Banyaknya karya seni rupa yang biasa dapat dijumpai dalam pameran-
pameran, terutama karya-karya yang bertajuk kriya. Selain dapat menikmati
keindahan-keindahan secara visual, akan lebih memuaskan lagi apabila dapat
menemukan bobot yang tersirat dalam sebuah karya seni yang diciptakan oleh
seniman. Untuk memahami esensi atau kandungan makna dalam sebuah karya
seni, tentunya membutuhkan kemampuaan otak dalam menalar atau membaca
sebuah tanda. Secara teknis dapat dilakukan dengan pendekatan teori trikotomi
Charles Sander Peirce yakni; qualising, sinsign, dan legisign.
Penelitian ini merujuk pada karya seni keramik yang diciptakan oleh
mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bernama Agus Munif
Mudhofar, dengan karyanya yang berjudul “Rusaknya Mental Anak Muda”.
adapun ketertarikan dalam penelitian ini karena karya yang diciptakan tersebut
terkesan simbolik atau memiliki makna tersendiri, sehingga membuat penasaran
penulis dan ingin membedahnya.
PAPARAN TEORI
Keramik telah ada puluhan ribu tahun yang lalu. Satu sumber mengatakan
bahwa keramik telah ada sejak zaman Netherthal (70.000-35.000 SM) yaitu
karena telah ditemukannya wadah dari tanah liat yang dibakar. Tetapi keramik
pada waktu itu masih belum bermotif Keramik dekoratif mulai ditemukan setelah
memasuki zaman es (Ice Age, homosapien 37.000-12.000 SM). Kemudian
keramik yang dibuat dengan teknik putar mulai ditemukan sekitar tahun 4000 SM
di daerah Mesopotamia ke arah selatan, yang diduga penggunaan meja putar
1
teknik tendang sudah dimulai pada waktu itu sekitar tahun 2300 SM (Gautama,
2011:11).
Baru pada tahun 1950-an melalui seniman Amerika, Peter Voulkos, tanah
liat mulai diapresiasi sebagai seni pribadi dan ekspresif dimana karya-karya yang
berbahan tanah liat mulai masuk ke museum-museum dan galeri. Saat ityu pula
tanah liat mempunyai derajat yang sama dengan media-media yang lain. Melalui
seniman-seniman yang dibimbing Voulkos, mempunyai pikiran baru dan berani
yakni keramik tidah hanya dipandang sebagai benda kerajinan atau fungsional
semata. Tetapi keramik adalah seni tanah liat (Gautama, 2011:15).
2
berarti tanda. Menurut peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah
mengemukakan sesuatu (Sudjima & Zoest, dalam Bahari, 2008:106).
Karya seni merupakan simbol atau kategori tempat yang dibuat oleh
manusia secara sengaja, di dalamnya terdapat simbol manasuka (arbitrary
symbol) maupun simbol ikonik (iconic symbol). Simbol-simbol dalam berkesenian
merupakan simbol ekspresif yang berkaitan dengan perasaan atau emosi manusia
(Person, dalam Bahari, 2008:106). Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground
yang sangat bersifat individual (Bahari, 2008:107), berikut ini adalah teori
trikotomi Peirce yang berkaitan dengan ground yakni:
3
Sebab bahasa adalah kode, dan setiap legisign mengandung sinsign, yakni suatu
peraturan yang berlaku umum (Zoest, dalam Bahari, 2008:108).
4
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Karya
Karya keramik ini merupakan salah satu karya yang diciptakan oleh Agus
Munif M pada tahun 2017 selama menjadi akademisi di Institit Seni
Indonesia Yogyakarta. Secara tekstual karya yang diciptakan ini ialah sebuah
representasi “Rusaknya Mental Anak Muda”. Gambas berwarna luar hijau,
berwarna dalam putih dan bergaris-garis. terdapat satu helai daun dan
tanamannya menjalar melilit gambas. Terlihat pula sepotong bagian gambas
yang jatuh di dasar.
B. Analisa
1. Ide. Ide atau gagasan dari karya tersebut yaitu terinspirasi dari sebuah
gambas yang dimakan oleh seekor ulat. gambas merupakan bagian dari
alam ini yang tergolong ke dalam flora. Sdangkan ulat tergolang sebgai
fauna. Kedua jenis tersebut merupakan sesuatu yang ada di alam ini.
Dengan demikian karya tersebut tergolong karya seni yang meniru alam.
Plato, filsuf Yunani Kuno menjelaskan bahwa, seni dianggap sebagai
tiruan alam atau “mimesis” (dari mimic, mimos, seasal dengan istilah
mimicry dalam ilmu hayat) (Soedarso SP, 1987:26).
2. Secara material bahan. Karya tersebut menggunakan bahan atau media
tanah liat Stoneware Sukabumi. Tanah liat stoneware termasuk lempung
sedimenter, berbutir sedang, plastis, merupakan bahan tunggal atau tanpa
campuran bahan lainnya, juga merupakan gabungan antara ball clay dan
fire clay dengan sifatnya masing-masing; bahan ini mudah dikerjakan
dengan baik, dapat dibakar rapat; warna mentahnya abu-abu, kuning kotor;
5
warna bakarnya abu-abu (di luar putih), krem, sampai cokelat karena kadar
besi dan titanium oksida cukup tinggi. Dapat dibakar dengan suhu tinggi
sekitar 1205°C-1260°C (Astuti. 2008:8).
Kemudian, karya tersebut menggunakan bahan gelasir yang
berwarna hijau dengan sedikit terlihat mengkilap. Gelasir adalah
pemberian lapisan gelas pada benda keramik, dapat berupa lapisan matt
(tidak mengkilap), ataupun licin, dan dapat pula lapisan yang mengkilap.
Jadi, gelasir merupakan suatu macam gelas khusus yang diformulasikan
secara kimia agar dapat melekat dan menjadi keras pada permukaan tanah
liat, atau melebur ke dalam bodi tanah liat bila dibakar. Adapun fungsi
gelasir yakni supaya lebih mudah dibersihkan, lebih kuat dan tidak tembus
air, serta dengan adanya pewarna dapat memberikan efek dekorasi (Astuti.
202008:8). Adapun unsur-unsur yang terkandung pada gelasir yakni
kwarsa, kapur, feldspar, dan kaolin. Gelasir dasar tersebut kemudian
dicampurkan dengan pewarna oksida atau pigmen sehingga menghasilkan
warna (Gautama, 2011:68-69).
3. Secara Teknik. Pada dasarnya dalam membuat keramik terdapat beberapa
teknik dasar. Teknik pijit, teknik putar, teknik slab, dan teknik pilin.
Adapun teknik cetak merupakan teknik yang biasa digunakan dalam
industri (Gautama, 2011:36). Teknik yang diterapkan dalam menciptakan
karya tersebut ialah teknik pijit dan pilin. Teknik pijit adalah teknik ini
merupakan teknik paling dasar yang harus dikuasai dalam membentuk
tanah liat, karena teknik ini akan berguna pula untuk teknik-teknik yang
lain. Tekniknya sangat sederhana yakni hanya menggunakan dua buah jari
tangan ibu jari dan telunjuk untuk memencet (Gautama, 2011:36). Teknik
pilin merupakan teknik yang sederhana, yaitu membentuk tanah liat
menyerupai tali sesuai dengan ketebalan dan kepanjangan yang
diinginkan. Teknik ini berguna apabila digunakan untuk mewujudkan
bentuk yang silinder (Gautama, 2011:36).
4. Secara unsur estetika seni rupa. Karya tersebut dari segi unsur seni rupa
sudah nampak menerapkan, di antaranya meliputi garis, tekstur, warna,
6
dan bidang. Garis memiliki dimensi ukuran dan arah tertentu. Ia bisa
pendek, panjang, halus, kasar, tebal berombak, lurus, melengkung dan
sifat yang lainnya. Tekstur adalah kesan halus dan kasarnya sebuah karya.
Warna adalah gelombang cahaya dengan frekuensi yang dapat
memengaruhi penglihatan mata. Bidang adalah suatu bentuk yang
sekelilingnya dibatasi oleh garis. Terdapat dua jenis bidang yakni bidang
geometris dan bidang organis. Bidang geometris seperti lingkaran atau
builatan, segi empat, segi tiga, dan segi-segi yang lainnya. Bidang organis
yakni bidang dengan bentuk bebas yang terdiri dari bentuk yang tak
terbatas (Bahari, 2008:99-101).
Garis-garis yang terdapat pada karya tersebut terlihat tegas dan
semakin ke atas semakit mengerucut. Tekstur pada karya tersebut yakni
kasar seperti halnya gambas pada umunya. Bidangnya cukup proporsional
dan bulat memanjang sudah cukup menyerupai dengan gambas. Akan
tetapi terlihat bagian-bagian yang terkesan ekspresif yakni pada potongan
gambas terdapat kulit gambas yang masih tidak terpotong dan terdapat
sulur atau batang gambas yang melilit gambas. Serta daunnya masih
kurang menyerupai daun gambas. Warna pada karya tersebut nampak
berwarna hijau tua atau warna dingin. Warna pada karya tersebut sedikit
kurang menyerupai dengan warna gambas pada umumnya atau sedikit
kurang terang.
C. Interpretasi
Untuk itu, dengan teori Peirce Qualisign, Sinsign, dan Legisign akan
penulis bedah tanda atau makna yang kemungkinan sama dengan apa yang
terdapat dalam karya tersebut. Walaupun dalam pembedahan atau penelitian
ini tidak lepas dari hipotesa dan interpretasi penulis. Penelitian makna karya
tersebut, berawal pada judul karya hingga kaitannya dengan perwujudan
karya. Adapun teori untuk membedahnya yakni teori trikotomi qualisign,
sinsign, dan legisign.
7
Qualisign: Merupakan tanda yang berdasarkan dari sifat (belum kongkrit
atau berwujud). Secara qualisign, sifat-sifat yang dapat dikaitkan dengan
karya tersebut yang meliputi gambas berwarna hijau, bergaris-garis
cenderung vertikal, dan apabila terbelah dalamnya berwarna putih, kemudian
dimakan ulat Sifat-sifat yang tercantum dalam gambas tersebut dapat
dijadikan sebagai tanda seperti penggolongongan berikut ini:
8
3. Tanaman gambas yang dapat merambat ke segala arah atau tempat: dapat
berarti tanda “fleksibel”, “mudah bergaul”, “tidak membeda-bedakan”.
4. Garis-garis vertikal: dapat berarti tanda “berkeyakinan lurus, “konsisten”,
“berpendirian teguh”.
5. Tanaman atau batang gambas yang melilit gambas dan menjulurkan
setangkai daun berjari 5 dengan posisi menyangga: dapat berarti tanda rasa
sayang orangtua terhadap anaknya, atau buah hatinya.
6. Seekor Ulat: dapat berarti tanda binatang duniawi yang suka memakan
tanaman (merusak, perusak, kerusakan, rusak, atau sumber penyakit).
Legisign: Berasal dari kata lex (hukum), merupakan tanda yang menjadi
tanda berdasarkan aturan yang berlaku umum, suatu konvensi, atau suatu kode.
Semua tanda-tanda bahasa adalah legisign. Setiap legisign mengandung sinsign.
(Bahari, 2008:108). Seniman dalam membuat karya memiliki kebebasan dalam
memaknai atau mengkode karyanya, dalam bahasa umumnya yaitu arbitrer
(manasuka). Jadi, dalam karya tersebut legisign dapat dikategorikan sebagai kode,
atau keseluruhan perwujudan karya yang menjadi satu atau integral yang memiliki
kaidah sehingga menjadi dapat dibahasakan dan dipahami esensinya.
9
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Ambar. 2008, Keramik Bahan Cara Pengerjaan Gelasir, Arindo Nusa
Media, Yogyakarta.
Bahari, Nooryan. 2008, Kritik Senin Wacana Apresiasi Dan Kreasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Gautama, Nia. 2011, Keramik Untuk Hobi Dan Karir, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Sobur, Alex. 2002, ANALISIS TEKS MEDIA Suatu pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing.
PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Soedarso SP. 1987, Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni,
11