Anda di halaman 1dari 12

PEMILIHAN SUMBER PEBIAYAAN

(BAGIAN I)
RMK PERTEMUAN KE-5

Oleh Kelompok 2 :

Bagus Meshawidyatmika Samhita 1707611006

Putu Bagus Adi Wibawa 1707611008

Putu Indra Adhitama 1707611012

Ni Putu Naritha Kusumasari Putri 1707611013

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
1. Dampak dari Menahan Laba (Pendanaan Internal)
Penentuan sumber dana dalam suatu perusahaan akan memberikan dampak bagi perusahaan
tersebut. Perusahaan akan cenderung memilih pendanaan internal dibandingkan dengan pendanaan
eksternal seperti hutang. Laba ditahan ( retained earning) merupakan salah satu sumber dana yang
dapat digunakan untuk membiayai pertumbuhan perusahaan. Jika perusahaan memutuskan untuk
membagikan laba sebagai deviden maka akan mengurangi laba yang ditahan dan akan berdampak
pada berkurangnya total sumber dana internal atau internal financing. Sebaiknya, apabila suatu
perusahaan memilih untuk menahan laba yang diperoleh , maka kemampuan pembentukan dana
internal akan semakin besar. Jumlah laba yang tidak dibagi ini dapat digunakan oleh perusahaan
untuk tambahan modal atau untuk memperbesar modal perusahaan.
Terdapat tiga alasan yang berkaitan dengan pajak yang memungkinkan bahwa investor lebih
menyukai pembagian dividen yang rendah daripada yang tinggi.

1) Pertumbuhan laba mungkin dianggap menghasilkan kenaikan harga saham, dan


keuntungan modal yang pajaknya rendah akan menggantikan dividen yang pajaknya
lebih tinggi.
2) Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual. Karena adanya efek nilai
waktu, satu dolar pajak yang dibayarkan di masa mendatang mempunyai biaya efektif
yang lebih rendah daripada satu dolar yang dibayarkan hari ini.
3) Jika selembar saham dimiliki seseorang sampai meninggal sama sekali tidak ada pajak
keuntungan modal yang terutang, ahli waris yang menerima saham itu dapat
menggunakan nilai saham pada hari kematian sebagai dasar biaya mereka, dengan
demikian mereka terhindar dari pajak keuntungan modal.

Karena adanya keuntungan – keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih menyukai
perusahaan menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikian, maka para investor akan
bersedia membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada
perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi.
1.1 Pengertian Dividen
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh yang termasuk objek pajak adalah dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi kecuali ditentukan lain oleh ketentuan
perpajakan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g, ditegaskan pula bahwa termasuk dalam
pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam
bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang
berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang
saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam
tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu
adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai
penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan
sebagai biaya perusahaan.
Jelas kita ketahui bahwa pengertian dividen mempunyai arti yang luas, pengertian diatas
merupakan pengertian dividen secara formal, namun dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g ini
juga menjelaskan bahwa dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen
secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya
dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran.
Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat
bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan
sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
1.1.1 Deviden sebagai Objek Pajak
1. Dividen Sebagai Objek Pemotongan PPh Pasal 23
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima atau
memperoleh penghasilan berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut
dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf a UU PPh. Dividen tersebut dikenakan PPh Pasal 23 sepanjang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat 3 huruf f UU
PPh.

2. Dividen Sebagai Objek Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2)


Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan
berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong PPh Pasal 4 ayat (2)
yang bersifat final sebesar 10% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam PP
No. 19 Tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009.

3. Dividen Sebagai Objek Pemotongan PPh Pasal 26


Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber
dari Indonesia berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong PPh
Pasal 26 sebesar 20% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat
(1) huruf a UU PPh. Namun, apabila penerima dividen ini adalah WPLN dimana Negara
domisili yang bersangkutan mempunyai perjanjian perpajakan dengan Indonesia dan
terdapat Surat Keterangan Domisili (COD), maka tarif yang dikenakan adalah tarif yang
sesuai dengan Tax Treaty.
4. Dividen yang Dikecualikan dari Objek Pajak
Pada penjelasan sebelumnya, sudah dijelaskan mengenai pengertian dividen serta
dividen yang termasuk objek pajak penghasilan. Namun, UU PPh memberikan
pengecualian atas dividen tertentu yang tidak termasuk objek pajak penghasilan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, bahwa yang dikecualikan dari objek pajak
adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor.
Saat Terutang
Berdasarkan PP No. 94 Tahun 2010 dalam penjelasan pasal 15 ayat 3 dijelaskan bahwa
saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo
(seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur
(seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


1) untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal
23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau
ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran
Dasar perseroan yang bersangkutan.
2) untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan
lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal
23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para
pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.
Artinya, dividen akan menjadi objek PPh jika:
1) Penerima dividen adalah pemegang saham Orang Pribadi
2) Penerima dividen adalah pemegang saham badan [intercorporate] dengan
kepemilikan kurang dari 25% dari jumlah yang disetor.
3) Penerima dividen adalah wajib pajak luar neger.

Berdasarkan hal diatas, maka pemberi dividen wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar
15%pada saat :
1) yang dibayarkan;
2) disediakan untuk dibayarkan; atau
3) telah jatuh tempo pembayarannya.

Tetapi, Pasal 23 ayat (4) mengatur bahwa pemotongan tidak dilakukan untuk dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang
pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c). Artinya, PPh Pasal 23 atas objek
dividen hanya dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 jika penerima dividen Wajib Pajak badan
dengan kepemilikan kurang dari 25%. Inilah dividen yang dikenakan tarif 15% dari
penghasilan bruto. Sedangkan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri (baik badan
maupun orang pribadi) maka terutang PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.
Dengan demikian, tarif PPh atas dividen ada tiga:
1) Tarif 10% bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan bersifat final.
2) Tarif 15% bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dengan kepemilikan saham kurang
dari 25%.
3) Tarif 20% bagi Wajib Pajak luar negeri.
2. Dampak dari Pendanaan melalui Modal (Equity Financing) dan Distribusi Laba
(Distributing Deviden)

Pendanaan dalam bentuk modal dilakukan oleh perusahaan melalui penjualan kepemilikan
saham biasa perusahaan tersebut. Contoh lain, seperti persekutuan yang menjual bagian
kemitraannya kepada investor baru. Pembiayaan modal juga ada dalam berbagai bentuk.
Kebanyakan yang biasa adalah kontribusi kepada modal selalu dalam bentuk kas tetapi terkadang
dalam bentuk properti oleh para mitra dalam persekutuan atau pemilik dari perusahaan terbatas.
Pemilik saham biasa seringkali memiliki kontrol suara dari perusahaan dan mereka mempunyai
keuntungan dari memiliki kepemilikan sisa. Dalam perencanaan strategis, manajer mencari
struktut modal optimal dalam jangka panjang. Perpaduan optimal dari utang dan modal untuk
organisasi tergantunt dari tujuan perusahaan. Untuk organisasi nirlaba, utang dapat dicegah untuk
menjamin kelangsungan program selama penurunan ekonomi, dimana dapat mengurangi
kontribusi yang tidak diharapkan. Sala halnya, seperti organisasi yang berorientasi keuntungan,
perpaduan utang atas modal yang dicari oleh manajemen adalah satu yang memaksimalkan ekuitas
pemiliki. Ini adalah fungsi dari resiko dan pengembalian yang diharapkan.
Untuk bentuk paling umum dari bisnis, perusahaan umumnya memiliki tujuan untuk
meningkatkan nilai pemegang saham. Jika saham secara publik diperjualbelikan, mengindikasikan
bahwa harga pasar yang mereka perdagangkan secara implisit diperhitungkan atas kedua resiko
pengembaliannya. Dalam menambah pemilihan waktu, aspek nilai waktu dari keuntungan pajak
adalah penting dalam keputusan struktur modal. Untuk para investor pemilihan waktu pembayaran
dapat direkayasa sehingga pembayaran dilakukan dalam meminimalisasi pajak. Deviden dapat
dibayarkan ketika tarif pajak menurun , sehingga pengembalian saham dilakukan dalam rangka
pemberian penghargaan. Dengan demikian, pajak ditunda dan kemudian ditransformasi ke dalam
penghasilan dari keuntungan modal yang dipajaki dengan tarif rendah. Para investor bebas pajak
dapat menginginkan distribusi saat ini, seperti deviden, untuk menunda arus kas seperti menunggu
untuk menjual saham dihargai untuk mentransformasi penghasilan menjadi keuntungan modal.
Mereka juga dapat mengabaikan kepada bunga terhadap deviden. Jika perusahaan mengetahui
bahwa para kliennya dapat dibebaskan pajak, perusahaan dapat menerbitkan utang atau ekuitas
berdasarkan kebutuhannya, tanpa memperhatikan status pajak dari investor. Dengan menerbitkan
saham atau sekuritas yang dapat dikonversi ke ekuitas, perusahaan dapat mengaktifkan baik
mereka sendiri atau para investor mereka untuk mengubah penghasilan sesungguhnya menjadi
keuntungan modal atau penghasilan kena pajak menjadi penghasilan tidak kena pajak.

3. Dampak dari Pendanaan melalui Utang (Debt Financing) Terutama oleh Pemegang
Sahamnya

Hutang mempakan salah satu bentllk pendanaan yang dipilih oleh pemsahaan untuk mendanai
kegiatan operasionalnya. Para pemilik pemsahaan (pemegang saham) cenderung menghin dari
hutang yang ekstrim baik hutang jangka pendek maupun jangka panjang, karena akan menurunkan
nilai perusahaan. Jika dipaksakan, memungkinkan munculnya biaya kebangkmtan yang terdiri dari
legal fee dan distress price (aset perusalaan yang dihargai murah sewaktu dinyatakan bangkrut).
Pendanaan berupa hutang dibagi menjadi dua yaitu (1) hutang jangka pendek (kurang dari 1
tahun) lazim digunakan untuk kebutuhanjangka pendek terdiri atas hutang dagang dan kewajiban
yang masih harus dibayar seperti upah dan pajak, dan (2) Hutangjangka panjang adalah hutang
dengan yang memiliki jatuh tempo lebih dari satu tahun, biasanya berbentuk hipotek dan obIigasi.
Jika terjadi Iikuidasi, kreditor akan dibayar terlebih dahulu dari hasil penjualan aktiva tetap yang
dipergunakan sebagai agnnan dalam perjanjian kreditnya.
Pendanaan berupa hutang diproksikan ke dalam DER. Rasio DER mengukur tingkat
penggunaan hutang terhadap total modal sendiri yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi DER
menunjukkan tingginya ketergantungan permodalan perusahaan terhadap pihak luar sehingga
beban perusahaan juga semakin berat. Tentunya hal ini akan mengurangi hak pemegang saham
(dalam bentuk dividen). Tingginya DER selanjutnya akan mempengaruhi minat investor terhadap
saham perusahaan tertentu, karena investor pasti lebih tertarik pada saham yang tidak menanggung
terlalu banyak beban hutang. Dengan kata lain, DER berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Rasio DER oleh Jensen et at. (1992) dalam Almilia dan Silvy (2006) dirumuskan sebagai
berikut:

dimana : Total Hutang = lumlah hutang lancar + !mtang jangka panjang


Modal Sendiri = Total modal (ekuitas) yang dimiIiki perusahaan
Jika DER lebih dari satu, maka perllsahaan didanai dengan lebih banyak hutang sehingga
perusahaan harus membayar bunga. Berarti pemegang saham sulit membeli saham karena
perusahaan tidak menerbitkan saham untuk kegiatan pendanaannya dan kreditor enggan meminj
amkan uang karena adanya pengalihan resiko dari perusahaan.

Pajak Penghasilan dengan Hutang


Keputusan pendanaan menjadi relevan dalam keadaan ada pajak (Modigliani dan Miller,
1958, dalam Husnan dan Pudjiastuti, 2004). Hal ini dikarenakan bunga yang dibayar oleh
perusahaan merupakan pengurang pajak penghasilan (tax deductibility of interest payment).
Dengan memasukkan un sur pajak, kebanyakan pakar keuangan setuju bahwa hutang memiliki
dampak positif atas penilaian total perusahaan (Horne dan Wlchowicz, 2007). Hutang digunakan
untuk pendanaan maupun investasi seperti pembelian aktiva tetap yang memiliki tax shield atau
perlindungan pajak, karena depresiasi aktiva tetap yang merupakan dana non cash dapat digunakan
llntuk mengurangi beban pajak yang ditanggung perusahaan.
Sedangkan, pembayaran bunga hutang merupakan biaya pengurang pajak perusahaan yang
berhutang. Berbeda d~ngan dividen yang merupakan non deductible expense, akibatnya, jumlah
total dana yang tersedia untuk membayar para pemilik hutang dan pemegang saham akan lebih
besar jika hutang digunakan, sehingga bunga hutangjllga disebut perlilldungan pajak. Semakin
besar jumlah hutang semakin besar pula keuntungan perlindungan pajak dan semakin besar nilai
perusahaan, jika semua hal lain dianggap tetap. Namun, jika penghasilan kena pajakjumlahnya
kecil atau negatif, keuntungan perlindungan pajak dari hutang akan berkurang atau bahkan tidak
ada. Selain itu, jika perusahaan bangkrut dan dilikuidasi, penghematan pajak di masa depan yang
berhubungan dengan hutang akan hilang. Hal ini membuat keuntungan perlindungan pajak atas
hutang, menjadi tidak pasti.

Keuntungan dari Pendanaan melalui Utang


Keuntungan menggunakan utang bagi perusahaan dapat dirangkum dalam beberapa hal:
Pertama, utang menyediakan manfaat pajak karena pengeluaran bunga dapat merededuksi pajak.
Manfaat pajak dari utang juga bisa diekspresikan dalam istilah perbedaan antara biaya hutang
sebelum pajak dan sesudah pajak. Untuk mengilustrasikan hal tersebut misalkan: jika r adalah
tingkat presentase bunga terhadap hutang dan t adalah tarif pajak marginal, maka biaya
peminjaman setelah pajak (kd) yang akan dinikmati oleh peminjam adalah: kd = r (1 – t). Dalam
persamaan ini, biaya utang setelah pajak adalah fungsi menurun dari tarif pajak. Contoh, suatu
perusahaan dengan tarif pajak sebesar 40% yang meminjam dengan bunga 8%, maka perusahaan
mempunyai biaya hutang setelah pajak sebesar 8%( 1-40%) = 4,8% . Perusahaan lain dengan tarif
pajak sebesar 70% yang meminjam pada 8%, mempunyai biaya hutang setelah pajak sebesar 2,4%.
Artinya tarif pajak yang lebih tinggi akan menurunkan biaya utang cateris paribus.
Kedua, utang bisa mendorong manajer untuk lebih disiplin dalam pilihan-pilihan investasi
mereka. Salah satu cara untuk mengenalkan disiplin kedalam proses investasi adalah dengan
memaksa perusahaan tersebut untuk meminjam uang, karena peminjaman menciptakan sebuah
komitmen untuk membuat bunga dan pembayaran pokok. Selain itu pada perusahaan yang
didalamnya ada pemisahan antara kepemilikan dan manajemen maka utang pengendalikan
perilaku oportunitis manajer untuk pengeluaran sesuai dengan kewenangannya (discretionary).
Oleh karena itu dengan adanya utang, nantinya manajer akan terfokus pada aktivitas yang
diperlukan untuk memastikan bahwa pembayaran utang dapat dipenuhi.
Ketiga, utang tidak memberikan pihak pemegang surat utang (debtholder) hak suara, sehingga
tidak terjadi pergeseran pengendalian perusahaan. Adapun beberapa hal yang diyakini sebagai
beban karena berutang antara lain adalah sebagai berikut : Pertama, utang dapat meningkatkan
risiko karena kemungkinan perusahaan tidak mampu memenuhi pembayaran tetapnya bahkan
dapat juga berujung pada risiko kebangkrutan. Kondisi tersebut mungkin terjadi ketika perusahaan
mengalami kegagalan pada saat aliran kas (cash flow) dari operasi tidak mencukupi untuk
membayar bunga. Sebuah perusahaan dianggap bangkrut apabila perusahaan tersebut tidak mampu
memenuhi komitmen kontraktual mereka, bahkan perusahaan yang tidak memiliki utang pun dapat
menjadi bangkrut jika mereka tidak mampu membayar gaji karyawan mereka. Ketika sebuah
perusahaan bangkrut, asetnya dapat dilikuidasi dan hasil dari likuidasai akan digunakan untuk
memenuhi klaim yang belum dilunasi. Prioritas klaim mengikuti persyaratan legal dan spesifi- kasi
kontraktual yang ada. Kedua, utang akan meningkatkan potensi konflik antara 5 pemberi utang
(kreditor) dan agen (dalam hal ini diwakili oleh manajer). Konflik muncul karena manajemen
perusahaan mengambil proyek-proyek berisiko lebih besar dari yang diperkirakan oleh kreditor,
dimana proyek berisiko akan memberikan hasil yang bagus, namun kompensasi yang diberikan
kepada kreditor (berupa bunga) tidak ikut naik, sehingga jika terjadi kerugian maka kreditor akan
dirugikan. Ketiga, utang menyebabkan perusahaan kehilangan beberapa fleksibilitas berkaitan
dengan pembiayaan di masa mendatang, karena adanya rambu-rambu perjanjian (debt covenant)
yang ditetapkan pada awal pinjaman dilakukan. Perjanjian ini berisi rambu-rambu yang membatasi
manajemen untuk membuat keputusan investasi dan pembayaran dividen dalam jmlah tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.e-akuntansi.com/2015/09/dampak-dari-menahan-laba-pendanaan.html (diakses pada


tanggal 5 Oktober pukul 21.00 Wita )
https://www.scribd.com/document/335904003/Manajemen-Pajak-Pemilihan-Sumber-
Pembiayaan (diakses pada tanggal 8 Oktober pukul 08.00 Wita )

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2017. Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan. IAI.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai