Anda di halaman 1dari 9

Nama : Wasis Yuliyanto

Kelas : PSR 2015 C

NIM : 15020124059

TIMBUL RAHARJO

Timbul Raharjo (43) lahir di Bantul


Yogyakarta, tepatnya di desa Kasongan yang
sekarang terkenal sebagai daerah wisata
gerabah. Sejak kecil, Timbul telah akrab
dengan gerabah. “Waktu kecil saya
bermainnya ya dengan lempung (tanah liat),
dikepal-kepal membentuk sesuatu,” kenang
Timbul. Sekarang pria yang berhasil meraih
gelar doktor gerabah pada tahun 1996 ini
adalah perajin sekaligus pengusaha gerabah
yang sukses. Produknya merambah ke
mancanegara. Setiap bulan ada 3 (tiga)
kontainer gerabah senilai Rp300 juta yang diekspornya. “Ekspor gerabah seluruh
Kasongan setiap bulan mencapai 40 kontainer, senilai sekitar Rp4 miliar,”jelas pemilik 2
showroom gerabah dengan 100 karyawan ini.

Pada masa kejayaannya tahun 2000 – 2005, menurut Timbul, setiap bulannya ia bisa
mengekspor gerabah sebanyak 10-15 kontainer dengan nilai sekitar Rp1 miliar. Pada saat itu,
ia punya 4 buah showroom dan memperkerjakan 750 tenaga kerja. Namun gempa yang
terjadi di Yogyakarta tahun 2006 membuat semuanya hancur. Tetapi dengan kerja keras,
Timbul dapat bangkit kembali. Untuk menarik wisatawan dan para pebisnis gerabah, Timbul
membangun showroom baru yang lebih luas. Showroom yang didirikan tahun 1996 ini diberi
nama “Timboel Keramik”, tepatnya berlokasi di Kasongan, Tirto, Bangunjiwo, Kasihan,
Bantul Yogyakarta.

Gerabah yang dipajang di showroom Timbul merupakan gerabah seni atau yang
dikenal sebagai keramik hias. Motif-motifnya disesuaikan dengan pesanan. “Kalau
wisatawan lokal biasanya suka warna-warna cerah. Beda dengan wisatawan asing yang lebih
suka warna-warna alami atau warna kusam seperti tanah liat,” jelasnya. Pada tahun 2000-an,
lanjutnya, masyarakat Barat sedang menyukai patung yang memiliki nilai tradisi-spiritual,
seperti patung Budha. Sampai sekarang patung Budha masih menjadi primadona Kasongan.

Banyaknya pedagang seni dari mancanegara yang datang, membuat variasi desain
gerabah kasongan berkembang cukup pesat. Sebelumnya, Kasongan hanya membuat gerabah
untuk keperluan dapur dengan desain sederhana, seperti kuwali, pengaron, kendil, anglo,
cowek, dan sebagainya.
Teknik gores bergaya primitif maupun motif tumbuh-tumbuhan banyak diproduksi
untuk Negara tujuan Australia, Korea Jepang, dan Kanada. Guci bulan bintang dan matahari
banyak diminati oleh Eropa, Australia dan Kanada. Sebanyak 90% produk “Timboel
Keramik” disediakan untuk kebutuhan ekspor, sementara 10% untuk kebutuhan lokal.
Produknya yang termurah adalah suvenir seperti kalung, gelang, dll, dengan harga Rp5000.
Harga paling tinggi untuk vas hias yang tingginya 2,25 m, dijual dengan harga Rp1.500.000.

KARYA-KARYA TIMBUL RAHARJA


NATAS SETIABUDHI
Karya dengan medium keramik
memiliki resiko-resiko yang khas dan seringkali
tak terduga dalam proses pembuatannya
(terutama saat proses pembakaran). Retak,
pecah, melenting adalah beberapa contoh resiko
yang harus selalu siap dihadapi oleh para
pembuat keramik. Dan resiko-resiko itulah yang
menantang dan melatar belakangi Natas
Setiabudhi membuat karya-karyanya dalam
bentuk kubus. Sebuah tantangan, karena
menurutnya (seperti tertulis dalam leaflet
pameran) resiko-resiko di atas berpotensi lebih
besar untuk terjadi pada bentuk-bentuk keramik
yang berbidang dan bersudut.
Dan jawaban dari tantangan itu,
diperlihatkan Natas melalui karya pada
pameran tunggalnya di S14 (Jalan Sosiologi
No. 14) yang berlangsung tanggal 17 Oktober –
7 November 2012. Pamerannya ini diberi judul
“Landscape #2”. Meski merupakan karya keramik, karya Natas kali ini memilih berakrab
dengan dinding (daripada diatas base). Karya-karya keramiknya berupa modul-modul
berbentuk dasar kubus berwarna putih, berukuran kecil dan terdapat tiga macam modul.
Pertama kubus dengan permukaan rata –disebut oleh Natas- sebagai modul netral. Kedua
bentuk kubus dipadu dengan bentuk piramida yang menjorok ke dalam, sehingga pada tiap
permukaan akan kubus akan terdapat cekungan berbentuk piramida, ini disebut modul
negatif. Terakhir, bentuk kubus dipadukan dengan bentuk piramida yang menonjol ke luar
pada permukaan kubus, inilah modul positif.

Karya Natas pada pameran kali ini, ditambatkan pada dinding sehingga menghadirkan
sifat relief yang timbul. Pemasangan di dinding berpengaruh pada keleluasaan saat apresiator
memasuki ruang pamer, mengingat ukuran ruang yang bisa disebut kecil. Karyanya terpajang
pada dua dinding sisi ruangan yang saling berseberangan. Natas menyusun keramik-keramik
kubusnya, dengan susunan baris dan kolom yang tertata rapi meski tidak bisa segera disusur
apakah ada pola atau rumus yang dipakai dalam penyusunan karya tersebut. Pada dinding
pertama, susunan yang ada terdiri dari perpaduan modul-modul netral dan negatif. Sementara
pada dinding di sisi seberang, terdiri dari susunan perpaduan modul-modul netral dan positif.
Selain jumlah modul, Natas juga bermain dengan jarak, tidak semua modul disusun rapat.

Gagasan pertama yang tergugah dalam kepala ketika melihat karya itu adalah bahwa
susunan pada kedua dinding yang berseberangan itu sama, sehingga seandainya kedua
dinding dirapatkan, tiap modul akan saling berhimpit, tonjolan piramida tepat masuk ke
dalam cekungan piramida. Tapi, setelah diamati ternyata susunan pada tiap dinding –jumlah
modul dan jaraknya- berbeda, sehingga gagasan pertama di atas gugur. Melihat dengan jarak
agak jauh, sekilas ingatan kita akan dibawa pada permainan ‘tertris’, sebuah permainan yang
mengharuskan pemain menyusun modul-modul kotak.
Selain gagasan yang bisa saja muncul
di kepala kita, kita juga mendapat
pengalaman melalui cerapan visual.
Berhadapan dengan karya Natas kali ini, kita
bisa menikmati bagaimana perpaduan
bentuk kubus dan piramid (baik positif dan
negatif), Tidak hanya bentuk pada tiap
modul, tapi kita juga bisa menikmati bentuk
secara keseluruhan yang terbangun dari
kepaduan komposisi ukuran –dan jumlah
susunan- modul, modul dengan dinding yang
muncul dengan adanya jarak jeda antar tiap
modul dan secara menyeluruh juga antara
karya dengan ruangan. Adapula perpaduan warna antara putih mengkilap pada keramik, putih
dinding yang pekat serta warna gelap (abu-abu) yang tebentuk dari cahaya lampu yang jatuh
pada permukaan karya yang memiliki bermacam perbedaan ketinggian. Dengan begitu,
sebenarnya yang paling utama dihasilkan karya Natas bagi pengalaman cerapan visual kita
adalah perihal prinsip-prinsip formal karya seni rupa (komposisi, irama, keseimbangan dan
sebagainya).

Tapi kita boleh saja penasaran dengan judul ‘landscape’ yang diberikan Natas bagi
pamerannya kali ini. Bagi kita, ‘landscape’ sering diartikan dengan pemandangan alam, maka
bila begitu bagaimana kita bisa menemukan pengertian itu pada karya Natas..? Dalam karya
ini, kita melihat bentuk-bentuk geometris seperti kotak, segitiga, kubus atau prisma. Bentuk-
bentuk ini memungkinkan membawa ingatan kita pada apa yang kita lihat pada peta. Dalam
peta, kita melihat bentang alam (pemandangan) dalam simbol-simbol yang hadir dalam
bentuk yang terabstraksi (gunung-segitiga, sungai-garis meliuk, kota-kotak, dan sebagainya).
Tapi, pengalaman ini pun sebenarnya sudah sangat kabur pada karya Natas, karena pertama:
kita hanya melihat dua bentuk utama kotak (kubus) dan segitiga (prisma), kedua: kita hanya
melihat warna putih dan abu. Maka boleh jadi, sebenarnya yang bisa lebih terwakilkan
muncul dalam karya Natas, justru adalah ‘pemandangan kota’ karena kita seakan melihat
kumpulan-kumpulan bentuk kotak yang tersekat-sekat oleh jarak, ini megingatkan pada
kompleks gedung perkantoran, perumahan, serta jalan raya di perkotaan (bila kita melihat
dari atas).

Akhirnya, yang utama, kita mendapat stimulus untuk menikmati ‘syair rupa’
(komposisi, irama, dan sebagainya) dalam karya Natas. Kalaupun karya ini memancing
ingatan kita tentang pemandangan alam atau kota, kita hanya mendapatkannya secara
terabstraksi. Bukantah dalam keseharian pun, ingatan tentang apa yang kita lihat atau alami
dari kenyataan sehari-hari, seringkali muncul dalam bentuk sepotong-sepotong -yang
terabstraksi dan terdistorsi- dan ia tak selalu bisa hadir seutuhnya.
KARYA-KARYA NATAS SETIYABUDHI
F. WIDAYANTO

F. Widayanto lahir di Jakarta pada


23 Januari 1953. Ia masuk Fakultas Seni
Rupa dan Desain ITB pada tahun 1981.
Di sinilah Widayanto muda belajar
keramik dari dua guru tersohor, Eddie
Kartasubarna dalam hal seluk beluk
keramik dan Rita Widagdo yang
memperkenalkan prinsip estetika seni
modern2. Sebagai seorang keramikus di
era yang serba ‘kontemporer’ ini,
Widayanto memilih untuk berjalan di
jalur tradisional, dengan elemen – elemen
dekoratif yang hampir pasti selalu
menyertai setiap karyanya, baik karya
ekspresi maupun fungsional.

Kecenderungan untuk menuju ke


arah ini sebetulnya sudah terlihat
semenjak ia kuliah di ITB. Meskipun memiliki guru – guru yang memiliki kecenderungan
modernis, ia malah memilih untuk menjauh. Ia kemudian hanya mengambil prinsip – prinsip
dasar estetika modern, untuk kemudian dieksplorasi dalam karya – karya keramiknya.
Ketertarikan kepada unsur tradisional serta tema – tema yang dekoratif itu muncul karena
dalam pandangannya, hal itu merupakan kekayaan bangsa yang harus dilestarikan. Sampai
sekarang, F. Widayanto masih setia dengan tema-tema dekoratif dan tradisi yang diusungnya.

Dalam beberapa pameran tunggal yang pernah diselenggarakan, Widayanto acap kali
mengangkat tradisi – tradisi Jawa. Baginya kedekatan dengan budaya tradisional merupakan
sebuah hal yang bisa dieksplorasi oelh para keramikus Indonesia. Pameran Loro Blonyo serta
Ukelan misalnya, menampilkan budaya – budaya Jawa yang kemudian diberi sentuhan
kekinian, sehingga tidak jarang menjadi sebuah ikon baru yang unik dan inovatif. Dalam
beberapa pameran terakhirnya, Widayanto juga mengekspos budaya Hindu – Buddha yang
telah lama berakar dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Kesetiaannya pada tradisi seperti
merupakan sebuah perlawanan dari kecenderungan seni kontemporer yang semakin bergerak
bebas tak tentu arah.

Untuk seniman keramik, skill dan pengetahuan teknis merupakan komponen penting
dan utama. Dalam konteks ini, karya – karya Widayanto jelas memiliki aspek teknis yang
sangat tinggi. Kemampuan artistiknya dalam mengolah figure dari lempung dan penerapan
glasir, menjadikannya sebagai seniman yang mampu menggabungkan antara ekspresi budaya
Jawa dengan semangat modern yang menyentil3. Baginya, tanah sama seperti kanvas,
perunggu, perak atau emas. Seorang pelukis akan sangat menghargai kanvas sebagai wadah
berekspresi. Ia juga memaknai tanah sebagai wahana yang bisa diajak berdialog, berekspresi
dan mengaktualisasikan diri. Itulah sebabnya barangkali, Ia tidak pernah ambil pusing dengan
segala macam perdebatan mengenai posisi seni keramik dalam konstelasi seni rupa masa kini.
Bagi dirinya, keramik adalah medium yang menarik sekaligus menyulitkan. “Yang menarik
di keramik kira-kira begini. Semua barang kalau dibakar akan rusak. Tapi ternyata, keramik
membalikkannya, semua barang yang dibakar justru semakin kuat,” ungkap Widayanto. Hal
ini, memang terkadang menjadi batu sandungan bagi mereka yang baru belajar keramik.
Tingkat kesulitan yang tinggi untuk menguasai keramik kadang menjadikan seseorang
berhenti mempelajari material ini. Padahal menurut pria dengan kumis tebal ini, tidak pernah
menyerah adalah satu – satunya jalan untuk meraih kesuksesan sebagai keramikus.

Membicarakan F. Widayanto juga berarti berbicara tentang kemampuan


manajemennya yang baik serta jiwa entrepreneurship yang selalu ia bagikan kepada setiap
orang. Perjalanan karirnya sebagai seorang senimak keramik didukung pula dengan kondisi
finansial yang baik, yang sebagian besar berasal dari bisnis keramiknya. Usai pameran
perdananya di Erasmus Huis pada tahun 1987 yang bertajuk ‘Wadah Air’, Widayanto
memutuskan untuk membuka sebuah studio di daerah Tapos, Bogor. Studio tersebut
kemudian berkembang menjadi pusat produksi barang – barang fungsional miliknya.
Kemampuan manajemen Widayanto yang baik membuat usaha itu semakin berkembang
dengan membuka beberapa outlet serta Galeri pribadi di berbagai tempat, Tanah Baru
(Depok), Setiabudi dan Panglima Polim (Jakarta). Hal inilah yang membuatnya berbeda
dengan seniman – seniman (keramik) lainnya. Ia mampu mengembangkan diri di antara
kecenderungan menciptakan keramik sebagai alat ekspresi diri serta keramik sebagai alat
bantu kehidupan manusia. Kini, Ia bekerja sama dengan seniman dari Jepang Nikko
Kobayashi untuk mengembangkan lini produk terbarunya yang berbahan dasar porselen.

Karya-Karya F. Widayanto
KERAMIK JENGGALA

Keramik Jenggala ditemukan


pada tahun 1976 di Batujimbar. Dengan
ketepatan dalam berpikir lurus yang kuat
membawa bersama ketiga pemikir
kreatif dari latar belakang yang berbeda.
Brent Messelyn terakhir adalah seniman
yang berasal dari Selandia Baru yang
berspesialis dibidang seni gerabah dan
desain keramik. Hasratnya untuk budaya
yang kaya dan estetik Bali menjadi
latihan seninya, ketika pengelihatan
inovasinya menghasilkan kemampuan
desain yang membuktikan keduanya menyegarkan dan fungsional.
Wija Waworuntu terakhir, sebuah hotel magnate lokal, membawa aspek berorientasi
bisnis menuju Hesselyn’s creativity. Ade Waworuntu yang merupakan putri dari Wija
mengkonstribusi point-of-view kontemporari dan mind sset yang dengan aspek sosial yang
kuat untuk menghasilkan produk Jenggala. Desain yang akan meningkatkan ruang berbagi
dan nilai tradisi untuk orang-orang yang berbeda dan dari latar belakang yang beragam. lebih
dari tiga dekade terakhir karakter dari tiga penemu Jenggala Keramik telah bertahan hingga
menjadi kaya dari hasrat tiap individual yang sama tentang kualitas dan kekreativitas
kerajinan tangan dan desain yang baik. Beragam seniman internasional dan lokal telah
mengkonstribusi untuk perusahaan Jenggala dengan memperluas perspektif bisnis yang
berbeda.

KARYA-KARYA JENGGALA KERAMIK


TANTERI KERAMIK BALI

Tanteri Keramik adalah


perusahaan yang memperoduksi
perabotan dari keramik yang bertempat di
Bali. Perusahaan tersebut berdiri sejak
1987 dan memproduksi keramik dalam
lingkup yang luas seperti perabotan meja,
dekorasi rumah, Spa, dan hiasan kamar
mandi dan suvenir. Perusahaan ini sudah
mengekspor ke banyak negara seperti
Amerika, Jerman, Swiss, Australia,
Jepang, Malaysia, Singapura, Korea
Selatan, dan India. Dengan memasukkan
unsur seni budaya Bali, mereka bangga
dengan mampu menciptakan kerajinan gerabah dekorasi dari material yang terbaik,
berpengalaman, dan seniman yang bertalenta untuk menciptakan karya yang hebat,
fungsional, unik, indah, fantastik, dan sangat menawan yang dedikasikan untuk para
pecinta seni gerabah.
Tanteri Keramik mendapatkan penghargaan dari Primaniyarta award yang merupakan
penghargaan terbaik untuk eksporter Indonesia yang tersukses yang diberikan oleh
Pemerintah Republik Indonesia. Selain itu, Tanteri Keramik diakui oleh International
Standard for Quality Management Systems (QMS) ISO 9001:2000 atas pencapaian yang luar
biasa.

KARYA-KARYA TANTERI KERAMIK BALI

Anda mungkin juga menyukai