Anda di halaman 1dari 6

Dalam kode GCG ini, NCG mengemukakan lima prinsip GCG, yaitu:

1. Transparansi (transparency)

Berkaitan dengan kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam
proses keputusan dan penyampaian informasi. Keterbukaan dalam menyampaikan informasi juga
mengandung arti bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar dan tepat waktu
kepada semua pemangku kepentingan.

Dalam Skandal Enron dimensi Transparasi jelas dilanggar, hal ini dapat dilihat pada:

 Pembentukan SPE dengan tujuan melebih-lebihkan laba, meningkatkan kas dan


menyembunyikan utang, menutup-nutupi kerugian terhadap investasi saham Enron pada
perusahaan lain

 Memberikan informasi kinerja perusahaan yang menyesatkan kepada investor dan


karyawan sehingga investor dan karyawan membeli saham Enron dalam jumlah besar
pada saat harga saham Enron tinggi, sebelum anjloknya harga saham.

 Tidak memasukan transaksi SPE dalam Laporan Konsolidasi Enron, sehingga angka
yang ada dalam neraca tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.

 Penghancuran dokumen terkait SPE sebanyak lebih dari 1 ton kertas dengan tujuan
menutup-nutupi kebenaran dan menghambat penyidikan

2. Akuntabilitas (accountability)

Prinsip akuntabilitas adalah prinsip dimana para pengelola berkewajiban untuk membina system
akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Untuk itu,
diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertangungjawaban setiap organ sehingga
pengelolaan berjalan efektif.

Dalam skandal Enron, pihak manajemen tidak mengelola sistem akuntansi yang efektif sehingga
menghasilkan laporan keuangan yang tidak dapat dipercaya, hal ini dapat dicermati pada:
 SEC membolehkan buah perusahaan untuk mengeluarkan pencatatan SPE dari laporan
keuangannya. Hal ini diperbolehkan jika terdapat pihak independen yang mempunyai
control atas entitas tujuan tersebut dan apabila pihak independen tersebut memiliki
setidaknya 3% dari seluruh SPE tersebut. Peraturan tersebut kurang tepat, karena
seharusnya perusahaan tidak boleh mengeluarkan pencatatan SPE dari laporan
keuangannya. Hal tersebut seharusnya dilaporkan dalam laporan keuangan konsilidasi
yang dimiliki oleh perusahaan induk. Dalam kasus Enron ini, hal tersebut tidak dicatat
dan tidak dilaporkan dalam laporan keuangan konsilidasi perusahaan induk, ditambah
lagi pihak yang memiliki SPE adalah pihak internal Enron.

 Melakukan skema prabayar, yakni mencatat transaksi prabayar dalam pengiriman energi
masa depan sebagai laba operasi dan arus kas saat ini, bukan sebagai arus kas dari operasi
pembiayaan.

 Perhitungan pajak yang salah yaitu mengakui kerugian yang sama sebanyak dua kali dan
mencatatnya sebagai pendapatan; dan merubah dpp aset tak tersusutkan (tidak kena
pajak) menjadi aset tersusutkan (kena pajak)

 Melakukan praktik asset light, yaitu menjual aset pembangkin listrik secara langsung atau
menjual kepentingan di dalamnya kepada investor secara lansung, dan mencatat
pendapatan tersebut sebagai laba dari hasil “monetizing” dan “syndicating”

3. Responsibilitas (responsibility)

Prinsip responsibilitas adalah prinsip di mana para pengelola wajib memberikan


pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku
kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya. Prinsip tanggung jawab ada
sebagai konsekuensi logis dari kepercayaan dan wewenang yang diberikan oleh para pemangku
kepentingan kepada para pengelola perusahaan.

Skandal Enron memberikan contoh pelanggaran tanggung jawab ini mempunyai dalam berbagai
dimensi, yaitu:

1) Dimensi ekonomi, Enron tidak bertanggungjawab untuk memberian keuntungan ekonomis


bagi para pemangku kepentingan. Dimensi ini juga melanggar prinsip fairness dimana tidak
semua pemangku kepentingan mendapatakan keuntungan ekonomis yang sama bahkan ada yang
dirugikan.
2) Dimensi hukum, tanggung jawab manajemen Enron tidak diwujudkan dalam bentuk
ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Enron melakukan ratusan transaksi yang
melanggar hukum, mulai dari konspirasi, penipuan, pemalsuan laporan, insider trading, penipuan
pajak, pencucian uang, dan penipuan sekuritas.

Vinson dan Elkins, pengacara eksternal Enron sudah sudah menyadari adanya risiko tak
terkendali dalam transaksi yang dilakukan Enron, mereka juga telah mengajukan laporan
penjabaran risiko kepada Lay, namun akibat loyalitasnya kepada Lay mereka tetap menyetujui
SPE yang dikelola oleh Faslow dan SPE lain. Padahal dalam etika hukum, pengacara eksternal
memiliki kewajiban etis yang jelas untuk menarik diri dari transaksi di mana klien jelas
melanggar hukum.

3) Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggung jawab tindakan manajemen tersebut
telah dirasakan keadilannya bagi semua pemangku kepantingan. Selama prinsip fairness tidak
terpenuhi, dimensi moral sulit untuk dipertanggunjawabkan. Selain itu kegiatan perusahaan
Enron tidak menghormati nilai-nilai dasar yang mendasari ketertarikan pemangku kepentingan
(hypernorms) sehingga saat mendekati detik-detik keterpurukan, Enron tidak mendapat
dukungan dari pemangku kepentingan selain dengan cara curang.

4) Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu mewujudkan
akuntabilitas diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran agama
yang diyakininya. Eksekutif Enron hanya mengejar tujuan lahirian dengan mengabaikan tujuan
spiritual, dengan ini tahap yang dicapai hanya PQ dan IQ saja.

4. Independensi (independency)

Independensi adalah keadaan di mana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan bersifat
professional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, dan bebas dari tekanan/pengaruh dari
mana pun yang bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
pengelolaan yang sehat.

Pelanggaran prinsip ini terjadi pada, sebagai perikut:


 Arthur Ardensen menyediakan setidaknya 5 layanan kepada Enron yaitu: (1) sebagai
auditor eksternal yang mengaudit kewajaran laporan keuangan Enron; (2) sebagai
Konsultan akuntansi dan manajemen, termasuk saat transaksi SPE; (3) sebagai penasihat
perpajakan; (4) sebagai internal auditor Enron; (5) sebagai penasihat masalah keuangan.
Kelima layanan tersebut memiliki fungsi yang saling bertabrakan bahkan tumpang tindih
hingga menyebabkan hilangnya objektivitas Arthur Andersen.

 Banyaknya auditor Arthur Andersen yang kemudian pindah dan menjabat sebagai
eksekutif Enron, seperti: Richard Causey, Sheron Wattkins, dan staff lainnya

 SPE seharusnya dimiliki oleh pihak independen, tetapi SPE yang bertransaksi dengan
Enron adalah bentukan Fastow yang merupakan CFO Enron

5. Kesetaraan (fairness)

Perlakuan yang setara merupakan prinsip agar para pengelola memperlakukan semua pemangku
kepentingan secara adil dan merata, baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan,
karyawan, pemodal) maupun pemangku kepentingan sekunder (pemerintah, masyarakat dan
yang lainnya). Prinsip ini juga sangat erat dan tumpang tindih dengan prinsip akuntabilitas dan
tanggung jawab.

Enron memperlakukan pemangku kepentingannya dengan tidak adil, yaitu:

 Karyawan memperkaya diri mereka sendiri tanpa persetujuan Dewan Direksi


(Kompensasi berlebihan).

 Konflik kepentingan yang tidak pantas, yaitu adanya Insider Trading dimana Dewan
Direksi menyetujui CFO untuk mengoperasikan dana ekuitas swasta SPE LJM yang
melakukan transaksi bisnis dengan Enron dan meperoleh keuntungan dari biaya Enron.

 Kegagalan tugas fidusida Dewan Direksi yaitu: gagal melindungi pemegang saham Enron
dari kegiatan yang tidak adil sehingga merugikan pemegang saham, karyawan, dan rekan
bisnis.

 Memanipulas krisis listrik di California dan menerapkan skema prabayar dan menetapkan
harga listrik sangat tinggi sampai 9kali lipat demi keuntungan eksekutif Enron. Hal ini
menyebabkan banyak perusahaan di industri sejenis gulung tikar, pengangguran di
California bertambah, masyarakan kesulitan mendapatkan listrik dan harus membayar
mahal untuk itu.

 Karyawan diperlakukan tidak adil. Enron mengharuskan dana pensiun karyawannya


diubah dalam bentuk saham. Tujuan Enron adalah menaikan harga saham perusahaan
dengan cara ini. Dan pada saat masa jatuhnya enron, para ekskutif yang terlebih dahulu
tahu telah menjuals ahamnya, sedangkan karyawan hanya dapat menjual saham sampai
pada harga 26 sen. Sangat banyak terjadi kerugian pada karyawan. Baik financial maupun
moral. Karyawan Enron banyak yang tidak diterima di perusahaan lain.

Pelanggaran Etika dari Sudut Pandang Agency Theory

Jika dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak
stock holder atau principal untuk memberikan suatu fairrness information mengenai
pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal. Pihak agent
dalam hal ini manajemen Enron telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya (self
interest oriented) dengan melupakan norma dan etika bisnis yang sehat.

Lalu apa yang dituai oleh Enron dan KAP Andersen dari sebuah ketidak jujuran, kebohongan
atau dari praktik bisnis yang tidak etis adalah hutang dan sebuah kehancuran yang menyisakan
penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan tuntutan hukum. Artinya secara
kasat mata kasus Enron (baik manajemen Enron maupun KAP Andersen) telah melakukan
malpraktik jika dilihat dari etika bisnis dan profesi akuntan antara lain :

1. Adanya praktik discrimination of information/unfair discrimination, melalui suburnya


praktik insider trading, dimana hal ini sangat diketahui oleh Board of Director Enron,
dengan demikian dalam praktik bisnis di Enron sarat dengan collusion. Kondisi ini
diperkuat oleh Bussines Round Table (BRT), pada tanggal 16 Pebruari 2002 menyatakan
bahwa : (a). Tindakan dan perilaku yang tidak sehat dari manajemen Enron berperan
besar dari kebangkrutan perusahaan; (b). Telah terjadi pelanggaran terhadap norma etika
corporate governance dan corporate responsibility oleh manajemen perusahaan; (c).
Perilaku manajemen Enron merupakan pelanggaran besar-besaran terhadap kepercayaan
yang diberikan kepada perusahaan.

2. Adanya Deception Information, yang dilakukan pihak manajemen Enron maupun KAP
Arthur Andersen, mereka mengetahui tentang praktek akuntansi dan bisnis yang tidak
sehat. Tetapi demi trust dari investor dan publik kedua belah pihak merekayasa laporan
keuangan mulai dari tahun 1985 sampai dengan Enron menjadi hancur
berantakan.Bahkan CEO Enron saat menjelang kebangkrutannya masih tetap melakukan
Deception dengan menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan
prospek yang sangat baik. KAP Andersen tidak mau mengungkapkan apa sebenarnya
terjadi dengan Enron, bahkan awal tahun 2001 berdasarkan hasil evaluasi Enron tetap
dipertahankan, hal ini dimungkinkan adanya coercion atau bribery, karena pihak Gedung
Putih termasuk Wakil Presiden Amerika Serikat juga di indikasikan terlibat dalam kasus
Enron ini.

3. Arthur Andersen, merupakan kantor akuntan publik- The big six- yang melakukan Audit
terhadap laporan keuangan Enron Corp. tidak hanya melakukan manipulasi laporan
keuangan Enron, KAP Andersen telah melakuklan tindakan yang tidak etis dengan
menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Arthur
Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke
permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran
dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap
melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Disini
Andersen telah ingkar dari sikap profesionallisme sebagai akuntan independen dengan
melakukan tindakan knowingly and recklessly yaitu menerbitkan laporan audit yang
salah dan meyesatkan (deception of information).

Anda mungkin juga menyukai