Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Banyaknya karya seni rupa yang biasa dapat dijumpai dalam pameran-
pameran, terutama karya-karya yang bertajuk kriya. Selain dapat menikmati
keindahan-keindahan secara visual, akan lebih memuaskan lagi apabila dapat
menemukan bobot yang tersirat dalam sebuah karya seni yang diciptakan oleh
seniman. Untuk memahami esensi atau kandungan makna dalam sebuah karya
seni, tentunya membutuhkan kemampuaan otak dalam menalar atau membaca
sebuah tanda. Secara teknis dapat dilakukan dengan teori trikotomi Charles
Sander Peirce yakni qualising, sinsign, dan legisign.

Penelitian ini merujuk pada karya seni keramik yang diciptakan oleh
mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bernama Agus Munif
Mudhofar, dengan karyanya yang berjudul “Gambas dimakan Ulat”. adapun
ketertarikan dalam penelitian ini karena karya yang diciptakan tersebut terkesan
simbolik atau memiliki makna tersendiri, sehingga membuat penasaran penulis
dan ingin membedahnya.

PAPARAN TEORI

Gambas merupakan sejenis sayuran yang biasa dijadikan sayuran untuk


dikonsumsi. Gambas berbentuk bulat panjang, berwarna hijau, dan berusuk-rusuk
(lingir), jumlah rusuk yang jelas adalah sebanyak 10. Jika gambas dibelah akan
berbentuk menyerupai roda yang bergigi. Gambas memiliki tanaman yang
batangnya merambat menggunakan sulur-sulur, daunnya menjari dan berakar
tunggang (Rukmana & Yudirachma, 2016:102)

Sebelum abad-19, benda keramik belum diakui sebagai medium untuk


menyampaikan ekspresi pribadi. Saat itu benda keramik merupakan hasil
penciptaan perajin sehingga walaupun hasul karyanya seindah keramik Cina,
Jepang, dan Korea, tetaplah dikatakan hasil kerajinan. Hal yang menggembirakan
yaitu pada akhir abad-19, di Eropa muncul gerakan seni dan kerajinan yang
dikenal sebagai Arts and Craft Movement yang dipelopori oleh William Morris
(1834-1896) yang kemudian disebarluaskan melalui tulisan inspiratif John Ruskin
(1819-1900). Gerakan ini sebagai reaksi perlawanan terhadap kekacauan sosial,
seni, dan bidaya pada masa revolusi industri (Gautama, 2011:13). Memasuki awal
abad-20, keramik memberikan perlawanan terhadap produk-produk murah yang
dibuat masal melaui dua orang pelopornya yakni Bernard Lech (Inggris) dan
rekan seprofesinya Shoji Hamada (Jepang). Oleh sebab itu pula seniman-seniman
ternama seperti Picasso, Gauguin, dan Joan Miroda turut menggunakan tanah liat
sebagai medianya. Tetapi hanya sebagai pengganti kanvas atau bidang gambar
yang bisa digunakan untuk melukis (Gautama, 2011:14). Baru pada tahun 1950-an
melalui seniman Amerika, Peter Voulkos, tanah liat mulai diapresiasi sebagai seni
pribadi dan ekspresif dimana karya-karya yang berbahan tanah liat mulai masuk
ke museum-museum dan galeri. Saat ityu pula tanah liat mempunyai derajat yang
sama dengan media-media yang lain. Melalui seniman-seniman yang dibimbing
Voulkos, mempunyai pikiran baru dan berani yakni keramik tidah hanya
dipandang sebagai benda kerajinan atau fungsional semata. Tetapi keramik adalah
seni tanah liat (Gautama, 2011:15).

Charles Sander Peirce (1839-1914) merupakan salah satu bapak pelopor


semiotika pada era modern yang berasal dari Amerika. Walaupun sebenarnya ahli
filsafat Jerman, Lambert pada abad XVIII juga memakai kata semiotika.
Semiotika adalah ilmu tanda, istilah ini berasal dari kata Yunani semion yang
berarti tanda. Menurut pearce, makna tanda yang sebenarnya adalah
mengemukakan sesuatu (Sudjima & Zoest, dalam Bahari, 2008:106).

Pemahaman akan struktur semiotika menjadi dasar yang tidak bisa


ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang
penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji
objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang
penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari jalur logika
(Santosa & Zoest, dalam Sobur, 2002:97).

Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground, berikut ini adalah teori
trikotomi Peirce yang berkaitan dengan ground yakni:
Qualisign: merupakan tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya.
Qualisign berawal dari kata ‘qual’ yang merujuk pada ‘quality’. Qualisign adalah
tanda yang berkaitan dengan sifatnya atau kualitasnya. Misalnya, sifat warna
merah adalah qualisign, karena dapat dipakai menjadi tanda untuk menunjukan
cinta, bahaya atau larangan (Zoest, dalam Bahari, 2008:107).

Sinsign: merupakan tanda yang berdasarkan dari bentuk perwujudannya


atau yang dapat dilihat dengan indra. Kata ‘sin’ berasal dari kata ‘singulary’.
Contoh dari tanda sinsign misalnya suara jeritan, dapat berarti senang atau
kesakitan. Seseorang dapat dikenali dengan caranya berjalan, berdehem, dan
tertawa (Zoest, dalam Bahari, 2008:108).

Legisign: tanda yang menjadi tanda berdasarkan kesepakatan atau


konvensional, yang berlaku umum, dan kode. Semua tanda-tanda bahasa adalah
legisign. Sebab bahasa adalah kode, dan setiap legisign mengandung sinsign,
yakni suatu peraturan yang berlaku umum (Zoest, dalam Bahari, 2008:108).
DATA ACUAN PENELITIAN

Gambar: Gambas dimakan Ulat


Sumber: (dokumentasi Penulis)

Judul karya : Penyakit Anak Muda


Media : Tanah Stoneware (Sukabumi)
Seniman : Agus Munif Mudhofar
Tahun : 2017
PEMBAHASAN
Keramik telah ada puluhan ribu tahun yang lalu. Satu sumber mengatakan
bahwa keramik telah ada sejak zaman Netherthal (70.000-35.000 SM) yaitu
karena telah ditemukannya wadah dari tanah liat yang dibakar. Tetapi keramik
pada waktu itu masih belum bermotif Keramik dekoratif mulai ditemukan setelah
memasuki zaman es (Ice Age, homosapien 37.000-12.000 SM).

A. DESKRIPSI KARYA
Karya keramik ini merupakan salah satu karya yang diciptakan oleh Agus
Munif M pada tahun 2017 selama menjadi akademisi di Institit Seni Indonesia
Yogyakarta. Secara tekstual karya yang diciptakan ini ialah sebuah representasi
“gambas yang dimakan ulat”. Gambas berwarna luar hijau, berwarna dalam putih
dan bergaris-garis. terdapat satu helai daun dan tanamannya menjalar melilit
gambas. Terlihat pula sepotong bagian gambas yang jatuh di dasar.

B. ANALISIS

Untuk menganalisa karya keramik tersebut perlu adanya pendekatan atau


peninjauan yang meliputi beberapa komponen pada karya tersebut, yakni ide,
material bahan, teknis pembuatan, dan unsur estetika seni rupa.

1. Ide. Ide atau gagasan dari karya tersebut yaitu terinspirasi dari sebuah
gambas yang dimakan oleh seekor ulat. gambas merupakan bagian dari
alam ini yang tergolong ke dalam flora. Sdangkan ulat tergolang sebgai
fauna. Kedua jenis tersebut merupakan sesuatu yang ada di alam ini.
Dengan demikian karya tersebut tergolong karya seni yang meniru alam.
Plato, filsuf Yunani Kuno menjelaskan bahwa, seni dianggap sebagai
tiruan alam atau “mimesis” (dari mimic, mimos, seasal dengan istilah
mimicry dalam ilmu hayat) (Soedarso SP, 1987:26).
2. Secara material bahan. Karya tersebut menggunakan bahan atau media
tanah liat Stoneware Sukabumi. Tanah liat stoneware termasuk lempung
sedimenter, berbutir sedang, plastis, merupakan bahan tunggal atau tanpa
campuran bahan lainnya, juga merupakan gabungan antara ball clay dan
fire clay dengan sifatnya masing-masing; bahan ini mudah dikerjakan
dengan baik, dapat dibakar rapat; warna mentahnya abu-abu, kuning kotor;
warna bakarnya abu-abu (di luar putih), krem, sampai cokelat karena kadar
besi dan titanium oksida cukup tinggi. Dapat dibakar dengan suhu tinggi
sekitar 1205°C-1260°C (Astuti. 2008:8).
Kemudian, karya tersebut menggunakan bahan gelasir yang
berwarna hijau dengan sedikit terlihat mengkilap. Gelasir adalah
pemberian lapisan gelas pada benda keramik, dapat berupa lapisan matt
(tidak mengkilap), ataupun licin, dan dapat pula lapisan yang mengkilap.
Jadi, gelasir merupakan suatu macam gelas khusus yang diformulasikan
secara kimia agar dapat melekat dan menjadi keras pada permukaan tanah
liat, atau melebur ke dalam bodi tanah liat bila dibakar. Adapun fungsi
gelasir yakni supaya lebih mudah dibersihkan, lebih kuat dan tidak tembus
air, serta dengan adanya pewarna dapat memberikan efek dekorasi (Astuti.
202008:8). Adapun unsur-unsur yang terkandung pada gelasir yakni
kwarsa, kapur, feldspar, dan kaolin. Gelasir dasar tersebut kemudian
dicampurkan dengan pewarna oksida atau pigmen sehingga menghasilkan
warna (Gautama, 2011:68-69).
3. Secara Teknik. Pada dasarnya dalam membuat keramik terdapat beberapa
teknik dasar. Teknik pijit, teknik putar, teknik slab, dan teknik pilin.
Adapun teknik cetak merupakan teknik yang biasa digunakan dalam
industri (Gautama, 2011:36). Teknik yang diterapkan dalam menciptakan
karya tersebut ialah teknik pijit dan pilin. Teknik pijit adalah teknik ini
merupakan teknik paling dasar yang harus dikuasai dalam membentuk
tanah liat, karena teknik ini akan berguna pula untuk teknik-teknik yang
lain. Tekniknya sangat sederhana yakni hanya menggunakan dua buah jari
tangan ibu jari dan telunjuk untuk memencet (Gautama, 2011:36). Teknik
pilin merupakan teknik yang sederhana, yaitu membentuk tanah liat
menyerupai tali sesuai dengan ketebalan dan kepanjangan yang
diinginkan. Teknik ini berguna apabila digunakan untuk mewujudkan
bentuk yang silinder (Gautama, 2011:36).
4. Secara unsur estetika seni rupa. Karya tersebut dari segi unsur seni rupa
sudah nampak menerapkan, di antaranya meliputi garis, tekstur, warna,
dan bidang. Garis memiliki dimensi ukuran dan arah tertentu. Ia bisa
pendek, panjang, halus, kasar, tebal berombak, lurus, melengkung dan
sifat yang lainnya. Tekstur adalah kesan halus dan kasarnya sebuah karya.
Warna adalah gelombang cahaya dengan frekuensi yang dapat
memengaruhi penglihatan mata. Bidang adalah suatu bentuk yang
sekelilingnya dibatasi oleh garis. Terdapat dua jenis bidang yakni bidang
geometris dan bidang organis. Bidang geometris seperti lingkaran atau
builatan, segi empat, segi tiga, dan segi-segi yang lainnya. Bidang organis
yakni bidang dengan bentuk bebas yang terdiri dari bentuk yang tak
terbatas (Bahari, 2008:99-101).
Garis-garis yang terdapat pada karya tersebut terlihat tegas dan
semakin ke atas semakit mengerucut. Tekstur pada karya tersebut yakni
kasar seperti halnya gambas pada umunya. Bidangnya cukup proporsional
dan bulat memanjang sudah cukup menyerupai dengan gambas. Akan
tetapi terlihat bagian-bagian yang terkesan ekspresif yakni pada potongan
gambas terdapat kulit gambas yang masih tidak terpotong dan terdapat
sulur atau batang gambas yang melilit gambas. Serta daunnya masih
kurang menyerupai daun gambas. Warna pada karya tersebut nampak
berwarna hijau tua atau warna dingin. Warna pada karya tersebut sedikit
kurang menyerupai dengan warna gambas pada umumnya atau sedikit
kurang terang.

INTERPRETASI

Untuk itu, dengan teori Peirce Qualisign, Sinsign, dan Legisign akan
penulis bedah tanda atau makna yang kemungkinan sama dengan apa yang
terdapat dalam karya tersebut. Walaupun dalam pembedahan atau penelitian ini
tidak lepas dari hipotesa dan interpretasi penulis. Penelitian makna karya tersebut,
berawal pada judul karya hingga kaitannya dengan perwujudan karya. Adapun
teori untuk membedahnya yakni teori trikotomi Qualisign, Sinsign, dan Legisign.

Qualisign: merupakan tanda yang berdasarkan dari sifat (belum kongkrit


atau berwujud). Secara qualisign, sifat-sifat yang dapat dikaitkan dengan karya
tersebut yang meliputi gambas berwarna hijau, bergaris-garis cenderung vertikal,
dan apabila terbelah dalamnya berwarna putih, kemudian dimakan ulat Sifat-sifat
yang tercantum dalam gambas tersebut dapat dijadikan sebagai tanda seperti
penggolongongan berikut ini

Anak Muda: Gambas berwarna hijau

Fleksibel, luwes, mudah bergaul : Tanaman gambas yang dapat merambat ke


segala arah.

Berkeyakinan Lurus: Garis-garis vertikal.

Rusak dan hancur: Ulat

Sinsign: tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk atau rupanya di


dalam kenyataan. perwujudan yang terdapat pada karya keramik tersebut ialah
perwujudan “gambas dimakan ulat”, yang terdiri atas gambas dengan karakternya
yaitu, warna hijau dan putih, garis-garis cenderung vertikal. Sehelai daun gambas,
dan tanaman dengan batang menjalar. Setiap sinsign mengandung sifat sehingga
juga mengandung qualisign (Bahari, 2008: 108). Jadi pada sinsign ini apa yang
menjadi sifat pada qualisign terkait pula dalam perwujudan karya tersebut.
misalnya

Legisign:

KESIMPULAN
Semiotika merupakan ilmu tanda yang dapat dipakai dalam memahami
sesuatu termasuk dalam meneliti sebuah karya seni. Pendekatan semiotika yang
merujuk pada teori trikotomi Charles Sander Peirce (qualisign, sinsign, legisign)
memberikan alternatif tersendiri dan membantu memudahkan proses pembedahan
karya. Qualisign merupakan tanda yang berawal dari sifat. Sinsign merupakan
tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk. Legisign merupakan tanda yang
dapatcmenjadi konvensional, dan menjadi kode.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya tersebut merupakan karya


seni rupa yang terinspirasi akan sesuatu yang terdapat pada alam, kemudian
diciptakan menggunakan media keramik dengan

Anda mungkin juga menyukai