Anda di halaman 1dari 10

Persoalan tersebut bermula saat Juni 2012, Telkomsel memutuskan memutus kontrak secara

sepihak dengan PT Prima Jaya selaku rekan bisnis penyedia dan pendistribusi Kartu Prima
Voucher Isi Ulang dan Kartu Perdana Pra bayar Kartu Prima yang berdesain atlet-atlet nasional.
Semula, kerjasama ini disepakati berlangsung selama dua tahun. Kerjasama kedua belah pihak
tercantum dalam dua perjanjian Kerjasama oleh Telkomsel: PKS.591/LG.05/SL-01/VI/2011 dan
oleh Prima Jaya Informatika: 031/PKS/PJI - TD/VI/2011 tertanggal 01 Juni 2011.

Berdasarkan perjanjian kerjasama tersebut, Telkomsel memiliki kewajiban menyediakan


voucher isi ulang bertema khusus olah raga dalam jumlah 120.000.000 lembar yang terdiri dari
Rp 25.000 dan voucher isi ulang Rp 50.000. Kerjasama itu kandas di tengah jalan. Prima Jaya
menuding Telkomsel menghentikan pendistribusian kartu prabayar tersebut sejak 21 Juni 2012
lalu. Padahal Prima Jaya sudah mengirimkan dua kali pemesanan supaya voucher tersebut
dikirimkan. Alhasil, Prima Jaya merasa dirugikan. Nilainya mencapai Rp 5,3 miliar.

Pada Juni 2012, pihak Telkomsel melakukan pemutusan kontrak secara sepihak tanpa
pemberitahuan. PT Prima mengklaim harus menanggung kerugian sekitar Rp 5,3 miliar yang
dinyatakan sebagai utang Telkomsel.

Sementara itu, Kuasa Hukum PJI Kanta Cahya mengatakan hal ini seharusnya tidak perlu terjadi
jika saja Telkomsel tidak menganggap remeh mitranya. Hal ini terlihat dari diacuhkannya somasi
dan surat klarifikasi yang diajukan PJI kepada Telkomsel.

“Kita telah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini di luar persidangan. Namun, upaya
kita benar-benar tidak dihiraukan dan tidak direspon Telkomsel. Akhirnya, kita putuskan untuk
mengajukan permohonan pailit,” tutur Kanta.

Berangkat dari kejadian tersebut, PT Prima Jaya menggugat dan mengajukan permohonan
pailit. Permohonan ini didaftarkan di Pengadilan Jakarta Pusat, 16 Juli 2012 dengan Nomor
Registrasi Perkara 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST. Gugatan pailit karena Telkomsel tidak
membayar dua utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Majelis hakim dipimpin oleh Agus Iskandar dengan sidang yang digelar di PN Jakpus siang ini
pukul 14.00 WIB. Majelis hakim menyatakan gugatan penggugat memenuhi unsur pasal 2 ayat
2 UU Kepailitan yaitu syarat pailit ada utang jatuh tempo dari 2 pihak atau lebih.

Fee kurator sebesar Rp 146,808 miliar harus sudah dibayarkan operator seluler Telkomsel pada
Jumat (15/2/2013). Pembayaran tersebut sebagai bentuk ketaatan terhadap hukum melalui
putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengenai kepailitan.

"Kami tidak mau menanggapi pernyataan dari Telkomsel soal tidak mau membayar fee kurator.
Penetapan pembayaran itu produk hukum. Telkomsel harus menghormati produk hukum. Senin
(11/2/2013) lalu, kami sudah kirimkan invoice ke Telkomsel, Jumat (15/2/2013) sudah harus
dibayarkan," kata salah seorang kurator Telkomsel Feri Samad dalam siaran pers yang
diterima Tribunnews pada Rabu (13/2/2013) malam.

Feri mengatakan, apabila Telkomsel menolak untuk membayar, akan dilayangkan gugatan.
"Kita akan gugat, akan meminta pihak Telkomsel untuk melakukan penetapan eksekusi, kita
akan meminta penyitaan aset-aset," katanya.

Sebelumnya, Tim Kuasa Hukum Telkomsel, Andri W Kusuma, menolak membayar fee kurator
senilai Rp 146,808 miliar sesuai penetapan Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat melalui
Putusan No 48/Pailit/2012/PN. Niaga JKT.PST jo No.704K/Pdt.Sus/2012 karena perhitungannya
tidak wajar dan tidak sesuai aturan.

Andri mengatakan, pandangan Telkomsel terhadap penetapan itu adalah pertama, kepailitan
Telkomsel telah dibatalkan sehingga tidak ada tindakan pemberesan yang dilakukan kurator.

Kedua, fee kurator menjadi beban pemohon pailit (PT Prima Jaya Informatika) karena Telkomsel
batal pailit sebagaimana yang diatur pada Pasal 2 Ayat (1) huruf c Permenkumham No.1 Tahun
2013, tanggal 11 Januari 2013.

Ketiga, fee kurator menjadi beban dari pemohon pailit sebab tugas kurator baru berakhir
(menjalankan kewajiban hukumnya) dengan melakukan pengumuman atas batalnya kepailitan
Telkomsel pada harian Kompas dan Bisnis Indonesia (sebagaimana maksud dari Pasal 17 Ayat
(1) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU) pada tanggal 14 Januari 2013.

"Hak kurator baru terbit ketika telah berakhir menjalankan kewajiban tersebut sehingga yang
berlaku adalah Permenkumham No 1 Tahun 2013," katanya.
Keempat, kurator mengajukan permohonan penetapan fee dan biaya kepalitan tanggal 22
Januari 2013 dan penetapan hakim tanggal 31 Januari 2013 (No 48/Pailit/2012/PN. Niaga. Jkt.
Pst jo No. 704K/pdt.Sus/2012) karena pada saat pengajuan permohonan ini terjadi setelah
adanya Permenkumham No 1/2013, yang dipakai seharusnya peraturan tersebut.

Perhitungan fee kurator menurut penetapan PN Niaga Jakarta Pusat adalah berdasarkan
perhitungan 0,5 persen dikalikan total aset yang dimiliki Telkomsel, yakni sekitar Rp 58.723
triliun. Hasil perkalian itu adalah Rp 293.616.135.000.

Angka sekitar Rp 293.616 miliar ini dibagi dua antara Telkomsel dengan pemohon pailit (Prima
Jaya Informatika/PJI) sehingga masing-masing dibebankan Rp 146.808 miliar. Pola perhitungan
itu menggunakan Permenkumham No 9/1998.

Sementara Telkomsel berpandangan aturan yang digunakan adalah Permenkumham No 1/2013


tentang imbalan jasa kurator yang berlaku 11 Januari 2013. Dalam aturan ini, seharusnya
perhitungan fee kurator adalah berdasarkan jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan
perhitungan persentase aset pailit.

Jika mengacu kepada jam kerja, dengan asumsi tarif masing-masing kurator per orang Rp 2,5
juta per jam, 8 jam per hari, selama 86 hari, total imbalan 3 kurator sekitar Rp 5.160 miliar dan
dibebankan kepada pemohon pailit.

Berdasarkan catatan, kurator dalam kasus pailit Telkomsel adalah Feri S Samad, Edino Girsang,
dan Mokhamad Sadikin.

Hakim pemutus kasus pailit Telkomsel di PN Niaga adalah Agus Iskandar, Bagus Irawan, dan
Noer Ali. Majelis hakim yang sama juga yang menetapkan imbalan jasa kurator dan biaya
kepailitan. (Willy Widianto)

( Jadi di perjanjianya si PJI harus memproduksi 120 juta lembar voucher bertema atlet-atlet
untuk telkomsel tapi di perjanjian itu juga telkomsel akan membayar sebesar yang dikirimkan
oleh PJI. Ditengah jalan sebelum dikirimkan seluruhnya, Telkomsel nge-stop gitu nah si PJI
bingung dan merasa dirugikan dong mau diapain sisa vouchernya karena si telkomsel gamau
dikirimin lagi akhirnya karena udah ditagih tapi telkomselnya sombong, jadi di gugat ke jalur
hukum. Pas keputusan PN si telkomsel pailit, majelis hakim nunjuk curator saat itu juga untuk
menyelesaikan urusan pailit ini…. Namun kaena fee curator adl 2,5% dr total asset telkomsel
maka si telkomsel muter otak gimana caranya biar ga usah begini akhirnya telkomsel berdamai
dia mau bayar utang ke 2 kreditor yg bikin dia pailit dan keputusan pailit di batalkan. Nah si
curator ga terima kan akhirnya dia lakuin banyak effort terus ngancem2 mau gugat telkomsel
karena penunjukan dia kan sah sebagai curator… trs endingnya bisa di kasihlah bayaran berapa
biar si curator diem udah deh akhir dr casenya semua jajaran direksi pejabat telkomsel di pecat
semuanya ganti semua)

SOURCE NO 2

Keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan PT Prima Jaya
Informatika (PJI) atas sengketa utang Rp 5,3 milyar, membuat masyarakat Indonesia geger.
Bagaimana tidak, akibat keputusan tersebut Telkomsel terancam hilang dari peta industri
telekomunikasi yang selama 17 tahun terakhir mereka kuasai. Jika itu terjadi, maka hal ini
adalah malapetaka terbesar bagi negara. Pasalnya, dengan 120 juta pelanggan dan market
share mencapai 43%, Telkomsel adalah perusahaan yang menjadi
penyumbang revenueterbesar kedua bagi negara setelah Pertamina.

Selama tahun buku 2011, operator terbesar ketujuh di dunia ini, berhasil mendulang
pendapatan sebesar Rp 48,7 trilyun atau tumbuh 7% dibanding tahun sebelumnya. EBITDA
tahun 2011 juga meningkat menjadi Rp 27,5 trilyun dengan laba bersih mencapai Rp 12,8
trilyun, dimana kontribusi terbesar berasal dari layanan data dan SMS.

Pailit Telkomsel jelas mengancam induk perusahaan, yakni PT Telkom yang selama ini sangat
bergantung pada kinerja anak usahanya itu. Asal tahu saja, dengan menguasai 65% saham
Telkomsel, direksi Telkom menjadi bisa tidur nyenyak karena sebanyak 70% pendapatan
Telkom disokong oleh operator yang identik dengan warna merah itu. Komposisi nyaris serupa
juga dinikmati oleh raksasa telekomunikasi asal Singapura SingTel yang menguasai 35% saham.
Jadi bisa dibayangkan, apa jadinya kinerja Telkom dan SingTel, jika Telkomsel benar-benar
dinyatakan bangkrut.

Bagi masyarakat pailit adalah mimpi buruk. 120 juta pelanggan menunjukan, lebih dari
setengah dari masyarakat Indonesia mempercayakan akses komunikasinya kepada Telkomsel.
Hantu pailit telah mengancam kinerja jaringan yang akan berdampak pada QoS (Quality of
Service), yang ujung-ujungnya merugikan pelanggan.
Tak pelak, kasus ini membukakan mata publik terhadap sepak terjang direksi baru. Alex J.
Sinaga yang ditunjuk sebagai CEO menggantikan Sarwoto Atmosutarno, laksana orang yang
demam panggung. Alih-alih meneruskan kesuksesan yang telah dicapai para pendahulunya, pria
yang bertugas sejak Mei 2012 itu, justru membuat Telkomsel terperosok ke dalam lubang
persoalan yang sangat pelik, sekaligus mengancam kelangsungan hidup perusahaan.

Ironisnya, "prestasi" tersebut didapat kurang dari 100 ia hari menjabat. Sontak, kasus pailit
yang menjadi momok dunia usaha, seolah langsung mengubur pencapaian gemilang Telkomsel
yang disebut-sebut sebagai perusahaan terbaik di Asia Tenggara bahkan Asia.

Meski publik mempertanyakan kompetensinya, tentu saja Alex tak harus menanggung
persoalan ini seorang diri, karena bersamanya terdapat tujuh direktur lain. Namun sebagai CEO,
lulusan teknik elektro ITB ini, harus mempertanggung jawabkan "prestasi" yang telah membuat
Telkomsel digugat pailit kepada seluruh stake holder, terutama kepada masyarakat dan negara
yang telah memberikan kesempatan kepada Telkomsel menjadi perushahaan yang disegani.

Apa saja kesalahan Alex Sinaga dan direksi lain yang membuat mereka dinilai tak layak
memimpin Telkomsel? Berikut adalah daftar 10 kelalaian direksi yang disarikan dari
pemberitaan media massa yang mencuat akhir-akhir ini.

1. Rugikan Negara Triliunan Rupiah

Akibat putusan pailit, negara harus menanggung kerugian sampai Rp1 triliun. Dana tersebut
dipergunakan untuk membayar kurator. Berdasarkan UU Niaga, perusahaan yang dinyatakan
pailit wajib membayar biaya kurator sebesar 1,5%-2% dari total aset. Saat ini total aset
Telkomsel sekitar Rp 58,7 triliun. Artinya, untuk membayar kurator, Telkomsel harus siapkan
anggaran hingga Rp1 triliun. Itu baru kurator saja, belum termasuk biaya konsultan, biaya iklan
di berbagai media masa (cetak, digital, TV dan elektronik) untuk meredam isu, biaya pengacara,
biaya kepada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan berbagai biaya siluman lain terkait
dengan mobilisasi politik dan hukum yang cenderung undercover.

Alhasil, karena utang yang cuma "recehan", Telkomsel harus menanggung kerugian berlipat-
lipat. Kebocoran itu jelas merupakan kabar buruk, karena berimbas pada menurunnya setoran
kepada negara.

Besarnya jumlah pelanggan memang mendorong kontribusi Telkomsel kepada negara. Sekedar
catatan, pada 2011, Telkomsel menyetor pendapatan ke kas negara sebesar Rp 18 triliun.

2. Abaikan Perjanjian Kontrak

Dua mitra Telkomsel dalam proyek kartu perdana dan voucer Prima, yakni Yayasan
Olahragawan Indonesia (YOI) dan PT Prima Jaya Informatika, mengatakan Telkomsel sombong.

Selain itu, Telkomsel dinilai tidak mengindahkan perjanjian kontrak dan terlalu percaya diri
menanggapi gugatan pailit yang diajukan Prima Jaya di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
"Telkomsel terlalu arogan, sombong, dan mentang-mentang," ujar Wakil Ketua YOI Sys NS
dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi I DPR dengan Prima Jaya Informatika dan YOI,
Selasa (9/10/2012).

Hal senada diungkapkan Chairman Prima Jaya Informatika Tonny Djayalaksana. Ia merasa
sangat dilecehkan atas sikap Telkomsel yang memutus kontrak kerja sama distribusi kartu
perdana dan voucer isi ulang pulsa edisi Prima secara sepihak, dan hanya disampaikan
melalui e-mail.

Tonny kecewa atas keputusan yang dikeluarkan direksi baru Telkomsel yang menjabat sejak 22
Mei 2012. "Baru beberapa hari bekerja, direksi baru memutus kerja sama dengan Prima Jaya
pada 30 Mei 2012. Lewat e-mail pula, dan dikirim oleh seorang staf," katanya. Ia
menambahkan, Telkomsel menganggap remeh gugatan pailit yang diajukan Prima Jaya pada 16
Juli 2012. Prima Jaya juga telah membuat pengumuman permohonan pailit di harian Kompas , 2
Agustus 2012. Namun, menurut Tonny, Telkomsel sangat yakin akan memenangi gugatan.

Sampai akhirnya, pada 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutus pailit
Telkomsel. "Di sinilah Telkomsel mulai tampak goyah," ucap Tonny. Menurutnya, pihak
Telkomsel sempat meminta maaf kepada Prima Jaya. Tetapi, apa mau dikata, Pengadilan Niaga
telah mengeluarkan putusan.

3. Terlalu Percaya Diri

Direktur Utama PT Telkomsel Alex J Sinaga meyakini pihaknya akan memenangkan perkara
pailit dalam kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung (MA). "Sesuai dengan eksaminasi
yang kami ajukan dalam memori kasasi dan juga memori kasasi yang disampaikan pihak PT
Prima Jaya Informatika, kami meyakini Telkomsel akan menang dalam perkara pailit ini," kata
Alex, seusai mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR di Gedung MPR/DPR,
Jakarta, Senin (8/10/2012).

Menurut Alex, langkah yang dilakukan Telkomsel sejalan dengan ketidakpuasan terhadap
keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sehingga memberi ruang untuk melakukan kasasi.

"Kasasi yang diajukan Telkomsel pada posisi yang bagus, sementara banyak kontra memori
yang diajukan pihak lawan tidak banyak ditanggapi MA, terutama terkait penetapan purchase
order (PO) yang dianggap menjadi utang Telkomsel," tutur Alex.
Pernyataan Alex yang mendahului keputusan pengadilan, tentu membuat publik bertanya-
tanya. Alasan kuatnya memori yang menjadi bahan pertimbangan memenangkan pailit, tidak
bisa menjadi patokan, karena seperti halnya pengadilan negeri yang memenangkan gugatan PT
PJI, MA pastinya juga punya pertimbangan hukum sendiri. Keyakinan menang malah
memunculkan sinyalemen lain bahwa direksi Telkomsel ikut bermain arus yang tidak
mencerminkan transparansi dan akuntabilitas. Tak ada pilihan lain kecuali menang tampaknya
membuat direksi gelap mata, meski harus melakukan praktek-praktek yang tidak terpuji.

4. Tidak Jujur

Sikap takabur jelas dipertontonkan oleh para direksi Telkomsel. Menggangap remeh tuntutan
pailit dan yakin menang, membuat mereka tidak pernah memiliki plan B. Misalnya, bagaimana
kalau kalah. Apa yang sebaiknya harus dilakukan. Langkah aware justru tidak terlihat padahal
isu yang dihadapi bukan main-main.

Karenanya dalam RDP yang digelar Kamis (4/10) di Gedung DPR Jakarta, banyak anggota DPR
yang mengecam keras sikap direksi Telkomsel itu. Anggota Komisi VI DPR dari FPKS, Refrizal,
bahkan mendesak agar direktur utama dan komisaris utama Telkomsel bersikap profesional
dengan mengundurkan diri. Menurut dia, jika pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab
itu tidak mundur, maka selayaknya Menteri BUMN yang mencopotnya.

"Saya kira Pak Dahlan telah dibohongi direksi Telkomsel. Katanya mereka yakin akan menang,
tapi ternyata kalah. Artinya, pimpinan Telkomsel tidak jujur dan kalau sudah begitu pecat saja
mereka," ujarnya. "Kalau pimpinannya jujur dan profesional, tentu Telkomsel tidak kena
masalah seperti sekarang," cetusnya.

5. Arogan dan Ceroboh

Jajaran direksi Telkomsel dinilai bersikap arogan ketika menyikapi permasalahan dengan PT
Prima Jaya Informatika (PJI). Manajemen dianggap menyederhanakan gugatan PT PJI hingga
akhirnya berdampak buruk, yakni diputuskan pailit oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Direksi arogan menganggap sepele. Kalau terjadi sesuatu, Anda (direksi) yang harus
bertanggung jawab," kata anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Enggartiasto Lukita,
saat rapat dengan jajaran direksi PT Telkomsel dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, di
Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (4/10/2012).

Anggota Komisi I dari Fraksi PDI Perjuangan, Evita Nursanty, juga menilai senada. Dia
menduga, Telkomsel hanya menginstruksikan staf yunior dan tim pengacara yang tidak andal
untuk menangani gugatan. Akhirnya, kalah di pengadilan. "Kalau saya menilai ini kecerobohan
direksi," kata Meutya Hafid, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar.
6. Melempar Tanggung Jawab

Dalam RDP dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Direktur Utama Telkomsel, Alex
Janangkih Sinaga menyalahkan direksi lama yang telah membuat kesepakatan dengan PJI. Alex
menilai direksi lama telah melakukan blunder dengan menunjuk PJI sebagai distributor, padahal
PJI tidak punya rekam jejak yang jelas serta tidak berpengalaman.

"PJI tidak punya pengalaman distribusi," kata Alex di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/10/2012).
Ketika DPR mempertanyakan apakah benar keputusan tersebut dibuat oleh direksi lama, Alex
membenarkannya. "Betul pak," jawabnya tegas. Ia menganggap masalah dengan PJI ini adalah
warisan yang harus ditanggung direksi baru, sama halnya dengan kasus-kasus lain yang
menimpa Telkomsel seperti SMS Premium dan CP nakal.

Pernyataan Alex jelas merupakan pembohongan publik. Keputusan penghentian kontrak jelas
dilakukan oleh direksi baru. Fakta menunjukkan, direksi baru Telkomsel mulai menjabat pada
22 Mei 2012. Dan keputusan penghentian kontrak PT PJI dilakukan pada 30 Mei 2012 atau dua
pekan setelahnya.

Selain itu, sikapnya mengkambing hitamkan direksi lama jelas merupakan tindakan terpuji,
sekaligus menunjukkan lemahnya sikap kepemimpinan (leadership). Padahal di era Sarwoto
Atmosutarno, pertumbuhan Telkomsel kembali membaik. Pada 2011, Sarwoto mewarisi
revenue Rp 48,7 miliar. Terbaik dalam sejarah Telkomsel. Keputusan Sarwoto menggandeng PT
PJI juga merupakan terobosan dalam sistem distribusi berbasis komunitas, agar tidak
tergantung pada segelintir pemain yang selama ini telah malang melintang, seperti Telesindo,
Akardaya, Global Teleshop, Trikomsel, dan lainnya.

7. Menuduh Adanya Mafia Kurator

Dalam RDP dengan Komisi XI DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/10), Alex Sinaga meminta,
seluruh pihak untuk membongkar mafia kuartor dan peradilan. "Kenakalan kurator ini sudah
merasuk. Bagi saya angka gugatan PJI Rp 5 miliar ini kecil buat Telkomsel. Tapi keputusan pailit
ini mafia yang harus kita kritisi. Permainan belakang layar ini sudah kriminal dan harus
dibongkar," kata Alex.

Tentu tuduhan Alex mengenai mafia kurator yang beraksi dibelakang kasus pailit perlu
dibuktikan. Publik sendiri menilai, tudingan ini adalah upaya untuk mengalihkan perhatian. Alih-
alih menuding hal-hal yang perlu pembuktian, Alex membuka "front" baru dengan lembaga
hukum dan kurator yang sudah bekerja sesuai dengan UU Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004.

Ironisnya, pengacara yang kini menangani kasasi pailit Telkomsel di Mahkamah Agung adalah
Ricardo Simanjuntak, yang tidak lain adalah Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia
(AKPI) . Jadi sebenarnya siapa yang bermain?

8. Membuat Tender Kanal Ketiga 3G Ditunda

Pailitnya Telkomsel berdampak pada keputusan yang tidak populer. Yakni tertundanya lelang
kanal ketiga 3G yang sudah dirancang sejak lama oleh Kemenkominfo, yang seharusnya sudah
dapat dituntaskan pada akhir 2012. Keputusan penundaan ini membuat Kominfo bakal
kehilangan pemasukan sebesar Rp 1 triliun dari sisi pendapatan negara bukan pajak (PNBP)
yang menjadi target pada 2012. Selain dari kerugian PNBP, kementrian pimpinan Tifatul
Sembiring itu juga rugi karena kualitas layanan 3G menjadi berkurang.

Bagi Telkomsel, penundaan juga sangat beresiko. 120 juta pelanggan dengan trafik data yang
semakin membesar, bisa mengancam kinerja jaringan yang sudah sangat membutuhkan
tambahan kanal baru agar kualitas layanan dapat terjaga.

9. Membuat Resah Karyawan dan Mitra

Keputusan pailit membuat karyawan tidak nyaman dalam bekerja. "Kalau resah, itu sudah pasti,
dan itu wajar," kata Ketua SepakatAchsinantoRisantosa kepada sebuah
media online terkemuka. Ia hanya berharap perusahaan akan mampu menyelesaikan persoalan
ini dengan cepat, tanpa berlarut-larut. "Kita hanya karyawan, hanya bisa pasrah. Kita serahkan
semua pada manajeman dan pengacaranya dan juga kita percayakan ini ke pemerintah,"
jelasnya. Jelas, keresahan itu bisa merugikan Telkomsel karena kompetisi di industri selular
sangat ketat. Dengan 11 operator dan pasar yang sudah jenuh, Telkomsel bisa sewaktu-waktu
kehilangan posisi sebagai market leader jika fighting spirit yang dimiliki karyawan menjadi
lemah gara-gara pailit.

Tak hanya karyawan, keresahan jika menimpa para mitra yang selama ini menjadi partner
Telkomsel. Keputusan pemutusan kerjasama secara sepihak, membuat kasus ini menjadi
preseden buruk yang bisa menimpa siapa saja. Meski para mitra telah bekerja baik sesuai
dengan aturan dan perjanjian kerja yang telah disepakati bersama.

10.Merusak Reputasi Telkomsel Paling Indonesia

Dengan 65% saham yang dimiliki oleh PT Telkom, Telkomsel adalah satu-satunya operator GSM
yang masih merah putih. Empat operator lain semuanya sudah milik asing, yakni Indosat (Qatar
Telecom), XL Axiata (Axiata Group Malaysia), Three Hutchinson CP (Hong Kong), Axis (Saudi
Telecom).

Selama 17 tahun kehadirannya, Telkomsel membawa teknologi komunikasi hingga ke pelosok


daerah dan daerah terpencil lainnya. Saat ini 97% populasi Indonesia telah tercover layanan
Telkomsel. Bahkan akses telekomunikasi kini dapat dinikmati di lautan lepas karena BTS Pico
yang ditempatkan Telkomsel di 15 kapal milik PELNI. Faktanya, inovasi teknologi yang
dihadirkan Telkomsel sangat berperan bagi pengembangan ekonomi, pembangunan sosial,
pendidikan, pelestarian lingkungan serta pemenuhan kebutuhan gaya hidup masyarakat
Indonesia. Itu sebabnya, wajar jika operator ini mengklaim "Paling Indonesia" karena sederetan
kiprahnya yang tak terbantahkan.

Namun kasus pailit merusak reputasi "Telkomsel Paling indonesia". Kerja keras selama 17 tahun
yang telah berbuah manis itu, terancam lenyap oleh ulah segerombolan direksi baru yang
ceroboh, tidak memahami visi dan misi Telkomsel.

Anda mungkin juga menyukai