afandi adalah mantan tokoh DI/TII
yang sukses membangun dan mengembangkan pesantren dengan ratusan cabang di
mana-mana. Baginya mengembangkan pesantren adalah implementasi dari semangat
jihad dan menghidupkan syariat Islam yang menjadi tekadnya.
KH. Zainal Musthafa adalah legenda Tasikmalaya. Namanya begitu terkenal
sebagai ulama yang dihormati. Sebagai pahlawan nasional yang dikagumi. Nama beliau
diabadikan menjadi nama jalan protokol di pusat kota. Meskipun begitu tak banyak orang
yang tahu riwayat hidupnya secara utuh, bahkan potret beliau pun orang tak
mengenalnya. Yang diketahui masyarakat hanyalah cerita dari mulut ke mulut tentang
keteguhannya dalam bersikap, kegagahanya dalam menentang penjajah serta
kesaktiannya yang tak mempan oleh peluru. Belum ada buku yang mengisahkan
biografinya secara lengkap, kecuali sebuah catatan kecil yang ditulis oleh Syarif Hidayat,
seorang kolonel yang pada masa mudanya pernah nyantri di Sukamanah. Buku tersebut
terbit sekitar tahun 1970-an dan dicetak terbatas.
Ketika novel Syahadah Musthafa terbit banyak orang mengira kandungannya
adalah cerita tentang kegagahan dan keberanian sang kiai. Tentang heroisme menentang
penjajah Jepang. Orang yang berekspektasi begitu tentu saja akan sedikit kecele. Novel
ini adalah karya sastra yang bercerita tentang Falah, seorang santri miskin dari Garut.
Falah adalah tokoh fiktif yang dihadirkan penulis dalam novel setebal 230 halaman ini.
Sebagai novel sastra penulis bukan hanya mendedahkan fakta-fakta sejarah yang ada,
tapi juga sebuah refleksi yang membuat pembaca bisa merenung lebih jauh. Meski novel
ini banyak memuat fakta-fakta sejarah, namun semuanya dirangkai dalam alur cerita
lewat tokoh-tokoh fiktif yang terkadang simbolis dan metaforis.
Fakta-fakta sejarah tersebut bukan hanya yang berkaitan langsung dengan KH.
Zainal Musthafa dan pemberontakan Sukamanah, namun juga gambaran umum tentang
pesantren-pesantren di Jawa Barat. Bagaimana tradisi pesantren Sunda yang cikal
bakalnya berasal dari Jawa, melalui perjalanan waktu kemudian menemukan
identitasnya sendiri, tradisinya sendiri. Tradisi yang merupakan pertautan dengan
budaya di mana pesantren itu berdiri, yakni budaya Sunda. Dalam sistem pengajaran di
pesantren ada istilah ngalogat, yang artinya menulis terjemahan kitab kuning di atas
lembar kitab itu sendiri. Seorang kiai membacakan terjemahan kalimat per kalimat,
kemudian santri menuliskan terjemahan tersebut dengan disertai kode dan simbol untuk
mempersingkat tulisan. Awalnya tradisi ngalogat ini memakai bahasa Jawa, namun kiai
dari pesantren Cilenga menggantinya dengan bahasa Sunda. KH. Zainal Musthafa
bersama KH. Ruhiat dari Cipasung yang merupakan alumni dari pesantren Cilenga secara
bersama-sama turut melakukan pembaruan dalam hal ngalogat di pesantrennya masing-
masing. Dimulai dari ngalogat dengan bahasa Sunda, pengajian kitab kuning memakai
bahasa Sunda, khotbah jum’at juga memakai bahasa Sunda, maka para mubalig jebolan
pesantren pun dalam setiap ceramahnya selalu memakai bahasa Sunda. Dengan
demikian, di pesantren seorang santri bukan hanya belajar agama, secara tidak langsung
mereka juga mendalami bahasa. Santri-santri dari Sumatera, Kalimantan dan NTT yang
belajar di Cipasung, misalnya, mereka juga dipaksa harus mengusai bahasa Sunda.
***
***
Dalam novel Syahadah Musthafa yang terdiri 9 bab, sebenarnya yang berkaitan
dengan pemberontakan hanya 2 bab saja. Pertama yang menceritakan pemberontakan
itu sendiri, dan kedua ketika para santri ditangkap dan dipenjara. Selebihnya, yang
seperti telah disinggung di atas, adalah cerita tentang tokoh-tokoh fiktif seperti Falah,
Syakur dan Rahmi. Falah yang belum sempat mengikuti pengajian seperti niat awalnya
pergi ke Sukamanah, terus berjalan dengan ceritanya sendiri. Syakur, yang menjadi salah
seorang komandan perang di pesantren, ditangkap tentara dan setelah beberapa bulan
meninggal di penjara. Begitu juga dengan Rahmi, yang tak lain merupakan kakak kandung
dari Syakur meskipun sudah lama terpisah, bergerak dengan cerita dan nasibnya sendiri.
Dan ending dari novel ini adalah bertemunya Falah dengan Rahmi di halaman penjara,
lalu mereka ditakdirkan menikah dan mengelola sebuah pesantren di Garut. Pesantren
tersebut dinamai Syahadah Musthafa.
Ada tiga hal yang menjadi catatan setelah membaca novel ini. Pertama, membaca
novel ini seakan melebihi ekspektasi sebelumnya. Yang mengira hanya akan disuguhi
cerita perjuangan dan heroisme peperangan yang penuh dengan adegan-adegan yang
bersifat fisik, ternyata yang didapat bukan sekadar itu. Tapi juga impresi puitis tentang
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA SENI BUDAYA MUSLIMIN INDONESIA
PROVINSI JAWA TIMUR
Alamat : Gedung PWNU Lt.2 Jl. Masjid Al Akbar Timur No 9 Surabaya
Email : lesbumijatim.99@gmail.com telp. 082 232 020 447
pengembaraan batin manusia di tengah berbagai peristiwa dahsyat yang disaksikannya.
Dalam pengembaraan tersebut terselip kisah-kisah teladan serta percikan-percikan nilai
baik dari tradisi pesantren maupun dari kebudayaan Sunda yang tampaknya bertautan
secara harmonis.
Kedua, sebagai novel sejarah apa yang ditulis Fauz Noor ini memberikan banyak
informasi tentang sejarah Tasikmalaya, terutama sejarah pergerakan dan intelektual
yang ditandai dengan lahirnya banyak organisasi serta maraknya penerbitan. Hal ini
tentu saja tidak terlepas dari pesantren-pesantren di mana para kiainya merupakan
tokoh penggerak dari organisasi-organisasi tersebut. Relasi antar kiai dan antar
pesantren kemudian mempertegas gerakan itu, yang ujungnya adalah cita-cita untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia.
Ketiga, sejarah tentang pemberontakan Sukamanah yang selama ini simpang siur
menjadi semakin jelas. Fauz Noor melakukan riset yang mendalam baik dari berbagai
literatur maupun informasi dari pihak-pihak yang masih berkaitan dengan peristiwa
tersebut. Riset yang dilakukannya tidak hanya terbatas tentang pemberontakan saja,
namun lebih jauh mengenai sejarah Tasikmalaya secara keseluruhan []
Tulisan ini disampaikan dalam Simposium Sastra Pesantren yang diselenggarakan Lesbumi
PWNU Jatim di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, 2-4 Desember 2022.