Jurnal INTEGRITAS Volume 3 No 1 Tahun 2017 PDF
Jurnal INTEGRITAS Volume 3 No 1 Tahun 2017 PDF
Nomor 1,
Maret 2017
Untuk Volume 3, Nomor 2, Tahun 2017, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS mencari artikel atau tulisan dengan subyek sebagai
berikut:
1. Kajian teoretis dan konseptual mengenai persoalan korupsi dan pemberantasan korupsi
2. Hasil penelitian empiris dengan tema “Korupsi Korporasi”
3. Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
4. Resensi Buku
BIDANG KAJIAN
Mengingat kajian terkait Korupsi ini multidisipliner, maka Call for Papers ini tidak membatasi bidang kajian.
Namun periset dapat menyajikan sesuai bidang keahliannya, yang di antaranya adalah:
Kajian Ilmu Hukum termasuk: Hukum Pidana; Hukum Kajian Ilmu Sosiologi, Politik serta Antropologi: Ilmu
Administrasi Negara; Hukum Tata Negara; Hukum Perdata (yang Sosiologi; Ilmu Politik; Ilmu Kriminologi (yang terkait dengan
terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam) korupsi Sumber Daya Alam)
Kajian Ilmu Ekonomi termasuk: Ekonomi Makro/Mikro (yang Kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial; Ilmu Antropologi (yang
terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam) terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)
Kajian Ilmu Administrasi termasuk : Administrasi Negara/Publik; Kajian Ilmu Manajemen termasuk: Operasional; Keuangan/Pasar
Administrasi Bisnis; Administrasi Pembangunan; Otonomi Daerah; Modal; Sumberdaya Manusia (yang terkait dengan korupsi Sumber
Pelayanan Publik; Kebijakan Publik; Good Corporate Governance Daya Alam)
(yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)
Kajian Ilmu Akuntansi termasuk: Akuntansi Keuangan; Akuntansi
Moneter/Fiskal/Perbankan; Kemiskinan/Industri/Ketenaga Manajemen; Akuntansi Pemerintahan; Auditing (yang terkait
kerjaan (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam) dengan korupsi Sumber Daya Alam)
Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS adalah Jurnal Ilmiah Berkala yang memuat artikel hasil
penelitian maupun artikel konseptual di bidang ilmu pengetahuan antikorupsi. Jurnal
diterbitkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
Diterbitkan oleh:
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Jalan Kuningan Persada Kav. 4
Jakarta 12950. Telp: (021) 2557 8300
e-mail: jurnal.integritas@kpk.go.id
Penanggung Jawab :
Pimpinan KPK
Pemimpin Redaksi:
Laode M. Syarif
Sekretaris Redaksi:
Angela Ayu Kuswardhani
Redaktur Pelaksana:
Pahala Nainggolan
R. Bimo Gunung Abdul Kadir
Dr. B. Herry Priyono
Feri Amsari, SH, MH
Ahmad Khoirul Umam, MAGV
Fachru Nofrian, DEA
Hendi Yogi Prabowo, MforAccy,
Suwarsono
Mitra Bestari:
Prof. Dr Ningrum Natasya Sirait SH, Mli
Prof.Dr.Saldi Isra, SH, MPA
Pengelola/Penyunting:
Febri Diansyah
Yuyuk Andriati Iskak
Zulkarnain Meinardy
Budi Prasetyo
Lufti Avianto
Indah OS
Aida Ratna Zulaiha
Indira Malik
Hani Mairina Matan
Dian Novianthi
Adhi Setyo Tamtomo
iii
Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir
Fauzi (Putusan Nomor: 127/Pid.sus/Tpk/2015/Pn.jkt.pst)........... 191
Aradila Caesar Ifmaini Idris
Korporasi Harus
Bertanggung Jawab
S
eiring berjalannya waktu, pelan tapi pasti Jurnal Integritas
KPK menyapa lagi pembaca yang budiman pada Vol 3.
Edisi 1 tahun 2017. Berbeda dengan Volume sebelumnya,
kali ini Jurnal INTEGRITAS menampilkan topik utama
tentang Korupsi di Sektor Swasta dan Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi (Corporate Criminal Liability). Topik ini dirasa
perlu untuk dibahas secara khusus karena sangat sedikit literatur
yang membahas masalah corporate criminal liability padahal
keberadaan pertanggungjawaban korporasi telah diakui dan tersebar
dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti: (i) UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (ii) UU Kehutanan,
(iii) UU Tindak Pidana Korupsi, (iv) UU Tindak Pidana Pencucian
Uang, (v) UU Perikanan; dan sejumlah Peraturan Perundangan-
Undangan lainnya. Sayangnya sampai dengan sekarang sangat sedikit
korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana atas kejahatan
yang mereka lakukan.
Patut disayangkan karena pertanggungjawaban pidana korporasi
hanya dikenakan pada segelintir perusahaan dan kebanyakan hanya
pada sektor lingkungan hidup. Menurut catatan yang terdapat dalam
direktori putusan Mahkamah Agung, salah satu contoh penerapan
pertanggungjawaban pidana korporasi di sektor lingkungan hidup
diawali pada kasus pembakaran hutan PT Adei Plantation yang
kemudian disusul dengan sejumlah kasus lingkungan lainnya.
Salah satu kasus yang dianggap fenomenal adalah kasus PT Kallista
Alam dimana hakim menghukum dengan total denda Rp 366
milyar. Putusan fenomenal tersebut disusul dengan putusan yang
lebih dahsyat lagi dalam putusan PT National Sago Prima (anak
perusahaan PT Sampoerna Agro) yang sampai dengan ditulisnya
artikel ini masih dalam proses banding, baik dalam gugatan perdata
maupun tuntutan pidana. Yang jelas dalam gugatan perdata yang
dilayangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
v
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menghukum PT National
Sago Prima dengan ganti rugi lebih dari Rp 1 trilyun. Sekarang kita
sedang menunggu babak akhir dari proses hukum yang sedang
berjalan. Sayangnya putusan-putusan yang progresif di bidang
lingkungan hidup tidak diikuti dengan kasus-kasus tindak pidana
korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Sampai dengan hari ini, putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap di bidang tanggung jawab pidana korporasi untuk tindak
pidana korupsi hanya satu kasus yakni kasus PT Giri Jaladhi
Wana yang dendanya hanya Rp 1,3 milyar, padahal banyak sekali
perusahaan yang menyuap pejabat negara. Kenyataan seperti ini
patut disayangkan karena hanya pengurus korporasi yang dikenai
tanggung jawab pidana sedangkan korporasinya sendiri melenggang
dengan bebas. Kenyataan seperti ini juga bertolakbelakang dengan
praktik di negara-negara lain seperti Singapore, Malaysia, Hongkong,
Inggris, USA dan negara-negara lain.
Sadar akan ketimpangan tersebut, KPK bekerjasama dengan
Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri telah berhasil
merumuskan tata cara penegakan hukum pidana korporasi yang
dirumuskan dalam Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
oleh Korporasi. Perma ini diharapkan dapat memudahkan aparat
penegak hukum (KPK, Polisi, Jaksa, Hakim) dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan memutus perkara-perkara
yang melibatkan korporasi. Kehadiran Perma ini juga diharapkan
dapat memberikan ‘early warning’ pada korporasi agar tidak lagi
melakukan penyuapan kepada pejabat publik di negeri ini, karena
aparat penegak hukum telah memiliki ‘guidance’ yang lengkap untuk
menjerat korporasi yang nakal.
Seiring dengan perkembangan yang menggembirakan ini, Jurnal
ini berupaya menghadirkan sejumlah artikel yang membahas tentang
korupsi di sektor swasta dan pertanggungjawaban pidana korporasi,
sebagaimana dapat dilihat dari artikel yang ditulis oleh Lakso
Anindito yang membahas “perbandingan lingkup tindak pidana
korupsi dan pembuktian kesalahan korporasi di Indonesia, Inggris
dan Perancis”, dan artikel Bambang Widjojanto yang membahas
“relasi korupsi korporasi dan korupsi politik di Indonesia”. Masih
dalam lingkup korporasi, Andreas Nathaniel Marbun membahas
secara khusus “kemungkinan menjerat suap di sektor swasta” karena
vii
Sebagai Pemimpin Redaksi, saya bersyukur dan berterima kasih
karena kontributor dari artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini,
cukup beragam karena disumbangkan oleh akademisi, praktisi dan
aktivis antikorupsi. Dari segi sebaran wilayah, artikel-artikel yang
hadir juga hampir mewakili keragaman nusantara. Disamping
itu, dari segi fokus yang mengangkat korupsi di sektor swasta dan
tanggung jawab pidana korporasi makin menguatkan tekad KPK
bahwa korporasi harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka
jika melakukan tindak pidana korupsi.
Saya juga berharap kiranya para kontributor dapat lebih beragam
di masa yang akan datang dan sekurang-kurangnya dapat mewakili
setiap kajian antikorupsi yang ada di setiap perguruan tinggi
sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Anti Corruption Summit
2016 di Jogjakarta. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada
para penulis, Redaktur Pelaksana, Mitra Bestari, Sekretaris Redaksi,
Pengelola/Penyunting dan pada semua pihak yang telah membantu
terbitnya edisi ini.
Salam Antikorupsi
Laode M Syarif
Pemimpin Redaksi
Lakso Anindito
Direktorat PJKAKI Komisi Pemberantasan Korupsi
informasi@kpk.go.id
ABSTRAK
Tulisan ini akan membahas lingkup tindak pidana korupsi dan
kesalahan dari korporasi berdasarkan konsep pertanggungjawaban
pidanakorporasi.Masihminimnyakajianterkaitpembuktiankesalahan
korporasi khususnya pada kasus korupsi merupakan salah satu alasan
masih minimnya penggunaan pendekatan pertanggungjawaban
pidana korporasi. Pembuktian kesalahan korporasi merupakan hal
yang sangat penting untuk dapat menentukan pertanggungjawaban
1
pidana korporasi sehingga menjadi hal yang masih terus didiskusikan
baik oleh para ahli maupun penegak hukum. Selain itu, UU Tindak
Pidana Korupsi tidak secara langsung menyebutkan jenis-jenis delik
yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban pidana
korporasi sehingga perlu upaya penafsiran dari penegak hukum.
Bagian pertama tulisan ini akan membahas mengenai lingkup tindak
pidana yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban
pidana korporasi. Sedangkan, bagian kedua tulisan ini akan
membahas mengenai bagaimana pembuktian kesalahan korporasi
pada kasus korupsi. Sebagai perbandingan, penulis memilih Prancis
dan Inggris dalam mengkaji dua isu tersebut dengan alasan bahwa
kedua negara tersebut merupakan negara yang meletakkan pondasi
pada perkembangan civil law dan common law.
Kata Kunci: Kesalahan, Lingkup Tindak Pidana Korupsi,
Korporasi, Code Pénal Français, UK Bribery Act 2010 dan UU Tindak
Pidana Korupsi.
ABSTRACT
This paper examines scope of offences and culpability of
corporation for corruption offences based on corporate criminal
liability concept and regulations. Among law enforcement officers
and experts in Indonesia, culpability of corporation is very important
issue to determine criminal liability of corporation that has made law
enforcement officers reluctant to prosecute legal person particularly
if that crimes related with corruption. Moreover, although Indonesia
Eradication Corruption Act regulates corporate criminal liability,
this law is not mentioning the scope of offences directly that legal
person could be liable. First part of this paper elaborates corruption
offences that might apply to corporation based on regulation and
statutory interpretation methods. Second part of this paper examines
how imposing culpability of corporation in corruption offences. This
paper also compares both United Kingdom and French Law on
imposing corporate criminal liability from common law and civil
law traditions perspective.
Keywords: Culpability, Scope of Corruption Offences,
Corporation, Code Pénal Français, UK Bribery Act 2010, Indonesia
Eradication Corruption Act
PENDAHULUAN
Pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia telah
digunakan sejak 1951 dengan adanya UU Darurat Nomor 17 Tahun
1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. Untuk tindak pidana
korupsi telah diakui bahkan sebelum pembentukan United Nations
Convetion Against Corruption melalui UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi).
Permasalahannya, sampai hari ini, baru terdapat satu kasus tindak
pidana korupsi yang menggunakan pendekatan pertanggungjawaban
pidana korporasi, yaitu kasus PT Giri Jaladhi Wana. Permasalahan
yang kerap timbul adalah terkait hukum acara, lingkup tindak pidana
korupsi yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban
terhadap korporasi dan pembuktian kesalahan korporasi. Hukum
acara terkait teknis tata cara pemeriksaan pada proses penegakan
hukum korporasi baik dalam tahap penyidikan, penuntutan sampai
dengan putusan pengadilan juga belum ada sehingga dibutuhkan
pedoman. Sedangkan, lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh korporasi adalah tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan
oleh korporasi dan tidak dilakukan oleh korporasi. UU Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia sebagaimana Code Pénal Français di Prancis
tidak menyebutkan secara detail dalam satu pasal bentuk-bentuk
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi sebagaimana UK
Bribery Act 2010 di Inggris. Hal tersebut terkadang menimbulkan
kesalahpahaman dari penegak hukum bahwa semua bentuk tindak
pidana dalam UU Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan oleh
korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi. Persoalan ini menyulitkan identifikasi awal pada saat
melakukan penyelidikan dan penyidikan serta kesulitan dalam
penggunaan pasal saat penyusunan surat dakwaan dan tuntutan pada
tahap persidangan.
Pembuktian kesalahan korporasi merupakan isu lain yang
menjadi kendala dalam penegakan hukum karena adanya perbedaan
bentuk kesalahan korporasi berdasarkan beberapa teori. Hal tersebut
memiliki peran penting pada saat persidangan sehingga menjadi
jelas terkait sejauh mana penuntut umum harus membuktikan dan
3
hal yang perlu diperhatikan hakim dalam menemukan kesalahan
korporasi pada saat proses pembuktian sebagai dasar dari putusan.
Terlebih terdapat kecenderungan adanya pencampuradukan berbagai
pendekatan teori kesalahan korporasi pada praktek penegakan
hukum sehingga berpotensi menambah beban penuntut umum dalam
proses pembuktian. Hal tersebut menjadi salah satu sebab minimnya
korporasi yang dimajukan sebagai terdakwa. Terlebih hukum pidana
di Indonesia masih mengkuti doktrin “Geen Straf Zonder Schuld”
sehingga kesalahan korporasi mempunyai fungsi penting dalam
pemidanaan korporasi di Indonesia.
Penulisan ini akan lebih memfokuskan pada pembahasan lingkup
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi dan pembuktian
kesalahan korporasi sehingga dapat menjadi salah satu referensi
untuk mendukung proses penegakan hukum kasus tindak pidana
korupsi dengan pelaku korporasi di Indonesia. Hal tersebut dengan
pertimbangan bahwa saat ini terdapat upaya dari Mahkamah Agung
untuk mengisi kekosongan acara yang akan diatur melalui peraturan
Mahkamah Agung. Sebagai perbandingan akan ditampilkan juga
bagaimana perkembangan dua isu tersebut di Inggris dan Prancis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif
berdasarkan berbagai referensi tertulis, putusan, buku, jurnal dan
peraturan perundangan baik dalam maupun luar negeri. Adapun
metode penafsiran terkait regulasi yang digunakan adalah penafsiran
secara semiotik (semiotic/literal Interpretation) dan sistematis
(systematic interpretation). Penafsiran secara semiotik dilakukan
dengan membatasi penafsiran terbatas pada susunan kata pada
legislasi tersebut, sebagaimana diungkapkan Markus Rehberg terkait
penafsiran legislasi menurut tradisi civil law (Rehberg, 2010: 8)
sebagai berikut:
“….The wording is starting point as well as the barrier for
interpretation...”
Sedangkan, penafsiran sistematis dilakukan dengan melihat
hubungan antar pasal maupun legislasi lain yang berlaku secara
keseluruhan dalam suatu sistem hukum (Rehberg, 2010: 8) sebagai
berikut:
“…Many Rule can only be understood with regard to other
provisions…”
PEMBAHASAN
Lingkup Tindak Pidana
Tidak seluruh tindak pidana yang diatur dalam UU Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia dapat dilakukan dan dimintakan
pertanggungjawaban kepada Korporasi. Hal tersebut tidak jauh
berbeda dengan Inggris dan Prancis yang juga membatasi tindak
pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada
Korporasi.
Kerajaan Inggris mengatur tindak pidana korupsi secara khusus
dalam United Kingdom Bribery Act 2010 (UK Bribery Act 2010).
Lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi dan
dimintakan pertanggungjawaban diatur secara khusus dalam Section
7 UK Bribery Act 2010 berupa tindak pidana penyuapan (offences
of bribing another person) sebagaimana diatur dalam Section 1 UK
Bribery Act 2010 dan tindak pidana penyuapan yang terkait dengan
penyelenggara negara lain (Bribery of foreign public officials)
sebagaimana diatur dalam Section 6 UK Bribery Act, sebagaimana
diatur dalam Section 7 (1) (a) UK Bribery Act 2010 sebagai berikut:
“For the purposes of this section, A bribes another person if, and
only if, A— (a) is, or would be, guilty of an offence under section 1 or 6
(whether or not A has been prosecuted for such an offence)”
5
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Colin Nicholls, Tim
Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard (Nicholls et al, 2011: 95)
yang menyatakan:
“Section 7 provides in respect of A’s offences that: It must amount
to a section 1 or section 6 offence, i.e. an active general bribery offences
or bribery of a foreign public official…”
Pendekatan tersebut berbeda dengan Prancis yang belum secara
khusus mempunyai undang-undang pemberantasan tindak pindana
korupsi. Tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain terkait
korupsi di Prancis masuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Prancis (Code Pénal Français) yang terdiri dari tindak
pidana Korupsi berupa penyuapan baik pasif dan aktif (corruption),
perdagangan pengaruh (influence peddling), mendapatkan manfaat
secara ilegal (illegal taking of interest) dan keberpihakan dalam
pengadaan (favouritism in public procurement) (Marsigny, 2016).
Khusus untuk kejahatan yang dilakukan Korporasi, tidak seperti
Inggris yang menyebutkan secara spesifik dalam salah satu pasal,
Prancis membuka bahwa seluruh tindak pidana yang terdapat
dalam Code Pénal Français sesuai Article 121-2 Code Pénal Français
dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada Korporasi selama
memenuhi kriteria pertanggungjawaban, yaitu:
“Les personnes morales, à l’exclusion de l’Etat, sont responsables
pénalement, selon les distinctions des articles 121-4 à 121-7, des
infractions commises, pour leur compte, par leurs organes ou
représentants……”
(Legal persons, with the exception of the State, are criminally
liable for the offences committed on their account bytheir organs or
representatives, according to the distinctions set out in articles 121-4
and 1217)
Akan tetapi, secara teori, Korporasi dikecualikan terhadap tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang sebagai manusia
(Natural Person) (Chance, 2012, 10) sebagai berikut:
“In theory, a corporate entity can commit any offence except
for offences which, by their very nature, can only be committed by
natural persons.”
Berdasarkan hal tersebut maka tindak pidana korupsi yang dapat
dan dimintakan pertanggungjawaban terhadap korporasi melingkupi:
a. Tindak pidana Korupsi berupa penyuapan (corruption)
sebagaimana diatur dalam Articles 433-1 dan 435-3 (aktif) serta
7
1 Angka 3 UU Tindak Pidana Korupsi dimasukkan dalam salah satu
definisi dari “Setiap orang” yang didefinisikan sebagai berikut:
9
dalam kondisi tugas pengawasan pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan dalam kontrak diserahkan sepenuhnya kepada
pihak ketiga dalam bentuk korporasi yang memang secara profesional
mempunyai bisnis melakukan pengawasan pembangunan. Akan
tetapi, terkait penafsiran tersebut berpotensi menyebabkan
perbedaan di kalangan ahli.
KESALAHAN KORPORASI
Persoalan mengenai pembuktian kesalahan terhadap korporasi
merupakan persoalan yang masih terus berkembang sampai saat ini.
Pembahasan mengenai kesalahan menjadi sangat penting karena
secara umum hukum pidana di Indonesia mensyaratkan adanya
kesalahan sebagai elemen terpenting dari pertanggungjawaban
pidana (Hiarej, 2015, 153). Sebagaimana diketahui bahwa menurut
H.B. Vos terdapat 3 (tiga) unsur utama dari kesalahan sebagaimana
dikuti Eddy O.S. Hiarej dalam penjelasan elemen dari kesalahan
(Hiarej, 2015, 162), yaitu:
a. Dapat dipertanggungjawabkan pelaku (Toerekeningsvatbaarheid
van de dader);
b. Hubungan psikis pelaku dengan perbuatannya yang biasanya
dalam bentuk sengaja atau alpa (Een zekere psychische verhouding
11
van de dader tot heit feit, die kan zijn of opzet of schuld in engere
zin); dan
c. Tidak ada dasar-dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban
pidana atas perbuatannya (Het niet aanwezig zijn van gronden,
die de toerekenbaarheid van het feit aan de dader uitsluiten).
Dari ketiga elemen tersebut, tulisan ini akan lebih fokus pada
elemen kedua dari kesalahan yaitu terkait pembuktian hubungan
psikis pelaku dengan perbuatannya. Hal tersebut karena masih
kuatnya berlaku asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” dalam
praktek hukum pidana di Indonesia. Walaupun demikian, secara
teori, tidak seluruh pertanggungjawaban pidana korporasi harus
membuktikan kesalahan. Di sisi lain, perlu dipahami bahwa bentuk
kesalahan korporasi dalam beberapa kondisi dapat berbeda dengan
bentuk kesalahan pada tindak pidana yang dilakukan orang sebagai
manusia (natural person).
V.S. Khana membagi secara umum bahwa terdapat
pertanggungjawaban pidana korporasi yang membutuhkan
pembuktian kesalahan dan tidak perlu pembuktian kesalahan (Khana,
1996: 11). Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi tidak
selalu perlu membuktikan hubungan antara mens rea dengan actus
reus, seperti legislasi yang secara tegas menggunakan pendekatan
pertanggungjawaban pidana koporasi dengan pendekatan strict
liability. Sedangkan, untuk pertanggungjawaban pidana korporasi
yang membutuhkan pembuktian hubungan antara mens rea dengan
actus reus, V.S. Khana, Profesor Hukum di Michigan University,
dalam tulisan salah satu tulisan doktoralnya di Harvard Law
School membagi secara umum menjadi 2 (dua) pendekatan untuk
menyederhanakan variasi mens rea yang banyak. Hal tersebut
sebagaimana pendapat Laufer yang dikutip V.S. Khana (Khana, 1996:
16) sebagai berikut:
mens rea pelaku tunggal (The Single Actor Mens Rea Standard),
mens rea dari pelaku diatribusikan kepada korporasi sehingga
mens rea pelaku adalah mens rea korporasi tersebut (Khana, 1996:
20). Bentuk tersebut berlaku dalam teori vicarious liability dan
identification model. Teori vicarious liability adalah pendekatan
dimana suatu perbuatan dianggap dilakukan dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada korporasi ketika perbuatan tersebut
dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan
lain dengan korporasi tersebut dan tindakan tersebut dilakukan dalam
lingkup korporasi atau lingkup tugas yang melakukan tindak pidana
tersebut (Vermeulen et al, 2010: 56). Pendekatan ini merupakan
pendekatan paling tua dalam teori pertanggungjawaban pidana
korporasi terdapat salah satunya pada kasus New York Central &
Hudson River Railroad Co. v United States (212 U.S. 418) pada tahun
1909 di Amerika dan lebih jauh pada tahun 1842 di Inggris pada kasus
Birmingham & Gloucester Railway Co. (3 QB 223) (OECD, 2015: 18).
Melalui pendekatan tersebut mens rea pekerja atau agen korporasi
yang melakukan tindak pidana diatribusikan kepada korporasi.
Sedangkan teori identification model merupakan pengembangan
dari teori vicarious liability dengan pembeda bahwa untuk dapat
dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi pelaku tindak
pidana harusnya pengurus inti dari korporasi tersebut. Pendekatan
ini kerap disebut juga alter ego sehingga mens rea pengurus korporasi
adalah mens rea dari korporasi tersebut. Pendekatan ini berkembang
dari 3 (tiga) kasus di Inggris pada tahun 1944 (OECD, 2015: 18).
Pendekatan kedua, kolektif mens rea (The Collective Mens Rea
Standard), mens rea diambil dari adanya pengetahuan dari pegawai
yang ada dalam suatu korporasi secara luas tersebut (Khana, 1996:
22-24). Pengetahuan kolektif tersebut belum tentu dapat dimintakan
pertanggungjawaban apabila dimintakan pertanggungjawaban
secara personal. Sebagai contoh adalah teori culture model dan
aggregation model. Culture model melihat bahwa suatu korporasi
dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila tindak pidana yang
dilakukan merupakan dari budaya keseharian perusahaan (de Maglie,
2005: 558). Sedangkan, aggregation model lebih melihat kesalahan
secara berimbang dari keseluruhan bisnis proses korporasi tersebut
sebelum dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi
(Vermeulen et al, 2010: 58).
Pendekatan lain adalah pendekatan khsusus yang lebih dekat
13
kepada kelalaian, yaitu pertanggungjawaban atas kelalaian dalam
prosedur dan kebijakan (Liability of Negligent Procedures and
Policies) (Khana, 2006: 28-29). Pertanggungjawaban dimintakan
ketika Korporasi gagal melakukan pencegahan atas tindak pidana
yang dilakukan karena lemahnya prosedur dan kebijakan internal.
Pendekatan-pendekatan tersebut akan membantu dalam dapat
mengkaji pendekatan pembuktian kesalahan yang akan dilakukan.
Khususnya dalam mengidentifikasi pendekatan di Inggris, Prancis
dan Indonesia.
“(1) F
or the purposes of section 7, a person (“A”) is associated with
C if (disregarding any bribe under consideration) A is a person
who performs services for or on behalf of C.
(2) The capacity in which A performs services for or on behalf of C
does not matter.
(3) A
ccordingly A may (for example) be C’s employee, agent or
subsidiary.”
“It does not matter in what capacity A acts on C’s behalf whether as
an employee, agent or subsidiary except that where A is an employee
of C it is to be presumed that A is performing services for and on
behalf of C unless the contrary show”
15
sepintas mirip dengan pendekatan yang jamak digunakan pada
vicarious liability yang mengatribusikan kesalahan pegawai menjadi
kesalahan korporasi sehingga mens rea pegawai adalah mens rea
korporasi tetapi pada konteks Inggris pendekatan UK Bribery Act
2010 lebih condong pada jenis kesalahan ketiga. Hal tersebut karena
titik beratnya secara mutlak korporasi dianggap bersalah apabila
gagal dalam mencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan
oleh orang yang berasosiasi dengan korporasi tersebut dan tidak
dapat membuktikan bahwa sudah dilakukan upaya yang memadai
(adequate procedures) dalam mencegah tindak pidana tersebut
terjadi. Pendapat ini merupakan penegasan dari pendapat Colin
Nicholls, Tim Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard (Nicholls et
al, 2011: 89) sebagai berikut:
17
atau manajemen dari korporasi tersebut yang berhak mewakili secara
hukum. Selain itu, dalam kondisi tersebut termasuk pekerja atau
pihak lain yang mendapatkan pendelegasian untuk menjalankan
suatu pekerjaan tertentu (express power of attorney/délégation de
pouvoir) (Clifford Chance, 2012: 10).
Persyaratan kedua adalah korporasi (personnes morales) tersebut
bukanlah negara dengan adanya pengaturan pengecualian terhadap
negara (l’exclusion de l’Etat). Sedangkan, untuk otoritas publik
tingkat lokal terdapat ketentuan dalam Articles 121-2 Code Pénal
Français sebagai berikut:
terpisah dari mens rea korporasi sesuai dengan bunyi Articles 121-2
Code Pénal Français. Pandangan ini sesuai dengan penjelasan Katrin
Decket (Peith et al, 2011: 164), yaitu:
“First, the principle laid down in art. 121-1 Penal Code does not
seem to imply that it is necessary to establish fault on the part of
legal person, distinct from the fault of the organs or representatives.
Second, and most importantly, the need to establish a separate fault
on the part of the legal person has explicitly been rejected by the Cour
de cassation. And, there are still other arguments that argue against a
“double fault” requirement”
19
itu, suatu tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban
kepada korporasi apabila dilakukan oleh organ dan representasi
korporasi dalam rangka untuk mempertahankan dan menjaga fungsi
dari korporasi bahkan dalam kondisi korporasi tidak mendapatkan
keuntungan secara langsung sekalipun.
21
tujuan usaha yang tercantum dalam anggaran dasar tetapi juga
kegiatan lain yang mendukung kegiatan usaha korporasi tersebut
baik langsung maupun tidak langsung.
Apabila kita sandingkan dengan penjelasan teori
pertanggungjawaban pidana korporasi, ketiga unsur tersebut
menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam UU
Tindak Pidana Korupsi adalah pendekatan vicarious liability sesuai
penjelasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal tersebut
ditunjukkan dengan dapatnya suatu tindakan dianggap telah
dilakukan korporasi apabila tindakan tersebut dilakukan oleh orang
yang mempunyai hubungan kerja dalam segala tingkat jabatan,
bahkan hubungan lain selain hubungan kerja selama tindakan
tersebut dilakukan dalam lingkungan korporasi. Berbeda juga
dengan pendekatan identification model yang membatasi suatu
tindak pidana apabila dilakukan oleh pengurus korporasi dalam
level direksi. Dalam hal tindakan dilakukan, pendekatan Indonesia
lebih mirip dengan pendekatan Inggris yang juga mendasarkan pada
hubungan kerja atau hubungan lain selain hubungan kerja.
Selanjutnya, bagaimana melihat kesalahan korporasi dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Apabila
konsisten dengan jenis pendekatan yang digunakan dalam Pasal 20
ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi yang menyatukan perbuatan
orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain selain
hubungan pekerja adalah perbuatan korporasi sesuai teori vicarious
liability, maka pada konteks mens rea orang yang melakukan
perbuatan pidana tersebut juga teratribusikan menjadi mens rea
dari korporasi tersebut sesuai teori vicarious liability. Berdasarkan
pengalihan tersebut, bahkan beberapa ahli pidana seperti Mardjono
Reksodiputro memasukan penggolongan vicarious liability sebagai
pemidanaan tanpa perlu pembuktian kesalahan korporasi secara
tersendiri sehingga tidak dinilai sebagai kesalahan korporasi
(Reksodiputro, 2015: 13). Pada pengelompokan, V.S. Khana tetap
memasukkan vicarious liability atau dikenal juga sebagai respondent
superior sebagai pertanggungjawaban dengan pembuktian kesalahan
korporasi sebagai bagian dari jenis single actor mens rea standard
dengan alasan bahwa kesalahan tetap tidak hilang sebagaimana
strict liability tetapi hanya mengatribusikan kesalahan pekerja
yang melakukan tindak pidana menjadi kesalahan korporasi. Hal
tersebut berdasarkan putusan U.S. v. Hilton Hotel Corp dan putusan
Simulasi Kasus
Simulasi ini akan menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tindak
Pidana Korupsi dengan isi sebagai berikut:
23
yang:
Kondisi 1
Orang bernama A yang merupakan manajer di PT X melakukan
penyuapan pembuatan KTP di kelurahan dengan sengaja dan
bertujuan mempercepat pengurusan sehingga KTP tersebut dapat
segara dipakai sebagai syarat mengurus kenaikan pangkat menjadi
General Manager yang saat ini kosong. Perbuatan yang dilakukan
A memenuhi seluruh unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi serta
tidak adanya alasan penghapus pidana. Apakah korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban?
Pada kondisi 1 tersebut, PT X tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban walaupun syarat suatu perbuatan A dapat
dianggap sebagai perbuatan PT X terpenuhi sesuai Pasal 20 ayat (2)
UU Tipikor. Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana
yang dilakukan oleh Korporasi. Perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang yang mempunyai hubungan kerja dengan Korporasi. Penuntut
umum dapat mendasarkan bahwa perbuatan tersebut secara tidak
langsung masuk dalam lingkungan korporasi karena dengan segera
mendapatkan KTP maka mendukung bisnis korporasi karena posisi
general manager segera terisi. Akan tetapi, tindakan tersebut tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban karena tindakan tersebut
bukanlah “dilakukan atau atas nama korporasi” karena pembuatan
KTP lebih cenderung pada kepentingan A sebagai individu dan jenis
dokumen yang diurus bukan kepentingan korporasi. Selain itu, mens
rea dari A yang mempunyai maksud untuk segera mendapatkan
promosi yang tercermin dari tindakan melakukan suap tidak dapat
diatribusikan menjadi mens rea korporasi.
Kondisi 2
Orang bernama B yang merupakan manajer di PT Y melakukan
penyuapan pengurusan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kepada Bupati
dengan sengaja dan bertujuan mempercepat pengurusan sehingga
korporasi tersebut dapat segera melakukan usaha perkebunan.
Perbuatan yang dilakukan B memenuhi seluruh unsur-unsur
perbuatan pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU
Tindak Pidana Korupsi serta tidak adanya alasan penghapus pidana.
Apakah korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban?
Pada kondisi 2 tersebut, PT Y dapat dimintakan
pertanggungjawaban. Syarat suatu perbuatan dapat dianggap
menjadi perbuatan korporasi sesuai Pasal 20 ayat (2) UU Tindak
Pidana Korupsi terpenuhi karena tindak pidana merupakan tidak
pidana yang dapat dilakukan korporasi, B merupakan manager dari
PT Y sehingga mempunyai hubungan kerja dan dilakukan sesuai
dalam konteks lingkungan korporasi. Pada kondisi 2 ini, kesalahan
dalam bentuk kesengajaan B melakukan suap agar PT Y dapat segara
melakukan bisnisnya sehingga masuk dalam kepentingan korporasi.
Hal tersebut menyebabkan mens rea B dapat diatribusikan menjadi
mens rea PT Y dalam bentuk kesengajaan dengan maksud.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas maka secara singkat
suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan
UU Tindak Pidana Korupsi apabila memenuhi tahapan yang tepat.
Tahap pertama, terpenuhinya syarat tindak pidana korupsi yang
dianggap dilakukan oleh korporasi sesuai Pasal 20 ayat (2) UU
Tipikor dan terpenuhinya delik sesuai dengan pasal yang digunakan.
Kedua, terpenuhinya syarat bahwa tindak pidana korupsi tersebut
adalah tindak pidana yang masuk dalam lingkup tindak pidana
yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban pidana
korporasi serta tidak adanya alasan penghapus pidana. Ketiga,
terpenuhinya pembuktian kesalahan melalui atribusi mens rea dari
orang yang meiliki hubungan kerja atau hubungan lain melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada tahap kedua diatas
menjadi mens rea korporasi dengan bentuk kesalahan sesuai dengan
delik yang dilakukan dengan syarat mens rea tersebut memang dapat
diatribusikan sebagai mens rea korporasi.
25
KESIMPULAN DAN SARAN
Pertama, lingkup tindak pidana. Pada lingkup tindak
pidana terdapat perbedaan pengaturan antara Inggris, Prancis dan
Indonesia. Inggris menyebut secara spesifik tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh korporasi sesuai dengan Section 7 (1) a UK Bribery
Act 2010. Berbeda dengan Prancis dan Indonesia yang menggunakan
ketentuan yang mengatur secara umum tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh korporasi sehingga dibutuhkan penafsiran terkait
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi.
Penyuapan merupakan lingkup tindak pidana yang diakui dapat
dilakukan oleh Korporasi pada hukum Inggris, Prancis dan Indonesia
walaupun khusus penyuapan pejabat asing hanya diakui di Inggris
dan Prancis. Selain penyuapan, Prancis memasukkan tindak pidana
yang dapat dilakukan korporasi berupa perdagangan pengaruh
(influence peddling/trafic d’influence), mendapatkan manfaat secara
ilegal (illegal taking of interest/De la prise illégale d’intérêts) dan
keberpihakan dalam pengadaan (favouritism in public procurement/
Des atteintes à la liberté d’accès et à l’égalité des candidats dans les
marchés publics et les délégations de service public). Sedangkan
Indonesia, selain penyuapan, memasukkan juga perbuatan melawan
hukum yang dapat merugikan keuangan atau ekonomi negara,
perbuatan curang, pemberian hadiah dan tindak pidana lain yang
dianggap sebagai tindak pidana korupsi.
Kedua, kesalahan korporasi. Inggris, Prancis dan Indonesia
menggunakan pendekatan berbeda terkait kesalahan (mens rea,
schuld) dari Korporasi. Inggris menggunakan pendekatan tidak perlu
dibuktikan kesalahan korporasi apabila kesalahan pelaku sudah
dapat dibuktikan selama tindak pidana tersebut bertujuan untuk
keuntungan korporasi. Hal tersebut karena pendekatan Inggris
adalah korporasi dianggap bersalah apabila gagal menerapkan
prosedur pencegahan (adequate procedure) sehingga tindak pidana
tersebut terjadi (Liability of Negligent Procedures and Policies).
Sedangkan Prancis, menggunakan pendekatan atribusi mens rea
dari organ atau representasi dari Korporasi menjadi mens rea dari
Korporasi sepanjang tindakan tersebut masih sesuai dengan tujuan
usaha korporasi. Indonesia dalam UU Tindak Pidana Korupsi
menggunakan pendekatan teori vicarious liability. Pendekatan
tersebut diterjemahkan melalui orang yang memiliki hubungan kerja
REFERENSI
A Quaid, Jennifer, 1998, The Assessment of Corporate Criminal
Liability on the Basis of Corporate Identity : An Analysis, McGill
Law Jurnal/Reveu De Droit McGill Vol. 43.
Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi, Kebijakan, Aparatur Negara
dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta
Dargham, Christian dan Charles-Henri Boeringer, Corporate Liability
in Europe, 2012, Clifford Chance LLP: London
De Maglie, Chistina, 2005, Models of Corporate Criminal Liability
In Comparative Law, Washington University Global Studies Law
Review [Vol. 4:547]
Emmanuel Marsigny et al, 2016, Bribery & Corruption: Third Edition,
Global Legal Insights
Head, John W., 2011, Great Legal Traditions - Civil Law, Common
Law and Chinese Law in Historical and Operational Perspective,
Durham (North Carolina): Carolina Academic Press
Hiariej, Eddy OS, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta
IFAC Public Sector Committee, 2001, The Delegation of Public
Services in France: An Original
Method of Public Administration: Delegated Public Service, IFAC. Hal 5-6
27
Khana, V.S, 1996, Corporate Mens Rea : A Legal Construct In Search
of A Rationale, The Center for Law, Economics, and Buisness,
Harvard Law School, Cambridge
Ministry of Justice, 2011, The Bribery Act 2010: Guidance about
Procedures which relevant commercial organisations can put into
place to prevent persons associated with them from bribing, MoJ,
London
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi: Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Nicholls QC, Colin et al., 2011, Corruption and Misuse of Public
Office: Second Edition, Oxford University Press, Oxford
OECD, 2012, Phase 3 Report on Implementing the OECD Anti-
Bribery Convention in France, OECD
Peith, Mark et, al, 2011, Corporate Criminal Liability, Springer. Katrin
Deckert
Rehberg, Markus, 2010, Statutory Interpretation and Civil Law
Methodology on Munich University Summer Training in European
and German Law 2010, Munich
Reksodiputro, Mardjono, 2015, Tindak Pidana Korporasi dan
Pertanggungjawabannya, FGD International Standards On
Corporate Criminal Lability yang diselenggarakan KPK-OECD
pada tanggal 28 Juli 2015.
Wagner, Markus, 1999, Corporate Criminal Liability National and
International Responses, International Society for the Reform of
Criminal Law, 13th International Conference, Malta, 8-12 July 1999
Kasim, Umar, 2010, Karyawan Diangkat Jadi Direksi, Hukum Online
sesuai dengan alamat http://www.hukumonline.com/klinik/
detail/cl4608/karyawan-diangkat-jadi-direksi diakses pada
Jumat, 4 November 2016.
Legislasi
Code Pénal Français
France Penal Code (English Version SPENCER Q, John Rason)
United Kingdom Bribery Act 2010
UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Putusan
Putusan PN BANJARMASIN Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm
Putusan PT BANJARMASIN Nomor 04/PID.SUS/2011/PT. BJM
Birmingham & Gloucester Railway Co. pada tahun 1842
Hudson River Railroad Co. v United States pada tahun 1909
United States v Twentieth Century Fox Film Corporation pada tahun
1989
Regina v Innospec Limited pada tahun 2010
29
30 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Relasi Korupsi Korporasi
dan Korupsi Politik:
bewe2015@hotmail.com
ABSTRAK
Dalam banyak kasus korupsi, diduga keras, korporasi juga
terlibat dan menjadi bagian kejahatan tapi korporasi hampir
tidak pernah dijadikan subyek hukum yang diperiksa dan diminta
pertanggungjawabannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ada
fakta lain yang juga sangat faktual, di sebagian besar kasus korupsi
yang dilakukan korporasi juga terjadi korupsi politik. Bahkan, ada
indikasi yang tak terbantahkan, ada korupsi politik di dalam korupsi
korporasi. Untuk itu diperlukan suatu kajian awal untuk melihat
relasi diantara keduanya. Di dalam kajian digunakan rujukan berupa
peraturan perundangan, informasi yang dikemukakan oleh media,
putusan pengadilan dan juga buku referensi. Ada persekutuan antara
tindak korupsi korporasi dan korupsi politik yang melibatkan pihak
pemegang otoritas dengan jabatan politik tertentu dengan pihak yang
mewakili kepentingan korporasi. Mereka menyalahgunakan sumber
daya publik yang berasal dari keuangan negara untuk kepentingan
31
privat dan kelompoknya sendiri. Pada kasus tertentu, dana yang
digunakan berasal dari korporasi dan ditujukan untuk “membeli”
otoritas yang dimiliki oleh penyelenggaraan negara. Pada konteks
ini, korporasi dengan kekuatan kapitalnya dapat mendikte hingga
menguasai kepentingannya sehingga terjadilah apa disebut sebagai
capital and corporate driven atas berbagai proyek yang tidak
ditujukan untuk kepentingan publik. Penegak hukum mengalami
kegagapan untuk dapat menangani dan masuk di dalam kasus ini
karena sifat kasusnya menjadi beyond the law.
Kata Kunci: Korupsi, Korupsi Korporasi, Korupsi Politik
ABSTRACT
In many cases of corruption, alleged, corporations are also
involved and become the part of a criminal but corporations almost
never be subjects of law are requested its accountability at the
Corruption Court. There is another fact, in the majority of cases of
corruption which is conducted by corporations also happen political
corruption. In fact, there are indications that the undeniable, there
is political corruption in corporate corruption. It required an initial
study to look at the relationships between corporate and political
corporation. In the study used a reference the laws, the information
presented by the media, court decisions and reference books. There
is an alliance between corrupt corporate and political corruption
which involving the authorities who have political authority with
the party which representing the interests of corporations. They
misuse of public resources which come from state finances to private
interests and his own groups. In certain cases, the funds were taken
from the corporation and is intended to “buy” the authority which
is owned by the state administration. In this context, a corporation
with its capital strength can dictate to mastering their interests.
There is capital and corporate driven on a variety of projects that are
not intended for the public interest. law enforcement face difficulty to
be able to handle this case because of the nature of the case be beyond
the law.
Keywords: Corruption, Corporate Corruption, Political
Corruption
PENDAHULUAN
Ada 2 (dua) frasa kunci yang menjadi bagian penting dari tulisan
ini, yaitu: Korupsi Politik dan Korupsi Korporasi. Tentu, kedua frasa
itu perlu dijelaskan makna operasionalnya tetapi juga akan dilacak,
apakah pada keduanya ada relasi sehingga terjadi pertautan satu dan
lainnya. Selama ini, ada dugaan, disebagiannya, korupsi korporasi
tidak berdiri sendiri, ada “jejak” korupsi politik yang menyertai
dan menjadi bagian dari korupsi korporasi. Bagaimana jika terjadi
pertautan dan juga konsolidasi kepentingan diantara keduanya,
apakah modus operandi operasi makin menjadi “solid” dengan
“dampak” yang juga kian besar magnitudenya.
Secara umum, korupsi yang diduga dilakukan korporasi telah
dirumuskan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam rumusan
pasal pada delik kejahatan yang tersebut di dalam UU Tindak Pidana
Korupsi, dimulai dengan menggunakan frasa kata “setiap orang”.
Pada frasa kata tersebut, setiap orang dimaknai sebagai orang
perseorangan dan juga termasuk korporasi (Pasal 1, Angka 3 UU No.
31 Tahun 1999).
Bahkan, di dalam Pasal 1, Angka 1 UU tersebut di atas, juga
dirumuskan pengertian dari korporasi, sebagai kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Berdasarkan uraian tersebut, “setiap
orang” juga termasuk korporasi dapat dikualifikasi menjadi subyek
dari suatu tindak pidana korupsi. Bahkan, di dalam Pasal 20 UU No.
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sudah dijelaskan
hal ihwal mengenai korupsi yang dilakukan korporasi dan atau
pengurusnya.
Ada 3 (tiga) hal menarik berkaitan dengan korupsi korporasi ini bila
dikaitkan dengan keinginan KPK untuk membawa kasus korupsi ke
depan pengadilan, yaitu: pertama, KPK menyatakan bahwa sebagian
besar kasus penyuapan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh
korporasi; kedua, tidak ada satu pun korporasi yang dihukum dalam
seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK yang melibatkan korporasi
karena korupsi yang ditangani baru sebatas pribadi atau perorangan;
ketiga, kasus korupsi korporasi, disebagiannya, juga melibatkan
politisi selain aparatur birokrasi. Pernyataan ini hendak menegaskan,
ada kepentingan lain yang potensial bekerja di dalam kasus korupsi
korporasi.
33
Berkaitan dengan pernyataan di dalam butir ketiga di atas, ada
suatu pertanyaan yang mengemuka, apakah korupsi politik menjadi
sesuatu yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari korupsi lainnya,
khususnya korupsi korporasi serta juga punya hubungan dengan
kepentingan politik. Pada kenyataan lainnya, ada banyak ditemukan
fakta, korupsi juga dilakukan oleh kalangan parlemen yang kerap
disebut sebagai politisi, dan korupsi juga dilakukan bersama birokrasi
dan korporasi. Itu sebabnya menarik untuk dikaji, adakah pengaruh
politik tertentu yang menyebabkan pihak lain menyalahgunakan
kewenangan atau perbuatan melawan hukum.
Secara umum, tidak ada satu pun penjelasan normatif yang
tersebut dan disediakan oleh suatu peraturan perundangan yang
dapat menjelaskan pengertian korupsi politik. Artidjo Alkostar,
Hakim di Mahkamah Agung, mencoba melakukan “ijtihad hukum”
dengan merumuskan korupsi politik melalui berbagai pertimbangan
hukum di dalam kasus-kasus yang diputuskannya, khususnya pada
kasus-kasus korupsi diajukan kasasi ke Mahkamh Agung.
Misalnya saja, di dalam kasus Rina Iriani Sri Ratnaningsih,
mantan Bupati Karanganyar, dihukum lebih tinggi dari tuntutan
Penuntut Umum. Salah satu alasan dalam pertimbangan hukum yang
dirumuskan oleh Majelis Hukum Kasasi menyatakan, korupsi yang
dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya, sebagiannya,
dialirkan untuk kegiatan politik. Tindakan sedemikian oleh Majelis
Hakim MA dikualifikasi sebagai tindakan korupsi politik.
Begitupun, pada kasus Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden
PKS, Hakim Agung Artidjo, memperberat hukuman Luthfi menjadi
18 tahun penjara. Dalam putusan ini, Artidjo membangun konstruksi
hukum yang dirumuskan di dalam pertimbangan putusan berkaitan
dengan suatu tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai “korupsi
politik”. Korupsi politik dimaknai sebagai suatu perbuatan yang
dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi
kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan.
Di dalam Putusan Anas Urbaningrum yang dituduh dengan
dakwaan berlapis, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya
dinyatakan, apa yang dilakukan oleh Anas untuk memperkaya dirinya
dan orang lain, tidak hanya disebut sebagai tindak pidana korupsi
saja. Perbuatan Anas yang menggunakan uang hasil kejahatannya,
sebagai bagian dari upaya sadar dan sengaja untuk mencapai obsesi
politiknya melalui berbagai upaya “politik” oleh Mahkamah Agung
35
yang kemudian disebut sebagai korupsi politik. Pada ujungnya,
kesemuanya itu dapat ditujukan untuk “kepentingan” politik tertentu.
Di dalam kasus Anas, ada perusahaan yang kemudian dikenal
bernama Permai Group, suatu badan usaha yang diindikasikan,
baik secara langsung dan tidak langsung digunakan untuk menjadi
instrumen dalam melakukan kejahatan bersama-sama dengan
Nazaruddin dan kawan lainnya. Pada kasus dimaksud dengan uraian
dakwaan serta petimbangan hukum atas kasus di atas, kelak dapat
dilihat, sejauh mana relasi dan integrasi kepentingan diantara korupsi
korporasi dan korupsi politik.
Hal tersebut di atas menjadi penting untuk dilakukan pengkajian,
selama ini, korupsi korporasi seolah menjadi bagian terpisahkan yang
tidak ada kaitannya dengan korupsi politik. Padahal, relasi diantara
keduanya terjadi begitu faktual serta menyebabkan kejahatan menjadi
canggih dan kompleks serta kian memiliki kekuatan yang kian sulit
untuk “dikendalikan” oleh sebagian penegak hukum yang belum
sepenuhnya independen sehingga kasus-kasus tersebut potensial
tidak sepenuhnya dapat diperiksa dan dikontestasi secara fair trial.
METODE KAJIAN
Di dalam melakukan kajian digunakan 3 (tiga) sumber utama,
yaitu: pertama, peraturan perundangan yang berkaitan dengan
kajian; kedua, informasi berupa berita yang dikemukakan oleh
media yang dapat diakses. Bisa saja terjadi, pernyataan dari berbagai
Pimpinan lembaga yang dikutip media dan berkaitan dengan maksud
pengkajian, dijadikan bahan rujukan penulisan; dan ketiga, putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
karena sudah diputus oleh Mahkamah Agung.
Berpijak pada ketiga sumber utama di atas maka dilakukan
kajian dan pembahasan dengan merujuk pada maksud kajian dan
penulisan. Ada asumsi yang didasarkan atas suatu fakta yang telah
dan tengah terjadi. Di satu sisi, modus operandi korupsi terus
berkembang melebihi kemampuan pemahaman yang diketahui
kebanyakan kalangan. Adakalanya, perkembangan itu jauh melebihi
lingkup peraturan perundangan yang ada. Di sisi lainnya, aparatur
penegakan hukum mempunyai keterbatasan untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya karena perkembangan kejahatan yang bisa
terjadi beyond the law.
Untuk itu diperlukan kajian yang ditujukan untuk melihat lebih
teliti tingkat perkembangan kejahatan, mengabstraksi kajian untuk
membangun diskursus pada level publik agar kesenjangan antara
perkembangan kejahatan dengan peraturan perundangan dapat
terus dikendalikan agar tidak terjadi “gap” yang terlalu lebar sehingga
meniadakan kepastian hukum. Selain itu, kajian juga penting
dilakukan agar menjaga prioritas perhatian dari aparat penegak
hukum untuk terus menerus “berpihak dan mengelola” kepentingan
kemaslahatan publik sepenuh-penuhnya.
Kajian ini juga dapat digunakan dan sekaligus ditujukan untuk
mengkonstruksi suatu gagasan dalam bentuk yang lebih solid yang
kelak dapat dipakai untuk membangun diskursus di level masyarakat.
Selain itu, kajian ini juga potensial digunakan untuk menginisiasi
gagasan dan memperdebatkannya, atau kajian awal yang kelak akan
37
disempurnakan guna mendorong percepatan perubahan berbagai
peraturan perundangan agar ketentuan perundangan dimaksud
senantiasa kompatibel dengan berbagai perkembangan kejahatan
serta dapat digunakan secara efektif untuk mengendalikan kejahatan
tersebut.
hanya sebesar Rp.2 miliar adalah suatu jumlah yang nilainya bak
serpihan pasir belaka bila dibandingkan dengan keuntungan investasi
yang dihasilkan pengembang.
Ada kekuatiran yang sangat mendalam dan masuk akal. Jika
jumlah keuntungan atas proyek itu begitu fantastis hingga mencapai
puluhan triuliun rupiah, bukan hal yang tidak mungkin bila dana
tersebut sebagiannya “digelontorkan” sebagai “pelumas” untuk
menjustifikasi proyek. Tindakan ini kerap disebut juga sebagai biaya
rente ekonomi-politik yang perlu “dilunasi” agar dapat legitimasi
kekuasaan. Bila hal dimaksud dilakukan, diduga, kekuasaan potensial
akan terbeli dan tidak akan mampu mengendalikan wibawa dan
kehormatannya dibawah kapital dan komoditifikasi kepentingan.
Selain itu, kasus ini juga menjadi sangat menarik karena masih
ada banyak hal belum terungkap termasuk dalam kaitannya dengan
kepentingan korporasi untuk kemudian ditarik relasinya dengan
korupsi politik. Misalnya saja, apakah Ariesman Widjaja dalam
kapasitas sebagai Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land
bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri? Bukankah Ariesman
hanya salah satu direktur saja yang sesungguhnya menjalankan
kepentingan dari kebijakan korpotasi atau bahkan kepentingan
dari owner korporasi? Ada begitu banyak korporasi yang punya
kepentingan atas persoalan pasal yang berkaitan dengan tambahan
kontribusi sebesar 15% bagi pemilik izin reklamasi, apakah hanya
satu korporasi saja yang terlibat atas kepentingan yang melibatkan
begitu banyak korporasi lainnya.
Pada konteks politik, apakah kepentingan kapital untuk
“menundukkan dan menguasai” parlemen, dilakukan hanya dengan
menyuap seorang Sanusi saja? Padahal ada begitu banyak pertemuan
lain yang melibatkan cukup banyak pimpinan parlemen daerah dan
alat kelengkapan dewan di dalam pembahasan draf peraturan daerah,
khususnya yang menyangkut kontribusi tambahan 15% tersebut. Lalu,
kenapa hanya Sanusi saja yang bertanggungjawab atas persoalan
yang begitu besar. Semoga saja, kasus Sanusi dijadikan pintu masuk
untuk membongkar potensi penyuapan yang lebih struktural.
Begitupun dalam kaitannya dengan birokrasi, juga muncul banyak
pertanyaan lainnya. Seperti misalnya, ada pembicaraan antara
pimpinan birokrasi dengan pemilik korporasi. Bahkan, pemilik
korporasi juga melakukan berbagai pertemuan, baik dengan politisi
yang mewakili kekuasaan di parlemen maupun dengan kalangan
39
birokrasi lainnya, termasuk Basuki TP sebagai Kepala Daerah DKI
Jakarta. Diduga, sebagian besar pertemuan dimaksud memuat
pembicaraan yang berkaitan soal reklamasi.
Lihat saja keterangan Sugianto Kusuma yang kerap dipanggil
dengan nama Aguan, di muka persidangan di awal September 2016,
mengemukakan pertemuannya dengan kepala pemerintahan DKI “…
2013 pertama datang untuk silaturahmi Pak Wagub, … sebetulnya saya
kenal dia sudah cukup lama ... Kalau ketemu yang bukan resmi sudah
sering ... Waktu di Pantai Mutiara waktu Pak Ahok wagub minta ada
tambahan kontribusi ... Dari pihak Pemprov yang mengumpulkan di
Pantai Mutiara, yang datang dari Intiland, Agung Podomoro, Ancol
dan saya … karena pemerintah daerah mau bangun rusun, jadi perlu
banyak dana maupun tanah …”.
Ternyata, Aguan juga bertemu pimpinan DPRD Jakarta untuk
membahas rancangan aturan pulau reklamasi pada awal Desember
2015. Pada suatu media dikemukakan, Aguan memanggil Ketua
DPRD Prasetyo Edi Marsudi, Wakil Ketua Mohamad Taufik, anggota
Badan Legislasi Ongen Sangaji, dan Ketua Panitia Khusus Reklamasi
Selamat Nurdin, diperantarai Mohamad Sanusi yang menjadi
tersangka suap Rp 2 miliar. Mereka membahas kemungkinan
menurunkan kontribusi tambahan dari 15 menjadi 5%, Aguan
keberatan karena 15 persen setara Rp 11,8 triliun. Media dimaksud
menyatakan Ongen Sangaji membenarkan pertemuan tersebut. “…
Pertemuan itu ada, saya sudah jelaskan ke KPK …”.
Pada kasus Jakabaring dan Hambalang juga terjadi hal serupa,
seperti yang sudah di kemukakan di atas. Pada kasus Jakabaring dan
Hambalang, bertemulah tiga kepentingan besar, yaitu para politisi
yang punya akses pada parlemen dan juga pemerintahan untuk
menentukan suatu proyek tertentu, korporasi yang mencari akses
untuk mendapatkan proyek pembangunan dari kementerian dengan
menggunakan dana APBN dan pihak birokrasi yang biasa ditunjuk
mewakili kepentingan kementerian dalam mengurus proyek.
Pertama kali, kasus suap Jakabaring terungkap melalui Operasi
Tangkap Tangan (OTT) KPK tanggal 21 April 2011. Ada tiga lembar
cek, yaitu: 2 (dua) lembar dari Bank BCA dan satu lembar dari
Bank Mega senilai Rp. 3.289.850.000 digunakan sebagai sarana
penyuapan yang berkaitan dengan proyek pembangunan Wisma
Atlet Jakabaring di Sumatera Selatan. Proyek ini dibiayai APBN
melalui Daftar Isian Pembangunan Anggaran (DIPA) 2010, berupa
41
Manulang, Mohamad El Idris dan Wafid Muharam). Kemudian,
kasus ini berkembang dan ternyata melibatkan Nazaruddin. Pada
akhirnya, juga menyeret berbagai figur yang sudah begitu dikenal
publik sehingga menjadi 11 (sebelas) kasus lainnya berhasil dibawa
ke pengadilan oleh KPK.
Adapun kasus-kasus yang ada kaitannya dengan korporasinya
Nazaruddin, yaitu antara lain: kasus Anas Urbaningrum. Putusan
Mahkamah Agung di dalam salah satu pertimbangannya menyatakan
hal-hal sebagai berikut:
43
digunakan sebagai alat kejahatan sehingga memperberat hukuman
Luthfi menjadi 18 (delapan belas) tahun penjara.
Dalam putusan tersebut dikemukakan “… Hubungan
transaksional antara terdakwa yang anggota badan kekuasaan
legislatif dengan Maria Elizabeth Liman, pengusaha impor
daging sapi, merupakan korupsi politik karena dilakukan
terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik
sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) …”.
Berdasarkan seluruh hal yang diuraikan seperti tersebut di atas maka
dapat dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, tindakan yang dilakukan berbagai pihak, seperti:
Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Rani Iriani dan Luthfi
Hasan Ishaaq telah dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi dan
keputusannya telah tetap menurut hukum karena sudah diputuskan
oleh Mahkamah Agung.
Ada pihak lainnya yang belum diperiksa di pengadilan tetapi di
dalam dakwaan sudah disebutkan dan tindakan kejahatan dilakukan
secara bersama-sama maka kepada mereka telah layak untuk
dikualifikasi melakukan tindakan yang disebut koruptif. Ada juga
kasus dari Ariesman Widjaja dan Mohamad Sanusi yang proses
hukumnya di pengadilan sedang dilakukan tetapi belum selesai.
Karena pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, berasal
dari bahasa latin yaitu “corruptio atau corruptus” atau dari kata asal
“corrumpere“, yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua
dan turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi; serta dipadankan
dengan pengertian yang dirumuskan The Lexicon Webster Dictionary,
maka tindakan koruptif adalah tindakan yang bersifat kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah.
Para pihak yang sudah disebutkan di dalam dakwaan, rumusan
dakwaannya telah diuji di muka pengadilan dan para pihak itu
dinyatakan telah menerima sesuatu yang bertentangan dengan
perundangan, kewajiban hukum serta kepatutan, para pihak tersebut
sudah dapat dikualifikasi telah melakukan suatu tindakan yang
dikualifikasi sebagai perbuatan korupsi.
Kedua, tindakan subyek hukum tersebut di dalam poin pertama
dilakukan oleh para pihak yang menjadi bagian dan punya relasi
dengan politik dalam berbagai aspeknya. Salah satunya, korupsi
tersebut dilakukan pejabat publik yang juga politisi dan sebagian uang
hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Pada konteks
itu, mereka menggunakan korporasi sebagai sarana dan prasarana
kejahatan.
Pendeknya, tindakan sebagian para pihak seperti tersebut di
dalam butir pertama, juga berkaitan dengan korporasi, baik langsung
maupun tidak langsung. Misalnya Permai Group, perusahaan
itu secara faktual dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana
kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Lebih
dari itu, perusahaan dimaksud juga melakukan tindakan lain yang
merupakan bagian dari kejahatan lainnya dengan menggunakan
uang yang didapatkan dari hasil kejahatan.
Ketiga, ada fakta kongkrit yang tidak terbantahkan, korporasi yang
dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan dimaksud,
secara hukum, tidak pernah dinyatakan sebagai perusahaan pelaku
kejahatan tindak pidana korupsi. Selama ini, di dalam pratik
penegakan hukum di Indonesia, sebagian besar kejahatan korupsi,
pihak atau subyek hukum yang dibawa dan diperiksa serta dihukum
pengadilan hanyalah pelaku yang mewakili korporasi atau sebagian
pemiliknya saja.
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 1, Angka 3 UU No. 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dimana ada frasa kata
“setiap orang” yang artinya, setiap orang adalah orang perseorangan
dan juga termasuk korporasi belum diefektifkan dan diaktifkan secara
paripurna. Oleh karena itu, perusahaan Permai Group, PT Agung
Podomoro Land, PT. Adhi Karya, PT DGI, Dutasari Citra Laras, PT.
Indoguna Utama dan perusahaan lainnya yang terlibat di dalam
tindak pidana korupsi masih terus dapat bekerja dan beroperasi
kendati secara faktual telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
tindak pidana korupsi yang dilakukan para pemiliknya.
Fakta ini hendak menegaskan, sebagian besar pelaku kejahatan,
maksudnya, korporasi yang terlibat maupun menjadi bagian dari
kejahatan belum disentuh dan ditarik menjadi pihak yang juga harus
mempertanggungjawabkan tindakannya. Pemerintahan melalui
lembaga dan aparatur penegakan hukumnya telah melakukan
pembiaran dengan sangat sempurna atas kejahatan yang dilakukan
oleh korporasi.
Itu sebabnya, KPK harus didorong untuk segera mengaktualisasikan
komitmennya dan kehendak kuatnya untuk membawa kasus
45
korporasi, khususnya, korporasi yang diduga terlibat melakukan
tindak pidana korupsi ke depan persidangan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
Fakta bahwa korporasi belum dibawa ke pengadilan dapat dimaknai
sebagai tindak pembiaran. Di KPK ada sekitar 90% kasus korupsi
yang ditanganinya berkaitan dan turut melibatkan korporasi. Oleh
Karena itu, KPK harus didorong untuk sesegera mungkin menanganai
penyuapan yang dilakukan korporasi untuk mendapatkan sejumlah
proyek negara atau memengaruhi kebijakan. Itu juga artinya, dugaan
kasus penyuapan yang dilakukan korporasi, yakni sebesar 50,9%,
serta 28,7% di antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa,
dan 8,5% kasus penyalahgunaan anggaran.
Salah seorang Hakim Agung, Surya Jaya dalam diskusi bertajuk
“Pertanggungjawaban dan Pemidanaan Korporasi dalam Perkara
Tipikor” menuyatakan “… korporasi seringkali digunakan sebagai
sarana untuk melakukan tindak pidana, bahkan sampai dijadikan
tameng untuk melindungi hasil kejahatan yang dilakukan seorang
pengurus korporasi. Hampir setiap perkara korupsi yang dilakukan
seseorang atas nama perusahaan bertujuan untuk memperkaya
dirinya sendiri …”.
Korupsi korporasi sudah menjadi perhatian dari komunitas
internasional. Setidaknya hal ini dapat dilacak dari aturan yang
dikemukakan secara eksplisit di dalam Pasal UNCAC Tahun 2013
yang menyatakan “… Each State Party shall take measures, in
accordance with the fundamental principles of its domestic law, to
prevent corruption involving the private sector, enhance accounting
and auditing standards in the private sector and, where appropriate,
provide effective, proportionate and dissuasive civil, administrative
or criminal penalties for failure to comply with such measures …”.
Di dalam pasal di atas, negara diwajibkan untuk mengambil
tindakan untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta
dan bahkan diminta memberikan sanksi, baik perdata, administratif
atau pidana yang efektif. Di bagian pasal lainnya, juga diatur, tindak
pidana korupsi oleh korporasi, yaitu: penyuapan di sektor swasta dan
penggelapan kekayaan di sektor swasta.
Di dalam kriminologi kejahatan, semula dikenal kejahatan
korporasi, baik yang dilakukan pihak yang mewakili atau menjadi
manajer di perusahaan maupun perusahaan itu sendiri. Di beberapa
referensi dikemukakan “… corporate crime refers to crimes
47
for companies to seek overseas business partners who share their
commitment to anti-corruption. It also removes deniability of
wrongdoing at the C-suite level when a local agent or supplier pays
a bribe. Therefore, internal compliance becomes a key element of the
board’s approach to risk management.
Apa yang dikemukakan di atas tidaklah berlebihan bila dilihat
berbagai fakta kejahatan yang melibatkan korporasi di berbagai
negara tersebut. Daftar di bawah ini menjelaskan kejahatan korporasi
yang dilakukan di Amerika yang ditangani dengan menggunakan
FCPA di dalam pemerintahan Obama (Merrill, 2011, The Ten Largest
Global Business Corruption Cases), yaitu sebagai berikut:
6/28/2010 Technip S.A. (France) $240 million Bribed Nigerian officials to win
construction contracts
4/6/2011 JGC Corp. (Japan) $219 million Bribed Nigerian officials to win
construction contracts
4/1/2010 Daimler AG (Germany) $195 million Made illegal payments to foreign officials
worth tens of millions of dollars in at
least 22 countries
3/10/2011 Alcatel-Lucent (France) $137 million Bribed officials to win
telecommunications contracts in Costa
Rica, Honduras, Taiwan, Malaysia and
other countries
11/4/2010 Panalpina World Transport $76 million Oil transport company and U.S. affiliate
(Switzerland) paid thousands of bribes totaling at
least $27 million to foreign officials in at
least seven countries, including Angola,
Azerbaijan, Brazil, Kazakhstan, Nigeria,
Russia and Turkmenistan
4/8/2011 Johnson & Johnson (U.S.) $70 million Bribed government-paid doctors and
health officials to promote sales of
medical devices in Greece, Poland and
Romania
49
penyalahgunaan kewenangan yang bersifat diskresi. Itu sebabnya,
tindakan tersebut biasa disebut sebagai discritionery corruption
Karena memanipulasi kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan
sehingga seolah nampaknya bersifat sah tetapi sesungguhnya tidak
legitimated. Di dalam bentuk yang sudah akut dan dilakukan secara
sistematis dan terstruktur kelompok kekuasaan maka tindak korupsi
yang terjadi biasa disebut sebagai ideological corruption yaitu suatu
jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk
mengejar tujuan kelompok dan dilakukan secara terorganisir dengan
kelompok dimaksud.
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian di atas, ada beberapa hal penting lain
yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan korupsi korporasi dan
korupsi politik, yaitu antara lain sebagai berikut:
Pertama, korupsi korporasi dan korupsi politik acapkali berkaitan
satu dan lainnya. Bahkan, seolah ada relasi yang tak terpisahkan satu
dan lainnya. Berbagai contoh yang diajukan di dalam pembahasan di
atas menunjukan hal tersebut;
Kedua, di dalam korupsi korporasi, pelakunya bisa saja hanya
berasal dari korporasi dimaksud saja tetapi juga dapat terjadi, adanya
kerjasama diantara penyelenggara negara dengan kalangan korporasi.
Di dalam contoh lainnya, penyelenggara negara tertentu yang juga
memiliki atau sebagai pemegang saham dari suatu korporasi.
Ketiga, pada konteks di atas, pihak yang menjadi bagian dari
lembaga dan kepentingan kekuasaan dana atau kepentingan politik
tertentu memanfaatkan atau menyalahgunakan, akses dan otoritas
yang dimiliknya dengan menggunakan korporasi yang ada dalam
kendalinya atau menjadi bagian dari kepentingannya. Pendeknya,
di dalam praktiknya, para pemegang mandat kekuasaan, acapkali
menggunakan korporasi seperti telah diuraikan di atas, baik secara
langsung yang ada di bawah kendalinya atau secara tidak langsung
bekerja bersama digunakan sebagai sarana dan prasarana untuk
melakukan kejahatan.
Keempat, juga dapat terjadi, sedari awal, ada persekutuan
atau sindikasi antara tindak korupsi korporasi dan korupsi politik
yang melibatkan pihak yang memegang dan memiliki otoritas dan
kewenangan yang melekat pada jabatan politik tertentu dengan
51
hukum karena semua peraturan hukum dibuat dirancang untuk
melegitimasi penyalahgunaan. Legal tapi tidak legimated atau legal
tapi tidak berbasis pada kepentingan kemaslahatan publik.
REFERENSI
Blechinger, Verena, 2002, Corruption and Political Parties,
Presentation USAID MSI, Management Systems International
Fockema Andreae, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Bina Cipta,
1983
John D Sullivan PhD., The Role of Corporate Governance in Figthing
of Corruption, 2011
Philp, Mark, 2002, “Conceptualizing Political Corruption”, dalam
Heidenheimer, Arnold J. & Johnston, Michael (eds), Political
Corruption: A Hand Book, Third Edition, Transaction Publisher:
New Jersey
Mahkamah Agung, Putusan No. 1261 K/Pid.Sus/2015
Mahkamah Agung, Putusan No. 2223 K/Pid.Sus/20012
United Nation Convention Against Corruption Tahun 2013
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
Undang Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC 2003
http://www.thefiscaltimes.com/Articles/2011/12/13/The-Ten-
Largest-Global-Business-Corruption-Cases by Merrill Goozner,
The Fiscal Times, December 13, 2011
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/14/063762580/terkuak-
aguan-diduga-dalang-suap-reklamasi-ini-buktinya
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/30/1320464/
Korporasi.yang.Terlibat.Korupsi.Kerap.Tak.Tersentuh.Hukum
http://jateng.tribunnews.com/2016/08/11/kpk-perusahaan-bisa-
jadi-tersangka-korupsi
http://kbr.id/08-2016/ketua_kpk__akan_ada_korporasi_jadi_
tersangka_korupsi/83938.html
http://news.detik.com/berita/3293009/cerita-aguan-soal-
kontribusi-bagi-pengembang-reklamasi-yang-berubah-ubah
andreas.nathaniel.marbun@gmail.com
ABSTRAK
Kerugian yang diakibatkan suap di sektor privat, tidak hanya soal
jumlah uang, tetapi juga menciptakan inefisiensi, memperbanyak
kejahatan, memperlamban pertumbuhan, dan memperburuk citra
dan iklim investasi nasional secara makro. Tak heran, dikarenakan
sedemikian parahnya dampak yang diciptakan, hingga Konvensi
PBB tentang pemberantasan korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi
Indonesia, pun akhirnya menganjurkan agar negara-negara
mengkriminalisasi suap di sektor swasta. Namun, hingga detik ini
Indonesia belum mengkategorikan suap di sektor swasta sebagai
suatu tindak pidana korupsi. Sehingga, setiap pelaku suap di sektor
swasta tidaklah dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Wajar jika kerap kali masyarakat
kebingungan mencari cara bagaimana agar sistem hukum Indonesia
dapat menjerat para pelaku suap di sektor privat. Meski begitu, bukan
berarti suap di sektor swasta tidak dapat dijerat dengan hukum
positif Indonesia. Bahkan sebelum lahirnya UNCAC, Indonesia sudah
terlebih dahulu mempidana suap di sektor swasta, melalui Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU
11/1980). Sayangnya, aturan ini bagai ketentuan yang terlupakan dan
53
nyaris tak pernah digunakan. Adanya permasalahan yang sistemik,
sedikit banyak mempengaruhi enggannya penegak hukum untuk
menerapkan peraturan tersebut.
Kata kunci: Suap Sektor Swasta/Privat, UNCAC, Korupsi, Suap,
Inefisiensi
“The private sector also has a crucial role. Good behaviour is good
business. Business groups can convert anti-corruption action into
firm support for sustainable development. I call on everyone to help
end corruption, and come together for global fairness and equity. The
world and its people can no longer afford, nor tolerate, corruption.”
(Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral Persatuan Bangsa-Bangsa, dalam
pesannya pada hari anti-korupsi dunia, tanggal 9 Desember 2014)
PENDAHULUAN
Desember 2016 kemarin, genap sudah satu dekade Konvensi
Persatuan Bangsa-Bangsa melawan Korupsi (United Nation
Convention Againts Corruption yang selanjutnya akan disebut dengan
UNCAC) diratifikasi oleh Indonesia. Penelitian tentang gap analysis
antara UNCAC dengan undang-undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 yang kemudian diubah
melalui undang-undang nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) juga
sudah bertebaran dimana-mana dan dilakukan oleh banyak peneliti
dan pemerhati hukum. Sayangnya, belum ada usaha serius dari
pemerintah untuk sepenuhnya comply dengan UNCAC.
Hal tersebut tidaklah salah sepenuhnya, mengingat dari kesebelas
tindakan yang dikriminalisasi dalam UNCAC, ada yang bersifat
mandatory offences, dan ada pula yang bersifat non-mandatory
offences. Dalam hal ini, Indonesia memang memiliki hak untuk tidak
mengikuti sepenuhnya pengaturan yang ada di UNCAC. Prof. Eddie
O.S. Hiariej menyatakan bahwa kedua sifat tersebut memiliki kaitan
dengan kesepakatan negara-negara peserta dalam konvensi tersebut.
Jika suatu tindakan yang dikriminalisasikan bersifat mandatory
berarti ada kesepakatan dari seluruh peserta konvensi untuk
mengatur tindakan tersebut dalam undang-undang nasionalnya
sehingga menimbulkan kewajiban dari negara pihak (state party)
(Eddy O.S. Hiariej, 2014). Sebaliknya, jika suatu tindakan bersifat
non-mandatory berarti tidak ada kesepakatan di antara para
55
Dari kelima non-mandatory offences yang diatur pada UNCAC,
salah satu yang cukup sering menjadi sorotan dan topik pembahasan,
baik tingkat nasional maupun internasional adalah tentang
penyuapan di sektor swasta.
57
‘Suap (di) Sektor Privat’. Dikarenakan belum ada terjemahan resmi
yang diatur oleh peraturan tertentu, oleh karena itu, dalam paper
ini, penulis akan menggunakan kedua terminologi tersebut secara
bergantian.
59
Atas survey tersebut, KPMG India memberikan beberapa data
hasil survey yang telah dilakukan lembaga tersebut, diantaranya ialah
impact of corruption in business dan cost of corruption. Adapun
datanya sebagaimana ditampilkan di bawah.:
Secara umum, Netherland’s Corruption Report melaporkan “The Dutch Penal Code
makes it illegal for anyone to give or receive a bribe in the public or private
sector”
61
di sektor swasta ini, Belanda mengkriminalisasi tindakan tersebut,
karena adanya pihak yang telah menerima suatu pemberian dari
pihak lain agar yang menerima tersebut bertindak di luar daripada
ketentuan yang ada dengan tanpa niat baik. Lengkapnya, Bonelli
Erede Papalardo et.al (2012) menjelaskan bahwa “In the Netherlands,
private sector bribery is criminalized if the bribed person conceals
his gift or promise from his employer in breach of the requirement
to act in good faith.”
Lebih lanjut, pada dasarnya terdapat perbedaan terminologi yang
digunakan oleh KUHP Belanda dengan UNCAC dalam merumuskan
delik suap di sektor swasta ini. Jika UNCAC menggunakan terminologi
‘Bribery in Private Sector’, Belanda justru menggunakan definisi
‘Private Commercial Bribery’ (Mark F. Mendelsohn et.al., 2014:
192). Namun dalam rumusan pengaturannya, tidaklah memiliki
pengaturan yang berbeda dengan suap di sektor privat. Tak heran,
jika GRECO (Group d’Etats Contre la Corruption/ Group of States
Against Corruption), sebuah organisasi yang menilai kecocokan
produk hukum dan program-program anti-korupsi di negara-negara
Eropa dengan konvensi anti-korupsi yang telah dibuat dan disepakati
oleh Uni Eropa, justru mengkategorikan delik tersebut sebagai
‘bribery in private sector’. (2008)
Semenjak 1967, KUHP Belanda tidak hanya mempidana Suap Aktif
terhadap Pejabat Publik sebagaimana diatur dalam section 177 Dutch
Criminal Code (selanjutnya akan disebut DCC atau KUHP Belanda) –
178 DCC, dan Suap Pasif terhadap Pejabat Publik sebagaimana diatur
dalam section 363 DCC – 364 DCC, tapi juga mempidana Suap di
Sektor Swasta, baik aktif maupun pasif, sebagaimana diatur dalam
section 328ter DCC ayat 1 dan 2 yang mengatur sebagai berikut:
“1. Any person who, in a capacity other than that of civil servant,
either in the service of his employer
or acting as an agent, accepts or requests a gift or promise or
service in consideration for certain acts he has undertaken or has
refrained from undertaking or will undertake or will refrain from
undertaking in the course of his duties as employee or agent, and
who, in violation of good faith, conceals the acceptance or request
of the gift or promise or service from his employer or principal,
shall be liable to a term of imprisonment not exceeding two years
or a fine of the fifth category. (Passive Bribery)
63
dari pemberian, janji, dan tindakan tertentu tersebut merupakan
core dari delik tersebut. Lengkapnya, Mark F. Mendelsohn (2014)
menyatakan;
Prancis
Meskipun tergolong negara maju, namun Prancis mendapat rapor
buruk dari OECD yang menilai bahwa pemberantasan korupsi di
Prancis masih jauh tertinggal ketimbang negara maju di kawasan
eropa barat lainnya. (OECD; 2014, Reed Smith LLP; 2016, Complience
Week; 2014). Prancis juga telah mengkriminalisasi suap di sektor
swasta. Induk dari sistem hukum civil law ini telah mempidana
pelaku suap disektor privat, baik aktif maupun pasif, semenjak
tahun 2005. Prancis mengkategorikan suap disektor swasta dalam
Chapter V dengan judul “Corruption of Person not Holding a Public
Function”. Ketentuan mengenai Active Private Bribery diatur dalam
pasal 445-1 KUHP Prancis yang berbunyi;
Tidak hanya suap aktif, Prancis juga mengatur suap pasif di sektor
swasta. Pengaturan Passive Private Bribery tersebut diatur dalam
pasal 445-2 KUHP Prancis yang berbunyi.
“Natural persons found guilty of the offences set out in article 445-
65
1 and 445-2 also incur the following additional penalties:
1º: Forfeiture of civic, civil and family rights as set out in article 131-
26; (right to vote, be elected, right to hold judicial office, give an
expert opinion before court, represent or assist a party before
court, the right to make a witness statement in court, the right to
be tutor or curator)
2º: the prohibition to carry on the professional or social activity in the
exercise or the context of which the offence was committed, for a
maximum of five years.
3º: the confiscation, according to the conditions set out in article 131-
21, of the thing which was used or intended for the commission of
the offence or of the thing which is its product, except for articles
subject to restitution;
4º: the display or dissemination of the decision according to the
conditions set out in article 131-35.”
Switzerland
Pada tanggal 1 Juli 2016, Switzerland telah mengkriminalisasi
suap di sektor privat, baik aktif maupun pasif. Ketentuan suap aktif
sektor privat terdapat pada pasal 322octies (334) ayat (1) KUHP
Switzerland yang mengatur sebagai berikut;
67
“Shall be deemed to have committed an act of unfair competition,
anyone who, in particular …
(b) Seeks to obtain advantage for himself or for someone else by
affording or offering to employees, agents or other ancillaries
of a third party benefits to which they are not legally entitled
in order to induce those persons to act contrary to their duty in
accomplishing their service or professional tasks”
Pasal 9
(1) Whoever, through an act of unfair competition, suffers or is likely
to suffer prejudice to his clientele, his credit or his professional
reputation, his business or his economic interests in general,
69
may request the courts: (a) to prohibit an imminent prejudice;
(b) to remove an ongoing prejudice; (c) to establish the unlawful
nature of a prejudice if the consequences still subsist.
(2) He may, in particular, require that a rectification or the judgment
be communicated to other persons or be published.
(3) He may, further, in accordance with the law of obligations,
institute proceedings for damages and redress and may
also require the surrender of profits in accordance with the
provisions on agency without authority.”
Pasal 10
“(1) Proceedings under Section 9 may also be instituted by customers
whose economic interests are threatened or prejudiced by an
act of unfair competition.
(2) Proceedings under Section 9(1) and (2) may also be instituted by:
(a) professional and trade associations whose statutes authorize
them to defend the economic interests of their members; (b)
organizations of national or regional scope devoted by statute
to the protection of consumers.”
Hal ini jelas berbeda dengan pengaturan yang ada dalam KUHP
Switzerland. Dengan diaturnya penyuapan aktif dan pasif dalam
KUHP Switzerland, maka semua perkara dapat diproses hukum
tanpa bergantung pada siapa yang melaporkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Dr. Andreas Länzlinger et.al (2016) yang menyatakan
bahwa “Further, private sector bribery now constitutes a public
offence… Prosecution of private sector bribery will therefore no
longer depend on filing a criminal complaint in all cases”, yang juga
ditambahkan oleh Dr. Jakob Höhn et.al (2016) yang menyatakan
bahwa “private sector bribery will be considered a public offence, i.e.
it will be prosecuted ex officio (regardless of whether a complaint has
been filed)”. Dengan demikian, pengaturan tersebut secara langsung
telah mengubah konstruksi delik penyuapan di sektor privat yang
awalnya merupakan delik aduan menjadi delik laporan/biasa.
Meskipun begitu, tidak semua perkara dapat dituntut tanpa
adanya pengaduan. Ayat 2 dari Pasal 322octies (334) dan 322novies
(335) KUHP Switzerland mengatur bahwa dalam kasus-kasus yang
ringan, delik tersebut hanya dapat dituntut berdasarkan adanya
aduan. Lengkapnya, ketentuan terkait delik aduan tersebut mengatur
sebagai berikut;
Inggris
Berbeda dengan negara-negara sebelumnya yang memasukkan
delik suap ke dalam KUHP negaranya masing-masing, Inggris sebagai
negara common law dan tidak meng-kodifikasi tiap-tiap deliknya
kedalam suatu criminal code, memiliki pengaturan mengenai suap
dalam United Kingdom Bribery Act tahun 2010 (UK Bribery Act).
Ketentuan tersebut sempat memicu perdebatan di kalangan akademisi
dan praktisi hukum di Inggris perihal apakah ketentuan tersebut
dapat berjalan dengan efektif, atau hanya sekedar euforia semata
(David Aaronberg dan Nichola Higgins; 2010). Akhirnya, Munir
Patel, seorang panitera di Pengadilan Magistrat Redbridge menjadi
orang pertama yang terbukti dan diputus bersalah berdasarkan UK
Bribery Act ini setelah adanya laporan investigatif dari kantor berita
di Inggris, The Sun, yang berhasil membongkar modus operandi Patel
(Eoin O’Shea; 2011) semenjak diberlakukan pada tahun 2010. Dalam
ketentuan tersebut, tidak dibedakan secara spesifik antara public
officer maupun private sector bribery.
Namun, ketentuan tersebut memisahkan antara tindak pidana
suap umum (general bribery offences), dengan tindak pidana suap
yang dilakukan terhadap pejabat publik asing (bribery of foreign
71
public officials). Lebih lanjut, ketentuan dan pembabakan delik
dalam UK Bribery Act sedikit berbeda dengan negara-negara lain.9
Jika negara lain secara umum mengatur delik suap dalam rumusan
norma-norma umum berdasarkan unsur-unsur delik (elements of
offence), Inggris justru melakukan pembabakan suap melalui contoh.
Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan di setiap pasal yang mengatur
delik suap.
Meskipun Inggris tidak melakukan pembedaan antara public
officer dan private sector bribery, namun rumusan delik suap yang
ada dalam UK Bribery Act pada dasarnya sudah dapat mencakup delik
suap secara umum (baik sektor publik maupun privat). Ketentuan
tersebut membagi dua kategori, yakni suap aktif (offences of bribing
another person) sebagaimana diatur dalam pasal 1 UK Bribery Act
dan suap pasif (offences relating to being bribed) sebagaimana diatur
dalam pasal 2 UK Bribery Act. Adapun pengaturan suap aktif dalam
UK Bribery Act mengatur sebagai berikut:
9 Penulis pribadi tidak tau mengapa hal ini terjadi, namun besar kemungkinan
hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sistem hukum antara Inggris
dengan negara Belanda, Prancis, dan Switzerland, yang berimplikasi pada
berbeda pula sistem dan cara perumusan ketentuan dalam suatu peraturan
perundang-undangan di Inggris.
73
apa yang dimintakan oleh Budi, maka polisi Inggris dapat menjerat
Budi berdasarkan kasus pertama dengan dasar pasal 1 ayat (2) UK
Bribery Act, dan Suswono dapat dijerat berdasarkan kasus ketiga
melalui pasal 2 ayat (2) UK Bribery Act. Sedangkan untuk kasus
terhadap pejabat publik, kasus Munir Patel sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya sudah dapat menjadi contoh keberlakuan UK
Bribery Act bagi para pemangku jabatan publik.
Adapun pengaturan pemidanaan terkait subjek hukum yang
dapat dijatuhi pidana dalam UK Bribery Act dapat dijatuhkan kepada
perorangan maupun badan hukum. Pengaturan terkait subjek hukum
pelaku perorangan suap di Inggris, diatur dalam pasal 11 UK Bribery
Act, yang mengatur sebagai berikut;
10 . Untuk lebih jelasnya baca United Kingdom Magistrates’ Court Act 1980 dan
lihat https://www.gov.uk/courts/magistrates-courts dan https://www.gov.uk/
courts/crown-court
75
atau tidaknya oleh jury dan ditentukan pemidanaannya oleh hakim),
dapat dikenakan penjara 10 tahun dan denda yang tidak terbatas
(Tim Pope dan Thomas Webb; 2010). Namun perlu dicatat, Inggris
sebagaimana negara common law pada umumnya juga memiliki
sentencing guidelines yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi
para hakim di Inggris agar tidak sembarangan menjatuhkan berat-
ringannya hukuman terhadap para terpidana, dan juga menghindari
terjadinya angka disparitas hukuman yang tinggi dari setiap putusan
hakim.11
77
pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor swasta, namun
bukan berarti Indonesia tidak memiliki pengaturan pemidanaan
terhadap pelaku suap di sektor swasta. Jika dicermati lebih lanjut,
pada dasarnya Indonesia telah memiliki pengaturan pemidanaan
terhadap suap di sektor swasta. Ketentuan tersebut diatur dalam
Undang-Undang nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
(selanjutnya disebut UU Suap). Pasal 2 UU Suap mengatur tentang
pelaku suap aktif, dan pasal 3 mengatur pelaku suap pasif. Adapun
ketentuan lengkap dari peraturan tersebut berbunyi;
Pasal 2
Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan
kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan
umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya
Rp.15.000.000,- (lima belasjuta rupiah).
Pasal 3
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia
mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan
atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana
karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3
(tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima
belas juta rupiah).
dalam kaitan dengan olah raga, terutama olah raga sepak bola sekitar
tahun 1980-an. Saai itu, terjadi suap menyuap dalam pertandingan
galatama sepak bola yang menjadikan soal suap menjadi isu hukum
yang cukup polemistis, karena berdasarkan existing and present
law, sebagaimana pinjaman istilah dari Prof. Oemar Seno Adji, S.H.,
bahwa polemik ini menjadi berkepanjangan mengingat sebagian
besar pakar hukum pidana memilki kesatuan pendapat bahwa aturan
suap menyuap dalam KUH Pidana tidak mencakup persoalan suap
menyuap yang terjadi di bidang olahraga, termasuk olahraga sepak
bola.
Mengingat urgensitasnya, permasalahan suap yang sifatnya non-
official government, pemerintah memandang perlu mengajukan
suatu rancangan mengenai Tindak Pidana Suap yang berkaitan
dengan bidang olahraga, meskipun setelah dilakukan dengar
pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, konsep RUU ini tidak
saja berlaku terhadap bidang olah raga , tetapi memasuki seluruh
bidang yang sifatnya non-official governmental dengan segala
persoalan yang timbul kelak pada UU No. 11 Tahun 1980…”
Pendapat yang diberikan Prof. Oemar Seno Adji (1984) pada saat
terjadinya perdebatan itu ialah tidak sepakat jika ada pihak swasta
yang dikenakan pasal suap berdasarkan UU No. 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Korupsi. Lengkapnya, beliau menyampaikan:
“Menjadi titik sentral dalam persoalan penyuapan adalah
pengertian tentang “pegawai negeri”, yang mendapat perluasan baik
dalam pasal 92 KUH Pidana maupun dalam pasal 2 Undang-Undang
tentang Pemberantasan Korupsi (UU 3/1971)…
Agak jelas, bahwa para olahragawan sukar dapat tercangkub
dalam pengertian hukum administratif maupun menurut ketentuan
KUH Pidana, yang memperluas pengertian tentang “pegawai negeri”/
pejabat menurut pengertian hukum pidana…
Ditegaskan pula dalam penjelasan, bahwa rumusan pasal ini tidak
termasuk orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
Perseroan Terbatas, Firma, CV, dan lain sebagainya yang seluruh
modalnya dari modal swasta…
Maka, jikalau kita dapat mempergunakan UU 3/1971 sebagai dasar
langkah hukum terhadap para olah ragawan, mereka tidak dapat
dikategorisir sebagai pegawai negeri, selama mereka tidak menerima
gaji atau upah dari badan-badan hukum yang mempergunakan modal
(dan kelonggaran) dari negara…
79
[O]lahragawan tersebut (yang) tidak menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau dari badan-badan yang menerima bantuan
dari keuangan negara (atau daerah), tidak dapat dikwalifisir sebagai
pegawai negeri seperti dimaksudkan oleh pasal 2 dari UU 3/1971.
Maka, baik pasal 209 KUH Pidana, Pasal 1 (1) d UU 3/1971 (dalam
bidang penyuapan aktif) maupun pasal-pasal 418 dan 419 KUH
Pidana (sebagai penyuapan pasif) tidak dapat dipergunakan terhadap
mereka.”
Jika kita melihat ketentuan pada pasal 2 dan pasal 3 UU Suap
tersebut, tidak ada unsur pejabat publik dalam kedua pasal tersebut.
Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan suap yang ada di UU Tipikor,
yang mana berdasarkan sejarah perkembangannya, UU Tipikor
tersebut berasal dari KUHP. Apabila ditarik dari sejarahnya, istilah
korupsi memang baru ada pada saat berlakunya Peraturan Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 16 April 1958 no. Prt/
Peperpu/013/1958 (BN No. 40 Tahun 1958) (staf AL No. Prt/Z.1/I/7)
dan konsepsi tersebut berlanjut terus hingga Peperpu No. 24 Tahun
1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi (UU No. 24/Prp/1960), lalu Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971, yang kemudian diubah lagi menjadi UU Tipikor yang
berlaku hingga sekarang. Namun ketentuan perihal suap tetap
mengadopsi dan mengacu ke KUHP. Bahkan UU 31/1999 masih
menyebutkan dan mengacu secara jelas ke pasal-pasal yang ada di
KUHP.
Sehingga tak heran jika UU Tipikor yang berlaku sekarang, tidak
menyertakan (absorbsi) UU Suap yang diberlakukan pada tahun 1980.
Prof. Oemar Seno Adji (1984) juga pernah menjabarkan pendapatnya
terkait perbedaan unsur pejabat publik tersebut. Beliau berpendapat;
“Perluasan jangakauan yang dapat memidanakan setiap orang
yang melakukan suap menyuap dan yang dinyatakan oleh Memori
Penjelasan sebagai perbuatan suap dalam pelbagai bentuk dan
sifat, dan yang tidak terbatas pada pegawai negeri…Perluasan
pada undang-undang (UU Suap) ini tidak saja menyebebut dalam
lingkungan perbuatan ini (suap) para “administrator” ataupun apa
yang dinamakan “public officials” (pegawai negeri dalam perundang-
undangan kita), melainkan mencangkub para “politician” dan mereka
yang hidup dalam dunia “business.”
Meskipun perdebatan tentang UU Suap ini sempat hangat
beberapa dekade silam, namun sungguh disayangkan yang mana kini
81
pemberantasan suap di sektor privat. Belum jelas mengapa Indonesia
sedemikian mudah ‘melupakan’ ketentuan ini. Berkaca dari negara-
negara lain sebagaimana penulis telah jelaskan sebelumnya, konsepsi
suap seharusnya tidak saja dipandang dapat terjadi di sektor publik
dan hanya dapat merugikan kepentingan publik. Pemerintah
Indonesia perlu menyadari bahwa menjaga neraca ‘persaingan’ itu
sama pentingnya dengan menjaga neraca ‘pelayanan masyarakat’.
Absennya penegakan hukum pada suap sektor privat mematikan
‘gairah’ masyarakat untuk berkompetisi secara sehat di berbagai
sektor, sama halnya ketiadaan penegakan hukum pada suap di
sektor publik, mematikan kepercayaan publik kepada para pelayan
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi dirinya
sendiri dan mencari tahu alasan mengapa selama ini aparatur penegak
hukum Indonesia tidak pernah tegas dan konsisten menghukum para
pelaku suap di sektor privat?
Perlu dicatat pula bahwa pada dasarnya kasus suap sektor swasta
tidak hanya terjadi baru-baru ini saja. Konstruksi kasus suap di sektor
swasta bahkan sudah terjadi sejak dahulu, bahkan sebelum perdebatan
pembuatan UU Suap tersebut pada tahun 1980. Namun kasus
tersebut terjadi pada ranah perdata, tepatnya kasus Lindenbaum vs
Cohen. Jika biasanya mahasiswa hukum di tiap-tiap perguruan tinggi
mempelajari kasus Lindenbaum vs Cohen dalam kaitannya terhadap
perbuatan melawan hukum, namun pada dasarnya kasus tersebut
di saat bersamaan menggambarkan konstruksi kasus penyuapan di
sektor privat. Hal ini tergambar dari pertimbangan Hoge Raad yang
menyatakan;
“Bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai
sebuah perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain,
atau bertentangan dengan kewjaiban hukum pelakunya, atau
melawan kesusilaan ataupun kehati-hatian yang sepatutnya berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat, terkait perlindungan pribadi atau
barang orang lain. Sedangkan seseorang yang karena kesalahannya
melakukan perbuatan itu, mengakibatkan timbulnya kerugian pada
orang lain, diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut”
Bahwa pengertian ini tentu juga meliputi perbuatan seseorang
yang untuk keuntungannya sendiri, melalui pemberian
hadiah-hadiah dan janji-janji, membujuk pegawai dari
pesaingnya, untuk mengambil dan membuka rahasia-
rahasia perusahaan tuannya” (Arsil, Nur Syarifah, dan Imam
Nasima; 2014).
Dengan melihat pertimbangan Mahkamah Agung Belanda pada
kasus tersebut, dapat dilihat bahwa konstruksi yang terjadi dalam
kasus Lindenbaum vs Cohen ini juga dapat dikategorikan sebagai
bribery in private sector.
Perlu diingat pula, bahwa UNCAC ‘menganjurkan’ tiap negara
untuk menjadikan suap di sektor privat ini sebagai tindak pidana
(criminal offence), bukan menganjurkan tiap negara untuk
menjadikan suap di sektor swasta ini masuk dalam kategori ‘korupsi’.
Sehingga jika Indonesia tidak mengatur suap di sektor privat tersebut
di dalam UU Tipikor, maka bukan berarti Indonesia tidak comply
dengan pengaturan bribery in private sector yang diatur dalam
UNCAC.
Memang, hal tersebut menjadi terkesan aneh. Korupsi di sektor
privat yang secara konseptual-teoritis masuk sebagai kategori korupsi
sehingga diatur dalam UNCAC, namun justru di Indonesia suap di
sektor swasta tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi
karena tidak masuk sebagai kategori korupsi di Indonesia berdasarkan
UU Tipikor.13 Hal tersebut bukan berarti tidak memiliki dampak
sama sekali dalam penegakan peraturan tersebut. Justru tidak
diaturnya ketentuan suap di sektor swasta pada UU Tipikor memiliki
keterkaitan dengan aktor yang dapat melakukan pemberantasan dan
penegakan ketentuan tersebut. Singkatnya, seringkali penegakan
hukum korupsi dikaitkan hanya dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Sehingga muncul pertanyaan besar, apakah KPK bisa
menangani pelaku suap di sektor swasta yang diatur di UU Suap?
Undang – Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) membatasi kewenangan KPK
untuk hanya bisa melakukan tugas pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Meskipun secara teori suap secara umum (kepada pejabat
publik maupun pada sektor swasta) masuk dalam kategori Tindak
Pidana Korupsi, namun dalam hukum positif Indonesia, Tindak
Pidana Korupsi adalah apa yang diatur dalam UU Tipikor.
Dengan demikian, hanya polisi-lah yang berwenang melakukan
penyidikan, dan jaksa-lah yang berwenang untuk melakukan
penuntutan yang berdasarkan UU Suap tersebut. KPK tidak dapat
menangani perkara ini. Inilah saatnya, bagi polisi dan kejaksaan
83
membuktikan diri bahwa mereka dapat dipercayai publik untuk
menangani kasus suap di sektor swasta, yang mana kasus ini tidaklah
dapat ditangani KPK.
KESIMPULAN
Suap dapat terjadi, tidak hanya di sektor publik namun juga sektor
privat. Secara konsep, satu-satunya perbedaan hakiki antara suap di
sektor swasta dengan suap di sektor publik terdapat pada keterlibatan
para pihak. Jika pada suap di sektor publik melibatkan peran pejabat
publik, suap di sektor privat justru tidak ada kaitannya sama sekali
dengan jabatan yang diemban oleh pejabat publik.
Di berbagai negara, pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor
swasta sudah merupakan hal yang lumrah. Baik bagi negara yang
menganut sistem hukum civil law, maupun common law. Negara-
negara tersebut mengkriminalisasi suap di sektor swasta, karena
secara nature-nya, suap sektor swasta dengan suap sektor publik
sama-sama merusak tatanan sosial dan merugikan pihak yang tidak
melakukan praktik suap-menyuap.
Indonesia sudah memiliki instrumen hukum yang dapat
mempidana pelaku suap di sektor swasta. Hal ini berdasarkan
Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Meskipun Indonesia sudah memiliki pengaturan terkait tindak
pidana suap yang tidak ada kaitannya dengan pejabat publik, (sektor
swasta murni) bahkan sebelum UNCAC mengatur bribery in private
sector, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
1980, namun penegakan hukum dari peraturan tersebut nampaknya
masih bermasalah.
Nampaknya, sistem peraturan perundang-undangan yang tidak
karuan dan pemberantasan korupsi yang hanya berpusat pada KPK
membuat orang melupakan salah satu undang-undang penting ini.
Maka dari itu, penegak hukum di Indonesia abad 21 seharusnya
tidaklah perlu berlelah-lelah untuk mempermasalahkan dan
memperdebatkan lagi bagaimana mempidana pelaku suap di sektor
swasta selayaknya penegak hukum tahun 70-an.
SARAN
Suap (maupun korupsi secara umum) di sektor swasta telah
membawa begitu banyak dampak buruk terhadap sektor bisnis. Oleh
85
86 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Ke Arah Pergeseran Beban
Pembuktian
Hariman Satria
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
hariman85antikorupsi@gmail.com
ABSTRAK
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia lebih
difokuskan pada proses peradilan pidana. Proses tersebut bermula
dari tahap penyidikan, pembuktian, penuntutan hingga vonis hakim
di pengadilan. Pembuktian adalah tahapan yang sangat esensial baik
kepada terdakwa maupun penuntut umum. Dikatakan demikian
karena ketika terjadi silang sengkarut pendapat antara terdakwa dan
penuntut umum maka pembuktianlah yang akan menjadi rujukan
hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam pembuktian dikenal
beberap teori yakni teori positif, teori conviction intme, teori conviction
rasionee dan teori negatif. Teori negatif ini digunakan dalam Pasal 183
KUHAP. Teori-teori tersebut menekankan bahwa beban pembuktian
tindak pidana adalah ada pada penuntut umum. Hal ini selaras denga
asas actori incumbit onus probandi atinya siapa yang menuntut
maka dia yang membuktikan. Dalam perkembangannya peraturan
anti korupsi Indonesia memperkenalkan pembalikan pembuktian,
khusus pada gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 12B jo Pasal 37. Selain itu dalam peraturan anti korupsi
juga memperluas episentrum alat bukti petunjuk dalam KUHAP.
Perluasan ini sasarannya adalah untuk memudahkan penyidikan
87
dan pembuktian tindak pidana korupsi. Pembalikan pembuktian
juga diadopsi dalam peraturan anti pencucian uang. Bahkan dalam
peraturan a quo mengenalkan prinsip pembalikan pembuktian murni,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Jadi pembuktian
yang awalnya hanya menjadi domain jaksa (beban pembuktian
konvensional) kemudian mengalami pergeseran (shifting) kepada
terdakwa (pembalikan beban pembuktian – reversal of burden of
proof). Prinsip pembalikan pembuktian pada dasarnya terbagi dua
yakni pembalikan pembuktian murni (absolut) yang dikenalkan
dalam tindak pidana pencucian uang dan pembalikan pembuktian
bersifat terbatas dan berimbang yang dikenalkan dalam tindak
pidana korupsi.
Kata Kunci: Hukum Acara Pidana, Beban Pembuktian.
ABSTRACT
The eradication of corruption in Indonesia in the present day
is more focused on the criminal justice process. The process starts
from the stage of investigation, proof, prosecution, and to the verdict
in court. Proof is a very important stage, either to the defendant
or to the prosecutor. Because of its nature of contentious argument
between both of the parties, the proof becomes the reference for the
judge in submitting the verdict. Proof recognizes several theories;
positive theories, conviction intme, conviction rasionee, and
negative theories. The negative theory is laid down in the Article
183 of the Criminal Procedure Code. These theories emphasizes
that the burden of proof is of the prosecutor’s responsibility. This
is consistent with the principles of actori incumbit onus probandi
, which means “the necessity of proof always lies with the person
who lays charges ”. In the development of anti-corruption laws in
Indonesia, reversal burden of proof is introduced, notably on some
gratifications that are deemed as bribery, as defined in Section 12B
in conjunction with Article 37. In addition to the anti-corruption
and money laundering regulation, reversal burden of proof also
expands the epicenter of evidence in Criminal Procedure Code. The
expansion is targeted to facilitate the investigation and proof of
evidence for both of the criminal acts. Such proof is also adopted
in the anti-money laundering regulations. Even in the regulations,
a quo introduces the principles of pure reversal burden of proof, as
defined in the Article 77 and 78. Thus the proof initially in the domain
of prosecutor (conventional burden of proof) then undergoes a shift
towards the defendant (reversal burden of proof). The principle
is basically divided into two; 1). Pure reversal burden of proof
(absolute), applied in money laundering law, and 2). Limited or
balance reversal burden of proof, applied in anti-corruption law.
Keywords:Criminal Procedure, burden of proof
PENDAHULUAN
Praktik peradilan pidana secara umum terbagi atas tiga tahap
yakni tahap penyidikan, penuntutan dan tahap pemeriksan sidang
pengadilan. Dalam pemeriksaan sidang pengadilan tahapan yang
sangat esensial adalah ihwal pembuktian (Satria, 2012). Dikatakan
demikian karena pembuktian diibaratkan berada dalam posisi sentral
baik kepada terdakwa atau penasehat hukumnya maupun kepada jaksa
penuntut umum. Tahap ini sangat krusial sebab ketika terjadi silang
pendapat antara terdakwa dan penuntut umum maka pembuktianlah
yang akan menjadi rujukan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan
(Anshorudin, 2004:31-33). Artinya keberadaan alat-alat bukti yang
relevan dengan perkara yang sedang diperiksa akan berkorelasi
positif dengan putusan hakim. Jika dalil penuntut umum tidak
mampu dibantah oleh terdakwa maka konsekuensinya hal itu akan
merugikan posisinya, sebaliknya jika terdakwa mampu membuktikan
bantahannya maka akan menguntungkan bagi terdakwa. Pembuktian
juga akan sangat bermanfaat bagi hakim sebab melalui tahapan ini,
tersedia kesempatan untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh
terdakwa dan penuntut umum sebelum majelis hakim menjatuhkan
vonis.
Secara umum proses pembuktian perkara pidana telah diatur
Pasal 183 sampai dengan Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Meskipun demikian khusus tindak pidana korupsi masih diatur
tersendiri lagi yakni pada Pasal 12B jo Pasal 26A jo Pasal 37 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dibuatnya
pengaturan yang demikian menunjukan bahwa pembentuk undang-
undang meyakini kalau proses pembuktian memegang peranan
penting dalam proses peradilan korupsi. Merujuk pada pasal-pasal
89
tersebut maka untuk menyatakan seseorang terlibat atau tidak
dalam tindak pidana korupsi akan sangat bergantung pada proses
pembuktian di pengadilan tindak pidana korupsi.
Paralel dengan peraturan anti korupsi adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Dalam Pasal 73 jo Pasal 77 peraturan a quo secara implisit
mengatur proses pembuktian yang berbeda dengan KUHAP.
Itu artinya baik peraturan anti korupsi maupun pencucian uang
cenderung mengatur lebih spesialis ketentuan tentang pembuktian.
Hal ini tidak terlepas dari sifat dan karakter kedua kejahatan tersebut
yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Baik tindak
pidana korupsi maupun pencucian uang dikualifikasi sebagai extra
ordinary crime sehingga membutuhkan extra ordinary process
(Seno Adji, 2007:347). Tindak pidana korupsi biasanya berkelindan
dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini dapat dipahami karena
salah satu core crimes dari money laundering adalah tindak pidana
korupsi.
Kembali pada proses pembuktian kedua tindak pidana tersebut,
ada beberapa hal yang diperkenalkan di dalamnya, misalnya
ketentuan tentang alat bukti yang berbeda dengan alat bukti
dalam KUHAP, memperkenalkan juga istilah pembalikan beban
pembuktian terbatas dan berimbang dalam tindak pidana korupsi
dan pembalikan pembuktian murni (absolut) dalam tindak pidana
pencucian uang. Hal ini selain menunjukan adanya kekhususan (lex
specialis) juga kekhasan kedua peraturan a quo bila dibandingkan
dengan KUHAP. Sebab prinsip dasar pembuktian adalah actori
incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang
membuktikan. Artinya beban pembuktian pada dasarnya diawali
oleh penuntut umum kemudian diakhiri oleh terdakwa. Derivatif
dari asas ini adalah actore non probante reus absolvitur artinya jika
tidak dapat dibuktikan maka terdakwa harus dibebaskan (Hiariej,
2012:43). Korelasinya dengan pembuktian dalam tindak pidana
korupsi, metode pembuktian konvensional yang dimulai pada
penuntut umum kemudian diikuti oleh terdakwa akhirnya mengalami
pergeseran (shifting) sehingga dapat dimulai pada terdakwa khusus
dalam perkara gratifikasi. Demikian pula dalam tindak pidana
pencucian uang yang secara langsung memperkenalkan pembalikan
pembuktian murni (refersal of burden of proof).
Dibuatnya pengaturan demikian sasarannya adalah agar
TINJAUAN TEORITIS
1. Konsepsionalisasi Tindak Pidana Korupsi
Banyak jalan menuju Roma. Ungkapan usang ini seperti
mengingatkan setiap orang bahwa ada banyak cara dan sudut
pandang dalam melihat sebuah objek. Satu sudut pandang dalam
melihat objek akan memberikan pemaknaan yang berbeda dengan
sudut pandang lainnya. Demikian halnya jika membahas mengenai
korupsi, ada banyak pandangan ahli yang mencoba memberi definisi
mengenai korupsi namun semuanya tergantung sudut pandang
masing-masing. Hal ini bisa difahami karena cara pandang seseorang
terhadap korupsi secara mutatis mutandis juga akan mempengaruhi
pemberian definisi terhadap korupsi. Pengakuan sederhana diuraikan
oleh Robert O. Tilman, bahwa seperti halnya keindahan, pengertian
korupsi sesungguhnya tergantung dari cara dan dari sudut mana
orang memandangnya. Penggunaan suatu perpsektif tentu akan
menghasilkan pemahaman atau paradigma yang tidak sama tentang
makna korupsi dengan penggunaan perspektif yang lain (Tilman,
1988:59).
Oleh sebab itu sebelum menentukan definisi dari suatu kejahatan
an sich korupsi maka penentuan perspektif dan paradigma menjadi
sangat penting. Seperti yang diungkapkan oleh Michalowsky
yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa perspektif dan
paradigma mengenai suatu kejadian di sekitar kita dipergunakan
91
untuk mengamati dan menganalisis semua kejadian sebagai suatu
dwi tunggal. Pemahaman kritis terhadap suatu teori seharusnya
dimulai dengan menyelidiki perspektif dan paradigma dasar yang
menghasilkan teori tersebut (Atmasasmita, 1995:55). Pada dasarnya
antara perspektif dan paradigma mempunyai tujuan yang sama, yakni
menetapkan masalah yang harus diselidiki dan jalan keluar yang
harus ditempuh. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan.
Perspektif adalah cara pandang yang dapat dilihat dari berbagi
segi terhadap suatu makna dan penghayatan atas makna tersebut,
sedangkan paradigma jauh lebih sempit karena cara pandang yang
bersifat khusus tentang suatu gejala (Peorwadarminta, 1990:642-
675). Kembali pada pembahasan tentang korupsi, penulis akan
memaparkan beberapa konsep yang berkaitan dengan itu sehingga
dapat menuntun pembaca dalam memahami makna korupsi secara
substansial.
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio
atau menurut webstudent dictionary adalah coruptus. Selanjutnya
dijelaskan bahwa corruptio berasal dari suatu kata latin yang lebih
tua yaitu corumpere. Dari bahasa latin itulah turun dalam berbagai
bahasa di eropa, seperti Inggris: corruption, corrupt; Prancis:
corruption; dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Dapat diduga
kata korupsi yang digunakan di Indonesia saat ini berasal dari bahasa
Belanda yang kemudian diadopsi atau diterima ke dalam bahasa
Indonesia yaitu “korupsi” (Hamzah, 2007:4). Secara harfiah kata-
kata tersebut berarti, kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. Secara tegas diuraikan
dalam The lexicon Webster dictionary, corruption (L. corruption (n-
)) The act of corrupting or the state of being corrupt; putrefactive;
decomposition. Putrid matter; moral perversion; depravity;
perversion of integrity; corrupt or dishonest, proceedings; bribery;
perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a
debased from of a word (Hamzah, 2007:5).
Hampir sama dengan yang dimuat dalam The lexicon Webster
dictionary, Sanford H. Kadish, mengartikan korupsi hubungannya
dengan penyuapan. Dikatakan oleh Kadish, corruption is the act
or practice of benefiting a person in order to betray a trust or to
perform a duty meant to be performed freely, bribery occurs relation
to a public official and, derivatively, in private transaction (Kadish,
1983:119). Pendapat senada dikemukakan oleh George E. Rush,
93
difahami karena memang korupsi memiliki banyak dimensi sehingga
pembatasan dengan definisi tertentu akan menghambat upaya
pemberantasan kejahatan ini. Perlu penulis sampaikan bahwa istilah
korupsi juga dikenal di negara lain meskipun dengan kosa kata yang
berbeda dengan Indonesia. Di Malaysia, misalnya terdapat peraturan
anti kerakusan sebagai pengganti kata peraturan anti korupsi. Sering
pula Malaysia menggunakan istilah resuah yang berasal dari bahasa
Arab, riswah. Sesuai kamus Indonesia-Arab kata “riswah” berarti
sama dengan korupsi (Hamzah, 2007:6).
Melalui beberapa definisi korupsi secara harfiah tersebut maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa jika membahas mengenai korupsi
maka sesungguhnya itu merupakan terminologi yang sangat luas
ruang lingkupnya. Tergantung sudut pandang seseorang dalam
memahami istilah korupsi. Karena lingkup korupsi sangat luas
cakupannya maka pendekatan dalam memahaminya juga dapat
bermacam-macam sesuai dengan cara kita melihat masalah itu. Pada
satu sisi ada orang yang memahami korupsi dengan menggunakan
pendekatan sosio kriniminologi tetapi pada sisi lainnya ada pula
yang mengupas masalah korupsi dengan menggunakan pendekatan
normatif. Begitu pula sebagian orang menggunakan pendekatan
ekonomi dalam mengkaji dan memahami korupsi.
Keanekaragaman pemahaman terhadap korupsi yang
berangkat dari sudut pandang yang berbeda-beda sebetulnya dapat
mengakibatkan sulitnya mencari definisi yang pasti mengenai korupsi.
Namun demikian, bagi penulis cara pandang yang berbeda secara
positif akan sangat membantu memahami lebih dalam mengenai
korupsi termasuk cara-cara pencegahan dan pemberantasannya.
Dengan kata lain perbedaan tersebut justru menjadi sebuah
khasanah dalam upaya memahami dan mengenal korupsi sehinga
setiap orang akan berusaha menghindari kejahatan tersebut. Oleh
karena itu penulis menolak definisi yang ketat dan terbatas mengenai
korupsi karena pembatasan definisi korupsi justru akan mendistorsi
pemahaman terhadap korupsi itu sendiri. Lagi pula akan lebih baik
bagi kita untuk memikirkan pemberantasan dan pencegahan korupsi
dari pada sibuk mencari definisi korupsi itu sendiri.
Masih mengenai tindak pidana korupsi, pada dasarnya kejahatan
ini sangat terkait erat dengan kekuasaan. Kejahatan korupsi yang
terjadi pada hampir semua negara di dunia ini selalu berkorelasi positif
dengan kekuasaan yang disalahgunakan atau diselewengkan. Sehingga
95
suatu peristiwa. Sedangkan pembuktian berarti perbuatan atau cara
membuktikan (Poerwadarminta, 1990:184). Dalam bahasa Belanda,
bukti disebut sebagai bewijs (evidence) berarti hal yang menunjukan
kebenaran yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa
untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan
pembuktian disebut sebagai proof yang artinya penetapan kesalahan
terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-
undang maupun di luar undang-undang (Hamzah, 2008:68). Intinya
bukti menyangkut hal yang menunjukan atau menyampaikan
kebenaran tentang suatu peristiwa sedangkan pembuktian (proof)
menyangkut perbuatan atau cara membuktikan melalui alat-alat
bukti (evidence).
Bertalian dengan itu, Eddy O.S. Hiariej mengatakan, bahwa dalam
kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai bukti yakni evidence dan proof. Kendatipun
demikian ada perbedaan yang esensial diantara keduanya. Evidence
adalah lebih dekat pada pengertian alat bukti menurut hukum positif,
sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian yang
mengarah pada suatu proses (Hiariej, 2012:43). Argumentasi ini tidak
jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ian Dennis, evidence
is information to provides grounds for belief that a particular fact
or set of fact is true. Proof is a term with a variable meaning. In
legal discourses it may refer to outcome of the process of evaluating
evidence and drawing inferences from it, or it may be used more
widely to refer to the process itself and/or to the evidence which is
being evaluated (Dennis, 2007:3-4).
Penegasan lebih jauh ihwal evidence dikemukakan oleh Jefferson
L. Ingram, evidence has been defined as the means employed for the
purpose of proving an unknown or dispute fact, and it is either judical
or extra judical (L. Ingram, 2009:24). Pendapat senada dikemukakan
oleh Larry E. Sulivan and Marie Simonetti Rossen, evidence is
anything that tands to prove and disaprove an alleged fact (Sulivan
dan Rossen, 2005:178). Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut
di atas, kita dapat mengatakan bahwa evidence lebih condong pada
alat-alat bukti baik untuk menguatkan dalil seseorang maupun
untuk membantah kebenaran tentang dalil atau suatu peristiwa.
Sedangkan Henry Campbell Black tidak mendefinisikan proof tetapi
membangun logika argumentatif ihwal hubungan antara evidence
dan proof. Ditegaskan oleh Campbell Black, proof is the effect of
97
ditanggapi oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan, bahwa jika
dikaji secara hakiki maka sistem pembuktian positif memang
mempunyai segi negatif dan segi positif. Segi negatifnya adalah hakim
tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan
salah atau tidaknya terdakwa karena sistem ini berpedoman pada
prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang. Sedangkan sisi positifnya adalah bahwa sistem ini
benar-benar menuntut hakim untuk mencari kebenaran, salah atau
tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-
alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga sekali
majelis hakim menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai
dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
maka tidak perlu lagi hakim bertanya pada hati nuraninya (Harahap,
2000:789-799).
Kedua, conviction in time atau pembuktian menurut keyakinan
hakim melulu dimaknai sebagai sistem pembuktian yang menekankan
bahwa hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan
belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (Harahap,
2000:799). Menurut D. Simons teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim melulu didasarkan pada keyakinan hati nurani
hakim sendiri yang menetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan (Hamzah:2008:252). Selanjutnya Andi
Hamzah, menyatakan bahwa pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim melulu lazimnya digunakan pada pengadilan adat dan swapraja
karena pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim
yang bukan ahli (berpendidikan) hukum (Hamzah:2008:252). Ketiga,
conviction rasionee adalah pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim dengan pertimbangan yang logis berarti menempatkan hakim
dalam mengambil keputusan selain berdasarkan keyakinannya juga
harus didukung oleh fakta-fakta hukum yang logis. Artinya bahwa
hakim diberikan kebebasan untuk memutuskan perkara dengan
memperhatikan keyakinannya atas kesalahan terdakwa namun
keyakinan tersebut mesti didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan
rasional (Harahap:2000:299).
Keempat, negatief wettelijk bewijstheorie adalah hakim dalam
memutuskan bersalah tidaknya terdakwa selain berdasarkan pada
alat-alat bukti yang ditentukan secara limitatif oleh undang-undang
juga harus diikuti oleh keyakinan hakim. Luhut M.P. Pangaribuan
1. Keterangan saksi
Jefferson L. Ingram mendefinisikan keterangan saksi sebagai
testimony is evidence that comes to the court through witnesses
99
speaking under oath or affirmation (L. Ingram, 2009:25. Sering
pula keterangan saksi disebut sebagai eyewitness dan earwitness.
Eyewitness adalah seseorang yang memberikan keterangan
tentang suatu peristiwa berdasarkan yang dilihatnya. Sedangkan
earwitness adalah seseorang yang memberikan keterangan
tentang suatu peristiwa yang didengarnya tetapi tidak dilihatnya
sendiri (Garner, 2004:548-626). Sudah barang tentu eyewitness
dan earwitness ini adalah alat bukti yang digunakan dalam sistem
hukum anglo saxon yang berbeda dengan peraturan di Indonesia.
Meskipun demikian baik eyewitness maupun earwitness adalah
termasuk dalam definisi saksi menurut hukum positif Indonesia.
Pasal 1 angka 26 KUHAP menyebutkan, bahwa saksi adalah
orang yang dapat memeberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan
Pasal 1 angka 27 menguraikan, bahwa keterangan saksi adalah
suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya (Satria, 2012:49). Definisi saksi dalam Pasal 1
angka 26 jo Pasal 1 angka 27 tersebut kemudian diperluas oleh
putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8
Agustus 2011. Secara ekspilisit dikategorikan sebagai keterangan
saksi menurut putusan ini adalah keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu,
termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan
dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Hiariej, 2012:103).
Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa
keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan Pasal 185 ayat (2)
mengungkapkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun demikian
ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya (Pasal 185 ayat 3 KUHAP). Apabila
memperhatikan rumusan Pasal 185 ayat (1-3) tersebut pada
2. Keterangan ahli
Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan. Dalam penjelasan KUHAP disebutkan bahwa
keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu
bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu
ia menerima jabatan atau pekerjaan. Terkait dengan keberadaan
ahli dalam pemeriksaan perkara dijelaskan oleh Ron Delisle, Don
Stuart & David Tanovich, admission of expert evidence depends
on the aplication of the following criteria: first, relevance. Second,
necessity in assisting the trier of fact. Third, the absence of any
exclusionary rule. Fourth, a properly qualified expet (Delisle dan
Tanovich, 2010, 860). Selain itu pula seorang ahli harus memiliki
pengalaman, kecakapan, terlatih dan memiliki pengetahuan atau
ketarampilan tertentu. Ditegaskan oleh Tristam Hodgkinson dan
Mark James mengatakan experienced, the one who is expert or
ho has gained skill experiece; trained by experience or practice,
skilled, skilful, as does the noun the one who special knowledge
or sceel causes him to be regarded as an authority, a specialist
(Hodgkinson dan James, 2007:33).
Dalam KUHAP juga membedakan keterangan ahli di
101
persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan
di depan sidang pengadilan. Jika seorang ahli memberikan
keterangan secara langsung di depan sidang pengadilan dan di
bawah sumpah, keterangan tersebut adalah alat bukti keterangan
ahli yang sah. Sementara itu jika seorang ahli di bawah sumpah
memberikan keterangan tertulis di luar persidangan dan
keterangan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan,
keterangan ahli tersebut merupakan alat bukti surat dan alat bukti
keterangan ahli (Hiariej, 2012:107).
3. Surat
Menurut Asser-Anema surat adalah segala sesuatu yang
mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud
untuk mengeluarkan isi pikiran (Hamzah, 2008, 127). Pendapat
yang hampir sama dikemukakan oleh A. Pitlo, bahwa surat adalah
pembawa tanda bacaan yang berarti, menerjemahkan suatu isi
pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta sebab
benda ini tidak termuat tanda bacaan (Prodjohamijojo, 1990:138).
Surat yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti dapat meliputi:
pertama, berita acara dan surat lain dala bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang di dengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya
itu. Kedua, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu keadaan. Ketiga, surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal
atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Keempat,
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain (Pasal 187 KUHAP).
4. Petunjuk
Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP, petunjuk
didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
5. Keterangan terdakwa
Pasal 189 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa keterangan
terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri. Keterangan terdakwa yang dikatakan mengandung nilai
pembuktian yang sah adalah berupa: pertama, keterangan harus
dinyatakan di depan sidang pengadilan. Kedua, isi keterangannya
mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal yang
diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri. Ketiga,
keterangan tersebut hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri.
Keempat, keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain
(Hiariej, 2012:112).
PEMBAHASAN
Berbicara tentang pembuktian dalam tindak pidana korupsi akan
difokuskan pada dua hal. Pertama, ihwal alat bukti. Kedua, ihwal
103
teori pembuktian yang digunakan dalam peraturan a quo. Agar lebih
sistematis dan mudah dipahami maka secara garis besar akan diulas
sebagai berikut:
105
audio-and videotapes, as well as writing that are not obcectionable
under the various exclusionary rules (L. Ingram, 2010:25). Kembali
pada undang-undang anti korupsi, meluasnya ruang lingkup
dokumen tersebut kelihatannya sengaja dibuat oleh pembentuk
undang-undang agar mempermudah penemuan bukti oleh penyidik
sehingga memudahkan pula pengungkapan tindak pidana korupsi.
Meskipun demikian bukti-bukti yang diperoleh penyidik tersebut
harus tetap relevan atau berhubungan dengan tindak pidana korupsi
yang sedang diungkap. Hal ini untuk mengantisipasi abuse of power
oleh aparat penegak hukum dalam menyidik tindak pidana korupsi,
apalagi lingkup bukti sangat luas cakupannya. Ian Dennis kemudian
mengajukan tiga proposisi terkait dengan itu. First, evidence must
be relevant in order for court to receive it. That it must relate to
some fact which is proper object of proof in the proceedings. Second,
evidence must also be admisible, meaning that it can properly be
received by courts as matter of law. Third, exclusionary discretion
or exclusionary rules (Dennis, 2007:5-6). Prinsip exclusionary
discretion ini berhubungan dengan putusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat dalam kasus Mapp vs Ohio yang mana hakim
mengatakan bahwa we hall that all evidence obtained by searches
and seizures in violation of the constitution is, by that some authority,
inadmisible in a state court (Katsaris, 1976:63). Intinya tidak diakui
sebagai bukti apabila perolehan bukti tersebut dilakukan dengan cara
yang melanggar hukum (unlawful legal evidence). Max M. Houck
kemudian menguraikan bahwa bukti yang tidak dapat digunakan
karena diperoleh secara tidak sah disebut dengan tainted evidence
artinya bukti yang ternodai. Termasuk dalam bukti yang ternodai
adalah derivative evidence atau bukti yang tidak asli (Hiariej,
2012:12). Sedangkan ihwal relevant dan admisible maksudanya
adalah bahwa suatu bukti harus berhubungan dan dapat diterima
oleh para pihak dalam kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.
Bukti yang diterima mutatis mutandis adalah relevan tetapi yang
bukti relevan belum tentu dapat diterima.
Berdasarkan uraian tersebut diatas berikut argumentasi
beberapa yuris, kita dapat mengatakan bahwa untuk kepentingan
pemberantasan korupsi perluasan alat bukti petunjuk adalah
rasional dan mutlak dibutuhkan. Menghadapi tindak pidana korupsi
yang kian hari makin menggurita maka diperlukan perluasan
cara dalam memperoleh bukti. Memperluas episentrum bukti
107
penyelenggara negara. Kedua, perbuatan menerima gratifkasi adalah
bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Ketiga, ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a pada prinsipnya secara
operasional akan diterapkan pada Pasal 37. Keempat, pembalikan
pembuktian dalam peraturan a quo adalah hanya berlaku pada tindak
pidana korupsi berupa suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp.
10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih. Kelima, bagi tindak
pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari
10.000.000 (sepuluh juta rupiah) maka beban pembuktiannya tetap
berada di tangan jaksa penuntut umum.
Berdasarkan ulasan tersebut, kita dapat mengatakan bahwa
sistem pembalikan pembuktian dalam tindak pidana korupsi
terbagi dua yakni pembalikan pembuktian dan bukan pembalikan
pembuktian – pembuktian biasa (konvensional). Pembalikan
pembuktian dapat dijumpai dalam Pasal 12B ayat (1) peraturan a
quo khusus pada penerima gratifikasi. Sedangkan bukan pembalikan
pembuktian – pembuktian konvensional dapat ditemukan pada Pasal
12B ayat (2) khusus menyangkut gratifikasi yang nilai kurang dari
Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Atas dasar itulah Indriyanto
Seno Adji menegaskan bahwa sistem pembuktian dalam Pasal
12B tersebut bersifat terbatas dan berimbang. Terbatas karena
memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan
secara keseluruhan dan absolut pada semua delik yang ada pada
undang-undang anti korupsi. Sedangkan berimbang artinya beban
pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap
dilaksanakan oleh penuntut umum (Seno Adji, 2006:134).
Ketentuan pembalikan pembuktian pada dasarnya juga telah
direkomendasikan oleh masyarakat internasional melalui Pasal 31
angka 8 UNCAC 2003, state parties may consider the possibility
of requiring that an offender demonstrate the lawful orign of such
alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to
the extent that such a requirement is consistent with the fundamental
principle of their domestic and with the nature of judical and
other proceedings (UNODC, 2003:25). Ada dua makna penting
dari ketentuan UNCAC 2003 tersebut. Pertama, pelaku dapat
memperlihatkan atau menerangkan asal muasal harta kekayaan
yang sah tetapi diduga berasal dari hasil kejahatan. Kedua, proses
perampasan tersebut harus tetap sesuai dengan prinsip dasar hukum
nasional termasuk pula hukum acara pidananya. Secara implisit
109
terdakwa yang bukan berasal dari gratifikasi.
Pembalikan pembuktian dalam perkembangannya tidak hanya
dikenal dalam peraturan anti korupsi tetapi juga dalam tindak pidana
pencucian uang yang diatur dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Dalam Pasal
77 disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya
bukan merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan Pasal 78 ayat (1)
berbunyi: dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 hakim memerintahkan terdakwa agar
membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara
bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Merujuk pada uraian tersebut di
atas hanya ada dua kemungkinan bagi terdakwa yakni pertama,
mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana. Kedua, terdakwa tidak mampu membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Jika terdakwa mampu membuktikan maka konsekuensinya
penuntut umum wajib mengajukan bukti yang dimilikinya yang
dapat menunjukan bahwa harta kekayaan terdakwa berasal dari
hasil tindak pidana. Tetapi jika terdakwa tidak mampu membuktikan
maka hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana dan harta kekayaan
terdakwa yang berasal dari tindak pidana disita untuk negara.
2. Saran
Pertama, meskpun UNCAC 2003 menyebut bahwa pembalikan
pembuktian sifatnya non mandatory obligation namun kiranya
penting dievaluasi agar undang-undang anti korupsi secara tegas
menggunakan prinsip pembalikan pembukitan baik terhadap
gratifikasi maupun bentuk tindak pidana korupsi yang lain. Kedua,
pembalikan pembuktian tersebut tetap dalam konteks tidak melanggar
prinsip non self incrimination dalam hukum pidana. Karena itu
asas-asas fundamental dalam hukum pidana mesti diadopsi secara
tegas oleh undang-undang anti korupsi. Ketiga, perumusan alat
bukti seharusnya tidak hanya memperluas episentrum alat bukti
petunjuk tetapi secara langsung mengatur tentang alat bukti baru
selain yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Hal ini menjadi
penting sebab sebagai penegasan kehususan peraturan anti korupsi
dibandingkan dengan KUHAP. Keempat, salah satu alat bukti yang
dapat ditambahkan adalah dokumen elektronik dan peta, seperti
yang digunakan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketentuan ini
penting ditambahkan karena pada saat ini tindak pidana korupsi di
bidang sumber daya alam sedang marak terjadi. Kelima, kedepan
khusus menyangkut pembalikan pembuktian murni seperti dalam
peraturan anti pencucian uang agar dibuat sebuah peraturan
khusus yang mengatur prosedur beracara tersendiri sehingga dapat
memberikan kepastian hukum (legal certainty).
111
REFERENSI
Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban
Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.
__________________, 2007, Korupsi Kebijakan Aparatur
Negara & Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta.
Anshorudin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara
Islam dan Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Atmasasmita, Romli, 1995, Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan
Seksual Dalam Perspektif Kriminologi dan Viktimologi, FH UII,
Yogyakarta.
Black, Henry Campbell, 1968, Black Law Dictionary: Definition of
the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence
Ancient and Modern (Fourth Edition), ST Paul Minn-West
Publishing.co, New York.
Chazawi, Adami, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
Alumni, Bandung.
Delisle, Ron, Stuart, Don & Tanovich, David, 2010, Evidence:
Principle and Problems (Ninth Edition), Carswell Thomson
Reuters, Canada.
Dennis, Ian, 2007, The Law of Evidence (Third Edition), Swet and
Maxwel, London.
Evans, Colin, 2010, Criminal Justice: Evidence, Chelsea House
Publisher, New York.
Garner, Bryan A, 2004, Blacks Law Dictionary, West Thomson
Bussines, New York.
Hamburger, Philip, 2008, Law and Judical Duty, Harvard University
Press, Massachusetts-London.
Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum
Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
_____________, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
_____________, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta.
113
Administrasi, Pembangunan dan Korupsi di Negara Baru, dalam
Muchtar Lubis dan James C, Scoot, Bunga Rampai Korupsi,
LP3ES, Jakarta.
United Nations Convention Against Corruption 2003, UNODC-
United Nations Office on Drugs and Crime, United Nations, New
York.
refkysaputra@gmail.com
ABSTRAK
Upaya pemulihan aset hasil kejahatan merupakan salah satu
perhatian utama dari komunitas global dalam menanggulangi
kejahatan keuangan saat ini. Hal ini menjadi salah satu kaidah
yang diatur dalam United Nations Convention Againts Corruption
(UNCAC) tahun 2003. Dimana, negara-negara pihak diharapkan
dapat memaksimalkan upaya-upaya perampasan aset hasil kejahatan
tanpa tuntuan pidana. Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perampasan Aset yang sudah digagas oleh pemerintah, diharapkan
115
upaya pemulihan aset hasil kejahatan dapat diefektifkan. Beberapa
tantangan yang harus dihadapi pemerintah diantaranya terkait
dengan isu hak atas harta kekayaan dan juga proses peradilan yang
adil. Mengingat pendekatan perampasan in rem telah menggeser
nilai kebenaran materil tentang kesalahan dalam hukum pidana
menjadi sebatas kebutuhan akan kebenaran formil atas asal-usul
harta kekayaan. Dalam pengimplementasian RUU Perampasan
Aset nantinya, pemerintah setidaknya harus menegaskan bahwa
mekanisme yang digunakan sama sekali tidak membuktikan
kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu
aset merupakan hasil kejahatan.
Kata Kunci: perampasan aset, perampasan in rem, harta hasil
kejahatan
ABSTRACT
Asset Recovery efforts from proceeds of crime is one of the main
concerns of the global community to tackle the current financial
crime. This has become one of the rules set out in the United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) in 2003. Where, state
parties are expected to maximize the efforts of confiscation of assets of
crime without criminal charges. Through the draft Bill Confiscation
of assets that have been initiated by the government, is expected to
attempt recovery of assets from crime can be effected. Some of the
challenges faced by the government of which were related to the
issue of property rights and also a fair trial. Considering the in rem
confiscation approach has been to shift the value of the material truth
about errors in the criminal law be limited to the need for a formal
truth on the origin of the assets. In implementing the legislation of
confiscation of assets in the future, the government should at least
be asserted that the mechanisms used did not prove the guilt of a
person, but only to prove that an asset is the result of a crime.
Keywords: asset recovery, in rem forfeiture, procceds of crime
PENDAHULUAN
Berbagai upaya penanggulangan kejahatan terus berkembang
seiring dengan perkembangan kejahatan itu sendiri. Dimana upaya
menangkap pelaku kejahatan untuk kemudian dipenjarakan agar
mendapatkan efek jera berangsur-angsur mulai menemui kegagalan
demi kegagalan, terutama bagi kejahatan yang terkait dengan upaya
mencari keuntungan finansial secara ilegal. Belakangan, upaya
menanggulangi kejahatan ini mulai bergeser pada tindakan mengejar
keuntungan ilegal yang didapat ketimbang pelaku aktivitas ilegal itu
sendiri.
Pandangan ini mulai berkecambah pada saat merebaknya jaringan
pengedaran narkotika antar-negara yang membuat penegak hukum
kesulitan untuk menumpasnya. Hasil dari produksi narkotika ilegal
tersebut tumbuh sangat cepat dan mencapai puncaknya pada tahun
1980-an. Jumlah uang yang didapat dari hasil kejahatan berjumlah
sangat besar dan sanggup membiayai aktivitas kejahatan berikutnya.
Selain itu, mereka dapat menyuap para pejabat publik, termasuk para
penegak hukum setempat untuk menutupi kejahatan yang dilakukan.
Hingga tahun 1986, upaya-upaya penegakan hukum di Amerika
Serikat untuk memerangi narkoba dengan memenjarakan mereka
yang mengedarkan dan menggunakan narkoba terbukti tidak
memberikan kesuksesan. Pemerintah Federal Amerika kemudian
menggalakkan upaya perang melawan narkoba (War on Drugs),
namun dengan pendekatan yang berbeda. Penegak hukum mencari
metode lain untuk mengejar pelaku kejahatan, yakni mengarah
kepada hasil kejahatan (going for the money), dalam hal ini dengan
memotong langsung kepada pusat kejahatannya (head of the serpent)
menggunakan konsep perampasan secara pidana dan perdata
sebagai langkah awal. Paradigma penegakan hukum yang dilakukan
saat itu tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, melainkan juga
melalui pengejaran terhadap ‘keuntungan’ ilegalnya (confiscate ill-
gotten gains) (Vetori, 2006). Meminjam ungkapan yang digelorakan
oleh Fancois Noel Babeuf (1760-1797) sebagai orang pertama yang
menyuarakan cita-cita kaum sosialisme, bahwa secara etis apa
yang dicuri dari rakyat harus sedapat mungkin dirampas kembali
(Suseno, 2016). Hasil kejahatan merupakan sesuatu yang tidak boleh
dimiliki terus menerus oleh pelaku kejahatan, dan karenanya harus
dikembalikan kepada yang berhak atasnya.
117
Model pengejaran terhadap keuntungan ilegal, kemudian
diformalkan dalam ketentuan United Nations Convenant Againts
Corruption (UNCAC) tahun 2003. Selain mengatur beberapa
ketentuan tentang kerjasama penanganan tindak pidana korupsi di
dunia, UNCAC juga memandatkan kepada negara anggota untuk
mengupayakan perampasan aset hasil kejahatan. Pasal 54 ayat (1)
huruf c UNCAC yang mengharuskan semua Negara Pihak untuk
mempertimbangkan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap
perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa
proses pidana dalam kasus-kasus di mana pelanggar tidak dapat
dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan
atau dalam kasus-kasus yang lainnya. Dalam hal ini, fokus UNCAC
bukan hanya pada satu tradisi hukum saja, sebab perbedaan
fundamental yang ada dalam setiap tradisi hukum akan menghambat
implementasi konvensi. Karena itu diusulkan agar setiap Negara
Pihak menggunakan perampasan tanpa tuntuan pidana (Non
Conviction Based- NCB) sebagai alat atau sarana – yang mampu
melampaui perbedaan sistem hukum – untuk merampas aset hasil
korupsi disemua yurisdiksi (Ramelan dkk, 2012).
Indonesia sebagai negara pihak dalam UNCAC sebagaimana
yang diformalkan dalam UU No. 7 Tahun 2006, dengan tetap
mempertimbangkan kedaulatan nasional diwajibkan untuk
mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan ketentuan dalam
konvensi tersebut. Ikhwal perampasan aset tanpa tuntutan pidana,
Indonesia sudah menjadikannya sebagai usulan produk hukum (RUU)
ke DPR sejak tahun 2012 melalui pembuatan Naskah Akademis.
Jika dilihat secara umum, materi muatan RUU Perampasan Aset
dianggap sangat revolusional dalam proses penegakan hukum
terhadap perolehan hasil kejahatan. Hal ini setidaknya dapat dilihat
dari 3 (tiga) perubahan paradigma dalam penegakan hukum pidana.
Yakni pertama, pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, tidak
saja subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, melainkan aset yang
diperoleh dari kejahatan. Kedua, mekanisme peradilan terhadap
tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata.
Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana
sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lainnya.
RUU Perampasan Aset ditujukan untuk mengejar aset hasil
kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan. Dengan demikian,
keberadaan RUU Perampasan Aset ini telah mengubah paradigma
dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk
menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist),
bahkan yang paling mutakhir sekalipun, yakni rehabilitasi
(rehabilitationist). Apakah kemudian, dengan bekerjanya RUU
Perampasan Aset ini akan menggeser bahkan menghilangkan proses
penegakan hukum konvensional dalam mengejar pelaku kejahatan
atau kemudian melakukan kolaborasi di antara kedua pendekatan
tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara normatif dengan menganalisis
beberapa konsep pendekatan perampasan aset tanpa tuntutan pidana
(Non-Conviction Based Asset Forfeiture) terhadap materi muatan
RUU Perampasan Aset. Analisis dilakukan dengan menjabarkan
beberapa norma yang mendasari kebijakan perampasan aset, mulai
dari UNCAC hingga peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan mekanisme perampasan aset yang sudah ada.
Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menggunakan teori-teori
hukum yang relevan dengan masalah yang dimunculkan.
119
pihak yang berkepentingan dengan aset yang dimaksud (bisa jadi
pihak yang diduga pelaku) dapat menjadi pihak terkait didalam
persidangan untuk mempertahankan aset tersebut. Penggunaan
mekanisme perdata dalam perkara pidana ini merupakan pilihan
pragmatis dari masyarakat global dalam UNCAC untuk memberantas
kejahatan, khususnya korupsi. Namun demikian, pilihan tersebut
penting untuk dijelaskan secara teoritik dan paradigmatik, agar tidak
terkesan hanya mengambil “jalan pintas” dalam penegakan hukum.
Secara historis, fenomena kejahatan terorganisir seperti peredaran
narkotika internasionl ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran
tentang konsep perampasan (confiscation) dalam sistem peradilan
pidana. Sebelumnya, hukum acara pidana yang berlaku didunia secara
umum, pada masa lampau hanya mengenal mekanisme perampasan
tradisional yang disebut sebagai perampasan terhadap instrumen
kejahatan (instrumentum sceleris) atau objek dari kejahatan (objectum
sceleris). Hampir semua sistem peradilan pidana yang berlaku, tidak
menyediakan mekanisme perampasan terhadap hasil kejahatan
(producta/fructa sceleris). Hal ini dikarenakan, terhadap kejahatan
yang tidak menimbulkan korban secara langsung (victimless), pelaku
seolah-olah terbebas dari kewajiaban membayar ganti rugi. Terhadap
pelaku, hanya dikenakan pidana badan (fisik) berupa pemenjaraan.
Hal ini berbeda dengan jenis kejahatan yang menimbulkan korban
langsung, dimana para korban atau keluarganya dapat mengajukan
gugatan materil kepada pelaku kejahatan, seperti yang dipraktikkan
di negara Belgia dan Prancis. Kekuranglengkapan hukum tersebut,
memberikan keleluasaan bagi para pelaku kejahatan menikmati hasil
kejahatan. Seperti kejahatan peredaran narkotika di Inggris dalam
perkara R. v. Cuthbertson (1981), dimana pengadilan dianggap tidak
berwenang merampas keuntungan yang diperoleh dari kejahatan
(Stessens, 2003). Salah satu alasan mengapa hasil kejahatan tidak
dapat dikenakan perampasan saat itu adalah karena hasil kejahatan
dapat dipungut pajaknya, dan oleh karena itu merupakan wewenang
dari lembaga pemungut pajak (Alldridge, 2003). Namun, walaupun
terkesan sebagai suatu kemunduran, perkara ini kemudian menjadi
titik balik bagi perkembangan hukum perampasan modern.
Perampasan harta hasil kejahatan sebenarnya berakar dari sebuah
prinsip keadilan yang sangat fundamental, dimana suatu kejahatan
tidak boleh memberikan keuntungan bagi pelakunya (crime should
not pay), atau dengan kata lain, seseorang tidak boleh mengambil
121
posisi dari pihak yang dirugikan. Kedua, untuk mengkompensasi
pihak yang dirugikan akibat kerusakan yang dideritanya (Ramelan
et.al., 2012).
123
dapat dirampas oleh negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Namun penting untuk diingat, bahwasannya perampasan in rem
ini bukan hendak menggantikan proses peradilan pidana terhadap
pelaku kejahatan. Walaupun perampasan in rem dianggap lebih
efektif, namun tidak direkomendasikan sekiranya penegak hukum
cukup mampu menuntut pelaku secara pidana. Mengingat, untuk
menanggulangi kejahatan, tetap harus menggunakan sanksi hukum
pidana dan juga dengan perampasan aset hasil kejahatan (Greenberg,
2009). Artinya, model perampasan in rem ini tidak dapat memotong
(bypass) semua proses hukum pidana yang seharus dapat dikenakan
kepada seorang pelaku kejahatan. Kecuali apabila keadaan-keadaan
yang tidak memungkinkan untuk menggunakan jalur pidana, maka
baru perampasan in rem bisa digunakan. Akan lebih baik juga apabila
pendekatan perampasan pidana dan perampasan in rem tersebut
digunakan secara bersamaan (Greenberg, 2009).
dalam kata “tidak” yang bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) UUD
1945.
Pada intinya, adanya kata “tidak” tersebut menyebabkan tindak
pidana asal dari tindak pidana pencucian uang yang menghasilkan
aset ilegal tidak perlu dibuktikan, dianggap bertentangan dengan
konstitusi. Ia beranggapan bahwa tindak pidana asal (predicate
crime) ini yang menghasilkan aset hasil kejahatan yang kemudian
disembunyikan melalui metode-metode pencucian uang. Jika tidak
dibuktikan tindak pidananya, mustahil akan ditemukan pencucian
uangnya, apalagi dirampas untuk negara.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 77/PUU-XII/2004,
sebenarnya sudah menyatakan bahwa Pasal 69 UU TPPU tersebut
tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, jika dilihat dalam
pertimbangan hukumnya, MK tidak begitu mengulas tentang
argumen hukum yang lugas mengapa tindak pidana asal tersebut
tidak perlu dibuktikan. MK melalui putusannya hanya menjabarkan
bahwa akan ada ketidakadilan jika seorang yang nyata-nyata telah
menerima keuntungan dari TPPU tidak bisa diproses apabila tindak
pidana asalnya tidak bisa dibuktikan. MK hanya mencontohkan
Pasal 480 KUHP tentang penadahan yang sudah sejak lama tidak
perlu dibuktikan tindak pidana asalnya. Hal ini menjadikan konsep
perampasan aset tanpa memerlukan bukti kesalahan melalui In Rem
atau Civil Forfeiture masih perlu dijelaskan lebih lanjut.
Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
juga telah menerapkan penyitaan terhadap hasil kejahatan. Pasal 39
Ayat (1) Huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyebutkan bahwa yang dapat dilakukan penyitaan
adalah: benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh
atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasi
dari tindak pidana. Dalam kasus pencurian misalnya, benda yang
dicuri sebagai hasil dari kejahatan yang dapat disita jika ditemukan
oleh penyidik pada saat penangkapan, penggeledahan. Begitu juga
dalam kasus korupsi, hasil kejahatan yang disita misalnya pada saat
ditemukannya sejumlah uang yang diduga sebagai uang suap kepada
pejabat publik tertentu. Hal mana, uang tersebut juga termasuk
sebagai kerugian negara yang dapat dirampas oleh negara. Hanya
saja, paradigma yang digunakan masih bersifat in personam yang
masih melekatkan aset dengan individu sebagai tersangka atau
terdakwa. Aset yang disita kemudian harus dibuktikan merupakan
125
bagian daripada pembuktian unsur kesalahan dari pelaku.
Sementara dalam penyitaan yang bersifat in rem, yang
menggunakan pembuktian terbalik, dimana yang diperlukan
hanyalah sebatas pembuktian dengan standar “keseimbangan
probabilitas” atau “keseimbangan kemungkinan” (balanced
probability). Teori balanced probability principle atau pembuktian
keseimbangan kemungkinan ini, memisahkan antara kepemilikan
aset dengan tindak pidana. Teori ini menempatkan perlindungan
terhadap terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (presumption of
innoncence) sebagai penjabaran prinsip non-self incrimination yang
harus diimbangi kewajiban terdakwa untuk membuktikan asal-usul
aset yang dimilikinya (Yusuf, 2013).
Jika dalam kasus pidana, standar pembuktian memerlukan
derajat kemungkinan yang sangat tinggi, dengan diksi ‘secara sah
dan meyakinkan’ atau dalam sistem hukum anglo saxon berdasarkan
‘beyond reasonable doubt’, maka dalam ‘balanced probability’, yang
maksudnya ‘sesuatu lebih mungkin terjadi daripada tidak’ (Ramelan,
et. al., 2008). Model pembuktian perdata ini berlandaskan prinsip
prepondance of evidance, dimana suatu kebenaran semata-mata
didasarkan pada alat bukti mana yang lebih meyakinkan atau dapat
diukur dengan siapa yang memiliki bukti lebih banyak (Pohan et.al
2008) dan pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang
menyatakan atau menuntut hak tersebut. Maka, dalam perampasan
perdata ini, keyakinan hakim tidak dibutuhkan untuk menentukan
suatu harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana, karena standar
pembuktian yang sudah diturunkan dari standar pembuktian pidana
ke perdata.
Sebagai penegasan, dapat disimak pertimbangan Hakim W.J
Kitchen dalam perkara R. v Nayanchandra Shah di Kanada, yang
menyatakan pendiriannya terhadap perkara pencampuran hasil
kejahatan dengan hasil yang legal oleh terdakwa, dengan pandangan
sebagai berikut :
“tujuan dari penggunaan standar pembuktian yang lebih rendah
adalah untuk menyelesaikan kesulitan untuk membuktikan hal-hal
yang mungkin hanya diketahui oleh si terdakwa. Penuntut harus
mampu membuktikan secara meyakinkan fakta terjadinya tindak
pidana dan jumlah dari hasil tindak pidana tersebut. Namun bukti
untuk mengidentifikasi bagian mana yang merupakan hasil tindak
pidana adalah suatu hal lain. Pemindahan hasil tindak pidana oleh
127
usul aset adalah dengan mekanisme pembuktian terbalik yang tidak
biasa dilakukan terhadap perkara-perkara perdata pada umumnya.
Maka, dengan demikian untuk memastikan efektifitas proses
perampasan aset in rem dapat dilakukan dengan memadupadankan
hakim pidana dan perdata atau hakim yang diberikan pelatihan
khusus tentang mekanisme perampasan aset in rem.
Kemudian, terkait dengan wewenang pengadilan khusus tindak
pidana korupsi (pengadilan tipikor) yang tidak dirujuk dalam naskah
akademis RUU Perampasan Aset. Hal ini sesungguhnya ahistoris
dengan semangat pembentukan pengadilan tipikor. Dimana saat
itu ada pemikiran agar penanganan perkara korupsi bisa lebih
efektif oleh suatu pengadilan khusus tindak pidana korupsi karena
dilengkapi hakim-hakim yang sudah memiliki keahlian yang
spesifik dalam penanganan tindak pidana korupsi, baik hakim pada
peradilan umum dan hakim ad hoc. Konsep perampasan in rem
yang diformalkan dalam konvensi anti-korupsi (UNCAC), karena
maraknya penyembunyian hasil kejahatan dari tindak pidana ini.
Maka sudah selayaknya perkara-perkara perampasan aset in rem ini
juga dapat dilakukan di pengadilan tipikor apabila aset yang tercemar
diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
PENUTUP
Perkembangan teknologi yang membuat transaksi ekonomi
saat ini tidak mengenal batas negara (borderless), dimana pelaku
kejahatan yang terpisah dengan penikmat hasil kejahatan membuat
mekanisme hukum pidana konvensional dirasa belum cukup untuk
memulihkan kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan dimaksud.
Metode perampasan aset secara in rem melalui NCB Asset Forfeiture
ini merupakan konsep yang revolusioner dalam merampas hasil
kejahatan. Prosesnya yang lebih efektif karena menerabas beberapa
asas hukum dan juga dengan menurunkan standar pembuktian
dalam perkara pidana, dianggap berpotensi akan berhadap-hadapan
dengan prinsip peradilan yang adil (due process of law) dan juga hak
atas kepemilikan harta kekayaan seseorang (property rights). Hal
ini misalnya berkaca dari pengalaman gugatan uji materi terhadap
beberapa pasal dalam UU TPPU, seperti ikhwal pembuktian terbalik
dan pembuktian tindak pidana asal. Walaupun Putusan MK sudah
menegaskan konstitusionalitas dari pasal-pasal yang diujikan, namun
REFERENSI
A. Buku
Alldridge, P. 2003. Money Laundering Law: Forfeiture, Confiscation,
Civil Recovery, Criminal Laundering and Taxation of Proceeds of
Crime. Hart Publishing. Oregon.
Cassella, S. D. 2007. Asset Forfeiture Law in the United States.
Chapters 1 and 2. Juris Publishing. New York, NY.
Pohan, A. et. al. 2008. Pengembalian Aset Kejahatan. Pusat Kajian
Anti Korupsi [PuKAT] Korupsi Fakultas Hukum UGM dan
Kemitraan. Yogyakarta.
Ramelan. et. al. 2008. Panduan untuk Jaksa Penuntut Umum
Indonesia dalam Penanganan Harta Hasil Perolehan Kejahatan.
Indonesia – Australia Legal Development facility. Jakarta.
Ramelan, et. al. 2012. Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Pusat
Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional. Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta.
Sly, N. 2009. Murder by Poison. The History Press. United Kingdom.
Stessens, G. 2003. Money Laundering: A New International Law
Enforcement Model. Cambridge University Press. USA.
Suseno, F. M. 2016. Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Cet. 10. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
129
Vettori, B. 2006. Tough on Criminal Welath: Exploring the Practice
of Proceeds from Crime Confiscation in the EU. Springer.
Netherlands.
Yusuf, M. 2013. Merampas Aset Koruptor; Solusi Pemberantasan
Korupsi di Indonesia. Peneribit buku Kompas. Jakarta.
Greenberg, T. S et. al. 2009. Stolen Asset Recovery: A Good Practices
Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture. The World
Bank. Washington DC.
Jurnal
Cassella, S. D. 2008. The case for civil forfeitureWhy in Rem
proceedings are an essential tool for recovering the proceeds of
crime. Journal of Money Laundering Control. 11 (1): 8 – 14.
Gallant, M. M and Colin King. 2013. The Seizure of Illicit Assets:
Patterns of Civil Forfeiture in Cananda and Ireland. Common Law
World Review. 42: 91-109.
gunardi.endro@bakrie.ac.id
ABSTRAK
Kata ‘integritas’ dipakai secara luas untuk menyatakan kompaknya
atau utuhnya sesuatu, teridentifikasi dari reaksinya terhadap
rangsangan dari lingkungannya. Penyelisikan makna hakiki integritas
pada akhirnya berujung pada pemahaman tentang pentingnya dua
proses yang berlangsung serentak, yaitu proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal. Pada kasus manusia atau institusi
yang dikendalikan manusia, proses pengendalian internal berkaitan
dengan persoalan bagaimana membangun dan mempertahankan
identitas diri, sedangkan proses partisipasi eksternal berkenaan
dengan persoalan bagaimana mewujudkan keputusan dan tindakan
yang baik berdasarkan identitas diri itu. Identitas diri seharusnya
tidak terlepas dari keputusan dan tindakan yang baik. Meskipun
kekuasaan dibangun dari kemampuan partikular, kekuasaan itu
seharusnya dipergunakan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu,
integritas merupakan suatu keutamaan, suatu karakter baik manusia
atau budaya baik organisasi, yang menimbulkan daya dorong bagi
pemiliknya untuk mewujudkan keputusan dan tindakan bagi kebaikan
131
bersama. Karakter atau budaya ini jelas bertentangan dengan korupsi,
karena korupsi merupakan tindak penyalahgunaan kekuasaan dengan
memanipulasi kebaikan bersama demi kepentingan pribadi tertentu.
Jadi, karakter integritas dan budaya integritas secara langsung
bertentangan dengan korupsi. Pengembangan karakter integritas dan
budaya integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.
Kata Kunci: Integritas, pengendalian internal, partisipasi
eksternal, kebaikan bersama, korupsi
ABSTRACT
The word “integrity” is widely used to state the compactness
or the intactness of a thing, identified from its reactions against
the surrounding stimuli. An investigation of the true meaning of
integrity ultimately leads to understanding the importance of two
simultaneous processes, namely the self-governance process and
the externally participation process. In the case of human being
or human-controlled institution, the self governanve process is
associated with the issue of how to build and maintain self-identity,
whereas the externally participation process is associated with how
to actualize good decisions and actions based on that self-identity.
The self-identity should be inseparable from the good decisions and
actions. Though any power is built from particular capabilities, it
should be used for the common good. Therefore, integrity is a virtue,
a good human character or a good organizational culture, that
disposes those who posses it to exercise decisions and actions for
the common good. This character or culture is clearly contrary to
corruption, because corruption is an abuse of power by manipulating
the common good for particular interests. Thus, character of integrity
and culture of integrity are in direct opposition to corruption.
Developing character of integrity and culture of integrity contains a
logical necessity of preventing corruption.
Keywords: integrity, self-governance, external participation,
common good, corruption
PENDAHULUAN
Integritas menjadi kata yang sering sekali disebutkan beberapa
dekade belakangan ini, namun pemaknaannya tidak jelas.
133
besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan politik, justru
semakin kabur maknanya. Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki
dan menemukan patokan penjelas makna integritas agar supaya bisa
menjadi petunjuk arah dalam setiap diskusi tentang integritas dan
terutama dalam setiap upaya pengembangan karakter dan budaya
integritas. Sebagai langkah awal, penyelisikan asal mula makna
integritas perlu dilakukan.
135
mengubah dirinya menjadi sosok lain tergantung konteks hidupnya,
melainkan tetap bertahan dengan perilaku yang menunjukkan
satu identitas dirinya yang asli dalam berbagai konteks hidupnya.
Persoalannya, karena manusia memiliki kebebasan kehendak, mau
tidak mau harus memilih: ingin menjadikan diri sosok seperti apa
dan ingin berbuat apa, maka identitas yang dipertahankannya tidak
tertetapkan terlebih dahulu (not predetermined). Demikian pula
perbuatan-perbuatan yang mau mengekspresikan identitas tersebut.
Baik identitas yang mau dipertahankan maupun perbuatan yang mau
dilakukan sebagai ekspresi identitasnya bergantung pada pilihan
manusia. Dengan kata lain, proses pengendalian internal dan proses
partisipasi eksternal tidak tunduk pada hukum alam dan tidak ada
hubungan natural kausalistik di antara keduanya. Integritas tidak
dicapai melalui pemenuhan hukum alam, melainkan diupayakan
secara aktif melalui pilihan identitas dan tindakan yang seharusnya
dilakukan karena ada nilai lebih yang akan diperoleh dengan pilihan
identitas dan tindakan itu. Di sini, integritas bukan menyatakan
fakta apa yang terjadi, melainkan menyatakan apa yang seharusnya
diupayakan.
Peran sentral manusia pada sesuatu yang memiliki integritas
evaluatif membuat integritas tak dapat dipisahkan dari aspek moral
(aspek baik-buruk manusia sebagai manusia). Berdasarkan hakekat
dirinya sebagai manusia, orang yang berintegritas atau organisasi
yang berintegritas diharapkan mengambil keputusan dan tindakan
yang bermoral. Dan keputusan dan tindakan yang bermoral itu harus
mengekspresikan identitas diri yang dibangunnya untuk menegaskan
bahwa makna kekompakan pada dirinya terwujud dan terekspresikan.
Jadi, ada dua aspek integritas bagi individu orang atau individu
organisasi yang berintegritas: pertama, integritas berkaitan dengan
bagaimana individu membangun dan mempertahankan identitas
dirinya (proses pengendalian internal); dan kedua, integritas
berkaitan dengan bagaimana individu melakukan perbuatan yang
bermoral (proses partisipasi eksternal). Makna integritas yang
benar seharusnya mencakup dua aspek tersebut bersama-sama.
Tetapi tampaknya tidak mudah menemukan satu kriteria yang dapat
merepresentasikan dua aspek tersebut sekaligus. Dalam sejarah
perkembangannya, makna integritas-evaluatif cenderung direduksi
dengan menekankan salah satu aspeknya saja. Memang reduksi
makna tidak terjadi pada integritas non-evaluatif, karena proses
137
kebetulan apakah individu yang bersangkutan memiliki kesadaran
moral ataukah tidak. Oleh karena itu, individu yang jahat dan kejam
namun memiliki identitas diri yang kompak bisa dianggap sebagai
individu yang berintegritas. Integritas bukan lagi suatu keutamaan/
kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Kesimpulan seperti itu
pada umumnya sulit diterima. Pertanyaan tentang kandungan moral
di dalam makna integritas pun kemudian muncul.
Meskipun adanya kandungan moral di dalam makna integritas
sulit ditolak, hubungan antara integritas dan moralitas seringkali
diinterpretasikan secara berbeda-beda tergantung pada moralitas versi
mana yang dipakai sebagai patokan: apakah versi individu penerima
atribut integritas ataukah versi individu pemberi atribut integritas.
Halfon (1989) melihat bahwa moralitas versi penerima atribut
integritas lah yang seharusnya menjadi patokan. Menurut Halfon,
integritas dikaitkan dengan komitmen individu yang memberlakukan
pada dirinya pandangan moral yang secara konseptual jelas, secara
logika konsisten, dan memperhitungkan semua fakta empiris dan
pertimbangan moral. Calhoun (1995) mengemukakan pendapat yang
serupa dengan menegaskan bahwa individu yang berintegritas harus
tetap membela tegaknya pertimbangan terbaiknya sendiri meskipun
perlu menghormati pertimbangan terbaik individu lain. Masalahnya,
kedua pendapat itu tidak bisa memberikan batas demarkasi yang
jelas antara individu yang berintegritas dan individu yang fanatik.
Implikasi yang dapat ditarik dari kedua pendapat itu adalah bahwa
individu fanatik, seperti misalnya seorang teroris yang berpandangan
radikal, masih mungkin disebut sebagai individu yang berintegritas.
Kesimpulan ini secara intuitif juga sulit diterima.
Reduksi makna integritas jenis kedua adalah dengan menekankan
proses partisipasi eksternal atau menekankan moralitas tindakan
versi individu pemberi atribut integritas. Kriteria yang dipakai
sebagai patokan adalah bagaimana konsistensi tindakan moral
individu yang menerima atribut integritas teridentifikasi oleh
pemberi atribut integritas. Karena, tindakan moral merupakan
wujud ekspresi kekompakan diri individu dari segi kemanusiaannya.
Ashford (2000), misalnya, memaknai integritas dengan menekankan
segi objektivitas bagaimana individu harus patuh pada komitmennya
terhadap kewajiban-kewajiban moral. Bagi Ashford, konsepsi diri
individu dapat dikembangkan namun harus disesuaikan dengan
persyaratan-persyaratan moral nyata dari luar dirinya. Implikasi
139
dirujuk dalam tindakannya pada konteks tertentu. Proses partisipasi
eksternal yang berkaitan dengan moralitas tindakan individu (aspek
moral) mencerminkan universalitas dan objektivitas. Artinya, tindakan
individu bisa dijelaskan secara objektif dari segi kewajarannya terkait
baik-buruknya bagi manusia, sehingga tindakan itu dapat diterima
secara universal. Makna kekompakan tercermin dari kedua aspeknya:
aspek personal dan aspek moral. Jika proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal terintegrasikan, maka identitas diri
akan sungguh-sungguh terekspresikan menjadi tindakan-tindakan
moral dan makna kekompakan akan sungguh-sungguh terwujud
dengan kedua aspeknya itu.
Berikut ini akan diajukan konstruksi pemahaman dengan
latar belakang etika keutamaan Aristoteles (Aristotle) untuk
mengembalikan makna dasar integritas. Konstruksi pemahaman
yang dimaksud di sini ditopang oleh dua pilar pemahaman, yaitu
pemahaman tentang hubungan dan tindakan moral dan pemahaman
tentang konsep diri. Pilar pemahaman pertama berkaitan dengan
proses partisipasi eksternal, sementara pilar pemahaman kedua
berkaitan dengan proses pengendalian internal.
141
antara “orang berkeutamaan” (virtuous man), “diri sendiri” (self),
dan “temannya” (another sellf) sedemikian sehingga hanya jika diri
sendiri dan temannya memiliki atribut orang yang berkeutamaan
maka diri sendiri dan temannya akan saling menempatkan yang
lain sebagai diri-yang-lain (another self). Kalau kumpulan individu
dalam pertemanan yang baik (virtuous friendship) – dimana
masing-masing individu memiliki atribut orang berkeutamaan –
disebut komunitas ideal, maka skema hubungan triadik tersebut
merupakan skema hubungan antara komunitas ideal (ideal
community), diri-sendiri (self), dan temannya (another self).
Dengan begitu, seseorang yang mau mewujudkan dirinya dengan
tindakan berkeutamaan (mau menjadi orang yang berkeutamaan)
akan mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas ideal karena
disitu temannya ditempatkannya sebagai diri-yang-lain. Diri di
sini adalah “diri-yang-menjadi”, diri yang dalam artian tertentu
diperluas dengan komunitas ideal (the expanded self), atau
diri yang hanya akan terwujud jikalau komunitas ideal secara
partisipatif diwujudkannya.
143
dan keadilan (justice), setiap komunitas ideal memiliki keutamaan/
kebajikan/ nilai sosial lain yang per definisi harus juga diupayakan
keterwujudannya di dalam komunitas itu dan di elemen-elemen
komunitas itu. Komunitas pasar yang memiliki integritas, misalnya,
mewujudkan nilai-sosial efisiensi agar tujuan sesungguhnya tercapai.
Perusahaan (anggota komunitas pasar) yang berintegritas, selain
mewujudkan nilai-sosial efisiensi juga harus mewujudkan nilai yang
terkait dengan kualitas layanan agar tujuan sesungguhnya tercapai.
Karyawan (anggota komunitas perusahaan) yang berintegritas,
selain mewujudkan nilai-sosial efisiensi dan kualitas layanan juga
harus mewujudkan tercapainya nilai tertentu sesuai dengan peran
spesifiknya di perusahaan. Dengan begitu, antara komunitas yang
memiliki integritas dan elemen-elemennya sangat erat hubungannya
(intimate) sedemikian sehingga seolah-olah identitas elemen sulit
dipisahkan dari identitas komunitas. Kesimpulan ini mematahkan
argumentasi Kasulis (2002) yang memisahkan intimasi (intimacy)
dari integritas (integrity), karena disini integritas justru mensyaratkan
intimasi antara komunitas dengan elemen-elemennya. Untuk
mewujudkan diri sebagai elemen yang memiliki integritas, elemen
itu harus melakukan upaya partisipatif untuk mentransformasikan
komunitas-komunitas yang lebih besar (dimana ia menjadi
anggotanya) menjadi komunitas-komunitas ideal.
Jadi, makna dasar integritas dikembalikan melalui perwujudan
skema hierarkis komunitas-komunitas ideal sebagaimana dijelaskan
di atas. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok individu yang
selalu mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas-komunitas
ideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk secara
hierarkis mewujudkan semuanya. Karyawan yang berintegritas
akan memperjuangkan perusahaan tempatnya bekerja menjadi
perusahaan yang beintegritas, dengan mana perjuangannya itu
sekaligus juga menghantarkan perusahaan melaksanakan upaya
partisipatif mewujudkan pasar yang berintegritas dan pasar
mewujudkan kehidupan bersama yang baik di masyarakat (komunitas
umat manusia). Agar hal itu terwujud, ketika karyawan tersebut
mempertimbangkan keputusan dan tindakan yang akan dilakukan,
nilai-nilai sosial dasar bagi kehidupan bersama yang baik (komunitas
umat manusia), yaitu kemandirian individual (autonomy),
kepedulian (caring) dan keadilan (justice) menjadi prioritas
pertama sebelum nilai-nilai sosial lain berturut-turut: efisiensi
145
(1651) dalam karyanya Leviathan bahwa manusia satu berbahaya
bagi manusia lainnya namun setiap manusia dapat mengamankan
keberadaan dan memenuhi kepentingan dirinya melalui kesepakatan
bersama yang terwujud dalam bentuk kekuasaan Negara. Jadi
menurut Euben (1989), pemegang kekuasaan publik (Negara) yang
mendapatkan legitimasi dari seluruh individu (hasil kesepakatan
bersama) diwajibkan menyelenggarakan kekuasaannya sesuai
dengan standar yang ditetapkan demi kepentingan seluruh
individu (kepentingan publik). Korupsi kemudian dimaknai sebagai
penyelenggaraan kekuasaan yang tidak sesuai dengan standar. Hal
ini tercermin pada definisi yang ditetapkan oleh World Bank (1997)
bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan yang sifatnya privat (the abuse of public power for
private gain). Masalah yang timbul dari gambaran korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan publik adalah pengabaian adanya fakta
bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang sifatnya privat bisa lebih
destruktif dibandingkan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik.
Sebagai contoh, misalnya, skandal korporasi yang melibatkan
penyalahgunaan kekuasaan privat oleh beberapa pemimpin bisnis
di bursa saham Amerika awal abad ke-21 menimbulkan dampak
krisis ekonomi yang terbukti lebih menyengsarakan masyarakat luas
daripada dampak skandal korupsi pejabat publik suatu Negara.
Oleh karena itu, jika korupsi mau dipahami secara lebih
komprehensif daripada korupsi yang hanya terdefinisikan secara
legal formal sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
publik, maka korupsi harus dilihat secara paradigmatik sebagai
penyalahgunaan kekuasaan di semua bidang kehidupan. Seorang
petinju yang mau menerima uang suap untuk mengalah, dokter yang
menolak memberi kesaksian atas malpraktik koleganya, atlet yang
menggunakan doping agar menang dalam perlombaan olahraga,
dosen yang menjiplak tulisan orang lain, ataupun bahkan seseorang
yang membohongi teman hidupnya untuk kepuasan nafsunya sendiri,
kesemuanya itu merupakan kasus yang secara paradigmatik dapat
dimasukkan ke dalam kategori korupsi (Miller 2013). Pada kasus-
kasus tersebut, orang memiliki kekuasaan berdasarkan kepercayaan
komunitas terhadap kemampuan partikular yang dimilikinya untuk
menjalankan peran demi kebaikan bersama (common good). Ketika
kekuasaan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tertentu
(partikular) dengan memanipulasi seolah-olah kekuasaan itu masih
digunakan untuk kebaikan bersama, maka kasus korupsi secara
147
waktu bisa jadi merupakan bagian dari rencana tindakan yang paling
tepat, karena dengan melakukannya individu tersebut pada akhirnya
bisa memberikan kontribusi terbaik bagi terwujudnya kebaikan
bersama. Seorang eksekutif perusahaan, misalnya, terpaksa harus
mengorbankan nilai-nilai sosial tertentu untuk mempertahankan
keberadaan perusahaannya di komunitas pasar yang korup,
sementara dia memproyeksikan bagaimana pada akhirnya
perusahaannya dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perbaikan moralitas komunitas pasar dan bagi perwujudan kebaikan
bersama dalam komunitas ideal umat manusia. Ada kesan “urgensi”
pada upaya mempertahankan daya hidup partikularitas, tetapi daya
hidup partikularitas yang dipertahankan itu tidak boleh menjadi
tujuan akhir. Setiap segmen proses menjadi bagian dari upaya besar
yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya kebaikan bersama dalam
komunitas ideal umat manusia.
Kedua, berhubung setiap individu memiliki partikularitas yang
berbeda-beda sementara tujuan akhirnya satu yaitu terwujudnya
kebaikan bersama, rencana upaya partisipatif individu yang
berintegritas harus mempertimbangkan persaingannya dengan
rencana upaya partisipatif yang ditawarkan individu-individu lainnya
sedemikian sehingga upaya partisipatif terbaik yang diputuskan dan
dijalankannya dapat secara masuk akal dipertanggungjawabkan.
Upaya partisipatif terbaik yang diputuskannya, relatif terhadap
partikularitas yang dimilikinya, dapat diterima akal sehat individu
lain karena siapapun yang memiliki partikularitas yang sama
cenderung akan mengambil keputusan yang sama. Individu yang
berintegritas selalu siap mempertanggungjawabkan bahwa upaya
partisipatif yang dipilihnya akan memberikan kontribusi terbaik
bagi perwujudan kebaikan bersama, meskipun upaya partisipatif
yang dipilihnya itu justru dengan memberikan kesempatan individu
lain yang lebih ahli (memiliki partikularitas yang lebih baik) untuk
mengambil peran yang lebih besar. Individu yang berintegritas
tidak akan berlindung di balik minimnya partikularitas yang
dimilikinya untuk bermalas-malasan dari peluang mewujudkan
kebaikan bersama dan, sebaliknya, tidak akan menggunakan alasan
perwujudan kebaikan bersama untuk mengambil sebanyak mungkin
peran meskipun partikularitas yang dimilikinya tidak memadai.
Individu yang berintegritas selalu meningkatkan mutu partikularitas
yang dimilikinya, misalnya mengasah kompetensi dan kemampuan
149
korupsi, karena korupsi mendorong apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama (common good) ke arah kepentingan partikular.
Jelas sebagai karakter yang baik atau budaya organisasi yang baik,
integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.
KESIMPULAN
Meskipun penggunaan kata integritas dalam retorika politik
di masyarakat saat ini berpengaruh besar dalam meningkatkan
keprihatinan moral terhadap korupsi, namun ketidakjelasan dalam
penyajian maknanya akan membuat pengaruh tersebut berhenti
di tataran politik saja dan tidak berlanjut ke dalam rancangan
keputusan dan tindakan riil yang secara sistematis bisa menangkal
korupsi. Penyelisikan makna integritas di sini dilakukan secara
filosofis untuk menemukan makna dasarnya, menjelaskan bagaimana
makna dasar itu kemudian direduksi hingga muncul berbagai
varietas makna yang beredar di masyarakat, dan mengupayakan
skema pengembalian makna dasar agar supaya mendapatkan
satu patokan makna integritas yang jelas. Integritas tampaknya
tidak cukup direpresentasikan oleh kejujuran, kecermatan dalam
berperilaku, keteguhan dalam berkomitmen, atau pun keutamaan/
kebajikan/ nilai-nilai lain seperti: kesederhanaan, kesabaran,
visioner, keberanian, kedisiplinan, kerja keras, kerjasama, tanggung
jawab, dan sebagainya. Keutamaan/ kebajikan/ nilai-nilai tersebut
lebih merupakan akibat dari terwujudnya individu yang berintegritas
daripada menjadi penyebab munculnya individu yang berintegritas.
Hasil penyelisikan menunjukkan bahwa integritas individu akan
terwujud ketika ia selalu mengidentifikasikan diri dengan komunitas-
komunitas ideal sedemikian rupa sehingga ia akan selalu melakukan
upaya partisipatif untuk secara hierarkis mewujudkan komunitas-
komunitas ideal dalam rangka mewujudkan dirinya. Kebaikan
bersama (common good) terjamin dan terjaga keberadaannya di dalam
komunitas-komunitas ideal itu. Jadi, skema pengembalian makna
dasar integritas menyajikan kontrasnya perbedaan antara integritas
dan korupsi. Sementara korupsi merupakan perilaku penyalahgunaan
kekuasaan dengan memanipulasi apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama demi kepentingan partikular (kepentingan pribadi
tertentu), integritas merupakan keutamaan/ kebajikan (virtue) yang
menimbulkan daya dorong untuk mengelola berfungsinya kekuasaan
REFERENSI
Aristotle. 2001. “Ethica Nichomachea.” Dalam The Basic Works
of Aristotle, terj. W.D. Ross, ed. Richard McKeon. NY: Modern
Library.
____________. “Politica.” Dalam The Basic Works of Aristotle,
terj. Benjamin Jowett, ed. Richard McKeon. NY: Modern Library.
____________. “De Generatione et Corruptione.” Dalam The Basic
Works of Aristotle, terj. Harold H. Joachim, ed. Richard McKeon.
NY: Modern Library.
Ashford, Elizabeth. 2000. “Utilitarianism, Integrity, and Partiality.”
Journal of Philosophy XCVII:8 (August): 421-39.
Audi, Robert, dan Patrick Murphy. 2006. “The Many Faces of
Integrity.” Business Ethics Quarterly 16(1): 3-21.
Black, Harrison. 1825. An Etymological and Explanatory Dictionary
of Words Derived from the Latin. 2nd ed. London: Longman.
Blustein, Jeffrey. 1991. Care and Commitment: Taking the Personal
Point of View. New York: Oxford University Press.
Buchanan, Bruce. 2004. “The Moral Physics of the Body Politic:
Changing Contours of Corruption in Western Political Thought.”
Dalam Proceedings of the Australasian Political Studies
Association Conference. University of Adelaide (September -
October 2004). http://www.adelaide.edu.au/apsa/papers/.
Calhoun, Cheshire. 1995. “Standing for Something.” Journal of
Philosophy XCII(5): 235-60.
Carter, Stephen L. 1996. Integrity. New York: Basic Books.
Cox, Damian, Marguerite La Caze, dan Michael P. Levine. 2003.
Integrity and the Fragile Self. Aldershot-Hants: Ashgate.
151
Davion, Victoria M. 1990. “Integrity and radical change.” Dalam
Feminist Ethics, ed. Claudia Card. Kansas: Kansas University
Press.
Endro, Gunardi. 2007. Integrity in Economic Life: An Aristotelian
Perspective. Dissertation. National University of Singapore.
Euben, J. Peter. 1989. “Corruption.” Dalam Political Innovation and
Conceptual Change, ed. Terence Ball, James Farr dan Russell L.
Hanson. New York: Cambridge Univ. Press.
Hadi, Protasius Hardono. 2010. Potret Siapakah Aku. Yogyakarta:
Kanisius.
Halfon, Mark S. 1989. Integrity: A Philosophical Inquiry.
Philadelphia: Temple Univ. Press.
Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan. London: Andrew Crooke at the
Green Dragon.
Kasulis, Thomas P. 2002. Intimacy or Integrity: Philosophy and
Cultural Difference. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Klein, Ernest. 1971. A Comprehensive Etymological Dictionary of the
English Language. Amsterdam: Elsevier.
Martin, Mike W. 1996. Love’s Virtue. Lawrence: University Press of
Kansas.
McFall, Lynne. 1987. “Integrity.” International Journal of Ethics 98:1
(October): 5-20.
Miller, Seumas. 2013. “Integrity.” Stanford Encyclopedia of
Philosophy. plato.stanford.edu/entries/corruption/ (Fri Jan 25,
2013).
Skeat, Walter W. 1888. An Etymological Dictionary of the English
Language. 2nd ed. Oxford: Clarendon Press.
Stern-Gillet, Suzanne. 1995. Aristotle’s Philosophy of Friendship.
Albany: State University of New York Press.
Taylor, Gabriel. 1985. Pride, Shame and Guilt: Emotions of Self-
Assessment. New York: Oxford University Press.
Williams, Bernard. 1973. “A Critique of Utilitarianism.” Dalam
Utilitarianism for and against, ed. J.J. Smart & Bernard Williams.
Cambridge: Cambridge University Press.
World Bank. 1997. World Development Report: The State in a
Changing Society. Washington D.C.: World Bank.
radendikyd@yahoo.com
ABSTRAK
Studi ini mendeskripsikan adanya praktik menyimpang pada
proses perubahan tenurial di Segara Anakan dari common property
menjadi private property yang dilakukan oleh para aktor atas
dampak terjadinya perubahan bentang alam berupa terbentuknya
daratan sedimentasi. Sebagai sumber daya alam komunal, Segara
Anakan menjadi struggle area bagi para aktornya. Konsekuensi
153
dari hal ini telah melahirkan kontestasi dan negosiasi dalam
memanfaatkan dan menguasai sumber daya alam. Setiap aktor, baik
mereka yang memiliki relasi kuasa maupun tidak, menunjukkan
aksi untuk memiliki dan mendapatkan keuntungan dari sumber
daya alam yang dikuasainya secara pribadi. Studi ini menemukan
bahwa aktor yang memiliki relasi kuasa berusaha mempertahankan
akses agar mendapatkan legitimasi untuk menguasai sumber daya
alam. Aktor dimaksud ialah pejabat formal di lingkup pemerintahan
lokal. Sedangkan aktor yang tidak memiliki relasi kuasa, membentuk
jejaring aktor berdasarkan persepsi kekerabatan dan ketokohan ialah
langkah menguasai sumber daya alam. Berdasakan usaha tersebut,
aktor-aktor diatas disinyalir telah melakukan praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam pemanfaatan sumber daya alam karena
bertentangan dengan norma di komunitas maupun hukum agraria
berlaku. Studi ini bersifat eksploratif dengan tiga tahap dalam
pengumpulan data, yakni (1) melakukan pengukuran hubungan
antar aktor dengan analisis kuantitatif, (2) wawancara mendalam dan
observasi partisipan tehadap aktor yang dianggap tokoh dari output
tahap 1, dan (3) membangun kesepakatan diantara para aktor dalam
mengelola kawasan Segara Anakan melalui diskusi grup terfokus.
Argumentasi dari studi ini melihat bahwa ada usaha aktor-aktor
lainnya untuk memberikan kontrol dengan membentuk jejaring
aktor secara terintegrasi dalam pemberantasan praktik menyimpang
di komunitas adat Kampung Laut sebagai komunitas yang bermukim
di kawasan pesisir Segara Anakan.
Kata kunci: common property, aktor, sumber daya alam, jejaring
aktor
PENGANTAR
Masalah penyimpangan—korupsi sebagai top of mind -nya—
tidak pernah ada habisnya untuk dibicarakan karena fenomena ini
semakin meluas dan berdampak tidak baik dalam beberapa tahun
terakhir. Publik disuguhkan berbagai narasi aktivitas korupsi yang
dijalankan oleh beberapa orang—bahkan hampir sebagian dari
mereka merupakan aktor penting dalam pengambil kebijakan
negara. Indonesia belum mampu keluar dari kemelut permasalahan
ini meskipun berbagai upaya telah digulirkan. Regulasi dibentuk
155
memaksa masyarakat harus beralih menjadi nelayan. Selain itu,
perubahan bentang alam menghasilkan sumber daya alam yang
bersifat common property. Akibat sifatnya yang milik bersama,
setiap masyarakat berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya
alam tersebut. Pada pola seperti ini, ada aktor-aktor yang kemudian
“memanfaatkan” momentum untuk mengatur tata kelola
Gagasan Hardin (1968) mengenai common property menjadi
relevan untuk menjabarkan kondisi sosial komunitas Kampung Laut
dalam proses terjadinya perubahan bentang alam. Hardin dengan
maksud “tragedi” hendak memprediksi bahwa ekploitasi tanpa
batas terhadap sumber daya milik bersama akan berdampak pada
kehancuran. Kehancuran tersebut menunjukkan adanya perilaku
manusia yang condong bersifat abuse. Hardin melihat bahwa dari
peristiwa pemanfaatan atas sumber daya alam milik bersama, akan
ada pihak yang diuntungkan dan mengalami kerugian. Ketika ada
pihak mengambil keuntungan atas pemanfaatan sumber daya alam,
di sisi lain kerugian akan menjadi pertanggungan bersama dari aktor-
aktor terlibat. Apabila fenomena ini berjalan dan berlaku secara terus
menerus—sesuai kekhawatiran Hardin, masyarakat mengalami
kesulitan untuk mendapatkan akses pemanfaatan hingga mengalami
keterpurukan ekonomi akibat adanya pemanfaatan common
property. Hardin mengusulkan dua solusi utama menangani “tragedi”
yang dikhawatirkannya, yakni adanya pengawasan dari Negara dan
perubahan menjadi private property (privatisasi).
Perubahan bentang alam yang terjadi di Segara Anakan telah
melahirkan dinamika dalam penguasaan dan pemanfaatan atas
sumber daya alam. Tanah timbul yang bertansformasi daratan
menjadi struggle area bagi tokoh-tokoh dalam komunitas, begitu
pula wilayah perairan dan sumber daya alam lainnya. Sanjatmiko
(2016) telah menjabarkan bahwa masyarakat yang berada di sekitar
Segara Anakan memanfaatkan sumber daya alam dengan seperangkat
akses dan jejaringnya untuk mendapatkan keuntungan terbesar.
Pada penjelasannya, terdapat aktor-aktor yang memiliki kuasa
untuk memanfaatkan, di sisi lain ada aktor yang mengoptimalkan
jejaringnya. Kontestasi ini akan menerjemahkan bahwa ada aktor yang
mendapatkan dan tidak mendapatkan akses untuk memanfaatkan
sumber daya alam milik bersama.
Gambar 1. Perubahan bentang alam di Segara Anakan sejak tahun
(a) 1987, (b) 1995, (c) 2003, dan (d) 2006 (Ardli dan Wolff 2008)
a b
c d
157
Penulisan ini penting dilakukan, berhubungan dengan perubahan
tenurial yang terjadi di kawasan Segara Anakan. Proses sedimentasi
kawasan perairan menjadi daratan yang terjadi secara masif terutama
sejak tahun 1980an, menjadi ruang pertarungan (struggle area)
dari para aktor didalamnya untuk mendapatkan keuntungan dari
sumber daya alam di wilayah itu. Proses-proses perubahan tenurial
yang terjadi menurut pemikiran Hardin dapat dijelaskan secara
lebih dinamis melalui penjelasan para aktor yang terlibat di dalam
proses tenurial di kawasan Segara Anakan dengan atau tanpa mereka
menguasai/memiliki properti. Kontestasi di antara mereka melalui
akses jejaring dan kuasa yang dimilikinya menguatkan peran mereka
dalam membawa persoalan sosial dan lingkungan kawasan Segara
Anakan (Sanjatmiko 2016). Peluso dan Ribot (2003) melihat bahwa
ada semacam susunan jaringan akses dari aktor-aktor. Perhatian
mereka memungkinkan ahli memetakan perubahan proses dan
hubungan akses, aktor dengan sumber daya alam. Konsep akses
disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya beruntung
dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Akses
secara empirik memfokuskan diri pada siapa yang mendapatkan apa,
dalam cara apa, dan kapan untuk mendapatkan keuntungan dari
sumber daya alam. Kekuatan ini terdiri atas material, kebudayaan,
dan ekonomi politik dengan ikatan dan jaringan kekuasaan yang
menyusun akses sumber daya alam. Dengan melihat hal tersebut,
penulisan ini ingin melihat signfikansi jaringan aktor terhadap
pemanfaatan, penguasaan, dan pengawasan terhadap sumber daya
alam di Segara Anakan.
159
masyarakat melakukan peralihan mata pencaharian dari nelayan
menjadi petani. Peralihan tersebut adalah sebuah konsekuensi logis
dari tidak optimalnya kembali kawasan perairan sebagai kawasan
menangkap ikan. Dahulu dikisahkan para nelayan sering mendapat
ikan-ikan dalam ukuran cukup besar. Namun, saat ini nelayan banyak
diganggu oleh keberadaan ikan kating yang menjadi hama bagi
populasi udang peci dan biota air lainnya. Kedua, terdapat upaya dari
masyarakat untuk memanfaatkan. Proses sedimentasi membuat pola
pikir masyarakat mengarahkan diri untuk mengoptimalkan sumber
daya alam yang berada di sekitarnya, walaupun bersifat terbatas.
Tidak sedikit dari masyarakat yang kini memanfaatkan kawasan
hutan mangrove sebagai wilayah wisata, menebang pohon mangrove,
atau menjadikannya produk pangan lokal. Ketiga, terbentuknya
struktur pemerintahan untuk memberikan tata aturan terhadap
masyarakat. Setelah ditemukan komunitas yang mendiami Segara
Anakan, Pemerintah sigap dengan membentuk Pemerintahan Lokal—
setingkat bau atau Dusun—dan Pemerintahan Desa. Sebagai puncak
otonomi terjadi pada tahun 2000 ketika Bupati Cilacap berkunjung ke
Kampung Laut dan berjanji akan membentuk Pemerintah Kecamatan
agar lebih memudahkan akses birokrasi yang sebelumnya terpusat di
Kecamatan Kawungaten.
JUMLAH (JIWA)
161
fishing ground. Sejalan dengan terjadinya proses sedimentasi yang
mendorong juga terjadinya semakin sempit kawasan fishing ground
di Segara Anakan, beberapa alat tangkap yang digunakan pada
kawasan common fishing ground sudah tidak digunakan lagi karena
semakin menyempit dan hilangnya kawasan common fishing ground.
Alat tangkap ikan seperti banjang, pasangan sero, gilap, ngambang,
jaring lingkung pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Pada masa
ini jenis alat tangkap ikan yang masih digunakan karena masih
sesuai dengan kondisi fishing ground yang semakin menyempit dan
semakin dangkal seperti jaring, perangkap kepiting (traping) seperti
wadong dan mencari kerang totok.
Perubahan proses pemanfaatan sumber daya alam dari private
property ke common property di Kampung Laut, ditunjukkan
dalam kasus pemanfaatan lahan mangrove yang dijadikan sebagai
kawasan wisata dan penelitian mangrove di Desa Ujung Alang. Dari
segi kepemilikkan dan penguasaan lahan tersebut merupakan milik
perorangan dan dikuasai oleh perorangan pula dengan penguat surat
berupa Surat Penguasaan Tanah (SPT) yang diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Empat orang yang menguasai lahan
tersebut tergabung dalam Kelompok Tani Mangrove desa Ujung
Alang dengan jumlah anggota 18 orang. Saat ini lahan seluas 6 Hektar
tersebut digunakan sebagai kawasan wisata mengrove yang banyak
dikunjungi oleh wisatawan lokal, pihak universitas dan institusi
penelitian seperti LIPI dan LAPAN untuk melakukan penelitian.
Pihak pemilik lahan secara perorangan maupun kelompok, tidak
memungut biaya atas penggunaan jasa lingkungan lokasi wisata dan
penelitian mangrove tersebut. Sebaliknya manfaat yang didorong oleh
kelompok petani mangrove tersebut adalah menyediakan makanan
untuk dibeli oleh pengunjung yang sifatnya tidak wajib dengan harga
yang terjangkau. Dengan dibukanya wisata kawasan mangrove,
warga sekitar mendapat manfaat ekonomi melalui penyediaan jasa
dan perdagangan yang dibutuhkan oleh pengunjung. Di sisi lain
pengurus kelompok tani mangrove tersebut tidak mau menarik iuran
masuk bagi pengunjung karena adanya rasa kuatir penetapan pajak
wisata oleh pihak pemerintah Kabupaten Cilacap atau justru kawasan
tersebut akan diambil alih oleh pemerintah Kabupaten Cilacap
sebagai aset daerah.
Menguasai Sumber daya Alam: Kontestasi dan Negosiasi
Aktor
163
property. Bahkan sebagian tanah tersebut sudah memiliki
Surat Pemberitahuan Pajak (SPT); yang berarti satu langkah
bukti penguasaan atas lahan tanah sedimen bagi individu.
Namun demikian, tidak semua tanah sedimentasi tersebut
telah memiliki SPT seperti yang terjadi di Desa Ujung Alang.
Oleh Kepala Desa setempat, tanah sedimentasi tersebut diminta
untuk ditandai batas-batas kepemilikannya sehingga jelas luasan
penguasaannya. Setelah Kepala Desa mendapatkan data luasan
dan pemilik tanah sedimen yang belum memiliki SPT tersebut,
kemudian diajukan sebagai agunan bank dengan persetujuan dari
Bupati Cilacap. Bupati Cilacap tidak mau menyetujui permintaan
tersebut untuk mendukung pengajuan kredit ke bank dengan
jaminan lokasi tanah sedimen warga seluas total sekitar 2500
hektar dan belum mempunyai surat-surat bukti penguasaan/
kepemilikan. Sebagian warga Desa Ujung Alang merasa curiga
kepada Kepala Desa atas proses yang dilakukannya yang akan
mendapatkan keutungan pribadi dari proses pengajuan kredit ke
bank tersebut dengan jaminan tanah sedimentasi.
d. Elit Desa Klaces yang menjual Tanah Bengkok milik Desa Ujung
Alang di wilayah Klaces. Lokasi tanah bengkok desa Ujung
Alang terletak dalam kawasan Klaces. Hal ini disebabkan karena
Klaces secara luasan tidak dapat dijadikan sebagai desa karena
luas wilayahnya tidak memenuhi syarat. Agar dapat memenuhi
syarat sebagai desa, maka tanah bengkok Ujung Alang yang pada
awalnya merupakan desa induk pemekaran dari Ujung Alang
dijadikan sebagai bagian dari wilayah Klaces. Pada saat adanya
program pengukuran lahan oleh BPN guna mengeluarkan batas
dan surat SPT, tanah bengkok Ujung Alang di Klaces tersebut
diakui oleh seorang aparat desa Klaces sebagai miliknya
sehingga sampai pada kondisi pihak BPN mengeluarkan SPT
lahan tanah bengkok atas nama pribadi aparat desa tersebut.
Kondisi ini ternyata menyulut kemarahan aparat Ujung Alang
yang mengetahui bahwa tanah bengkok tersebut bukanlah milik
pribadi sehingga tidak bisa dikeluarkan SPT-nya. Pada kondisi
lain ternyata Kepala Desa Ujung Alang mendiamkan kejadian ini
yang menambah kemarahan para pamong Desa Ujung Alang.
e. Antara otoritas LP Nusakambangan dengan komunitas
Kampung Laut. Pihak LP Nusakambangan mengklaim 100
meter wilayah darat jalan merupakan kawasan milik LP
165
dimilikinya ternyata beberapa aktor mendapat keuntungan lebih
dibanding dengan lainnya tanpa ia harus memiliki sumber daya alam
tersebut.
Harmed Etc
Etc
Kustoro Wahyono
Bono Siswanto
Abdulrohim Rusna
Prasono
Tugino
Yustinus Parmin
Ujang Jarwo
Febri
Hartono
Rohim
167
penyebaran kuesioner dengan studi kasus di Desa Ujung Alang.
Kuesioner lebih menekankan pada persepsi ketokohan dari informan
dalam konteks sebagai sosok kenal, kekerabatan, dan partisipasi dalam
kerjasama pengelolaan program bantuan. Penyebaran kuesioner
dibatasi hanya 10 orang informal dengan metode snowball. Pertama,
kuesioner ditanyakan kepada informan kunci pada penelitian ini.
Kedua, menyebarkan kuesioner pada orang-orang yang namanya
disebutkan oleh informan kunci atau sebelumnya sesuai prioritas
tertinggi sesuai penyebutan.
Berdasarkan kuesioner yang telah disebar dan diisi oleh informan
sebanyak 10 orang, didapatkan data mengenai jaringan sosial
kekerabatan—bersifat kedekatan. Penentuan kelompok-kelompok itu
dilandaskan pada modus tertinggi dari setiap tokoh yang disebutkan.
Selain itu, dipertimbangkan juga sikap masing-masing aktor dalam
keseharian atas aktor-aktor yang disebutnya. Berikut adalah hasil
pengelompokan tersebut.
Jarwo
Kustoro Cs Wahyono Cs
Yustinus Cs
Kus, Bon, Abd, Pras, dan Tug dapat bergabung menjadi satu
jaringan sosial karena memiliki kedekatan yang cukup erat dan
169
property telah mengalami proses pendefinisian ulang berdasarkan
temuan empirik dan diperlukan alternatif pemahaman teoritis
tentang konsep common property. Perspektif teori yang muncul pada
saat ini berasumsi bahwa common property tidak sebagai kelompok
yang memanfaatkan sumber daya alam secara bersama; namun
sebagai suatu institusi dari suatu pengelolaan yang dilakukan sendiri
dengan turut berpartisipasinya para pihak berkepentingan sebagai
anggota untuk menyiasati keterbatasan kewenangannya.
McKean (dalam Jhonson dan Kristen, 2004) bahwa common
property adalah “as an arrangement in which a group of resource
users share rights and duties toward a resource”. Situasi ini
merupakan suatu sistem dari shared private property dengan batas-
batas yang jelas mengenai aturan hak dan pengelolaan pemanfaatan.
Sistem ini sebagaimana halnya dengan regim property yang lain
“mengemas hak dan kewajiban” dari para pihak yang memiliki
kepentingan. Hak dan kewajiban diberikan dan dimiliki oleh setiap
pihak berkepentingan untuk memanfaatkan dan menjaga sumber
daya alam secara bersama. Beberapa contoh hasil studi telah
menunjukkan efektifitas penerapan tanggung jawab bersama dari
common property berbasis shared private property dengan batas-
batas yang jelas mengenai aturan hak dan pengelolaan pemanfaatan.
Sebagai suatu proses refleksi atas tulisan ini, penting untuk
mempertimbangkan konsep co-management masuk dalam pola
pengelolaan sumber daya alam common property. Upaya pengelolaan
ini diharapkan dapat menghindarkan dari praktik korupsi yang selama
ini belum bisa dibatasi secara optimal dari gerakan bawah. Dalam
perjalanannya, co-management akan 4 stakeholders kunci, yaitu
(1) pelaku pemanfaat sumber daya alam; (2) pemerintah, termasuk
pusat dan daerah; (3) stakeholders lain yang di dalamnya termasuk
anggota masyarakat lain, pemilik modal, pelaku perdagangan
produk, pengolah produk dan lain-lain; (4) agen perubahan
termasuk penyuluh perikanan, NGO, perguruan tinggi dan lembaga
riset. Dari situasi demikian, muncul pertanyaan apakah inisiatif
hybrid institution untuk menuju co-management akan muncul
dengan sendirinya sebagai kontrol atas kegiatan menyimpang dalam
pemanfaatan sumber daya alam? Tentu berpulang pada inisiatif dan
peran dari para aktor yang terlibat di dalamnya.
PENUTUP
REFERENSI
Adhuri, D. S. 1998. ‘Saat Sebuah Desa Dibakar Menjadi Abu: Hak
Ulayat Laut dan Konflik Antar Kelompok di Pulau Kei Besar’,
dalam Antropologi Indonesia 58:92-109.
Agusyanto, R. 2014. Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta:
Rajawali Press.
Ardli, E. R. dan M. Wolff. 2005. Spatial and Temporal Dynamics
of Mangrove Conversion at Segara Anakan, Cilacap. Naskah
dipersentasikan di 10th ISSM International Conference. 30
September-1 Oktober. Paris, Prancis.
. 2008. ‘Quantifying Habitat and Resources Use Changes in the
Segara Anakan Lagoon (Cilacap, Indonesia) Over the Past 25 Years
(1978-2004)”, dalam Asian Journal of Water, Environment, and
Pollution 5(4):59-67.
Badan Pusat Statistik. 2015. Kecamatan Kampung Laut dalam
171
Angka Tahun 2015.
Borgatti, S. P. dkk. 2009. ‘Network Analysis in the Social Sciences’,
dalam Science 323(5916):892-895
Borgatti, S. P. dan M. G. Everett. 2013. Analyzing Social Network.
Los Angeles: Sage Publication.
Bossevain, J. 1972. “Preface”: Network Analysis Studies in Human
Interaction. Paris: Mouton & Co.
Fenny, D. dkk. 1990. ‘The Tragedy of the Commons: Twenty-Two
Years Later’, dalam Human Ecology 8(1):1-19.
Hardin, G. 1968. ‘The Tragedy of the Commons’, dalam Science
162:1243-1248.
Jhonson, K. dan N. Kristen. 2004. ‘Common Property and
Conservation: The Potential for Effective Communal Forest
Management within a National Park in Mexico’, dalam Human
Ecology 32(6):703-733
Nasrum, M. 2013. ‘Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti:
Suatu Penjelasan Budaya’, dalam Antropologi Indonesia 34(1):1-
14.
Ostrom, E. 1988. ‘Institutional Arrangements and the Commons
Dilemma’, dalam E. Ostrom dkk (Peny.). Rethinking Institutional
Analysis and Development. San Francisco: Institute for
Contemporary Studies Press.
Ribot, J. C. dan N. L. Peluso. 2003. ‘A Theory of Access’, dalam Rural
Sociology 68(2):153-181.
Saifuddin, A. F. 2005. ‘Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan:
Kajian Kasus di Jakarta’, dalam Antropologi Sosial 29(3):309-
320.
Sanjatmiko, P. 2016. Common Property di Tengah Perubahan
Bentang Alam Kawasan Segara Anakan. Depok: Departemen
Antropologi UI.
Sulistiono. 2011. Social Capital and Rural Road Development (A
Case Study of Kampung Laut, Cilacap). Yogyakarta: University of
Gadjah Mada Press.
Wolfe, W. A. 1978. “The Rise of Networks Thinking in Anthropology”,
dalam Social Networks 1(1):53-64.
antoniputra94@gmail.com
ABSTRAK
Banyaknya Perguruan Tinggi yang bermasalah dengan korupsi
merupakan akibat dari tidak transparannya pengelolaan informasi.
Sistem manajemen yang berbelit-belit menyebabkan publik kesulitan
mengakses informasi yang berguna untuk mengawasi setiap kegiatan
Perguruan Tinggi. Salah satu cara agar Perguruan Tinggi terbebas
dari praktek korupsi adalah dengan memperbaiki tata kelola
Perguruan Tinggi, yaitu menciptakan media pengelolaan informasi
yang baik. Sebagaimana tuntutan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan demi untuk
menjamin keterbukaan informasi publik, setiap badan publik wajib
memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Hal ini berguna untuk memberi jaminan kepada publik agar dapat
menerima informasi yang tidak ditemukan dalam website Perguruan
Tinggi yang bersangkutan. Jika melihat pengelolaan informasi di
beberapa Perguruan Tinggi negeri tentang ketersedian informasi
di website, Perguruan Tinggi yang bersangkutan masih belum
menunjukkan adanya publikasi yang baik terhadap informasi yang
173
seharusnya diketahui publik. Informasi seperti tata kelola Perguruan
Tinggi yang harusnya diketahui publik masih minim tersedia. Sistem
pengelolaan data perlu diperbaiki agar terciptanya Perguruan Tinggi
yang transparan dan akuntabel. Bila telah demikian, kontrol publik
terhadap Perguruan Tinggi dapat menghindarkan terjadinya praktek
korupsi, serta pihak Perguruan Tinggi akan lebih hati-hati dalam
mengelola informasi, sebab bila terjadi kesalahan dapat berakibat
fatal. Dengan begitu, Perguruan Tinggi dapat menjadi model
pengelolaan keterbukaan informasi publik yang baik. Dari situ dapat
kita ambil kesimpulan bahwa Perguruan Tinggi harus memperbaiki
sistem pengelolaan informasi yang berbasis teknologi (website) dan
memperbaiki manajemen permintaan data secara langsung. Karena
Perguruan Tinggi sebagai tempat lahirnya kaum intelektual harus
menjadi contoh sempurna bagaimana mengelola informasi yang
baik. Bila pengelolaan informasi di badan publik baik, maka potensi
terjadinya korupsi pun semakin kecil.
Kata kunci : keterbukaan informasi publik, transparansi,
korupsi.
ABSTRACT
Many colleges have problems with corruption is a result of
a lack of transparency in the management of information. The
management system of convolute cause difficuly accessing public
information that is useful to monitor every activity of the college.
One way that university are free from corrupt practices to improve
governance of the university, which is to create a good media
information management. as demanded by Act No. 14 of 2008 on
Public Information. And in order to ensure transparency of public
information, every public body shall have the Documentation and
Information Management Officer (PPID), it is useful to provide
assurance to the public in order to receive information not found
in the website of the universities. If you look at the management
of information in some public university about the availability
of information on the website, the college in question has yet to
be a good publicity to information that should be publicly known.
Information such as the governance of university that should be
known to the public is still minimal available. Data management
systems need to be improved for the creation of colleges of
PENDAHULUAN
Kasus korupsi yang terjadi di Perguruan Tinggi merupakan
akibat dari tidak transparannya manajemen pengelolaan informasi
di Perguruan Tinggi. Kurangnya ketersediaan informasi yang dapat
diakses publik telah menyebabkan pengawasan publik terhadap
Perguruan Tinggi menjadi sangat minim.
Seperti halnya korupsi yang terjadi di beberapa Perguruan
Tinggi. Di antaranya korupsi yang melibatkan guru besar Universitas
Tadulako (Untad) Prof Dr Sultan MSi dan Fauzian Tendri Sisi Mantan
Bendahara Lemlit Untad atas dugaan terlibat korupsi dana penelitian
tahun 2013-2014 sebesar Rp980 juta (antaranews.com, 2016). Prof
Salmadanis, Guru Besar IAIN Imam Bonjol Padang, ditahan karena
diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada pembangunan
kampus IAIN Imam Bonjol III di Sungai Bangek, Padang (sumbarsatu.
com, 2016). Mantan Rektor Universitas Airlangga Fasichul Lisan
menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga, dengan nilai proyek
sekitar Rp 300 miliar dan kerugian negara diperkirakan mencapai
Rp 85 miliar (tempo.co, 2016). Dan dapat pula diperkirakan masih
banyak kasus korupsi lainnya yang terjadi di Perguruan Tinggi.
Sebagaimana Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur
tentang keterbukaan informasi publik yaitu Undang-Undang No.14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang merupakan
175
instrumen hukum yang mendukung perwujudan transparansi.
Undang-undang ini lahir untuk memberikan jaminan terhadap
semua orang dalam memperoleh informasi (Partodihardjo 2009).
Sebagaimana yang dijamin Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 28 f yang berbunyi “setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kategori informasi publik yang harus disediakan Perguruan
Tinggi adalah Informasi berkala, tersedia setiap saat dan serta merta.
Namun kondisi media informasi kampus, seperti di UI, Unand dan
UBH masih belum mempublikasi ketiga informasi tersebut dengan
baik.
Ketiga Perguruan Tinggi tersebut sengaja penulis jadikan objek
penelitian tentang mekanisme pengelolaan informasi publik di
Perguruan Tinggi. Sebab ketiga Perguruan Tinggi itu terdiri dari
Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), Badan Layanan
Umum (BLU), dan Perguruan Tinggi swasta.
Sebagai badan publik, Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban
untuk membuka akses atas informasi publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Perguruan Tinggi tersebut kepada masyarakat
luas. Melalui mekanisme dan pelaksanaan prinsip keterbukaan akan
tercipta tata kelola Perguruan Tinggi yang transparan dan akuntabel
sebagai salah satu cara untuk menciptakan Perguruan Tinggi yang
anti-korupsi.
Dengan demikian, Publik dapat mengawasi pengelolaan Perguruan
Tinggi dengan baik, dan Perguruan Tinggi dapat termotivasi untuk
bertanggung jawab dan berorientasi terhadap pengelolaan sistem
informasi yang baik. Sebab jika terjadi kesalahan, maka kesalahan itu
dapat berakibat fatal terhadap Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Dan upaya tersebut diharapkan dapat mewujudkan good governance
dan mencegah praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di
Perguruan Tinggi. Dengan begitu pula, Perguruan Tinggi sebagai
tempat lahirnya kaum terdidik dapat menjadi contoh badan publik
yang mengelola informasi dengan baik. Bila pengelolaan informasi
di badan publik baik, maka potensi terjadinya korupsi pun semakin
kecil.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah
177
1. Informasi yang terbuka
1) Informasi badan publik yang wajib diumumkan secara
berkala meliputi:
1. Informasi tentang profil badan publik, yang meliputi:
a. Informasi tentang kedudukan atau domisili beserta
alamat lengkap, ruang lingkup kegiatan, maksud
dan tujuan, tugas dan fungsi badan publik serta
unit-unit dibawahnya.
b. Struktur organisasi, gambaran umum tiap satuan
kerja, profil singkat pejabat.
2. Ringkasan informasi tentang program dan/atau
kegiatan yang sedang dijalankan dalam lingkungan
badan publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. Nama program/kegiatan;
b. Penanggungjawab, pelaksana program dan
kegiatan serta nomor telepon dan/atau alamat
yang dapat dihubungi;
c. Target dan/atau capaian program dan kegiatan;
d. Jadwal pelaksanaan program dan kegiatan;
e. Anggaran program dan kegiatan yang meliputi
sumber dan jumlahnya;
f. Agenda penting terkait pelaksanaan tugas badan
publik;
g. Informasi khusus lain yang berkaitan langsung
dengan hak-hak masyarakat;
h. Informasi tentang penerimaan calon pegawai dan/
atau pejabat badan publik;
i. Informasi tentang penerimaan calon peserta
didik pada badan publik yang menyelenggarakan
kegiatan pendidikan untuk umum.
3. Informasi tentang kinerja dalam lingkup badan publik
berupa narasi realisasi program dan kegiatan yang telah
maupun sedang dijalankan;
4. Informasi tentang laporan keuangan yang sekurang-
kurangnya meliputi:
a. Rencana dan laporan realisasi anggaran.
b. Neraca.
c. Laporan arus kas dan catatan atas laporan
keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi
yang berlaku.
179
2. Bencana sosial seperti kerusuhan sosial, konflik sosial
antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan
teror;
3. Informasi tentang racun pada bahan makanan yang
dikonsumsi oleh masyarakat; atau
4. Informasi tentang rencana gangguan terhadap utilitas
publik.
181
2. Informasi yang dikecualikan
Informasi Publik yang dikecualikan sifatnya rahasia dan tidak
dapat diakses oleh publik sesuai dengan kriteria yang diatur
dalam Pasal 17 UU KIP. Informasi Publik dikecualikan secara
limitatif berdasarkan pada Pasal 17 UU KIP. Untuk menjelaskan
informasi yang dikecualikan/dirahasiakan yaitu (Partodihardjo
2009):
1. Consequential harm, informasi tertentu dapat dikategorikan
rahasia apabila pejabat publik secara memuaskan mampu
menjelaskan konsekuensi atau resiko kerugian yang muncul.
2. Balancing public interest, setelah ditimbang bahwa
kepentingan publik untuk tidak membuka informasi lebih
besar dibandingkan dengan kepentingan publik untuk
mengakses informasi.
183
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
185
mudah. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan Perguruan
Tinggi untuk menciptakan pengelolaan informasi yang ideal dan
mencerminkan kampus anti-korupsi, yaitu:
1. Memperbaiki kinerja PPID
PPID harus bekerja maksimal dalam menjalankan tanggung
jawab mengelola informasi di Perguruan Tinggi. PPID harus
mampu menciptakan situasi dimana informasi yang menjadi
hak publik dapat diakses dengan mudah. Tanggung jawab
PPID bukan hanya sebatas memberi jaminan agar publik dapat
mengakses informasi, namun juga memastikan informasi yang
diterima masyarakat itu terjamin kualitasnya. PPID juga harus
bertanggungjawab memperbaiki setiap kesalahan informasi yang
disajikan, sehingga tidak terjadi kebingungan atas kesalahan
penyajian informasi tersebut.
2. Menyampaikan Informasi dengan baik di media
website
Perguruan Tinggi melalui PPID harus menciptakan media
informasi berupa website dengan baik. Informasi yang disajikan
di media website harus jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman/
kekeliruan publik saat mengakses informasi, itu yang petama.
Kedua, informasi yang disajikan di dalam media website harus
terperinci, seperti: memuat daftar informasi yang tersedia,
meletakkan informasi sejenis dalam satu kelompok, dan
menjelaskan secara rinci informasi yang ada. Kemudian yang
terakhir atau yang ketiga, informasi yang disajikan di media website
harus lengkap, dengan artian sebuah informasi yang dipublikasi
tidak terpotong-potong, melainkan dijelaskan sekaligus mulai
dari awal hingga akhir. Hal ini bertujuan agar publik dengan
mudah mengakses informasi tanpa perlu mengutak-atik beberapa
halaman di media website dan memberikan jaminan kualitas
informasi yang didapatkan publik.
Dengan demikian, publik dapat mengawasi setiap kegiatan
dan menganalisis laporan Perguruan Tinggi. Jika terjadi
kesalahan informasi yang disajikan, publik dapat meminta
pertanggungjawaban Perguruan Tinggi untuk memperbaiki,
dan bila hasil perbaikan masih bermasalah dan terindikasi
adanya korupsi, maka publik dapat melakukan tuntutan hukum
berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU No. 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
KESIMPULAN
Sebagaimana kewajiban dari badan publik, Perguruan Tinggi
wajib menerapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dengan baik. Dalam UU KIP, prinsip
ini menuntut badan publik untuk membuka/mempublikasi informasi
guna untuk menciptakan kondisi pengelolaan badan publik yang
transparan dan akuntabilitas. Jika Perguruan Tinggi menolak untuk
membuka infomasi ke publik, maka dapat dicurigai bahwa ada yang
ditutup-tutupi, yaitu berupa tidak pidana korupsi. Untuk itu, melalui
UU KIP dengan mekanisme keterbukaan informasi publik, Perguruan
Tinggi dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap segala bentuk
informasi yang menjadi hak publik. Dan jika ada indikasi terjadinya
korupsi, Perguruan Tinggi dapat pula dituntut dengan ketentuan
UU Tipikor. Mekanisme seperti ini bertujuan untuk meminimalisir
peluang terjadinya korupsi di Perguruan Tinggi.
Sebab Perguruan Tinggi sebagai tempat berkumpulnya kaum
intelektual harus menjadi contoh badan publik yang anti korupsi
dengan menerapkan UU KIP dengan baik. Namun bila Perguruan
Tinggi terlibat korupsi, maka sudah dipastikan perilaku tersebut
akan diadopsi oleh mahasiswa, apalagi yang melakukan korupsi
tersebut melibatkan tenaga pendidik, yakni Guru Besar dan jajaran
pendidik lainnya. Sebab Guru Besar merupakan kasta tertinggi dalam
ilmu pengetahuan akan selalu dicontoh oleh mahasiswa, dosen, dan
masyarakat luas. Sebagaimana hakikatnya, murid akan melakukan
187
lebih dari apa yang dilakukan gurunya, seperti peribahasa yang
mengatakan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
REFERENSI
Buku
Chazawi Adami, 2016. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Soemarno Partodiharjo, 2009. Tentang Keterbukaan Informasi
Publik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tim Komisi Informasi Pusat, 2014, Komisi Informasi Pusat, The
Jawa Pos Institute Of Pro-Otonomi, Jakarta.
Tim Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006. Memahami Untuk
Membasmi”, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.
Tim Sosialisasi Undang-Undang Perguruan Tinggi, ...., Otonomi dan
Tata Kelola Perguruan Tinggi, Nizam, Jakarta.
Jurnal
Alsyam dan Afriani, “Efektifitas Peran Ombusdman Republik
Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat Dalam Rangka
Memberikan Pelayanan Publik Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombusdman Di Kota Padang”,
Yustisia, Volume 23, Nomor 1, Januari-Juni 2016
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 30 April 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 nomor 61.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 21 November 2001. Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4150.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli
Website
Antara News, Fauzi, “Guru Besar Untad ditahan terkait korupsi”,
http://www.antaranews.com/berita/574453/guru-besar-untad-
ditahan-terkait-kasus-korupsi , diakses tanggal 29 September
2016.
Sumbarsatu.com, “Guru Besar IAIN Imam Bonjol padang dan
Notaris di tahan Kejari Padang”, http://www.sumbarsatu.com/
berita/13233-guru-besar-iain-imam-bonjol-padang-dan-notaris-
ditahan-kejari-padang, diakses tanggal 29 September 2016.
Tempo, “Korupsi RS Unair KPK Tetapkan Rektor Unair Tersangka”,
https://m.tempo.co/read/news/2016/03/30/078758257/
korupsi-rs-unair-kpk-tetapkan-mantan-rektor-unair-tersangka,
diakses tanggal 2 Oktober 2016
www.bunghatta.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016
www.ui.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016
www.unand.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016
189
190 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Eksaminasi Terhadap
Putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Atas Nama Terdakwa
Amir Fauzi (Putusan
Nomor: 127/Pid.sus/
Tpk/2015/Pn.jkt.pst)
Aradila Caesar Ifmaini Idris
Indonesia Corruption Watch
Caesar@antikorupsi.org
ABSTRAK
Eksaminasi Putusan terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas 1A Jakarta Pusat Atas nama
Terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/ 2015/PN.JKT.
PST) bertujuan untuk melihat apakah hakim dalam memutus
perkara tersebut telah memenuhi asas-asas dan prinsip yang berlaku
dalam hukum pidana. Selain itu juga memberikan penilaian yang
objektif atas pertimbangan dan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis
191
Hakim Tindak Pidana Korupsi. Juga memberikan gambaran umum
atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut. Hal
ini dilakukan untuk melihat apakah tuntuan Jaksa Penuntut Umum,
pertimbangan hakim dan putusan memiliki keseimbangan dan korelasi
yang membangun logika berpikir yang menyeluruh. Ketiga elemen
tersebut haruslah sejalan dan proporsional sehingga menghasilkan
putusan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Eksaminasi ini juga diharapkan untuk dapat memberikan masukan
bagi hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam melihat dan
menyelesaikan persoalan atau perkara sejenis. Sehingga dapat pula
meningkatkan kualitas penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Hasil eksaminasi ini menunjukkan adanya Misconduct of Judge yang
dilakukan majelis hakim dalam pertimbangan dan putusannya. Majelis
hakim kurang teliti dalam merumuskan pertimbangan hakim dengan
melihat porsi kesalahan dan peran dari terdakwa. Hal Selain itu juga
keliru dalam menerapkan aturan tentang Justice Collaborator yang
diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama di Dalam
Tindak Pidana tertentu. Majelis Hakim juga menyimpangi aturan
minimum khusus dalam Undang-Undang Tipikor dimana ancaman
hukuman minimum yang diatur dalam Pasal 12 huruf c adalah
4 tahun penjara. Justru Majelis Hakim dengan mempergunakan
pertimbangan hukum yang lemah dan keliru menjatuhkan putusan
dibawah ancaman minimum yaitu 2 tahun penjara. Terdakwa yang
merupakan Hakim harusnya menjadi pertimbangan Majelis Hakim
Tindak Pidana Korupsi untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-
beratnya. Hakim justru memutus sangat ringan bagi terdakwa yang
telah mencoreng wajah lembaga peradilan. Ke depan hukuman bagi
pelaku yang merupakan hakim haruslah dikenakan hukuman yang
seberat-beratnya.
Kata Kunci: Eksaminasi, Amir Fauzi, Justice Collaborator,
Korupsi
PENDAHULUAN
Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri di tahun 2003
sedikitnya ada 48 hakim dan pegawai pengadilan yang tersandung
kasus korupsi (Indonesia Corruption Watch, 2016). Jumlah tersebut
terus meningkat seiring gencarnya KPK melakukan operasi tangkap
193
mengatur Majelis Hakim yang akan memeriksa pengujian kewenangan
tersebut dan mengatur putusan yang akan dikeluarkan. Operasi
Tangkap Tangan ini pada akhirnya ikut menyeret O.C Kaligis, Gatot
Pudjo Nugroho dan istri sebagai pelaku dan inisiator pemberian suap.
Ketiga hakim PTUN Medan yang menerima suap dijatuhi hukuman
2 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK
yang menuntut ketiganya 4 tahun penjara. Selain itu vonis ini lebih
rendah dibandingkan ancaman hukuman sebagaimana pasal yang
didakwakan kepada mereka.
KASUS POSISI
16 Maret 2015, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melakukan
pemanggilan terhadap Ahmad Fuad Lubis selaku Ketua Bendahara
Umum Daerah sehubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi
terkait dengan Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah
Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunggakan
Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD
pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Atas panggilan tersebut Ahmad Fuad Lubis menyampaikan secara
langsung kepada Gatot Pudjo Nugroho selaku Gubernur Sumatera
Utara terkait adanya surat panggilan tersebut. Gatot Pudjo Nugroho
dan istrinya, Evy Susanti kemudian berkonsultasi dengan O.C
Kaligis membahas upaya yang dapat dilakukan agar dugaan tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam surat panggilan tidak
diarahkan kepada Gatot Pudjo Nugroho. Atas pertemuan tersebut
disepakati untuk melakukan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi
Sumatera Utara. O.C Kaligis memerintahkan M. Yagari Bastara untuk
menyiapkan draft permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Medan.
April 2015, Sehubungan dengan rencana pengujian kewenangan
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, O.C Kaligis, M. Yagari Bastara
dan Yurinda Tri Achyuni menemui Syamsir Yusfan yang merupakan
Panitera Pengganti pada Pengadilan Tata Usaha Medan meminta
agar dipertemukan dengan Ketua PTUN Medan, Tripeni Irianto
Putro. Dalam pertemuan tersebut O.C Kaligis menyampaikan
maksud kedatangannya yaitu untuk mengajukan permohonan
pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera di PTUN Medan.
195
membicarakan perkembangan persidangan sekaligus memberikan
uang sejumlah USD 25.000 (dua puluh lima ribu dollar Amerika
Serikat) sebagai tambahan dari uang sebelumnya yang telah diberikan
kepada Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi.
Uang tersebut kemudian diserahkan oleh M. Yagari Bastara kepada
Darmawan Ginting dan Amir Fauzi, masing-masing USD 5.000
(lima ribu dollar Amerika Serikat). Atas penerimaan uang tersebut
Darmawan Ginting dan Amir Fauzi melaporkan kepada Tripeni
Irianto Putro.
7 Juli 2015, Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir
Fauzi membacakan putusan perkara Gugatan No. 25/G/2015/
PTUN-MDN dengan amar putusan mengabulkan permohonan untuk
sebagian dan menyatakan keputusan termohon Nomor: B-473/N.2.5/
Fd.1/03/2015 Tanggal 31 Maret 2015 perihal Permintaan Keterangan
terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah
(BUD) Pemprov. Sumut ada unsur penyalahgunaan Wewenang, serta
menyatakan tidak sah Keputusan Termohon nomor : B-473/N.2.5/
Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret 2015 perihal Permintaan Keterangan
terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah
(BUD) Pemprov. Sumut.
8 Juli 2015, Syamsir Yusfan menghubungi M. Yagari Bastara
dan mengatakan Ketua PTUN meminta uang untuk pulang mudik.
Kesokan harinya M. Yagari Bastara mengantarkan uang sejumlah
USD 5.000 (lima ribu dollar Amerika Serikat) terkait permintaan
Tripeni Irianto Putro dengan persetujuan O.C Kaligis. Sesaat setelah
pemberian uang, Penyidik KPK melakukan penangkapan terhadap
M. Yagari Bastara dan tripeni Iriano Putro.
DAKWAAN
Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum mendakwa Amir
Fauzi dengan menggunakan dakwaan Alternatif.
Pertama
Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55
ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Atau
Kedua
197
diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana dalam
dakwaan Pertama.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana
penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar
Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair selama 6
(enam) bulan kurungan dengan perintah supaya Terdakwa tetap
ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa: (Hal 3 – Hal 90) seluruhnya
dikembalikan kepada Penuntun Umum untuk dipergunakan
dalam perkara atas nama Terdakwa M. Yagari Bastara..
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
10.000,- (Sepuluh ribu rupiah).
PUTUSAN MAJELIS
Majellis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang terdiri dari Tito Suhud selaku Hakim Ketua, Ibnu
Basuki Widodo dan Didiek Riyono Putro sebagai Anggota Majelis
Hakim pada tanggal 27 Januari 2016 membacakan putusan yang
pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI
SECARA BERSAMA-SAMA sebagaimana tercantum dalam
dakwaan Pertama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu pidana
penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000
(dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
3. Menetapkan masa selama terdakwa berada dalam tahanan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. Memerintahkan barang bukti berupa: (Hal 334 – Hal 427 )
dikembalikan kepada penuntut untuk dipergunakan dalam
CATATAN HUKUM
Sebagaimana telah diuraikan diatas, Majelis Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan terdakwa Amir Fauzi
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana
tercantum dalam dakwaan pertama. Amir Fauzi dijatuhi hukuman
penjara 2 tahun dengan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) subsidair 2 bulan kurungan. Meski diputus
bersalah oleh Majelis Hakim namun setidaknya ada 2 catatan hukum
terkait upaya memeriksa dan mengadili perkara. Kedua catatan
tersebut diantaranya mengenai Tuntutan Ringan jaksa Penuntut
Umum, Vonis Ringan dan Justice Collaborator.
199
tujuan pemidanaan bagi terdakwa.
Sayangnya, Putusan No. 127/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST
tidak mengurai secara lengkap tuntutan pidana (requisitoir) jaksa
penuntut umum. Sehingga sulit mengurai dengan pasti bagaimana
jaksa menyimpulkan perbuatan terdakwa dikaitkan dengan fakta
hukum yang terungkap di persidangan untuk menghasilkan tuntutan
pidana yang proporsional dan optimal dengan tujuan pemidanaan.
Putusan hanya mengutip tuntutan hukuman bagi terdakwa. Dikutip
dalam putusan Halaman 3, Jaksa Penuntut Umum menuntut
Terdakwa Amir Fauzi dengan hukuman:
1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI bersalah melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
sebagaimana dalam dakwaan Pertama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana
penjara selama 4 (empat tahun) tahun dan 6 (enam)
bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan
dan pidana denda sebesar Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) subsidair selama 6 (enam) bulan kurungan dengan
perintah supaya Terdakwa tetap ditahan.
201
Tuntutan terberat dikenakan kepada Akil Mochtar, Ketua
Mahkamah Konstitusi yang menerima suap dalam sengketa pilkada di
Mahkamah Konstitusi. Selain Akil Mochtar, hakim lain yang dituntut
hukuman berat adalah Syarifudin. Syarifudin merupakan Hakim
Kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menerima suap
terkait perkara pailit PT. Sky Camping Indonesia. Hakim Syarifudin
dituntut 20 tahun penjara.
203
Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan
apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan
selama 2 (dua) bulan.
205
bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu
tindak pidana dalam kasus yang sama”.
207
lemah. Meskipun Majelis Hakim dalam pertimbangannya berhasil
membangun argumentasi kesalahan terdakwa namun di sisi lain
Majelis Hakim gagal dalam menjelaskan bobot kesalahan dan peran
terdakwa. Pertimbangan Majelis Hakim mengenai bobot kesalahan
dan peran terdakwa dalam perkara a quo amatlah penting untuk
mengukur hukuman yang tepat bagi terdakwa.
Pasal 12 huruf c Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang 20 Tahun 2001 yang di-juncto-kan dengan Pasal 55 ayat
(1) KUHP memberi pengertian bahwa terdakwa dalam melakukan
perbuatan pidana tidak dilakukan secara seorang diri dan dilakukan
secara bersama-sama. Pasal 55 ayat (1) KUHP pada akhirnya menjadi
salah satu alat ukur dalam menentukan peran dan bobot kesalahan
terdakwa. Tanpa mempertimbangkan pasal ini rasanya penjatuhan
hukuman pidana menjadi tidak proporsional. Konstruksi Pasal 55
ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a. mereka yang melakukan (Plegen)
b. yang menyuruh melakukan (Doenplegen)
c. turut serta melakukan (Medeplegen)
209
menjatuhkan hukuman bagi terdakwa. Dalam perkembangannya
setidaknya ada empat teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan,
teori absolut, relatif, gabungan dan teori kontemporer.
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, teori
kontemporer relevan untuk diterapkan. Wayne R. Lafave menyebutkan
salah satu tujuan pemidanaan adalah sebagai detterent effect atau efek
jera agar pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya. Demikian
juga pemidanaan bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai
perbuatan yang dilarang (Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,
2014). Maka jika dikaitkan dengan perkara dengan terdakwa Amir
fauzi tujuan pemidanaan ini tidak tergambar dalam pertimbangan
hakim dan didalam amar putusan.
KESIMPULAN
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam
putusannya menyatakan terdakwa Amir Fauzi, Hakim PTUN Medan
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama. Majelis Hakim kemudian menjatuhkan
hukuman 2 tahun penjara bagi terdakwa Amir Fauzi. Meskipun
dinyatakan bersalah namun ada sejumlah kelemahan dalam putusan
tersebut yang menyebabkan terdakwa Amir Fauzi tidak dihukum
dengan hukuman yang setimpal dan proporsional.
Majelis Hakim keliru dalam menerapkan aturan tentang Justice
Collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama. Majelis Hakim
menyimpangi aturan yang dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak
Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama. Hakim tanpa melihat
pemenuhan syarat dalam SEMA 4/2011 memberikan status Justice
Collaborator kepada terdakwa Amir Fauzi.
Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman didasarkan pada
pertimbangan yang kurang mendalam. Dan dalam menjatuhkan
hukuman justru menyimpangi aturan Pasal 12 huruf c Undang-
Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001. Majelis
Hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara bagi terdakwa Amir
Fauzi padahal Pasal 12 huruf c mengatur hukuman minimal 4 tahun
penjara.
Apa yang dilakukan Majelis Hakim dapat dikategorikan sebagai
Misconduct of Judges. Karena dengan sengaja mengabaikan aturan-
REKOMENDASI
Berdasarkan catatan dan kesimpulan terhadap putusan No. 127/
PID.SUS/ TPK/2015/PN.JKT.PST maka rekomendasi yang dapat
disampaikan antara lain adalah, Mahkamah Agung sebagai lembaga
peradilan tertinggi memberikan pemahaman yang jelas dan dapat
diikuti oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi tentang tujuan
pemidanaan. Hal ini dilakukan agar adanya keseragaman putusan
pengadilan dan pertimbangan hukumnya. Jangan sampai dalam
perkara yang serupa Hakim menjatuhkan hukuman yang saling
bertolak belakang dikarenakan tujuan pemidanaan yang berbeda-
beda. Dalam hal ini penggunaan teori kontemporer cukup relevan
bagi perkara korupsi. Selain memberikan nestapa dan pembalasan
bagi pelaku korupsi, putusan pengadilan juga memiliki nilai edukasi
dan pencegahan bagi masyarakat.
Selain itu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus secara
bersama-sama mengawasi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Apakah ada unsur Misconduct of Judges atau Legal Error dalam
sebuah putusan. Hal ini penting karena esensi keduanya sangatlah
berbeda. Legal Error menempatkan hakim sebagai subjek yang tidak
memiliki kesengajaan dalam menjatuhkan putusan yang kurang
tepat. Sedangkan Misconduct of Judges terdapat unsur kesengajaan
211
dalam membuat putusan yang keliru. Yang dalam perkara ini hakim
secara nyata menunjukkan kekeliruannya.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum juga harus lebih berani
menjatuhkan tuntutan yang lebih berat bagi hakim yang menerima
suap. Hakim yang merupakan tonggak keadilan seharusnya bisa
dihukum dengan seberat-beratnya dibandingkan dengan pelaku lain.
Meskipun hanya sebagai penerima dan bukan inisiator perbuatan
namun jabatan yang melekat padanya haruslah dipandang sebagai
faktor pemberat. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pemidanaan juga
tercapai. memberikan nestapa bagi pelaku dan juga mencegah hakim
lain melakukan perbuatan yang sama.
REFERENSI
Anak Buah OC Kaligis Berstatus “Justice Collaborator” Sejak Juli
2015. Kompas.com. Rabu.20 Januari 2016
Eddy O.S Hiariej. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta.
Cahaya Atma Pustaka
Indonesia Corruption Watch. 2016. Catatan Daftar Aparat Penegak
Hukum Terjerat Korupsi. Jakarta
Indonesia Corruption Watch. 2003. Menyingkap Mafia Peradilan.
Jakarta. Setara Press
Jadi Justice Collaborator Gary Divonis 2 Tahun Penjara. Tempo.co.
Rabu. 17 Februari 2016
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Atas Nama
Terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.
PST)
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Atas Nama
Terdakwa Tripeni Irianto Putro (Nomor: 124/PID.SUS/
TPK/2015/PN.JKT.PST)
Suharto RM. 1997. Penuntutan Dalam Praktik Peradilan. Jakarta.
Sinar Grafika
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang
Bekerja Sama Di Dalam Tindak Pidana Tertentu.
United Nation Convention Against Corruption
213
214 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Combating Corruption
in Yudhoyono’s Indonesia:
An Insider’s Perspective1
Denny Indrayana
Faculty of Law, University of Gadjah Mada, Visiting Professor
at the Melbourne Law School and Faculty of Arts - University of
Melbourne
denny.indrayana@unimelb.edu.au
T
his paper shares my experiences in combating corruption
under President Susilo Bambang Yudhoyono’s (SBY)
administration from 2004 to 2014. In particular, I want to
give you my inside story as President SBY’s Special Advisor
for Legal Affairs from 2008 to 2009; his Special Advisor
for Legal Affairs, Human Rights, and Anti-Corruption from 2009
to 2011; and his Deputy Minister for Law and Human Rights from
2011 to 2014. I hope my experience of six years in government that
I will share with you tonight may be of some use in building a better
understanding of how difficult is to combat corruption, even for the
strongest authority in the country, the President.
I should admit that my observations may be subjective, because
of my close relationship with Pak SBY, but I can guarantee that I will
try my best to give you an academic and objective overview of the
anticorruption agenda under his administration. I will leave it to you
1 This paper has never been published but was presented on my inauguration as
Visiting Professor in the University of Melbourne on the 20 September 2016.
215
to decide how successful I am in doing this! If you disagree with me,
it does not matter. In fact, disagreeing is better, so we can have more
fruitful discussions!
217
PRESIDENT YUDHOYONO AND POLITICAL
SUPPORT
I will now discuss the political support President SBY had. I
focus on this factor because it is more dynamic than the other two:
constitutional powers and control. Another reason to discuss his
political support is that it is one of the key factors in combating
corruption in Indonesia. In fact, the political landscape is crucial in
determining whether a president’s agenda will be successful or not.
Although the numbers were not so different, the effectiveness of
political support for Yudhoyono was different between the first and
second terms of his presidency. The coalition from 2004 to 2009
consisted of 8 parties, equivalent to 73.3% of the DPR.
The coalition from 2009 to 2014 was consisted of 6 parties,
equivalent to 75.5% members of the DPR. The votes for Democrat
Party increased almost three times, from 7.45% votes in 2004 to
20.85% in 2009.
I would argue, however, that, in the end, this increase made no
significant difference to the struggle against corruption. According
to the numbers – and especially the Democrat Party’s basic political
capital, which increased almost threefold – Yudhoyono’s capacity to
combat corruption was supposed to be much stronger. Unfortunately,
this proved not to be the case at all.
After winning the 2009 election, President SBY was optimistic
about his second term. He told me that the significant increase
in the Democrat Party vote is a strong mandate for him to run the
government more effectively, including as regards anti-corruption
efforts. One thing about which he and I miscalculated was that the
increase in his political mandate did result in increased supported
from his own coalition. That did not happen. In fact, political attacks
in his second term were sometimes more frequent and intense than
in his first term. Strangely, these attacks mainly came NOT from the
opposition, that is, the PDIP, led by Megawati Soekarnoputri. The
most dangerous attacks came, in fact, from within the coalition.
It is clear that coalition support during President SBY’s first term
was more solid than in his second term. There were many reasons
for this. One is Golkar’s position. Originally, Golkar had no history
of supporting an elected president in the post-reformasi period.
They nominated their own candidate, and lost the battle. In 2004,
not long after he was inaugurated as Vice President, Jusuf Kalla (JK)
won the chair of Golkar, and re-positioned the party as a supporter
of government. JK and Golkar’s significant political experience
contributed to the government’s political stability and reduced attacks
on SBY’s first presidency.
The situation was very different in the second term. Golkar
again nominated its own candidate and loss the battle in the 2009
presidential election. They also again eventually joined the cabinet
and became part of the government coalition. This time, however,
Golkar’s support was not as strong. Unlike the first term, when the
Chair of Golkar was also the Vice President, in the second term, the
Chair of Golkar, Aburizal Bakrie, had no position in the government.
He was not even a member of the cabinet. The resulting half-hearted
support of Golkar had a significant impact to the solidity of parties’
coalition. Moreover, the Prosperous Justice Party (PKS), another
coalition member, took the same position as Golkar, that is, it only
partially supported the President.
In fact, only few months after being inaugurated as members of
cabinet and coalition, Golkar and PKS aggressively initiated a Special
Committee to investigate Bank Century case, something President
SBY did not want to happen. I recently accompanied a former senior
minister who visited Melbourne. He told me that he actually advised
President SBY to expel both Golkar and PKS from the coalition. I
shared his view, but I also understood the dilemma President SBY
faced at the time.
I know that President SBY was, on several occasions, very angry
and seemed likely to expel Golkar and PKS. But, after making more
careful political calculations, he finally decided to keep both parties
inside the tent, rather than let them join the opposition, led by
PDIP, and make it more stronger and effective, thus creating a very
dangerous political risk for his administration. I know, for sure, that
this was not an easy decision for SBY—but he had limited options.
Having Boediono as Vice President in his second term gave SBY a
big opportunity to strengthen the anticorruption agenda. An academic,
not a politician, Pak Boediono was appointed as a technocrat. He
therefore had no conflict of interest politically or in terms of business
that would make it difficult for him to reinforce good governance
and wage war against corruptors. Unfortunately, however, having no
formal position in a political party turned out also to be a disadvantage
219
for someone holding a strategic political position in Indonesia. In fact,
the Bank Century case saw Vice President Boediono and the reformist
Minister of Finance, Sri Mulyani, both become political targets,
attacked by politicians led by Golkar, PDIP and PKS.
The first six months of the second term of the SBY presidency
were very tough. The Bank Century case was always headline news
and hearings were broadcast live by almost all television stations,
owned by the president’s opponents. It was only after President SBY
finally allowed Sri Mulyani to resign as Minister to become Managing
Director of the World Bank that the attacks slowed down. This showed
that the Bank Century case was really more a personal attack than
something in the national interest.
During these troubled six months President SBY tried to exercise
more powers to combat corruption. Several times he made public
statements calling for a fight against anybody who tried to avoid tax
payments. I could only guess against which persons and company
groups those statements were directed. I think the Indonesia public
knew perfectly well who the president was referring to. Despite this,
once he lost a vote in the DPR to stop the Bank Century case, President
SBY had no option other than to make political compromises.
I remember that on the night of that loss, we were in the State
House near the palace monitoring the voting process. President
SBY asked a rhetorical question, “What if the government coalition
only consisted of three parties”. I assumed he was referring to the
Democrat Party, the National Mandate Party (PKB) and the National
Awakening Party (PKB), who fully supported his position in the Bank
Century case in the DPR. He paused and then added, “It is not good
to make decision when you are full of anger”. Two weeks after that,
in a very small meeting of just a few participants held at his house in
Cikeas, SBY explained that he had finally decided to step back a little
bit, to decrease political tensions and focus more on the economic
agenda. It was after that meeting that the so-called Joint Secretariat
of Coalition was established and Aburizal Bakrie became its head.
This six months of Bank Century battles constituted clear evidence
that the war against corruption would not be successful without a
clean political landscape. Even a president with a strong mandate will
always have to make very careful calculations if he or she wants to
pursue an anticorruption agenda.
Another lesson from SBY’s two terms was that the strength of
221
to combating corruption in his early years. One of the very first
instructions issued by President Yudhoyono was on corruption
eradication acceleration. I understand why some of the anti-
corruption NGOs criticized this instruction as ineffective but it was
at least a clear and strong gesture by a President who wanted to put
anti-corruption on his priority agenda.
‘Ineffective’ was also the term used by his critics to describe
SBY’s initiative to set up a Coordinating Team to combat corruption.
Indonesia Corruption Watch was suspicious that the team would be
a rival – and a threat - to the Corruption Eradication Commission
(KPK). I also criticized that Coordinating team, argued the President
should instead support and strengthen the KPK. However, I now think
that what the President tried to establish could actually be a good idea
– we need a better coordination system among the police and public
prosecution service, especially in handling corruption cases.
Another important initiative in relation to anti-corruption was
when President SBY sought to implement the Law on Military,
prohibiting the Indonesia National Army (TNI) from carrying on
business. The President set up a team to prepare the transfer of TNI
businesses to a more legitimate format. This initiative was not widely
covered by the media, but was it actually a very good and important
initiative.
President SBY’s approach of setting up ad hoc committees to
execute his anticorruption agenda actually showed how complex
the problems are. Pak SBY is a very disciplined and correct person
who always works according to the constitution and regulations. In
fact, one of his habits is to always carry a copy of the constitution,
signed with his name, in his pocket. Therefore to ask him to make a
decision that did not accord with the written laws is impossible. He
nonetheless accept my advice to set up some ad hoc committees to
deal with corruption issues, even if their legal basis was not always
strong.
Two of these committees were the Task Force to Eradicate Judicial
Mafia and Independent Team to Investigate Chandra Hamzah and
Bibid Samad Riyanto, the two commissioners of KPK. These ad hoc
committees were direct responses to the conflict between KPK and
corrupt policemen. There were three big conflicts of this kind - in
2009, 2012 and most recently in 2015. I would like to share with you
how President SBY handled the conflict against KPK in 2009 and
2012. I will not discuss the third conflict in 2015, because it was not
under SBY’s administration, the timeframe of our discussion. I will
also avoid it because it will inevitably involve my own subjective views
as I was named a corruption suspect mainly because I strongly and
publicly supported the KPK in this third battle with the corrupt police.
223
independent team.
Finally the independent team was established and named as the
8 Team, because it consisted of eight people, led by the late Adnan
Buyung Nasution, also previously a professor in this faculty. I was the
secretary of the team. After inviting and interviewing many people, the
team concluded within 2 weeks that there were no evidence against
Chandra and Bibit. The President finally made a public statement that
the case against the two commissioners should be settled ‘out of the
court’, meaning no legal prosecution should be carried out against
both of them.
Further, to follow up one of the recommendations of the 8 Team,
President SBY formed the Task Force to for Eradication Legal Mafia.
Judicial corruption was clear from our investigation of Chandra and
Bibit’s case. I therefore recommended the President establish an ad hoc
task force under his direction to combat the judicial mafia. Actually, I
was not confident the President would accept my suggestion but one
day he invited me in a meeting in Cikeas, and told me that he wanted to
put the battle against judicial mafia as the number one priority for the
100 Days Program with which he wished to start his 2nd term. Then,
at another meeting in the State House, he instructed me to draft the
Presidential Decree to set up the task force. It existed for two years,
from 2009 to 2011, and was led by a very effective figure, Kuntoro
Mangkusubroto. I was again the secretary of this ad hoc team.
Unfortunately, the authority of the team was limited, because to
have the power as legal enforcer, it needed a statute as a legal basis,
not just a presidential decree. However, we managed to increase
public awareness of the need to fight against the judicial mafia. One
of the cases widely covered by the media was the Gayus Tambunan
case. I found this corrupt tax official in Singapore, where he was a
fugitive, and persuaded him to come back to Jakarta. It turns out that
the case was a very high profile one. After returning from Singapore, I
directly requested to meet the President in Cikeas and reported to him
classified information that I learned from Gayus about the identity of
the companies he worked with to illegally reduced their tax bills.
I knew that the owner of the companies was very upset and
unhappy that Gayus’s case had blown up in this way. In one occasion,
he was spoke directly to me and made his unhappiness very clear. I
believe this strong political and business figure managed to influence
the decision-making process such that the anti-judicial mafia Task
Force was not extended beyond its original two years as we had
planned it would.
In 2012, when I was the Deputy Minister of Law and Human Rights,
another conflict took place between KPK and corrupt policemen, in
relation to a corruption case investigated by KPK against Djoko Susilo,
a two-star general. This time none of the commissioners of KPK were
legally attacked, but Novel Baswedan, a very senior investigator of
KPK, who had led Djoko’s case, was named a suspect in a torture
case. Accordingly, the case against Novel was widely seen as another
attempt to criminalize the KPK. It became the second gecko versus
crocodile conflict.
Although I was not his special legal advisor anymore, President
SBY called me and asked my advice on the second conflict. He
specifically asked me who had the jurisdiction to handle Djoko’s case,
because the police argued that they had the authority over the case,
not the KPK. I explained to SBY that KPK clearly has the jurisdiction
over the police based on the KPK Law itself. After carefully reading
the law, President SBY agreed with me and made a public speech that
the KPK should continue to handle the corruption case against Djoko.
SBY further indicated that he instructed the police to halt the case
against Novel Baswedan.
The two gecko versus crocodile conflicts clearly showed SBY’s
support for the KPK. I should mention, however, that his support
might also have been influenced by public pressure. The two conflicts
were widely covered by the media—print and electronic. They were
therefore, monitored by President SBY as important issues to which
he needed to pay more attention.
225
decisions, he tried to listen to as many people as possible. I understand
that for the first gecko versus crocodile conflict in 2012, SBY ordered
an independent polling company to conduct a survey on popular
aspirations for the case against the two commissioners of KPK. The
survey result was definitely a key source of information used by SBY
to make his decision in favor of KPK.
However, it is important to understand that not all of SBY’s
decisions were decided by all public pressure. In relation to the death
penalty for example, although there was strong public support to
execute drug dealers, SBY was very careful in making decisions on
clemency. In fact, at one meeting I attended, he clearly mentioned
that he is not in favor of death penalty. Pak SBY could not publicly
mention this position, however, because the death penalty was held to
be constitutional by the Constitutional Court. Hence, despite strong
support from the public, SBY instead deliberately postponed some
executions.
CONCLUSION
My six years as President SBY’s special advisor and deputy minister
was truly an invaluable experience. I was able to see firsthand how
regulations are developed and applied in real politics, especially in
relation to anti-corruption cases. My conclusion is not unique - the
Indonesian experience is similar to that of other countries who have
corruption as one of the main problems they face. No president
has a magic spell that can easily make the corruption disappear.
No president can effectively run the country without the presence
of strong constitutional power, enough political support and the
presence of effective control mechanisms.
In Indonesia, post-reformasi presidents, including SBY, faced
major challenges in delivering anti-corruption reforms. The
constitutional reforms limited presidential powers; political support
of more than 50% of the parliament cannot easily be won or be
maintained; and the sources of control – that is, checks and balances,
are very strong and come from many directions. Therefore, President
SBY’s anti-corruption agenda has had some achievements but also
failures. One of the reasons for this is that the political elites did not
fully support the war against corruption. Some of the parties’ leaders
were even investigated and jailed by KPK, including the previous chair
227
NEW
DESIGN
CLICK NOW
ACCH.KPK.GO.ID
RADIO
9:00 - 12:00 WIB
TV
12:00 - 17:00 WIB
HANYA DI
Aplikasi Mobile Pencegahan Korupsi
Jaga Jaga
Sekolahku puskesmasku
Jaga Jaga
rumah sakitku perizinanku