NIM : 15020124059
TIMBUL RAHARJO
Pada masa kejayaannya tahun 2000 – 2005, menurut Timbul, setiap bulannya ia bisa
mengekspor gerabah sebanyak 10-15 kontainer dengan nilai sekitar Rp1 miliar. Pada saat itu,
ia punya 4 buah showroom dan memperkerjakan 750 tenaga kerja. Namun gempa yang
terjadi di Yogyakarta tahun 2006 membuat semuanya hancur. Tetapi dengan kerja keras,
Timbul dapat bangkit kembali. Untuk menarik wisatawan dan para pebisnis gerabah, Timbul
membangun showroom baru yang lebih luas. Showroom yang didirikan tahun 1996 ini diberi
nama “Timboel Keramik”, tepatnya berlokasi di Kasongan, Tirto, Bangunjiwo, Kasihan,
Bantul Yogyakarta.
Gerabah yang dipajang di showroom Timbul merupakan gerabah seni atau yang
dikenal sebagai keramik hias. Motif-motifnya disesuaikan dengan pesanan. “Kalau
wisatawan lokal biasanya suka warna-warna cerah. Beda dengan wisatawan asing yang lebih
suka warna-warna alami atau warna kusam seperti tanah liat,” jelasnya. Pada tahun 2000-an,
lanjutnya, masyarakat Barat sedang menyukai patung yang memiliki nilai tradisi-spiritual,
seperti patung Budha. Sampai sekarang patung Budha masih menjadi primadona Kasongan.
Banyaknya pedagang seni dari mancanegara yang datang, membuat variasi desain
gerabah kasongan berkembang cukup pesat. Sebelumnya, Kasongan hanya membuat gerabah
untuk keperluan dapur dengan desain sederhana, seperti kuwali, pengaron, kendil, anglo,
cowek, dan sebagainya.
Teknik gores bergaya primitif maupun motif tumbuh-tumbuhan banyak diproduksi
untuk Negara tujuan Australia, Korea Jepang, dan Kanada. Guci bulan bintang dan matahari
banyak diminati oleh Eropa, Australia dan Kanada. Sebanyak 90% produk “Timboel
Keramik” disediakan untuk kebutuhan ekspor, sementara 10% untuk kebutuhan lokal.
Produknya yang termurah adalah suvenir seperti kalung, gelang, dll, dengan harga Rp5000.
Harga paling tinggi untuk vas hias yang tingginya 2,25 m, dijual dengan harga Rp1.500.000.
Karya Natas pada pameran kali ini, ditambatkan pada dinding sehingga menghadirkan
sifat relief yang timbul. Pemasangan di dinding berpengaruh pada keleluasaan saat apresiator
memasuki ruang pamer, mengingat ukuran ruang yang bisa disebut kecil. Karyanya terpajang
pada dua dinding sisi ruangan yang saling berseberangan. Natas menyusun keramik-keramik
kubusnya, dengan susunan baris dan kolom yang tertata rapi meski tidak bisa segera disusur
apakah ada pola atau rumus yang dipakai dalam penyusunan karya tersebut. Pada dinding
pertama, susunan yang ada terdiri dari perpaduan modul-modul netral dan negatif. Sementara
pada dinding di sisi seberang, terdiri dari susunan perpaduan modul-modul netral dan positif.
Selain jumlah modul, Natas juga bermain dengan jarak, tidak semua modul disusun rapat.
Gagasan pertama yang tergugah dalam kepala ketika melihat karya itu adalah bahwa
susunan pada kedua dinding yang berseberangan itu sama, sehingga seandainya kedua
dinding dirapatkan, tiap modul akan saling berhimpit, tonjolan piramida tepat masuk ke
dalam cekungan piramida. Tapi, setelah diamati ternyata susunan pada tiap dinding –jumlah
modul dan jaraknya- berbeda, sehingga gagasan pertama di atas gugur. Melihat dengan jarak
agak jauh, sekilas ingatan kita akan dibawa pada permainan ‘tertris’, sebuah permainan yang
mengharuskan pemain menyusun modul-modul kotak.
Selain gagasan yang bisa saja muncul
di kepala kita, kita juga mendapat
pengalaman melalui cerapan visual.
Berhadapan dengan karya Natas kali ini, kita
bisa menikmati bagaimana perpaduan
bentuk kubus dan piramid (baik positif dan
negatif), Tidak hanya bentuk pada tiap
modul, tapi kita juga bisa menikmati bentuk
secara keseluruhan yang terbangun dari
kepaduan komposisi ukuran –dan jumlah
susunan- modul, modul dengan dinding yang
muncul dengan adanya jarak jeda antar tiap
modul dan secara menyeluruh juga antara
karya dengan ruangan. Adapula perpaduan warna antara putih mengkilap pada keramik, putih
dinding yang pekat serta warna gelap (abu-abu) yang tebentuk dari cahaya lampu yang jatuh
pada permukaan karya yang memiliki bermacam perbedaan ketinggian. Dengan begitu,
sebenarnya yang paling utama dihasilkan karya Natas bagi pengalaman cerapan visual kita
adalah perihal prinsip-prinsip formal karya seni rupa (komposisi, irama, keseimbangan dan
sebagainya).
Tapi kita boleh saja penasaran dengan judul ‘landscape’ yang diberikan Natas bagi
pamerannya kali ini. Bagi kita, ‘landscape’ sering diartikan dengan pemandangan alam, maka
bila begitu bagaimana kita bisa menemukan pengertian itu pada karya Natas..? Dalam karya
ini, kita melihat bentuk-bentuk geometris seperti kotak, segitiga, kubus atau prisma. Bentuk-
bentuk ini memungkinkan membawa ingatan kita pada apa yang kita lihat pada peta. Dalam
peta, kita melihat bentang alam (pemandangan) dalam simbol-simbol yang hadir dalam
bentuk yang terabstraksi (gunung-segitiga, sungai-garis meliuk, kota-kotak, dan sebagainya).
Tapi, pengalaman ini pun sebenarnya sudah sangat kabur pada karya Natas, karena pertama:
kita hanya melihat dua bentuk utama kotak (kubus) dan segitiga (prisma), kedua: kita hanya
melihat warna putih dan abu. Maka boleh jadi, sebenarnya yang bisa lebih terwakilkan
muncul dalam karya Natas, justru adalah ‘pemandangan kota’ karena kita seakan melihat
kumpulan-kumpulan bentuk kotak yang tersekat-sekat oleh jarak, ini megingatkan pada
kompleks gedung perkantoran, perumahan, serta jalan raya di perkotaan (bila kita melihat
dari atas).
Akhirnya, yang utama, kita mendapat stimulus untuk menikmati ‘syair rupa’
(komposisi, irama, dan sebagainya) dalam karya Natas. Kalaupun karya ini memancing
ingatan kita tentang pemandangan alam atau kota, kita hanya mendapatkannya secara
terabstraksi. Bukantah dalam keseharian pun, ingatan tentang apa yang kita lihat atau alami
dari kenyataan sehari-hari, seringkali muncul dalam bentuk sepotong-sepotong -yang
terabstraksi dan terdistorsi- dan ia tak selalu bisa hadir seutuhnya.
KARYA-KARYA NATAS SETIYABUDHI
F. WIDAYANTO
Dalam beberapa pameran tunggal yang pernah diselenggarakan, Widayanto acap kali
mengangkat tradisi – tradisi Jawa. Baginya kedekatan dengan budaya tradisional merupakan
sebuah hal yang bisa dieksplorasi oelh para keramikus Indonesia. Pameran Loro Blonyo serta
Ukelan misalnya, menampilkan budaya – budaya Jawa yang kemudian diberi sentuhan
kekinian, sehingga tidak jarang menjadi sebuah ikon baru yang unik dan inovatif. Dalam
beberapa pameran terakhirnya, Widayanto juga mengekspos budaya Hindu – Buddha yang
telah lama berakar dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Kesetiaannya pada tradisi seperti
merupakan sebuah perlawanan dari kecenderungan seni kontemporer yang semakin bergerak
bebas tak tentu arah.
Untuk seniman keramik, skill dan pengetahuan teknis merupakan komponen penting
dan utama. Dalam konteks ini, karya – karya Widayanto jelas memiliki aspek teknis yang
sangat tinggi. Kemampuan artistiknya dalam mengolah figure dari lempung dan penerapan
glasir, menjadikannya sebagai seniman yang mampu menggabungkan antara ekspresi budaya
Jawa dengan semangat modern yang menyentil3. Baginya, tanah sama seperti kanvas,
perunggu, perak atau emas. Seorang pelukis akan sangat menghargai kanvas sebagai wadah
berekspresi. Ia juga memaknai tanah sebagai wahana yang bisa diajak berdialog, berekspresi
dan mengaktualisasikan diri. Itulah sebabnya barangkali, Ia tidak pernah ambil pusing dengan
segala macam perdebatan mengenai posisi seni keramik dalam konstelasi seni rupa masa kini.
Bagi dirinya, keramik adalah medium yang menarik sekaligus menyulitkan. “Yang menarik
di keramik kira-kira begini. Semua barang kalau dibakar akan rusak. Tapi ternyata, keramik
membalikkannya, semua barang yang dibakar justru semakin kuat,” ungkap Widayanto. Hal
ini, memang terkadang menjadi batu sandungan bagi mereka yang baru belajar keramik.
Tingkat kesulitan yang tinggi untuk menguasai keramik kadang menjadikan seseorang
berhenti mempelajari material ini. Padahal menurut pria dengan kumis tebal ini, tidak pernah
menyerah adalah satu – satunya jalan untuk meraih kesuksesan sebagai keramikus.
Karya-Karya F. Widayanto
KERAMIK JENGGALA