Anda di halaman 1dari 242

03

Nomor 1,
Maret 2017

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian


H ari man S atri a

Tantangan Penerapan Perampasan Aset


Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction
Based Asset Forfeiture) dalam RUU
Perampasan Aset di Indonesia
Refki S ap u tra

Menyelisik Makna Integritas dan


Pertentangannya dengan Korupsi
Gu nardi Endro

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas


Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan
Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan
yang Mengalami Perubahan Bentang Alam
di Segara Anakan, Cilacap
Raden Di ky Dermawan

Menguatkan Tata Kelola Transparansi


Informasi Publik di Perguruan Tinggi
Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan
A ntoni P u tra
Pembuktian Kesalahan dalam Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
di Indonesia, Inggris, dan Prancis Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
La kso Ani nd i t o
Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa
Amir Fauzi (Putusan Nomor: 127/PID.
Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST)
Korporasi A radi l a C aes ar I fm ai ni I dri s
Ba mba n g W i d joja nt o
Combating Corruption in Yudhoyono’s
Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat? Indonesia: An Insider’s Perspective
A nd rea s Nat ha ni e l M a r b u n Denny I ndrayana
Jalan HR Rasuna Said Kav C-1
Jakarta 12920, Telp: (021) 2557 8300

CALL FOR PAPERS


Digagas dan terbit pertama kali di tahun 2015, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS lahir untuk merespons kebutuhan para
stakeholder antikorupsi terutama akademisi, yang membutuhkan wadah untuk mengkomunikasikan hasil penelitian atau
kajian ilmiahnya. KPK memahami potensi besar para mahasiswa, akademisi dan peneliti yang mampu melahirkan pemikiran
dan gagasan yang segar. Latar belakang keilmuan yang dimiliki masyarakat akademik, sudah selayaknya dapat menjadi bekal
untuk menciptakan karya ilmiah yang mencerahkan.

Untuk Volume 3, Nomor 2, Tahun 2017, Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS mencari artikel atau tulisan dengan subyek sebagai
berikut:

1. Kajian teoretis dan konseptual mengenai persoalan korupsi dan pemberantasan korupsi
2. Hasil penelitian empiris dengan tema “Korupsi Korporasi”
3. Eksaminasi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
4. Resensi Buku

SYARAT DAN KETENTUAN PEDOMAN PENULISAN


1. Naskah yang dikirim merupakan karya ilmiah original, hasil 1. Menggunakan tipe huruf Times News Roman ukuran font 12 ,
pemikiran atau hasil riset empiris dan tidak mengandung unsur dengan spasi 1,5. Ukuran kertas yang digunakan adalah A4 (210
plagiarism mm x 297 mm) menggunakan format satu kolom, dan margins:
last custom (top 2,5 cm; left 2,5 cm; bottom 2,5 cm; right 2,5 cm).
2. Artikel yang dikirim belum pernah dipublikasikan sebagian
atau seluruhnya di jurnal lain, media cetak,buku, hand out, atau 2. Naskah ditulis dalam format jurnal dengan sistem bariskredit
seminar (byline)
3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia, terdiri dari 5.000- 3. Abstrak/sinopsis tidak lebih dari 400 kata. Ditulis dalam dua
8.000 kata maksimal 20 halaman (dalam format Word) bahasa (Indonesia dan Inggris), diikuti dengan sedikitnya 4 kata
kunci (keywords).
4. Artikel dikirim selambat-lambatnya pada tanggal 20 April 2017,
artikel yang lolos seleksi akan diberitahukan paling lambat 4. Daftar Pustaka memuat sumber yang dikutip di dalam penulisan
31 Mei 2017 artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar
referensi ini.
5. Hak penerbitan dan publikasi atas artikel yang terpilih menjadi
hak milik Komisi Pemberantasan Korupsi 5. Informasi pedoman penulisan secara lengkap dapat diakses melalui
tautan berikut: http://acch.kpk.go.id/jurnal-integritas
6. Penulis harus mengirimkan artikel dalam file Word (.doc,
.docx atau .rtf) dan identitas penulis (CV) melalui e-mail yang
ditujukan kepada: jurnal.integritas@kpk.go.id

BIDANG KAJIAN
Mengingat kajian terkait Korupsi ini multidisipliner, maka Call for Papers ini tidak membatasi bidang kajian.
Namun periset dapat menyajikan sesuai bidang keahliannya, yang di antaranya adalah:

Kajian Ilmu Hukum termasuk: Hukum Pidana; Hukum Kajian Ilmu Sosiologi, Politik serta Antropologi: Ilmu
Administrasi Negara; Hukum Tata Negara; Hukum Perdata (yang Sosiologi; Ilmu Politik; Ilmu Kriminologi (yang terkait dengan
terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam) korupsi Sumber Daya Alam)
Kajian Ilmu Ekonomi termasuk: Ekonomi Makro/Mikro (yang Kajian Ilmu Kesejahteraan Sosial; Ilmu Antropologi (yang
terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam) terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)
Kajian Ilmu Administrasi termasuk : Administrasi Negara/Publik; Kajian Ilmu Manajemen termasuk: Operasional; Keuangan/Pasar
Administrasi Bisnis; Administrasi Pembangunan; Otonomi Daerah; Modal; Sumberdaya Manusia (yang terkait dengan korupsi Sumber
Pelayanan Publik; Kebijakan Publik; Good Corporate Governance Daya Alam)
(yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam)
Kajian Ilmu Akuntansi termasuk: Akuntansi Keuangan; Akuntansi
Moneter/Fiskal/Perbankan; Kemiskinan/Industri/Ketenaga­ Manajemen; Akuntansi Pemerintahan; Auditing (yang terkait
ker­­jaan (yang terkait dengan korupsi Sumber Daya Alam) dengan korupsi Sumber Daya Alam)

Untuk Informasi lebih lanjut, kunjungi: http://acch.kpk.go.id/


Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS adalah Jurnal Ilmiah Berkala yang memuat artikel hasil
penelitian maupun artikel konseptual di bidang ilmu pengetahuan antikorupsi. Jurnal
diterbitkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.

Diterbitkan oleh:
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Jalan Kuningan Persada Kav. 4
Jakarta 12950. Telp: (021) 2557 8300
e-mail: jurnal.integritas@kpk.go.id

Penanggung Jawab :
Pimpinan KPK

Pemimpin Redaksi:
Laode M. Syarif

Sekretaris Redaksi:
Angela Ayu Kuswardhani

Redaktur Pelaksana:
Pahala Nainggolan
R. Bimo Gunung Abdul Kadir
Dr. B. Herry Priyono
Feri Amsari, SH, MH
Ahmad Khoirul Umam, MAGV
Fachru Nofrian, DEA
Hendi Yogi Prabowo, MforAccy,
Suwarsono

Mitra Bestari:
Prof. Dr Ningrum Natasya Sirait SH, Mli
Prof.Dr.Saldi Isra, SH, MPA

Pengelola/Penyunting:
Febri Diansyah
Yuyuk Andriati Iskak
Zulkarnain Meinardy
Budi Prasetyo
Lufti Avianto
Indah OS
Aida Ratna Zulaiha
Indira Malik
Hani Mairina Matan
Dian Novianthi
Adhi Setyo Tamtomo

Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS adalah


pendapat dan analisis pribadi dari para penulis, dan tidak mewakili
pandangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Daftar Isi
Pengantar Redaksi................................................................................v

Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan


dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
di Indonesia, Inggris, dan Prancis ....................................................... 1
Lakso Anindito

Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi........................... 31


Bambang Widjojanto

Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?..........................................53


Andreas Nathaniel Marbun

Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian............................................87


Hariman Satria

Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan


Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU
Perampasan Aset di Indonesia..........................................................115
Refki Saputra

Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya


dengan Korupsi................................................................................. 131
Gunardi Endro

Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi


pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam:
Studi Kasus Kawasan yang Mengalami Perubahan
Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap........................................ 153
Raden Diky Dermawan

Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik


di Perguruan Tinggi.......................................................................... 173
Antoni Putra

iii
Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Amir
Fauzi (Putusan Nomor: 127/Pid.sus/Tpk/2015/Pn.jkt.pst)........... 191
Aradila Caesar Ifmaini Idris

Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia:


An Insider’s Perspective................................................................... 215
Denny Indrayana

iv Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Pengantar Redaksi

Korporasi Harus
Bertanggung Jawab

S
eiring berjalannya waktu, pelan tapi pasti Jurnal Integritas
KPK menyapa lagi pembaca yang budiman pada Vol 3.
Edisi 1 tahun 2017. Berbeda dengan Volume sebelumnya,
kali ini Jurnal INTEGRITAS menampilkan topik utama
tentang Korupsi di Sektor Swasta dan Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi (Corporate Criminal Liability). Topik ini dirasa
perlu untuk dibahas secara khusus karena sangat sedikit literatur
yang membahas masalah corporate criminal liability padahal
keberadaan pertanggungjawaban korporasi telah diakui dan tersebar
dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti: (i) UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (ii) UU Kehutanan,
(iii) UU Tindak Pidana Korupsi, (iv) UU Tindak Pidana Pencucian
Uang, (v) UU Perikanan; dan sejumlah Peraturan Perundangan-
Undangan lainnya. Sayangnya sampai dengan sekarang sangat sedikit
korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana atas kejahatan
yang mereka lakukan.
Patut disayangkan karena pertanggungjawaban pidana korporasi
hanya dikenakan pada segelintir perusahaan dan kebanyakan hanya
pada sektor lingkungan hidup. Menurut catatan yang terdapat dalam
direktori putusan Mahkamah Agung, salah satu contoh penerapan
pertanggungjawaban pidana korporasi di sektor lingkungan hidup
diawali pada kasus pembakaran hutan PT Adei Plantation yang
kemudian disusul dengan sejumlah kasus lingkungan lainnya.
Salah satu kasus yang dianggap fenomenal adalah kasus PT Kallista
Alam dimana hakim menghukum dengan total denda Rp 366
milyar. Putusan fenomenal tersebut disusul dengan putusan yang
lebih dahsyat lagi dalam putusan PT National Sago Prima (anak
perusahaan PT Sampoerna Agro) yang sampai dengan ditulisnya
artikel ini masih dalam proses banding, baik dalam gugatan perdata
maupun tuntutan pidana. Yang jelas dalam gugatan perdata yang
dilayangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,

v
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menghukum PT National
Sago Prima dengan ganti rugi lebih dari Rp 1 trilyun. Sekarang kita
sedang menunggu babak akhir dari proses hukum yang sedang
berjalan. Sayangnya putusan-putusan yang progresif di bidang
lingkungan hidup tidak diikuti dengan kasus-kasus tindak pidana
korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Sampai dengan hari ini, putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap di bidang tanggung jawab pidana korporasi untuk tindak
pidana korupsi hanya satu kasus yakni kasus PT Giri Jaladhi
Wana yang dendanya hanya Rp 1,3 milyar, padahal banyak sekali
perusahaan yang menyuap pejabat negara. Kenyataan seperti ini
patut disayangkan karena hanya pengurus korporasi yang dikenai
tanggung jawab pidana sedangkan korporasinya sendiri melenggang
dengan bebas. Kenyataan seperti ini juga bertolakbelakang dengan
praktik di negara-negara lain seperti Singapore, Malaysia, Hongkong,
Inggris, USA dan negara-negara lain.
Sadar akan ketimpangan tersebut, KPK bekerjasama dengan
Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri telah berhasil
merumuskan tata cara penegakan hukum pidana korporasi yang
dirumuskan dalam Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
oleh Korporasi. Perma ini diharapkan dapat memudahkan aparat
penegak hukum (KPK, Polisi, Jaksa, Hakim) dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan memutus perkara-perkara
yang melibatkan korporasi. Kehadiran Perma ini juga diharapkan
dapat memberikan ‘early warning’ pada korporasi agar tidak lagi
melakukan penyuapan kepada pejabat publik di negeri ini, karena
aparat penegak hukum telah memiliki ‘guidance’ yang lengkap untuk
menjerat korporasi yang nakal.
Seiring dengan perkembangan yang menggembirakan ini, Jurnal
ini berupaya menghadirkan sejumlah artikel yang membahas tentang
korupsi di sektor swasta dan pertanggungjawaban pidana korporasi,
sebagaimana dapat dilihat dari artikel yang ditulis oleh Lakso
Anindito yang membahas “perbandingan lingkup tindak pidana
korupsi dan pembuktian kesalahan korporasi di Indonesia, Inggris
dan Perancis”, dan artikel Bambang Widjojanto yang membahas
“relasi korupsi korporasi dan korupsi politik di Indonesia”. Masih
dalam lingkup korporasi, Andreas Nathaniel Marbun membahas
secara khusus “kemungkinan menjerat suap di sektor swasta” karena

vi Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


sampai hari ini UU Tipikor kita masih belum jelas soal korupsi di
sektor swasta padahal di negara-negara lain korupsi yang dilakukan
oleh sesama sektor swasta juga dapat dipidana.
Selanjutnya, Jurnal Vol 3 Edisi 1 tahun 2017 ini juga
memuat artikel yang ditulis oleh Hariman Satria yang secara
khusus membahas “beban pembuktian (burden of proof) dalam
tindak pidana korupsi” dan disusul dengan artikel yang tak kalah
menarik yang ditulis oleh Refki Saputra yang membahas secara
khusus norma-norma yang terdapat dalam RUU Perampasan Aset
yang sampai hari ini belum dibahas di DPR. Dia berharap bahwa
RUU tersebut juga akan memuat norma-norma universal dalam
perampasan aset yang dikenal dengan “non-conviction based asset
forfeiture”.
Disamping artikel-artikel di atas, edisi 1 tahun 2017 juga
memuat sejumlah artikel yang berhubungan dengan upaya-upaya
pencegahan korupsi, seperti yang ditulis oleh Gunardi Endro yang
mempertanyakan “makna integritas dan pertentangannya dengan
korupsi”. Disamping itu, Raden Diky Dermawan mengulas
dengan apik soal ‘peran jejaring aktor dalam mencegah korupsi di
sektor sumber daya alam, khususnya di kawasan Segara Anakan
Cilacap”, yang kemudian disusul dengan tulisan Antoni Putra yang
membahas secara spesifik ‘pentingnya penguatan tata kelola dan
transparansi informasi publik di perguruan tinggi”.
Dua artikel terakhir, agak berbeda sifatnya dengan artikel-artikel
di atas karena satu mengeksaminasi kasus yang telah diputuskan
oleh pengadilan dimana Aradila Caesar Ifmaini Idris secara
khusus meneliti dengan seksama “Putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas 1A Jakarta Pusat
dengan terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/ 2015/
PN.JKT.PST). Sebagaimana suatu eksaminasi, tulisan ini melihat
penerapan teori, prinsip, dan norma hukum pidana dalam putusan
pengadilan”. Sedang artikel terakhir menceritakan pengalaman
Denny Indrayana dalam “mendampingi Presiden SBY dalam
mengawal kebijakan-kebijakan dan upaya-upaya pemberantasan
korupsi”. Artikel ini ditulis dalam bahasa Inggris dan hal ini juga
sesuai dengan visi-misi dewan redaksi Jurnal Integritas karena
di masa mendatang, jurnal ini diharapkan terbit dalam dua bahasa
(Indonesia dan Inggris).

vii
Sebagai Pemimpin Redaksi, saya bersyukur dan berterima kasih
karena kontributor dari artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini,
cukup beragam karena disumbangkan oleh akademisi, praktisi dan
aktivis antikorupsi. Dari segi sebaran wilayah, artikel-artikel yang
hadir juga hampir mewakili keragaman nusantara. Disamping
itu, dari segi fokus yang mengangkat korupsi di sektor swasta dan
tanggung jawab pidana korporasi makin menguatkan tekad KPK
bahwa korporasi harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka
jika melakukan tindak pidana korupsi.
Saya juga berharap kiranya para kontributor dapat lebih beragam
di masa yang akan datang dan sekurang-kurangnya dapat mewakili
setiap kajian antikorupsi yang ada di setiap perguruan tinggi
sebagaimana yang tertuang dalam dokumen Anti Corruption Summit
2016 di Jogjakarta. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada
para penulis, Redaktur Pelaksana, Mitra Bestari, Sekretaris Redaksi,
Pengelola/Penyunting dan pada semua pihak yang telah membantu
terbitnya edisi ini.

Salam Antikorupsi

Laode M Syarif
Pemimpin Redaksi

viii Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana
Korupsi dan Pembuktian
Kesalahan dalam Sistem
Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di
Indonesia, Inggris, dan
Prancis

Lakso Anindito
Direktorat PJKAKI Komisi Pemberantasan Korupsi

informasi@kpk.go.id

ABSTRAK
Tulisan ini akan membahas lingkup tindak pidana korupsi dan
kesalahan dari korporasi berdasarkan konsep pertanggungjawaban
pidanakorporasi.Masihminimnyakajianterkaitpembuktiankesalahan
korporasi khususnya pada kasus korupsi merupakan salah satu alasan
masih minimnya penggunaan pendekatan pertanggungjawaban
pidana korporasi. Pembuktian kesalahan korporasi merupakan hal
yang sangat penting untuk dapat menentukan pertanggungjawaban

1
pidana korporasi sehingga menjadi hal yang masih terus didiskusikan
baik oleh para ahli maupun penegak hukum. Selain itu, UU Tindak
Pidana Korupsi tidak secara langsung menyebutkan jenis-jenis delik
yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban pidana
korporasi sehingga perlu upaya penafsiran dari penegak hukum.
Bagian pertama tulisan ini akan membahas mengenai lingkup tindak
pidana yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban
pidana korporasi. Sedangkan, bagian kedua tulisan ini akan
membahas mengenai bagaimana pembuktian kesalahan korporasi
pada kasus korupsi. Sebagai perbandingan, penulis memilih Prancis
dan Inggris dalam mengkaji dua isu tersebut dengan alasan bahwa
kedua negara tersebut merupakan negara yang meletakkan pondasi
pada perkembangan civil law dan common law.
Kata Kunci: Kesalahan, Lingkup Tindak Pidana Korupsi,
Korporasi, Code Pénal Français, UK Bribery Act 2010 dan UU Tindak
Pidana Korupsi.

ABSTRACT
This paper examines scope of offences and culpability of
corporation for corruption offences based on corporate criminal
liability concept and regulations. Among law enforcement officers
and experts in Indonesia, culpability of corporation is very important
issue to determine criminal liability of corporation that has made law
enforcement officers reluctant to prosecute legal person particularly
if that crimes related with corruption. Moreover, although Indonesia
Eradication Corruption Act regulates corporate criminal liability,
this law is not mentioning the scope of offences directly that legal
person could be liable. First part of this paper elaborates corruption
offences that might apply to corporation based on regulation and
statutory interpretation methods. Second part of this paper examines
how imposing culpability of corporation in corruption offences. This
paper also compares both United Kingdom and French Law on
imposing corporate criminal liability from common law and civil
law traditions perspective.
Keywords: Culpability, Scope of Corruption Offences,
Corporation, Code Pénal Français, UK Bribery Act 2010, Indonesia
Eradication Corruption Act

2 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

PENDAHULUAN
Pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia telah
digunakan sejak 1951 dengan adanya UU Darurat Nomor 17 Tahun
1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. Untuk tindak pidana
korupsi telah diakui bahkan sebelum pembentukan United Nations
Convetion Against Corruption melalui UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi).
Permasalahannya, sampai hari ini, baru terdapat satu kasus tindak
pidana korupsi yang menggunakan pendekatan pertanggungjawaban
pidana korporasi, yaitu kasus PT Giri Jaladhi Wana. Permasalahan
yang kerap timbul adalah terkait hukum acara, lingkup tindak pidana
korupsi yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban
terhadap korporasi dan pembuktian kesalahan korporasi. Hukum
acara terkait teknis tata cara pemeriksaan pada proses penegakan
hukum korporasi baik dalam tahap penyidikan, penuntutan sampai
dengan putusan pengadilan juga belum ada sehingga dibutuhkan
pedoman. Sedangkan, lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh korporasi adalah tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan
oleh korporasi dan tidak dilakukan oleh korporasi. UU Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia sebagaimana Code Pénal Français di Prancis
tidak menyebutkan secara detail dalam satu pasal bentuk-bentuk
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi sebagaimana UK
Bribery Act 2010 di Inggris. Hal tersebut terkadang menimbulkan
kesalahpahaman dari penegak hukum bahwa semua bentuk tindak
pidana dalam UU Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan oleh
korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi. Persoalan ini menyulitkan identifikasi awal pada saat
melakukan penyelidikan dan penyidikan serta kesulitan dalam
penggunaan pasal saat penyusunan surat dakwaan dan tuntutan pada
tahap persidangan.
Pembuktian kesalahan korporasi merupakan isu lain yang
menjadi kendala dalam penegakan hukum karena adanya perbedaan
bentuk kesalahan korporasi berdasarkan beberapa teori. Hal tersebut
memiliki peran penting pada saat persidangan sehingga menjadi
jelas terkait sejauh mana penuntut umum harus membuktikan dan

3
hal yang perlu diperhatikan hakim dalam menemukan kesalahan
korporasi pada saat proses pembuktian sebagai dasar dari putusan.
Terlebih terdapat kecenderungan adanya pencampuradukan berbagai
pendekatan teori kesalahan korporasi pada praktek penegakan
hukum sehingga berpotensi menambah beban penuntut umum dalam
proses pembuktian. Hal tersebut menjadi salah satu sebab minimnya
korporasi yang dimajukan sebagai terdakwa. Terlebih hukum pidana
di Indonesia masih mengkuti doktrin “Geen Straf Zonder Schuld”
sehingga kesalahan korporasi mempunyai fungsi penting dalam
pemidanaan korporasi di Indonesia.
Penulisan ini akan lebih memfokuskan pada pembahasan lingkup
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh korporasi dan pembuktian
kesalahan korporasi sehingga dapat menjadi salah satu referensi
untuk mendukung proses penegakan hukum kasus tindak pidana
korupsi dengan pelaku korporasi di Indonesia. Hal tersebut dengan
pertimbangan bahwa saat ini terdapat upaya dari Mahkamah Agung
untuk mengisi kekosongan acara yang akan diatur melalui peraturan
Mahkamah Agung. Sebagai perbandingan akan ditampilkan juga
bagaimana perkembangan dua isu tersebut di Inggris dan Prancis.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif
berdasarkan berbagai referensi tertulis, putusan, buku, jurnal dan
peraturan perundangan baik dalam maupun luar negeri. Adapun
metode penafsiran terkait regulasi yang digunakan adalah penafsiran
secara semiotik (semiotic/literal Interpretation) dan sistematis
(systematic interpretation). Penafsiran secara semiotik dilakukan
dengan membatasi penafsiran terbatas pada susunan kata pada
legislasi tersebut, sebagaimana diungkapkan Markus Rehberg terkait
penafsiran legislasi menurut tradisi civil law (Rehberg, 2010: 8)
sebagai berikut:
“….The wording is starting point as well as the barrier for
interpretation...”
Sedangkan, penafsiran sistematis dilakukan dengan melihat
hubungan antar pasal maupun legislasi lain yang berlaku secara
keseluruhan dalam suatu sistem hukum (Rehberg, 2010: 8) sebagai
berikut:
“…Many Rule can only be understood with regard to other
provisions…”

4 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Berdasarkan pendekatan tersebut, hal yang dilakukan adalah


dengan menghubungkan penafsiran secara semiotik melalui
penggunaan pendefinisian lingkup subjek. Lebih lanjut, penafsiran
secara sistematis dilakukan dengan menghubungkan penggunaan
subjek pelaku yang digunakan dalam delik dalam UU Tindak Pidana
Korupsi maupun undang-undang lain yang terkait.
Pemilihan objek penelitian selain Indonesia adalah Prancis dan
Inggris. Pemilihan tersebut didasarkan pada studi sejarah yang
dilakukan bahwa Inggris merupakan negara yang menjadi referensi
utama dalam perkembangan aliran common law (Head, 2012,
361-364 ) serta merupakan negara awal yang mengakui mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi (OECD, 2015: 18). Sedangkan,
Prancis merupakan pusat perkembangan civil law (Head, 2012, 91-
92) dimana hukum pidana Indonesia sangat terpengaruh. Selain
itu, Prancis termasuk negara awal selain Belanda yang mengadopsi
penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi (Wagner, 1999: 5).

PEMBAHASAN
Lingkup Tindak Pidana
Tidak seluruh tindak pidana yang diatur dalam UU Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia dapat dilakukan dan dimintakan
pertanggungjawaban kepada Korporasi. Hal tersebut tidak jauh
berbeda dengan Inggris dan Prancis yang juga membatasi tindak
pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada
Korporasi.
Kerajaan Inggris mengatur tindak pidana korupsi secara khusus
dalam United Kingdom Bribery Act 2010 (UK Bribery Act 2010).
Lingkup tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi dan
dimintakan pertanggungjawaban diatur secara khusus dalam Section
7 UK Bribery Act 2010 berupa tindak pidana penyuapan (offences
of bribing another person) sebagaimana diatur dalam Section 1 UK
Bribery Act 2010 dan tindak pidana penyuapan yang terkait dengan
penyelenggara negara lain (Bribery of foreign public officials)
sebagaimana diatur dalam Section 6 UK Bribery Act, sebagaimana
diatur dalam Section 7 (1) (a) UK Bribery Act 2010 sebagai berikut:
“For the purposes of this section, A bribes another person if, and
only if, A— (a) is, or would be, guilty of an offence under section 1 or 6
(whether or not A has been prosecuted for such an offence)”

5
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Colin Nicholls, Tim
Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard (Nicholls et al, 2011: 95)
yang menyatakan:
“Section 7 provides in respect of A’s offences that: It must amount
to a section 1 or section 6 offence, i.e. an active general bribery offences
or bribery of a foreign public official…”
Pendekatan tersebut berbeda dengan Prancis yang belum secara
khusus mempunyai undang-undang pemberantasan tindak pindana
korupsi. Tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain terkait
korupsi di Prancis masuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Prancis (Code Pénal Français) yang terdiri dari tindak
pidana Korupsi berupa penyuapan baik pasif dan aktif (corruption),
perdagangan pengaruh (influence peddling), mendapatkan manfaat
secara ilegal (illegal taking of interest) dan keberpihakan dalam
pengadaan (favouritism in public procurement) (Marsigny, 2016).
Khusus untuk kejahatan yang dilakukan Korporasi, tidak seperti
Inggris yang menyebutkan secara spesifik dalam salah satu pasal,
Prancis membuka bahwa seluruh tindak pidana yang terdapat
dalam Code Pénal Français sesuai Article 121-2 Code Pénal Français
dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada Korporasi selama
memenuhi kriteria pertanggungjawaban, yaitu:
“Les personnes morales, à l’exclusion de l’Etat, sont responsables
pénalement, selon les distinctions des articles 121-4 à 121-7, des
infractions commises, pour leur compte, par leurs organes ou
représentants……”
(Legal persons, with the exception of the State, are criminally
liable for the offences committed on their account bytheir organs or
representatives, according to the distinctions set out in articles 121-4
and 1217)
Akan tetapi, secara teori, Korporasi dikecualikan terhadap tindak
pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang sebagai manusia
(Natural Person) (Chance, 2012, 10) sebagai berikut:
“In theory, a corporate entity can commit any offence except
for offences which, by their very nature, can only be committed by
natural persons.”
Berdasarkan hal tersebut maka tindak pidana korupsi yang dapat
dan dimintakan pertanggungjawaban terhadap korporasi melingkupi:
a. Tindak pidana Korupsi berupa penyuapan (corruption)
sebagaimana diatur dalam Articles 433-1 dan 435-3 (aktif) serta

6 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Articles 432-11 and 435-1 (pasif) Code Pénal Français;


b. Perdagangan pengaruh (influence peddling/trafic d’influence)
sebagaimana diatur dalam Article 432-11 Code Pénal Français
dan Articles 435-2 and 435-4 Code Pénal Français;
c. Mendapatkan manfaat secara ilegal (illegal taking of interest/De
la prise illégale d’intérêts) sebagaimana diatur dalam Article 432-
12 dan 432-13 Code Pénal Français; dan
d. Keberpihakan dalam pengadaan (favouritism in public
procurement/Des atteintes à la liberté d’accès et à l’égalité des
candidats dans les marchés publics et les délégations de service
public) sebagaimana diatur dalam Article 432-14.
Akan tetapi, seluruh tindak pidana tersebut khususnya untuk
tindak pidana dengan pelaku penyelenggara negara terdapat
pengecualian terhadap negara serta pembatasan pertanggungjawaban
pidana kepada otoritas publik dengan detail yang akan dibahas pada
bagian pembuktian kesalahan.
UU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang hampir serupa dengan
Prancis yang tidak menjabarkan dalam satu pasal tindak pidana apa
saja yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban
kepada Korporasi sehingga dibutuhkan penafsiran secara semiotik
(semiotic/literal Interpretation) dan sistematis (systematic
interpretation) untuk menentukan suatu tindak pidana dapat
dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh korporasi sebagaimana
dibahas pada bagian metode penelitian.
Berdasarkan pendekatan tersebut, hal yang dilakukan adalah
dengan menghubungkan penafsiran secara semiotik melalui
penggunaan pendefinisian lingkup subjek. Lebih lanjut, penafsiran
secara sistematis dilakukan dengan menghubungkan penggunaan
subjek pelaku yang digunakan dalam delik dalam UU Tindak Pidana
Korupsi maupun undang-undang lain yang terkait. Pasal 1 Angka 1
UU Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan korporasi sebagai berikut:
“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.”
Definisi tersebut membuat adanya perluasan objek yang tidak
hanya meliputi perusahaan dengan bentuk badan hukum dan bukan
badan hukum, tetapi juga perkumpulan atau badan bukan perusahaan
baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Artinya termasuk
juga organisasi seperti yayasan. Lebih lanjut, Korporasi dalam Pasal

7
1 Angka 3 UU Tindak Pidana Korupsi dimasukkan dalam salah satu
definisi dari “Setiap orang” yang didefinisikan sebagai berikut:

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk


korporasi”

Berdasarkan definisi tersebut, maka apabila kita hubungkan


secara sistematis antar pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi maka
tindak pidana yang memasukkan “Setiap orang” sebagai bagian dari
delik adalah: a) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum yang dapat menyebabkan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara; b) Penyalahgunaan kewenangan
dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara; c) pemberian suap;
dan d) pemberian hadiah karena jabatan; dan ketentuan undang-
undang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 13 dan Pasal 14
UU Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, termasuk juga pembantuan
atau permufakatan jahat yang dilakukan sehingga terjadinya tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 15 dan Pasal 16 UU Tindak
Pidana Korupsi. Lebih lanjut, termasuk juga tindak pidana lain
yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi yaitu: mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi serta tidak memberikan atau
memberikan keterangan secara tidak benar sebagaimana diatur dalam
Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi walaupun keterangan korporasi
belum diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana sehingga pasal tersebut belum relevan digunakan saat
ini.
Apabila kita lanjutkan penafsiran tersebut secara sistematis maka
tidak seluruh tindak pidana yang pada deliknya menyebutkan “Setiap
orang” dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada
korporasi. Hal tersebut dikarenakan tidak seluruh perbuatan tersebut
dapat dilakukan oleh korporasi.
Perbuatan penyalahgunaan kewenangan dalam jabatan atau
kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara. Delik tersebut diatur dalam Pasal 3 UU
Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

8 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan


kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Unsur jabatan atau kedudukan dalam delik tersebut merupakan


sesuatu yang melekat pada orang sebagai manusia (natural person)
bukan pada korporasi karena korporasi tidak dapat memiliki jabatan
atau kedudukan. Hal tersebut selaras dengan penjelasan Indrianto
Seno Adji bahwa terkait pasal dengan rumusan penyalahgunaan
kewenangan tersebut berhubungan dengan penafsiran yang harus
dikaitkan dengan lapangan hukum tata usaha negara dan hukum
perdata karena kaitannya dengan jabatan yang dilakukan dalam
posisinya dalam konteks penyalahgunaan kewenangan (Seno Adji,
2006, 425- 426). Untuk itu, walaupun “Setiap orang” dalam terdapat
dalam unsur delik tersebut tetapi korporasi tidak dapat dimasukkan
dalam kualifikasi delik mengingat pembatasan pada frase “karena
jabatan atau kedudukan” .
Tidak jauh berbeda adalah ketentuan tindak pidana lain terkait
pebuatan curang yang terdiri dari setiap orang yang bertugas
mengawasi tetapi sengaja membiarkan perbuatan curang terjadi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Tindak Pidana
Korupsi sebagai berikut:

“…… b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan


atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dalam kondisi
tertentu pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap
korporasi.”

Pada delik tersebut frase “bertugas mengawasi” yang merupakan


adopsi dari Pasal 388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
terasosiasi pada orang manusia yang secara jabatan atau didelegasikan
untuk melakukan pengawasan. Walaupun, apabila hanya digunakan
penafsiran secara Semiotik maka berpotensi tindak pidana tersebut
dapat dilakukan oleh Korporasi dalam beberapa kondisi. Misalnya,

9
dalam kondisi tugas pengawasan pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan dalam kontrak diserahkan sepenuhnya kepada
pihak ketiga dalam bentuk korporasi yang memang secara profesional
mempunyai bisnis melakukan pengawasan pembangunan. Akan
tetapi, terkait penafsiran tersebut berpotensi menyebabkan
perbedaan di kalangan ahli.

Tabel 1. Perbandingan Antara UK Bribery Act 2010, Code Pénal


Français dan UU Tindak Pidana Korupsi Terkait Lingkup Tindak
Pidana yang Dapat Dilakukan dan Dimintakan Pertanggungjawaban
kepada Korporasi
UK BRIBERY ACT CODE PÉNAL FRANÇAIS UU TINDAK PIDANA KORUPSI
2010

a. Tindak pidana a. Tindak pidana Korupsi berupa a. Perbuatan melawan hukum


penyuapan penyuapan (corruption) sebagaimana yang dapat menyebabkan
(offences of diatur dalam Articles 433-1 dan 435- kerugian keuangan negara atau
bribing another 3 (aktif) serta Articles 432-11 and perekonomian negara sebagaimana
person) 435-1 (pasif). Khusus untuk pasif, dimaksud pada Pasal 2;
sebagaimana secara umum dikenakan terhadap b. Pemberian suap kepada
diatur dalam tindak pidana dengan pelaku penyelenggara negara, PNS,
Section 1; dan penyelenggara negara dalam bentuk hakim atau advokat sebagaimana
b. Tindak pidana orang karena merupakan delik untuk dimaksud pada Pasal 5 dan Pasal
penyuapan penyelenggara negara, walaupun 6;
yang terkait otoritas publik dapat dimintakan c. Pebuatan curang yang terdiri dari
dengan pertanggungjawaban dalam kondisi setiap orang yang melakukan
penyelenggara tertentu yang akan dibahas di bagian perbuatan curang dalam keadaan
negara lain pembuktian kesalahan; perang sebagaimana dimaksud
(Bribery of b. Perdagangan pengaruh (influence pada Pasal 7 ayat (1) huruf a dan c;
foreign public peddling/trafic d’influence) d. Pemberian hadiah karena jabatan
officials) sebagaimana diatur dalam Article sebagaimana diatur dalam Pasal
sebagaimana 432-11 dan Articles 435-2 and 435- 13; dan
diatur dalam 4; e. Ketentuan undang-undang lain
Section 6. c. Mendapatkan manfaat secara ilegal yang memasukan suatu tindak
(illegal taking of interest/De la prise pidana sebagai tindak pidana
illégale d’intérêts) sebagaimana korupsi sebagaimana diatur dalam
diatur dalam Articles 432-12 dan Pasal 14 selama dapat dilakukan
432-13; dan oleh korporasi.
d. Keberpihakan dalam pengadaan
(favouritism in public procurement/ Catatan: selain kelima tindak pidana
Des atteintes à la liberté d’accès et ini terdapat juga tindak pidana yang
à l’égalité des candidats dans les terkait dengan korupsi sebagaimana
marchés publics et les délégations de diatur dalam Pasal Pasal 15, Pasal 16
service public) sebagaimana diatur dan Pasal 21.
dalam Article 432-14.

Selain penjabaran diatas yang dilakukan penelaahan secara


semiotik terhadap delik dengan pembatasan “Setiap orang” dan
penyesuaian secara sistematis dengan pasal lain, masih terdapat
satu delik terkait pemborong dan penjual bangunan yang dapat
memasukkan Korporasi sebagai subjeknya, yaitu sebagaimana

10 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Korupsi


sebagai berikut :

“…..a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat


bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang.”

Frase pemborong dan penjual bahan bangunan dalam kehidupan


sehari-hari dapat dilakukan oleh Korporasi pada praktek sehari-hari
sehingga merupakan tindak pidana yang dapat dilakukan dan oleh
Korporasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka apabila dibandingkan
antara UK Bribery Act 2010 dan UU Tindak Pidana Korupsi terdapat
pembandingan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.
Berdasarkan penjelasan dan Tabel 1 tersebut terdapat perbedaan
pengaturan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat dilakukan
dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi di
Inggris, Prancis dan Indonesia. Perbedaan tersebut baik terkait model
pengaturan delik dan maupun substansi deliknya, tetapi dengan
kesamaan bahwa delik tersebut haruslah tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh Korporasi bukan delik yang hanya dapat dilakukan
oleh manusia.

KESALAHAN KORPORASI
Persoalan mengenai pembuktian kesalahan terhadap korporasi
merupakan persoalan yang masih terus berkembang sampai saat ini.
Pembahasan mengenai kesalahan menjadi sangat penting karena
secara umum hukum pidana di Indonesia mensyaratkan adanya
kesalahan sebagai elemen terpenting dari pertanggungjawaban
pidana (Hiarej, 2015, 153). Sebagaimana diketahui bahwa menurut
H.B. Vos terdapat 3 (tiga) unsur utama dari kesalahan sebagaimana
dikuti Eddy O.S. Hiarej dalam penjelasan elemen dari kesalahan
(Hiarej, 2015, 162), yaitu:
a. Dapat dipertanggungjawabkan pelaku (Toerekeningsvatbaarheid
van de dader);
b. Hubungan psikis pelaku dengan perbuatannya yang biasanya
dalam bentuk sengaja atau alpa (Een zekere psychische verhouding

11
van de dader tot heit feit, die kan zijn of opzet of schuld in engere
zin); dan
c. Tidak ada dasar-dasar yang menghapuskan pertanggungjawaban
pidana atas perbuatannya (Het niet aanwezig zijn van gronden,
die de toerekenbaarheid van het feit aan de dader uitsluiten).

Dari ketiga elemen tersebut, tulisan ini akan lebih fokus pada
elemen kedua dari kesalahan yaitu terkait pembuktian hubungan
psikis pelaku dengan perbuatannya. Hal tersebut karena masih
kuatnya berlaku asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” dalam
praktek hukum pidana di Indonesia. Walaupun demikian, secara
teori, tidak seluruh pertanggungjawaban pidana korporasi harus
membuktikan kesalahan. Di sisi lain, perlu dipahami bahwa bentuk
kesalahan korporasi dalam beberapa kondisi dapat berbeda dengan
bentuk kesalahan pada tindak pidana yang dilakukan orang sebagai
manusia (natural person).
V.S. Khana membagi secara umum bahwa terdapat
pertanggungjawaban pidana korporasi yang membutuhkan
pembuktian kesalahan dan tidak perlu pembuktian kesalahan (Khana,
1996: 11). Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi tidak
selalu perlu membuktikan hubungan antara mens rea dengan actus
reus, seperti legislasi yang secara tegas menggunakan pendekatan
pertanggungjawaban pidana koporasi dengan pendekatan strict
liability. Sedangkan, untuk pertanggungjawaban pidana korporasi
yang membutuhkan pembuktian hubungan antara mens rea dengan
actus reus, V.S. Khana, Profesor Hukum di Michigan University,
dalam tulisan salah satu tulisan doktoralnya di Harvard Law
School membagi secara umum menjadi 2 (dua) pendekatan untuk
menyederhanakan variasi mens rea yang banyak. Hal tersebut
sebagaimana pendapat Laufer yang dikutip V.S. Khana (Khana, 1996:
16) sebagai berikut:

“for instance, Federal Legislation, as Laufer notes, provides


more than 100 types of mens rea, including over 20 formulations of
“willfulness” it self.”

Adapun dua bentuk tersebut adalah mens rea dengan pelaku


tunggal (The Single Actor Mens Rea Standard) dan kolektif mens
rea (The Collective Mens Rea Standard). Pada pendekatan pertama,

12 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

mens rea pelaku tunggal (The Single Actor Mens Rea Standard),
mens rea dari pelaku diatribusikan kepada korporasi sehingga
mens rea pelaku adalah mens rea korporasi tersebut (Khana, 1996:
20). Bentuk tersebut berlaku dalam teori vicarious liability dan
identification model. Teori vicarious liability adalah pendekatan
dimana suatu perbuatan dianggap dilakukan dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada korporasi ketika perbuatan tersebut
dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan
lain dengan korporasi tersebut dan tindakan tersebut dilakukan dalam
lingkup korporasi atau lingkup tugas yang melakukan tindak pidana
tersebut (Vermeulen et al, 2010: 56). Pendekatan ini merupakan
pendekatan paling tua dalam teori pertanggungjawaban pidana
korporasi terdapat salah satunya pada kasus New York Central &
Hudson River Railroad Co. v United States (212 U.S. 418) pada tahun
1909 di Amerika dan lebih jauh pada tahun 1842 di Inggris pada kasus
Birmingham & Gloucester Railway Co. (3 QB 223) (OECD, 2015: 18).
Melalui pendekatan tersebut mens rea pekerja atau agen korporasi
yang melakukan tindak pidana diatribusikan kepada korporasi.
Sedangkan teori identification model merupakan pengembangan
dari teori vicarious liability dengan pembeda bahwa untuk dapat
dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi pelaku tindak
pidana harusnya pengurus inti dari korporasi tersebut. Pendekatan
ini kerap disebut juga alter ego sehingga mens rea pengurus korporasi
adalah mens rea dari korporasi tersebut. Pendekatan ini berkembang
dari 3 (tiga) kasus di Inggris pada tahun 1944 (OECD, 2015: 18).
Pendekatan kedua, kolektif mens rea (The Collective Mens Rea
Standard), mens rea diambil dari adanya pengetahuan dari pegawai
yang ada dalam suatu korporasi secara luas tersebut (Khana, 1996:
22-24). Pengetahuan kolektif tersebut belum tentu dapat dimintakan
pertanggungjawaban apabila dimintakan pertanggungjawaban
secara personal. Sebagai contoh adalah teori culture model dan
aggregation model. Culture model melihat bahwa suatu korporasi
dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila tindak pidana yang
dilakukan merupakan dari budaya keseharian perusahaan (de Maglie,
2005: 558). Sedangkan, aggregation model lebih melihat kesalahan
secara berimbang dari keseluruhan bisnis proses korporasi tersebut
sebelum dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi
(Vermeulen et al, 2010: 58).
Pendekatan lain adalah pendekatan khsusus yang lebih dekat

13
kepada kelalaian, yaitu pertanggungjawaban atas kelalaian dalam
prosedur dan kebijakan (Liability of Negligent Procedures and
Policies) (Khana, 2006: 28-29). Pertanggungjawaban dimintakan
ketika Korporasi gagal melakukan pencegahan atas tindak pidana
yang dilakukan karena lemahnya prosedur dan kebijakan internal.
Pendekatan-pendekatan tersebut akan membantu dalam dapat
mengkaji pendekatan pembuktian kesalahan yang akan dilakukan.
Khususnya dalam mengidentifikasi pendekatan di Inggris, Prancis
dan Indonesia.

Kesalahan Korporasi dalam UK Bribery


Act 2010 di Inggris
Pada legislasi di Inggris suatu perbuatan dianggap telah dilakukan
dan dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi apabila
suatu perbuatan pidana dilakukan oleh orang yang mempunyai
asosiasi dengan korporasi secara sengaja dengan tujuan untuk
memberikan manfaat bagi korporasi. Hal tersebut sesuai dengan
Section 7 (1) UK Bribery Act 2010, yaitu:

“A relevant commercial organisation (“C”) is guilty of an offence


under this section if a person (“A”) associated with C bribes another
person intending—
(a) to obtain or retain business for C, or
(b) to obtain or retain an adventage in the conduct of business for C”

Adapun perbuatan pidana yang dilakukan adalah sesuai dengan


lingkup tindak pidana yang telah dibahas sebelumnya pada bagian
lingkup pidana. Sedangkan, orang yang mempunyai asosiasi dengan
korporasi adalah orang yang melakukan suatu aktivitas untuk atau
atas nama korporasi tanpa mempertimbangkan kapasitas dari orang
tersebut baik sebagai pekerja, agen atau subsidiaries, sebagaimana
diatur dalam Section 8 (1) dan (2) UK Bribery Act 2010, yaitu:

“(1) F
 or the purposes of section 7, a person (“A”) is associated with
C if (disregarding any bribe under consideration) A is a person
who performs services for or on behalf of C.
(2) The capacity in which A performs services for or on behalf of C
does not matter.

14 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

(3) A
 ccordingly A may (for example) be C’s employee, agent or
subsidiary.”

Hal yang menarik adalah klausul terkait tidak mementingkan


kapasitas dari orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut
kecuali posisi orang tersebut adalah pekerja. Klausul tersebut
dijelaskan oleh Colin Nicholls, Tim Daniel, Alan Bacarese dan John
Hatchard (Nicholls et al, 2011: 93) sebagai berikut:

“It does not matter in what capacity A acts on C’s behalf whether as
an employee, agent or subsidiary except that where A is an employee
of C it is to be presumed that A is performing services for and on
behalf of C unless the contrary show”

Pertanggungjawaban dapat dimintakan apabila adanya


mens rea dari orang yang berasosiasi dengan korporasi dalam
melakukan tindak pidana harus dengan sengaja dan bertujuan untuk
menguntungkan korporasi. Apabila orang tersebut sudah terbukti
melakukan tindak pidana dengan tujuan tersebut maka korporasi
harus bertanggungjawab tanpa perlu pembuktian adanya perintah
dari pengurus korporasi dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Korporasi hanya dapat menghindari tanggungjawab apabila dapat
membuktikan bahwa korporasi tersebut sudah melakukan upaya
yang sesuai (adequate procedure) untuk dalam mencegah tindak
pidana tersebut terjadi, yang dijamin sesuai dengan Section 7 (2) UK
Bribery Act 2010 sebagai berikut:

“But it is a defence for C to prove that C had in place adequate


procedures designed to prevent persons associated with C from
undertaking such conduct”

Berdasarkan hal tersebut maka titik tekan pendekatan yang


digunakan di Inggris adalah pemidanaan terhadap kegagalan
korporasi dalam mencegah terjadinya tindak pidana (Failure
of commercial organisations to prevent bribery). Apabila kita
mendasarkan pada pembagian yang dilakukan oleh V.S. Khana
maka masuk dalam golongan ketiga, yaitu: pertanggungjawaban
atas kelalaian dalam prosedur dan kebijakan (Liability of Negligent
Procedures and Policies). Melalui pendekatan delik kegagalan
mencegah tersebut, perlu digarisbawahi bahwa pendekatan Inggris

15
sepintas mirip dengan pendekatan yang jamak digunakan pada
vicarious liability yang mengatribusikan kesalahan pegawai menjadi
kesalahan korporasi sehingga mens rea pegawai adalah mens rea
korporasi tetapi pada konteks Inggris pendekatan UK Bribery Act
2010 lebih condong pada jenis kesalahan ketiga. Hal tersebut karena
titik beratnya secara mutlak korporasi dianggap bersalah apabila
gagal dalam mencegah terjadinya tindak pidana yang dilakukan
oleh orang yang berasosiasi dengan korporasi tersebut dan tidak
dapat membuktikan bahwa sudah dilakukan upaya yang memadai
(adequate procedures) dalam mencegah tindak pidana tersebut
terjadi. Pendapat ini merupakan penegasan dari pendapat Colin
Nicholls, Tim Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard (Nicholls et
al, 2011: 89) sebagai berikut:

“… It is offence of strict liability, but is subject to the defence that


the organization had adequate procedures in place to prevent person
associated with it from committing bribery…”

Pertanyaan lanjutannya adalah apakah korporasi baru dapat


dituntut ketika sudah adanya putusan hukum tetap terhadap pelaku
lapangan suap dalam hal ini pekerja atau orang yang terasosiasi,
mengingat pendekatan yang digunakan adalah strict liability atas
kegagalan melakukan pencegahan. Menurut Colin Nicholls, Tim
Daniel, Alan Bacarese dan John Hatchard tidak harus adanya putusan
tetap tetapi penuntut umum harus dapat membuktikan dengan
standar pembuktian pidana bahwa apabila nantinya orang yang
berasosiasi tersebut dituntut maka akan dinyatakan bersalah dan
terbukti mempunyai maksud menguntungkan korporasi (Nicholls et
al, 2011: 95). Hal tersebut berdasarkan Section 7 (3) a UK Bribery Act
2010 yang tidak membatasi pada “is” tetapi adanya klasula “or would
be” dalam perumusan delik.
Hal yang menarik adalah penerapan tanggung jawab seketika
tersebut tidak semata-mata menekan korporasi, beban pencegahan
juga diberikan kepada pemerintah dengan adanya kewajiban bagi
pemerintah walaupun sebatas regulasi untuk membuat pedoman
pencegahan korupsi sebagaimana diamanatkan pada Section 9 (1) UK
Bribery Act 2010 sebagai berikut:

“The Secretary of State must publish guidance about procedures


that relevantcommercial organisations can put in place to prevent

16 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

persons associated with them from bribing as mentioned in section


7(1).”

Melalui panduan tersebut maka korporasi dapat mempunyai


landasan dalam membuat sistem pencegahan korupsi yang dilakukan
oleh orang yang berasosiasi dengannya. Kementerian Kehakiman
(Ministry of Justice) yang dijabat oleh Kenneth Clarke dan Kejaksaan
Agung (Attorney General) telah mempublikasikan panduan tersebut
sejak 30 Maret 2011 dan berlaku sejak 1 Juli 2011 (Ministry of Justice,
2011). Panduan tersebut berisi 6 (enam) prinsip penting dalam
pencegahan korupsi yang terdiri dari: Prinsip Prosedur Proposional
(Proportionate Procedures), Prinsip Komitmen Pimpinan Korporasi
(Top-level Commitment), Penilaian atau Perkiraan Resiko
(Risk Assessment), Uji Kelayakan (Due Diligence), Komunikasi
(Communication) dan Pemantauan serta Evaluasi (Monitoring and
Review) (Ministry of Justice, 2011).

Kesalahan Korporasi dalam Code Pénal Français di


Prancis
Republik Prancis mengatur pendekatan berbeda dari Kerajaan
Inggris dan Wales dalam pembuktian kesalahan. Untuk memahami
hal tersebut maka terlebih dahulu prasyarat suatu perbuatan
pidana dianggap dilakukan korporasi sehingga dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada korporasi.
Prasyarat pertama adalah tindakan tersebut dilakukan oleh organ
atau representasi dari korporasi (les personnes morales) dengan
penjabaran dalam Articles 121-2 Code Pénal Français, sebagai
berikut:

“Les personnes morales, à l’exclusion de l’Etat, sont responsables


pénalement, selon les distinctions des articles 121-4 à 121-7, des
infractions commises, pour leur compte, par leurs organes ou
représentants”
(Legal persons, with the exception of the State, are criminally
liable for the offences committed on their account by their organs
or representatives, according to the distinctions set out in articles
121-4 and 121-7)

Berdasarkan pendekatan tersebut yang harus melakukan adalah


organ atau representasi resmi korporasi yang dapat berupa: pimpinan

17
atau manajemen dari korporasi tersebut yang berhak mewakili secara
hukum. Selain itu, dalam kondisi tersebut termasuk pekerja atau
pihak lain yang mendapatkan pendelegasian untuk menjalankan
suatu pekerjaan tertentu (express power of attorney/délégation de
pouvoir) (Clifford Chance, 2012: 10).
Persyaratan kedua adalah korporasi (personnes morales) tersebut
bukanlah negara dengan adanya pengaturan pengecualian terhadap
negara (l’exclusion de l’Etat). Sedangkan, untuk otoritas publik
tingkat lokal terdapat ketentuan dalam Articles 121-2 Code Pénal
Français sebagai berikut:

“….Toutefois, les collectivités territoriales et leurs groupements


ne sont responsables pénalement que des infractions commises dans
l’exercice d’activités susceptibles de faire l’objet de conventions de
délégation de service public…”
(However, local public authorities and their associations incur
criminal liability only for offences committed in the course of their
activities which may be exercised through public service delegation
conventions.)

Artinya otoritas publik tingkat lokal tetap dapat dimintakan


pertanggungjawaban sebatas pada korporasi (personnes morales)
yang fungsi pelayanan publik dari otoritas tersebut dapat
didelegasikan kepada pihak ketiga. Hal tersebut sebagaimana konsep
hukum Prancis dimana pemerintah daerah dapat mendelegasikan
sebagian fungsi pelayanan publik kepada pihak lain, tentunya fungsi
tersebut bukan merupakan fungsi strategis yang dilarang untuk
didelegasikan, seperti: sekolah, rumah sakit, pembangkit listrik dan
penyedia gas (IFAC: 2001, 5-6). Salah satu contoh dari pelayanan
publik yang dapat didelegasikan adalah perusahaan daerah penyedia
jasa angkutan umum.
Perbuatan pidana sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya yang
telah memenuhi delik dan dilakukan oleh organ atau representasi
korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi
apabila kesalahan korporasi terbukti. Hal tersebut salah satunya
dengan terbuktinya hubungan antara mens rea dengan perbuatan
tersebut. Pada konsep Prancis, mens rea orang yang merupakan
organ atau representasi korporasi yang melakukan perbuatan pidana
dapat diatribusikan menjadi mens rea dari korporasi serta tidak

18 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

terpisah dari mens rea korporasi sesuai dengan bunyi Articles 121-2
Code Pénal Français. Pandangan ini sesuai dengan penjelasan Katrin
Decket (Peith et al, 2011: 164), yaitu:
“First, the principle laid down in art. 121-1 Penal Code does not
seem to imply that it is necessary to establish fault on the part of
legal person, distinct from the fault of the organs or representatives.
Second, and most importantly, the need to establish a separate fault
on the part of the legal person has explicitly been rejected by the Cour
de cassation. And, there are still other arguments that argue against a
“double fault” requirement”

Adapun kesalahan dari organ atau representasi tersebut tidak


berbeda dengan bentuk kesalahan pada umumnya. Kesalahan
tersebut dapat dalam bentuk kesengajaan, kecerobohan maupun
kelalaian dari organ atau representasi dari Korporasi sesuai dengan
Articles 121-3 Code Pénal Français. Walaupun demikian, menurut
Katrin Decket pada prakteknya terdapat pendapat bahwa kesalahan
dari organ dan representasi tetap harus dilihat dalam konteks “atas
nama korporasi” (Peith et al, 2011: 161-162) . Tidak seluruh kesalahan
dari organ atau representasi dari korporasi dapat secara langsung
diatribusikan menjadi kesalahan korporasi. Untuk menafsirkan “atas
nama korporasi” tersebut dapat merujuk pada edaran (circular)
Kementerian Kehakiman Prancis tertanggal 14 Mei 1993 yang
mengomentari rancangan Articles 121-2 Code Pénal Français. Pada
surat tersebut, Kementerian Kehakiman menerjemahkan ketentuan
tersebut sebagai berikut (Peith et al, 2011: 161-162):
“a legal person will not be held liable for offences commited by a
director in the exercise of his functions, if the director acts on his own
behalf and his own personal interest”

Melalui penafsiran tersebut maka korporasi tidak dapat


dipertanggungjawabkan tanpa dilihat dalam rangka apa perbuatan
tersebut dilakukan. Prancis menganut lingkup yang lebih luas dalam
Articles 121-2 Code Pénal Français dengan melihat kesalahan
organ dan representasi “atas nama korporasi” dibandingkan “untuk
kepentingan korporasi” sebagaimana dianut dalam Section 7 UK
Bribery Act 2010. Sebagaimana penjelasan para ahli, pendekatan
“atas nama korporasi” melingkupi bukan hanya “dengan nama
korporasi” tetapi juga “untuk kepentingan korporasi”. Oleh karena

19
itu, suatu tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban
kepada korporasi apabila dilakukan oleh organ dan representasi
korporasi dalam rangka untuk mempertahankan dan menjaga fungsi
dari korporasi bahkan dalam kondisi korporasi tidak mendapatkan
keuntungan secara langsung sekalipun.

Kesalahan Korporasi dalam UU Tindak Pidana Korupsi di


Indonesia
Suatu perbuatan pidana dianggap dilakukan oleh Korporasi di
Indonesia apabila memenuhi ketentuan Pasal 20 ayat 2 UU Tindak
Pidana Korupsi, sebagai berikut:
“Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-
sama.”
Berdasarkan hal tersebut, suatu tindakan dianggap dilakukan oleh
Korporasi apabila memenuhi 3 (tiga) unsur penting sebagai berikut:
a. Adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan;
b. Pelaku tindak pidana adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan kerja atau hubungan lain baik sendiri maupun bersama-
sama; dan
c. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkungan korporasi.

Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa tindak


pidana korupsi dalam konteks ini adalah tindak pidana korupsi
yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban kepada
korporasi sebagaimana telah dibahas sebelumnya di atas.
Kedua, pelaku tindak pidana adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan kerja atau hubungan lain baik sendiri maupun bersama-
sama. Apabila kita tafsirkan secara sistematis, maka definisi hubungan
kerja dapat kita temui dalam Pasal 1 Angka 15 UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:

“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan


pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah”
Melalui definisi tersebut maka melingkupi lingkup internal
korporasi dalam segala level jabatan serta tidak terbatas pada level

20 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

pengambil kebijakan. Khusus untuk perseroan terbatas bahkan


terbatas pada pekerja di bawah direksi (Umar Kasim, 2013).
Sedangkan untuk direksi dan hubungan di luar hubungan kerja, masuk
dalam lingkup hubungan lain. Definisi hubungan lain tidak dijelaskan
dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Apabila ditafsirkan secara semiotik
dalam rangkaian kalimat “…hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain…” maka dapat ditafsirkan sebagai hubungan lain selain
dari hubungan kerja. Hubungan selain hubungan kerja dalam hukum
memiliki variasi yang sangat luas. Mulai dari hubungan hukum suatu
direksi dengan perseroan terbatas sesuai UU Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, hubungan keperdataan dalam bentuk
sub kontraktor kepada korporasi atau orang lain untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu, hubungan kontraktual dalam penggunaan
jasa hukum sampai dengan hubungan dengan pihak ketiga untuk
mengurus suatu urusan korporasi termasuk juga perjanjian untuk
melakukan suatu pekerjaan korporasi sesuai dengan Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Artinya memberikan keluasan
bagi penuntut umum dan hakim dalam menafsirkan hubungan lain
di luar hubungan kerja selama dapat dibuktikan hubungan tersebut.
Perbuatan tersebut dapat dilakukan secara sendiri maupun bersama-
sama sehingga tetap dapat dianggap dilakukan korporasi walaupun
dilaksanakan oleh seorang pegawai.
Ketiga, lingkungan korporasi tidak didefinisikan dalam UU Tindak
Pidana Korupsi. Terdapat berbagai pendapat dalam menafsirkan
lingkungan korporasi. Misalnya apabila tindak pidana tersebut masih
dalam bagian lingkup usaha dalam anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga korporasi, contohnya pada putusan PT Giri Jaladhi
Wana. Akan tetapi, apabila kita merujuk pada Rancangan Naskah
Akademis Peraturan Mahkamah Agung Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi yang didasarkan riset dan konsultasi ahli, definisi
lingkungan korporasi lebih luas sebagai berikut:

“Lingkungan korporasi adalah lingkup Korporasi atau lingkup


usaha Korporasi atau lingkup kerja yang termasuk dan/atau
mendukung kegiatan usaha Korporasi baik langsung maupun tidak
langsung.”

Berdasarkan penjelasan rancangan naskah akademis tersebut,


tindak pidana yang dilakukan tidak terbatas hanya untuk mewujudkan

21
tujuan usaha yang tercantum dalam anggaran dasar tetapi juga
kegiatan lain yang mendukung kegiatan usaha korporasi tersebut
baik langsung maupun tidak langsung.
Apabila kita sandingkan dengan penjelasan teori
pertanggungjawaban pidana korporasi, ketiga unsur tersebut
menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam UU
Tindak Pidana Korupsi adalah pendekatan vicarious liability sesuai
penjelasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal tersebut
ditunjukkan dengan dapatnya suatu tindakan dianggap telah
dilakukan korporasi apabila tindakan tersebut dilakukan oleh orang
yang mempunyai hubungan kerja dalam segala tingkat jabatan,
bahkan hubungan lain selain hubungan kerja selama tindakan
tersebut dilakukan dalam lingkungan korporasi. Berbeda juga
dengan pendekatan identification model yang membatasi suatu
tindak pidana apabila dilakukan oleh pengurus korporasi dalam
level direksi. Dalam hal tindakan dilakukan, pendekatan Indonesia
lebih mirip dengan pendekatan Inggris yang juga mendasarkan pada
hubungan kerja atau hubungan lain selain hubungan kerja.
Selanjutnya, bagaimana melihat kesalahan korporasi dalam
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Apabila
konsisten dengan jenis pendekatan yang digunakan dalam Pasal 20
ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi yang menyatukan perbuatan
orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain selain
hubungan pekerja adalah perbuatan korporasi sesuai teori vicarious
liability, maka pada konteks mens rea orang yang melakukan
perbuatan pidana tersebut juga teratribusikan menjadi mens rea
dari korporasi tersebut sesuai teori vicarious liability. Berdasarkan
pengalihan tersebut, bahkan beberapa ahli pidana seperti Mardjono
Reksodiputro memasukan penggolongan vicarious liability sebagai
pemidanaan tanpa perlu pembuktian kesalahan korporasi secara
tersendiri sehingga tidak dinilai sebagai kesalahan korporasi
(Reksodiputro, 2015: 13). Pada pengelompokan, V.S. Khana tetap
memasukkan vicarious liability atau dikenal juga sebagai respondent
superior sebagai pertanggungjawaban dengan pembuktian kesalahan
korporasi sebagai bagian dari jenis single actor mens rea standard
dengan alasan bahwa kesalahan tetap tidak hilang sebagaimana
strict liability tetapi hanya mengatribusikan kesalahan pekerja
yang melakukan tindak pidana menjadi kesalahan korporasi. Hal
tersebut berdasarkan putusan U.S. v. Hilton Hotel Corp dan putusan

22 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

pada tingkat banding pada kasus U.S. v. Twentieth Century Fox


Film Corporation pada tahun 1989. Putusan-putusan tersebut
menegaskan mens rea korporasi adalah atribusi dari mens rea
pekerja pada pendekatan vicarious liability (V.S. Khana, 1996:
20-21). Akan tetapi, terdapat kesamaan maksud antara Marjono
Reksodiputro, Muladi (Muladi dan Dwidya P, 2020: 113-116) dan
V.S. Khana, yaitu: melalui konsep vicarious liability, korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahan pekerja tanpa perlu
membuktikan kesalahan korporasi secara tersendiri dan berbeda
dengan kesalahan pekerja.
Tentunya atribusi kesalahan tersebut sesuai dengan batasan pada
Pasal 20 ayat (1), yaitu adanya penegasan bahwa tindakan tersebut
dilakukan dalam hal tindak pidana korupsi “dilakukan oleh atau atas
nama suatu korporasi”. Artinya pekerja yang melakukan tindakan
pidana tersebut haruslah dilakukan dalam kerangka kepentingan
korporasi. Hal tersebut dengan penggunaan “dilakukan oleh atau
atas nama korporasi” yang khusus pada isu ini lebih dekat dengan
pendekatan “atas nama korporasi” dalam Articles 121-2 Code
Pénal Français sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Batasan
ini penting untuk dapat menjaga agar pendekatan atribusi mens
rea dari pelaku lapangan dapat secara tepat diatribusikan kepada
korporasi karena tidak semua mens rea dari pelaku langsung dapat
diatribusikan kepada korporasi.
Lebih lanjut, terkait bentuk dari kesalahan korporasi yang
diatribusikan dari orang yang mempunyai hubungan kerja atau
hubungan lainnya hanya dapat terlihat dari variasi bentuk kesalahan
yang mungkin muncul dari rumusan pasal yang digunakan dan
tindak pidana yang dilakukan secara kongkrit sesuai elemen kedua
dari kesalahan yang diungkapkan oleh Vos. Untuk itu diperlukan
simulasi dalam penggunaan pasal tersebut.

Simulasi Kasus
Simulasi ini akan menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tindak
Pidana Korupsi dengan isi sebagai berikut:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun


dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang

23
yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau


penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau….”

Untuk mempermudah pemahaman maka perlu mengganti frase


“setiap orang” menjadi “korporasi” sesuai definisi pada Pasal 1 UU
Tindak Pidana Korupsi. Apabila diterapkan dalam beberapa kondisi
sebagai berikut maka:

Kondisi 1
Orang bernama A yang merupakan manajer di PT X melakukan
penyuapan pembuatan KTP di kelurahan dengan sengaja dan
bertujuan mempercepat pengurusan sehingga KTP tersebut dapat
segara dipakai sebagai syarat mengurus kenaikan pangkat menjadi
General Manager yang saat ini kosong. Perbuatan yang dilakukan
A memenuhi seluruh unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi serta
tidak adanya alasan penghapus pidana. Apakah korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban?
Pada kondisi 1 tersebut, PT X tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban walaupun syarat suatu perbuatan A dapat
dianggap sebagai perbuatan PT X terpenuhi sesuai Pasal 20 ayat (2)
UU Tipikor. Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana
yang dilakukan oleh Korporasi. Perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang yang mempunyai hubungan kerja dengan Korporasi. Penuntut
umum dapat mendasarkan bahwa perbuatan tersebut secara tidak
langsung masuk dalam lingkungan korporasi karena dengan segera
mendapatkan KTP maka mendukung bisnis korporasi karena posisi
general manager segera terisi. Akan tetapi, tindakan tersebut tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban karena tindakan tersebut
bukanlah “dilakukan atau atas nama korporasi” karena pembuatan
KTP lebih cenderung pada kepentingan A sebagai individu dan jenis
dokumen yang diurus bukan kepentingan korporasi. Selain itu, mens
rea dari A yang mempunyai maksud untuk segera mendapatkan
promosi yang tercermin dari tindakan melakukan suap tidak dapat
diatribusikan menjadi mens rea korporasi.

24 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

Kondisi 2
Orang bernama B yang merupakan manajer di PT Y melakukan
penyuapan pengurusan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kepada Bupati
dengan sengaja dan bertujuan mempercepat pengurusan sehingga
korporasi tersebut dapat segera melakukan usaha perkebunan.
Perbuatan yang dilakukan B memenuhi seluruh unsur-unsur
perbuatan pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU
Tindak Pidana Korupsi serta tidak adanya alasan penghapus pidana.
Apakah korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban?
Pada kondisi 2 tersebut, PT Y dapat dimintakan
pertanggungjawaban. Syarat suatu perbuatan dapat dianggap
menjadi perbuatan korporasi sesuai Pasal 20 ayat (2) UU Tindak
Pidana Korupsi terpenuhi karena tindak pidana merupakan tidak
pidana yang dapat dilakukan korporasi, B merupakan manager dari
PT Y sehingga mempunyai hubungan kerja dan dilakukan sesuai
dalam konteks lingkungan korporasi. Pada kondisi 2 ini, kesalahan
dalam bentuk kesengajaan B melakukan suap agar PT Y dapat segara
melakukan bisnisnya sehingga masuk dalam kepentingan korporasi.
Hal tersebut menyebabkan mens rea B dapat diatribusikan menjadi
mens rea PT Y dalam bentuk kesengajaan dengan maksud.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas maka secara singkat
suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan
UU Tindak Pidana Korupsi apabila memenuhi tahapan yang tepat.
Tahap pertama, terpenuhinya syarat tindak pidana korupsi yang
dianggap dilakukan oleh korporasi sesuai Pasal 20 ayat (2) UU
Tipikor dan terpenuhinya delik sesuai dengan pasal yang digunakan.
Kedua, terpenuhinya syarat bahwa tindak pidana korupsi tersebut
adalah tindak pidana yang masuk dalam lingkup tindak pidana
yang dapat dilakukan dan dimintakan pertanggungjawaban pidana
korporasi serta tidak adanya alasan penghapus pidana. Ketiga,
terpenuhinya pembuktian kesalahan melalui atribusi mens rea dari
orang yang meiliki hubungan kerja atau hubungan lain melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada tahap kedua diatas
menjadi mens rea korporasi dengan bentuk kesalahan sesuai dengan
delik yang dilakukan dengan syarat mens rea tersebut memang dapat
diatribusikan sebagai mens rea korporasi.

25
KESIMPULAN DAN SARAN
Pertama, lingkup tindak pidana. Pada lingkup tindak
pidana terdapat perbedaan pengaturan antara Inggris, Prancis dan
Indonesia. Inggris menyebut secara spesifik tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh korporasi sesuai dengan Section 7 (1) a UK Bribery
Act 2010. Berbeda dengan Prancis dan Indonesia yang menggunakan
ketentuan yang mengatur secara umum tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh korporasi sehingga dibutuhkan penafsiran terkait
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Korporasi.
Penyuapan merupakan lingkup tindak pidana yang diakui dapat
dilakukan oleh Korporasi pada hukum Inggris, Prancis dan Indonesia
walaupun khusus penyuapan pejabat asing hanya diakui di Inggris
dan Prancis. Selain penyuapan, Prancis memasukkan tindak pidana
yang dapat dilakukan korporasi berupa perdagangan pengaruh
(influence peddling/trafic d’influence), mendapatkan manfaat secara
ilegal (illegal taking of interest/De la prise illégale d’intérêts) dan
keberpihakan dalam pengadaan (favouritism in public procurement/
Des atteintes à la liberté d’accès et à l’égalité des candidats dans les
marchés publics et les délégations de service public). Sedangkan
Indonesia, selain penyuapan, memasukkan juga perbuatan melawan
hukum yang dapat merugikan keuangan atau ekonomi negara,
perbuatan curang, pemberian hadiah dan tindak pidana lain yang
dianggap sebagai tindak pidana korupsi.
Kedua, kesalahan korporasi. Inggris, Prancis dan Indonesia
menggunakan pendekatan berbeda terkait kesalahan (mens rea,
schuld) dari Korporasi. Inggris menggunakan pendekatan tidak perlu
dibuktikan kesalahan korporasi apabila kesalahan pelaku sudah
dapat dibuktikan selama tindak pidana tersebut bertujuan untuk
keuntungan korporasi. Hal tersebut karena pendekatan Inggris
adalah korporasi dianggap bersalah apabila gagal menerapkan
prosedur pencegahan (adequate procedure) sehingga tindak pidana
tersebut terjadi (Liability of Negligent Procedures and Policies).
Sedangkan Prancis, menggunakan pendekatan atribusi mens rea
dari organ atau representasi dari Korporasi menjadi mens rea dari
Korporasi sepanjang tindakan tersebut masih sesuai dengan tujuan
usaha korporasi. Indonesia dalam UU Tindak Pidana Korupsi
menggunakan pendekatan teori vicarious liability. Pendekatan
tersebut diterjemahkan melalui orang yang memiliki hubungan kerja

26 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

atau hubungan lain yang melakukan tindak pidana dalam lingkungan


korporasi maka mens rea orang tersebut dapat diatribusikan menjadi
mens rea korporasi selama dilakukan untuk kepentingan korporasi
serta tindak pidana tersebut dapat dilakukan dan dimintakan
pertanggungjawaban kepada korporasi.
Untuk ke depan dapat disarankan agar penerapan
pertanggungjawaban pidana yang menggunakan pendekatan UU
Tindak Pidana Korupsi konsisten menggunakan pendekatan teori
vicarious liability sehingga dalam persidangan baik penuntut umum
maupun hakim tidak terbebani oleh pendekatan lain yang tidak
dianut dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Pendekatan tersebut sesuai
dengan pendekatan dalam pemberantasan korupsi yang digunakan
pada skala internasional. Sebagai alternatif, dapat pula digunakan
pendekatan Strict Liability dengan dilengkapi Liability of Negligent
Procedures and Policies sebagaimana yang diterapkan di Inggris.

REFERENSI
A Quaid, Jennifer, 1998, The Assessment of Corporate Criminal
Liability on the Basis of Corporate Identity : An Analysis, McGill
Law Jurnal/Reveu De Droit McGill Vol. 43.
Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi, Kebijakan, Aparatur Negara
dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta
Dargham, Christian dan Charles-Henri Boeringer, Corporate Liability
in Europe, 2012, Clifford Chance LLP: London
De Maglie, Chistina, 2005, Models of Corporate Criminal Liability
In Comparative Law, Washington University Global Studies Law
Review [Vol. 4:547]
Emmanuel Marsigny et al, 2016, Bribery & Corruption: Third Edition,
Global Legal Insights
Head, John W., 2011, Great Legal Traditions - Civil Law, Common
Law and Chinese Law in Historical and Operational Perspective,
Durham (North Carolina): Carolina Academic Press
Hiariej, Eddy OS, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta
IFAC Public Sector Committee, 2001, The Delegation of Public
Services in France: An Original
Method of Public Administration: Delegated Public Service, IFAC. Hal 5-6

27
Khana, V.S, 1996, Corporate Mens Rea : A Legal Construct In Search
of A Rationale, The Center for Law, Economics, and Buisness,
Harvard Law School, Cambridge
Ministry of Justice, 2011, The Bribery Act 2010: Guidance about
Procedures which relevant commercial organisations can put into
place to prevent persons associated with them from bribing, MoJ,
London
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi: Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Nicholls QC, Colin et al., 2011, Corruption and Misuse of Public
Office: Second Edition, Oxford University Press, Oxford
OECD, 2012, Phase 3 Report on Implementing the OECD Anti-
Bribery Convention in France, OECD
Peith, Mark et, al, 2011, Corporate Criminal Liability, Springer. Katrin
Deckert
Rehberg, Markus, 2010, Statutory Interpretation and Civil Law
Methodology on Munich University Summer Training in European
and German Law 2010, Munich
Reksodiputro, Mardjono, 2015, Tindak Pidana Korporasi dan
Pertanggungjawabannya, FGD International Standards On
Corporate Criminal Lability yang diselenggarakan KPK-OECD
pada tanggal 28 Juli 2015.
Wagner, Markus, 1999, Corporate Criminal Liability National and
International Responses, International Society for the Reform of
Criminal Law, 13th International Conference, Malta, 8-12 July 1999
Kasim, Umar, 2010, Karyawan Diangkat Jadi Direksi, Hukum Online
sesuai dengan alamat http://www.hukumonline.com/klinik/
detail/cl4608/karyawan-diangkat-jadi-direksi diakses pada
Jumat, 4 November 2016.

Legislasi
Code Pénal Français
France Penal Code (English Version SPENCER Q, John Rason)
United Kingdom Bribery Act 2010
UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

28 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Lingkup Tindak Pidana Korupsi dan Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, Inggris dan Prancis (Lakso Anindito)

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi


sebagaimana diubah dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 21 Tahun 2001
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-
Barang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Putusan
Putusan PN BANJARMASIN Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm
Putusan PT BANJARMASIN Nomor 04/PID.SUS/2011/PT. BJM
Birmingham & Gloucester Railway Co. pada tahun 1842
Hudson River Railroad Co. v United States pada tahun 1909
United States v Twentieth Century Fox Film Corporation pada tahun
1989
Regina v Innospec Limited pada tahun 2010

29
30 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Relasi Korupsi Korporasi
dan Korupsi Politik:

Kajian Awal Melacak


Korupsi Politik di Korporasi
Bambang Widjojanto
Dosen Pidana Universitas Trisakti

bewe2015@hotmail.com

ABSTRAK
Dalam banyak kasus korupsi, diduga keras, korporasi juga
terlibat dan menjadi bagian kejahatan tapi korporasi hampir
tidak pernah dijadikan subyek hukum yang diperiksa dan diminta
pertanggungjawabannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ada
fakta lain yang juga sangat faktual, di sebagian besar kasus korupsi
yang dilakukan korporasi juga terjadi korupsi politik. Bahkan, ada
indikasi yang tak terbantahkan, ada korupsi politik di dalam korupsi
korporasi. Untuk itu diperlukan suatu kajian awal untuk melihat
relasi diantara keduanya. Di dalam kajian digunakan rujukan berupa
peraturan perundangan, informasi yang dikemukakan oleh media,
putusan pengadilan dan juga buku referensi. Ada persekutuan antara
tindak korupsi korporasi dan korupsi politik yang melibatkan pihak
pemegang otoritas dengan jabatan politik tertentu dengan pihak yang
mewakili kepentingan korporasi. Mereka menyalahgunakan sumber
daya publik yang berasal dari keuangan negara untuk kepentingan

31
privat dan kelompoknya sendiri. Pada kasus tertentu, dana yang
digunakan berasal dari korporasi dan ditujukan untuk “membeli”
otoritas yang dimiliki oleh penyelenggaraan negara. Pada konteks
ini, korporasi dengan kekuatan kapitalnya dapat mendikte hingga
menguasai kepentingannya sehingga terjadilah apa disebut sebagai
capital and corporate driven atas berbagai proyek yang tidak
ditujukan untuk kepentingan publik. Penegak hukum mengalami
kegagapan untuk dapat menangani dan masuk di dalam kasus ini
karena sifat kasusnya menjadi beyond the law.
Kata Kunci: Korupsi, Korupsi Korporasi, Korupsi Politik

ABSTRACT
In many cases of corruption, alleged, corporations are also
involved and become the part of a criminal but corporations almost
never be subjects of law are requested its accountability at the
Corruption Court. There is another fact, in the majority of cases of
corruption which is conducted by corporations also happen political
corruption. In fact, there are indications that the undeniable, there
is political corruption in corporate corruption. It required an initial
study to look at the relationships between corporate and political
corporation. In the study used a reference the laws, the information
presented by the media, court decisions and reference books. There
is an alliance between corrupt corporate and political corruption
which involving the authorities who have political authority with
the party which representing the interests of corporations. They
misuse of public resources which come from state finances to private
interests and his own groups. In certain cases, the funds were taken
from the corporation and is intended to “buy” the authority which
is owned by the state administration. In this context, a corporation
with its capital strength can dictate to mastering their interests.
There is capital and corporate driven on a variety of projects that are
not intended for the public interest. law enforcement face difficulty to
be able to handle this case because of the nature of the case be beyond
the law.
Keywords: Corruption, Corporate Corruption, Political
Corruption

32 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

PENDAHULUAN
Ada 2 (dua) frasa kunci yang menjadi bagian penting dari tulisan
ini, yaitu: Korupsi Politik dan Korupsi Korporasi. Tentu, kedua frasa
itu perlu dijelaskan makna operasionalnya tetapi juga akan dilacak,
apakah pada keduanya ada relasi sehingga terjadi pertautan satu dan
lainnya. Selama ini, ada dugaan, disebagiannya, korupsi korporasi
tidak berdiri sendiri, ada “jejak” korupsi politik yang menyertai
dan menjadi bagian dari korupsi korporasi. Bagaimana jika terjadi
pertautan dan juga konsolidasi kepentingan diantara keduanya,
apakah modus operandi operasi makin menjadi “solid” dengan
“dampak” yang juga kian besar magnitudenya.
Secara umum, korupsi yang diduga dilakukan korporasi telah
dirumuskan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Di dalam rumusan
pasal pada delik kejahatan yang tersebut di dalam UU Tindak Pidana
Korupsi, dimulai dengan menggunakan frasa kata “setiap orang”.
Pada frasa kata tersebut, setiap orang dimaknai sebagai orang
perseorangan dan juga termasuk korporasi (Pasal 1, Angka 3 UU No.
31 Tahun 1999).
Bahkan, di dalam Pasal 1, Angka 1 UU tersebut di atas, juga
dirumuskan pengertian dari korporasi, sebagai kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Berdasarkan uraian tersebut, “setiap
orang” juga termasuk korporasi dapat dikualifikasi menjadi subyek
dari suatu tindak pidana korupsi. Bahkan, di dalam Pasal 20 UU No.
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sudah dijelaskan
hal ihwal mengenai korupsi yang dilakukan korporasi dan atau
pengurusnya.
Ada 3 (tiga) hal menarik berkaitan dengan korupsi korporasi ini bila
dikaitkan dengan keinginan KPK untuk membawa kasus korupsi ke
depan pengadilan, yaitu: pertama, KPK menyatakan bahwa sebagian
besar kasus penyuapan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh
korporasi; kedua, tidak ada satu pun korporasi yang dihukum dalam
seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK yang melibatkan korporasi
karena korupsi yang ditangani baru sebatas pribadi atau perorangan;
ketiga, kasus korupsi korporasi, disebagiannya, juga melibatkan
politisi selain aparatur birokrasi. Pernyataan ini hendak menegaskan,
ada kepentingan lain yang potensial bekerja di dalam kasus korupsi
korporasi.

33
Berkaitan dengan pernyataan di dalam butir ketiga di atas, ada
suatu pertanyaan yang mengemuka, apakah korupsi politik menjadi
sesuatu yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari korupsi lainnya,
khususnya korupsi korporasi serta juga punya hubungan dengan
kepentingan politik. Pada kenyataan lainnya, ada banyak ditemukan
fakta, korupsi juga dilakukan oleh kalangan parlemen yang kerap
disebut sebagai politisi, dan korupsi juga dilakukan bersama birokrasi
dan korporasi. Itu sebabnya menarik untuk dikaji, adakah pengaruh
politik tertentu yang menyebabkan pihak lain menyalahgunakan
kewenangan atau perbuatan melawan hukum.
Secara umum, tidak ada satu pun penjelasan normatif yang
tersebut dan disediakan oleh suatu peraturan perundangan yang
dapat menjelaskan pengertian korupsi politik. Artidjo Alkostar,
Hakim di Mahkamah Agung, mencoba melakukan “ijtihad hukum”
dengan merumuskan korupsi politik melalui berbagai pertimbangan
hukum di dalam kasus-kasus yang diputuskannya, khususnya pada
kasus-kasus korupsi diajukan kasasi ke Mahkamh Agung.
Misalnya saja, di dalam kasus Rina Iriani Sri Ratnaningsih,
mantan Bupati Karanganyar, dihukum lebih tinggi dari tuntutan
Penuntut Umum. Salah satu alasan dalam pertimbangan hukum yang
dirumuskan oleh Majelis Hukum Kasasi menyatakan, korupsi yang
dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya, sebagiannya,
dialirkan untuk kegiatan politik. Tindakan sedemikian oleh Majelis
Hakim MA dikualifikasi sebagai tindakan korupsi politik.
Begitupun, pada kasus Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden
PKS, Hakim Agung Artidjo, memperberat hukuman Luthfi menjadi
18 tahun penjara. Dalam putusan ini, Artidjo membangun konstruksi
hukum yang dirumuskan di dalam pertimbangan putusan berkaitan
dengan suatu tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai “korupsi
politik”. Korupsi politik dimaknai sebagai suatu perbuatan yang
dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi
kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan.
Di dalam Putusan Anas Urbaningrum yang dituduh dengan
dakwaan berlapis, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya
dinyatakan, apa yang dilakukan oleh Anas untuk memperkaya dirinya
dan orang lain, tidak hanya disebut sebagai tindak pidana korupsi
saja. Perbuatan Anas yang menggunakan uang hasil kejahatannya,
sebagai bagian dari upaya sadar dan sengaja untuk mencapai obsesi
politiknya melalui berbagai upaya “politik” oleh Mahkamah Agung

34 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

dinyatakan dan dikualifikasi sebagai tindakan yang disebut dengan


korupsi politik juga.
Berdasarkan uraian di atas, ada hipotesis yang hendak
dikemukakan, yaitu: pertama, ada penyalahgunaan kewenangan yang
dilakukan oleh penyelenggara negara; kedua, tindakan itu, sedari
awal, dapat ditunjukkan dengan menggunakan “pengaruh” yang
dimilikinya yang dapat saja terjadi kombinasi antara penyelenggara
negara dan pejabat publik (kasus Anas dan kasus Luthfi Hasan);
ketiga, sebagian uang dari hasil kejahatan itu dilakukan untuk
kegiatan yang dikatagorisir sebagai aktivitas politik (kasus Iriana);
keempat, adanya niat yang diwujudkan dalam bentuk tindakan atau
perbuatan tertentu yang dikualifikasi sebagai suatu “kepentingan
politik”; kelima, interpretasi terhadap pengertian politik, aktivitas
politik dan kepentingan, ditafsirkan secara eksesif di dalam berbagai
pertimbangan hukum di atas.
Untuk mengonfirmasi hipotesisi di atas, dapat dilihat pada
salah satu argumen pertimbangan hukum MA dalam kasus
Anas. Pada pertimbangan hukum dimaksud dikemukakan
bahwa tindakan yang dilakukannya Anas itu berkaitan dengan
kepentingannya untuk “merebut” jabatan politik tertentu. Lebih
lanjut pertimbangan dimaksud menyatakan sebagai berikut:

“...Bahwa putusan Judex Facti bersifat kontradiktif, karena dalam


pertimbangannya telah menyebutkan bahwa Terdakwa melakukan
lobi-lobi proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBN adalah
untuk kepentingan dirinya mencapai cita-citanya menjadi Ketua
Umum Partai Demokrat dan calon Presiden. Hal tersebut secara
yuridis memenuhi kualifikasi unsur hadiah dan janji yang patut
diketahui dan patut diduga diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan dan tidak melakukan semata dalam jabatannya seperti
tertuang dalam unsur-unsur Pasal 12a Undang Undang No. 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20
Tahun 2001;...”

Ada hal yang menarik, di dalam kasus korupsi politik sesuai


hipotesis di atas, ada peran korporasi yang dijadikan sarana dan
prasarana kejahatan. Korporasi dipakai sebagai alat dan digunakan
untuk melakukan kejahatan korupsi, pada pelaksanaannya, bersekutu
dan bersimbiose dengan penggunaan kewenangan “politik” tertentu

35
yang kemudian disebut sebagai korupsi politik. Pada ujungnya,
kesemuanya itu dapat ditujukan untuk “kepentingan” politik tertentu.
Di dalam kasus Anas, ada perusahaan yang kemudian dikenal
bernama Permai Group, suatu badan usaha yang diindikasikan,
baik secara langsung dan tidak langsung digunakan untuk menjadi
instrumen dalam melakukan kejahatan bersama-sama dengan
Nazaruddin dan kawan lainnya. Pada kasus dimaksud dengan uraian
dakwaan serta petimbangan hukum atas kasus di atas, kelak dapat
dilihat, sejauh mana relasi dan integrasi kepentingan diantara korupsi
korporasi dan korupsi politik.
Hal tersebut di atas menjadi penting untuk dilakukan pengkajian,
selama ini, korupsi korporasi seolah menjadi bagian terpisahkan yang
tidak ada kaitannya dengan korupsi politik. Padahal, relasi diantara
keduanya terjadi begitu faktual serta menyebabkan kejahatan menjadi
canggih dan kompleks serta kian memiliki kekuatan yang kian sulit
untuk “dikendalikan” oleh sebagian penegak hukum yang belum
sepenuhnya independen sehingga kasus-kasus tersebut potensial
tidak sepenuhnya dapat diperiksa dan dikontestasi secara fair trial.

Pendeknya, kini, korupsi tidak hanya dapat dikualifikasi sebagai


kejahatan terorganisir yang bersifat transnasional saja tetapi juga
kejahatannya potensial dilakukan secara solid dan terintegrasi antara
kepentingan korporasi, birokrasi dan politisi sehingga terjadilah suatu
kejahatan korupsi terorganisir di sektor korporasi yang berkelindan
dengan suatu kejahatan yang dikualifikasi sebagai korupsi politik.
Ada intensi, cukup banyaknya fakta yang memperlihatkan, kasus
korupsi mempunyai hubungan segitiga diantara pihak korporasi,
politisi dan birokrasi. Pada situasi seperti ini, sebagian lembaga
penegakan hukum yang tidak independen, potensial berada di dalam
“bayangan” kepentingan kekuasaan dan pada situasi seperti itu,
lembaga penegakan hukum yang belum sepenuhnya independen akan
kesulitan menjalankan fungsi dan kewenangannya secara akuntabel
serta berpihak sepenuh-penuhnya pada kepentingan kepastian,
kemaslahatan dan keadilan.
Yang agak mengerikan dan sangat menguatirkan, kini, ada
diskursus yang terus menerus muncul, yaitu: terjadinya politik kartel
dan kian solidnya kekuasan oligarki yang mempunyai kekuatan untuk
mengkooptasi kekuasaan. Bahkan, ada sinyalemen yang kian terang
benderang yang menunjukkan dengan sangat jelas, politik kartel

36 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

dan kekuasatan oligarki ini telah mulai bekerja secara sistematis


dan terstruktur di dalam sistem kekuasaan dan disebagiannya telah
“menguasai” kepentingan kekuasaan sehingga tidak lagi berpihak
pada kepentingan kemaslahatan publik.

METODE KAJIAN
Di dalam melakukan kajian digunakan 3 (tiga) sumber utama,
yaitu: pertama, peraturan perundangan yang berkaitan dengan
kajian; kedua, informasi berupa berita yang dikemukakan oleh
media yang dapat diakses. Bisa saja terjadi, pernyataan dari berbagai
Pimpinan lembaga yang dikutip media dan berkaitan dengan maksud
pengkajian, dijadikan bahan rujukan penulisan; dan ketiga, putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
karena sudah diputus oleh Mahkamah Agung.
Berpijak pada ketiga sumber utama di atas maka dilakukan
kajian dan pembahasan dengan merujuk pada maksud kajian dan
penulisan. Ada asumsi yang didasarkan atas suatu fakta yang telah
dan tengah terjadi. Di satu sisi, modus operandi korupsi terus
berkembang melebihi kemampuan pemahaman yang diketahui
kebanyakan kalangan. Adakalanya, perkembangan itu jauh melebihi
lingkup peraturan perundangan yang ada. Di sisi lainnya, aparatur
penegakan hukum mempunyai keterbatasan untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya karena perkembangan kejahatan yang bisa
terjadi beyond the law.
Untuk itu diperlukan kajian yang ditujukan untuk melihat lebih
teliti tingkat perkembangan kejahatan, mengabstraksi kajian untuk
membangun diskursus pada level publik agar kesenjangan antara
perkembangan kejahatan dengan peraturan perundangan dapat
terus dikendalikan agar tidak terjadi “gap” yang terlalu lebar sehingga
meniadakan kepastian hukum. Selain itu, kajian juga penting
dilakukan agar menjaga prioritas perhatian dari aparat penegak
hukum untuk terus menerus “berpihak dan mengelola” kepentingan
kemaslahatan publik sepenuh-penuhnya.
Kajian ini juga dapat digunakan dan sekaligus ditujukan untuk
mengkonstruksi suatu gagasan dalam bentuk yang lebih solid yang
kelak dapat dipakai untuk membangun diskursus di level masyarakat.
Selain itu, kajian ini juga potensial digunakan untuk menginisiasi
gagasan dan memperdebatkannya, atau kajian awal yang kelak akan

37
disempurnakan guna mendorong percepatan perubahan berbagai
peraturan perundangan agar ketentuan perundangan dimaksud
senantiasa kompatibel dengan berbagai perkembangan kejahatan
serta dapat digunakan secara efektif untuk mengendalikan kejahatan
tersebut.

FAKTA PERKEMBANGAN KORUPSI DAN


PEMBAHASAN
Ada pernyataan yang sangat menarik yang dikemukakan oleh
Ketua KPK. Pernyataan tersebut menyatakan, ternyata, 90% kasus
korupsi yang ditangani KPK turut melibatkan sejumlah korporasi,
baik sebagai pelaku kejahatan, orang yang bersama-sama melakukan
kejahatan maupun pihak yang membantu memberi sarana dan
prasarana kejahatan. Modusnya, antara lain, berbentuk penyuapan
untuk mendapatkan sejumlah proyek negara atau memengaruhi
kebijakan.
KPK juga mengemukakan suatu data yang menyatakan, sejak
tahun 2004 hingga Juni 2016, kasus terbanyak yang ditangani KPK
adalah kasus penyuapan, yakni sebesar 50,9%. Ada sekitar 28,7%
di antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa, serta 8,5%
merupakan kasus penyalahgunaan anggaran. Fakta lainnya, kasus
korupsi yang berkaitan dengan korporasi yang ditangani KPK baru
sebatas pribadi atau perorangan tetapi KPK belum pernah menjadikan
perusahaan atau korporasi sebagai tersangka kasus korupsi.
Pada belakangan ini, ada satu kasus yang mendapatkan
perhatian publik. Kasus dimaksud tengah ditangani KPK, yaitu:
kasus suap yang berkaitan dengan pembahasan Perda Reklamasi
Jakarta. Kasus itu melibatkan Presiden Direktur Agung Podomoro
Land, Ariesman Widjaja yang diduga keras melakukan tindak
penyuapan terhadap anggota DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.
Dana penyuapan sebesar Rp.2 miliar, diduga, ditujukan untuk
kepentingan Agung Podomoro terkait reklamasi atas pulau di sebelah
utara Jakarta.
Kedua kasus di atas tengah diperiksa oleh Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta. Salah satu hal yang membuat kasus ini
menjadi sangat menarik, kasus ini menyangkut investasi dalam
jumlah triliunan rupiah serta juga keuntungan atas investasi sangat
fantastis karena bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Penyuapan

38 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

hanya sebesar Rp.2 miliar adalah suatu jumlah yang nilainya bak
serpihan pasir belaka bila dibandingkan dengan keuntungan investasi
yang dihasilkan pengembang.
Ada kekuatiran yang sangat mendalam dan masuk akal. Jika
jumlah keuntungan atas proyek itu begitu fantastis hingga mencapai
puluhan triuliun rupiah, bukan hal yang tidak mungkin bila dana
tersebut sebagiannya “digelontorkan” sebagai “pelumas” untuk
menjustifikasi proyek. Tindakan ini kerap disebut juga sebagai biaya
rente ekonomi-politik yang perlu “dilunasi” agar dapat legitimasi
kekuasaan. Bila hal dimaksud dilakukan, diduga, kekuasaan potensial
akan terbeli dan tidak akan mampu mengendalikan wibawa dan
kehormatannya dibawah kapital dan komoditifikasi kepentingan.
Selain itu, kasus ini juga menjadi sangat menarik karena masih
ada banyak hal belum terungkap termasuk dalam kaitannya dengan
kepentingan korporasi untuk kemudian ditarik relasinya dengan
korupsi politik. Misalnya saja, apakah Ariesman Widjaja dalam
kapasitas sebagai Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land
bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri? Bukankah Ariesman
hanya salah satu direktur saja yang sesungguhnya menjalankan
kepentingan dari kebijakan korpotasi atau bahkan kepentingan
dari owner korporasi? Ada begitu banyak korporasi yang punya
kepentingan atas persoalan pasal yang berkaitan dengan tambahan
kontribusi sebesar 15% bagi pemilik izin reklamasi, apakah hanya
satu korporasi saja yang terlibat atas kepentingan yang melibatkan
begitu banyak korporasi lainnya.
Pada konteks politik, apakah kepentingan kapital untuk
“menundukkan dan menguasai” parlemen, dilakukan hanya dengan
menyuap seorang Sanusi saja? Padahal ada begitu banyak pertemuan
lain yang melibatkan cukup banyak pimpinan parlemen daerah dan
alat kelengkapan dewan di dalam pembahasan draf peraturan daerah,
khususnya yang menyangkut kontribusi tambahan 15% tersebut. Lalu,
kenapa hanya Sanusi saja yang bertanggungjawab atas persoalan
yang begitu besar. Semoga saja, kasus Sanusi dijadikan pintu masuk
untuk membongkar potensi penyuapan yang lebih struktural.
Begitupun dalam kaitannya dengan birokrasi, juga muncul banyak
pertanyaan lainnya. Seperti misalnya, ada pembicaraan antara
pimpinan birokrasi dengan pemilik korporasi. Bahkan, pemilik
korporasi juga melakukan berbagai pertemuan, baik dengan politisi
yang mewakili kekuasaan di parlemen maupun dengan kalangan

39
birokrasi lainnya, termasuk Basuki TP sebagai Kepala Daerah DKI
Jakarta. Diduga, sebagian besar pertemuan dimaksud memuat
pembicaraan yang berkaitan soal reklamasi.
Lihat saja keterangan Sugianto Kusuma yang kerap dipanggil
dengan nama Aguan, di muka persidangan di awal September 2016,
mengemukakan pertemuannya dengan kepala pemerintahan DKI “…
2013 pertama datang untuk silaturahmi Pak Wagub, … sebetulnya saya
kenal dia sudah cukup lama ... Kalau ketemu yang bukan resmi sudah
sering ... Waktu di Pantai Mutiara waktu Pak Ahok wagub minta ada
tambahan kontribusi ... Dari pihak Pemprov yang mengumpulkan di
Pantai Mutiara, yang datang dari Intiland, Agung Podomoro, Ancol
dan saya … karena pemerintah daerah mau bangun rusun, jadi perlu
banyak dana maupun tanah …”.
Ternyata, Aguan juga bertemu pimpinan DPRD Jakarta untuk
membahas rancangan aturan pulau reklamasi pada awal Desember
2015. Pada suatu media dikemukakan, Aguan memanggil Ketua
DPRD Prasetyo Edi Marsudi, Wakil Ketua Mohamad Taufik, anggota
Badan Legislasi Ongen Sangaji, dan Ketua Panitia Khusus Reklamasi
Selamat Nurdin, diperantarai Mohamad Sanusi yang menjadi
tersangka suap Rp 2 miliar. Mereka membahas kemungkinan
menurunkan kontribusi tambahan dari 15 menjadi 5%, Aguan
keberatan karena 15 persen setara Rp 11,8 triliun. Media dimaksud
menyatakan Ongen Sangaji membenarkan pertemuan tersebut. “…
Pertemuan itu ada, saya sudah jelaskan ke KPK …”.
Pada kasus Jakabaring dan Hambalang juga terjadi hal serupa,
seperti yang sudah di kemukakan di atas. Pada kasus Jakabaring dan
Hambalang, bertemulah tiga kepentingan besar, yaitu para politisi
yang punya akses pada parlemen dan juga pemerintahan untuk
menentukan suatu proyek tertentu, korporasi yang mencari akses
untuk mendapatkan proyek pembangunan dari kementerian dengan
menggunakan dana APBN dan pihak birokrasi yang biasa ditunjuk
mewakili kepentingan kementerian dalam mengurus proyek.
Pertama kali, kasus suap Jakabaring terungkap melalui Operasi
Tangkap Tangan (OTT) KPK tanggal 21 April 2011. Ada tiga lembar
cek, yaitu: 2 (dua) lembar dari Bank BCA dan satu lembar dari
Bank Mega senilai Rp. 3.289.850.000 digunakan sebagai sarana
penyuapan yang berkaitan dengan proyek pembangunan Wisma
Atlet Jakabaring di Sumatera Selatan. Proyek ini dibiayai APBN
melalui Daftar Isian Pembangunan Anggaran (DIPA) 2010, berupa

40 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

block grant dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora)


ke Pemerintah Daerah Sumatera Selatan.
Di dalam kasus di atas, Muhammad Nazaruddin juga
diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan dinyatakan
bersalah. Mahkamah Agung memutuskan untuk memeriksa dan
mengadili sendiri kasus dimaksud. Salah satu pertimbangan
hukum yang menjadi dasar untuk Mahkamah Agung menyatakan
telah terpenuhinya tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Bahwa perbuatan Terdakwa selaku Penyelenggara Negara yaitu


Anggota DPR R.I secara aktif melakukan pertemuan-pertemuan
dengan beberapa orang dari Anggota Komisi X DPR R.I yaitu
Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Koordinator di Badan
Anggaran DPR R.I dari Komisi X), Mahyudin (Ketua Komisi X
DPR R.I);
b. Bahwa Terdakwa juga aktif mengadakan pertemuan dengan
Wafid Muharam (Sesmenpora) dan Andi Malarangeng (Menteri
Pemuda dan Olah Raga) yang bertujuan mengatur agar anggaran
Proyek Pembangunan Wisma Atlet di Jakabaring, Sumatera
Selatan disetujui oleh Badan Anggaran DPR R.I;
c. Bahwa Terdakwa juga aktif melakukan pertemuan dengan
Dudung Purwadi dan Mohamad El Idris selaku Direktur Utama
dan Direktur Marketing PT. DGI Tbk. dan mengupayakan PT. DGI
Tbk. menjadi pelaksana pekerjaan proyek Pembangunan Wisma
Atlet Jakabaring. Dari upaya aktif tersebut, Terdakwa meminta
komitmen fee kepada Mohamad El Idris Direktur Marketing PT.
DGI Tbk.;

Pada kasus di atas, ada tiga peran strategis yang dilakukan


terdakwa. Dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen, terdakwa
“menggalang” para koleganya sendiri di parlemen untuk menyetujui
kebijakan penganggaran bagi kementerian tertentu. Selain itu,
terdakwa juga bertemu dan berkomunikasi dengan kementerian
yang memiliki pos anggaran atas proyek tertentu yang dananya
sudah disetujui parlemen; dan juga, terdakwa berkordinasi dengan
penguasa yang korporasinya akan digunakan untuk melaksanakan
proyek pembangunan.
Bila dipelajari dengan sangat cermat, kasus ini bermula dari hanya
dari 3 (tiga) orang tidak dikenal banyak dikenal publik (Mindo Rosalina

41
Manulang, Mohamad El Idris dan Wafid Muharam). Kemudian,
kasus ini berkembang dan ternyata melibatkan Nazaruddin. Pada
akhirnya, juga menyeret berbagai figur yang sudah begitu dikenal
publik sehingga menjadi 11 (sebelas) kasus lainnya berhasil dibawa
ke pengadilan oleh KPK.
Adapun kasus-kasus yang ada kaitannya dengan korporasinya
Nazaruddin, yaitu antara lain: kasus Anas Urbaningrum. Putusan
Mahkamah Agung di dalam salah satu pertimbangannya menyatakan
hal-hal sebagai berikut:

Bahwa Permai Group adalah salah satu tempat bisnis Terdakwa


menerima fee di samping yang lainnya. Dalam Permai Group,
Terdakwa sebagai owner (Pemilik) yang dikelola oleh Mindo Rosalina
Manulang dan Yulianus serta M. Nazaruddin sebagai Bendahara.
Uang tidak bisa keluar tanpa persetujuan Terdakwa;
Bahwa perbuatan Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan
dititipkannya PT. Adhi Karya memperoleh Proyek Hambalang dan
persiapan Terdakwa untuk menjadi Calon Ketua Umum Partai
Demokrat;
Bahwa Yulianis berangkat ke Kongres Partai Demokrat di
Bandung dengan membawa uang sejumlah USD 7,000,000 yang
hampir semuanya bersumber dari Permai Group, uang tersebut
untuk dibagikan kepada DPC-DPC;
Bahwa pembelian tanah di Jogyakarta mempunyai hubungan
kausal dengan sisa uang dari fee-fee proyek yang berasal dari APBN
sehingga Terdakwa melakukan tindakan menyamarkan uang dari fee-
fee proyek Hambalang/APBN sebagaimana terungkap dalam fakta
hukum di persidangan yang disampaikan oleh saksi Yulianis dan
M. Nazaruddin sehingga perbuatan Terdakwa merupakan tindakan
pencucian uang;
Bahwa perbuatan Terdakwa merupakan korupsi politik.
Rangkaian perbuatan Terdakwa secara berlanjut memenuhi unsur-
unsur Pasal 12a Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo
Pasal 64 KUHP sebagaimana dakwaan pertama dan Pasal 3 Undang
Undang No. 8 Tahun 2010 Jo Pasal 65 ayat (1) (dakwaan kedua) dan
Pasal 3 ayat (1) Undang Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang No. 25 Tahun 2003;

42 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

Adapun pihak lainnya yang terlibat dengan perusahaan Nazaruddin,


yaitu antara lain: Angelina Sondakh dan Andi Malarangeng. Mereka
adalah politisi dari partai yang sama yang kebetulan menjadi partainya
penguasa dan kasusnya sudah diadili. Selain itu, ada nama beken dari
partai lainnya, sepert: Olly Dondokambey dan I Wayan Koster yang
belum jelas penanganannya yang diduga terlibat bersama Angelina.
Di berbagai kesempatan lainnya, Nazaruddin mulai dan acapkali
menyebut berbagai pihak lainnya, seperti: Setya Novanto, Marwan
Jafar, Ganjar Pranowo, Abdul Kadir Karding, Azis Syamsudin, Mirwan
Amir, termasuk Ibas dan Gamawan Fawzi. Menurut Nazaruddin,
mereka dinyatakannya sebagai pihak yang diduga punya keterlibatan
dengan kasus-kasus lainnya, seperti antara lain: kasus E-KTP dan
kasus lainnya.
Sementara itu, ada kasus lainnya, yaitu: Rina Iriani Sri
Ratnaningsih, mantan Bupati Karanganyar 2003-2013 yang
tersangkut kasus korupsi dengan modus menyalahgunakan anggaran
subsidi perumahan dari Kementerian Perumahan Rakyat Tahun
Anggaran 2007-2008 untuk proyek perumahan Griya Lawu Asri
(GLA).
Pengadilan Negeri Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman
enam tahun penjara ke Rina. Putusan ini dikabulkan pda 29 April
2015. Tapi di tingkat kasasi, Hakim Agung Artidjo Alkostar, bersama
MS Lumme dan Krisna Harahap memperberat hukuman Rina
menjadi 12 (dua belas) tahun penjara atau 2 (dua) tahun di atas
tuntutan jaksa.
Pada putusan itu, Hakim Agung Artidjo menyatakan dan
merumuskan bahwa tindakan Rina dikualifikasi sebagai korupsi
politik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang
hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Lebih lanjut
dikemukakan “… Terdakwa mempergunakan sebagian uang hasil
korupsi sebesar Rp 2,4 miliar untuk kepentingan pribadi, yaitu
dibagikan kepada pengurus politik pendukung terdakwa dalam
rangka Pilkada 2008 sehingga perbuatan terdakwa merupakan
korupsi politik …”.
Berkaitan dengan tindak kejahatan yang dikualifikasi sebagai
‘korupsi politik’, Hakim Agung Artidjo juga menyatakan, mantan
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq LHI telah melakukan kejahatan
‘korupsi politik’, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan pejabat
publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu

43
digunakan sebagai alat kejahatan sehingga memperberat hukuman
Luthfi menjadi 18 (delapan belas) tahun penjara.
Dalam putusan tersebut dikemukakan “… Hubungan
transaksional antara terdakwa yang anggota badan kekuasaan
legislatif dengan Maria Elizabeth Liman, pengusaha impor
daging sapi, merupakan korupsi politik karena dilakukan
terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik
sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crimes) …”. 
Berdasarkan seluruh hal yang diuraikan seperti tersebut di atas maka
dapat dikemukakan 3 (tiga) hal penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, tindakan yang dilakukan berbagai pihak, seperti:
Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Rani Iriani dan Luthfi
Hasan Ishaaq telah dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi dan
keputusannya telah tetap menurut hukum karena sudah diputuskan
oleh Mahkamah Agung.
Ada pihak lainnya yang belum diperiksa di pengadilan tetapi di
dalam dakwaan sudah disebutkan dan tindakan kejahatan dilakukan
secara bersama-sama maka kepada mereka telah layak untuk
dikualifikasi melakukan tindakan yang disebut koruptif. Ada juga
kasus dari Ariesman Widjaja dan Mohamad Sanusi yang proses
hukumnya di pengadilan sedang dilakukan tetapi belum selesai.
Karena pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, berasal
dari bahasa latin yaitu “corruptio atau corruptus” atau dari kata asal
“corrumpere“, yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua
dan turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi; serta dipadankan
dengan pengertian yang dirumuskan The Lexicon Webster Dictionary,
maka tindakan koruptif adalah tindakan yang bersifat kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah.
Para pihak yang sudah disebutkan di dalam dakwaan, rumusan
dakwaannya telah diuji di muka pengadilan dan para pihak itu
dinyatakan telah menerima sesuatu yang bertentangan dengan
perundangan, kewajiban hukum serta kepatutan, para pihak tersebut
sudah dapat dikualifikasi telah melakukan suatu tindakan yang
dikualifikasi sebagai perbuatan korupsi.
Kedua, tindakan subyek hukum tersebut di dalam poin pertama
dilakukan oleh para pihak yang menjadi bagian dan punya relasi
dengan politik dalam berbagai aspeknya. Salah satunya, korupsi

44 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

tersebut dilakukan pejabat publik yang juga politisi dan sebagian uang
hasil kejahatannya digunakan untuk kegiatan politik. Pada konteks
itu, mereka menggunakan korporasi sebagai sarana dan prasarana
kejahatan.
Pendeknya, tindakan sebagian para pihak seperti tersebut di
dalam butir pertama, juga berkaitan dengan korporasi, baik langsung
maupun tidak langsung. Misalnya Permai Group, perusahaan
itu secara faktual dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana
kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Lebih
dari itu, perusahaan dimaksud juga melakukan tindakan lain yang
merupakan bagian dari kejahatan lainnya dengan menggunakan
uang yang didapatkan dari hasil kejahatan.
Ketiga, ada fakta kongkrit yang tidak terbantahkan, korporasi yang
dijadikan dan menjadi sarana serta prasarana kejahatan dimaksud,
secara hukum, tidak pernah dinyatakan sebagai perusahaan pelaku
kejahatan tindak pidana korupsi. Selama ini, di dalam pratik
penegakan hukum di Indonesia, sebagian besar kejahatan korupsi,
pihak atau subyek hukum yang dibawa dan diperiksa serta dihukum
pengadilan hanyalah pelaku yang mewakili korporasi atau sebagian
pemiliknya saja.
Ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 1, Angka 3 UU No. 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dimana ada frasa kata
“setiap orang” yang artinya, setiap orang adalah orang perseorangan
dan juga termasuk korporasi belum diefektifkan dan diaktifkan secara
paripurna. Oleh karena itu, perusahaan Permai Group, PT Agung
Podomoro Land, PT. Adhi Karya, PT DGI, Dutasari Citra Laras, PT.
Indoguna Utama dan perusahaan lainnya yang terlibat di dalam
tindak pidana korupsi masih terus dapat bekerja dan beroperasi
kendati secara faktual telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
tindak pidana korupsi yang dilakukan para pemiliknya.
Fakta ini hendak menegaskan, sebagian besar pelaku kejahatan,
maksudnya, korporasi yang terlibat maupun menjadi bagian dari
kejahatan belum disentuh dan ditarik menjadi pihak yang juga harus
mempertanggungjawabkan tindakannya. Pemerintahan melalui
lembaga dan aparatur penegakan hukumnya telah melakukan
pembiaran dengan sangat sempurna atas kejahatan yang dilakukan
oleh korporasi.
Itu sebabnya, KPK harus didorong untuk segera mengaktualisasikan
komitmennya dan kehendak kuatnya untuk membawa kasus

45
korporasi, khususnya, korporasi yang diduga terlibat melakukan
tindak pidana korupsi ke depan persidangan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
Fakta bahwa korporasi belum dibawa ke pengadilan dapat dimaknai
sebagai tindak pembiaran. Di KPK ada sekitar 90% kasus korupsi
yang ditanganinya berkaitan dan turut melibatkan korporasi. Oleh
Karena itu, KPK harus didorong untuk sesegera mungkin menanganai
penyuapan yang dilakukan korporasi untuk mendapatkan sejumlah
proyek negara atau memengaruhi kebijakan. Itu juga artinya, dugaan
kasus penyuapan yang dilakukan korporasi, yakni sebesar 50,9%,
serta 28,7% di antaranya adalah kasus Pengadaan Barang dan Jasa,
dan 8,5% kasus penyalahgunaan anggaran.
Salah seorang Hakim Agung, Surya Jaya dalam diskusi bertajuk
“Pertanggungjawaban dan Pemidanaan Korporasi dalam Perkara
Tipikor” menuyatakan “… korporasi seringkali digunakan sebagai
sarana untuk melakukan tindak pidana, bahkan sampai dijadikan
tameng untuk melindungi hasil kejahatan yang dilakukan seorang
pengurus korporasi. Hampir setiap perkara korupsi yang dilakukan
seseorang atas nama perusahaan bertujuan untuk memperkaya
dirinya sendiri …”.
Korupsi korporasi sudah menjadi perhatian dari komunitas
internasional. Setidaknya hal ini dapat dilacak dari aturan yang
dikemukakan secara eksplisit di dalam Pasal UNCAC Tahun 2013
yang menyatakan “… Each State Party shall take measures, in
accordance with the fundamental principles of its domestic law, to
prevent corruption involving the private sector, enhance accounting
and auditing standards in the private sector and, where appropriate,
provide effective, proportionate and dissuasive civil, administrative
or criminal penalties for failure to comply with such measures …”.
Di dalam pasal di atas, negara diwajibkan untuk mengambil
tindakan untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta
dan bahkan diminta memberikan sanksi, baik perdata, administratif
atau pidana yang efektif. Di bagian pasal lainnya, juga diatur, tindak
pidana korupsi oleh korporasi, yaitu: penyuapan di sektor swasta dan
penggelapan kekayaan di sektor swasta.
Di dalam kriminologi kejahatan, semula dikenal kejahatan
korporasi, baik yang dilakukan pihak yang mewakili atau menjadi
manajer di perusahaan maupun perusahaan itu sendiri. Di beberapa
referensi dikemukakan “… corporate crime refers to crimes

46 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

committed either by a corporation (i.e., a business entity having a


separate legal personality from the natural persons that manage
its activities), or by individuals acting on behalf of a corporation or
other business entity …”.
Selain itu, di berbagai ketentuan, terjadi apa disebut sebagai
overlaps antara kejahatan korporasi dengan white-collar crime,
organize crime maupun state corporate crime. Sebenarnya, di sisi
lainnya, juga tidak bisa disebut sebagai tumpang tindih karena di
dalam kejahatan korporasi juga dapat terdapat sifat dan karakter
yang berkaitan dengan white-collar crime, organize crime maupun
state corporate crime.
Hal ini disebabkan, sebagian besar pelaku kejahatan di korporasi
adalah kalangan profesional yang memang memiliki kemampuan
mengorganisasikan kejahatan lebih baik dan canggih ketimbang
kejahatan yang dilakukan penjahat biasa, misalnya: melalui pencucian
uang. Hal serupa juga dengan state-corporate crime karena di
dalam banyak kasus, kejahatan terjadi karena adanya kerjasama
penyelenggara negara dengan pejabat korporasi yang disebutkan “…
in many contexts, the opportunity to commit crime emerges from the
relationship between the corporation and the state ...”.
Bahkan ada pernyataan yang provokatif yang menyatakan “…
there is evidence that the private sector has as much responsibility
in generating corruption as the public sector … particular situations
such as state capture can be very damaging for the economy …”.
Pada situasi seperti itu, indikasi bekerja kekuatan oligarki menjadi
menarik untuk diperhatikan.
Di Amerika dan Inggris, kejahatan korporasi, termasuk di
dalamnya korupsi di korporasi menjadi salah satu fokus utama yang
sangat diperhatikan. Oleh karena itu, ada aturan yang sangat ketat
yang mengatur hal dimaksud, khususnya pada berbagai perusahaan
besar yang operasinya mencakup level internasional. Perusahaan
dimaksud, diwajibkan untuk mencari partner bisnis yang juga
memperhatikan hal yang berkaitan dengan etik dan perilaku anti
bribery. Hal tersebut dikemukakan oleh Sullivan (John D Sullivan,
2011, 2) dengan menyatakan:
In fact, legislation such as the U.S. Foreign Corrupt Practices Act
(FCPA) or the United Kingdom Bribery Act places legal responsibility
on large companies for the behavior of their suppliers and distributors
in global value chains. Enforcement of these laws is creating pressure

47
for companies to seek overseas business partners who share their
commitment to anti-corruption. It also removes deniability of
wrongdoing at the C-suite level when a local agent or supplier pays
a bribe. Therefore, internal compliance becomes a key element of the
board’s approach to risk management.
Apa yang dikemukakan di atas tidaklah berlebihan bila dilihat
berbagai fakta kejahatan yang melibatkan korporasi di berbagai
negara tersebut. Daftar di bawah ini menjelaskan kejahatan korporasi
yang dilakukan di Amerika yang ditangani dengan menggunakan
FCPA di dalam pemerintahan Obama (Merrill, 2011, The Ten Largest
Global Business Corruption Cases), yaitu sebagai berikut:

DATE COMPANY (HQ COUNTRY) DOJ SETTLE- CHARGE


MENT AMOUNT
12/15/2008 Siemens (Germany) $1.6 billion Bribed Argentine government officials to
win government i.d. contract

2/11/2009 KBR/Halliburton (U.S.) $579 million Led four-company global consortium


that bribed Nigerian officials to win
construction contracts
2/5/2010 BAE Systems (U.S.) $448 million Paid $2 billion in bribes to Saudi Arabian
ambassador Bandar bin Sultan in a multi-
billion-dollar arms deal
7/7/2010 Snamprogetti (Netherlands) $240 million Bribed Nigerian officials to win
construction contracts

6/28/2010 Technip S.A. (France) $240 million Bribed Nigerian officials to win
construction contracts
4/6/2011 JGC Corp. (Japan) $219 million Bribed Nigerian officials to win
construction contracts

4/1/2010 Daimler AG (Germany) $195 million Made illegal payments to foreign officials
worth tens of millions of dollars in at
least 22 countries
3/10/2011 Alcatel-Lucent (France) $137 million Bribed officials to win
telecommunications contracts in Costa
Rica, Honduras, Taiwan, Malaysia and
other countries
11/4/2010 Panalpina World Transport $76 million Oil transport company and U.S. affiliate
(Switzerland) paid thousands of bribes totaling at
least $27 million to foreign officials in at
least seven countries, including Angola,
Azerbaijan, Brazil, Kazakhstan, Nigeria,
Russia and Turkmenistan
4/8/2011 Johnson & Johnson (U.S.) $70 million Bribed government-paid doctors and
health officials to promote sales of
medical devices in Greece, Poland and
Romania

Bilamana data di atas dikaitkan dengan informasi lainnya,

48 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

berkaitan dengan indikasi adanya korupsi di dalam sistem keuangan


di Amerika maka akan ditemukan hal menarik. Merrill menuliskannya
sebagai berikut “… if you ask most Americans, they will agree that
the financial system is corrupt. It is generally assumed that just like
most politicians, most big bankers are corrupt by nature …”.
Dengan demikian, kejahatan korporasi bukanlah sesuatu yang
khas Indonesia tapi juga terjadi di berbagai negara lainnya. Pada
kejahatan itu, ditemukan relasi indikasi korupsi yang dilakukan
politisi dan pengusaha di dalam kejahatan korporasi. Itu sebabnya,
ada ketentuan hukum yang tegas dengan sanksi yang sangat keras
seperti diatur di US Foreign Corrupt Practice Act maupun United
Kingdom Bribery Act sebagai salah satu strategi untuk memberantas
korupsi.
Berkaitan dengan korupsi politik, Blechinger (Corruption and
Political Parties 2002, ) menyebutkan ada 3 (tiga) jenis korupsi yang
berkaitan dengan politik, yaitu korupsi yang dilakukan: pertama,
partai politik sebagai salah satu aktor kunci; kedua, korupsi yang
berkaitan dengan proses dan sistem pemilihan umum; dan ketiga,
korupsi yang terjadi karena adanya perselingkuhan kekuasaan dan
bisnis. Yakni, adanya persekongkolan antara politisi dengan pebisnis.
Berkaitan dengan korupsi jenis ketiga di atas, Mark Philp
(Conceptualizing Political Corruption 2002, 42 & 51) menyatakan
bahwa korupsi politik “… where people break the rules, and do so
knowingly, while subverting the public interest in the search for
private gain and the benefit of a third party, in ways which runs
directly counter to the accepted standards of practices within the
political culture …”.
Lebih lanjut, Mark Philp menyatakan bahwa prasyarat untuk
dapat sebagai perbuatan korupsi politik, yaitu: pertama, dilakukan
pejabat publik; kedua, merusak kepercayaan yang diberikan
kepadanya oleh publik; ketiga, dilakukan dengan mengeksploitasi
jabatan publik untuk kepentingan pribadi, serta bertentangan dengan
regulasi dan standar etis perilaku pejabat publik dan budaya politik;
kelima, tindakannya menguntungkan pihak ketiga, salah satu caranya
dengan memfasilitasi sehingga pihak ketiga tersebut mempunyai
akses terhadap kebijakan dan kemudahan pelayanan yang tidak
diperoleh orang lain. Sekali lagi, situasi ini potensial menciptakan
peluang terbentuknya oligarki politik-bisnis.
Pada banyak kasus korupsi politik, acapkali dilakukan

49
penyalahgunaan kewenangan yang bersifat diskresi. Itu sebabnya,
tindakan tersebut biasa disebut sebagai discritionery corruption
Karena memanipulasi kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan
sehingga seolah nampaknya bersifat sah tetapi sesungguhnya tidak
legitimated. Di dalam bentuk yang sudah akut dan dilakukan secara
sistematis dan terstruktur kelompok kekuasaan maka tindak korupsi
yang terjadi biasa disebut sebagai ideological corruption yaitu suatu
jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk
mengejar tujuan kelompok dan dilakukan secara terorganisir dengan
kelompok dimaksud.

KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian di atas, ada beberapa hal penting lain
yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan korupsi korporasi dan
korupsi politik, yaitu antara lain sebagai berikut:
Pertama, korupsi korporasi dan korupsi politik acapkali berkaitan
satu dan lainnya. Bahkan, seolah ada relasi yang tak terpisahkan satu
dan lainnya. Berbagai contoh yang diajukan di dalam pembahasan di
atas menunjukan hal tersebut;
Kedua, di dalam korupsi korporasi, pelakunya bisa saja hanya
berasal dari korporasi dimaksud saja tetapi juga dapat terjadi, adanya
kerjasama diantara penyelenggara negara dengan kalangan korporasi.
Di dalam contoh lainnya, penyelenggara negara tertentu yang juga
memiliki atau sebagai pemegang saham dari suatu korporasi.
Ketiga, pada konteks di atas, pihak yang menjadi bagian dari
lembaga dan kepentingan kekuasaan dana atau kepentingan politik
tertentu memanfaatkan atau menyalahgunakan, akses dan otoritas
yang dimiliknya dengan menggunakan korporasi yang ada dalam
kendalinya atau menjadi bagian dari kepentingannya. Pendeknya,
di dalam praktiknya, para pemegang mandat kekuasaan, acapkali
menggunakan korporasi seperti telah diuraikan di atas, baik secara
langsung yang ada di bawah kendalinya atau secara tidak langsung
bekerja bersama digunakan sebagai sarana dan prasarana untuk
melakukan kejahatan.
Keempat, juga dapat terjadi, sedari awal, ada persekutuan
atau sindikasi antara tindak korupsi korporasi dan korupsi politik
yang melibatkan pihak yang memegang dan memiliki otoritas dan
kewenangan yang melekat pada jabatan politik tertentu dengan

50 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Kajian Awal Melacak Korupsi Politik di Korporasi
(Bambang Widjojanto)

pihak yang mewakili kepentingan korporasi untuk secara bersama


memanfaatkan, mengeksploitasi atau menyalahgunakan sumber
daya publik yang berasal dari keuangan negara untuk kepentingan
privat dan kelompoknya sendiri.
Kelima, kini, ada indikasi, persilangan kepentingan antara
korporasi, penyelenggara negara dan politisi dan korupsi politik
tidak menggunakan keuangan negara secara langsung sehingga sulit
dibuktikan adanya unsur kerugian keuangan negara. Pada kasus
tertentu, dana yang digunakan berasal dari korporasi dan ditujukan
untuk “membeli” otoritas yang dimiliki oleh penyelenggaraan negara.
Pada konteks ini, korporasi dengan kekuatan kapitalnya dapat
mendikte hingga menguasai kepentingannya sehingga terjadilah apa
disebut sebagai capital and corporate driven atas berbagai proyek
yang tidak ditujukan untuk kepentingan publik.
Penegak hukum mengalami kegagapan untuk dapat menangani
dan masuk di dalam kasus ini karena sifat kasusnya menjadi beyond the
law. Pada kasus ini, pemilik otoritas “menggadaikan” kewenangannya
atau memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan pemilik
kapital yang telah “membayarnya”, bisa saja secara tidak langsung.
Pendeknya, kebijakan untuk kepentingan publik telah “dibajak” oleh
kepentingan korporasi tetapi menggunakan dalih untuk dan atas
nama kepentingan rakyat dan pembangunan
Keenam, besaran dampak dan kerugian pada jenis korupsi
korporasi yang bersekutu atau berselingkuh dengan korupsi politik
bisa sangat besar sekali. Sangat mungkin terjadi, kapitalisasi dan
eksploitasi keuntungan yang dahsyat luar biasa. Secara langsung,
seolah, tidak merugikan keuangan negara tetapi sesungguhnya
kemaslahatan publik akan sangat dirugikan sekali karena corporate
driven mengejar kapitalisasi profit dan acapkali menegasikan
dan mendelegitimasi kepentingan rakyat, khususnya, rakyat kecil
kebanyakan dan kaum dhuafa.
Ketujuh, persekutuan dan perselingkuhan korupsi politik
dan korupsi korporasi kerap dilakukan dengan membangun
kebijakan tertentu yang berpihak dan mempunyai favoritism dan
menguntungkan kepentingan dari korporasi tertentu yang sudah
membiayai dan membeli otorits kekuasaan dari penyelenggaraan
negara.
Kesemuanya itu ditujukan untuk mendelegitimasi terjadinya
unsur menyalahgunakan kewenangan atau perbuatan melawan

51
hukum karena semua peraturan hukum dibuat dirancang untuk
melegitimasi penyalahgunaan. Legal tapi tidak legimated atau legal
tapi tidak berbasis pada kepentingan kemaslahatan publik.

REFERENSI
Blechinger, Verena, 2002, Corruption and Political Parties,
Presentation USAID MSI, Management Systems International
Fockema Andreae, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Bina Cipta,
1983
John D Sullivan PhD., The Role of Corporate Governance in Figthing
of Corruption, 2011
Philp, Mark, 2002, “Conceptualizing Political Corruption”, dalam
Heidenheimer, Arnold J. & Johnston, Michael (eds), Political
Corruption: A Hand Book, Third Edition, Transaction Publisher:
New Jersey
Mahkamah Agung, Putusan No. 1261 K/Pid.Sus/2015
Mahkamah Agung, Putusan No. 2223 K/Pid.Sus/20012
United Nation Convention Against Corruption Tahun 2013
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
Undang Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC 2003
http://www.thefiscaltimes.com/Articles/2011/12/13/The-Ten-
Largest-Global-Business-Corruption-Cases by Merrill Goozner,
The Fiscal Times, December 13, 2011
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/14/063762580/terkuak-
aguan-diduga-dalang-suap-reklamasi-ini-buktinya
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/30/1320464/
Korporasi.yang.Terlibat.Korupsi.Kerap.Tak.Tersentuh.Hukum
http://jateng.tribunnews.com/2016/08/11/kpk-perusahaan-bisa-
jadi-tersangka-korupsi
http://kbr.id/08-2016/ketua_kpk__akan_ada_korporasi_jadi_
tersangka_korupsi/83938.html
http://news.detik.com/berita/3293009/cerita-aguan-soal-
kontribusi-bagi-pengembang-reklamasi-yang-berubah-ubah

52 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat:
Dapatkah Dijerat?
Andreas Nathaniel Marbun
MaPPI – Fakultas Hukum Universitas Indonesia

andreas.nathaniel.marbun@gmail.com

ABSTRAK
Kerugian yang diakibatkan suap di sektor privat, tidak hanya soal
jumlah uang, tetapi juga menciptakan inefisiensi, memperbanyak
kejahatan, memperlamban pertumbuhan, dan memperburuk citra
dan iklim investasi nasional secara makro. Tak heran, dikarenakan
sedemikian parahnya dampak yang diciptakan, hingga Konvensi
PBB tentang pemberantasan korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi
Indonesia, pun akhirnya menganjurkan agar negara-negara
mengkriminalisasi suap di sektor swasta. Namun, hingga detik ini
Indonesia belum mengkategorikan suap di sektor swasta sebagai
suatu tindak pidana korupsi. Sehingga, setiap pelaku suap di sektor
swasta tidaklah dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Wajar jika kerap kali masyarakat
kebingungan mencari cara bagaimana agar sistem hukum Indonesia
dapat menjerat para pelaku suap di sektor privat. Meski begitu, bukan
berarti suap di sektor swasta tidak dapat dijerat dengan hukum
positif Indonesia. Bahkan sebelum lahirnya UNCAC, Indonesia sudah
terlebih dahulu mempidana suap di sektor swasta, melalui Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU
11/1980). Sayangnya, aturan ini bagai ketentuan yang terlupakan dan

53
nyaris tak pernah digunakan. Adanya permasalahan yang sistemik,
sedikit banyak mempengaruhi enggannya penegak hukum untuk
menerapkan peraturan tersebut.
Kata kunci: Suap Sektor Swasta/Privat, UNCAC, Korupsi, Suap,
Inefisiensi

“The private sector also has a crucial role. Good behaviour is good
business. Business groups can convert anti-corruption action into
firm support for sustainable development. I call on everyone to help
end corruption, and come together for global fairness and equity. The
world and its people can no longer afford, nor tolerate, corruption.”
(Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral Persatuan Bangsa-Bangsa, dalam
pesannya pada hari anti-korupsi dunia, tanggal 9 Desember 2014)

PENDAHULUAN
Desember 2016 kemarin, genap sudah satu dekade Konvensi
Persatuan Bangsa-Bangsa melawan Korupsi (United Nation
Convention Againts Corruption yang selanjutnya akan disebut dengan
UNCAC) diratifikasi oleh Indonesia. Penelitian tentang gap analysis
antara UNCAC dengan undang-undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 yang kemudian diubah
melalui undang-undang nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) juga
sudah bertebaran dimana-mana dan dilakukan oleh banyak peneliti
dan pemerhati hukum. Sayangnya, belum ada usaha serius dari
pemerintah untuk sepenuhnya comply dengan UNCAC.
Hal tersebut tidaklah salah sepenuhnya, mengingat dari kesebelas
tindakan yang dikriminalisasi dalam UNCAC, ada yang bersifat
mandatory offences, dan ada pula yang bersifat non-mandatory
offences. Dalam hal ini, Indonesia memang memiliki hak untuk tidak
mengikuti sepenuhnya pengaturan yang ada di UNCAC. Prof. Eddie
O.S. Hiariej menyatakan bahwa kedua sifat tersebut memiliki kaitan
dengan kesepakatan negara-negara peserta dalam konvensi tersebut.
Jika suatu tindakan yang dikriminalisasikan bersifat mandatory
berarti ada kesepakatan dari seluruh peserta konvensi untuk
mengatur tindakan tersebut dalam undang-undang nasionalnya
sehingga menimbulkan kewajiban dari negara pihak (state party)
(Eddy O.S. Hiariej, 2014). Sebaliknya, jika suatu tindakan bersifat
non-mandatory berarti tidak ada kesepakatan di antara para

54 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

peserta konvensi untuk menyatakan tindakan tersebut sebagai


kriminal.
Untuk membedakan kedua sifat tersebut, terdapat kata kunci
yang membedakan antara tindakan yang bersifat mandatory
offences dan non-mandatory offences. Untuk mandatory offences
pasti terdapat klausul ‘Negara Pihak wajib mengambil tindakan-
tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai
kejahatan,…” (Each State Party shall adopt such legislative
and other measures as may be necessary to establish as criminal
offences,…) Sedangkan untuk non-mandatory offences pasti
terdapat klausul “Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk
menetapkan sebagai kejahatan,…” (Each State Party shall consider
adopting such legislative and other measures as may be necessary to
establish as criminal offences).
Dari kesebelas tindakan yang dikriminalisasi oleh UNCAC, ada
enam tindakan yang bersifat mandatory yakni;
1. Penyuapan pejabat publik nasional (Bribery of national public
officials)
2. Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi
internasional publik (Bribery of foreign public officials and
officials of public international organizations)
3. Penggelapan, penyalahgunaan, atau penyimpangan lain kekayaan
oleh pejabat publik (Embezzlement, misappropriation or other
diversion of property by a public official)
4. Penyalahgunaan fungsi (Abuse of function)
5. Pencucian hasil kejahatan (Laundering of proceeds of crime)
6. Menghalangi proses peradilan (Obstruction of justice)

Disamping itu, terdapat 5 tindakan yang bersifat non-mandatory


offences, yakni;
1. Perdagangan pengaruh (Trading in influence)
2. Memperkaya diri sendiri secara tidak sah (Illicit enrichment)
3. Penyembunyian (Concealment)
4. Penggelapan kekayaan di sektor swasta (Emblezzement of
property in the private sector dan)
5. Penyuapan di sektor swasta (Bribery in the private sector)

55
Dari kelima non-mandatory offences yang diatur pada UNCAC,
salah satu yang cukup sering menjadi sorotan dan topik pembahasan,
baik tingkat nasional maupun internasional adalah tentang
penyuapan di sektor swasta.

Apa Itu Bribery in Private Sector?


Kisah tentang kasus korupsi bukan merupakan hal baru dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat dari
Joseph T.Wells (2012, xi) yang menyatakan “Corruption is not a new
development for humankind. As long as there have been recorded
accounts of human history, there have been stories of deceptive self-
dealing and betrayal for personal gain.” Hal ini sejalan dengan fakta
dari lintasan sejarah peradaban manusia dimana seolah-olah korupsi
telah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari masyarakat, mulai
dari peradaban pada zaman yunani kuno,1 peradaban pada zaman
romawi2, peradaban pada zaman kegelapan (dark age) atau abad
pertengahan (medieval),3 hingga di abad 21 ini4.
Sebelum bicara tentang suap di sektor privat, perlu rasanya kita
semua memahami bahwa korupsi pada dasarnya tak hanya dapat
terjadi di sektor publik. Sektor swasta juga tak luput dari korupsi. Hal
ini juga sejalan dengan pendapat Robert Klitgaard yang menyatakan,
“Corruption can be defined as the misuse of office for personal
gain.  The office can be a public office, or it can be any position of
power, including the private sector, nonprofit organizations, even
university professors.” (Robert Klitgaard, 2008) Terkait pemahaman
korupsi pada sektor privat secara umum, Antonio Argandoña
menjelaskan “Private-sector corruption means that a manager or
employee chooses to act for his own benefit, and contrary to his duties
and responsibilities” (Antonio Argandoña, 2003). Bentuknya-pun
bermacam-macam, Transparency International (2009) menjelaskan
bahwa, “Corruption in the private sector takes many forms, among

1 Baca Kellam Conover, Bribery in Classical Athens, (New Jersey: University of


Princeton, 2010)
2 Baca Joseph T. Wells, Op.cit. dan Anthonny A. Barrett, Caligula, The
Corruption of Power, (London, Routledge, 1989)
3 Baca Zaccheus Gbenga A., Corruption of The Church During The Medieval
Period: A Brief Study dan Don Fanning, “Roman Catholic Era Medieval
Period”, (Virginia: Liberty University, 2009)
4 Baca Leo V. Ryan, “Combating Corruption: The 21st-Century Ethical
Challenge”, Business Ethics Quarterly, Cambridge University Press, Vol. 10,
No. 1, Globalization and the Ethics of Business (Jan., 2000)

56 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

them bribery, undue influence, fraud, money laundering and


collusion.”
Dari penjelasan Transparency International tersebut, dapat dilihat
bahwa suap di sektor swasta merupakan salah satu bentuk korupsi
yang dapat terjadi pada sektor privat. Bribery in Private Sector itu
sendiri sudah diatur dalam pasal 21 UNCAC. Adapun pengaturan
lengkap dari ketentuan tersebut ialah sebagai berikut;
“Article 21 UNCAC: Each State Party shall consider adopting
such legislative and other measures as may be necessary to establish
as criminal offences, when committed intentionally in the course of
economic, financial or commercial activities:
(a) The promise, offering or giving, directly or indirectly, of an
undue advantage to any person who directs or works, in any capacity,
for a private sector entity, for the person himself or herself or for
another person, in order that he or she, in breach of his or her duties,
act or refrain from acting;
(b) The solicitation or acceptance, directly or indirectly, of
an undue advantage by any person who directs or works, in any
capacity, for a private sector entity, for the person himself or herself
or for another person, in order that he or she, in breach of his or her
duties, act or refrain from acting”
Singkatnya, suap di sektor swasta itu sendiri sama seperti suap
pada sektor publik, hanya saja pihak yang menerima suap (passive
bribery), bukanlah pejabat publik dan pihak yang menerima suap
tersebut bertindak sesuatu (commission), maupun tidak bertindak
sesuatu (omission) yang berlawanan dengan kewajibannya.5 Sebagai
contoh, jika ada seorang bagian kepegawaian atau Human Resource
Development di suatu perusahaan swasta X, diberikan sejumlah uang
oleh salah satu calon pelamar kerja, agar si pemberi uang tersebut
dapat bekerja di perusahaan tersebut, dan kedua belah pihak sepakat
dan memiliki niat yang sama (meeting of mind), maka hal tersebut
masuk dalam kategori ‘bribery in private sector.
Untuk terjemahan pada Bahasa Indonesia sendiri, banyak pihak
yang menggunakan terminologi ‘Suap (di) Sektor Swasta’ maupun

5 Perlu diperhatikan bahwa suap berbeda dengan pemerasan. Perbedaan


tersebut lahir dari asal niatan penerima suap tersebut. Baca Lars Johannsen
et.al., Private-to-Private Corruption; A survey on Danish and Estonian
business environment, hlm. 19 Mereka menyatakan bahwa “[B]ribery (in
private sector) relates to acts where the employee breaches his loyalty to the
firm in his own interests. When bribes are requested, it becomes a case of
extortion.”

57
‘Suap (di) Sektor Privat’. Dikarenakan belum ada terjemahan resmi
yang diatur oleh peraturan tertentu, oleh karena itu, dalam paper
ini, penulis akan menggunakan kedua terminologi tersebut secara
bergantian.

APA DAMPAK BURUK KORUPSI SEKTOR


SWASTA?
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Korupsi selalu membawa dampak
buruk. Tidak hanya pada tataran pemerintahan, namun juga sektor
swasta (bahkan di setiap sektor). Lebih jauh Harriet Kemp (2014)
pernah menyatakan;
“The effects of corruption on society are well documented.
Politically it represents an obstacle to democracy and the rule of
law; economically it depletes a country’s wealth, often diverting it to
corrupt officials’ pockets and, at its core, it puts an imbalance in the
way that business is done, enabling those who practise corruption
to win… [C]orruption is not a victimless crime; it leads to decisions
being made for the wrong reasons… Corruption costs people freedom,
health and human rights and, in the worst cases, their lives. It may
also cost companies”
Berangkat dari pernyataan Kemp, salah satu dampak buruk
yang disebabkan oleh adanya korupsi di sektor swasta ialah adanya
inefisiensi di sektor swasta itu sendiri. Lebih lanjut, Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD), sebuah organisasi
yang bergerak dan mempromosikan kebijakan yang memberi dampak
positif dalam sektor ekonomi dan sosial (2014) juga menjelaskan
terkait munculnya inefisiensi jika terjadi kasus korupsi di sector
privat. Lengkapnya, OECD menyampaikan sebagai berikut;
“Overall, corruption reduces efficiency and increases inequality.
Estimates show that the cost of corruption equals more than 5% of
global GDP (US$ 2.6 trillion, WorldEconomic Forum) with over
US$ 1 trillion paid in bribes each year (World Bank). It is not only a
question of ethics; we simply cannot afford such waste.”
Lebih lanjut, OECD (2014) juga menjelaskan bahwa korupsi
memperberat biaya untuk melakukan suatu proses perdagangan,
lengkapnya OECD menjelaskan bahwa;
“First, bribes and drawn-out negotiations to bargain them add
additional costs to a transaction. Second, corruption brings with it the

58 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

risk of prosecution, important penalties, blacklisting and reputational


damage. Third, engaging in bribery creates business uncertainty,
as such behaviour does not necessarily guarantee business to a
company; there can always be another competing company willing
to offer a higher bribe to tilt the business in its favour. On the macro
level, corruption distorts market mechanisms, like fair competition
and deters domestic and foreign investments, thus stifling growth and
future business opportunities for all stakeholders.”
Peningkatan biaya tersebut tidak hanya terjadi bagi para
businessman, tetapi juga berdampak buruk bagi para konsumen
hingga ketidak efisiensian penggunaan dan alokasi sumber daya. Hal
ini sebagaimana dielaborasi lebih lanjut oleh Wendy Robinson (2013)
yang menyatakan:
“Because corruption entails improper use of the available
resources, it can jeopardize the efficiency of a business organization…
Resources that could be useful in implementing business strategies
are derailed or used unproductively. The practice may lead to loss of
customers who lose faith in the organization and prefer rival products,
leading to losses. Besides, internal or external corruption may force a
company to inflate its prices so as to recover lost resources. Competing
firms can seize this opportunity to outdo the affected firm, leading to
a significant decline in market share for the affected organization. The
firm can also accrue losses trying to reassure its customers, partners
and the general public, or dealing with sanctions and lawsuits resulting
from its corruption activities.”
Terkait buruknya dampak yang ditimbulkan korupsi bagi sektor
privat, Firma Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) chapter
India6 pernah membuat suatu survey tentang Suap dan Korupsi
terkait dengan dampaknya terhadap ekonomi dan bisnis. Adapun
dalam laporan tersebut, KPMG (2011) menyatakan;
“Respondents opined that the biggest impact of corruption on
business is its tendency to skew the level playing fi eld and attract
organisations with lesser capability to execute projects. Such practices
could have a serious impact on efficiency and the quality of delivery
resulting in increased costs, a point again highlighted by 99 percent
of respondents.”

6 Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) merupakan suatu jaringan


internasional yang berhubungan dengan jasa perpajakan dan advisory services.
KPMG berpusat di Amstelveen, Belanda

59
Atas survey tersebut, KPMG India memberikan beberapa data
hasil survey yang telah dilakukan lembaga tersebut, diantaranya ialah
impact of corruption in business dan cost of corruption. Adapun
datanya sebagaimana ditampilkan di bawah.:

Tidak sekedar inefisiensi, korupsi di sektor swasta juga berdampak


pada buruknya sistem persaingan usaha disuatu negara tertentu
(hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian penjabaran mengenai
pengaturan suap di sektor swasta negara Switzerland). Hal ini sejalan
dengan pendapat yang disampaikan Wendy Wysong (2012) yang
menyatakan;

“[F]ocus has broadened to include bribery in the private sector,


largely due to market pressures. While private sector bribery does
not directly affect the public trust vested in the government, it
directly impacts fair competition standards and hampers economic
development in many regions including some Asia Pacific countries.”

60 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

Tak heran jika Switzerland, pernah mengkategorikan korupsi


(suap lebih spesifiknya) di sektor swasta, masuk sebagai ketentuan
pidana yang ada dalam Undang-Undang Persaingan Usaha negara
tersebut.
Dampak jangka panjangnya, suatu perusahaan pasti dapat
terkena imbas kerugian jika terus menerus berada dalam lingkungan
bisnis yang bersifat korup. Hal ini sebagaimana dijelaskan juga
oleh Gina Marie Cheeseman (2009) yang menyatakan “[A] 2007
survey of business executives found that 43 percent of respondents
believed they lost business because a competitor paid a bribe.” Lebih
lanjut, Wendy Robinson (2013) menjabarkan dampak buruk berupa
perusahaan yang akan merugi dalam jangka mendatang. Lengkapnya,
beliau berpendapat:

“…[R]esources that would be used in implementing important


business operations are instead employed in unrelated or unproductive
functions. Bribery in the process of awarding tenders and contracts
may result in enlistment of incompetent contractors. In the process,
business efficiency and productivity suffer. Inefficiency can also result
from employees who are demoralized -- due to corruption in the
business. Besides, fraud in the recruitment process may lead to hiring
of incompetent employees who are unproductive in the firm.”

PERBANDINGAN KETENTUAN SUAP


DI SEKTOR SWASTA
Belanda
Belanda merupakan salah satu negara yang telah mempidana suap
di sektor swasta, dan memasukkan kebijakan pemidanaan terhadap
suap di sektor suap tersebut ke dalam KUHP Belanda.7 Terkait suap

7 Sebagai pengantar, dapat dibaca di Bonelli Erede Papalardo et.al,


Compliying With Bribery Laws in Key European Jurisdiction, https://www.
slaughterandmay.com/media/1775736/complying-with-bribery-laws-in-key-
european-jurisdictions.pdf , diakses pada tanggal 7 November 2016

Baca juga GAN Bussiness Anti-Corruption Portal, Netherlands Corruption Report,


http://www.business-anti-corruption.com/country-profiles/Netherlands
diakses pada tanggal 7 November 2016

Secara umum, Netherland’s Corruption Report melaporkan “The Dutch Penal Code
makes it illegal for anyone to give or receive a bribe in the public or private
sector”

61
di sektor swasta ini, Belanda mengkriminalisasi tindakan tersebut,
karena adanya pihak yang telah menerima suatu pemberian dari
pihak lain agar yang menerima tersebut bertindak di luar daripada
ketentuan yang ada dengan tanpa niat baik. Lengkapnya, Bonelli
Erede Papalardo et.al (2012) menjelaskan bahwa “In the Netherlands,
private sector bribery is criminalized if the bribed person conceals
his gift or promise from his employer in breach of the requirement
to act in good faith.”
Lebih lanjut, pada dasarnya terdapat perbedaan terminologi yang
digunakan oleh KUHP Belanda dengan UNCAC dalam merumuskan
delik suap di sektor swasta ini. Jika UNCAC menggunakan terminologi
‘Bribery in Private Sector’, Belanda justru menggunakan definisi
‘Private Commercial Bribery’ (Mark F. Mendelsohn et.al., 2014:
192). Namun dalam rumusan pengaturannya, tidaklah memiliki
pengaturan yang berbeda dengan suap di sektor privat. Tak heran,
jika GRECO (Group d’Etats Contre la Corruption/ Group of States
Against Corruption), sebuah organisasi yang menilai kecocokan
produk hukum dan program-program anti-korupsi di negara-negara
Eropa dengan konvensi anti-korupsi yang telah dibuat dan disepakati
oleh Uni Eropa, justru mengkategorikan delik tersebut sebagai
‘bribery in private sector’. (2008)
Semenjak 1967, KUHP Belanda tidak hanya mempidana Suap Aktif
terhadap Pejabat Publik sebagaimana diatur dalam section 177 Dutch
Criminal Code (selanjutnya akan disebut DCC atau KUHP Belanda) –
178 DCC, dan Suap Pasif terhadap Pejabat Publik sebagaimana diatur
dalam section 363 DCC – 364 DCC, tapi juga mempidana Suap di
Sektor Swasta, baik aktif maupun pasif, sebagaimana diatur dalam
section 328ter DCC ayat 1 dan 2 yang mengatur sebagai berikut:

“1. Any person who, in a capacity other than that of civil servant,
either in the service of his employer
or acting as an agent, accepts or requests a gift or promise or
service in consideration for certain acts he has undertaken or has
refrained from undertaking or will undertake or will refrain from
undertaking in the course of his duties as employee or agent, and
who, in violation of good faith, conceals the acceptance or request
of the gift or promise or service from his employer or principal,
shall be liable to a term of imprisonment not exceeding two years
or a fine of the fifth category. (Passive Bribery)

62 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

2. Any person who gives a gift or makes a promise or renders or


offers a service to another person who, in a capacity other than
that of civil servant, is in the service of an employer or acts as an
135 agent, in consideration for certain acts he has undertaken
or has refrained from undertaking or will undertake or will
refrain from undertaking in the course of his duties as employee
or agent, the gift or promise or service being of such nature or
given, made, rendered or offered under such circumstances
that he might reasonably assume that the latter, in violation of
good faith, will not disclose the gift or promise to his employer
or principal, shall be liable to the same punishment. (Active
Bribery)”

Berbeda dengan UNCAC yang menggunakan definisi ‘undue


advantage’ sebagai salah satu unsur dalam pasal tersebut, KUHP
Belanda justru menjabarkan bentuk-bentuk ‘advantage’ secara
leterlijk. KUHP Belanda menggunakan frasa pemberian (gift), janji
(promise), dan tindakan tertentu (service), untuk ‘mengganti’ definisi
‘advantage’.(Bram Meyer, et.al., 2014: 45). Terkait dengan unsur
pemberian itu sendiri, pemberian tersebut tidak harus barang atau
uang namun juga hal-hal lain. Hal ini sebagaimana pernah diputuskan
oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) pada tahun 1994
yang telah mempertimbangkan dalam putusannya (yang akhirnya
putusan tersebut menjadi yurisprudensi), bahwa menyediakan/
memberikan sexual favours dapat masuk sebagai kategori pemberian
(gift), Putusan Hoge Raad 31 May 1994, NJ 1994, 673). Frasa-frasa
yang telah dijadikan unsur dalam delik tersebut, telah digunakan
dan dijelaskan lebih lanjut pada yurisprudensi yang dibuat oleh
Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) yang menyatakan bahwa
pemberian, janji, dan tindakan tertentu itu dapat bersifat materil
maupun immaterial (J.F.L. Roording; 2002, dan Mendelsohn
et.al; 2014). Lebih jauh, Mahkamah Agung Belanda juga memberi
penjelasan bahwa meskipun ‘gift’, ‘promise’, dan ‘service’ tersebut
harus memiliki suatu nilai tertentu bagi si penerima, namun hal
tersebut dapat pula berupa barang non-komersil yang hanya bernilai
oleh si penerima tersebut sebagaimana terdapat pada pertimbangan
Hoge Raad 25 April 1916, NJ 1916, 551.
Dalam pengaturan suap di sektor swasta yang ada di KUHP
Belanda, ketiadaan akuntabilitas atau penyembunyian (concealment)

63
dari pemberian, janji, dan tindakan tertentu tersebut merupakan
core dari delik tersebut. Lengkapnya, Mark F. Mendelsohn (2014)
menyatakan;

“The concealment of the gift, promise or service constitutes the


central element of the offence. The Parliamentary Commission that
drafted the provision argued that it is the concealment that violates
the integrity of labor relations. Because of that, this provision does not
require that the recipient acts ‘in breach of his duties’, but only that the
gift, promise or service is rewarded for acts or omissions in relation
to the recipient’s occupational capacity. In a sense, the concealment
of the gift could be regarded as a breach of an employee’s or agent’s
general duty of transparency towards its employer or principal.
The additional requirement that the employee or agent must have
concealed the gift (promise, etc.) in violation of the requirements of
good faith stresses this argument.”

Dikarenakan pemerintah dan politik hukum Belanda yang telah


comply dengan UNCAC dan juga dengan European Anti-Corruption
Convention yang mana mendorong negara-negara Eropa untuk segera
mengkriminalisasi suap di sektor swasta. Tak heran jika Belanda
mendapat pujian dari Komisi Uni Eropa (European Commision,
2014).

Prancis
Meskipun tergolong negara maju, namun Prancis mendapat rapor
buruk dari OECD yang menilai bahwa pemberantasan korupsi di
Prancis masih jauh tertinggal ketimbang negara maju di kawasan
eropa barat lainnya. (OECD; 2014, Reed Smith LLP; 2016, Complience
Week; 2014). Prancis juga telah mengkriminalisasi suap di sektor
swasta. Induk dari sistem hukum civil law ini telah mempidana
pelaku suap disektor privat, baik aktif maupun pasif, semenjak
tahun 2005. Prancis mengkategorikan suap disektor swasta dalam
Chapter V dengan judul “Corruption of Person not Holding a Public
Function”. Ketentuan mengenai Active Private Bribery diatur dalam
pasal 445-1 KUHP Prancis yang berbunyi;

“Persons who unlawfully offer, at any time, directly or indirectly,


benefits, promises, donations, gifts or any other advantages, for

64 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

themselves or others, to persons who do not exercise public authority,


perform public duties or hold elective public office but who hold a
managerial position or undertake other work, in an occupational or
social capacity, for an individual or legal person or for any other
body, in exchange for performing or refraining from performing
actions in accordance with or facilitated by their activities or duties,
in breach of their legal, contractual or professional obligations, shall
be punishable by five years’ imprisonment and a fine of € 75 000.”

Tidak hanya suap aktif, Prancis juga mengatur suap pasif di sektor
swasta. Pengaturan Passive Private Bribery tersebut diatur dalam
pasal 445-2 KUHP Prancis yang berbunyi.

“Persons who do not exercise public authority, perform public


duties or hold elective public office but who hold a managerial position
or undertake other work, in an occupational or social capacity, for an
individual or legal person or for any other body, and who unlawfully
request or agree to, at any time, directly or indirectly, for themselves
or others, benefits, promises, donations, gifts or any other advantages
in exchange for performing or refraining from performing actions in
accordance with or facilitated by their activities or duties, in breach of
their legal, contractual or professional obligations, shall be punishable
by five years’ imprisonment and a fine of € 75 000.”

Berbeda dengan UNCAC yang menggunakan terminologi “undue


advanteges”, Prancis justru menjabarkan secara keseluruhan manfaat-
manfaat yang dapat didapatkan oleh seorang pelaku pasif suap di sektor
swasta, terutama yang bersifat materil (benefits, promises, donations,
gifts). Namun untuk dapat menjangkau manfaat-manfaat imateril,
Prancis akhirnya menggunakan terminologi “any other advantages”.
Dengan demikian, pelaku aktif suap di sektor swasta yang memberikan
manfaat secara imateril (hubungan seksual, hak pilih, dsb) juga dapat
dijerat menggunakan ketentuan ini. (GRECO; 2008)
Lebih jauh, Prancis juga mengatur hukuman yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku suap di sektor privat. Bagi pelaku perorangan suap
aktif maupun pasif pada sektor privat diatur dalam pasal 445-3 KUHP
Prancis. Adapun pengaturan tersebut mengatur sebagai berikut;

“Natural persons found guilty of the offences set out in article 445-

65
1 and 445-2 also incur the following additional penalties:
1º: Forfeiture of civic, civil and family rights as set out in article 131-
26; (right to vote, be elected, right to hold judicial office, give an
expert opinion before court, represent or assist a party before
court, the right to make a witness statement in court, the right to
be tutor or curator)
2º: the prohibition to carry on the professional or social activity in the
exercise or the context of which the offence was committed, for a
maximum of five years.
3º: the confiscation, according to the conditions set out in article 131-
21, of the thing which was used or intended for the commission of
the offence or of the thing which is its product, except for articles
subject to restitution;
4º: the display or dissemination of the decision according to the
conditions set out in article 131-35.”

Sedangkan bagi pelaku badan hukum (legal person) diatur dalam


pasal 445-4 KUHP Prancis, yang mana aturannya sebagai berikut:
Legal persons can be held criminally liable, according to the
conditions set out in article 121-2, for offences defined by article 445-1
and 445-2. The penalties incurred by legal persons are:
1º: a fine according to the conditions set out in article 131-38;
2º: the penalties referred to in 2º, 3º, 4º, 5º, 6º and 7º of article 131-
39 for a maximum of five years. The prohibition referred to in
2º of article 131-39 concerns the activity in the exercise or the
context of which the offence was committed;
3º:the confiscation, according to the conditions set out in article 131-
21, of the thing which was used or intended for the commission of
the offence or of the thing which is its product, except for articles
subject to restitution;
4º: the display or the dissemination of the decision according to the
conditions set out in article 131-35.

Berdasarkan pengaturan pada ketentuan-ketentuan tersebut,


maka hukuman yang dapat dijatuhkan bagi pelaku perorangan
tidak hanya sekedar 5 tahun penjara dan denda senilai €75,000,
tetapi dapat juga dihilangkan hak politiknya, dihilangkan hak untuk
dapat menduduki jabatan tertentu, dan hukuman tambahan lainnya.
Sedangkan hukuman bagi badan hukum (legal person) sebagaimana

66 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

diatur dalam pasal 445-4, maka perusahaan yang melakukan suap di


sektor swasta, baik pasif maupun aktif dapat dibebankan hukuman
hingga denda hingga € 375.000 (5 kali lebih besar dari hukuman
denda perorangan), ditambah dengan larangan untuk berhubungan
dengan pihak tertentu yang terlibat dalam kasus a quo, pengawasan
khusus terhadap badan hukum tersebut dari pihak yang berwenang,
hingga larangan untuk melakukan aktivitas komersil selama waktu
tertentu (Proskauer; 2010).

Switzerland
Pada tanggal 1 Juli 2016, Switzerland telah mengkriminalisasi
suap di sektor privat, baik aktif maupun pasif. Ketentuan suap aktif
sektor privat terdapat pada pasal 322octies (334) ayat (1) KUHP
Switzerland yang mengatur sebagai berikut;

“Any person who offers, promises or gives an employer, company


member, agent or any other auxiliary to a third party in the private
sector an undue advantage for that person or a third party in order
that the person carries out or fails to carry out an act in connection
with his official activities which is contrary to his duties or dependent
on his discretion is liable to a custodial sentence not exceeding three
years or to a monetary penalty.”

Sedangkan pengaturan suap pasif sektor privat diatur pada pasal


322novies (335) ayat (1) KUHP Switzerland yang mengatur sebagai
berikut;

“Any person who as an employer, company member, agent or


any other auxiliary to a third party in the private demands, secures
the promise of, or accepts an undue advantage for himself or for
a third party in order that the person carries out or fails to carry
out an act in connection with his official activities which is contrary
to his duties or dependent on his discretion is liable to a custodial
sentence not exceeding three years or to a monetary penalty.”
Sebelumnya, semenjak tahun 1986, Switzerland telah terlebih
dahulu melarang suap di sektor privat yang bersifat aktif. Ketentuan
tersebut tidak diatur dalam KUHP Switzerland, melainkan diatur
dalam Undang-Undang Persaingan Usaha yang Tidak Sehat (Unfair
Competition Act), tepatnya pada pasal 4 huruf (b) Unfair Competition
Act tersebut yang mengatur sebagai berikut;

67
“Shall be deemed to have committed an act of unfair competition,
anyone who, in particular …
(b) Seeks to obtain advantage for himself or for someone else by
affording or offering to employees, agents or other ancillaries
of a third party benefits to which they are not legally entitled
in order to induce those persons to act contrary to their duty in
accomplishing their service or professional tasks”

Sedangkan pengaturan pemidanaanya diatur dalam pasal 23


dalam ketentuan Unfair Competition Act yang berbunyi sebagai
berikut;

“Whoever intentionally commits an act of unfair competition


within the meaning of Sections 3, 4 (bribery in private sector), 5 or
6 shall be liable, on complaint, to three years imprisonment or a fine
of up to 100,000 francs.”

Dari ketentuan pidana di Prancis tersebut, kita dapat melihat bahwa


pelaku suap aktif di sektor swasta dapat dijerat dengan pemidanaan
berupa pidana penjara hingga 3 tahun atau pidana denda hingga
₣100.000 (francs) = + € 15.200 (euro). Dengan diberlakukannya
KUHP baru tersebut, maka secara langsung ketentuan yang ada
dalam Unfair Competition Act tersebut tidaklah berlaku lagi.
Pada dasarnya terdapat perbedaan signifikan dalam pengaturan
tentang suap di sektor privat pada kedua ketentuan tersebut. Pertama,
dalam ketentuan Unfair Competition Act, penyuap aktif diatur dalam
pasal 4 huruf (b) dapat dipidana berdasarkan pasal 23 undang-
undang tersebut. Sebaliknya, pelaku suap pasif tidak dapat dijerat
berdasarkan undang-undang tersebut (maupun undang-undang
lainnya pada masa tersebut) dikarenakan belum ada dasar hukum
yang mempidana penerima suap pada sektor privat. Hal ini sejalan
dengan laporan yang dibuat oleh Schellenberg Wittmer (2006), salah
satu firma hukum di Swiss, yang menyatakan, “[T]he bribed person
in the past could not be held responsible in terms of criminal law –
at least not under the umbrella of passive private bribery... [T]he
bribed person would get away with it and remain unpunished.”
Lebih lanjut, walau penerima suap dalam bribery in private
sector belum dapat dijerat dengan ketentuan pemidanaan terhadap
penerima suap pada sektor privat pada masa itu, namun tidak

68 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

menutup kemungkinan bahwa penerima suap tersebut dipidana


berdasarkan dasar hukum lainnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan
lebih lanjut oleh Schellenberg Wittmer (2006) yang menjelaskan
“There was, however, a possibility that this behavior would fall
within the scope of another criminal offence (e.g. embezzlement,
breach of trust, fraud)”.
Hal tersebut jelas berbeda dengan konsep pemidanaan terhadap
pelaku suap pada sektor privat di Siwtzerland pada saat ini. Saat ini,
KUHP Switzerland telah secara tegas membagi dan mempidana, baik
pemberi maupun penerima suap. Pemberi suap dipidana berdasarkan
pasal 322octies (334) KUHP Switzerland, dan penerima suap dipidana
berdasarkan pasal. 322novies (335) KUHP Switzerland. Sehingga
penerima suap di sektor privat sudah dapat dijerat berdasarkan
ketentuan tersebut.
Perbedaan berikutnya, terdapat pada pihak yang dapat mengajukan
dugaan terjadinya suap di sektor privat di Switzerland. Jika
berdasarkan Unfair Competition Act, maka yang dapat mengajukan
laporan terjadinya pemberian/penawaran suap hanyalah pihak-pihak
tertentu yang kepentingan ekonominya dirugikan karena terjadinya
delik penyuapan tersebut (seperti konsumen atau perusahaan
terkait). Sehingga, deliknya berupa delik aduan8. Hal tersebut diatur
secara tegas berdasarkan pasal 23 yang mengatur sebagai berikut;

“…[A] complaint may be lodged by anyone entitled to institute


civil proceedings under Sections 9 and 10.”

Adapun pengaturan section 9 dan 10 Unfair Competition Act


sebagaimana dimaksud pada pasal 23 tersebut mengatur sebagai
berikut;

Pasal 9
(1) Whoever, through an act of unfair competition, suffers or is likely
to suffer prejudice to his clientele, his credit or his professional
reputation, his business or his economic interests in general,

8 Sebagai pengantar untuk memahami perbedaan antara delik biasa (gewone


delicten) dan delik aduan (klach delicten) baca P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, (Bandung; Citra Aditya, 2011) hlm. 217-218. Baca
juga Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan
dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cetakan V, (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 2010) hlm. 132 dan Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,
(Yogyakarta; Cahaya Atma Pustaka, 2014) hlm. 110-113

69
may request the courts: (a) to prohibit an imminent prejudice;
(b) to remove an ongoing prejudice; (c) to establish the unlawful
nature of a prejudice if the consequences still subsist.
(2) He may, in particular, require that a rectification or the judgment
be communicated to other persons or be published.
(3) He may, further, in accordance with the law of obligations,
institute proceedings for damages and redress and may
also require the surrender of profits in accordance with the
provisions on agency without authority.”

Pasal 10
“(1) Proceedings under Section 9 may also be instituted by customers
whose economic interests are threatened or prejudiced by an
act of unfair competition.
(2) Proceedings under Section 9(1) and (2) may also be instituted by:
(a) professional and trade associations whose statutes authorize
them to defend the economic interests of their members; (b)
organizations of national or regional scope devoted by statute
to the protection of consumers.”

Hal ini jelas berbeda dengan pengaturan yang ada dalam KUHP
Switzerland. Dengan diaturnya penyuapan aktif dan pasif dalam
KUHP Switzerland, maka semua perkara dapat diproses hukum
tanpa bergantung pada siapa yang melaporkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Dr. Andreas Länzlinger et.al (2016) yang menyatakan
bahwa “Further, private sector bribery now constitutes a public
offence… Prosecution of private sector bribery will therefore no
longer depend on filing a criminal complaint in all cases”, yang juga
ditambahkan oleh Dr. Jakob Höhn et.al (2016) yang menyatakan
bahwa “private sector bribery will be considered a public offence, i.e.
it will be prosecuted ex officio (regardless of whether a complaint has
been filed)”. Dengan demikian, pengaturan tersebut secara langsung
telah mengubah konstruksi delik penyuapan di sektor privat yang
awalnya merupakan delik aduan menjadi delik laporan/biasa.
Meskipun begitu, tidak semua perkara dapat dituntut tanpa
adanya pengaduan. Ayat 2 dari Pasal 322octies (334) dan 322novies
(335) KUHP Switzerland mengatur bahwa dalam kasus-kasus yang
ringan, delik tersebut hanya dapat dituntut berdasarkan adanya
aduan. Lengkapnya, ketentuan terkait delik aduan tersebut mengatur
sebagai berikut;

70 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

“In minor cases, the offence is only prosecuted on complaint.”

Sayangnya, ketidakjelasan pengaturan lebih lanjut terkait


pemisahan antara mana kasus yang kecil dan besar telah membuat
ketidakpastian dalam pengaturan bribery in private sector
di Switzerland. Hal tersebut dipertegas juga oleh Dr. Andreas
Länzlinger et.al. (2016) yang menjelaskan bahwa “… [H]owever, as
the new provisions do not specify what qualifies as a minor case, it is
uncertain what will fall into this category.”
Adapun persamaan keduanya terdapat pada hukuman yang
dijatuhkan sama-sama 3 tahun penjara dan sama-sama dapat dijatuhi
hukuman denda. Perlu dicatat pula banyak yang berpendapat bahwa
aturan suap di sektor privat sebagaimana diatur di KUHP Switzerland
tersebut merupakan respon dari kasus suap di FIFA. Tak heran jika
Radius Global Growth Experts (2016) menyatakan “The new rules
have been dubbed “Lex FIFA” and are seen as a response to the
bribery uncovered within football’s world governing body, FIFA,
which is headquartered in Zurich.”

Inggris
Berbeda dengan negara-negara sebelumnya yang memasukkan
delik suap ke dalam KUHP negaranya masing-masing, Inggris sebagai
negara common law dan tidak meng-kodifikasi tiap-tiap deliknya
kedalam suatu criminal code, memiliki pengaturan mengenai suap
dalam United Kingdom Bribery Act tahun 2010 (UK Bribery Act).
Ketentuan tersebut sempat memicu perdebatan di kalangan akademisi
dan praktisi hukum di Inggris perihal apakah ketentuan tersebut
dapat berjalan dengan efektif, atau hanya sekedar euforia semata
(David Aaronberg dan Nichola Higgins; 2010). Akhirnya, Munir
Patel, seorang panitera di Pengadilan Magistrat Redbridge menjadi
orang pertama yang terbukti dan diputus bersalah berdasarkan UK
Bribery Act ini setelah adanya laporan investigatif dari kantor berita
di Inggris, The Sun, yang berhasil membongkar modus operandi Patel
(Eoin O’Shea; 2011) semenjak diberlakukan pada tahun 2010. Dalam
ketentuan tersebut, tidak dibedakan secara spesifik antara public
officer maupun private sector bribery.
Namun, ketentuan tersebut memisahkan antara tindak pidana
suap umum (general bribery offences), dengan tindak pidana suap
yang dilakukan terhadap pejabat publik asing (bribery of foreign

71
public officials). Lebih lanjut, ketentuan dan pembabakan delik
dalam UK Bribery Act sedikit berbeda dengan negara-negara lain.9
Jika negara lain secara umum mengatur delik suap dalam rumusan
norma-norma umum berdasarkan unsur-unsur delik (elements of
offence), Inggris justru melakukan pembabakan suap melalui contoh.
Hal ini dapat dilihat dalam pengaturan di setiap pasal yang mengatur
delik suap.
Meskipun Inggris tidak melakukan pembedaan antara public
officer dan private sector bribery, namun rumusan delik suap yang
ada dalam UK Bribery Act pada dasarnya sudah dapat mencakup delik
suap secara umum (baik sektor publik maupun privat). Ketentuan
tersebut membagi dua kategori, yakni suap aktif (offences of bribing
another person) sebagaimana diatur dalam pasal 1 UK Bribery Act
dan suap pasif (offences relating to being bribed) sebagaimana diatur
dalam pasal 2 UK Bribery Act. Adapun pengaturan suap aktif dalam
UK Bribery Act mengatur sebagai berikut:

“[Section 1] Offences of bribing another person:


(1) A person (“P”) is guilty of an offence if either of the following
cases applies.
(2) Case 1 is where—
(a) P offers, promises or gives a financial or other advantage to
another person, and
(b) P intends the advantage—
(i) to induce a person to perform improperly a relevant
function or activity, or
(ii) to reward a person for the improper performance of
such a function or activity.
(3) Case 2 is where—
(a) P offers, promises or gives a financial or other advantage to
another person, and
(b) P knows or believes that the acceptance of the advantage
would itself constitute the improper performance of a
relevant function or activity.”

9 Penulis pribadi tidak tau mengapa hal ini terjadi, namun besar kemungkinan
hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sistem hukum antara Inggris
dengan negara Belanda, Prancis, dan Switzerland, yang berimplikasi pada
berbeda pula sistem dan cara perumusan ketentuan dalam suatu peraturan
perundang-undangan di Inggris.

72 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

Sedangkan pasal 2 UK Bribery Act yang mana mengatur tentang


suap pasif berbunyi sebagai berikut;

“[Section 2] Offences relating to being bribed:


(1) A person (“R”) is guilty of an offence if any of the following cases
applies.
(2) Case 3 is where R requests, agrees to receive or accepts a financial
or other advantage intending that, in consequence, a relevant
function or activity should be performed improperly (whether by
R or another person).
(3) Case 4 is where—
(a) R requests, agrees to receive or accepts a financial or other
advantage, and
(b) the request, agreement or acceptance itself constitutes the
improper performance by R of a relevant function or activity.
(4) Case 5 is where R requests, agrees to receive or accepts a financial
or other advantage as a reward for the improper performance
(whether by R or another person) of a relevant function or
activity.
(5) Case 6 is where, in anticipation of or in consequence of R
requesting, agreeing to receive or accepting a financial or
other advantage, a relevant function or activity is performed
improperly—
(a) by R, or
(b) by another person at R’s request or with R’s assent or
acquiescence”

Melalui ketentuan tersebut, penegak hukum di Inggris dapat


mencocokkan kasus nyata dengan pengaturan berupa contoh-contoh
kasus sebagaimana diatur dalam UK Bribery Act. Sebagai contoh,
jika polisi menemukan fakta dan bukti bahwa Budi selaku pemilik
klub sepakbola Manchester United memberikan uang sejumlah Rp
900.000.000 kepada Suswono yang merupakan pemain sepakbola
handal dari klub Manchester City dengan tujuan agar Suswono
bertindak tidak sportif dan diberi kartu merah oleh wasit atau
bermain ‘tidak secara profesional’ agar akhirnya diganti oleh pelatih
Manchester City dengan pemain lain, pada suatu laga final antara
Manchester United melawan Manchester City, dan kemudian
Suswono setuju dengan permintaan Budi dan Suswono melakukan

73
apa yang dimintakan oleh Budi, maka polisi Inggris dapat menjerat
Budi berdasarkan kasus pertama dengan dasar pasal 1 ayat (2) UK
Bribery Act, dan Suswono dapat dijerat berdasarkan kasus ketiga
melalui pasal 2 ayat (2) UK Bribery Act. Sedangkan untuk kasus
terhadap pejabat publik, kasus Munir Patel sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya sudah dapat menjadi contoh keberlakuan UK
Bribery Act bagi para pemangku jabatan publik.
Adapun pengaturan pemidanaan terkait subjek hukum yang
dapat dijatuhi pidana dalam UK Bribery Act dapat dijatuhkan kepada
perorangan maupun badan hukum. Pengaturan terkait subjek hukum
pelaku perorangan suap di Inggris, diatur dalam pasal 11 UK Bribery
Act, yang mengatur sebagai berikut;

“[Section 11] Penalties:


(1) An individual guilty of an offence under section 1, 2 or 6 is liable—
(a) on summary conviction, to imprisonment for a term not
exceeding 12 months, or to a fine not exceeding the statutory
maximum, or to both,
(b) on conviction on indictment, to imprisonment for a term not
exceeding 10 years, or to a fine, or to both….”

Sedangkan bagi pelaku korporasi diatur dalam pasal 14 UK


Bribery Act, yang mana ketentuannya sebagai berikut;
[Section 14] Offences under sections 1, 2 and 6 by bodies corporate
etc:
(1) This section applies if an offence under section 1, 2 or 6 is
committed by a body corporate or a Scottish partnership.
(2) If the offence is proved to have been committed with the consent
or connivance of—
(a) a senior officer of the body corporate or Scottish partnership,
or
(b) a person purporting to act in such a capacity, the senior officer
or person (as well as the body corporate or partnership) is
guilty of the offence and liable to be proceeded against and
punished accordingly…
(4) In this section— “director”, in relation to a body corporate whose
affairs are managed by its members, means a member of the
body corporate, “senior officer” means—
(a) in relation to a body corporate, a director, manager, secretary
or other similar officer of the body corporate, and…”

74 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

Menariknya, pengaturan pada pasal 11 UK Bribery Act


membedakan dua mekanisme penyelesaian kasus suap dengan
pemidanaan yang berbeda pula. Dalam pasal 11 ayat (1) huruf a,
memperbolehkan pelaku suap untuk menjalani hukuman tanpa
proses persidangan dengan Jury. Singkatnya, ketentuan tersebut
memberi definisi melalui summary conviction.10 Summary
Conviction merupakan putusan dua hingga tiga hakim magistrate
dan satu hakim distrik melalui Summary Proceeding yang mana
Summary Proceeding itu sendiri merupakan proses peradilan
yang menangani perkara-perkara pidana yang ringan (Summary
Offences). Dalam Summary Proceeding tidak ada Jury. Lembaga
yang berwenang mengurusi Summary Proceeding ini bernama
Magistrates’ Courts. Setiap proses pidana di Inggris harus melalui
Magistrates’ Courts (pengadilan tingkat pertama) yang mana kasus
tersebut akan dinilai berat ringannya. Terdapat beberapa perkara
pidana berat tertentu yang tidak boleh ditangani Magistrates’
Court, seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, atau perampokan
(perkara tersebut biasa dikenal dengan sebutan Indictable Offences).
Magistrates’ Courts hanya dapat menghukum pidana maksimal
12 bulan dan denda maksimal £5,000. Jika Magistrates’ Court
menilai terdakwa harus dihukum lebih dari batasan tersebut, maka
Magistrates’ Court dalam putusannya harus menyatakan bahwa
kasus ini harus ditangani oleh Crown’s Court (pengadilan yang lebih
tinggi)
Pada umumnya, kasus-kasus yang ditangani melalui mekanisme
ini merupakan kasus-kasus ringan. Tak heran jika, UK Bribery Act
memberi batasan bahwa perkara suap yang diputus berdasarkan
summary conviction hanya dapat dijatuhkan penjara maksimal 12
bulan dan denda tidak boleh lewat dari batas yang telah ditentukan
berdasarkan ketentuan summary proceeding. Perlu dicatat pula,
bahwa dalam pemidanaan terhadap korporasi dalam UK Bribery
Act menganut sistem strict liability dimana dibuktikan niat ataupun
positive action dari korporasi tersebut. (Brigid Breslin, Doron
Ezickson, dan John Kocoras; 2010)
Sedangkan untuk kasus yang diputus berdasarkan putusan melalui
proses persidangan biasa (melalui dakwaan hingga putusan bersalah

10 . Untuk lebih jelasnya baca United Kingdom Magistrates’ Court Act 1980 dan
lihat https://www.gov.uk/courts/magistrates-courts dan https://www.gov.uk/
courts/crown-court

75
atau tidaknya oleh jury dan ditentukan pemidanaannya oleh hakim),
dapat dikenakan penjara 10 tahun dan denda yang tidak terbatas
(Tim Pope dan Thomas Webb; 2010). Namun perlu dicatat, Inggris
sebagaimana negara common law pada umumnya juga memiliki
sentencing guidelines yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi
para hakim di Inggris agar tidak sembarangan menjatuhkan berat-
ringannya hukuman terhadap para terpidana, dan juga menghindari
terjadinya angka disparitas hukuman yang tinggi dari setiap putusan
hakim.11

PENGATURAN SUAP PADA SEKTOR SWASTA


DI INDONESIA
Jika kita mengacu dan mencoba ‘membedah’ UU Tipikor, pada
dasarnya kita dapat melihat bahwa jenis-jenis korupsi yang terdapat
pada BAB II12 undang-undang tersebut dapat dibagi ke dalam
beberapa kategori, antara lain;
1. Korupsi Kerugian Keuangan Negara
a) Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan negara (pasal 2)
b) Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri
sendiri dan dapat merugikan keuangan negara (pasal 3)
2. Suap – menyuap
a) Menyuap pegawai negeri (pasal 5 ayat 1 huruf a dan b)
b) Memberi hadiah kepada pegawai karena jabatannya (pasal
13)
c) Pegawai negeri menerima suap (pasal 5 ayat 2, pasal 12
huruf a dan b)
d) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan
jabatannya (pasal 11)
e) Menyuap hakim (pasal 6 ayat 1 huruf a)
f) Menyuap advokat (pasal 6 ayat 1 huruf b)
g) Hakim dan advokat menerima suap (pasal 6 ayat 2)
h) Hakim menerima suap (pasal 12 huruf c)
i) Advokat menerima suap (pasal 12 huruf d)

11 Untuk memahami sentencing guidlines lebih dalam dan mengunduh


sentencing guidline untuk kasus suap di Inggris dapat diakses di https://www.
sentencingcouncil.org.uk
12 Kecuali pasal 4, 12C, 19, dan 20

76 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

3. Penggelapan dalam jabatan


a) Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan
penggelapan (pasal 8)
b) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan
administrasi (pasal 9)
c) Pegawai negeri merusak bukti (pasal 10 huruf a)
d) Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti (pasal
10 huruf b)
e) Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti (pasal
10 huruf c)
4. Pemerasan
a) Pegawai negeri memeras (pasal 12 huruf e dan g)
b) Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain (pasal 12
huruf f)
5. Perbuatan curang
a) Pemborong berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf a)
b) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang (pasal 7
ayat 1 huruf b)
c) Rekanan TNI atau Polri berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf
c)
d) Pengawas rekanan TNI atau Polri  membiarkan perbuatan
curang (pasal 7 ayat 1 huruf d)
e) Penerima barang TNI atau Polri membiarkan perbuatan
curang (pasal 7 ayat 2)
f) Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga
merugikan orang lain (pasal 12 huruf h)
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan 
a) Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
(pasal 12 huruf i)
7. Gratifikasi
a) Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
(pasal 12 B jo pasal 12 C)

Dari pengaturan yang ada di UU Tipikor tersebut, tidak ada


satupun yang mengatur dan mengkriminalisasi suap di sektor swasta.
Maka, mengingat ketentuan pasal 1 KUHP dan asas legalitas (nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali), suap di sektor swasta
tidaklah dapat dijerat dengan UU Tipikor.
Namun perlu dicatat, meskipun pada UU Tipikor tidak ada

77
pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor swasta, namun
bukan berarti Indonesia tidak memiliki pengaturan pemidanaan
terhadap pelaku suap di sektor swasta. Jika dicermati lebih lanjut,
pada dasarnya Indonesia telah memiliki pengaturan pemidanaan
terhadap suap di sektor swasta. Ketentuan tersebut diatur dalam
Undang-Undang nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap
(selanjutnya disebut UU Suap). Pasal 2 UU Suap mengatur tentang
pelaku suap aktif, dan pasal 3 mengatur pelaku suap pasif. Adapun
ketentuan lengkap dari peraturan tersebut berbunyi;

Pasal 2
Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan
kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan
umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya
Rp.15.000.000,- (lima belasjuta rupiah).

Pasal 3
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia
mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan
atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana
karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3
(tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima
belas juta rupiah).

UU Suap tersebut dibentuk karena adanya permasalahan perihal


penyuapan di kalangan olahraga (sepak bola) yang ramai dibicarakan
oleh masyarakat pada masa itu (Wantjik Saleh; 1983). Bahkan lebih
jauh, Prof. Oemar Seno Adji (1984) menyatakan bahwa isu tersebut
pernah menjadi pembahasan yang tidak hanya ramai di masyarakat,
namun juga terjadi perdebatan hangat di antara para ahli hukum pada
saat itu (Oemar Seno Adji; 1984). Lebih lengkap, Prof. Indriyanto Seno
Adji (2007) menjelaskan sejarah pembentukan UU Suap tersebut
secara ringkas. Adapun pemaparan yang beliau sampaikan ialah:
“Persoalan muncul ketika masalah suap menyuap ini terjadi

78 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

dalam kaitan dengan olah raga, terutama olah raga sepak bola sekitar
tahun 1980-an. Saai itu, terjadi suap menyuap dalam pertandingan
galatama sepak bola yang menjadikan soal suap menjadi isu hukum
yang cukup polemistis, karena berdasarkan existing and present
law, sebagaimana pinjaman istilah dari Prof. Oemar Seno Adji, S.H.,
bahwa polemik ini menjadi berkepanjangan mengingat sebagian
besar pakar hukum pidana memilki kesatuan pendapat bahwa aturan
suap menyuap dalam KUH Pidana tidak mencakup persoalan suap
menyuap yang terjadi di bidang olahraga, termasuk olahraga sepak
bola.
Mengingat urgensitasnya, permasalahan suap yang sifatnya non-
official government, pemerintah memandang perlu mengajukan
suatu rancangan mengenai Tindak Pidana Suap yang berkaitan
dengan bidang olahraga, meskipun setelah dilakukan dengar
pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, konsep RUU ini tidak
saja berlaku terhadap bidang olah raga , tetapi memasuki seluruh
bidang yang sifatnya non-official governmental dengan segala
persoalan yang timbul kelak pada UU No. 11 Tahun 1980…”
Pendapat yang diberikan Prof. Oemar Seno Adji (1984) pada saat
terjadinya perdebatan itu ialah tidak sepakat jika ada pihak swasta
yang dikenakan pasal suap berdasarkan UU No. 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Korupsi. Lengkapnya, beliau menyampaikan:
“Menjadi titik sentral dalam persoalan penyuapan adalah
pengertian tentang “pegawai negeri”, yang mendapat perluasan baik
dalam pasal 92 KUH Pidana maupun dalam pasal 2 Undang-Undang
tentang Pemberantasan Korupsi (UU 3/1971)…
Agak jelas, bahwa para olahragawan sukar dapat tercangkub
dalam pengertian hukum administratif maupun menurut ketentuan
KUH Pidana, yang memperluas pengertian tentang “pegawai negeri”/
pejabat menurut pengertian hukum pidana…
Ditegaskan pula dalam penjelasan, bahwa rumusan pasal ini tidak
termasuk orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
Perseroan Terbatas, Firma, CV, dan lain sebagainya yang seluruh
modalnya dari modal swasta…
Maka, jikalau kita dapat mempergunakan UU 3/1971 sebagai dasar
langkah hukum terhadap para olah ragawan, mereka tidak dapat
dikategorisir sebagai pegawai negeri, selama mereka tidak menerima
gaji atau upah dari badan-badan hukum yang mempergunakan modal
(dan kelonggaran) dari negara…

79
[O]lahragawan tersebut (yang) tidak menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau dari badan-badan yang menerima bantuan
dari keuangan negara (atau daerah), tidak dapat dikwalifisir sebagai
pegawai negeri seperti dimaksudkan oleh pasal 2 dari UU 3/1971.
Maka, baik pasal 209 KUH Pidana, Pasal 1 (1) d UU 3/1971 (dalam
bidang penyuapan aktif) maupun pasal-pasal 418 dan 419 KUH
Pidana (sebagai penyuapan pasif) tidak dapat dipergunakan terhadap
mereka.”
Jika kita melihat ketentuan pada pasal 2 dan pasal 3 UU Suap
tersebut, tidak ada unsur pejabat publik dalam kedua pasal tersebut.
Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan suap yang ada di UU Tipikor,
yang mana berdasarkan sejarah perkembangannya, UU Tipikor
tersebut berasal dari KUHP. Apabila ditarik dari sejarahnya, istilah
korupsi memang baru ada pada saat berlakunya Peraturan Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 16 April 1958 no. Prt/
Peperpu/013/1958 (BN No. 40 Tahun 1958) (staf AL No. Prt/Z.1/I/7)
dan konsepsi tersebut berlanjut terus hingga Peperpu No. 24 Tahun
1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi (UU No. 24/Prp/1960), lalu Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971, yang kemudian diubah lagi menjadi UU Tipikor yang
berlaku hingga sekarang. Namun ketentuan perihal suap tetap
mengadopsi dan mengacu ke KUHP. Bahkan UU 31/1999 masih
menyebutkan dan mengacu secara jelas ke pasal-pasal yang ada di
KUHP.
Sehingga tak heran jika UU Tipikor yang berlaku sekarang, tidak
menyertakan (absorbsi) UU Suap yang diberlakukan pada tahun 1980.
Prof. Oemar Seno Adji (1984) juga pernah menjabarkan pendapatnya
terkait perbedaan unsur pejabat publik tersebut. Beliau berpendapat;
“Perluasan jangakauan yang dapat memidanakan setiap orang
yang melakukan suap menyuap dan yang dinyatakan oleh Memori
Penjelasan sebagai perbuatan suap dalam pelbagai bentuk dan
sifat, dan yang tidak terbatas pada pegawai negeri…Perluasan
pada undang-undang (UU Suap) ini tidak saja menyebebut dalam
lingkungan perbuatan ini (suap) para “administrator” ataupun apa
yang dinamakan “public officials” (pegawai negeri dalam perundang-
undangan kita), melainkan mencangkub para “politician” dan mereka
yang hidup dalam dunia “business.”
Meskipun perdebatan tentang UU Suap ini sempat hangat
beberapa dekade silam, namun sungguh disayangkan yang mana kini

80 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

nampaknya ketentuan tersebut seolah ‘terlupakan’ dan (mungkin)


tak pernah digunakan. Meskipun pada dasarnya, ketentuan tersebut
belum pernah dicabut (Homes E. Moyer, Deny Sidharta dan Winotia
Ratna; 2015). Tak berlebihan rasanya jika penulis menggunakan
terminologi ‘terlupakan’, karena dari sekian banyak tulisan dan
diskursus yang diangkat oleh banyak orang, mulai dari akademisi
hingga pengamat anti korupsi di Indonesia, seolah-olah semua
sepakat bahwa Indonesia tidak memiliki instrumen hukum apapun
yang dapat menjerat suap di sektor swasta. Jamin Ginting (2016)
contohnya, yang secara eksplisit menyatakan bahwa “Meski UNCAC
telah diratifikasi dengan UU No 7/2006, ketentuan tentang korupsi
di sektor swasta belum dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia. Juga belum ada satu peraturan tentang korupsi
di sektor swasta”, atau Adnan Topan Husodo (2016) yang dengan
gamblang menjelaskan bahwa
“dalam perspektif legal-formal, kita hanya mengenal kejahatan
korupsi pada sektor publik, yakni segala perbuatan atau jenis korupsi
yang diatur dalam UU No 31/1999 dan UU No 20/2001 mengenai
Tindak Pidana Korupsi, di mana pusat dari perhatiannya pejabat
publik/pegawai pemerintah/pegawai negeri sipil”.
Belum jelas apa yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, namun
pemerintah betul-betul perlu berkaca dan melihat sistem pencatatan
peraturan perundang-undangan yang sudah dan sedang berlaku saat
ini.
Padahal, kasus suap di sektor swasta banyak terjadi di masyarakat.
Seperti laporan investigasi majalah Tempo edisi 2 November 2015
dengan judul “Jejak Suap Resep Dokter”. Laporan tersebut merupakan
pemberitaan tentang dugaan kasus penyuapan yang dilakukan PT.
Interbat kepada dokter-dokter di berbagai rumah sakit, baik swasta
maupun pemerintah. Dalam laporan investigasi ini disebutkan
bahwa terjadi suap dari perusahaan farmasi kepada dokter. Sebanyak
2.125 dokter juga diduga menerima suap hingga Rp 131 miliar. Tempo
membeberkan laporan investigasi tersebut beserta dengan foto-foto
slip pemberian uang dari perusahaan farmasi tersebut kepada para
dokter. Namun nampaknya, tak ada seorang pun yang berpendapat
bahwa para dokter tersebut dapat dijerat dengan ketentuan UU Suap.
Hal ini juga menunjukkan bahwa penegakan hukum
pemberantasan suap sektor privat di Indonesia masih jauh dari
kata layak. Pemerintah seolah melupakan penegakan hukum dalam

81
pemberantasan suap di sektor privat. Belum jelas mengapa Indonesia
sedemikian mudah ‘melupakan’ ketentuan ini. Berkaca dari negara-
negara lain sebagaimana penulis telah jelaskan sebelumnya, konsepsi
suap seharusnya tidak saja dipandang dapat terjadi di sektor publik
dan hanya dapat merugikan kepentingan publik. Pemerintah
Indonesia perlu menyadari bahwa menjaga neraca ‘persaingan’ itu
sama pentingnya dengan menjaga neraca ‘pelayanan masyarakat’.
Absennya penegakan hukum pada suap sektor privat mematikan
‘gairah’ masyarakat untuk berkompetisi secara sehat di berbagai
sektor, sama halnya ketiadaan penegakan hukum pada suap di
sektor publik, mematikan kepercayaan publik kepada para pelayan
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi dirinya
sendiri dan mencari tahu alasan mengapa selama ini aparatur penegak
hukum Indonesia tidak pernah tegas dan konsisten menghukum para
pelaku suap di sektor privat?
Perlu dicatat pula bahwa pada dasarnya kasus suap sektor swasta
tidak hanya terjadi baru-baru ini saja. Konstruksi kasus suap di sektor
swasta bahkan sudah terjadi sejak dahulu, bahkan sebelum perdebatan
pembuatan UU Suap tersebut pada tahun 1980. Namun kasus
tersebut terjadi pada ranah perdata, tepatnya kasus Lindenbaum vs
Cohen. Jika biasanya mahasiswa hukum di tiap-tiap perguruan tinggi
mempelajari kasus Lindenbaum vs Cohen dalam kaitannya terhadap
perbuatan melawan hukum, namun pada dasarnya kasus tersebut
di saat bersamaan menggambarkan konstruksi kasus penyuapan di
sektor privat. Hal ini tergambar dari pertimbangan Hoge Raad yang
menyatakan;
“Bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai
sebuah perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain,
atau bertentangan dengan kewjaiban hukum pelakunya, atau
melawan kesusilaan ataupun kehati-hatian yang sepatutnya berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat, terkait perlindungan pribadi atau
barang orang lain. Sedangkan seseorang yang karena kesalahannya
melakukan perbuatan itu, mengakibatkan timbulnya kerugian pada
orang lain, diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut”
Bahwa pengertian ini tentu juga meliputi perbuatan seseorang
yang untuk keuntungannya sendiri, melalui pemberian
hadiah-hadiah dan janji-janji, membujuk pegawai dari
pesaingnya, untuk mengambil dan membuka rahasia-
rahasia perusahaan tuannya” (Arsil, Nur Syarifah, dan Imam

82 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

Nasima; 2014).
Dengan melihat pertimbangan Mahkamah Agung Belanda pada
kasus tersebut, dapat dilihat bahwa konstruksi yang terjadi dalam
kasus Lindenbaum vs Cohen ini juga dapat dikategorikan sebagai
bribery in private sector.
Perlu diingat pula, bahwa UNCAC ‘menganjurkan’ tiap negara
untuk menjadikan suap di sektor privat ini sebagai tindak pidana
(criminal offence), bukan menganjurkan tiap negara untuk
menjadikan suap di sektor swasta ini masuk dalam kategori ‘korupsi’.
Sehingga jika Indonesia tidak mengatur suap di sektor privat tersebut
di dalam UU Tipikor, maka bukan berarti Indonesia tidak comply
dengan pengaturan bribery in private sector yang diatur dalam
UNCAC.
Memang, hal tersebut menjadi terkesan aneh. Korupsi di sektor
privat yang secara konseptual-teoritis masuk sebagai kategori korupsi
sehingga diatur dalam UNCAC, namun justru di Indonesia suap di
sektor swasta tidak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi
karena tidak masuk sebagai kategori korupsi di Indonesia berdasarkan
UU Tipikor.13 Hal tersebut bukan berarti tidak memiliki dampak
sama sekali dalam penegakan peraturan tersebut. Justru tidak
diaturnya ketentuan suap di sektor swasta pada UU Tipikor memiliki
keterkaitan dengan aktor yang dapat melakukan pemberantasan dan
penegakan ketentuan tersebut. Singkatnya, seringkali penegakan
hukum korupsi dikaitkan hanya dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Sehingga muncul pertanyaan besar, apakah KPK bisa
menangani pelaku suap di sektor swasta yang diatur di UU Suap?
Undang – Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) membatasi kewenangan KPK
untuk hanya bisa melakukan tugas pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Meskipun secara teori suap secara umum (kepada pejabat
publik maupun pada sektor swasta) masuk dalam kategori Tindak
Pidana Korupsi, namun dalam hukum positif Indonesia, Tindak
Pidana Korupsi adalah apa yang diatur dalam UU Tipikor.
Dengan demikian, hanya polisi-lah yang berwenang melakukan
penyidikan, dan jaksa-lah yang berwenang untuk melakukan
penuntutan yang berdasarkan UU Suap tersebut. KPK tidak dapat
menangani perkara ini. Inilah saatnya, bagi polisi dan kejaksaan

13 Hasil wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodiputro tanggal 31 Oktober


2016, di Gedung Pascasarjana Universitas Pancasila

83
membuktikan diri bahwa mereka dapat dipercayai publik untuk
menangani kasus suap di sektor swasta, yang mana kasus ini tidaklah
dapat ditangani KPK.

KESIMPULAN
Suap dapat terjadi, tidak hanya di sektor publik namun juga sektor
privat. Secara konsep, satu-satunya perbedaan hakiki antara suap di
sektor swasta dengan suap di sektor publik terdapat pada keterlibatan
para pihak. Jika pada suap di sektor publik melibatkan peran pejabat
publik, suap di sektor privat justru tidak ada kaitannya sama sekali
dengan jabatan yang diemban oleh pejabat publik.
Di berbagai negara, pemidanaan terhadap pelaku suap di sektor
swasta sudah merupakan hal yang lumrah. Baik bagi negara yang
menganut sistem hukum civil law, maupun common law. Negara-
negara tersebut mengkriminalisasi suap di sektor swasta, karena
secara nature-nya, suap sektor swasta dengan suap sektor publik
sama-sama merusak tatanan sosial dan merugikan pihak yang tidak
melakukan praktik suap-menyuap.
Indonesia sudah memiliki instrumen hukum yang dapat
mempidana pelaku suap di sektor swasta. Hal ini berdasarkan
Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Meskipun Indonesia sudah memiliki pengaturan terkait tindak
pidana suap yang tidak ada kaitannya dengan pejabat publik, (sektor
swasta murni) bahkan sebelum UNCAC mengatur bribery in private
sector, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun
1980, namun penegakan hukum dari peraturan tersebut nampaknya
masih bermasalah.
Nampaknya, sistem peraturan perundang-undangan yang tidak
karuan dan pemberantasan korupsi yang hanya berpusat pada KPK
membuat orang melupakan salah satu undang-undang penting ini.
Maka dari itu, penegak hukum di Indonesia abad 21 seharusnya
tidaklah perlu berlelah-lelah untuk mempermasalahkan dan
memperdebatkan lagi bagaimana mempidana pelaku suap di sektor
swasta selayaknya penegak hukum tahun 70-an.
SARAN
Suap (maupun korupsi secara umum) di sektor swasta telah
membawa begitu banyak dampak buruk terhadap sektor bisnis. Oleh

84 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?
(Andreas Nathaniel Marbun)

karena itu, perlu ada penegakan hukum untuk dapat memberikan


penghukuman terhadap para pelaku korupsi di sektor swasta,
terutama pada kasus suap di sektor swasta. Pemerintah melakukan
penegakan hukum terhadap pelaku suap di sektor swasta secara
konkret, agar seluruh masyarakat Indonesia juga menyadari bahwa
perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela dan tidak dapat
dipandang sebagai suatu hal yang biasa.
Mengingat Rancangan KUHP sedang bergulir di DPR, ada
baiknya anggota parlemen mempertimbangkan untuk memasukkan
ketentuan delik suap sektor privat ini masuk ke dalam RKUHP. Adapun
kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi
ketentuan suap sektor swasta yang telah ada sebelumnya. Ditambah
lagi, ketentuan pidana yang terkodifikasi kemungkinan besar akan
memudahkan penegak hukum untuk ‘mengingat’ tindakan apa
saja yang dapat dikategorikan sebagai delik atau tindak pidana di
Indonesia.
Pada tataran akademisi dan juga aktivis anti-korupsi, literatur dan
penelitian mengenai isu suap sektor swasta di Indonesia khususnya
perlu diperbanyak. Seyogyanya tidak hanya sekedar penelitian
kualitatif, tetapi juga penelitian kuantitatif empiris berupa penelitian
lapangan mengenai isu suap di sektor privat. Hal ini semata-
mata untuk membantu dan memberikan sumbangsih modal bagi
pemerintah dalam melihat permasalahan suap di sektor privat yang
terjadi di Indonesia, sebelum pemerintah membuat kebijakan dan
strategi pemberantasan suap di sektor swasta ini. Dengan demikian,
pemberantasan suap di sektor privat memiliki arah dan strategi yang
jelas serta terukur.

85
86 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Ke Arah Pergeseran Beban
Pembuktian
Hariman Satria
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

hariman85antikorupsi@gmail.com

ABSTRAK
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia lebih
difokuskan pada proses peradilan pidana. Proses tersebut bermula
dari tahap penyidikan, pembuktian, penuntutan hingga vonis hakim
di pengadilan. Pembuktian adalah tahapan yang sangat esensial baik
kepada terdakwa maupun penuntut umum. Dikatakan demikian
karena ketika terjadi silang sengkarut pendapat antara terdakwa dan
penuntut umum maka pembuktianlah yang akan menjadi rujukan
hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam pembuktian dikenal
beberap teori yakni teori positif, teori conviction intme, teori conviction
rasionee dan teori negatif. Teori negatif ini digunakan dalam Pasal 183
KUHAP. Teori-teori tersebut menekankan bahwa beban pembuktian
tindak pidana adalah ada pada penuntut umum. Hal ini selaras denga
asas actori incumbit onus probandi atinya siapa yang menuntut
maka dia yang membuktikan. Dalam perkembangannya peraturan
anti korupsi Indonesia memperkenalkan pembalikan pembuktian,
khusus pada gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 12B jo Pasal 37. Selain itu dalam peraturan anti korupsi
juga memperluas episentrum alat bukti petunjuk dalam KUHAP.
Perluasan ini sasarannya adalah untuk memudahkan penyidikan

87
dan pembuktian tindak pidana korupsi. Pembalikan pembuktian
juga diadopsi dalam peraturan anti pencucian uang. Bahkan dalam
peraturan a quo mengenalkan prinsip pembalikan pembuktian murni,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Jadi pembuktian
yang awalnya hanya menjadi domain jaksa (beban pembuktian
konvensional) kemudian mengalami pergeseran (shifting) kepada
terdakwa (pembalikan beban pembuktian – reversal of burden of
proof). Prinsip pembalikan pembuktian pada dasarnya terbagi dua
yakni pembalikan pembuktian murni (absolut) yang dikenalkan
dalam tindak pidana pencucian uang dan pembalikan pembuktian
bersifat terbatas dan berimbang yang dikenalkan dalam tindak
pidana korupsi.
Kata Kunci: Hukum Acara Pidana, Beban Pembuktian.

ABSTRACT
The eradication of corruption in Indonesia in the present day
is more focused on the criminal justice process. The process starts
from the stage of investigation, proof, prosecution, and to the verdict
in court. Proof is a very important stage, either to the defendant
or to the prosecutor. Because of its nature of contentious argument
between both of the parties, the proof becomes the reference for the
judge in submitting the verdict. Proof recognizes several theories;
positive theories, conviction intme, conviction rasionee, and
negative theories. The negative theory is laid down in the Article
183 of the Criminal Procedure Code. These theories emphasizes
that the burden of proof is of the prosecutor’s responsibility. This
is consistent with the principles of actori incumbit onus probandi
, which means “the necessity of proof always lies with the person
who lays charges ”. In the development of anti-corruption laws in
Indonesia, reversal burden of proof is introduced, notably on some
gratifications that are deemed as bribery, as defined in Section 12B
in conjunction with Article 37. In addition to the anti-corruption
and money laundering regulation, reversal burden of proof also
expands the epicenter of evidence in Criminal Procedure Code. The
expansion is targeted to facilitate the investigation and proof of
evidence for both of the criminal acts. Such proof is also adopted
in the anti-money laundering regulations. Even in the regulations,
a quo introduces the principles of pure reversal burden of proof, as

88 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

defined in the Article 77 and 78. Thus the proof initially in the domain
of prosecutor (conventional burden of proof) then undergoes a shift
towards the defendant (reversal burden of proof). The principle
is basically divided into two; 1). Pure reversal burden of proof
(absolute), applied in money laundering law, and 2). Limited or
balance reversal burden of proof, applied in anti-corruption law.
Keywords:Criminal Procedure, burden of proof

PENDAHULUAN
Praktik peradilan pidana secara umum terbagi atas tiga tahap
yakni tahap penyidikan, penuntutan dan tahap pemeriksan sidang
pengadilan. Dalam pemeriksaan sidang pengadilan tahapan yang
sangat esensial adalah ihwal pembuktian (Satria, 2012). Dikatakan
demikian karena pembuktian diibaratkan berada dalam posisi sentral
baik kepada terdakwa atau penasehat hukumnya maupun kepada jaksa
penuntut umum. Tahap ini sangat krusial sebab ketika terjadi silang
pendapat antara terdakwa dan penuntut umum maka pembuktianlah
yang akan menjadi rujukan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan
(Anshorudin, 2004:31-33). Artinya keberadaan alat-alat bukti yang
relevan dengan perkara yang sedang diperiksa akan berkorelasi
positif dengan putusan hakim. Jika dalil penuntut umum tidak
mampu dibantah oleh terdakwa maka konsekuensinya hal itu akan
merugikan posisinya, sebaliknya jika terdakwa mampu membuktikan
bantahannya maka akan menguntungkan bagi terdakwa. Pembuktian
juga akan sangat bermanfaat bagi hakim sebab melalui tahapan ini,
tersedia kesempatan untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh
terdakwa dan penuntut umum sebelum majelis hakim menjatuhkan
vonis.
Secara umum proses pembuktian perkara pidana telah diatur
Pasal 183 sampai dengan Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Meskipun demikian khusus tindak pidana korupsi masih diatur
tersendiri lagi yakni pada Pasal 12B jo Pasal 26A jo Pasal 37 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dibuatnya
pengaturan yang demikian menunjukan bahwa pembentuk undang-
undang meyakini kalau proses pembuktian memegang peranan
penting dalam proses peradilan korupsi. Merujuk pada pasal-pasal

89
tersebut maka untuk menyatakan seseorang terlibat atau tidak
dalam tindak pidana korupsi akan sangat bergantung pada proses
pembuktian di pengadilan tindak pidana korupsi.
Paralel dengan peraturan anti korupsi adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Dalam Pasal 73 jo Pasal 77 peraturan a quo secara implisit
mengatur proses pembuktian yang berbeda dengan KUHAP.
Itu artinya baik peraturan anti korupsi maupun pencucian uang
cenderung mengatur lebih spesialis ketentuan tentang pembuktian.
Hal ini tidak terlepas dari sifat dan karakter kedua kejahatan tersebut
yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Baik tindak
pidana korupsi maupun pencucian uang dikualifikasi sebagai extra
ordinary crime sehingga membutuhkan extra ordinary process
(Seno Adji, 2007:347). Tindak pidana korupsi biasanya berkelindan
dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini dapat dipahami karena
salah satu core crimes dari money laundering adalah tindak pidana
korupsi.
Kembali pada proses pembuktian kedua tindak pidana tersebut,
ada beberapa hal yang diperkenalkan di dalamnya, misalnya
ketentuan tentang alat bukti yang berbeda dengan alat bukti
dalam KUHAP, memperkenalkan juga istilah pembalikan beban
pembuktian terbatas dan berimbang dalam tindak pidana korupsi
dan pembalikan pembuktian murni (absolut) dalam tindak pidana
pencucian uang. Hal ini selain menunjukan adanya kekhususan (lex
specialis) juga kekhasan kedua peraturan a quo bila dibandingkan
dengan KUHAP. Sebab prinsip dasar pembuktian adalah actori
incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang
membuktikan. Artinya beban pembuktian pada dasarnya diawali
oleh penuntut umum kemudian diakhiri oleh terdakwa. Derivatif
dari asas ini adalah actore non probante reus absolvitur artinya jika
tidak dapat dibuktikan maka terdakwa harus dibebaskan (Hiariej,
2012:43). Korelasinya dengan pembuktian dalam tindak pidana
korupsi, metode pembuktian konvensional yang dimulai pada
penuntut umum kemudian diikuti oleh terdakwa akhirnya mengalami
pergeseran (shifting) sehingga dapat dimulai pada terdakwa khusus
dalam perkara gratifikasi. Demikian pula dalam tindak pidana
pencucian uang yang secara langsung memperkenalkan pembalikan
pembuktian murni (refersal of burden of proof).
Dibuatnya pengaturan demikian sasarannya adalah agar

90 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian uang berjalan


efektif. Namun demikian di sisi yang lain menuntut profesionalisme,
kecakapan penyidik dan penuntut umum terutama KPK dalam hal
pembuktian di pengadilan. Sebab jika hakikat pembuktian pada
kedua peraturan tersebut gagal dipahami maka bukan tidak mungkin
akan menguntungkan terdakwa sehingga berkontribusi menghambat
laju pemberantasan korupsi. Agar lebih sistematis maka tulisan ini
berpijak pada tiga bagian penting yakni konsepsionalisasi tindak
pidana korupsi, pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia
dan sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi hubungannya
dengan tindak pidana pencucian uang. Mengacu pada uraian
tersebut, pertanyaan mendasar yang akan dijawab dalam tulisan
ini adalah bagaimanakah paradigma pergeseran beban pembuktian
dalam hukum acara pidana korelasinya dengan pembuktian dalam
tindak pidana korupsi?

TINJAUAN TEORITIS
1. Konsepsionalisasi Tindak Pidana Korupsi
Banyak jalan menuju Roma. Ungkapan usang ini seperti
mengingatkan setiap orang bahwa ada banyak cara dan sudut
pandang dalam melihat sebuah objek. Satu sudut pandang dalam
melihat objek akan memberikan pemaknaan yang berbeda dengan
sudut pandang lainnya. Demikian halnya jika membahas mengenai
korupsi, ada banyak pandangan ahli yang mencoba memberi definisi
mengenai korupsi namun semuanya tergantung sudut pandang
masing-masing. Hal ini bisa difahami karena cara pandang seseorang
terhadap korupsi secara mutatis mutandis juga akan mempengaruhi
pemberian definisi terhadap korupsi. Pengakuan sederhana diuraikan
oleh Robert O. Tilman, bahwa seperti halnya keindahan, pengertian
korupsi sesungguhnya tergantung dari cara dan dari sudut mana
orang memandangnya. Penggunaan suatu perpsektif tentu akan
menghasilkan pemahaman atau paradigma yang tidak sama tentang
makna korupsi dengan penggunaan perspektif yang lain (Tilman,
1988:59).
Oleh sebab itu sebelum menentukan definisi dari suatu kejahatan
an sich korupsi maka penentuan perspektif dan paradigma menjadi
sangat penting. Seperti yang diungkapkan oleh Michalowsky
yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa perspektif dan
paradigma mengenai suatu kejadian di sekitar kita dipergunakan

91
untuk mengamati dan menganalisis semua kejadian sebagai suatu
dwi tunggal. Pemahaman kritis terhadap suatu teori seharusnya
dimulai dengan menyelidiki perspektif dan paradigma dasar yang
menghasilkan teori tersebut (Atmasasmita, 1995:55). Pada dasarnya
antara perspektif dan paradigma mempunyai tujuan yang sama, yakni
menetapkan masalah yang harus diselidiki dan jalan keluar yang
harus ditempuh. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan.
Perspektif adalah cara pandang yang dapat dilihat dari berbagi
segi terhadap suatu makna dan penghayatan atas makna tersebut,
sedangkan paradigma jauh lebih sempit karena cara pandang yang
bersifat khusus tentang suatu gejala (Peorwadarminta, 1990:642-
675). Kembali pada pembahasan tentang korupsi, penulis akan
memaparkan beberapa konsep yang berkaitan dengan itu sehingga
dapat menuntun pembaca dalam memahami makna korupsi secara
substansial.
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio
atau menurut webstudent dictionary adalah coruptus. Selanjutnya
dijelaskan bahwa corruptio berasal dari suatu kata latin yang lebih
tua yaitu corumpere. Dari bahasa latin itulah turun dalam berbagai
bahasa di eropa, seperti Inggris: corruption, corrupt; Prancis:
corruption; dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Dapat diduga
kata korupsi yang digunakan di Indonesia saat ini berasal dari bahasa
Belanda yang kemudian diadopsi atau diterima ke dalam bahasa
Indonesia yaitu “korupsi” (Hamzah, 2007:4). Secara harfiah kata-
kata tersebut berarti, kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. Secara tegas diuraikan
dalam The lexicon Webster dictionary, corruption (L. corruption (n-
)) The act of corrupting or the state of being corrupt; putrefactive;
decomposition. Putrid matter; moral perversion; depravity;
perversion of integrity; corrupt or dishonest, proceedings; bribery;
perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a
debased from of a word (Hamzah, 2007:5).
Hampir sama dengan yang dimuat dalam The lexicon Webster
dictionary, Sanford H. Kadish, mengartikan korupsi hubungannya
dengan penyuapan. Dikatakan oleh Kadish, corruption is the act
or practice of benefiting a person in order to betray a trust or to
perform a duty meant to be performed freely, bribery occurs relation
to a public official and, derivatively, in private transaction (Kadish,
1983:119). Pendapat senada dikemukakan oleh George E. Rush,

92 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

bahwa corruption is illegal act by a sworn peace officer, including


all violitions of fiduciary trust and the professional code of conduct
and ethics (Rush, 2003:84) Dalam perkembangannya istilah dan arti
kata korupsi tersebut akhirnya diterima dalam perbendaharaan kata
Bahasa Indonesia yang oleh Poerwadarminta, kata korupsi dimaknai
sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya (Poerwadarminta, 1990:616).
Masih terkait dengan konsep korupsi, undang-undang anti
korupsi Indonesia tidak memberikan definisi yang pasti dan ketat
mengenai pengertian korupsi. Undang-undang anti korupsi hanya
mengkualifikasikan 30 perbuatan yang kemudian disebut sebagai
tindak pidana korupsi. Diantara 30 perbuatan tersebut dikenal
beberapa tipe korupsi, misalnya korupsi karena perbuatan curang,
korupsi karena gratifikasi, korupsi karena penyuapan dan korupsi
karena menyalahgunakan wewenang serta korupsi karena perbuatan
melawan hukum (wedderechtelijke). Demikian pula dalam UNCAC
2003 yang kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003 tidak memberikan
definisi yang strict tentang korupsi. Namun dalam konvensi ini telah
menyebutkan ragam perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai
korupsi. Pertama, Bribery of national public official atau penyuapan
pejabat-pejabat publik nasional. Kedua, bribery of foreign public
officials and official of public international organizations atau
penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat
dari organisasi internasional publik. Ketiga, embzellment,
misappropriation or other diversion of property by public official
atau penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan
dengan cara lain oleh pejabat publik. Keempat, trading in influence
atau memperdagangkan pengaruh. Kelima, abuse of function atau
penyalahgunaan fungsi. Keenam, illicit enrichment atau memperkaya
diri secara tidak sah. Ketujuh, bribery in the privat sector atau
penyuapan pada sektor swasta. Kedelapan, emblezzement of property
in the privat sector atau penggelapan kekayaan dalam sektor swasta.
Kesembilan, laundering of proceeds of crime atau pencucian hasil
kejahatan. Kesepuluh, concealment atau penyembunyian. Kesebelas,
obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses
peradilan (UNODC, 2003:17-21).
Sikap pembentuk undang-undang anti korupsi dan UNCAC 2003
yang tidak memberikan definisi yang strict terhadap korupsi dapat

93
difahami karena memang korupsi memiliki banyak dimensi sehingga
pembatasan dengan definisi tertentu akan menghambat upaya
pemberantasan kejahatan ini. Perlu penulis sampaikan bahwa istilah
korupsi juga dikenal di negara lain meskipun dengan kosa kata yang
berbeda dengan Indonesia. Di Malaysia, misalnya terdapat peraturan
anti kerakusan sebagai pengganti kata peraturan anti korupsi. Sering
pula Malaysia menggunakan istilah resuah yang berasal dari bahasa
Arab, riswah. Sesuai kamus Indonesia-Arab kata “riswah” berarti
sama dengan korupsi (Hamzah, 2007:6).
Melalui beberapa definisi korupsi secara harfiah tersebut maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa jika membahas mengenai korupsi
maka sesungguhnya itu merupakan terminologi yang sangat luas
ruang lingkupnya. Tergantung sudut pandang seseorang dalam
memahami istilah korupsi. Karena lingkup korupsi sangat luas
cakupannya maka pendekatan dalam memahaminya juga dapat
bermacam-macam sesuai dengan cara kita melihat masalah itu. Pada
satu sisi ada orang yang memahami korupsi dengan menggunakan
pendekatan sosio kriniminologi tetapi pada sisi lainnya ada pula
yang mengupas masalah korupsi dengan menggunakan pendekatan
normatif. Begitu pula sebagian orang menggunakan pendekatan
ekonomi dalam mengkaji dan memahami korupsi.
Keanekaragaman pemahaman terhadap korupsi yang
berangkat dari sudut pandang yang berbeda-beda sebetulnya dapat
mengakibatkan sulitnya mencari definisi yang pasti mengenai korupsi.
Namun demikian, bagi penulis cara pandang yang berbeda secara
positif akan sangat membantu memahami lebih dalam mengenai
korupsi termasuk cara-cara pencegahan dan pemberantasannya.
Dengan kata lain perbedaan tersebut justru menjadi sebuah
khasanah dalam upaya memahami dan mengenal korupsi sehinga
setiap orang akan berusaha menghindari kejahatan tersebut. Oleh
karena itu penulis menolak definisi yang ketat dan terbatas mengenai
korupsi karena pembatasan definisi korupsi justru akan mendistorsi
pemahaman terhadap korupsi itu sendiri. Lagi pula akan lebih baik
bagi kita untuk memikirkan pemberantasan dan pencegahan korupsi
dari pada sibuk mencari definisi korupsi itu sendiri.
Masih mengenai tindak pidana korupsi, pada dasarnya kejahatan
ini sangat terkait erat dengan kekuasaan. Kejahatan korupsi yang
terjadi pada hampir semua negara di dunia ini selalu berkorelasi positif
dengan kekuasaan yang disalahgunakan atau diselewengkan. Sehingga

94 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

pelaku kejahatan maha haram ini adalah mereka yang memangku


jabatan-jabatan publik baik itu di sektor pemerintah maupun pada
sektor-sektor swasta. Bertalian dengan itu Lord Acton menyampaikan
semacam postulat, power tends to corrupt and absolut power to
corrupt absolutely (Satria, 2014:21). Bahwa kekuasaan itu cenderung
korup dan kekuasaan yang absolut maka korupsinya juga absolut.
Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Montesqieu dalam
The Spririt of Law, bahwa terhadap orang yang berkuasa ada tiga
kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan
kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar kekuasaan.
Ketiga, kecenderungan untuk memanfatkan kekuasaan (Montesqieu,
1993:27). Dalam kaitannya dengan memanfaatkan kekuasaan inilah,
maka sering terjadi apa yang disebut abuse of power yang acapkali
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang pada
ujungnya merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Perihal abuse of power korelasinya dengan kejahatan korupsi,
maka sesungguhnya narasi korupsi Indonesia sangat terkait erat
dengan aspek politik, ekonomi dan kekuasaan. Secara gamblang
mengenai hal ini dikemukakan oleh Theodore M. Smith, of the whole
corruption in Indonesia appers to present more of a recurring
political problem than an economic. It undermines the legitimacy
of the goverment in the eyes of the young, educated elite and most
civil servant. Corruption reduces support for the government among
eliles at the province and regency level (Krisnawati, et.all, 2006:38).

2. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia


Membahas tentang pembuktian, bukanlah sesuatu yang mudah
sebab ruang lingkup pembuktian cukup luas episentrumnya.
Rangkaian pemahamannya, kita dapat mulai dari terminologi
pembuktian, asas-asas pembuktian, parameter pembuktian dan alat-
alat bukti. Ini adalah sebuah proses yang cukup panjang dan tidak
dapat diselesaikan dalam satu pokok bahasan. Oleh karena itu dalam
tulisan ini, penulis hanya akan mengupas secara sistematis pada tiga
hal penting yakni terminologi pembuktian; parameter pembuktian
dan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia yang secara
mutatis mutandis memiliki relasi yang kuat dengan tema di atas.
PERTAMA, terminologi pembuktian. W.J.S. Poerwadarminta
mengatakan bahwa kata pembuktian berasal dari suku kata bukti yang
artinya sesuatu hal yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran

95
suatu peristiwa. Sedangkan pembuktian berarti perbuatan atau cara
membuktikan (Poerwadarminta, 1990:184). Dalam bahasa Belanda,
bukti disebut sebagai bewijs (evidence) berarti hal yang menunjukan
kebenaran yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa
untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan
pembuktian disebut sebagai proof yang artinya penetapan kesalahan
terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-
undang maupun di luar undang-undang (Hamzah, 2008:68). Intinya
bukti menyangkut hal yang menunjukan atau menyampaikan
kebenaran tentang suatu peristiwa sedangkan pembuktian (proof)
menyangkut perbuatan atau cara membuktikan melalui alat-alat
bukti (evidence).
Bertalian dengan itu, Eddy O.S. Hiariej mengatakan, bahwa dalam
kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai bukti yakni evidence dan proof. Kendatipun
demikian ada perbedaan yang esensial diantara keduanya. Evidence
adalah lebih dekat pada pengertian alat bukti menurut hukum positif,
sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian yang
mengarah pada suatu proses (Hiariej, 2012:43). Argumentasi ini tidak
jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ian Dennis, evidence
is information to provides grounds for belief that a particular fact
or set of fact is true. Proof is a term with a variable meaning. In
legal discourses it may refer to outcome of the process of evaluating
evidence and drawing inferences from it, or it may be used more
widely to refer to the process itself and/or to the evidence which is
being evaluated (Dennis, 2007:3-4).
Penegasan lebih jauh ihwal evidence dikemukakan oleh Jefferson
L. Ingram, evidence has been defined as the means employed for the
purpose of proving an unknown or dispute fact, and it is either judical
or extra judical (L. Ingram, 2009:24). Pendapat senada dikemukakan
oleh Larry E. Sulivan and Marie Simonetti Rossen, evidence is
anything that tands to prove and disaprove an alleged fact (Sulivan
dan Rossen, 2005:178). Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut
di atas, kita dapat mengatakan bahwa evidence lebih condong pada
alat-alat bukti baik untuk menguatkan dalil seseorang maupun
untuk membantah kebenaran tentang dalil atau suatu peristiwa.
Sedangkan Henry Campbell Black tidak mendefinisikan proof tetapi
membangun logika argumentatif ihwal hubungan antara evidence
dan proof. Ditegaskan oleh Campbell Black, proof is the effect of

96 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

evidence or the estabilshment of a fact by evidence (Campbell Black,


1968:1380). Sementara itu W. Ken Katsaris mengatakan bahwa
proof is the result of evidence (Katsaris, 1976:7). Dengan demikian
jika berbicara tentang proof pada dasarnya menyangkut tentang
pembuktian artinya bagaimana alat-alat bukti (evidence) digunakan
sebagai bukti. Karena itulah baik Campbell Black maupun Katsaris
melihat keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi. Tegasnya
evidence adalah sarana yang digunakan untuk proof.
KEDUA, parameter pembuktian. Menurut Eddy O.S.
Hiariej, terdapat enam hal yang berhubungan dengan parameter
pembuktian. Pertama, bewijstheorie. Kedua, bewijsmiddelen.
Ketiga, bewijsvoering. Keempat, bewijslast. Kelima, bewijskracht.
Keenam, bewijsminimum (Hiariej, 2012:15-26). Bewijstheorie
adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian
oleh hakim di pengadilan. Perspektif doktrin, teori pembuktian
terbagi atas empat hal. Pertama, posistief wettelijk bewijstheorie
yaitu pembuktian menurut undang-undang secara positif. Bambang
Poernomo mengatakan bahwa pembuktian undang-undang secara
positif berarti pembuktian yang sangat bergantung kepada alat-alat
bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang
tanpa diperlukan keyakinan hukum (Poernomo, 1993:40). Pendapat
senada dikemukakan oleh D. Simons, bahwa pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif adalah berusaha menyingkirkan semua
pertimbangan yang subjektif hakim dan sekaligus mengikat hakim
secara ketat sesuai peraturan pembuktian (Hamzah, 2008:229).
Bila memang demikian maka sistem pembuktian positif ini
menempatkan alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-
undang sebagai alat bukti mutlak terlepas dari keyakinan hakim
yang mengadili perkara. Hakim tidak lagi berpedoman dengan
keyakinannya sehingga seolah-olah hakim menjadi robot pelaksana
dari undang-undang. Jadi keyakinan hakim sama sekali tidak penting
dan bukan menjadi bahan yang dapat dipertimbangkan dalam hal
menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa dalam melakukan
tindak pidana karena justru undang-undang lah yang sangat
menentukan terbukti tidaknya perbuatan terdakwa. Singkatnya
undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti
yang dapat dipakai hakim termasuk cara hakim dalam memutus
terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.
Diskursus sistem pembuktian secara positif ini, kemudian

97
ditanggapi oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan, bahwa jika
dikaji secara hakiki maka sistem pembuktian positif memang
mempunyai segi negatif dan segi positif. Segi negatifnya adalah hakim
tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan
salah atau tidaknya terdakwa karena sistem ini berpedoman pada
prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang. Sedangkan sisi positifnya adalah bahwa sistem ini
benar-benar menuntut hakim untuk mencari kebenaran, salah atau
tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-
alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga sekali
majelis hakim menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai
dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
maka tidak perlu lagi hakim bertanya pada hati nuraninya (Harahap,
2000:789-799).
Kedua, conviction in time atau pembuktian menurut keyakinan
hakim melulu dimaknai sebagai sistem pembuktian yang menekankan
bahwa hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan
belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (Harahap,
2000:799). Menurut D. Simons teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim melulu didasarkan pada keyakinan hati nurani
hakim sendiri yang menetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan (Hamzah:2008:252). Selanjutnya Andi
Hamzah, menyatakan bahwa pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim melulu lazimnya digunakan pada pengadilan adat dan swapraja
karena pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim
yang bukan ahli (berpendidikan) hukum (Hamzah:2008:252). Ketiga,
conviction rasionee adalah pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim dengan pertimbangan yang logis berarti menempatkan hakim
dalam mengambil keputusan selain berdasarkan keyakinannya juga
harus didukung oleh fakta-fakta hukum yang logis. Artinya bahwa
hakim diberikan kebebasan untuk memutuskan perkara dengan
memperhatikan keyakinannya atas kesalahan terdakwa namun
keyakinan tersebut mesti didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan
rasional (Harahap:2000:299).
Keempat, negatief wettelijk bewijstheorie adalah hakim dalam
memutuskan bersalah tidaknya terdakwa selain berdasarkan pada
alat-alat bukti yang ditentukan secara limitatif oleh undang-undang
juga harus diikuti oleh keyakinan hakim. Luhut M.P. Pangaribuan

98 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

mengatakan bahwa dari teori pembuktian menurut undang-undang


secara negatif pada hakikatnya merupakan peramuan antara teori
hukum pembuktian menurut undang-undang secara positif dan teori
hukum pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Pangaribuan,
2008:34). Bila memang demikian maka substansi pembuktian
menurut undang-undang secara negatif ini adalah pembuktian
kesalahan terdakwa sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan
dalam undang-undang dan selanjutnya hakim harus memiliki
keyakinan bahwa terdakwa benar yang melakukan perbuatan pidana
yang dituduhkan.
Teori pembuktian ini sejalan dengan teori pembuktian yang
digunakan dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa, hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi eksistensi keyakinan
hakim bertalian dengan kesalahan terdakwa, diperoleh setelah adanya
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Pendeknya paling
tidak ada beberapa kriteria oleh hakim dalam menentukan bersalah
tidaknya terdakwa, yaitu pertama, kesalahan terdakwa harus terbukti
sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah (prima facie
evidence). Kedua, bahwa atas dasar dua alat bukti tersebut maka
hakim harus memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana secara
nyata terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Ihwal keyakinan
hakim, maka ada tiga hal yang harus dibentuk. Pertama, keyakinan
bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
oleh JPU. Kedua, keyakinan bahwa terdakwa benar melakukannya.
Ketiga, hakim yakin bahwa terdakwa dapat dipersalahkan atas tindak
pidana yang dilakukannya (Chazawi, 2008:32-33).
KETIGA, alat-alat bukti dalam hukum acara pidana.
Pembahasan tentang alat bukti pada dasarnya berhubungan
dengan bewijsmiddelen yakni alat-alat bukti yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa pidana. Dalam hukum
acara pidana Indonesia ketentuan tentang alat bukti diatur dalam
Pasal 184 KUHAP yaitu sebagai berikut :

1. Keterangan saksi
Jefferson L. Ingram mendefinisikan keterangan saksi sebagai
testimony is evidence that comes to the court through witnesses

99
speaking under oath or affirmation (L. Ingram, 2009:25. Sering
pula keterangan saksi disebut sebagai eyewitness dan earwitness.
Eyewitness adalah seseorang yang memberikan keterangan
tentang suatu peristiwa berdasarkan yang dilihatnya. Sedangkan
earwitness adalah seseorang yang memberikan keterangan
tentang suatu peristiwa yang didengarnya tetapi tidak dilihatnya
sendiri (Garner, 2004:548-626). Sudah barang tentu eyewitness
dan earwitness ini adalah alat bukti yang digunakan dalam sistem
hukum anglo saxon yang berbeda dengan peraturan di Indonesia.
Meskipun demikian baik eyewitness maupun earwitness adalah
termasuk dalam definisi saksi menurut hukum positif Indonesia.
Pasal 1 angka 26 KUHAP menyebutkan, bahwa saksi adalah
orang yang dapat memeberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan
Pasal 1 angka 27 menguraikan, bahwa keterangan saksi adalah
suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya (Satria, 2012:49). Definisi saksi dalam Pasal 1
angka 26 jo Pasal 1 angka 27 tersebut kemudian diperluas oleh
putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8
Agustus 2011. Secara ekspilisit dikategorikan sebagai keterangan
saksi menurut putusan ini adalah keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu,
termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan
dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Hiariej, 2012:103).
Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa
keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan Pasal 185 ayat (2)
mengungkapkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun demikian
ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya (Pasal 185 ayat 3 KUHAP). Apabila
memperhatikan rumusan Pasal 185 ayat (1-3) tersebut pada

100 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

dasarnya berhubungan dengan prinsip unus testis nullus testis


(satu saksi bukan saksi) dan syarat minimum pembuktian. Bahwa
agar alat bukti saksi memiliki kekuatan hukum mengikat dan
diakui sah maka harus terpenuhi minimal dua orang saksi. Jika
hanya satu orang maka saksi tersebut dianggap tidak sah karena
sesuai dengan prinsip unus testis nullus testis (Latin) atau een
getuige geen getuige (Belanda). Demikian halnya dengan alat
bukti, untuk membuktikan bahwa seseorang bersalah maka harus
terpenuhi prinsip minimum pembuktian yakni minimum dua alat
bukti (prima facie evidence). Jadi dua alat bukti yang dimaksud
adalah bersifat kuantitatif. Dalam hal ini alat bukti saksi – minimal
dua orang saksi ditambah dengan alat bukti yang lain maka dengan
sendirinya telah terpenuhi syarat minimum pembuktian.

2. Keterangan ahli
Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan. Dalam penjelasan KUHAP disebutkan bahwa
keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu
bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu
ia menerima jabatan atau pekerjaan. Terkait dengan keberadaan
ahli dalam pemeriksaan perkara dijelaskan oleh Ron Delisle, Don
Stuart & David Tanovich, admission of expert evidence depends
on the aplication of the following criteria: first, relevance. Second,
necessity in assisting the trier of fact. Third, the absence of any
exclusionary rule. Fourth, a properly qualified expet (Delisle dan
Tanovich, 2010, 860). Selain itu pula seorang ahli harus memiliki
pengalaman, kecakapan, terlatih dan memiliki pengetahuan atau
ketarampilan tertentu. Ditegaskan oleh Tristam Hodgkinson dan
Mark James mengatakan experienced, the one who is expert or
ho has gained skill experiece; trained by experience or practice,
skilled, skilful, as does the noun the one who special knowledge
or sceel causes him to be regarded as an authority, a specialist
(Hodgkinson dan James, 2007:33).
Dalam KUHAP juga membedakan keterangan ahli di

101
persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan
di depan sidang pengadilan. Jika seorang ahli memberikan
keterangan secara langsung di depan sidang pengadilan dan di
bawah sumpah, keterangan tersebut adalah alat bukti keterangan
ahli yang sah. Sementara itu jika seorang ahli di bawah sumpah
memberikan keterangan tertulis di luar persidangan dan
keterangan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan,
keterangan ahli tersebut merupakan alat bukti surat dan alat bukti
keterangan ahli (Hiariej, 2012:107).

3. Surat
Menurut Asser-Anema surat adalah segala sesuatu yang
mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud
untuk mengeluarkan isi pikiran (Hamzah, 2008, 127). Pendapat
yang hampir sama dikemukakan oleh A. Pitlo, bahwa surat adalah
pembawa tanda bacaan yang berarti, menerjemahkan suatu isi
pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta sebab
benda ini tidak termuat tanda bacaan (Prodjohamijojo, 1990:138).
Surat yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti dapat meliputi:
pertama, berita acara dan surat lain dala bentuk resmi yang
dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang di dengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya
itu. Kedua, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu keadaan. Ketiga, surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal
atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Keempat,
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain (Pasal 187 KUHAP).

4. Petunjuk
Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP, petunjuk
didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

102 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.


Petunjuk tersebut dapat diperoleh dari: keterangan saksi; surat
dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian
dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan
berdasarkan hati nuraninya (Pasal 188 ayat 3 KUHAP).
Adami Chazawi kemudian merumuskan beberapa
persyaratan suatu petunjuk agar menjadi alat bukti. Pertama,
adanya perbuatan, kejadian dan keadaan yang bersesuaian
dan menunjukkan telah terjadi tindak pidana, terdakwa yang
melakukan serta ia bersalah atas tindak pidana tersebut. Kedua,
bersesuaian antara perbuatan, kejadian dan keadaan satu sama
lain ataupun bersesuaian antara perbuatan, kejadian atau keadaan
dengan tindak pidana yang didakwakan. Ketiga, persesuaian itu
menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana juga
menunjukkan siapa pelakunya. Kempat, petunjuk hanya dapat
dibentuk melalui tiga alat bukti yakni keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa (Chazawi, 2008:73-74).

5. Keterangan terdakwa
Pasal 189 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa keterangan
terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri. Keterangan terdakwa yang dikatakan mengandung nilai
pembuktian yang sah adalah berupa: pertama, keterangan harus
dinyatakan di depan sidang pengadilan. Kedua, isi keterangannya
mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal yang
diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri. Ketiga,
keterangan tersebut hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri.
Keempat, keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain
(Hiariej, 2012:112).

PEMBAHASAN
Berbicara tentang pembuktian dalam tindak pidana korupsi akan
difokuskan pada dua hal. Pertama, ihwal alat bukti. Kedua, ihwal

103
teori pembuktian yang digunakan dalam peraturan a quo. Agar lebih
sistematis dan mudah dipahami maka secara garis besar akan diulas
sebagai berikut:

1. Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.


Ketentuan tentang alat bukti dalam tindak pidana korupsi diatur
dalam Pasal 26A yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah dalam
bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
dapat diperoleh dari: pertama, alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu. Kedua, dokumen yakni setiap
rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik ataupun selain
kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna.
Lingkup alat bukti yang telah disebutkan dalam Pasal 26A tersebut
pada dasarnya adalah perluasan alat bukti petunjuk yang telah
diuraikan dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Itu artinya peraturan a
quo hanya melengkapi pengaturan alat bukti yang telah diperkenalkan
oleh KUHAP. Jadi uraian alat bukti yang diatur dalam Pasal 184
sampai dengan Pasal 189 KUHAP masih tetap dipertahankan
tetapi khusus menyangkut bukti petunjuk mendapatkan perluasan
sesuai dengan sifat dan karakter tindak pidana korupsi. Perluasan
ini sekaligus menjadi langkah responsif dan antisipatif pembentuk
undang-undang dalam melihat modus operandi tindak pidana
korupsi yang dilakukan dengan cara-cara lebih sistematis dan sulit di
deteksi oleh aparat penegak hukum. Bukti petunjuk dalam literatur,
biasa disebut sebagai circumstansial evidence atau bukti tidak
langsung. George R. Rush menyebut circumstantial evidence sebagai
evidence from which a fact can be reasonably inferred, although not
directly proven (Rush, 2003:56). Jadi meskipun petunjuk adalah
bukti tidak langsung tetapi tetap saja dapat digunakan sebagai bukti
jika didukung oleh alat-alat bukti yang lain, seperti keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa (Hamburger, 2008:247).
Perspektif teori, uraian alat-alat bukti dalam undang-undang

104 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

anti korupsi tersebut kelihatannya lebih condong pada alat bukti


yang selama ini digunakan oleh negara-negara sistem hukum anglo
saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini terkonfirmasi dari
argumentasi yang dikemukakan oleh Colin Evans ihwal evidence.
Evans mengatakan evidence can take many forms. It might be the
testimony of an eyewitness, a fragment of DNA or a fingerprint, a
fiber, some documents, or perhaps even a confession (Evans, 2010:7).
Jadi wujud bukti dapat beraneka ragam, misalnya saksi mata, ahli,
dokumen, sidik jari dan DNA.
Merujuk pada ragam bentuk bukti tersebut, Larry E. Sulivan &
Marie Simonetti Rossen kemudian membagi bukti dalam tiga kategori
yakni bukti langsung, bukti tidak langsung dan bukti fisik. Ditegaskan
oleh Sulivan & Rossen, most evidence can be devided in to three broad
categories: direct evidence, indirect evidence and physical evidence
(Sulivan dan Rossen, 2005:178). Bukti langsung membentuk unsur
kejahatan melalui penuturan saksi mata, pengakuan atau apapun
yang diamati termasuk tulisan dan suara, video atau rekaman digital.
Bukti tidak langsung didasarkan pada perkataan dengan analisis
yang masuk akal. Sedangkan bukti fisik dihasilkan dari penyidikan
kriminal. Secara gamblang diulas oleh Sulivan & Rossen, direct
evidence establishes an element of a crime through any eyewitness
account, cenfession or anything observed including writings, audio,
video or digital recording. Indirect evidence is based on inference
and deductive reasoning. Physical evidence result from a criminal
investigation (Sulivan dan Rossen, 2005:179).
Masih mengenai bukti, dalam tindak pidana korupsi di Indonesia
mayoritas bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK adalah berbentuk
dokumen dan rekaman komunikasi yang mengindikasikan terjadinya
tindak pidana korupsi. Rekaman tersebut diperoleh dari hasil
penyadapan. Ihwal penyadapan ini telah diatur dalam Pasal 12 huruf a
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan
penyidikan KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan. Apabila memperhatikan rumusan dokumen dalam
peraturan a quo maka ruang lingkupnya sangat luas yang dapat
menjangkau banyak hal terkait dengan pengungkapan tindak pidana
korupsi. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Jefferson
L. Ingram, documentary evidence includes all types of traditional
documents, records, photographs, pictures, X-ray images, drawings,

105
audio-and videotapes, as well as writing that are not obcectionable
under the various exclusionary rules (L. Ingram, 2010:25). Kembali
pada undang-undang anti korupsi, meluasnya ruang lingkup
dokumen tersebut kelihatannya sengaja dibuat oleh pembentuk
undang-undang agar mempermudah penemuan bukti oleh penyidik
sehingga memudahkan pula pengungkapan tindak pidana korupsi.
Meskipun demikian bukti-bukti yang diperoleh penyidik tersebut
harus tetap relevan atau berhubungan dengan tindak pidana korupsi
yang sedang diungkap. Hal ini untuk mengantisipasi abuse of power
oleh aparat penegak hukum dalam menyidik tindak pidana korupsi,
apalagi lingkup bukti sangat luas cakupannya. Ian Dennis kemudian
mengajukan tiga proposisi terkait dengan itu. First, evidence must
be relevant in order for court to receive it. That it must relate to
some fact which is proper object of proof in the proceedings. Second,
evidence must also be admisible, meaning that it can properly be
received by courts as matter of law. Third, exclusionary discretion
or exclusionary rules (Dennis, 2007:5-6). Prinsip exclusionary
discretion ini berhubungan dengan putusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat dalam kasus Mapp vs Ohio yang mana hakim
mengatakan bahwa we hall that all evidence obtained by searches
and seizures in violation of the constitution is, by that some authority,
inadmisible in a state court (Katsaris, 1976:63). Intinya tidak diakui
sebagai bukti apabila perolehan bukti tersebut dilakukan dengan cara
yang melanggar hukum (unlawful legal evidence). Max M. Houck
kemudian menguraikan bahwa bukti yang tidak dapat digunakan
karena diperoleh secara tidak sah disebut dengan tainted evidence
artinya bukti yang ternodai. Termasuk dalam bukti yang ternodai
adalah derivative evidence atau bukti yang tidak asli (Hiariej,
2012:12). Sedangkan ihwal relevant dan admisible maksudanya
adalah bahwa suatu bukti harus berhubungan dan dapat diterima
oleh para pihak dalam kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.
Bukti yang diterima mutatis mutandis adalah relevan tetapi yang
bukti relevan belum tentu dapat diterima.
Berdasarkan uraian tersebut diatas berikut argumentasi
beberapa yuris, kita dapat mengatakan bahwa untuk kepentingan
pemberantasan korupsi perluasan alat bukti petunjuk adalah
rasional dan mutlak dibutuhkan. Menghadapi tindak pidana korupsi
yang kian hari makin menggurita maka diperlukan perluasan
cara dalam memperoleh bukti. Memperluas episentrum bukti

106 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

petunjuk mengindikasikan bahwa upaya serius dari negara untuk


memudahkan KPK dan aparat penegak hukum lain dalam menyidik
perkara korupsi. Perluasan ini diharapkan akan berkorelasi positif
dengan keberhasilan pengungkapan dan pemidanaan pelaku tindak
pidana korupsi.

2. Teori Pembuktian Dalam Peraturan Anti Korupsi


Indonesia
Ihwal teori pembuktian dalam tindak pidana korupsi di Indonesia
pada dasarnya berkorelasi dengan teori pembuktian dalam hukum
acara pidana. Karena itu di atas telah diulas empat teori pembuktian
yang dikenal dalam hukum acara pidana namun hanya teori negatif
yang digunakan dalam Pasal 183 KUHAP. Teori-teori tersebut
dalam perjalanannya tidak mutatis mutandis diterapkan dalam
undang-undang anti korupsi. Oleh karena itu sebelum diulas lebih
jauh tentang teori pembuktian dalam tindak pidana korupsi maka
terlebih dahulu penulis akan mengutip secara lengkap dua pasal
dalam peraturan a quo yang secara langsung berhubungan dengan
teori pembuktian. Pertama, Pasal 12B yang menyebutkan bahwa
setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut: a) yang nilainya Rp. 10.000.000 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. b)
yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum. Kedua, Pasal 37 ayat (1) yang menyebutkan bahwa terdakwa
berhak membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana
korupsi. Pada ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Kedua pasal
tersebut pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain sehingga
bukan sesuatu yang terpisah-pisahkan. Gratifikasi dalam Pasal 12B
adalah berhubungan dengan hak pembuktian dalam Pasal 37 ayat (1)
dan (2) peraturan a quo.
Paling tidak ada lima makna penting bila memahami hakikat Pasal
12B yakni pertama, subjek gratifikasi adalah pegawai negeri atau

107
penyelenggara negara. Kedua, perbuatan menerima gratifkasi adalah
bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Ketiga, ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a pada prinsipnya secara
operasional akan diterapkan pada Pasal 37. Keempat, pembalikan
pembuktian dalam peraturan a quo adalah hanya berlaku pada tindak
pidana korupsi berupa suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp.
10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih. Kelima, bagi tindak
pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari
10.000.000 (sepuluh juta rupiah) maka beban pembuktiannya tetap
berada di tangan jaksa penuntut umum.
Berdasarkan ulasan tersebut, kita dapat mengatakan bahwa
sistem pembalikan pembuktian dalam tindak pidana korupsi
terbagi dua yakni pembalikan pembuktian dan bukan pembalikan
pembuktian – pembuktian biasa (konvensional). Pembalikan
pembuktian dapat dijumpai dalam Pasal 12B ayat (1) peraturan a
quo khusus pada penerima gratifikasi. Sedangkan bukan pembalikan
pembuktian – pembuktian konvensional dapat ditemukan pada Pasal
12B ayat (2) khusus menyangkut gratifikasi yang nilai kurang dari
Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Atas dasar itulah Indriyanto
Seno Adji menegaskan bahwa sistem pembuktian dalam Pasal
12B tersebut bersifat terbatas dan berimbang. Terbatas karena
memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan
secara keseluruhan dan absolut pada semua delik yang ada pada
undang-undang anti korupsi. Sedangkan berimbang artinya beban
pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap
dilaksanakan oleh penuntut umum (Seno Adji, 2006:134).
Ketentuan pembalikan pembuktian pada dasarnya juga telah
direkomendasikan oleh masyarakat internasional melalui Pasal 31
angka 8 UNCAC 2003, state parties may consider the possibility
of requiring that an offender demonstrate the lawful orign of such
alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to
the extent that such a requirement is consistent with the fundamental
principle of their domestic and with the nature of judical and
other proceedings (UNODC, 2003:25). Ada dua makna penting
dari ketentuan UNCAC 2003 tersebut. Pertama, pelaku dapat
memperlihatkan atau menerangkan asal muasal harta kekayaan
yang sah tetapi diduga berasal dari hasil kejahatan. Kedua, proses
perampasan tersebut harus tetap sesuai dengan prinsip dasar hukum
nasional termasuk pula hukum acara pidananya. Secara implisit

108 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

ketentuan ini telah mengadopsi pembalikan pembuktian pada


orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi. Sayangnya
peraturan ini hanya sebagai non mandatory obligation sehingga
negara-negara peserta konvensi dapat memilih menerapkan atau
tidak, tergantung kehendak negara yang bersangkutan.
Masih mengenai pembalikan pembuktian, di atas telah ditegaskan
bahwa ketentuan Pasal 12B bertalian erat dengan Pasal 37. Khusus
Pasal 37 peaturan a quo pada dasarnya terkandung dua hal.
Pertama, pembalikan pembuktian adalah hak terdakwa sebagaimana
disebutkan pada ayat (1). Pengaturan demikian sebetulnya bukanlah
suatu kemajuan sebab hak pembuktian adalah sudah melekat pada
setiap warga negara yang dituduh melakukan tindak pidana termasuk
juga tindak pidana korupsi. Singkatnya penyebutan hak terdakwa
dalam pembuktian adalah sekedar menegaskan hak terdakwa yang
secara alami telah melekat ketika ia dijadikan tersangka atau terdakwa.
Kedua, penegasan tentang pembalikan pembuktian sebagaimana
disebutkan pada ayat (2). Artinya bahwa ada konsekuensi yuridis
ketika terdakwa berhasil membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Dalam hal ini pengadilan akan menjadikan
sebagai dasar dalam memutuskan bahwa dakwaan kepada terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Namun demikian jika
terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi maka hal itu akan dijadikan dasar juga bagi
hakim untuk menghukum terdakwa.
Intinya adalah bahwa mekanisme pembalikan pembuktian
yang diatur dalam Pasal 37 ayat (2) adalah berkorelasi positif
dengan Pasal 12B ayat (1) huruf a. Ketika seseorang didakwa oleh
penuntut umum karena telah menerima gratifikasi berupa suap
maka pembuktiannya adalah kepada terdakwa. Apabila ia berhasil
membuktikan maka dakwaan penuntut umum mutatis mutandis
tidak terbukti kosekuensinya terdakwa dibebaskan dari dakwaan
(actore non probante reus absolvitur). Jadi Pasal 12B ayat (1)
huruf a adalah tindak pidana gratifikasinya sedangkan Pasal 37
adalah opersionalisasi pembuktiannya berupa pembalikan beban
pembuktian (reversal of burden of proof). Selain Pasal 37 sebetulnya
masih ada Pasal 37A yang juga berhubungan dengan pembalikan
pembuktian tetapi Pasal 37A ini tidak memiliki hubungan dengan
Pasal 12B ayat (1) huruf a tersebut. Pasal ini hanya berhubungan
dengan pembalikan pembuktian tentang asal muasal harta benda

109
terdakwa yang bukan berasal dari gratifikasi.
Pembalikan pembuktian dalam perkembangannya tidak hanya
dikenal dalam peraturan anti korupsi tetapi juga dalam tindak pidana
pencucian uang yang diatur dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Dalam Pasal
77 disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya
bukan merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan Pasal 78 ayat (1)
berbunyi: dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 hakim memerintahkan terdakwa agar
membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara
bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Merujuk pada uraian tersebut di
atas hanya ada dua kemungkinan bagi terdakwa yakni pertama,
mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana. Kedua, terdakwa tidak mampu membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Jika terdakwa mampu membuktikan maka konsekuensinya
penuntut umum wajib mengajukan bukti yang dimilikinya yang
dapat menunjukan bahwa harta kekayaan terdakwa berasal dari
hasil tindak pidana. Tetapi jika terdakwa tidak mampu membuktikan
maka hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana dan harta kekayaan
terdakwa yang berasal dari tindak pidana disita untuk negara.

KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam tulisan
ini. Pertama, berbicara tentang pembuktian dalam tindak pidana
korupsi tidak dapat dilepaskan dengan pembuktian dalam hukum
acara pidana secara umum. Pada dasarnya terdapat beberapa teori
pembuktian yakni teori positif, teori conviction intme, teori conviction
rasionee dan teori negatif. Teori negatif ini yang diadopsi dalam Pasal
183 KUHAP. Kedua, dalam perkembangannya peraturan anti korupsi
Indonesia memperkenalkan pembalikan pembuktian khusus pada
gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana disebutkan dalam Pasal
12B jo Pasal 37. Ketiga, peraturan anti korupsi dan pencucian uang
juga memperluas episentrum alat bukti petunjuk dalam KUHAP.
Perluasan ini sasarannya adalah untuk memudahkan penyidikan dan
pembuktian tindak pidana korupsi.

110 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

Keempat, selain dalam tindak pidana korupsi, pembalikan


pembuktian juga diadopsi dalam peraturan anti pencucian uang.
Bahkan dalam peraturan a quo mengenalkan prinsip pembalikan
pembuktian murni. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 77 jo Pasal 78.
Kelima, pembuktian yang awalnya hanya menjadi domain jaksa
(beban pembuktian konvensional) kemudian mengalami pergeseran
(shifting) kepada terdakwa (pembalikan beban pembuktian –
refersal of burden of proof). Prinsip pembalikan pembuktian terbagi
dua yakni pembalikan pembuktian murni (absolut) yang dikenalkan
dalam tindak pidana pencucian uang dan pembalikan pembuktian
bersifat terbatas dan berimbang yang dikenalkan dalam tindak
pidana korupsi.

2. Saran
Pertama, meskpun UNCAC 2003 menyebut bahwa pembalikan
pembuktian sifatnya non mandatory obligation namun kiranya
penting dievaluasi agar undang-undang anti korupsi secara tegas
menggunakan prinsip pembalikan pembukitan baik terhadap
gratifikasi maupun bentuk tindak pidana korupsi yang lain. Kedua,
pembalikan pembuktian tersebut tetap dalam konteks tidak melanggar
prinsip non self incrimination dalam hukum pidana. Karena itu
asas-asas fundamental dalam hukum pidana mesti diadopsi secara
tegas oleh undang-undang anti korupsi. Ketiga, perumusan alat
bukti seharusnya tidak hanya memperluas episentrum alat bukti
petunjuk tetapi secara langsung mengatur tentang alat bukti baru
selain yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Hal ini menjadi
penting sebab sebagai penegasan kehususan peraturan anti korupsi
dibandingkan dengan KUHAP. Keempat, salah satu alat bukti yang
dapat ditambahkan adalah dokumen elektronik dan peta, seperti
yang digunakan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketentuan ini
penting ditambahkan karena pada saat ini tindak pidana korupsi di
bidang sumber daya alam sedang marak terjadi. Kelima, kedepan
khusus menyangkut pembalikan pembuktian murni seperti dalam
peraturan anti pencucian uang agar dibuat sebuah peraturan
khusus yang mengatur prosedur beracara tersendiri sehingga dapat
memberikan kepastian hukum (legal certainty).

111
REFERENSI
Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban
Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta.
__________________, 2007, Korupsi Kebijakan Aparatur
Negara & Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta.
Anshorudin, 2004, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara
Islam dan Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Atmasasmita, Romli, 1995, Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan
Seksual Dalam Perspektif Kriminologi dan Viktimologi, FH UII,
Yogyakarta.
Black, Henry Campbell, 1968, Black Law Dictionary: Definition of
the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence
Ancient and Modern (Fourth Edition), ST Paul Minn-West
Publishing.co, New York.
Chazawi, Adami, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
Alumni, Bandung.
Delisle, Ron, Stuart, Don & Tanovich, David, 2010, Evidence:
Principle and Problems (Ninth Edition), Carswell Thomson
Reuters, Canada.
Dennis, Ian, 2007, The Law of Evidence (Third Edition), Swet and
Maxwel, London.
Evans, Colin, 2010, Criminal Justice: Evidence, Chelsea House
Publisher, New York.
Garner, Bryan A, 2004, Blacks Law Dictionary, West Thomson
Bussines, New York.
Hamburger, Philip, 2008, Law and Judical Duty, Harvard University
Press, Massachusetts-London.
Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum
Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
_____________, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.
_____________, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta.

112 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Ke Arah Pergeseran Beban Pembuktian
(Hariman Satria)

Hiariej, Eddy O.S., 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga,


Jakarta.
Hodgkinson, Tristram and James, Mark, 2007, Expert Evidence Law
and Practice, Sweet and Maxwell, London.
Ingram, Jeffersion L, Criminal Evidence (Tenth Edition), LexisNexis-
Anderson Publishing, New York.
Kadish, Sanford H, 1983, Encyclopedia of Crime and Justice (Volume
I), The Free Press Macmilan Publisher, New York.
Katsaris, W. Ken, 1976, Evidence and Procedure in the Administration
of Justice, John Wiley & Sons, New York.
Krisnawati, Dani, Riyanto, Sigid, Gunarto, Marcus Priyo, Supriyadi
dan Hiariej, Eddy O.S., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus,
Pena Ilmu dan Amal, Jakarta.
Montesqieu, 1993, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa
Undang-Undang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pangaribuan, Luhut M.P., 2008, Hukum Acara Pidana: Surat Resmi
di Pengadilan oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi,
Duplik, Memori Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali),
Djambatan, Jakarta.
Poernomo, Bambang, 1993, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan
Pidana Indonesia Dalam Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981,
Liberty, Yogyakarta.
Poerwadarminta, W.J.S., 1990, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta.
Prodjohamijojo, Martiman, 1990, Komentar atas Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pradnya Paramita,
Jakarta.
Rush, George E, 2003, The Dictionary of Criminal Justice (Sixth
Edition), McGraw-Hill Companies, California.
Satria, Hariman, 2014 Anatomi Hukum Pidana Khusus, UII Press,
Yogyakarta.
______________, 2012, Penerbitan SKPP Oleh Kejaksaan Dalam
Proses Peradilan Pidana, Genta Publishing, Yogyakarta.
Sulivan, Larry E. & Rossen, Marie Simonetti, 2005, Encyclopedia of
Law Enforcement (Volume I), Sage Publication, London.
Tilman, Robert O, 1988, Timbulnya Birokrasi Pasar Gelap;

113
Administrasi, Pembangunan dan Korupsi di Negara Baru, dalam
Muchtar Lubis dan James C, Scoot, Bunga Rampai Korupsi,
LP3ES, Jakarta.
United Nations Convention Against Corruption 2003, UNODC-
United Nations Office on Drugs and Crime, United Nations, New
York.

114 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan
Perampasan Aset Tanpa
Tuntutan Pidana
(Non-Conviction Based
Asset Forfeiture) dalam
RUU Perampasan Aset
di Indonesia
Refki Saputra
Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang – Sumatera
Barat

refkysaputra@gmail.com

ABSTRAK
Upaya pemulihan aset hasil kejahatan merupakan salah satu
perhatian utama dari komunitas global dalam menanggulangi
kejahatan keuangan saat ini. Hal ini menjadi salah satu kaidah
yang diatur dalam United Nations Convention Againts Corruption
(UNCAC) tahun 2003. Dimana, negara-negara pihak diharapkan
dapat memaksimalkan upaya-upaya perampasan aset hasil kejahatan
tanpa tuntuan pidana. Melalui Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perampasan Aset yang sudah digagas oleh pemerintah, diharapkan

115
upaya pemulihan aset hasil kejahatan dapat diefektifkan. Beberapa
tantangan yang harus dihadapi pemerintah diantaranya terkait
dengan isu hak atas harta kekayaan dan juga proses peradilan yang
adil. Mengingat pendekatan perampasan in rem telah menggeser
nilai kebenaran materil tentang kesalahan dalam hukum pidana
menjadi sebatas kebutuhan akan kebenaran formil atas asal-usul
harta kekayaan. Dalam pengimplementasian RUU Perampasan
Aset nantinya, pemerintah setidaknya harus menegaskan bahwa
mekanisme yang digunakan sama sekali tidak membuktikan
kesalahan seseorang, melainkan hanya membuktikan bahwa suatu
aset merupakan hasil kejahatan.
Kata Kunci: perampasan aset, perampasan in rem, harta hasil
kejahatan

ABSTRACT
Asset Recovery efforts from proceeds of crime is one of the main
concerns of the global community to tackle the current financial
crime. This has become one of the rules set out in the United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) in 2003. Where, state
parties are expected to maximize the efforts of confiscation of assets of
crime without criminal charges. Through the draft Bill Confiscation
of assets that have been initiated by the government, is expected to
attempt recovery of assets from crime can be effected. Some of the
challenges faced by the government of which were related to the
issue of property rights and also a fair trial. Considering the in rem
confiscation approach has been to shift the value of the material truth
about errors in the criminal law be limited to the need for a formal
truth on the origin of the assets. In implementing the legislation of
confiscation of assets in the future, the government should at least
be asserted that the mechanisms used did not prove the guilt of a
person, but only to prove that an asset is the result of a crime.
Keywords: asset recovery, in rem forfeiture, procceds of crime

“If we cannot arrest the criminals, why not confiscate their


assets?”
—Liz O’Donnell TD, Irish Politician,

116 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)
dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

PENDAHULUAN
Berbagai upaya penanggulangan kejahatan terus berkembang
seiring dengan perkembangan kejahatan itu sendiri. Dimana upaya
menangkap pelaku kejahatan untuk kemudian dipenjarakan agar
mendapatkan efek jera berangsur-angsur mulai menemui kegagalan
demi kegagalan, terutama bagi kejahatan yang terkait dengan upaya
mencari keuntungan finansial secara ilegal. Belakangan, upaya
menanggulangi kejahatan ini mulai bergeser pada tindakan mengejar
keuntungan ilegal yang didapat ketimbang pelaku aktivitas ilegal itu
sendiri.
Pandangan ini mulai berkecambah pada saat merebaknya jaringan
pengedaran narkotika antar-negara yang membuat penegak hukum
kesulitan untuk menumpasnya. Hasil dari produksi narkotika ilegal
tersebut tumbuh sangat cepat dan mencapai puncaknya pada tahun
1980-an. Jumlah uang yang didapat dari hasil kejahatan berjumlah
sangat besar dan sanggup membiayai aktivitas kejahatan berikutnya.
Selain itu, mereka dapat menyuap para pejabat publik, termasuk para
penegak hukum setempat untuk menutupi kejahatan yang dilakukan.
Hingga tahun 1986, upaya-upaya penegakan hukum di Amerika
Serikat untuk memerangi narkoba dengan memenjarakan mereka
yang mengedarkan dan menggunakan narkoba terbukti tidak
memberikan kesuksesan. Pemerintah Federal Amerika kemudian
menggalakkan upaya perang melawan narkoba (War on Drugs),
namun dengan pendekatan yang berbeda. Penegak hukum mencari
metode lain untuk mengejar pelaku kejahatan, yakni mengarah
kepada hasil kejahatan (going for the money), dalam hal ini dengan
memotong langsung kepada pusat kejahatannya (head of the serpent)
menggunakan konsep perampasan secara pidana dan perdata
sebagai langkah awal. Paradigma penegakan hukum yang dilakukan
saat itu tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, melainkan juga
melalui pengejaran terhadap ‘keuntungan’ ilegalnya (confiscate ill-
gotten gains) (Vetori, 2006). Meminjam ungkapan yang digelorakan
oleh Fancois Noel Babeuf (1760-1797) sebagai orang pertama yang
menyuarakan cita-cita kaum sosialisme, bahwa secara etis apa
yang dicuri dari rakyat harus sedapat mungkin dirampas kembali
(Suseno, 2016). Hasil kejahatan merupakan sesuatu yang tidak boleh
dimiliki terus menerus oleh pelaku kejahatan, dan karenanya harus
dikembalikan kepada yang berhak atasnya.

117
Model pengejaran terhadap keuntungan ilegal, kemudian
diformalkan dalam ketentuan United Nations Convenant Againts
Corruption (UNCAC) tahun 2003. Selain mengatur beberapa
ketentuan tentang kerjasama penanganan tindak pidana korupsi di
dunia, UNCAC juga memandatkan kepada negara anggota untuk
mengupayakan perampasan aset hasil kejahatan. Pasal 54 ayat (1)
huruf c UNCAC yang mengharuskan semua Negara Pihak untuk
mempertimbangkan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap
perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa
proses pidana dalam kasus-kasus di mana pelanggar tidak dapat
dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan
atau dalam kasus-kasus yang lainnya. Dalam hal ini, fokus UNCAC
bukan hanya pada satu tradisi hukum saja, sebab perbedaan
fundamental yang ada dalam setiap tradisi hukum akan menghambat
implementasi konvensi. Karena itu diusulkan agar setiap Negara
Pihak menggunakan perampasan tanpa tuntuan pidana (Non
Conviction Based- NCB) sebagai alat atau sarana – yang mampu
melampaui perbedaan sistem hukum – untuk merampas aset hasil
korupsi disemua yurisdiksi (Ramelan dkk, 2012).
Indonesia sebagai negara pihak dalam UNCAC sebagaimana
yang diformalkan dalam UU No. 7 Tahun 2006, dengan tetap
mempertimbangkan kedaulatan nasional diwajibkan untuk
mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan ketentuan dalam
konvensi tersebut. Ikhwal perampasan aset tanpa tuntutan pidana,
Indonesia sudah menjadikannya sebagai usulan produk hukum (RUU)
ke DPR sejak tahun 2012 melalui pembuatan Naskah Akademis.
Jika dilihat secara umum, materi muatan RUU Perampasan Aset
dianggap sangat revolusional dalam proses penegakan hukum
terhadap perolehan hasil kejahatan. Hal ini setidaknya dapat dilihat
dari 3 (tiga) perubahan paradigma dalam penegakan hukum pidana.
Yakni pertama, pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, tidak
saja subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, melainkan aset yang
diperoleh dari kejahatan. Kedua, mekanisme peradilan terhadap
tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata.
Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana
sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lainnya.
RUU Perampasan Aset ditujukan untuk mengejar aset hasil
kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan. Dengan demikian,
keberadaan RUU Perampasan Aset ini telah mengubah paradigma

118 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)
dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk
menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist),
bahkan yang paling mutakhir sekalipun, yakni rehabilitasi
(rehabilitationist). Apakah kemudian, dengan bekerjanya RUU
Perampasan Aset ini akan menggeser bahkan menghilangkan proses
penegakan hukum konvensional dalam mengejar pelaku kejahatan
atau kemudian melakukan kolaborasi di antara kedua pendekatan
tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara normatif dengan menganalisis
beberapa konsep pendekatan perampasan aset tanpa tuntutan pidana
(Non-Conviction Based Asset Forfeiture) terhadap materi muatan
RUU Perampasan Aset. Analisis dilakukan dengan menjabarkan
beberapa norma yang mendasari kebijakan perampasan aset, mulai
dari UNCAC hingga peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan mekanisme perampasan aset yang sudah ada.
Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menggunakan teori-teori
hukum yang relevan dengan masalah yang dimunculkan.

NCB ASSET FORFEITURE: MERAMPAS ASET


HASIL TINDAK PIDANA MELALUI JALUR PERDATA
Dalam Pasal 1 angka 8 RUU Perampasan Aset, disebutkan tentang
definisi Perampasan In Rem yang berarti suatu tindakan negara
mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara
perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut
yang diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak
pidana. Secara tegas di sini disebutkan bahwa terhadap aset yang
diduga dari dan untuk tindak pidana disidangkan dalam sebuah
pengadilan perdata.
Penggunaan mekanisme perdata dalam merampas aset hasil
tindak pidana tersebut dilakukan murni dalam dugaan kasus
tindak pidana dengan putusan berupa pengambilalihan aset yang
diduga dari hasil tindak pidana tanpa disertai dengan sanksi pidana
terhadap pelaku kejahatannya. Hal ini merupakan konsekuensi logis
dari mekanisme ini karena memang yang dihadapkan ke pengadilan
oleh penuntut umum adalah aset itu sendiri bukan pelaku. Adapun

119
pihak yang berkepentingan dengan aset yang dimaksud (bisa jadi
pihak yang diduga pelaku) dapat menjadi pihak terkait didalam
persidangan untuk mempertahankan aset tersebut. Penggunaan
mekanisme perdata dalam perkara pidana ini merupakan pilihan
pragmatis dari masyarakat global dalam UNCAC untuk memberantas
kejahatan, khususnya korupsi. Namun demikian, pilihan tersebut
penting untuk dijelaskan secara teoritik dan paradigmatik, agar tidak
terkesan hanya mengambil “jalan pintas” dalam penegakan hukum.
Secara historis, fenomena kejahatan terorganisir seperti peredaran
narkotika internasionl ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran
tentang konsep perampasan (confiscation) dalam sistem peradilan
pidana. Sebelumnya, hukum acara pidana yang berlaku didunia secara
umum, pada masa lampau hanya mengenal mekanisme perampasan
tradisional yang disebut sebagai perampasan terhadap instrumen
kejahatan (instrumentum sceleris) atau objek dari kejahatan (objectum
sceleris). Hampir semua sistem peradilan pidana yang berlaku, tidak
menyediakan mekanisme perampasan terhadap hasil kejahatan
(producta/fructa sceleris). Hal ini dikarenakan, terhadap kejahatan
yang tidak menimbulkan korban secara langsung (victimless), pelaku
seolah-olah terbebas dari kewajiaban membayar ganti rugi. Terhadap
pelaku, hanya dikenakan pidana badan (fisik) berupa pemenjaraan.
Hal ini berbeda dengan jenis kejahatan yang menimbulkan korban
langsung, dimana para korban atau keluarganya dapat mengajukan
gugatan materil kepada pelaku kejahatan, seperti yang dipraktikkan
di negara Belgia dan Prancis. Kekuranglengkapan hukum tersebut,
memberikan keleluasaan bagi para pelaku kejahatan menikmati hasil
kejahatan. Seperti kejahatan peredaran narkotika di Inggris dalam
perkara R. v. Cuthbertson (1981), dimana pengadilan dianggap tidak
berwenang merampas keuntungan yang diperoleh dari kejahatan
(Stessens, 2003). Salah satu alasan mengapa hasil kejahatan tidak
dapat dikenakan perampasan saat itu adalah karena hasil kejahatan
dapat dipungut pajaknya, dan oleh karena itu merupakan wewenang
dari lembaga pemungut pajak (Alldridge, 2003). Namun, walaupun
terkesan sebagai suatu kemunduran, perkara ini kemudian menjadi
titik balik bagi perkembangan hukum perampasan modern.
Perampasan harta hasil kejahatan sebenarnya berakar dari sebuah
prinsip keadilan yang sangat fundamental, dimana suatu kejahatan
tidak boleh memberikan keuntungan bagi pelakunya (crime should
not pay), atau dengan kata lain, seseorang tidak boleh mengambil

120 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)
dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

keuntungan dari aktivitas ilegal yang ia lakukan (Alldridge,


2003). Adapun doktrin hukum pidana yang melarang seseorang
mendapatkan keuntungan dari suatu kejahatan tersebut, paling jelas
dapat dilihat dalam suatu kasus pembunuhan seorang suami oleh
istrinya, Florence Maybrick dengan menggunakan racun di Inggris.
Dimana, pada tahun 1981, pengacara dari Maybrick, Richard Cleaver,
mengajukan banding, tapi bukan untuk memohon keringanan
hukuman atas kliennya, melainkan karena polis asuransi sang suami
yang telah diwasiatkan kepada kliennya tidak bisa dicairkan, karena
oleh pengadilan pertama, pelaku pembunuhan dianggap tidak bisa
menerima keuntungan dari kejahatan yang ia lakukan (Alldridge,
2003; Sly, 2009).
Perampasan yang kemudian dipilih adalah dengan menggunakan
jalur perdata. Artinya, perampasan terhadap aset hasil kejahatan
dilakukan tanpa perlu mengenakan sanksi pidana terhadap pelaku.
Artinya, konsentrasi penegak hukum hanya kepada asetnya, bukan
pelaku. Perampasan melalui jalur perdata ini dipilih, karena
perampasan pidana yang sudah ada harus dikaitkan dengan kesalahan
terdakwa. Artinya, harus ada pembuktian kesalahan terlebih dahulu
baru aset yang dihasilkan dari tindak pidana dapat dirampas oleh
negara.
Sementara, mengungkap dan membuktikan kejahatan terorganisir
(organized crime) yang menjadi fenomena kejahatan modern
bukanlan perkara yang mudah. Pengejaran terhadap pimpinan
organisasi kejahatan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat
internasional menemui kegagalan demi kegagalan karena sulitnya
menemukan jejak-jejak mereka dalam aktivitas kejahatan di
lapangan. Mereka ini adalah orang-orang yang hanya memberikan
perintah untuk melakukan aksi-aksi kriminal, dan kemudian sebagai
pihak yang menerima keuntungan hasil kejahatan. Maka, pilihan
untuk hanya mengejar aset hasil kejahatan ketimbang menemukan
pelakunya dianggap sebagai terobosan dari dinamika dunia kejahatan
yang semakin kompleks.
Terlebih, dalam tindak pidana korupsi, hasil kejahatan yang
merupakan kerugian negara yang harus segera dipulihkan karena
terkait dengan perekonomian dan hak dari warga negara, maka
mekanisme perdata dianggap sangat relevan. Mengingat, hukum
perdata tidak bertujuan untuk menghukum, melainkan dirancang
untuk dua hal. Pertama, status quo ante yaitu untuk mengembalikan

121
posisi dari pihak yang dirugikan. Kedua, untuk mengkompensasi
pihak yang dirugikan akibat kerusakan yang dideritanya (Ramelan
et.al., 2012).

TANTANGAN PENGGUNAAN NCB ASSET


FORFEITURE DALAM RUU PERAMPASAN ASET
Aset sebagai pihak dalam proses pengadilan
Mekanisme NCB Asset Forfeiture atau perampasan in rem dalam
memerangi kejahatan financial (financial crime) sudah tidak bisa
ditawar lagi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Cassella (2008) bahwa
perampasan pidana tidak akan pernah cukup untuk mengambil-alih
keuntungan ekonomis yang didapat oleh pelaku kejahatan. Hal ini
sangat beralasan mengingat prinsip utama dari perampasan pidana
yang harus terlebih dahulu mensyaratkan pembuktian kesalahan dari
pelaku untuk dapat merampas asetnya. Sementara, banyak sekali
kondisi yang tidak memungkinkan untuk menyeret pelaku untuk
dituntut secara pidana. Seperti pelaku yang buron, pelaku meninggal
dunia, pelaku memiliki imunitas, dan pelaku tidak diketahui
keberadaannya.
Pada dasarnya, perampasan in rem memiliki tujuan yang sama
dengan perampasan pidana, yakni untuk mengambil hasil dari
kejahatan, namun dengan proses yang berbeda. Mekanisme ini
menempatkan negara sebagai penggugat dan aset sebagai tergugat,
sementara pihak-pihak yang terkait dengan proses perampasan
adalah pihak intervensi (claimants). Dalam mekanisme perampasan
in rem di USA menggunakan nama yang tidak biasa seperti United
States V. $ 160,000 in U.S. Currency atau United States V. Contents
of Account Number 12345 at XYZ Bank Held in the Name of Jones
(Cassella, 2008). Disini berlaku teori fiksi hukum diterapkan
terhadap aset yang biasanya sebagai objek, namun dalam mekanisme
ini diposisikan sebagai subjek. Aset dianggap dapat melakukan
suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan. Konsep
perampasan in rem ini berasal dari sejarah hukum di Amerika pada
abad kedelapan belas dimana dengan memberikan nama kepada aset
selundupan seperti kapal bajak laut atau kapal penyelundup budak
ketika pemiliknya berada di luar Amerika yang mana tidak dapat
dijerat oleh hukum Amerika (Cassella, 2007).

122 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)
dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

Sekilas perampasan in rem memang mirip dengan gugatan perdata


dalam kasus pidana yang sudah dikenal dalam UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan. Dimana, diatur tentang peran Jaksa yang dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara dalam perkara perdata dan Tata Usaha Negara (Pasal
30 ayat 2) sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN). Namun, peran JPN
dalam perkara pidana ini masih menggunakan hukum acara perdata
murni. Dimana, aset masih diperlakukan menjadi objek sengketa dan
gugatan dialamatkan kepada pihak yang menguasai aset.
Model perampasan in rem dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU Tipikor) mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan
adanya kerugian negara (vide Pasal 32, 33, 34 dan Pasal 38 UU
Tipikor). Sementara pendekatan anti-pencucian uang melalui
strategi follow the money yang dianggap lebih maju dari pendekatan
pidana konvensional masih kurang memuaskan karena pada
dasarnya masih dilakukan setelah putusan pengadilan dijatuhkan
(post-conviction forfeiture). Walaupun tidak harus membuktikan
tindak pidana asalnya (predicate crime), namun dalam persidangan
perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus menentukan
jenis tindak pidana asalnya untuk dirumuskan dalam dakwaan jaksa
penuntut umum nantinya. Pembuktian terbalik dalam perkara TPPU
merupakan pelengkap dari pembuktian kesalahan seseorang untuk
dapat dihukum melakukan tindak pidana pencucian uang. Hanya
dalam hal terdakwa meninggal dunia saja, perampasan in rem benar-
benar diterapkan dalam perkara TPPU, yakni tanpa membuktikan
kesalahan, cukup permintaan untuk merampas aset milik terdakwa
yang diduga merupakan hasil tindak pidana (Pasal 69 UU No. 8
Tahun 2010). Oleh sebab itu, Gallant dan King (2013) menyebut
perampasan in rem ini merupakan perubahan yang cukup radikal
dari pendekatan investigasi, penuntutan, dan penghukuman pidana
konvensional.
Titik tekan dari perampasan in rem adalah mengungkap hubungan
antara aset dengan tindak pidana, bukan hubungan antara aset
dengan pelaku (Cassella, 2007). Kesalahan bukan merupakan bagian
pembuktian dalam perampasan in rem, melainkan bukti formil
tentang asal-usul harta aset. Aset yang diduga berasal dari tindak
pidana, sepanjang tidak ada pihak yang membuktikan sebaliknya,
maka pengadilan dapat memutus bahwa aset tersebut ‘tercemar’ dan

123
dapat dirampas oleh negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Namun penting untuk diingat, bahwasannya perampasan in rem
ini bukan hendak menggantikan proses peradilan pidana terhadap
pelaku kejahatan. Walaupun perampasan in rem dianggap lebih
efektif, namun tidak direkomendasikan sekiranya penegak hukum
cukup mampu menuntut pelaku secara pidana. Mengingat, untuk
menanggulangi kejahatan, tetap harus menggunakan sanksi hukum
pidana dan juga dengan perampasan aset hasil kejahatan (Greenberg,
2009). Artinya, model perampasan in rem ini tidak dapat memotong
(bypass) semua proses hukum pidana yang seharus dapat dikenakan
kepada seorang pelaku kejahatan. Kecuali apabila keadaan-keadaan
yang tidak memungkinkan untuk menggunakan jalur pidana, maka
baru perampasan in rem bisa digunakan. Akan lebih baik juga apabila
pendekatan perampasan pidana dan perampasan in rem tersebut
digunakan secara bersamaan (Greenberg, 2009).

Merampas aset tanpa membuktikan kesalahan


Mekanisme perampasan tanpa tuntutan pidana yang dianggap
terobosan ini mengandung poin yang sangat krusial. Yaitu, terkait
dengan hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28-H ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.” Perlindungan
terhadap aset seseorang memang sangat dilindungi dari kesewenang-
wenangan negara, sebagai salah satu ciri negara hukum (rule of law).
Maka, penting untuk dilihat sejauh mana perampasan aset tersebut
tidak menyalah prinsip-prinsip konstitusional.
Bagi sebagian kalangan yang memandang perampasan aset yang
diduga “hasil tindak pidana” harus didahului oleh keputusan atau
kepastian tentang tindak pidana yang menghasilkan aset kejahatan
tersebut, memang sangat mungkin menganggap model perampasan
perdata ini bertentangan dengan konstitusi. Misalnya, hal ini pernah
dilakukan oleh terpidana korupsi Akil Mochtar melaui Uji Materi UU
No. 8 Tahunn 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang ke Mahkamah Konstitusi. Ia mempersoalkan
Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa: “Untuk
dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
disidang pengadilan terhadap tindak pidan Pencucian Uang tidak
wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya,” terutama

124 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)
dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

dalam kata “tidak” yang bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) UUD
1945.
Pada intinya, adanya kata “tidak” tersebut menyebabkan tindak
pidana asal dari tindak pidana pencucian uang yang menghasilkan
aset ilegal tidak perlu dibuktikan, dianggap bertentangan dengan
konstitusi. Ia beranggapan bahwa tindak pidana asal (predicate
crime) ini yang menghasilkan aset hasil kejahatan yang kemudian
disembunyikan melalui metode-metode pencucian uang. Jika tidak
dibuktikan tindak pidananya, mustahil akan ditemukan pencucian
uangnya, apalagi dirampas untuk negara.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 77/PUU-XII/2004,
sebenarnya sudah menyatakan bahwa Pasal 69 UU TPPU tersebut
tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, jika dilihat dalam
pertimbangan hukumnya, MK tidak begitu mengulas tentang
argumen hukum yang lugas mengapa tindak pidana asal tersebut
tidak perlu dibuktikan. MK melalui putusannya hanya menjabarkan
bahwa akan ada ketidakadilan jika seorang yang nyata-nyata telah
menerima keuntungan dari TPPU tidak bisa diproses apabila tindak
pidana asalnya tidak bisa dibuktikan. MK hanya mencontohkan
Pasal 480 KUHP tentang penadahan yang sudah sejak lama tidak
perlu dibuktikan tindak pidana asalnya. Hal ini menjadikan konsep
perampasan aset tanpa memerlukan bukti kesalahan melalui In Rem
atau Civil Forfeiture masih perlu dijelaskan lebih lanjut.
Dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
juga telah menerapkan penyitaan terhadap hasil kejahatan. Pasal 39
Ayat (1) Huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyebutkan bahwa yang dapat dilakukan penyitaan
adalah: benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh
atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasi
dari tindak pidana. Dalam kasus pencurian misalnya, benda yang
dicuri sebagai hasil dari kejahatan yang dapat disita jika ditemukan
oleh penyidik pada saat penangkapan, penggeledahan. Begitu juga
dalam kasus korupsi, hasil kejahatan yang disita misalnya pada saat
ditemukannya sejumlah uang yang diduga sebagai uang suap kepada
pejabat publik tertentu. Hal mana, uang tersebut juga termasuk
sebagai kerugian negara yang dapat dirampas oleh negara. Hanya
saja, paradigma yang digunakan masih bersifat in personam yang
masih melekatkan aset dengan individu sebagai tersangka atau
terdakwa. Aset yang disita kemudian harus dibuktikan merupakan

125
bagian daripada pembuktian unsur kesalahan dari pelaku.
Sementara dalam penyitaan yang bersifat in rem, yang
menggunakan pembuktian terbalik, dimana yang diperlukan
hanyalah sebatas pembuktian dengan standar “keseimbangan
probabilitas” atau “keseimbangan kemungkinan” (balanced
probability). Teori balanced probability principle atau pembuktian
keseimbangan kemungkinan ini, memisahkan antara kepemilikan
aset dengan tindak pidana. Teori ini menempatkan perlindungan
terhadap terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (presumption of
innoncence) sebagai penjabaran prinsip non-self incrimination yang
harus diimbangi kewajiban terdakwa untuk membuktikan asal-usul
aset yang dimilikinya (Yusuf, 2013).
Jika dalam kasus pidana, standar pembuktian memerlukan
derajat kemungkinan yang sangat tinggi, dengan diksi ‘secara sah
dan meyakinkan’ atau dalam sistem hukum anglo saxon berdasarkan
‘beyond reasonable doubt’, maka dalam ‘balanced probability’, yang
maksudnya ‘sesuatu lebih mungkin terjadi daripada tidak’ (Ramelan,
et. al., 2008). Model pembuktian perdata ini berlandaskan prinsip
prepondance of evidance, dimana suatu kebenaran semata-mata
didasarkan pada alat bukti mana yang lebih meyakinkan atau dapat
diukur dengan siapa yang memiliki bukti lebih banyak (Pohan et.al
2008) dan pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang
menyatakan atau menuntut hak tersebut. Maka, dalam perampasan
perdata ini, keyakinan hakim tidak dibutuhkan untuk menentukan
suatu harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana, karena standar
pembuktian yang sudah diturunkan dari standar pembuktian pidana
ke perdata.
Sebagai penegasan, dapat disimak pertimbangan Hakim W.J
Kitchen dalam perkara R. v Nayanchandra Shah di Kanada, yang
menyatakan pendiriannya terhadap perkara pencampuran hasil
kejahatan dengan hasil yang legal oleh terdakwa, dengan pandangan
sebagai berikut :
“tujuan dari penggunaan standar pembuktian yang lebih rendah
adalah untuk menyelesaikan kesulitan untuk membuktikan hal-hal
yang mungkin hanya diketahui oleh si terdakwa. Penuntut harus
mampu membuktikan secara meyakinkan fakta terjadinya tindak
pidana dan jumlah dari hasil tindak pidana tersebut. Namun bukti
untuk mengidentifikasi bagian mana yang merupakan hasil tindak
pidana adalah suatu hal lain. Pemindahan hasil tindak pidana oleh

126 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)
dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

tersangka bisa dilakukan sebagai suatu manipulasi harta ketika


hal tersebut berada di luar kontrol dan pengawasan dari orang
lain. Tindakan tersembunyi tersebut bisa menjadi sangat mudah
dilakukan dengan makin meningkatnya kecanggihan transaksi
komersial dan kemampuan untuk membuat perintah pemindahan
hak atas barang melalui komputer atau elektronik pada skala
nasional maupun internasional. Terdakwa memiliki beban korelatif
untuk membuktikan bahwa keseimbangan dari kemungkinan bahwa
barang yang diperiksa tidaklah dibeli dari hasil kejahatan (Ramelan,
et. al, 2008).
Sementara, untuk mencegah terjadainya pelanggaran dalam
mekanisme ini, penuntut umum harus terlebih dahulu memiliki
dugaan kuat (probable cause) adanya kayakinan bahwa aset
tersangka/terdakwa diperoleh secara melanggar hukum. Di sini,
ditekankan kepada penuntut umum untuk harus terlebih dahulu
memiliki bukti, bahwa seorang memiliki kekayaan transaksi
keuangan diluar kewajaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan,
bahwa dengan menggunakan teori ‘kemungkinan berimbang’ ini
dalam perampasan aset (negara melawan aset), bukan ditujukan
untuk menyatakan kesalahan dan menghukum seorang tersangka
(Yusuf, 2013).

Masalah kewenangan mengadili


Sebagaimana konsep perampasan in rem yang merupakan
proses penegakan hukum pidana namun mengadopsi proses
peradilan perdata dengan mengedepankan kebenaran formil, bukan
kebenaran materil. Dalam Naskah Akademis RUU Perampasan Aset
ini, penanganan prosesnya merupakan wewenang dari Pengadilan
Umum (Ramelan, et.al, 2012). Pengadilan umum yang dimaksud
merupakan pengadilan tingkat pertama yang ada di setiap kota/
kabupaten yang berisikan hakim yang sehari-hari memutus perkara
pidana dan perdata.
Rumusan tersebut tidak menunjuk secara spesifik kriteria hakim
yang dapat memutus perkara permohonan perampasan aset nantinya.
Mengingat konteks perampasan aset in rem yang menggunakan
mekanisme peradilan perdata, yang mana nantinya putusan yang
dikeluarkan berupa penetapan, maka kriteria hakim yang dirujuk
dalam hal ini lebih kepada hakim yang biasa memeriksa perkara
perdata. Namun, sebenarnya mekanisme pembuktian tentang asal-

127
usul aset adalah dengan mekanisme pembuktian terbalik yang tidak
biasa dilakukan terhadap perkara-perkara perdata pada umumnya.
Maka, dengan demikian untuk memastikan efektifitas proses
perampasan aset in rem dapat dilakukan dengan memadupadankan
hakim pidana dan perdata atau hakim yang diberikan pelatihan
khusus tentang mekanisme perampasan aset in rem.
Kemudian, terkait dengan wewenang pengadilan khusus tindak
pidana korupsi (pengadilan tipikor) yang tidak dirujuk dalam naskah
akademis RUU Perampasan Aset. Hal ini sesungguhnya ahistoris
dengan semangat pembentukan pengadilan tipikor. Dimana saat
itu ada pemikiran agar penanganan perkara korupsi bisa lebih
efektif oleh suatu pengadilan khusus tindak pidana korupsi karena
dilengkapi hakim-hakim yang sudah memiliki keahlian yang
spesifik dalam penanganan tindak pidana korupsi, baik hakim pada
peradilan umum dan hakim ad hoc. Konsep perampasan in rem
yang diformalkan dalam konvensi anti-korupsi (UNCAC), karena
maraknya penyembunyian hasil kejahatan dari tindak pidana ini.
Maka sudah selayaknya perkara-perkara perampasan aset in rem ini
juga dapat dilakukan di pengadilan tipikor apabila aset yang tercemar
diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

PENUTUP
Perkembangan teknologi yang membuat transaksi ekonomi
saat ini tidak mengenal batas negara (borderless), dimana pelaku
kejahatan yang terpisah dengan penikmat hasil kejahatan membuat
mekanisme hukum pidana konvensional dirasa belum cukup untuk
memulihkan kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan dimaksud.
Metode perampasan aset secara in rem melalui NCB Asset Forfeiture
ini merupakan konsep yang revolusioner dalam merampas hasil
kejahatan. Prosesnya yang lebih efektif karena menerabas beberapa
asas hukum dan juga dengan menurunkan standar pembuktian
dalam perkara pidana, dianggap berpotensi akan berhadap-hadapan
dengan prinsip peradilan yang adil (due process of law) dan juga hak
atas kepemilikan harta kekayaan seseorang (property rights). Hal
ini misalnya berkaca dari pengalaman gugatan uji materi terhadap
beberapa pasal dalam UU TPPU, seperti ikhwal pembuktian terbalik
dan pembuktian tindak pidana asal. Walaupun Putusan MK sudah
menegaskan konstitusionalitas dari pasal-pasal yang diujikan, namun

128 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)
dalam Ruu Perampasan Aset di Indonesia (Refki Saputra)

putusan tersebut tidak mendudukkan landasan teoritis yang kuat


tentang konsep hasil kejahatan dan perkembangan tentang kejahatan
keuangan kontemporer.
Tantangan terbesar untuk mengintrodusir hukum perampasan
aset in rem dalam RUU Perampasan Aset adalah bagaimana
menjelaskan pendekatan ini yang memisahkan hubungan aset hasil
kejahatan dengan pelaku kejahatan. Walaupun tidak sama sekali
bertujuan untuk menghilangkan proses hukum pidana, namun
adakalanya perampasan in rem nantinya memang sama sekali hanya
mengejar harta kekayaan hasil kejahatan tanpa mempedulikan
siapa pelakunya. Hal ini semata-mata disatu sisi ditujukan untuk
mengembalikan kerugian akibat kejahatan yang dilakukan dan
meminimalisir pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak asasi manusia.

REFERENSI
A. Buku
Alldridge, P. 2003. Money Laundering Law: Forfeiture, Confiscation,
Civil Recovery, Criminal Laundering and Taxation of Proceeds of
Crime. Hart Publishing. Oregon.
Cassella, S. D. 2007. Asset Forfeiture Law in the United States.
Chapters 1 and 2. Juris Publishing. New York, NY.
Pohan, A. et. al. 2008. Pengembalian Aset Kejahatan. Pusat Kajian
Anti Korupsi [PuKAT] Korupsi Fakultas Hukum UGM dan
Kemitraan. Yogyakarta.
Ramelan. et. al. 2008. Panduan untuk Jaksa Penuntut Umum
Indonesia dalam Penanganan Harta Hasil Perolehan Kejahatan.
Indonesia – Australia Legal Development facility. Jakarta.
Ramelan, et. al. 2012. Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Pusat
Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional. Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta.
Sly, N. 2009. Murder by Poison. The History Press. United Kingdom.
Stessens, G. 2003. Money Laundering: A New International Law
Enforcement Model. Cambridge University Press. USA.
Suseno, F. M. 2016. Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Cet. 10. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

129
Vettori, B. 2006. Tough on Criminal Welath: Exploring the Practice
of Proceeds from Crime Confiscation in the EU. Springer.
Netherlands.
Yusuf, M. 2013. Merampas Aset Koruptor; Solusi Pemberantasan
Korupsi di Indonesia. Peneribit buku Kompas. Jakarta.
Greenberg, T. S et. al. 2009. Stolen Asset Recovery: A Good Practices
Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture. The World
Bank. Washington DC.
Jurnal
Cassella, S. D. 2008. The case for civil forfeitureWhy in Rem
proceedings are an essential tool for recovering the proceeds of
crime. Journal of Money Laundering Control. 11 (1): 8 – 14.
Gallant, M. M and Colin King. 2013. The Seizure of Illicit Assets:
Patterns of Civil Forfeiture in Cananda and Ireland. Common Law
World Review. 42: 91-109.

B. Peraturan dan Putusan Pengadilan


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2004.
United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) 2013.

130 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas
dan Pertentangannya
dengan Korupsi
Gunardi Endro
Universitas Bakrie

gunardi.endro@bakrie.ac.id

ABSTRAK
Kata ‘integritas’ dipakai secara luas untuk menyatakan kompaknya
atau utuhnya sesuatu, teridentifikasi dari reaksinya terhadap
rangsangan dari lingkungannya. Penyelisikan makna hakiki integritas
pada akhirnya berujung pada pemahaman tentang pentingnya dua
proses yang berlangsung serentak, yaitu proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal. Pada kasus manusia atau institusi
yang dikendalikan manusia, proses pengendalian internal berkaitan
dengan persoalan bagaimana membangun dan mempertahankan
identitas diri, sedangkan proses partisipasi eksternal berkenaan
dengan persoalan bagaimana mewujudkan keputusan dan tindakan
yang baik berdasarkan identitas diri itu. Identitas diri seharusnya
tidak terlepas dari keputusan dan tindakan yang baik. Meskipun
kekuasaan dibangun dari kemampuan partikular, kekuasaan itu
seharusnya dipergunakan demi kebaikan bersama. Oleh karena itu,
integritas merupakan suatu keutamaan, suatu karakter baik manusia
atau budaya baik organisasi, yang menimbulkan daya dorong bagi
pemiliknya untuk mewujudkan keputusan dan tindakan bagi kebaikan

131
bersama. Karakter atau budaya ini jelas bertentangan dengan korupsi,
karena korupsi merupakan tindak penyalahgunaan kekuasaan dengan
memanipulasi kebaikan bersama demi kepentingan pribadi tertentu.
Jadi, karakter integritas dan budaya integritas secara langsung
bertentangan dengan korupsi. Pengembangan karakter integritas dan
budaya integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.
Kata Kunci: Integritas, pengendalian internal, partisipasi
eksternal, kebaikan bersama, korupsi

ABSTRACT
The word “integrity” is widely used to state the compactness
or the intactness of a thing, identified from its reactions against
the surrounding stimuli. An investigation of the true meaning of
integrity ultimately leads to understanding the importance of two
simultaneous processes, namely the self-governance process and
the externally participation process. In the case of human being
or human-controlled institution, the self governanve process is
associated with the issue of how to build and maintain self-identity,
whereas the externally participation process is associated with how
to actualize good decisions and actions based on that self-identity.
The self-identity should be inseparable from the good decisions and
actions. Though any power is built from particular capabilities, it
should be used for the common good. Therefore, integrity is a virtue,
a good human character or a good organizational culture, that
disposes those who posses it to exercise decisions and actions for
the common good. This character or culture is clearly contrary to
corruption, because corruption is an abuse of power by manipulating
the common good for particular interests. Thus, character of integrity
and culture of integrity are in direct opposition to corruption.
Developing character of integrity and culture of integrity contains a
logical necessity of preventing corruption.
Keywords: integrity, self-governance, external participation,
common good, corruption

PENDAHULUAN
Integritas menjadi kata yang sering sekali disebutkan beberapa
dekade belakangan ini, namun pemaknaannya tidak jelas.

132 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

Ketidakjelasan itu mungkin terkait dengan terlalu banyaknya sesuatu


yang dapat diberikan atribut integritas. Integritas dikaitkan dengan
karakteristik tertentu yang dimiliki sesuatu apa saja, seperti misalnya
integritas jembatan, integritas database, integritas jaringan listrik,
integritas tubuh, integritas orang, integritas kesenian, integritas
perusahaan, integritas pasar, integritas pemerintahan, integritas
negara, dan bahkan integritas ekosistem. Meskipun ada nuansa
karakteristik “kompak” atau “utuh” pada setiap sesuatu yang
berintegritas, namun petunjuk tentang apa persisnya dan bagaimana
mewujudkan kekompakan atau keutuhan itu belum jelas.
Dalam hal orang, misalnya, integritas umumnya dihubungkan
dengan suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang
baik (Audi & Murphy 2006). Pengembangannya seringkali dikaitkan
dengan upaya pencegahan korupsi, sehingga salah satu indikator
yang paling sering disebutkan sebagai representasi sifat orang yang
berintegritas adalah kejujuran. Namun, bagaimana menjelaskan
kejujuran dalam kaitannya dengan kekompakan/ keutuhan?
Meskipun benar bahwa orang tidak mungkin memiliki integritas
tanpa mempraktikkan kejujuran, tetapi bukan tidak mungkin
seseorang yang selalu jujur memiliki tingkat integritas yang rendah
(Carter 1996, 52). Kejujuran buta tanpa pertimbangan kelayakan
konteks malah bisa menunjukkan sifat narsistik dan ketidakpedulian
terhadap akibat buruk yang bakal menimpa orang lain (Martin 1996,
121), suatu sifat yang tampaknya bertentangan dengan integritas.
Kalaupun integritas dikaitkan dengan karakter orang yang penuh
pertimbangan, karakter yang menjamin apa yang dilakukannya
selalu tepat, namun kaitan itu bukanlah tanpa syarat. Seorang
yang berintegritas tidak selayaknya terlalu perhitungan hingga
mengabaikan ikatan afeksi pribadi, perasaan belas kasih, dan emosi
moral pada umumnya. Kalaupun integritas dikaitkan dengan karakter
orang yang teguh memegang komitmennya, kemungkinan perbaikan
komitmen pun tidak bisa diabaikan bagi orang yang berintegritas.
Seorang yang berintegritas memang tidak akan kompromistis
ketika dihadapkan pada kesulitan, tetapi bukan tidak mungkin dia
harus mengevaluasi dan memperbaiki komitmennya atas alasan
fundamental agar dia tidak melawan dirinya sendiri (Davion 1990).
Jadi belum ada satu patokan yang bisa dipakai sebagai rujukan
untuk penjelasan komprehensif tentang makna integritas. Semakin
terkenal kata integritas dalam berbagai penggunaannya, semakin

133
besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan politik, justru
semakin kabur maknanya. Oleh karena itu, penting untuk menyelidiki
dan menemukan patokan penjelas makna integritas agar supaya bisa
menjadi petunjuk arah dalam setiap diskusi tentang integritas dan
terutama dalam setiap upaya pengembangan karakter dan budaya
integritas. Sebagai langkah awal, penyelisikan asal mula makna
integritas perlu dilakukan.

Menyelisik Asal Mula Makna Integritas


Secara etimologis, kata integritas (integrity), integrasi
(integration) dan integral (integral) memiliki akar kata Latin yang
sama, yaitu “integer” yang berarti “seluruh” (“whole or entire”)
atau “suatu bilangan bulat” (“a whole number”), bilangan yang
bukan bilangan pecahan (Skeat 1888, 297; Black 1825, 215-6). Jadi,
sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh dalam
keseluruhannya, sesuatu yang tidak terbagi, dimana nuansa keutuhan
atau kebulatannya tidak dapat dihilangkan. Meskipun sesuatu yang
berintegritas terdiri dari banyak elemen, keutuhan atau kebulatannya
selalu terjaga sebagai hasil dari hubungan timbal balik yang kuat
diantara elemen-elemennya. Namun bersatunya elemen-elemen itu
lebih merupakan suatu persatuan (incorporation) daripada suatu
kesatuan (unity), karena identitas elemen tidak hilang. Identitas tiap
elemen dari sesuatu yang berintegritas masih bisa dikenali, meskipun
fungsinya sulit dipisahkan dari fungsi keseluruhan. Istilah sederhana
“kompak” dan “kekompakan” barangkali tepat untuk menggambarkan
bersatunya elemen-elemen sesuatu yang berintegritas sedemikian
sehingga konotasi keutuhan atau kebulatannya (wholeness) tetap
terjaga.
Menariknya, integritas bisa masuk dalam kategori peristilahan
evaluatif maupun non-evaluatif, tergantung pada apakah sesuatu
yang memiliki integritas itu melibatkan manusia di dalamnya
ataukah tidak. Jika sesuatu yang memiliki integritas adalah sesosok
manusia atau sesuatu yang meliputi manusia sebagai salah satu
pengendalinya, seperti misalnya perusahaan, pasar dan ekosistem,
maka integritas merupakan istilah evaluatif. Namun jika manusia
tidak ada di dalam sesuatu yang memiliki integritas, seperti
misalnya jembatan, database, jaringan listrik dan benda-benda
mati lainnya, maka integritas merupakan istilah non-evaluatif.
Sebagai istilah yang evaluatif, integritas diapresiasi sebagai patokan

134 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

dalam mempertimbangkan baik-buruk suatu tindakan. Sedangkan


sebagai istilah yang non-evaluatif, integritas hanyalah dipakai untuk
menyatakan suatu fakta. Keduanya tetap mengandung makna
konotatif kekompakan (whole) yang menggambarkan kualitas
hubungan antar elemen-elemen sesuatu yang memilikinya.
Ketika integritas non-evaluatif menjadi atribut dari sesuatu yang
memilikinya, kekompakan hubungan antar elemen teridentifikasi
dari fakta bahwa identitas sesuatu tersebut tetap bertahan meskipun
berada dalam tekanan lingkungan yang berubah-ubah. Jembatan
yang memiliki integritas, misalnya, akan tetap berfungsi baik
sebagai jembatan tanpa perubahan bentuk, meskipun jumlah dan
berat kendaraan yang melaluinya berubah-ubah. Sistem jaringan
tenaga listrik yang memiliki integritas akan tetap menjamin
pasokan tenaga listrik ke konsumen-konsumen, meskipun beberapa
bagiannya diistirahatkan untuk pemeliharaan. Di sini, integritas
menggambarkan kualitas daripada dua proses sekaligus, yaitu
proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal.
Proses pengendalian internal adalah mekanisme yang terjadi di
dalam sesuatu yang memiliki integritas, bagaimana elemen-elemen
mengatur hubungan antara satu dengan yang lain ketika merespon
tekanan lingkungan sedemikian sehingga kekompakan identitasnya
tetap terjaga. Proses partisipasi eksternal adalah mekanisme yang
terjadi pada sesuatu yang memiliki integritas, bagaimana ketika
merespon tekanan lingkungan kekompakan diekspresikan secara
fungsional sesuai dengan identitasnya. Pada integritas non-evaluatif,
kedua proses itu tunduk pada hukum alam dan berlangsung
serentak, tak terpisahkan. Keduanya beroperasi secara natural untuk
menyatakan fakta ada-tidaknya identitas yang sudah tertetapkan
terlebih dahulu (predetermined). Jembatan yang memiliki integritas,
misalnya, akan tetap berfungsi sebagaimana identitas jembatan yang
sesungguhnya. Sedangkan jembatan yang tidak memiliki integritas
akan gagal berfungsi sebagaimana jembatan dan menjadi bukan
jembatan lagi.
Ketika integritas evaluatif menjadi atribut dari sesuatu yang
memilikinya, seperti misalnya sosok individu manusia atau sosok
individu organisasi yang dikendalikan manusia, kekompakan identitas
tetap bertahan meskipun sosok individu tersebut tertantang harus
merespon keadaan lingkungan yang berubah-ubah. Sosok individu
yang berintegritas tidak menyerahkan diri pada pengaruh luar atau

135
mengubah dirinya menjadi sosok lain tergantung konteks hidupnya,
melainkan tetap bertahan dengan perilaku yang menunjukkan
satu identitas dirinya yang asli dalam berbagai konteks hidupnya.
Persoalannya, karena manusia memiliki kebebasan kehendak, mau
tidak mau harus memilih: ingin menjadikan diri sosok seperti apa
dan ingin berbuat apa, maka identitas yang dipertahankannya tidak
tertetapkan terlebih dahulu (not predetermined). Demikian pula
perbuatan-perbuatan yang mau mengekspresikan identitas tersebut.
Baik identitas yang mau dipertahankan maupun perbuatan yang mau
dilakukan sebagai ekspresi identitasnya bergantung pada pilihan
manusia. Dengan kata lain, proses pengendalian internal dan proses
partisipasi eksternal tidak tunduk pada hukum alam dan tidak ada
hubungan natural kausalistik di antara keduanya. Integritas tidak
dicapai melalui pemenuhan hukum alam, melainkan diupayakan
secara aktif melalui pilihan identitas dan tindakan yang seharusnya
dilakukan karena ada nilai lebih yang akan diperoleh dengan pilihan
identitas dan tindakan itu. Di sini, integritas bukan menyatakan
fakta apa yang terjadi, melainkan menyatakan apa yang seharusnya
diupayakan.
Peran sentral manusia pada sesuatu yang memiliki integritas
evaluatif membuat integritas tak dapat dipisahkan dari aspek moral
(aspek baik-buruk manusia sebagai manusia). Berdasarkan hakekat
dirinya sebagai manusia, orang yang berintegritas atau organisasi
yang berintegritas diharapkan mengambil keputusan dan tindakan
yang bermoral. Dan keputusan dan tindakan yang bermoral itu harus
mengekspresikan identitas diri yang dibangunnya untuk menegaskan
bahwa makna kekompakan pada dirinya terwujud dan terekspresikan.
Jadi, ada dua aspek integritas bagi individu orang atau individu
organisasi yang berintegritas: pertama, integritas berkaitan dengan
bagaimana individu membangun dan mempertahankan identitas
dirinya (proses pengendalian internal); dan kedua, integritas
berkaitan dengan bagaimana individu melakukan perbuatan yang
bermoral (proses partisipasi eksternal). Makna integritas yang
benar seharusnya mencakup dua aspek tersebut bersama-sama.
Tetapi tampaknya tidak mudah menemukan satu kriteria yang dapat
merepresentasikan dua aspek tersebut sekaligus. Dalam sejarah
perkembangannya, makna integritas-evaluatif cenderung direduksi
dengan menekankan salah satu aspeknya saja. Memang reduksi
makna tidak terjadi pada integritas non-evaluatif, karena proses

136 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal tunduk pada


hukum alam, keduanya memiliki hubungan kausalitas dan secara
natural terjadi bersamaan (serentak). Namun justru integritas dalam
makna evaluatif lah yang sering diperbincangkan di masyarakat.
Reduksi makna menjadi persoalan serius.

Pereduksian Makna Integritas


Reduksi makna integritas jenis pertama adalah dengan
menekankan proses pengendalian internal atau menekankan kriteria
bagaimana kekompakan terwujud pada diri (self) atau identitas diri
(self identity) individu yang memilikinya. Apa yang dianggap penting
pada reduksi jenis ini adalah keadaan atau adanya kekompakan
identitas diri, bagaimana individu membangun dan mempertahankan
kekompakan identitas dirinya. Taylor (1985), misalnya, memaknai
integritas dengan menekankan pada bagaimana individu secara
sadar memilih dan mengintegrasikan berbagai hasrat/keinginan
menjadi kehendak yang terpadu sedemikian sehingga terbangun diri
yang kompak. Williams (1973) memaknai integritas sebagai kesetiaan
pada beberapa proyek hidup mendasar yang paling membentuk
identitas diri individu yang memilikinya. Demikian pula Blustein
(1991) mengaitkan makna integritas dengan individu yang setia
pada komitmen-komitmen mendasar yang membentuk identitas diri
individu yang memilikinya. Calhoun (1995) menggambarkan pemilik
integritas sebagai individu pemikir yang memperjuangkan tegaknya
komitmen-komitmen yang dipegangnya dan memperlakukan
komitmen-komitmen itu sebagai sesuatu yang sangat bernilai. McFall
(1987) menegaskan pentingnya individu untuk memelihara integritas
dengan menolak segala macam kompromi terhadap komitmen-
komitmen pembentuk identitasnya.
Masalah yang muncul dari reduksi makna integritas jenis
pertama tersebut adalah tiadanya persyaratan normatif pada
kriteria pemberian atribut integritas. Sepanjang individu memenuhi
kriteria formal, yaitu mampu membangun, memelihara dan
mentransformasikan berbagai hasrat/keinginan, proyek hidup
mendasar, ataupun komitmen, menjadi identitas diri yang kompak
maka ia adalah individu yang berintegritas. Tidak ada persyaratan
apakah keputusan dan tindakan yang mengekspresikan hasrat/
keinginan, proyek hidup mendasar dan komitmen itu sesuai tuntutan
moral ataukah tidak. Moralitas ekspresi identitas diri tergantung pada

137
kebetulan apakah individu yang bersangkutan memiliki kesadaran
moral ataukah tidak. Oleh karena itu, individu yang jahat dan kejam
namun memiliki identitas diri yang kompak bisa dianggap sebagai
individu yang berintegritas. Integritas bukan lagi suatu keutamaan/
kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Kesimpulan seperti itu
pada umumnya sulit diterima. Pertanyaan tentang kandungan moral
di dalam makna integritas pun kemudian muncul.
Meskipun adanya kandungan moral di dalam makna integritas
sulit ditolak, hubungan antara integritas dan moralitas seringkali
diinterpretasikan secara berbeda-beda tergantung pada moralitas versi
mana yang dipakai sebagai patokan: apakah versi individu penerima
atribut integritas ataukah versi individu pemberi atribut integritas.
Halfon (1989) melihat bahwa moralitas versi penerima atribut
integritas lah yang seharusnya menjadi patokan. Menurut Halfon,
integritas dikaitkan dengan komitmen individu yang memberlakukan
pada dirinya pandangan moral yang secara konseptual jelas, secara
logika konsisten, dan memperhitungkan semua fakta empiris dan
pertimbangan moral. Calhoun (1995) mengemukakan pendapat yang
serupa dengan menegaskan bahwa individu yang berintegritas harus
tetap membela tegaknya pertimbangan terbaiknya sendiri meskipun
perlu menghormati pertimbangan terbaik individu lain. Masalahnya,
kedua pendapat itu tidak bisa memberikan batas demarkasi yang
jelas antara individu yang berintegritas dan individu yang fanatik.
Implikasi yang dapat ditarik dari kedua pendapat itu adalah bahwa
individu fanatik, seperti misalnya seorang teroris yang berpandangan
radikal, masih mungkin disebut sebagai individu yang berintegritas.
Kesimpulan ini secara intuitif juga sulit diterima.
Reduksi makna integritas jenis kedua adalah dengan menekankan
proses partisipasi eksternal atau menekankan moralitas tindakan
versi individu pemberi atribut integritas. Kriteria yang dipakai
sebagai patokan adalah bagaimana konsistensi tindakan moral
individu yang menerima atribut integritas teridentifikasi oleh
pemberi atribut integritas. Karena, tindakan moral merupakan
wujud ekspresi kekompakan diri individu dari segi kemanusiaannya.
Ashford (2000), misalnya, memaknai integritas dengan menekankan
segi objektivitas bagaimana individu harus patuh pada komitmennya
terhadap kewajiban-kewajiban moral. Bagi Ashford, konsepsi diri
individu dapat dikembangkan namun harus disesuaikan dengan
persyaratan-persyaratan moral nyata dari luar dirinya. Implikasi

138 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

dari pemaknaan integritas objektif seperti itu adalah bahwa atribut


integritas hanya bisa diberikan kepada individu yang moralitasnya
bersesuaian dengan standar moralitas masyarakat pemberi atribut.
Masalahnya, pemberian atribut integritas umumnya tidak secara
ketat mensyaratkan persetujuan moral pemberi atribut. Sebagaimana
ditunjukkan Cox, La Caze dan Levine (2003), kita dapat tetap
menghormati seseorang sebagai orang yang berintegritas meskipun
kita tidak setuju dengan pandangannya tentang persoalan moral
tertentu. Memaksakan persetujuan moral pemberi atribut berarti
merendahkan individu itu sendiri sebagai subjek moralitas. Dengan
kata lain, reduksi makna jenis kedua ini mengabaikan aspek personal
individu, seperti misalnya hasrat/ keinginan, pertautan emosional
dan komitmen pribadi terhadap proyek hidup mendasar. Padahal
pengabaian pentingnya aspek personal individu sama saja berarti
pengabaian pentingnya individu itu sendiri sebagai sumber tindakan
moral. Individu tidak diapresiasi sepantasnya sebagai subjek
moralitas.
Jadi, reduksi makna integritas jenis pertama maupun jenis kedua
menimbulkan masalah serius. Penekanan pada proses pengendalian
internal memenuhi makna kekompakan dari aspek personal individu
tetapi mengabaikan aspek moralitas tindakannya, sehingga individu
yang jahat tidak dapat ditolak kemungkinannya menjadi individu
yang menerima atribut integritas. Sedangkan penekanan pada proses
partisipasi eksternal memenuhi makna kekompakan dari aspek
moralitas tindakan individu tetapi mengabaikan aspek personalnya,
sehingga individu lebih berperan sebagai objek moralitas daripada
berperan sebagai subjek moralitas. Tantangan selanjutnya adalah
menemukan konstruksi pemahaman yang dapat mengembalikan
makna dasar integritas dan memberikan kriteria tunggal untuk
pemberian atribut integritas dengan makna dasarnya itu.

Mengembalikan Makna Dasar Integritas


Tidak mudah mengembalikan makna dasar integritas
“kekompakan” dengan mengintegrasikan proses pengendalian
internal dan proses partisipasi eksternal. Proses pengendalian
internal yang berkaitan dengan bagaimana individu secara personal
membangun dan mempertahankan identitas diri (aspek personal)
mencerminkan partikularitas dan subjektivitas. Artinya, individu
sebagai subjek sepenuhnya sadar tentang keadaan partikular dirinya,
keadaan partikular yang diinginkannya, dan nilai-nilai yang harus

139
dirujuk dalam tindakannya pada konteks tertentu. Proses partisipasi
eksternal yang berkaitan dengan moralitas tindakan individu (aspek
moral) mencerminkan universalitas dan objektivitas. Artinya, tindakan
individu bisa dijelaskan secara objektif dari segi kewajarannya terkait
baik-buruknya bagi manusia, sehingga tindakan itu dapat diterima
secara universal. Makna kekompakan tercermin dari kedua aspeknya:
aspek personal dan aspek moral. Jika proses pengendalian internal
dan proses partisipasi eksternal terintegrasikan, maka identitas diri
akan sungguh-sungguh terekspresikan menjadi tindakan-tindakan
moral dan makna kekompakan akan sungguh-sungguh terwujud
dengan kedua aspeknya itu.
Berikut ini akan diajukan konstruksi pemahaman dengan
latar belakang etika keutamaan Aristoteles (Aristotle) untuk
mengembalikan makna dasar integritas. Konstruksi pemahaman
yang dimaksud di sini ditopang oleh dua pilar pemahaman, yaitu
pemahaman tentang hubungan dan tindakan moral dan pemahaman
tentang konsep diri. Pilar pemahaman pertama berkaitan dengan
proses partisipasi eksternal, sementara pilar pemahaman kedua
berkaitan dengan proses pengendalian internal.

1. Pemahaman tentang Hubungan dan Tindakan Moral


Hubungan baik antar manusia dipahami sebagai hubungan
yang ada di dalam suatu ‘ruang konsep’ komunitas ideal yang
mempersatukan mereka. Hubungan baik antara suami dan
istri, misalnya, dipahami sebagai hubungan yang ada dalam
perspektif konsep keluarga yang ideal. Hubungan moral tidak
dipahami secara sederhana sebagai hubungan diadik manusia-A
dan manusia-B, melainkan dipahami sebagai hubungan triadik
manusia-A, manusia-B dan komunitas ideal. Akibatnya, tindakan
moral tidak secara sederhana dipahami sebagai tindakan yang
langsung mempengaruhi kepentingan atau kebutuhan manusia
lain (other-regarding action), melainkan dipahami sebagai
tindakan berkeutamaan (virtuous action) yang mempengaruhi
kepentingan atau kebutuhan manusia lain melalui proses
perwujudan komunitas ideal. Contohnya, ketika ada banyak
pengemis meminta-minta, tindakan yang baik barangkali bukan
dengan mendermakan uang receh kita (karena ternyata aktivitas
pengemis itu dikoordinir oleh seorang mafia), melainkan dengan
mendorong Dinas Sosial Pemerintah setempat untuk mengambil

140 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

tindakan disiplin-berkeadilan guna mengatasi masalah sosial itu.


Melalui perwujudan komunitas yang ideal, pengemis-pengemis
itu akan dihantarkan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai
manusia. Jadi, tindakan moral atau tindakan berkeutamaan
merupakan upaya partisipatif mewujudkan komunitas yang ideal.

2. Pemahaman tentang Konsep Diri


Konsep diri merupakan konsep yang lumer karena “diri”
tampaknya tidak dapat dianggap secara sederhana sebagai objek
untuk suatu penjelasan yang sifatnya deskriptif. Dengan adanya
aneka perjalanan dan pengalaman hidup, sulit menjelaskan
apakah diriku ini tetap sama selamanya ataukah ada perbedaan
antara diriku saat ini dan diriku sepuluh tahun yang lalu. Kalau
berbeda, lalu siapakah diriku ini? Sepertinya diri bukanlah sesuatu
yang sudah jadi, melainkan suatu hasil dari proses pembentukan
yang berlangsung terus-menerus (Hadi 2010, 133-4). Oleh karena
itu, diri lebih tepat dipahami secara evaluatif sebagai sesuatu
yang menjadi (becoming), “menjadi diri” dengan melakukan
perbuatan-perbuatan untuk mewujudkannya karena ada nilai
lebih yang akan diperoleh di dalamnya. Dalam hal ini, perbuatan
yang dilakukannya adalah tindakan moral atau tindakan
berkeutamaan, sedangkan diri yang mau diwujudkannya adalah
diri dari sosok individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan
komunitas ideal. Konsep diri yang dirujuk di sini disebut konsep
“diri yang diperluas” (the expanded self).
Konsep diri-yang-diperluas dapat ditemukan akarnya di dalam
etika keutamaan Aristoteles (Aristotle). Aristotle (2001) dalam
karyanya Ethica Nicomachea paragraf IX.9.1170b.5-7 menyatakan
“…if as the virtuous man is to himself, he is to his friend also (for his
friend is another self)…” Artinya, orang berkeutamaan (virtuous
man) akan menempatkan seorang teman sebagai “diri yang lain”
(another self) seakan-akan diri yang sesungguhnya lebih luas
daripada batas diri yang alami. Pertemanan yang baik (virtuous
friendship) mengatasi batas terpisahnya individu satu dengan
individu lain sedemikian rupa sehingga ada suatu persatuan antara
diri dan diri-yang-lain. Namun, berbeda dengan interpretasi
Stern-Gillet (1995) yang menganggapnya sebagai persatuan yang
sifatnya psikis, persatuan tersebut harus diinterpretasikan sebagai
persatuan yang sifatnya konseptual. Ada skema hubungan triadik

141
antara “orang berkeutamaan” (virtuous man), “diri sendiri” (self),
dan “temannya” (another sellf) sedemikian sehingga hanya jika diri
sendiri dan temannya memiliki atribut orang yang berkeutamaan
maka diri sendiri dan temannya akan saling menempatkan yang
lain sebagai diri-yang-lain (another self). Kalau kumpulan individu
dalam pertemanan yang baik (virtuous friendship) – dimana
masing-masing individu memiliki atribut orang berkeutamaan –
disebut komunitas ideal, maka skema hubungan triadik tersebut
merupakan skema hubungan antara komunitas ideal (ideal
community), diri-sendiri (self), dan temannya (another self).
Dengan begitu, seseorang yang mau mewujudkan dirinya dengan
tindakan berkeutamaan (mau menjadi orang yang berkeutamaan)
akan mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas ideal karena
disitu temannya ditempatkannya sebagai diri-yang-lain. Diri di
sini adalah “diri-yang-menjadi”, diri yang dalam artian tertentu
diperluas dengan komunitas ideal (the expanded self), atau
diri yang hanya akan terwujud jikalau komunitas ideal secara
partisipatif diwujudkannya.

Dua pilar pemahaman tersebut menunjukkan adanya hubungan


‘kausalitas’ antara pilar pemahaman pertama dan pilar pemahaman
kedua, antara proses partisipasi eksternal dan proses pengendalian
internal. Keduanya secara konseptual harus terjadi bersamaan
(serentak). Diri atau identitas diri individu akan terwujud ketika
dia melakukan tindakan moral, yaitu melakukan upaya partisipatif
mewujudkan komunitas ideal. Sebaliknya, tindakan moral (tindakan
berkeutamaan) akan dilakukan ketika dia mengekspresikan dirinya
melalui upaya partisipatif mewujudkan komunitas ideal yang
merupakan bagian dari dirinya. Dengan demikian, makna dasar
integritas “kekompakan” dikembalikan melalui pengidentifikasian
diri dengan komunitas ideal dan upaya partisipatif untuk
mewujudkannya. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok
individu yang selalu mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas
ideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk
mewujudkannya. Tidak ada persoalan motivasional disini.
Pertanyaan yang kemudian barangkali muncul, apakah ciri-ciri
komunitas ideal dan bagaimanakah jika ada banyak komunitas yang
harus diupayakan secara partisipatif oleh individu menjadi komunitas-
komunitas ideal? Sebagai makhluk sosial, setiap individu dapat

142 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

dipastikan menjadi anggota dari banyak komunitas yang kesemuanya


harus diperjuangkan menjadi komunitas ideal. Definisi singkat dari
komunitas ideal adalah suatu komunitas yang seharusnya ada untuk
tujuan sesungguhnya, yaitu tujuan yang secara hierarkis didefinisikan
dengan kehidupan yang baik (the good life) sebagai tujuan akhirnya.
Di bidang ekonomi, misalnya, seorang individu menjadi elemen
komunitas perusahaan, komunitas perusahaan menjadi elemen
komunitas pasar, dan komunitas pasar menjadi elemen komunitas
umat manusia. Di bidang kemasyarakatan, seorang individu menjadi
elemen keluarga, keluarga menjadi elemen komunitas kelurahan,
komunitas kelurahan menjadi elemen komunitas kabupaten,
komunitas kabupaten menjadi elemen komunitas Negara, dan
komunitas Negara menjadi elemen komunitas umat manusia. Di
bidang keprofesian, seorang profesional menjadi elemen komunitas
keprofesian, dan komunitas keprofesian menjadi elemen komunitas
umat manusia. Tujuan masing-masing komunitas didefinisikan
berdasarkan tujuan komunitas yang lebih besar sedemikian sehingga
tujuan akhir komunitas paling besar (komunitas umat manusia) akan
selalu mendasari tujuan setiap komunitas. Adapun tujuan komunitas
paling besar (komunitas umat manusia) adalah kehidupan bersama
yang baik (the good life) atau kebahagiaan bersama di dalam
komunitas (eudaimonia).
Dengan demikian, setiap komunitas ideal harus mendasarkan
tujuannya demi kehidupan bersama yang baik (the good life) sebagai
tujuan akhir. Agar tujuan akhir tersebut bisa tercapai, tiga keutamaan/
kebajikan/ nilai sosial harus diupayakan keterwujudannya yaitu
kemandirian individual (autonomy), kepedulian (caring) dan
keadilan (justice). Kemandirian individual (autonomy) diperlukan
agar setiap elemen (anggota) mampu ikut serta mengalami kehidupan
bersama yang baik (the good life) dengan melakukan upaya partisipatif
mewujudkan komunitas ideal dan, dengan begitu, menjadi elemen
(anggota) yang berintegritas. Kepedulian (caring) diperlukan untuk
membawa setiap elemen (anggota) ke dalam kehidupan bersama
dengan elemen-elemen lainnya dan mewujudkan komunitas ideal.
Keadilan (justice) diperlukan agar setiap elemen (anggota) tetap bisa
mempertahankan identitasnya dalam artian bahwa ia mendapatkan
haknya untuk memberikan kontribusi spesifik sebagai upaya
partisipatif mewujudkan komunitas ideal.
Selain kemandirian individual (autonomy), kepedulian (caring)

143
dan keadilan (justice), setiap komunitas ideal memiliki keutamaan/
kebajikan/ nilai sosial lain yang per definisi harus juga diupayakan
keterwujudannya di dalam komunitas itu dan di elemen-elemen
komunitas itu. Komunitas pasar yang memiliki integritas, misalnya,
mewujudkan nilai-sosial efisiensi agar tujuan sesungguhnya tercapai.
Perusahaan (anggota komunitas pasar) yang berintegritas, selain
mewujudkan nilai-sosial efisiensi juga harus mewujudkan nilai yang
terkait dengan kualitas layanan agar tujuan sesungguhnya tercapai.
Karyawan (anggota komunitas perusahaan) yang berintegritas,
selain mewujudkan nilai-sosial efisiensi dan kualitas layanan juga
harus mewujudkan tercapainya nilai tertentu sesuai dengan peran
spesifiknya di perusahaan. Dengan begitu, antara komunitas yang
memiliki integritas dan elemen-elemennya sangat erat hubungannya
(intimate) sedemikian sehingga seolah-olah identitas elemen sulit
dipisahkan dari identitas komunitas. Kesimpulan ini mematahkan
argumentasi Kasulis (2002) yang memisahkan intimasi (intimacy)
dari integritas (integrity), karena disini integritas justru mensyaratkan
intimasi antara komunitas dengan elemen-elemennya. Untuk
mewujudkan diri sebagai elemen yang memiliki integritas, elemen
itu harus melakukan upaya partisipatif untuk mentransformasikan
komunitas-komunitas yang lebih besar (dimana ia menjadi
anggotanya) menjadi komunitas-komunitas ideal.
Jadi, makna dasar integritas dikembalikan melalui perwujudan
skema hierarkis komunitas-komunitas ideal sebagaimana dijelaskan
di atas. Sosok individu yang berintegritas adalah sosok individu yang
selalu mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas-komunitas
ideal sehingga akan selalu melakukan upaya partisipatif untuk secara
hierarkis mewujudkan semuanya. Karyawan yang berintegritas
akan memperjuangkan perusahaan tempatnya bekerja menjadi
perusahaan yang beintegritas, dengan mana perjuangannya itu
sekaligus juga menghantarkan perusahaan melaksanakan upaya
partisipatif mewujudkan pasar yang berintegritas dan pasar
mewujudkan kehidupan bersama yang baik di masyarakat (komunitas
umat manusia). Agar hal itu terwujud, ketika karyawan tersebut
mempertimbangkan keputusan dan tindakan yang akan dilakukan,
nilai-nilai sosial dasar bagi kehidupan bersama yang baik (komunitas
umat manusia), yaitu kemandirian individual (autonomy),
kepedulian (caring) dan keadilan (justice) menjadi prioritas
pertama sebelum nilai-nilai sosial lain berturut-turut: efisiensi

144 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

(komunitas pasar), kualitas layanan (komunitas perusahaan), dan


nilai sosial yang berkaitan dengan peran spesifiknya sendiri di dalam
perusahaan. Jadi jelas bahwa sosok individu yang berintegritas akan
selalu melakukan upaya partisipatif terbaik dengan ikut mengelola
berfungsinya semua partikularitas (pada contoh karyawan tersebut:
kemampuan spesifiknya, perusahaan tempatnya bekerja, pasar
tempat perusahaannya beroperasi) demi kehidupan bersama yang
baik. Karakteristik seperti ini menjadi cikal-bakal pertentangannya
dengan korupsi.

Pertentangan Integritas dengan Korupsi


Secara etimologis, kata korupsi (corruption) memiliki padanan
kata Latin “corruptus” ataupun “corrumpere” yang berarti merusak,
menghancurkan, membusuk, dan hancur berkeping (Skeat 1888,
136; Klein 1971, 169). Makna ini bersesuaian dengan penjelasan
Aristotle (2001) dalam karyanya De Generatione et Corruptione
bahwa korupsi (corruption), sebagai lawan dari pembentukan/
pembangkitan (generation), mengacu pada sesuatu yang berhenti
menjadi, yang mengalami kemerosotan, atau yang binasa. Pada
seorang manusia, korupsi berarti kemerosotan pada kecenderungan
berperilaku dari apa yang seharusnya menjadi perilaku manusia.
Sedangkan pada konteks pemerintahan suatu Negara, korupsi berarti
kemerosotan yang sifatnya sistemik terhadap praktik-praktik dan
komitmen-komitmen yang membentuk sistem pemerintahan yang
sehat (Buchanan 2004). Makna korupsi seperti itu lebih menekankan
gambaran korupsi sebagai fenomena sistemik dari sudut pandang
sesuatu yang terkorupsi. Masalahnya, gambaran korupsi sebagai
fenomena sistemik cenderung melebih-lebihkan peran kebaikan
bersama (common good) dan cenderung mengabaikan adanya
kemungkinan bahwa tindakan tunggal (non-sistemik) yang koruptif
bisa sama destruktifnya dengan korupsi sistemik.
Alternatif pemaknaan lain terhadap korupsi adalah dari sudut
pandang seseorang atau sekelompok orang yang mengorupsi.
Gambaran korupsi yang disorot berupa tindakan tunggal yang
secara rasional bisa dikategorikan sebagai korupsi. Euben (1989)
menggambarkan korupsi sebagai tindakan tunggal seperti itu dengan
melandaskan pada asumsi bahwa setiap orang merupakan individu
egois yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Asumsi Euben
merujuk pada kodrat manusia egoistik yang diilustrasikan Hobbes

145
(1651) dalam karyanya Leviathan bahwa manusia satu berbahaya
bagi manusia lainnya namun setiap manusia dapat mengamankan
keberadaan dan memenuhi kepentingan dirinya melalui kesepakatan
bersama yang terwujud dalam bentuk kekuasaan Negara. Jadi
menurut Euben (1989), pemegang kekuasaan publik (Negara) yang
mendapatkan legitimasi dari seluruh individu (hasil kesepakatan
bersama) diwajibkan menyelenggarakan kekuasaannya sesuai
dengan standar yang ditetapkan demi kepentingan seluruh
individu (kepentingan publik). Korupsi kemudian dimaknai sebagai
penyelenggaraan kekuasaan yang tidak sesuai dengan standar. Hal
ini tercermin pada definisi yang ditetapkan oleh World Bank (1997)
bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan yang sifatnya privat (the abuse of public power for
private gain). Masalah yang timbul dari gambaran korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan publik adalah pengabaian adanya fakta
bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang sifatnya privat bisa lebih
destruktif dibandingkan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik.
Sebagai contoh, misalnya, skandal korporasi yang melibatkan
penyalahgunaan kekuasaan privat oleh beberapa pemimpin bisnis
di bursa saham Amerika awal abad ke-21 menimbulkan dampak
krisis ekonomi yang terbukti lebih menyengsarakan masyarakat luas
daripada dampak skandal korupsi pejabat publik suatu Negara.
Oleh karena itu, jika korupsi mau dipahami secara lebih
komprehensif daripada korupsi yang hanya terdefinisikan secara
legal formal sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
publik, maka korupsi harus dilihat secara paradigmatik sebagai
penyalahgunaan kekuasaan di semua bidang kehidupan. Seorang
petinju yang mau menerima uang suap untuk mengalah, dokter yang
menolak memberi kesaksian atas malpraktik koleganya, atlet yang
menggunakan doping agar menang dalam perlombaan olahraga,
dosen yang menjiplak tulisan orang lain, ataupun bahkan seseorang
yang membohongi teman hidupnya untuk kepuasan nafsunya sendiri,
kesemuanya itu merupakan kasus yang secara paradigmatik dapat
dimasukkan ke dalam kategori korupsi (Miller 2013). Pada kasus-
kasus tersebut, orang memiliki kekuasaan berdasarkan kepercayaan
komunitas terhadap kemampuan partikular yang dimilikinya untuk
menjalankan peran demi kebaikan bersama (common good). Ketika
kekuasaan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi tertentu
(partikular) dengan memanipulasi seolah-olah kekuasaan itu masih
digunakan untuk kebaikan bersama, maka kasus korupsi secara

146 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

paradigmatik telah terjadi. Jadi jelas, korupsi secara paradigmatik


memanipulasi kebaikan bersama (common good) untuk kepentingan
partikular.
Sementara itu, dari penjelasan tentang integritas sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa integritas merupakan keutamaan/ kebajikan
yang mendorong individu yang memilikinya untuk melakukan upaya
partisipatif terbaik mewujudkan kehidupan bersama yang baik (the
good life) melalui pengelolaan berfungsinya semua partikularitas
yang individu tersebut miliki atau pengaruhi keterwujudannya.
Individu yang dimaksud di sini bisa berupa seorang manusia atau
suatu institusi/ organisasi yang secara fungsional dikendalikan
atau dipengaruhi sekelompok manusia di dalamnya. Pada seorang
manusia, integritas merupakan suatu karakter yang baik, sedangkan
pada suatu institusi/ organisasi, integritas merupakan suatu budaya
organisasi yang baik. Baik pada seorang manusia maupun pada suatu
institusi/ organisasi, integritas menimbulkan daya dorong untuk
mengarahkan berfungsinya partikularitas demi kebaikan umum yang
sebanyak mungkin manusia bisa ikut merasakan (common good).
Dengan demikian, ekspresi integritas secara langsung berlawanan
dengan korupsi. Sementara tindakan yang berintegritas mengarahkan
berfungsinya partikularitas demi kebaikan bersama, korupsi
mengarahkan apa yang seharusnya menjadi kebaikan bersama demi
kepentingan partikular. Sementara tindakan yang berintegritas
mempromosikan atau memperbesar kemungkinan terwujudnya
komunitas ideal, korupsi merusak atau memperkecil kemungkinan
terwujudnya komunitas ideal. Karena arahnya secara substansial
persis berlawanan, integritas tidak hanya secara empiris mencegah
korupsi melainkan secara logis niscaya menangkal korupsi. Dengan
kesimpulan ini tidak berarti bahwa individu yang memiliki integritas
cenderung mengabaikan pentingnya partikularitas. Terkait dengan
pentingnya partikularitas, tiga catatan berikut barangkali bisa
melengkapi gambaran tentang integritas dan individu yang memiliki
integritas.
Pertama, bagi individu yang berintegritas, vitalitas atau daya hidup
partikularitas sangat penting karena hanya dengan partikularitas
yang daya hidupnya kuat, kebaikan bersama dalam komunitas
ideal akan semakin bisa diwujudkan. Pada kasus tertentu, upaya
kreatif individu mempertahankan daya hidup partikularitas dengan
mengorbankan perwujudan kebaikan bersama untuk sementara

147
waktu bisa jadi merupakan bagian dari rencana tindakan yang paling
tepat, karena dengan melakukannya individu tersebut pada akhirnya
bisa memberikan kontribusi terbaik bagi terwujudnya kebaikan
bersama. Seorang eksekutif perusahaan, misalnya, terpaksa harus
mengorbankan nilai-nilai sosial tertentu untuk mempertahankan
keberadaan perusahaannya di komunitas pasar yang korup,
sementara dia memproyeksikan bagaimana pada akhirnya
perusahaannya dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perbaikan moralitas komunitas pasar dan bagi perwujudan kebaikan
bersama dalam komunitas ideal umat manusia. Ada kesan “urgensi”
pada upaya mempertahankan daya hidup partikularitas, tetapi daya
hidup partikularitas yang dipertahankan itu tidak boleh menjadi
tujuan akhir. Setiap segmen proses menjadi bagian dari upaya besar
yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya kebaikan bersama dalam
komunitas ideal umat manusia.
Kedua, berhubung setiap individu memiliki partikularitas yang
berbeda-beda sementara tujuan akhirnya satu yaitu terwujudnya
kebaikan bersama, rencana upaya partisipatif individu yang
berintegritas harus mempertimbangkan persaingannya dengan
rencana upaya partisipatif yang ditawarkan individu-individu lainnya
sedemikian sehingga upaya partisipatif terbaik yang diputuskan dan
dijalankannya dapat secara masuk akal dipertanggungjawabkan.
Upaya partisipatif terbaik yang diputuskannya, relatif terhadap
partikularitas yang dimilikinya, dapat diterima akal sehat individu
lain karena siapapun yang memiliki partikularitas yang sama
cenderung akan mengambil keputusan yang sama. Individu yang
berintegritas selalu siap mempertanggungjawabkan bahwa upaya
partisipatif yang dipilihnya akan memberikan kontribusi terbaik
bagi perwujudan kebaikan bersama, meskipun upaya partisipatif
yang dipilihnya itu justru dengan memberikan kesempatan individu
lain yang lebih ahli (memiliki partikularitas yang lebih baik) untuk
mengambil peran yang lebih besar. Individu yang berintegritas
tidak akan berlindung di balik minimnya partikularitas yang
dimilikinya untuk bermalas-malasan dari peluang mewujudkan
kebaikan bersama dan, sebaliknya, tidak akan menggunakan alasan
perwujudan kebaikan bersama untuk mengambil sebanyak mungkin
peran meskipun partikularitas yang dimilikinya tidak memadai.
Individu yang berintegritas selalu meningkatkan mutu partikularitas
yang dimilikinya, misalnya mengasah kompetensi dan kemampuan

148 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

organisasi tempatnya berkiprah, demi peningkatan upaya partisipatif


mewujudkan kebaikan bersama.
Ketiga, organisasi (komunitas) yang berintegritas tidak hanya
melakukan upaya partisipatif mewujudkan kebaikan bersama tetapi
juga memastikan bahwa upaya itu merupakan hasil kerjasama dari
anggota-anggotanya dalam memberikan kontribusi terbaik bagi
terwujudnya kebaikan bersama. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari ketentuan bahwa individu yang berintegritas (manusia atau
organisasi dengan manusia di dalamnya) tidak akan memudarkan
identitas elemen-elemennya. Jika elemen-elemennya berupa agen
moral (manusia atau organisasi dengan manusia di dalamnya), maka
kemandirian individual (autonomy) dari agen-agen moral harus dijaga
sedemikian sehingga mereka masing-masing bisa mengekspresikan
identitas, partikularitas yang dimilikinya, bagi terwujudnya kebaikan
bersama. Integritas organisasi (komunitas) merupakan hasil upaya
anggota-anggota yang berintegritas, merupakan cerminan anggota-
anggota yang berintegritas. Organisasi yang berintegritas hanya akan
terwujud bersamaan dengan terwujudnya anggota-anggota yang
berintegritas (co-realization or co-actualization). Budaya integritas
organisasi mendorong terbentuknya karakter integritas anggota-
anggotanya. Semakin kuat karakter integritas anggota-anggotanya,
semakin kuat identitas anggota-anggotanya yang diekspresikan
demi kebaikan bersama, semakin kuat kualitas dan daya hidup
partikularitas anggota-anggotanya yang diekspresikan demi
kebaikan bersama, semakin kuat pula budaya integritas organisasi.
Dengan demikian, baik pentingnya kebaikan bersama (common
good) maupun pentingnya partikularitas individu, tidak saling
merendahkan dan direndahkan.
Jadi bagi individu yang berintegritas, urgensi daya-hidup
partikularitas yang dimilikinya perlu dipertahankan (catatan
pertama), kualitas partikularitas yang dimilikinya harus terus-
menerus ditingkatkan (catatan kedua), dan pentingnya partikularitas
yang dimilikinya tidak akan direndahkan atas dasar alasan kebaikan
bersama (catatan ketiga). Makna integritas tidak menekankan
polarisasi “partikularitas” versus “kebaikan bersama (common good)”
dengan memosisikan satu lebih penting daripada yang lain, melainkan
menekankan arah fungsional dari partikularitas ke kebaikan bersama
(common good). Penekanan pada arah fungsional ini menunjukkan
bahwa ekspresi integritas secara substansial berlawanan dengan

149
korupsi, karena korupsi mendorong apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama (common good) ke arah kepentingan partikular.
Jelas sebagai karakter yang baik atau budaya organisasi yang baik,
integritas mengandung keniscayaan logis menangkal korupsi.

KESIMPULAN
Meskipun penggunaan kata integritas dalam retorika politik
di masyarakat saat ini berpengaruh besar dalam meningkatkan
keprihatinan moral terhadap korupsi, namun ketidakjelasan dalam
penyajian maknanya akan membuat pengaruh tersebut berhenti
di tataran politik saja dan tidak berlanjut ke dalam rancangan
keputusan dan tindakan riil yang secara sistematis bisa menangkal
korupsi. Penyelisikan makna integritas di sini dilakukan secara
filosofis untuk menemukan makna dasarnya, menjelaskan bagaimana
makna dasar itu kemudian direduksi hingga muncul berbagai
varietas makna yang beredar di masyarakat, dan mengupayakan
skema pengembalian makna dasar agar supaya mendapatkan
satu patokan makna integritas yang jelas. Integritas tampaknya
tidak cukup direpresentasikan oleh kejujuran, kecermatan dalam
berperilaku, keteguhan dalam berkomitmen, atau pun keutamaan/
kebajikan/ nilai-nilai lain seperti: kesederhanaan, kesabaran,
visioner, keberanian, kedisiplinan, kerja keras, kerjasama, tanggung
jawab, dan sebagainya. Keutamaan/ kebajikan/ nilai-nilai tersebut
lebih merupakan akibat dari terwujudnya individu yang berintegritas
daripada menjadi penyebab munculnya individu yang berintegritas.
Hasil penyelisikan menunjukkan bahwa integritas individu akan
terwujud ketika ia selalu mengidentifikasikan diri dengan komunitas-
komunitas ideal sedemikian rupa sehingga ia akan selalu melakukan
upaya partisipatif untuk secara hierarkis mewujudkan komunitas-
komunitas ideal dalam rangka mewujudkan dirinya. Kebaikan
bersama (common good) terjamin dan terjaga keberadaannya di dalam
komunitas-komunitas ideal itu. Jadi, skema pengembalian makna
dasar integritas menyajikan kontrasnya perbedaan antara integritas
dan korupsi. Sementara korupsi merupakan perilaku penyalahgunaan
kekuasaan dengan memanipulasi apa yang seharusnya menjadi
kebaikan bersama demi kepentingan partikular (kepentingan pribadi
tertentu), integritas merupakan keutamaan/ kebajikan (virtue) yang
menimbulkan daya dorong untuk mengelola berfungsinya kekuasaan

150 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi
(Gunardi Endro)

partikular (kekuasaan yang terkait dengan kompetensi, sumberdaya,


dan kemampuan individu maupun organisasi) demi kepentingan
kebaikan bersama. Arah fungsional integritas tepat berlawanan
dengan korupsi sehingga secara logis integritas niscaya bertentangan
dengan korupsi. Baik integritas maupun korupsi disini dipahami
secara paradigmatik. Maknanya tidak dibatasi oleh pengertian legal-
formal. Makna tunggal integritas yang disajikan secara paradigmatik
di sini direkomendasikan untuk dimanfaatkan sebagai landasan
teoretis bagi praktik pengembangan karakter integritas dan budaya
integritas dalam rangka upaya menangkal korupsi.

REFERENSI
Aristotle. 2001. “Ethica Nichomachea.” Dalam The Basic Works
of Aristotle, terj. W.D. Ross, ed. Richard McKeon. NY: Modern
Library.
____________. “Politica.” Dalam The Basic Works of Aristotle,
terj. Benjamin Jowett, ed. Richard McKeon. NY: Modern Library.
____________. “De Generatione et Corruptione.” Dalam The Basic
Works of Aristotle, terj. Harold H. Joachim, ed. Richard McKeon.
NY: Modern Library.
Ashford, Elizabeth. 2000. “Utilitarianism, Integrity, and Partiality.”
Journal of Philosophy XCVII:8 (August): 421-39.
Audi, Robert, dan Patrick Murphy. 2006. “The Many Faces of
Integrity.” Business Ethics Quarterly 16(1): 3-21.
Black, Harrison. 1825. An Etymological and Explanatory Dictionary
of Words Derived from the Latin. 2nd ed. London: Longman.
Blustein, Jeffrey. 1991. Care and Commitment: Taking the Personal
Point of View. New York: Oxford University Press.
Buchanan, Bruce. 2004. “The Moral Physics of the Body Politic:
Changing Contours of Corruption in Western Political Thought.”
Dalam Proceedings of the Australasian Political Studies
Association Conference. University of Adelaide (September -
October 2004). http://www.adelaide.edu.au/apsa/papers/.
Calhoun, Cheshire. 1995. “Standing for Something.” Journal of
Philosophy XCII(5): 235-60.
Carter, Stephen L. 1996. Integrity. New York: Basic Books.
Cox, Damian, Marguerite La Caze, dan Michael P. Levine. 2003.
Integrity and the Fragile Self. Aldershot-Hants: Ashgate.

151
Davion, Victoria M. 1990. “Integrity and radical change.” Dalam
Feminist Ethics, ed. Claudia Card. Kansas: Kansas University
Press.
Endro, Gunardi. 2007. Integrity in Economic Life: An Aristotelian
Perspective. Dissertation. National University of Singapore.
Euben, J. Peter. 1989. “Corruption.” Dalam Political Innovation and
Conceptual Change, ed. Terence Ball, James Farr dan Russell L.
Hanson. New York: Cambridge Univ. Press.
Hadi, Protasius Hardono. 2010. Potret Siapakah Aku. Yogyakarta:
Kanisius.
Halfon, Mark S. 1989. Integrity: A Philosophical Inquiry.
Philadelphia: Temple Univ. Press.
Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan. London: Andrew Crooke at the
Green Dragon.
Kasulis, Thomas P. 2002. Intimacy or Integrity: Philosophy and
Cultural Difference. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Klein, Ernest. 1971. A Comprehensive Etymological Dictionary of the
English Language. Amsterdam: Elsevier.
Martin, Mike W. 1996. Love’s Virtue. Lawrence: University Press of
Kansas.
McFall, Lynne. 1987. “Integrity.” International Journal of Ethics 98:1
(October): 5-20.
Miller, Seumas. 2013. “Integrity.” Stanford Encyclopedia of
Philosophy. plato.stanford.edu/entries/corruption/ (Fri Jan 25,
2013).
Skeat, Walter W. 1888. An Etymological Dictionary of the English
Language. 2nd ed. Oxford: Clarendon Press.
Stern-Gillet, Suzanne. 1995. Aristotle’s Philosophy of Friendship.
Albany: State University of New York Press.
Taylor, Gabriel. 1985. Pride, Shame and Guilt: Emotions of Self-
Assessment. New York: Oxford University Press.
Williams, Bernard. 1973. “A Critique of Utilitarianism.” Dalam
Utilitarianism for and against, ed. J.J. Smart & Bernard Williams.
Cambridge: Cambridge University Press.
World Bank. 1997. World Development Report: The State in a
Changing Society. Washington D.C.: World Bank.

152 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam
Memberantas Praktik
Korupsi pada Sektor
Pengelolaan Sumber Daya
Alam: Studi Kasus Kawasan
yang Mengalami Perubahan
Bentang Alam di Segara
Anakan, Cilacap
Raden Diky Dermawan
Program Pendidikan Sarjana Antropologi Sosial, Universitas
Indonesia

radendikyd@yahoo.com

ABSTRAK
Studi ini mendeskripsikan adanya praktik menyimpang pada
proses perubahan tenurial di Segara Anakan dari common property
menjadi private property yang dilakukan oleh para aktor atas
dampak terjadinya perubahan bentang alam berupa terbentuknya
daratan sedimentasi. Sebagai sumber daya alam komunal, Segara
Anakan menjadi struggle area bagi para aktornya. Konsekuensi

153
dari hal ini telah melahirkan kontestasi dan negosiasi dalam
memanfaatkan dan menguasai sumber daya alam. Setiap aktor, baik
mereka yang memiliki relasi kuasa maupun tidak, menunjukkan
aksi untuk memiliki dan mendapatkan keuntungan dari sumber
daya alam yang dikuasainya secara pribadi. Studi ini menemukan
bahwa aktor yang memiliki relasi kuasa berusaha mempertahankan
akses agar mendapatkan legitimasi untuk menguasai sumber daya
alam. Aktor dimaksud ialah pejabat formal di lingkup pemerintahan
lokal. Sedangkan aktor yang tidak memiliki relasi kuasa, membentuk
jejaring aktor berdasarkan persepsi kekerabatan dan ketokohan ialah
langkah menguasai sumber daya alam. Berdasakan usaha tersebut,
aktor-aktor diatas disinyalir telah melakukan praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam pemanfaatan sumber daya alam karena
bertentangan dengan norma di komunitas maupun hukum agraria
berlaku. Studi ini bersifat eksploratif dengan tiga tahap dalam
pengumpulan data, yakni (1) melakukan pengukuran hubungan
antar aktor dengan analisis kuantitatif, (2) wawancara mendalam dan
observasi partisipan tehadap aktor yang dianggap tokoh dari output
tahap 1, dan (3) membangun kesepakatan diantara para aktor dalam
mengelola kawasan Segara Anakan melalui diskusi grup terfokus.
Argumentasi dari studi ini melihat bahwa ada usaha aktor-aktor
lainnya untuk memberikan kontrol dengan membentuk jejaring
aktor secara terintegrasi dalam pemberantasan praktik menyimpang
di komunitas adat Kampung Laut sebagai komunitas yang bermukim
di kawasan pesisir Segara Anakan.
Kata kunci: common property, aktor, sumber daya alam, jejaring
aktor

PENGANTAR
Masalah penyimpangan—korupsi sebagai top of mind­ -nya—
tidak pernah ada habisnya untuk dibicarakan karena fenomena ini
semakin meluas dan berdampak tidak baik dalam beberapa tahun
terakhir. Publik disuguhkan berbagai narasi aktivitas korupsi yang
dijalankan oleh beberapa orang—bahkan hampir sebagian dari
mereka merupakan aktor penting dalam pengambil kebijakan
negara. Indonesia belum mampu keluar dari kemelut permasalahan
ini meskipun berbagai upaya telah digulirkan. Regulasi dibentuk

154 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

untuk meminimalisir dan memberi sanksi terhadap perilaku korupsi.


Begitu pun dibentuk—dan diperkuatnya—institusi penegak hukum
dalam memberantas korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan sebagainya didukung oleh social movement yang berasal
berbasis gerakan akar rumput di tengah lingkungan masyarakat.
Di samping itu, Nasrum (2013) mengingatkan bahwa menelaah
permasalahan korupsi tidak semata berbicara hukum, namun perlu
dikembalikan kepada aspek budaya sebagai latar belakang korupsi itu
muncul di lingkungan masyarakat.
Tindakan korupsi pada pengelolaan menjadi kejahatan yang
berdampak buruk, tidak hanya bagi manusia, namun bagi keutuhan
ekosistem. Nampaknya, pemberitaan mengenai korupsi pada sektor
pengelolaan masih kalah apabila dibandingkan penyimpangan pada
sektor pembangunan fisik maupun pelanggaran hukum. Sektor ini
menjadi penting untuk diperhatikan dan dicegah karena menyangkut
food security bagi manusia. Makanan yang dikonsumsi oleh manusia,
tidak dapat dipungkiri bahwa berasal penuh dari keseimbangan
alam. Ketika alam dijadikan arena tindakan korupsi dan mengancam
keutuhannya, cukup dimungkinkan alam tidak lagi memberikan
manusia sumber pangan yang cukup optimal. Hal ini disinggung
oleh Adhuri (1998) yang mengkhawatirkan jika pelanggaran pada
sektor lingkungan atau alam tidak mendapatkan atensi maupun
tertanggulangi dengan segera, permasalahan keterbatasan pangan
menjadi mungkin untuk terjadi.
Adalah Segara Anakan sebagai salah satu yang ada di Indonesia dan
dalam penelitian penulis terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya
oleh berbagai aktor. Segara Anakan merupakan kawasan pesisir
yang mengalami perubahan bentang alam secara signifikan berupa
terbentuknya tanah timbul akibat adanya sedimentasi. Sedimentasi
tersebut berlangsung karena material-material aliran sungai-sungai
besar yang bermuara di Segara Anakan tidak bisa masuk ke laut lepas
(Samudera Hindia) secara langsung. Penelitian yang dilakukan oleh
Ardli dan Wolff (2008) menyebutkan bahwa kawasan perairan di
Segara Anakan pada tahun 1978 seluas 17.090 hektar. Pada tahun
2003 terjadi penyusutan wilayah perairan hampir setengahnya
sehingga tersisa 9.597 hektar. Wilayah daratan yang terbentuk akibat
sedimentasi banyak dikonversi menjadi kawasan persawahan dengan
8.644,4 hektar. Perubahan bentang alam tersebut mengakibatkan
adanya perubahan di masyarakat seperti perubahan mata pencaharian
yang semula nelayan menjadi petani. Menyusutnya kawasan perairan

155
memaksa masyarakat harus beralih menjadi nelayan. Selain itu,
perubahan bentang alam menghasilkan sumber daya alam yang
bersifat common property. Akibat sifatnya yang milik bersama,
setiap masyarakat berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya
alam tersebut. Pada pola seperti ini, ada aktor-aktor yang kemudian
“memanfaatkan” momentum untuk mengatur tata kelola
Gagasan Hardin (1968) mengenai common property menjadi
relevan untuk menjabarkan kondisi sosial komunitas Kampung Laut
dalam proses terjadinya perubahan bentang alam. Hardin dengan
maksud “tragedi” hendak memprediksi bahwa ekploitasi tanpa
batas terhadap sumber daya milik bersama akan berdampak pada
kehancuran. Kehancuran tersebut menunjukkan adanya perilaku
manusia yang condong bersifat abuse. Hardin melihat bahwa dari
peristiwa pemanfaatan atas sumber daya alam milik bersama, akan
ada pihak yang diuntungkan dan mengalami kerugian. Ketika ada
pihak mengambil keuntungan atas pemanfaatan sumber daya alam,
di sisi lain kerugian akan menjadi pertanggungan bersama dari aktor-
aktor terlibat. Apabila fenomena ini berjalan dan berlaku secara terus
menerus—sesuai kekhawatiran Hardin, masyarakat mengalami
kesulitan untuk mendapatkan akses pemanfaatan hingga mengalami
keterpurukan ekonomi akibat adanya pemanfaatan common
property. Hardin mengusulkan dua solusi utama menangani “tragedi”
yang dikhawatirkannya, yakni adanya pengawasan dari Negara dan
perubahan menjadi private property (privatisasi).
Perubahan bentang alam yang terjadi di Segara Anakan telah
melahirkan dinamika dalam penguasaan dan pemanfaatan atas
sumber daya alam. Tanah timbul yang bertansformasi daratan
menjadi struggle area bagi tokoh-tokoh dalam komunitas, begitu
pula wilayah perairan dan sumber daya alam lainnya. Sanjatmiko
(2016) telah menjabarkan bahwa masyarakat yang berada di sekitar
Segara Anakan memanfaatkan sumber daya alam dengan seperangkat
akses dan jejaringnya untuk mendapatkan keuntungan terbesar.
Pada penjelasannya, terdapat aktor-aktor yang memiliki kuasa
untuk memanfaatkan, di sisi lain ada aktor yang mengoptimalkan
jejaringnya. Kontestasi ini akan menerjemahkan bahwa ada aktor yang
mendapatkan dan tidak mendapatkan akses untuk memanfaatkan
sumber daya alam milik bersama.
Gambar 1. Perubahan bentang alam di Segara Anakan sejak tahun
(a) 1987, (b) 1995, (c) 2003, dan (d) 2006 (Ardli dan Wolff 2008)

156 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

a b

c d

Kontestasi yang terjadi di komunitas yang mengitari Segara


Anakan tidak terpisahkan dari pemahaman bahwa sumber daya
alam di Segara Anakan memiliki keterbatasan dan ketangguhan jika
dibandingkan dengan kawasan sumber daya alam di lokasi lainnya.
Keterbatasan itu melingkupi seperti terbatasnya hasil tangkap ikan
di wilayah perairan karena pendangkalan dan penyusutan wilayah
tangkap ikan, tidak optimalnya hasil pertanian yang disebabkan
masuknya air laut (air asin) pada wilayah pertanian, hingga
terganggunya kegiatan perkebunan atau perhutanan masyarakat
akibat sengketa dengan pengelola Lapas Nusakambangan yang
masih berlangsung hingga saat ini. Penulis berasumsi bahwa
semakin terbatasnya sumber daya alam akan menyebabkan semakin
“diperebutkannya” sumber daya alam tersebut. Bagi aktor yang tidak
berhasil menguasai sumber daya alam pada konteks tersebut, maka
aktor tersebut mengalami ketertinggalan dan perlu mencari alternatif
lain disamping mengandalkan pemanfaatan untuk bertahan hidup
(livelihood). Pada konteks lain, untuk “mengakali” terbatasnya
sumber daya alam tertentu, beberapa aktor masyarakat melakukan
peralihan terhadap mata pencahariannya seperti dahulu menjadi
nelayan. Pilihan demikian menjadi teramat umum setelah ada
perubahan bentang alam

157
Penulisan ini penting dilakukan, berhubungan dengan perubahan
tenurial yang terjadi di kawasan Segara Anakan. Proses sedimentasi
kawasan perairan menjadi daratan yang terjadi secara masif terutama
sejak tahun 1980an, menjadi ruang pertarungan (struggle area)
dari para aktor didalamnya untuk mendapatkan keuntungan dari
sumber daya alam di wilayah itu. Proses-proses perubahan tenurial
yang terjadi menurut pemikiran Hardin dapat dijelaskan secara
lebih dinamis melalui penjelasan para aktor yang terlibat di dalam
proses tenurial di kawasan Segara Anakan dengan atau tanpa mereka
menguasai/memiliki properti. Kontestasi di antara mereka melalui
akses jejaring dan kuasa yang dimilikinya menguatkan peran mereka
dalam membawa persoalan sosial dan lingkungan kawasan Segara
Anakan (Sanjatmiko 2016). Peluso dan Ribot (2003) melihat bahwa
ada semacam susunan jaringan akses dari aktor-aktor. Perhatian
mereka memungkinkan ahli memetakan perubahan proses dan
hubungan akses, aktor dengan sumber daya alam. Konsep akses
disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya beruntung
dari sesuatu dan melalui apa proses yang mereka lakukan. Akses
secara empirik memfokuskan diri pada siapa yang mendapatkan apa,
dalam cara apa, dan kapan untuk mendapatkan keuntungan dari
sumber daya alam. Kekuatan ini terdiri atas material, kebudayaan,
dan ekonomi politik dengan ikatan dan jaringan kekuasaan yang
menyusun akses sumber daya alam. Dengan melihat hal tersebut,
penulisan ini ingin melihat signfikansi jaringan aktor terhadap
pemanfaatan, penguasaan, dan pengawasan terhadap sumber daya
alam di Segara Anakan.

Implikasi terhadap Perubahan Bentang Alam


Sebagai titik sentral dari pertemuan 4 sungai-sungai besar dari
pulau Jawa, Kampung Laut menghadapi dampak pengendapan tanah
yang teraliri oleh sungai-sungai tersebut. Endapan tanah dan material
yang dibawa sungai seyogyanya terlepas ke laut, namun terhalang
oleh keberadaan Pulau Nusakambangan yang berada dekat dengan
titik muara dari sungai-sungai itu. Secara perlahan-lahan, endapan
tersebut menumpuk dan menjadi padat karena tekanan arus sungai
yang cukup besar. Lambat laun, fenomena tersebut berujung pada
terbentuknya daratan-daratan baru hasil dari sedimentasi. Secara
tidak langsung, proses sedimentasi ini menyebabkan terjadinya
pendangkalan dan penyusutan wilayah perairan di Segara Anakan.

158 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Diagram 1. Peralihan Lahan Mangrove di Segara Anakan Tahun


2003 (diolah dari Ardli dan Wolff 2005)

Peralihan Lahan Mangrove di


Segara Anakan Tahun 2003

Persawahan Pemukiman Tegalan


Area Industri Pertambakan Lainnya

Proses sedimentasi mulai dirasakan oleh masyarakat cukup


kuat pada tahun 1980-an, bersamaan dengan meletusnya Gunung
Galunggung di Jawa Barat yang membawa material lumpur dan
endapan tanah ke Segara Anakan melalui aliran sungai. Hasil
penelitian Ardli dan Wolff (2005) melihat bahwa pada tahun 1978
terjadi peralihan kawasan perairan dan lahan mangrove di Segara
Anakan akibat adanya proses sedimentasi. Pada masa tersebut,
luas lahan mangrove sebesar 17.090 hektar, mengalami penurunan
hingga tersisa 9.597 hektar (43,8%) pada 2003. Pada rentang waktu
tersebut, lahan mangrove telah dikonversi menjadi lahan sawah
(8.644,4 hektar), pemukiman (225 hektar), tegalan (1.108 hektar),
area industri (97,7 hektar), tambak (515,1 hektar) dan lainnya (353,7
hektar). Hasil penelitian tersebut menguatkan anggapan bahwa ada
peralihan lahan akibat terjadinya sedimentasi secara besar-besaran
dengan memanfaatkan daratan timbul sebagai kawasan milik
bersama. Konversi lahan yang paling besar beralih untuk wilayah
pertanian.
Penyusutan wilayah perairan dan pertambahan kawasan
daratan berakibat besar pada pola sosial dari masyarakat di Ujung
Alang. Penulis memetakan terdapat tiga dampak besar dari adanya
perubahan bentang alam bagi masyatakat Kampung Laut. Pertama,

159
masyarakat melakukan peralihan mata pencaharian dari nelayan
menjadi petani. Peralihan tersebut adalah sebuah konsekuensi logis
dari tidak optimalnya kembali kawasan perairan sebagai kawasan
menangkap ikan. Dahulu dikisahkan para nelayan sering mendapat
ikan-ikan dalam ukuran cukup besar. Namun, saat ini nelayan banyak
diganggu oleh keberadaan ikan kating yang menjadi hama bagi
populasi udang peci dan biota air lainnya. Kedua, terdapat upaya dari
masyarakat untuk memanfaatkan. Proses sedimentasi membuat pola
pikir masyarakat mengarahkan diri untuk mengoptimalkan sumber
daya alam yang berada di sekitarnya, walaupun bersifat terbatas.
Tidak sedikit dari masyarakat yang kini memanfaatkan kawasan
hutan mangrove sebagai wilayah wisata, menebang pohon mangrove,
atau menjadikannya produk pangan lokal. Ketiga, terbentuknya
struktur pemerintahan untuk memberikan tata aturan terhadap
masyarakat. Setelah ditemukan komunitas yang mendiami Segara
Anakan, Pemerintah sigap dengan membentuk Pemerintahan Lokal—
setingkat bau atau Dusun—dan Pemerintahan Desa. Sebagai puncak
otonomi terjadi pada tahun 2000 ketika Bupati Cilacap berkunjung ke
Kampung Laut dan berjanji akan membentuk Pemerintah Kecamatan
agar lebih memudahkan akses birokrasi yang sebelumnya terpusat di
Kecamatan Kawungaten.

Livelihood System dan Basis Ekonomi Masyarakat


Penulis melihat bahwa Kampung Laut sebagai komunitas yang
menghuni kawasan Segara Anakan adalah daerah yang memiliki
keunikan apabila ditinjau dari basis ekonomi dari masyarakat.
Tiap-tiap desa yang berada di dalam lingkup Kampung Laut
masing-masing memiliki basis ekonomi yang berbeda-beda dengan
disesuaikan kondisi alam sebagai penopang kehidupan. Masyarakat
menggantungkan hampir seluruh kebutuhan hidupnya dari alam.
Kondisi demikian mengasumsikan bahwa livelihood system sebagai
kebutuhan ekonomi di Kampung Laut selalu disediakan dan
difasilitasi oleh alam (Sulistiono, 2011). Masyarakat mengoptimalkan
livelihood systemnya untuk menguasai dan memanfaatkan sebagai
strategi untuk bertahan hidup.

Tabel 1. Persebaran Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan


Kampung Laut Tahun 2014 (BPS Cilacap 2015:62-63)

160 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

JUMLAH (JIWA)

Buruh Tani 1.613


Nelayan 1.439
Buruh Industri 211
Buruh Bangunan 97
PNS 44
TNI/POLRI 7
Pensiunan 10

Tabel 2. Ragam Livelihood Masyarakat Kampung Laut Acuan


Tahun 2016 (Data lapangan)
PEKERJAAN POTENSI PENGHASILAN (PER HARI) MASA KERJA (SETAHUN)
Pengangkut air Rp. 50.000,- Sepanjang tahun
Penebang pohon mangrove Rp. 5.000,- Sepanjang tahun
Penangkap katak Rp. 100.000 s.d Rp. 150.000,- Musim penghujan
Penangkap burung Rp. 20.000,- s.d Rp. 800.000,- Sepanjang tahun
Penebang nipah Rp. 50.000,- Sepanjang tahun
Pengumpul kayu bakar Rp. 3.000,- Sepanjang tahun
Pencari kerang totok Rp. 100.000,- Sepanjang tahun
Penambang pasir Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahun
Penambang batu kapur Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahun
Pekerja bangunan Rp. 50.000,- s.d Rp. 100.000,- Sepanjang tahun
Penjahit Rp. 50.000,- s.d Rp. 75.000,- Sepanjang tahun
Petambak Rp. 50.000,- Sepanjang tahun
Petani/pekebun Rp. 50.000,- Sepanjang tahun
Pencari ikan (nelayan) Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahun
Pemijat Rp. 30.000,- s.d Rp. 50.000,- Sepanjang tahun
Pemangkas rambut Rp. 20.000,- s.d Rp. 50.000,- Sepanjang tahun
Pemotong kayu Rp. 150.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahun
Pencari batu akik Rp. 50.000,- Sepanjang tahun
Pemoles batu akik Rp. 50.000,- s.d Rp. 100.000,- Sepanjang tahun
Pencari bibit mangrove Rp. 100.000,- Sepanjang tahun
Pengemudi compreng Rp. 100.000,- s.d Rp. 200.000,- Sepanjang tahun

Dinamika Common Property dan Private Property


Perubahan pola penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
alam dari common property ke private property di wilayah Segara
Anakan salah satunya ditunjukkan dalam penggunaan alat tangkap
ikan yang digunakan oleh masyarakat. Sebelum proses sedimentasi
berlangsung secara intensif sekitar tahun 1980-an, wilayah perairan
Segara Anakan masih merupakan kawasan perairan yang digunakan
oleh masyarakat Kampung Laut sebagai fishing ground “milik”
bersama. Berbagai jenis alat tangkap ikan dan sejenisnya digunakan
yang pada dasar penggunaanya dilakukan pada kawasan common

161
fishing ground. Sejalan dengan terjadinya proses sedimentasi yang
mendorong juga terjadinya semakin sempit kawasan fishing ground
di Segara Anakan, beberapa alat tangkap yang digunakan pada
kawasan common fishing ground sudah tidak digunakan lagi karena
semakin menyempit dan hilangnya kawasan common fishing ground.
Alat tangkap ikan seperti banjang, pasangan sero, gilap, ngambang,
jaring lingkung pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Pada masa
ini jenis alat tangkap ikan yang masih digunakan karena masih
sesuai dengan kondisi fishing ground yang semakin menyempit dan
semakin dangkal seperti jaring, perangkap kepiting (traping) seperti
wadong dan mencari kerang totok.
Perubahan proses pemanfaatan sumber daya alam dari private
property ke common property di Kampung Laut, ditunjukkan
dalam kasus pemanfaatan lahan mangrove yang dijadikan sebagai
kawasan wisata dan penelitian mangrove di Desa Ujung Alang. Dari
segi kepemilikkan dan penguasaan lahan tersebut merupakan milik
perorangan dan dikuasai oleh perorangan pula dengan penguat surat
berupa Surat Penguasaan Tanah (SPT) yang diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Empat orang yang menguasai lahan
tersebut tergabung dalam Kelompok Tani Mangrove desa Ujung
Alang dengan jumlah anggota 18 orang. Saat ini lahan seluas 6 Hektar
tersebut digunakan sebagai kawasan wisata mengrove yang banyak
dikunjungi oleh wisatawan lokal, pihak universitas dan institusi
penelitian seperti LIPI dan LAPAN untuk melakukan penelitian.
Pihak pemilik lahan secara perorangan maupun kelompok, tidak
memungut biaya atas penggunaan jasa lingkungan lokasi wisata dan
penelitian mangrove tersebut. Sebaliknya manfaat yang didorong oleh
kelompok petani mangrove tersebut adalah menyediakan makanan
untuk dibeli oleh pengunjung yang sifatnya tidak wajib dengan harga
yang terjangkau. Dengan dibukanya wisata kawasan mangrove,
warga sekitar mendapat manfaat ekonomi melalui penyediaan jasa
dan perdagangan yang dibutuhkan oleh pengunjung. Di sisi lain
pengurus kelompok tani mangrove tersebut tidak mau menarik iuran
masuk bagi pengunjung karena adanya rasa kuatir penetapan pajak
wisata oleh pihak pemerintah Kabupaten Cilacap atau justru kawasan
tersebut akan diambil alih oleh pemerintah Kabupaten Cilacap
sebagai aset daerah.
Menguasai Sumber daya Alam: Kontestasi dan Negosiasi
Aktor

162 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Dalam penjelasan teori akses, beberapa orang atau institusi bisa


mengontrol sumber daya alam sementara yang lain mempertahankan
akses mereka melalui siapa yang mengontrol sumber daya alam.
Perhatiannya pada perbedaan hubungan akses sebagai satu jalan
akses yang bisa dilihat sebagai sebuah analisis dinamika. Analisa akses
juga membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau
institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam, dengan
ada atau tidak kepemilikan barang pada mereka (Ribot dan Peluso,
2003). Gejala demikian ditemukan pula dalam studi ini. Temuan
gejala ini akan disampaikan dalam dua bagian, yaitu kontestasi dalam
cara memperoleh akses dan bagaimana akses tersebut digunakan
untuk mendapat keuntungan tanpa harus memiliki atau menguasasi
sumber daya alam.
Memasuki persoalan kontestasi antar para aktor dalam
pemanfatan yang memunculkan kontestasi maupun negosiasi, dapat
dilihat dalam beberapa kasus berikut.
a. Kasus tata batas antara Perhutani dengan masyarakat di
Kecamatan Kampung Laut. Kasus ini diawali oleh perbedaan
interpretasi atas penguasaan tenurial antara negara yang
diwakili oleh Perusahaan Kehutanan Negara (Perhutani)
dengan masyarakat Desa Ujung Alang. Tarik menarik antara
dua kepentingan ini menghasilkan kesepakatan antara kedua
belah pihak yaitu tetap diperbolehkannya warga menempati
dan memanfaatkan lahan milik Perusahaan Kehutanan Negara
(Perhutani), namun kepemilikkan tidak berada pada mereka.
b. Antar para aktor pemilik lokasi jaring apong. Konflik
antar pemilik kawasan jaring apong terjadi disebabkan oleh
pergeseran batas dan pengalihan hak milik kepada orang lain
tanpa disaksikan oleh pihak Pemerintah Desa atau saksi yang
memadai. Kompromi yang dihasilkan untuk penyelesaian
konflik batas lokasi adalah kesepakatan jarak minimal 300
meter antar jaring apong. Kompromi atas pengalihan hak atas
lokasi jaring apong, maka Pemerintah Desa mengeluarkan surat
sertifikat tanda bukti kepemilikan lokasi jaring apong. Kedua
langkah tersebut berhasil mengurangi konflik yang terjadi akibat
pemanfaatan lokasi jaring apong.
c. Kasus pengkaplingan lahan atas saran Kepala Desa. Seluruh
tanah sedimentasi yang berada di Kampung Laut, sebagian
besar sudah terkapling-kapling dan dikuasai sebagai private

163
property. Bahkan sebagian tanah tersebut sudah memiliki
Surat Pemberitahuan Pajak (SPT); yang berarti satu langkah
bukti penguasaan atas lahan tanah sedimen bagi individu.
Namun demikian, tidak semua tanah sedimentasi tersebut
telah memiliki SPT seperti yang terjadi di Desa Ujung Alang.
Oleh Kepala Desa setempat, tanah sedimentasi tersebut diminta
untuk ditandai batas-batas kepemilikannya sehingga jelas luasan
penguasaannya. Setelah Kepala Desa mendapatkan data luasan
dan pemilik tanah sedimen yang belum memiliki SPT tersebut,
kemudian diajukan sebagai agunan bank dengan persetujuan dari
Bupati Cilacap. Bupati Cilacap tidak mau menyetujui permintaan
tersebut untuk mendukung pengajuan kredit ke bank dengan
jaminan lokasi tanah sedimen warga seluas total sekitar 2500
hektar dan belum mempunyai surat-surat bukti penguasaan/
kepemilikan. Sebagian warga Desa Ujung Alang merasa curiga
kepada Kepala Desa atas proses yang dilakukannya yang akan
mendapatkan keutungan pribadi dari proses pengajuan kredit ke
bank tersebut dengan jaminan tanah sedimentasi.
d. Elit Desa Klaces yang menjual Tanah Bengkok milik Desa Ujung
Alang di wilayah Klaces. Lokasi tanah bengkok desa Ujung
Alang terletak dalam kawasan Klaces. Hal ini disebabkan karena
Klaces secara luasan tidak dapat dijadikan sebagai desa karena
luas wilayahnya tidak memenuhi syarat. Agar dapat memenuhi
syarat sebagai desa, maka tanah bengkok Ujung Alang yang pada
awalnya merupakan desa induk pemekaran dari Ujung Alang
dijadikan sebagai bagian dari wilayah Klaces. Pada saat adanya
program pengukuran lahan oleh BPN guna mengeluarkan batas
dan surat SPT, tanah bengkok Ujung Alang di Klaces tersebut
diakui oleh seorang aparat desa Klaces sebagai miliknya
sehingga sampai pada kondisi pihak BPN mengeluarkan SPT
lahan tanah bengkok atas nama pribadi aparat desa tersebut.
Kondisi ini ternyata menyulut kemarahan aparat Ujung Alang
yang mengetahui bahwa tanah bengkok tersebut bukanlah milik
pribadi sehingga tidak bisa dikeluarkan SPT-nya. Pada kondisi
lain ternyata Kepala Desa Ujung Alang mendiamkan kejadian ini
yang menambah kemarahan para pamong Desa Ujung Alang.
e. Antara otoritas LP Nusakambangan dengan komunitas
Kampung Laut. Pihak LP Nusakambangan mengklaim 100
meter wilayah darat jalan merupakan kawasan milik LP

164 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Nusakambangan. Oleh sebab itu, petani tidak diperkenankan


menggarap dalam lahan tersebut. Pada kenyataanya, jumlah
lokasi lahan yang digarap dalam kawasan pulau Nusakambangan
semakin luas. Informan petani penggarap lahan dari Ujung
Alang mengaku memberikan retribusi dalam bentuk beras hasil
pertanian kepada oknum petugas Nusakambangan agar tidak
dilarang untuk menggarap lahan tersebut.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan adanya kontestasi dan


kompromi diantara para aktor dalam perannya sebagai masyarakat
atau elit desa dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya alam di Segara Anakan. Di antara para aktor tersebut, terdapat
aktor yang menguasai atau memiliki property, namun ada aktor yang
tanpa harus menguasai atau memiliki property tetapi memainkan
peran penting dalam kasus tersebut. Aktor tersebut memiliki kuasa
dan akses yang lebih dari aktor-aktor lain sehingga perannya menjadi
sangat penting.

Menelaah Peran Aktor


Kawasan Segara Anakan dengan komunitas Kampung Laut
merupakan sebuah struggle area yang di dalamnya berisi ruang
pertarungan antar aktor dalam memperebutkan SDA. Sebagai suatu
struggle area, tidak terlepas dari perubahan bentang alam dalam
bentuk sedimentasi yang didukung oleh kondisi karakteristik alam,
tekanan penduduk dan kebutuhan ekonomi komunitas di dalamnya.
Aspek negara dalam lingkup pemerintahan lokal, regional dan
nasional serta adanya relasi kuasa antar aktor yang memiliki akses
juga memberikan kontribusi kompleksitas dalam “ruang” kompetisi
dan negosiasi di Segara Anakan tersebut.
Demikian pula dengan proses perubahan kepemilikan dari
common property ke private property. Para aktor dengan beragam
latar belakang sejarah dan kepentingan, menggunakan akses yang
mereka miliki guna mendapat keuntungan terhadap pemanfaatan.
Begitu pula proses perubahan pemanfaatan dari private property
menjadi common property, tidak akan dapat berlangsung tanpa
relasi kuasa dan akses yang dimiliki oleh para aktornya. Melalui
analisis aktor dalam penelitian ini, tidak hanya menjelaskan proses
perubahan tenurial yang terjadi dalam kawasan yang mengalami
perubahan bentang alam. Dengan akses dan relasi kuasa yang

165
dimilikinya ternyata beberapa aktor mendapat keuntungan lebih
dibanding dengan lainnya tanpa ia harus memiliki sumber daya alam
tersebut.

Membentuk Jejaring Aktor


Sebagai suatu metode konseptual, network analysis dalam ilmu
sosial terbagai dalam 4 tipologi utama (Borgatti dkk., 2009), yakni
similiraties, social relation, interactions, dan flows. Masing-masing
tipologi memiliki tujuan tertentu dalam melakukan eksplanasi.
Tujuan itu tertuang pada tabel di bawah.

Tabel 3. Tipologi utama dalam network analysis (Borgatti dkk.,


2009; Borgatti dan Everett., 2013)
SIMILIARITIES SOCIAL RELATIONS INTER- FLOWS
LOCATION MEM- ATRIB- KINSHIP OTHER AFFEC- COGNI- ACTIONS
BERSHIP UTE ROLE TIVE TIVE
Same Same Same Mother Friend of Likes Knows Sex with Informa-
spatial and club gender of tions
temporal
space Same Same Sibling Boss of Hates Knows Taked to Beliefs
event attitude of about

Etc Etc Competi- Sees as Adviced Personel


tor of happy

Etc Helped Research

Harmed Etc

Etc

Bagaimana analisis aktor dalam jejaring akses bisa digunakan


sebagai desain penelitian ini? Analisis aktor sebenarnya sudah
digunakan sebagai sebuah metode sejak 1970-an. Pendekatan ini
mulai berkembang karena rasa ketidakpuasan para ahli antropologi
terhadap analisis struktur fungsional yang konvensional (Agusyanto,
2014; Bossevain, 1972; Wolfe, 1978). Ketika para ahli mulai
mengarahkan perhatian pada masyarakat yang lebih kompleks,
mereka mengalami banyak kesulitan atau merasakan kekurangan
dari pendekatan struktur fungsional. Kesulitan ini disebabkan karena
pendekatan struktur fungsional dibangun dari studi masyarakat
tribal yang masih terisolasi dengan perubahan sosial. Kesulitan mulai
dirasakan ketika masyarakat dengan batas-batas isolasi menjadi
semakin bias sehingga masyarakat tidak bisa dilihat sebagai suatu

166 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

struktur yang mempunyai fungsi di dalamnya.


Tipologi di atas mengasumsikan akan terbentuknya jaringan aktor
di komunitas Kampung Laut. Jaringan aktor tersebut terbentuk akibat
adanya persamaan terhadap persepsi similiraties, social relation,
interactions, dan flows. Jaringan aktor memiliki signifikansi yang
besar bagi masyarakat Kampung Laut dalam mengelola sumber daya
alam. Setiap aktor yang dipersepsikan memiliki jaringan aktor yang
kuat dan besar, maka mereka dapat menguasai akses dan pengelolaan
sumber daya alam. Selain itu, aktor-aktor ini dapat memberikan
pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam oleh aktor-aktor lainnya. Dalam konteks ini, masyarakat dengan
jaringan aktornya dapat mengawasi pemanfaatan dan relasi kuasa
oleh aparat desa, begitu pun sebaliknya.

Gambar 2. Pemetaan Jaringan Sosial dan Persepsi Kekerabatan di


Ujung Alang

Kustoro Wahyono

Bono Siswanto

Abdulrohim Rusna

Prasono

Tugino

Yustinus Parmin

Ujang Jarwo

Febri

Hartono

Rohim

Dalam memetakan siapa-siapa saja yang terlibat dalam jaringan


aktor, penulis menggunakan instrumen analisis kuantitatif berupa

167
penyebaran kuesioner dengan studi kasus di Desa Ujung Alang.
Kuesioner lebih menekankan pada persepsi ketokohan dari informan
dalam konteks sebagai sosok kenal, kekerabatan, dan partisipasi dalam
kerjasama pengelolaan program bantuan. Penyebaran kuesioner
dibatasi hanya 10 orang informal dengan metode snowball. Pertama,
kuesioner ditanyakan kepada informan kunci pada penelitian ini.
Kedua, menyebarkan kuesioner pada orang-orang yang namanya
disebutkan oleh informan kunci atau sebelumnya sesuai prioritas
tertinggi sesuai penyebutan.
Berdasarkan kuesioner yang telah disebar dan diisi oleh informan
sebanyak 10 orang, didapatkan data mengenai jaringan sosial
kekerabatan—bersifat kedekatan. Penentuan kelompok-kelompok itu
dilandaskan pada modus tertinggi dari setiap tokoh yang disebutkan.
Selain itu, dipertimbangkan juga sikap masing-masing aktor dalam
keseharian atas aktor-aktor yang disebutnya. Berikut adalah hasil
pengelompokan tersebut.

Gambar 3. Pemetaan Jaringan Aktor di Ujung Alang

Jarwo

Kustoro Cs Wahyono Cs

Yustinus Cs

Kus, Bon, Abd, Pras, dan Tug dapat bergabung menjadi satu
jaringan sosial karena memiliki kedekatan yang cukup erat dan

168 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

menjadi kelompok masyarakat yang vokal dalam menyuarakan


bentuk penyimpangan. Wah, Sis, dan Rus menjadi satu kelompok
jaringan karena sebagai satu warga dusun yang sama dan sedang
mengelola kelompok tani—kelompok tani yang paling berkembang
dan mandiri di Kampung Laut. Yus, Uja, Feb, Har, dan Roh bergabung
ke dalam kelompok jaringan yang sama diakibatkan profesi yang
sama sebagai aparat desa dan berhimpun pada relasi profesional.
Sedangkan, Jar tidak berkelompok karena tidak teraksesnya
aktor tersebut oleh siapapun dalam kuesioner. Meskipun penulis
memisahkan berdasarkan kelompok-kelompok besar, tidak menutup
kemungkinan ada kerja sama dan kooperasi lain yang dibangun oleh
antar aktor dan antar kelompok. Pengelompokan di atas penting
untuk melihat kelompok yang saling bersaing dan bernegosiasi,
sebagaimana diuraikan oleh Saifuddin (2005)

Refleksi terhadap Hardin’s Theory of the Common Model


Proses perubahan common property ke private property di
kawasan Segara Anakan terjadi dengan perubahan bentang alam akibat
proses sedimentasi. Temuan ini sejalan dengan Hardin’s Tragedy of
the Common Model (Hardin, 1968). Secara umum proses perubahan
kepemilikan yang terjadi adalah dari common property ke private
property. Dari sisi pemanfaatan, penelitian ini juga menemukan
adanya perubahan dari private property menjadi common property.
Kondisi ini berarti suatu kawasan yang dilindungi secara private,
tetapi dari segi pemanfaaatanya dilakukan secara common. Keadaan
ini langka terjadi, di tengah-tengah situasi aktor yang mengambil
keuntungan sebesar-besarnya terhadap pemanfaatan sumber daya
alam. Sebagaimana saran Ostrom (1988) bila privatization dan
centralization justru akan menyebabkan over-explotation, manakala
negara gagal mengawasi dan membatasi explotasi. Oleh sebab itu
hybrid institution merupakan salah satu pilihan yang diusulkan
dalam pengelolaan. Dua puluh dua tahun kemudian sejak Hardin’s
Tragedy of the Common Model dimunculkan pada 1968, didasari
oleh temuan akumulatif Fenny dkk (1990) melihat bahwa private,
negara dan komunal secara potensial memiliki pilihan pengelolaan
secara bersama dalam bentuk co-management.
Studi-studi sejenis dari seluruh dunia juga menghasilkan contoh
bahwa pemanfaatan secara bersama yang berdasarkan perlindungan
tidak selalu berakhir dengan hasil yang tragis. Konsep common

169
property telah mengalami proses pendefinisian ulang berdasarkan
temuan empirik dan diperlukan alternatif pemahaman teoritis
tentang konsep common property. Perspektif teori yang muncul pada
saat ini berasumsi bahwa common property tidak sebagai kelompok
yang memanfaatkan sumber daya alam secara bersama; namun
sebagai suatu institusi dari suatu pengelolaan yang dilakukan sendiri
dengan turut berpartisipasinya para pihak berkepentingan sebagai
anggota untuk menyiasati keterbatasan kewenangannya.
McKean (dalam Jhonson dan Kristen, 2004) bahwa common
property adalah “as an arrangement in which a group of resource
users share rights and duties toward a resource”. Situasi ini
merupakan suatu sistem dari shared private property dengan batas-
batas yang jelas mengenai aturan hak dan pengelolaan pemanfaatan.
Sistem ini sebagaimana halnya dengan regim property yang lain
“mengemas hak dan kewajiban” dari para pihak yang memiliki
kepentingan. Hak dan kewajiban diberikan dan dimiliki oleh setiap
pihak berkepentingan untuk memanfaatkan dan menjaga sumber
daya alam secara bersama. Beberapa contoh hasil studi telah
menunjukkan efektifitas penerapan tanggung jawab bersama dari
common property berbasis shared private property dengan batas-
batas yang jelas mengenai aturan hak dan pengelolaan pemanfaatan.
Sebagai suatu proses refleksi atas tulisan ini, penting untuk
mempertimbangkan konsep co-management masuk dalam pola
pengelolaan sumber daya alam common property. Upaya pengelolaan
ini diharapkan dapat menghindarkan dari praktik korupsi yang selama
ini belum bisa dibatasi secara optimal dari gerakan bawah. Dalam
perjalanannya, co-management akan 4 stakeholders kunci, yaitu
(1) pelaku pemanfaat sumber daya alam; (2) pemerintah, termasuk
pusat dan daerah; (3) stakeholders lain yang di dalamnya termasuk
anggota masyarakat lain, pemilik modal, pelaku perdagangan
produk, pengolah produk dan lain-lain; (4) agen perubahan
termasuk penyuluh perikanan, NGO, perguruan tinggi dan lembaga
riset. Dari situasi demikian, muncul pertanyaan apakah inisiatif
hybrid institution untuk menuju co-management akan muncul
dengan sendirinya sebagai kontrol atas kegiatan menyimpang dalam
pemanfaatan sumber daya alam? Tentu berpulang pada inisiatif dan
peran dari para aktor yang terlibat di dalamnya.
PENUTUP

170 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Peran Jejaring Aktor dalam Memberantas Praktik Korupsi pada Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam: Studi Kasus Kawasan yang
Mengalami Perubahan Bentang Alam di Segara Anakan, Cilacap (Raden Diky Dermawan)

Ketika Hardin (1968) sudah cukup fasih dalam menjabarkan


perubahan hak tenurial dengan melihat adanya open access
sebagaimana dicetuskan oleh Ribot dan Peluso (2003), penting
bagi kita untuk memperhatikan aktor-aktor yang terlibat pada
dinamika tersebut. Kenapa aktor? Ribot dan Peluso (2003) melihat
bahwa beberapa orang dan institusi bisa mengontrol sumber daya
alam sementara yang lain mempertahankan akses mereka melalui
“siapa” yang bisa mengontrol sumber daya alam. Beberapa orang
atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam, baik
dengan atau tanpa kepemilikan properti mereka.
Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan yang telah berhasil
dibentuk oleh para aktor, mereka akan berkesempatan untuk
menguasai dan memanfaatkan, di sisi lain mereka dapat melakukan
pengawasan terhadap pemanfaatan. Dalam konteks ini, jaringan aktor
sebagai bagian dari integrasi masyarakat akan memiliki signifikan
sebagai alat kontrol pencegahan praktik korupsi dan semata-mata
menguntungkan diri sendiri atas relasi kuasa dan akses yang dimiliki.
Kesamaan tipikal yang dimiliki oleh setiap jaringan aktor akan
berimplikasi semakin kuatnya pengawasan terhadap pengelolaan
sumber daya alam yang ada, khususnya bagi kawasan sumber daya
alam yang mengalami perubahan bentang alam.

REFERENSI
Adhuri, D. S. 1998. ‘Saat Sebuah Desa Dibakar Menjadi Abu: Hak
Ulayat Laut dan Konflik Antar Kelompok di Pulau Kei Besar’,
dalam Antropologi Indonesia 58:92-109.
Agusyanto, R. 2014. Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta:
Rajawali Press.
Ardli, E. R. dan M. Wolff. 2005. Spatial and Temporal Dynamics
of Mangrove Conversion at Segara Anakan, Cilacap. Naskah
dipersentasikan di 10th ISSM International Conference. 30
September-1 Oktober. Paris, Prancis.
. 2008. ‘Quantifying Habitat and Resources Use Changes in the
Segara Anakan Lagoon (Cilacap, Indonesia) Over the Past 25 Years
(1978-2004)”, dalam Asian Journal of Water, Environment, and
Pollution 5(4):59-67.
Badan Pusat Statistik. 2015. Kecamatan Kampung Laut dalam

171
Angka Tahun 2015.
Borgatti, S. P. dkk. 2009. ‘Network Analysis in the Social Sciences’,
dalam Science 323(5916):892-895
Borgatti, S. P. dan M. G. Everett. 2013. Analyzing Social Network.
Los Angeles: Sage Publication.
Bossevain, J. 1972. “Preface”: Network Analysis Studies in Human
Interaction. Paris: Mouton & Co.
Fenny, D. dkk. 1990. ‘The Tragedy of the Commons: Twenty-Two
Years Later’, dalam Human Ecology 8(1):1-19.
Hardin, G. 1968. ‘The Tragedy of the Commons’, dalam Science
162:1243-1248.
Jhonson, K. dan N. Kristen. 2004. ‘Common Property and
Conservation: The Potential for Effective Communal Forest
Management within a National Park in Mexico’, dalam Human
Ecology 32(6):703-733
Nasrum, M. 2013. ‘Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti:
Suatu Penjelasan Budaya’, dalam Antropologi Indonesia 34(1):1-
14.
Ostrom, E. 1988. ‘Institutional Arrangements and the Commons
Dilemma’, dalam E. Ostrom dkk (Peny.). Rethinking Institutional
Analysis and Development. San Francisco: Institute for
Contemporary Studies Press.
Ribot, J. C. dan N. L. Peluso. 2003. ‘A Theory of Access’, dalam Rural
Sociology 68(2):153-181.
Saifuddin, A. F. 2005. ‘Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan:
Kajian Kasus di Jakarta’, dalam Antropologi Sosial 29(3):309-
320.
Sanjatmiko, P. 2016. Common Property di Tengah Perubahan
Bentang Alam Kawasan Segara Anakan. Depok: Departemen
Antropologi UI.
Sulistiono. 2011. Social Capital and Rural Road Development (A
Case Study of Kampung Laut, Cilacap). Yogyakarta: University of
Gadjah Mada Press.
Wolfe, W. A. 1978. “The Rise of Networks Thinking in Anthropology”,
dalam Social Networks 1(1):53-64.

172 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola
Transparansi Informasi
Publik di Perguruan Tinggi
Antoni Putra
Fakultas Hukum Universitas Andalas

antoniputra94@gmail.com

ABSTRAK
Banyaknya Perguruan Tinggi yang bermasalah dengan korupsi
merupakan akibat dari tidak transparannya pengelolaan informasi.
Sistem manajemen yang berbelit-belit menyebabkan publik kesulitan
mengakses informasi yang berguna untuk mengawasi setiap kegiatan
Perguruan Tinggi. Salah satu cara agar Perguruan Tinggi terbebas
dari praktek korupsi adalah dengan memperbaiki tata kelola
Perguruan Tinggi, yaitu menciptakan media pengelolaan informasi
yang baik. Sebagaimana tuntutan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan demi untuk
menjamin keterbukaan informasi publik, setiap badan publik wajib
memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Hal ini berguna untuk memberi jaminan kepada publik agar dapat
menerima informasi yang tidak ditemukan dalam website Perguruan
Tinggi yang bersangkutan. Jika melihat pengelolaan informasi di
beberapa Perguruan Tinggi negeri tentang ketersedian informasi
di website, Perguruan Tinggi yang bersangkutan masih belum
menunjukkan adanya publikasi yang baik terhadap informasi yang

173
seharusnya diketahui publik. Informasi seperti tata kelola Perguruan
Tinggi yang harusnya diketahui publik masih minim tersedia. Sistem
pengelolaan data perlu diperbaiki agar terciptanya Perguruan Tinggi
yang transparan dan akuntabel. Bila telah demikian, kontrol publik
terhadap Perguruan Tinggi dapat menghindarkan terjadinya praktek
korupsi, serta pihak Perguruan Tinggi akan lebih hati-hati dalam
mengelola informasi, sebab bila terjadi kesalahan dapat berakibat
fatal. Dengan begitu, Perguruan Tinggi dapat menjadi model
pengelolaan keterbukaan informasi publik yang baik. Dari situ dapat
kita ambil kesimpulan bahwa Perguruan Tinggi harus memperbaiki
sistem pengelolaan informasi yang berbasis teknologi (website) dan
memperbaiki manajemen permintaan data secara langsung. Karena
Perguruan Tinggi sebagai tempat lahirnya kaum intelektual harus
menjadi contoh sempurna bagaimana mengelola informasi yang
baik. Bila pengelolaan informasi di badan publik baik, maka potensi
terjadinya korupsi pun semakin kecil.
Kata kunci : keterbukaan informasi publik, transparansi,
korupsi.

ABSTRACT
Many colleges have problems with corruption is a result of
a lack of transparency in the management of information. The
management system of convolute cause difficuly accessing public
information that is useful to monitor every activity of the college.
One way that university are free from corrupt practices to improve
governance of the university, which is to create a good media
information management. as demanded by Act No. 14 of 2008 on
Public Information. And in order to ensure transparency of public
information, every public body shall have the Documentation and
Information Management Officer (PPID), it is useful to provide
assurance to the public in order to receive information not found
in the website of the universities. If you look at the management
of information in some public university about the availability
of information on the website, the college in question has yet to
be a good publicity to information that should be publicly known.
Information such as the governance of university that should be
known to the public is still minimal available. Data management
systems need to be improved for the creation of colleges of

174 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

transparency and accountability. When it is so, public control of


the college may prevent the occurrence of corruption, as well as the
university will be more careful in managing information, because if
something goes wrong can be fatal. By doing so, the college can be a
management model that better public information disclosure. From
there we can draw the conclusion that university should improve the
management system of information-based technologies (website)
and improve demand management data directly. Because the college
as the birthplace of intellectuals must be a perfect example of how to
manage information better. When the management of information
in public agencies is good, then the potential for corruption can to be
smaller.
Keywords: public informaation disclosure, transparency,
corruption.

PENDAHULUAN
Kasus korupsi yang terjadi di Perguruan Tinggi merupakan
akibat dari tidak transparannya manajemen pengelolaan informasi
di Perguruan Tinggi. Kurangnya ketersediaan informasi yang dapat
diakses publik telah menyebabkan pengawasan publik terhadap
Perguruan Tinggi menjadi sangat minim.
Seperti halnya korupsi yang terjadi di beberapa Perguruan
Tinggi. Di antaranya korupsi yang melibatkan guru besar Universitas
Tadulako (Untad) Prof Dr Sultan MSi dan Fauzian Tendri Sisi Mantan
Bendahara Lemlit Untad atas dugaan terlibat korupsi dana penelitian
tahun 2013-2014 sebesar Rp980 juta (antaranews.com, 2016). Prof
Salmadanis, Guru Besar IAIN Imam Bonjol Padang, ditahan karena
diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada pembangunan
kampus IAIN Imam Bonjol III di Sungai Bangek, Padang (sumbarsatu.
com, 2016). Mantan Rektor Universitas Airlangga Fasichul Lisan
menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga, dengan nilai proyek
sekitar Rp 300 miliar dan kerugian negara diperkirakan mencapai
Rp 85 miliar (tempo.co, 2016). Dan dapat pula diperkirakan masih
banyak kasus korupsi lainnya yang terjadi di Perguruan Tinggi.
Sebagaimana Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur
tentang keterbukaan informasi publik yaitu Undang-Undang No.14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang merupakan

175
instrumen hukum yang mendukung perwujudan transparansi.
Undang-undang ini lahir untuk memberikan jaminan terhadap
semua orang dalam memperoleh informasi (Partodihardjo 2009).
Sebagaimana yang dijamin Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 28 f yang berbunyi “setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kategori informasi publik yang harus disediakan Perguruan
Tinggi adalah Informasi berkala, tersedia setiap saat dan serta merta.
Namun kondisi media informasi kampus, seperti di UI, Unand dan
UBH masih belum mempublikasi ketiga informasi tersebut dengan
baik.
Ketiga Perguruan Tinggi tersebut sengaja penulis jadikan objek
penelitian tentang mekanisme pengelolaan informasi publik di
Perguruan Tinggi. Sebab ketiga Perguruan Tinggi itu terdiri dari
Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), Badan Layanan
Umum (BLU), dan Perguruan Tinggi swasta.
Sebagai badan publik, Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban
untuk membuka akses atas informasi publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Perguruan Tinggi tersebut kepada masyarakat
luas. Melalui mekanisme dan pelaksanaan prinsip keterbukaan akan
tercipta tata kelola Perguruan Tinggi yang transparan dan akuntabel
sebagai salah satu cara untuk menciptakan Perguruan Tinggi yang
anti-korupsi.
Dengan demikian, Publik dapat mengawasi pengelolaan Perguruan
Tinggi dengan baik, dan Perguruan Tinggi dapat termotivasi untuk
bertanggung jawab dan berorientasi terhadap pengelolaan sistem
informasi yang baik. Sebab jika terjadi kesalahan, maka kesalahan itu
dapat berakibat fatal terhadap Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Dan upaya tersebut diharapkan dapat mewujudkan good governance
dan mencegah praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di
Perguruan Tinggi. Dengan begitu pula, Perguruan Tinggi sebagai
tempat lahirnya kaum terdidik dapat menjadi contoh badan publik
yang mengelola informasi dengan baik. Bila pengelolaan informasi
di badan publik baik, maka potensi terjadinya korupsi pun semakin
kecil.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah

176 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

ini penulis bermaksud untuk mengulas bagaimana manajemen


pengelolaan informasi di Perguruan Tinggi dalam rangka mendorong
transparansi Perguruan Tinggi?

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN


KORUPSI
a. Hak Atas Informasi
Sebagai manusia kita mempunyai hak mendasar yang disebut
dengan hak asasi. Hak asasi adalah hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
(Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia).
Selain hak asasi manusia, warga negara Indonesia juga mempunyai
hak atas informasi. Hak atas informasi ini dijamin UUD 1945. Pada
pasal 28F dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Untuk menguatkan ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, maka
disusunlah Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP). UU KIP memberikan jaminan kepada
setiap warga negara untuk memperoleh informasi yang dikuasai oleh
badan publik. UU KIP memberikan acuan yang jelas kepada warga
negara tentang tata cara memperoleh informasi dari badan publik,
yang mana masyarakat dapat memantau setiap kebijakan, aktivitas
maupun anggaran badan-badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara maupun yang berkaitan dengan kepentingan
publik lainnya (Partodihardjo 2009).

b. Jenis Informasi publik


Menurut UU KIP terdapat dua jenis informasi publik yang ada
di badan publik, yaitu informasi yang terbuka dan informasi yang
dikecualikan, masing-masing adalah sebagai berikut:

177
1. Informasi yang terbuka
1) Informasi badan publik yang wajib diumumkan secara
berkala meliputi:
1. Informasi tentang profil badan publik, yang meliputi:
a. Informasi tentang kedudukan atau domisili beserta
alamat lengkap, ruang lingkup kegiatan, maksud
dan tujuan, tugas dan fungsi badan publik serta
unit-unit dibawahnya.
b. Struktur organisasi, gambaran umum tiap satuan
kerja, profil singkat pejabat.
2. Ringkasan informasi tentang program dan/atau
kegiatan yang sedang dijalankan dalam lingkungan
badan publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. Nama program/kegiatan;
b. Penanggungjawab, pelaksana program dan
kegiatan serta nomor telepon dan/atau alamat
yang dapat dihubungi;
c. Target dan/atau capaian program dan kegiatan;
d. Jadwal pelaksanaan program dan kegiatan;
e. Anggaran program dan kegiatan yang meliputi
sumber dan jumlahnya;
f. Agenda penting terkait pelaksanaan tugas badan
publik;
g. Informasi khusus lain yang berkaitan langsung
dengan hak-hak masyarakat;
h. Informasi tentang penerimaan calon pegawai dan/
atau pejabat badan publik;
i. Informasi tentang penerimaan calon peserta
didik pada badan publik yang menyelenggarakan
kegiatan pendidikan untuk umum.
3. Informasi tentang kinerja dalam lingkup badan publik
berupa narasi realisasi program dan kegiatan yang telah
maupun sedang dijalankan;
4. Informasi tentang laporan keuangan yang sekurang-
kurangnya meliputi:
a. Rencana dan laporan realisasi anggaran.
b. Neraca.
c. Laporan arus kas dan catatan atas laporan
keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi
yang berlaku.

178 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

d. Daftar aset dan investasi.


5. Ringkasan akses Informasi Publik sekurang-kurangnya
terdiri atas:
a. Jumlah permohonan Informasi Publik yang
diterima
b. Waktu yang diperlukan dalam memenuhi setiap
permohonan Informasi Publik
c. Jumlah permohonan Informasi Publik yang
dikabulkan baik sebagian atau seluruhnya dan
permohonan Informasi Publik yang ditolak
d. Alasan penolakan permohonan Informasi Publik
6. Ringkasan tentang peraturan, keputusan, dan/atau
kebijakan yang mengikat dan/atau berdampak bagi
publik yang dikeluarkan oleh Badan Publik.
7. Informasi tentang hak dan tata cara memperoleh
Informasi Publik, serta tata cara pengajuan keberatan
serta proses penyelesaian sengketa Informasi Publik
berikut pihak-pihak yang bertanggungjawab yang
dapat dihubungi;
8. Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan
wewenang atau pelanggaran yang dilakukan baik oleh
pejabat Badan Publik maupun pihak yang mendapatkan
izin atau perjanjian kerja dari Badan Publik yang
bersangkutan;
9. Informasi tentang pengumuman pengadaan barang
dan jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan
terkait;
10. Informasi tentang prosedur peringatan dini dan
prosedur evakuasi keadaan darurat di setiap kantor
Badan Publik.

2) Informasi badan publik yang wajib diumumkan secara serta


merta
Informasi publik yang wajib diumumkan secara serta
merta adalah informasi yang dapat mengancam hajat hidup
orang banyak dan ketertiban umum antara lain:
1. Informasi tentang keadaan bencana non-alam seperti
kegagalan industri atau teknologi, dampak industri,
ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan
keantariksaan;

179
2. Bencana sosial seperti kerusuhan sosial, konflik sosial
antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan
teror;
3. Informasi tentang racun pada bahan makanan yang
dikonsumsi oleh masyarakat; atau
4. Informasi tentang rencana gangguan terhadap utilitas
publik.

3) Informasi badan publik yang wajib tersedia setiap saat.


Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat
sekurang-kurangnya terdiri atas:
1. Daftar Informasi Publik yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nomor
b. Ringkasan isi informasi
c. Pejabat atau unit/satuan kerja yang menguasai
informasi
d. Penanggungjawab pembuatan atau penerbitan
informasi
e. Waktu dan tempat pembuatan informasi
f. Bentuk informasi yang tersedia
g. Jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip;
2. Informasi tentang peraturan, keputusan dan/atau atau
kebijakan Badan Publik yang sekurang-kurangnya
terdiri atas:
a. Dokumen pendukung seperti naskah akademik,
kajian atau pertimbangan yang mendasari
terbitnya peraturan, keputusan atau kebijakan
tersebut
b. Masukan-masukan dari berbagai pihak atas
peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut
c. Risalah rapat dari proses pembentukan peraturan,
keputusan atau kebijakan tersebut
d. Rancangan peraturan, keputusan atau kebijakan
tersebut
e. Tahap perumusan peraturan, keputusan atau
kebijakan tersebut
f. Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan yang
telah diterbitkan;

180 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

3. Seluruh informasi lengkap yang wajib disediakan dan


diumumkan secara berkala sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 UU KIP;
4. Informasi tentang organisasi, administrasi,
kepegawaian, dan keuangan;
5. Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut
dokumen pendukungnya;
6. Surat-menyurat pimpinan atau pejabat Badan Publik
dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya;
7. Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan dan/
atau dikeluarkan berikut dokumen pendukungnya, dan
laporan penaatan izin yang diberikan;
8. Data perbendaharaan atau inventaris;
9. Rencana strategis dan rencana kerja Badan Publik;
10. Agenda kerja pimpinan satuan kerja;
11. Informasi mengenai kegiatan pelayanan Informasi
Publik yang dilaksanakan, sarana dan prasarana
layanan Informasi Publik yang dimiliki beserta
kondisinya, sumber daya manusia yang menangani
layanan Informasi Publik beserta kualifikasinya,
anggaran layanan Informasi Publik serta laporan
penggunaannya;
12. Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang
ditemukan dalam pengawasan internal serta laporan
penindakannya;
13. Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran
yang dilaporkan oleh masyarakat serta laporan
penindakannya;
14. Daftar serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan;
15. Informasi Publik lain yang telah dinyatakan terbuka
bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan
dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik
16. Informasi tentang standar pengumuman informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bagi penerima
izin dan/atau penerima perjanjian kerja;
17. Informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat
publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum.

181
2. Informasi yang dikecualikan
Informasi Publik yang dikecualikan sifatnya rahasia dan tidak
dapat diakses oleh publik sesuai dengan kriteria yang diatur
dalam Pasal 17 UU KIP. Informasi Publik dikecualikan secara
limitatif berdasarkan pada Pasal 17 UU KIP. Untuk menjelaskan
informasi yang dikecualikan/dirahasiakan yaitu (Partodihardjo
2009):
1. Consequential harm, informasi tertentu dapat dikategorikan
rahasia apabila pejabat publik secara memuaskan mampu
menjelaskan konsekuensi atau resiko kerugian yang muncul.
2. Balancing public interest, setelah ditimbang bahwa
kepentingan publik untuk tidak membuka informasi lebih
besar dibandingkan dengan kepentingan publik untuk
mengakses informasi.

c. Prinsip Pelayanan Publik yang Baik


Pelayanan publik yang baik dapat pula tercermin dengan adanya
akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (Alsyam dan
Afriani 2016). Menurut Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik adalah sebagai berikut:
1. Efektifitas, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang
menjadi tujuan dan sarana.
2. Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit,
mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat
yang memintanya.
3. Transparan, mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
a. Prosedur/tata cara pelayanan;
b. Persyaratan (teknis maupun administratratif);
c. Pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan yang baik;
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan,
satuan kerja pejabat/pejabat penanggung jawab pemberi layanan,
waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara
terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat,
baik diminta maupun tidak diminta.

182 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

5. Efisisensi, mengandung arti:


a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi oleh hal-hal yang
berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan
dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dalam
hal proses pelayanan masyarakat yang mempersyaratkan
adanya kelengkapan persyaratan dari pejabat penanggung
jawab pemberi layanan.
6. Ketepatan waktu, mengandung arti bahwa pelaksanaan
pelayanan publik dapat diselesaikan dalam waktu yang telah
ditentukan.
7. Responsif, mengandung makna adanya daya tanggap dan cepat
menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi
publik yang dilayani.
8. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi
tuntutan, keinginan dan aspirasi publik yang dilayani dan
senantiasa mengalami kemajuan.

d. Relasi Transparansi dan Korupsi


Sebagai badan publik dan instansi pendidik, Perguruan Tinggi
wajib menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Prinsip
transparansi berarti bahwa pengelolaan Perguruan Tinggi harus
terbuka dan mampu menyajikan informasi yang relevan, secara tepat
dan akurat kepada pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya
praktek-praktek kecurangan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi
yang dapat merugikan masyarakat. Prinsip akuntabilitas merupakan
kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua
kegiatan yang dijalankan Perguruan Tinggi kepada semua pemangku
kepentingan sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan.
Disinilah letak relasi transparansi dan korupsi itu, yaitu
transparansi akan menciptakan situasi dimana ruang publik untuk
mengawasi kegiatan Perguruan Tinggi menjadi tidak terbatas. Namun
jika transparansi informasi di Perguruan Tinggi tidak terlaksana,
maka patut dicurigai bahwa ada sesuatu yang ditutupi yaitu berupa
tindak pidana korupsi. untuk itu, Perguruan Tinggi sebagai badan
publik harus bisa diminta pertanggungjawaban bila terjadi korupsi,
melalui mekanisme UU KIP, Perguruan Tinggi harus dianggap
sebagai subjek hukum sehingga berlaku ketentuan Pasal Pasal 20

183
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

PENGELOLAAN MEDIA INFORMASI


PERGURUAN TINGGI
a. Instrumen UU KIP
1. Komisi Informasi
Komisi Informasi merupakan lembaga mandiri yang berfungsi
menjalankan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan pelaksanaannya,
menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik
dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi
dan/atau ajudikasi non litigasi yang diajukan oleh setiap pemohon
informasi publik, menetapkan kebijakan umum pelayanan
informasi public (Komisi Informasi Pusat 2014).
2. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(PPID)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan,
pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi
di badan publik (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik). PPID merupakan
pejabat administrasi yang wajib ada di setiap badan publik.

b. Kondisi Pengelolaan Informasi di PT


Dari beberapa contoh Perguruan Tinggi yang penulis jadikan
objek penelitian yaitu: Universitas Indonesia, Universitas Andalas dan
Universitas Bung Hatta, tidak satu pun yang menyajikan informasi
secara lengkap di dalam website sehingga publik kesulitan untuk
dapat mengetahui informasi. Didalam website Perguruan Tinggi
yang bersangkutan penulis tidak menemukan kejelasan menyangkut
informasi yang harus disajikan secara berkala, seperti rencana dan
laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas
laporan keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi yang berlaku.
Bahkan di Universitas Andalas (Unand), tidak ada kejelasan
menyangkut PPID. Bahkan Unand sempat menolak surat permintaan
informasi yang diajukan perkumpulan Integritas dengan alasan di
Unand tidak ada PPID, sehingga surat harus langsung ditujukan ke
Rektor.

184 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

Akibat kurang baiknya pengelolaan informasi di Unand telah


menyebabkan mereka menerima gugatan dari perkumpulan
Integritas di Komisi Informasi Sumatera Barat. Dalam kasus
Universitas Andalas, peneliti Integritas menggugat Unand dalam
kasus transparansi pengelolaan bus kampus. Dimana pihak
Unand enggan memberikan data pengelolaan bus kampus yang
pengelolaannya diserahkan ke swasta. Tanpa adanya penjelasan yang
jelas, pihak Unand malah menyatakan bahwa tidak semua orang
boleh mengetahui pengelolaan data menyangkut pengelolaan bus
kampus ini. Meski dalam mediasi di persidangan KI Padang, pihak
Unand yang dalam ini diwakili oleh kuasa hukumnya Ade Gustara,
menyatakan akan memperbaiki pengelolaan manajemen informasi
di Unand, namun tetap bersikeras tidak mau memberikan data yang
dimintai Integritas (catatan: argumen ini merupakan kesimpulan
dari proses mediasi antara Universitas Andalas sebagai Termohon
dan Integritas sebagai pemohon pada tanggal 26 September 2016 di
Komisi Informasi Sumatera Barat).
Sebelum perkumpulan Integritas mengajukan permintaan data,
Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (UKM PHP)
Universitas Andalas telah terlebih dahulu melakukan permintaan
data. Namun pihak Unand menolak permintaan data yang diajukan
UKM PHP tersebut dengan alasan bukan setiap orang boleh
mengetahui informasi tersebut, bahkan pihak Unand yang diwakili
oleh kuasa hukumnya memintai Nama dan Nomor BP mahasiswa
yang bersangkutan dan ditandai sebagai mahasiswa pembangkang
(catatan: argumen ini merupakan kesimpulan dari proses mediasi
antara Universitas Andalas sebagai Termohon dan Integritas sebagai
pemohon pada tanggal 26 September 2016 di Komisi Informasi
Sumatera Barat).
Hal-hal demikian tentu menggambarkan bahwa keterbukaan
informasi publik di Perguruan Tinggi masih jauh dari prinsip
transparansi dan akuntabilitas. Implementasi UU KIP masih belum
terlaksana dengan baik di Perguruan Tinggi. Keberadaan PPID masih
sebatas tertib administrasi dengan belum adanya kinerja yang baik
oleh PPID setiap Perguruan Tinggi.
c. Pengelolaan Informasi yang Ideal di PT
Idealnya, sebagai instansi pendidikan, hendaknya Perguruan
Tinggi mencerminkan sebuah kelembagaan yang antikorupsi, dengan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar pelayanan publik yang baik
dan adanya pengelolaan informasi yang dapat diakses publik dengan

185
mudah. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan Perguruan
Tinggi untuk menciptakan pengelolaan informasi yang ideal dan
mencerminkan kampus anti-korupsi, yaitu:
1. Memperbaiki kinerja PPID
PPID harus bekerja maksimal dalam menjalankan tanggung
jawab mengelola informasi di Perguruan Tinggi. PPID harus
mampu menciptakan situasi dimana informasi yang menjadi
hak publik dapat diakses dengan mudah. Tanggung jawab
PPID bukan hanya sebatas memberi jaminan agar publik dapat
mengakses informasi, namun juga memastikan informasi yang
diterima masyarakat itu terjamin kualitasnya. PPID juga harus
bertanggungjawab memperbaiki setiap kesalahan informasi yang
disajikan, sehingga tidak terjadi kebingungan atas kesalahan
penyajian informasi tersebut.
2. Menyampaikan Informasi dengan baik di media
website
Perguruan Tinggi melalui PPID harus menciptakan media
informasi berupa website dengan baik. Informasi yang disajikan
di media website harus jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman/
kekeliruan publik saat mengakses informasi, itu yang petama.
Kedua, informasi yang disajikan di dalam media website harus
terperinci, seperti: memuat daftar informasi yang tersedia,
meletakkan informasi sejenis dalam satu kelompok, dan
menjelaskan secara rinci informasi yang ada. Kemudian yang
terakhir atau yang ketiga, informasi yang disajikan di media website
harus lengkap, dengan artian sebuah informasi yang dipublikasi
tidak terpotong-potong, melainkan dijelaskan sekaligus mulai
dari awal hingga akhir. Hal ini bertujuan agar publik dengan
mudah mengakses informasi tanpa perlu mengutak-atik beberapa
halaman di media website dan memberikan jaminan kualitas
informasi yang didapatkan publik.
Dengan demikian, publik dapat mengawasi setiap kegiatan
dan menganalisis laporan Perguruan Tinggi. Jika terjadi
kesalahan informasi yang disajikan, publik dapat meminta
pertanggungjawaban Perguruan Tinggi untuk memperbaiki,
dan bila hasil perbaikan masih bermasalah dan terindikasi
adanya korupsi, maka publik dapat melakukan tuntutan hukum
berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU No. 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.

186 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

3. Memberikan Perlindungan terhadap Partisipasi


Mahasiswa
Maksudnya adalah Perguruan Tinggi wajib memberikan
jaminan bahwa tidak akan ada intimidasi terhadap mahasiswa yang
berpartisipasi, mengkritisi pengelolaan informasi dan membantu
mengungkap korupsi di Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi harus
memberikan jaminan kepada mahasiswa bahwa keikutsertaannya
dalam mengkritisi dan melaporkan dugaan tindak pidana korupsi
tidak akan berimbas kepada perkuliahannya. Sebab selama ini
kendala utama yang menyebabkan mahasiswa tidak mampu
mengkritisi pengelolaan informasi di Perguruan Tinggi dan
melaporkan dugaan korupsi adalah intimidasi dan rasa takut akan
menimbulkan masalah dengan perkuliahannya.

KESIMPULAN
Sebagaimana kewajiban dari badan publik, Perguruan Tinggi
wajib menerapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dengan baik. Dalam UU KIP, prinsip
ini menuntut badan publik untuk membuka/mempublikasi informasi
guna untuk menciptakan kondisi pengelolaan badan publik yang
transparan dan akuntabilitas. Jika Perguruan Tinggi menolak untuk
membuka infomasi ke publik, maka dapat dicurigai bahwa ada yang
ditutup-tutupi, yaitu berupa tidak pidana korupsi. Untuk itu, melalui
UU KIP dengan mekanisme keterbukaan informasi publik, Perguruan
Tinggi dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap segala bentuk
informasi yang menjadi hak publik. Dan jika ada indikasi terjadinya
korupsi, Perguruan Tinggi dapat pula dituntut dengan ketentuan
UU Tipikor. Mekanisme seperti ini bertujuan untuk meminimalisir
peluang terjadinya korupsi di Perguruan Tinggi.
Sebab Perguruan Tinggi sebagai tempat berkumpulnya kaum
intelektual harus menjadi contoh badan publik yang anti korupsi
dengan menerapkan UU KIP dengan baik. Namun bila Perguruan
Tinggi terlibat korupsi, maka sudah dipastikan perilaku tersebut
akan diadopsi oleh mahasiswa, apalagi yang melakukan korupsi
tersebut melibatkan tenaga pendidik, yakni Guru Besar dan jajaran
pendidik lainnya. Sebab Guru Besar merupakan kasta tertinggi dalam
ilmu pengetahuan akan selalu dicontoh oleh mahasiswa, dosen, dan
masyarakat luas. Sebagaimana hakikatnya, murid akan melakukan

187
lebih dari apa yang dilakukan gurunya, seperti peribahasa yang
mengatakan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

REFERENSI
Buku
Chazawi Adami, 2016. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Soemarno Partodiharjo, 2009. Tentang Keterbukaan Informasi
Publik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tim Komisi Informasi Pusat, 2014, Komisi Informasi Pusat, The
Jawa Pos Institute Of Pro-Otonomi, Jakarta.
Tim Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006. Memahami Untuk
Membasmi”, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.
Tim Sosialisasi Undang-Undang Perguruan Tinggi, ...., Otonomi dan
Tata Kelola Perguruan Tinggi, Nizam, Jakarta.

Jurnal
Alsyam dan Afriani, “Efektifitas Peran Ombusdman Republik
Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat Dalam Rangka
Memberikan Pelayanan Publik Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombusdman Di Kota Padang”,
Yustisia, Volume 23, Nomor 1, Januari-Juni 2016

Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 30 April 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 nomor 61.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 21 November 2001. Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4150.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juli

188 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi
(Antoni Putra)

2009, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor


112.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diundangkan di
Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, Diundangkan di Jakarta pada 23
September 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165.

Website
Antara News, Fauzi, “Guru Besar Untad ditahan terkait korupsi”,
http://www.antaranews.com/berita/574453/guru-besar-untad-
ditahan-terkait-kasus-korupsi , diakses tanggal 29 September
2016.
Sumbarsatu.com, “Guru Besar IAIN Imam Bonjol padang dan
Notaris di tahan Kejari Padang”, http://www.sumbarsatu.com/
berita/13233-guru-besar-iain-imam-bonjol-padang-dan-notaris-
ditahan-kejari-padang, diakses tanggal 29 September 2016.
Tempo, “Korupsi RS Unair KPK Tetapkan Rektor Unair Tersangka”,
https://m.tempo.co/read/news/2016/03/30/078758257/
korupsi-rs-unair-kpk-tetapkan-mantan-rektor-unair-tersangka,
diakses tanggal 2 Oktober 2016
www.bunghatta.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016
www.ui.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016
www.unand.ac.id diakses tanggal 8 Oktober 2016

189
190 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Eksaminasi Terhadap
Putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Atas Nama Terdakwa
Amir Fauzi (Putusan
Nomor: 127/Pid.sus/
Tpk/2015/Pn.jkt.pst)
Aradila Caesar Ifmaini Idris
Indonesia Corruption Watch

Caesar@antikorupsi.org

ABSTRAK
Eksaminasi Putusan terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas 1A Jakarta Pusat Atas nama
Terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/ 2015/PN.JKT.
PST) bertujuan untuk melihat apakah hakim dalam memutus
perkara tersebut telah memenuhi asas-asas dan prinsip yang berlaku
dalam hukum pidana. Selain itu juga memberikan penilaian yang
objektif atas pertimbangan dan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis

191
Hakim Tindak Pidana Korupsi. Juga memberikan gambaran umum
atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut. Hal
ini dilakukan untuk melihat apakah tuntuan Jaksa Penuntut Umum,
pertimbangan hakim dan putusan memiliki keseimbangan dan korelasi
yang membangun logika berpikir yang menyeluruh. Ketiga elemen
tersebut haruslah sejalan dan proporsional sehingga menghasilkan
putusan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Eksaminasi ini juga diharapkan untuk dapat memberikan masukan
bagi hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam melihat dan
menyelesaikan persoalan atau perkara sejenis. Sehingga dapat pula
meningkatkan kualitas penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Hasil eksaminasi ini menunjukkan adanya Misconduct of Judge yang
dilakukan majelis hakim dalam pertimbangan dan putusannya. Majelis
hakim kurang teliti dalam merumuskan pertimbangan hakim dengan
melihat porsi kesalahan dan peran dari terdakwa. Hal Selain itu juga
keliru dalam menerapkan aturan tentang Justice Collaborator yang
diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi
Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama di Dalam
Tindak Pidana tertentu. Majelis Hakim juga menyimpangi aturan
minimum khusus dalam Undang-Undang Tipikor dimana ancaman
hukuman minimum yang diatur dalam Pasal 12 huruf c adalah
4 tahun penjara. Justru Majelis Hakim dengan mempergunakan
pertimbangan hukum yang lemah dan keliru menjatuhkan putusan
dibawah ancaman minimum yaitu 2 tahun penjara. Terdakwa yang
merupakan Hakim harusnya menjadi pertimbangan Majelis Hakim
Tindak Pidana Korupsi untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-
beratnya. Hakim justru memutus sangat ringan bagi terdakwa yang
telah mencoreng wajah lembaga peradilan. Ke depan hukuman bagi
pelaku yang merupakan hakim haruslah dikenakan hukuman yang
seberat-beratnya.
Kata Kunci: Eksaminasi, Amir Fauzi, Justice Collaborator,
Korupsi

PENDAHULUAN
Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri di tahun 2003
sedikitnya ada 48 hakim dan pegawai pengadilan yang tersandung
kasus korupsi (Indonesia Corruption Watch, 2016). Jumlah tersebut
terus meningkat seiring gencarnya KPK melakukan operasi tangkap

192 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

tangan terhadap hakim dan pegawai pengadilan sepanjang tahun


2016. Kondisi lembaga peradilan yang korup sudah berlangsung lama.
Sejak memasuki rezim reformasi praktik busuk di lembaga peradilan
terlihat semakin jelas dan dilakukan secara vulgar. Hampir di setiap
lini dan tahapan peradilan praktik korupsi terpelihara dengan baik.
Indonesia Corruption Watch mencatat praktik korupsi sudah dimulai
sejak perkara masuk ke Pengadilan hingga putusan (Indonesia
Corruption Watch , 2003). Korupsi di pengadilan dilakukan dengan
berbagai pola seperti, jual beli majelis hakim, negosiasi putusan dan
meminta uang balas jasa.
Salah satu contoh kasus yang paling menyita perhatian publik
adalah kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan
pencucian uang yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Akil Mochtar. Akil Mochtar menerima suap terkait sengketa Pilkada
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Lebak, Kabupaten Empat
Lawang, Kota Palembang dan Lampung Selatan, Kabupaten Buton,
Kabupaten Pulau Morotai, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pilkada
Provinsi Banten. Selain menerima suap, Akil Mochtar juga melakukan
pencucian uang saat menjadi Anggota DPR dan Hakim Mahkamah
Konstitusi. Atas perbuatannya Akil Mochtar diganjar hukuman
penjara seumur hidup. Putusan ini menjadi putusan bersejarah
karena merupakan putusan pengadilan tipikor pertama yang berani
memutus terdakwa dengan hukuman maksimal seumur hidup.
Selain kasus Akil Mochtar, kasus korupsi berupa suap kepada
hakim juga terjadi di banyak daerah. Salah satunya adalah kasus
suap tiga orang hakim PTUN Medan yaitu, Tripeni Arianto Putro,
Darmawan Ginting dan Amir Fauzi yang dilakukan oleh Pengacara
senior O.C Kaligis. Pada 9 Juli 2015, KPK melakukan Operasi
Tangkap Tangan (OTT) terhadap ketiganya di Pengadilan Tata Usaha
Negara Medan. Uang suap yang berasal dari Gubernur Sumatera
Utara, Gatot Pudjo Nugroho diserahkan kepada pengacara O.C
Kaligis untuk diberikan kepada ketiga hakim PTUN Medan. Suap
tersebut diberikan berkaitan dengan upaya pengujian kewenangan
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terkait pengusutan kasus korupsi
Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB),
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunggakan Dana Bagi Hasil
(DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD pada Pengadilan
Tata Usaha Negara Medan.
Dalam perkara tersebut pemberian suap dimaksudkan untuk

193
mengatur Majelis Hakim yang akan memeriksa pengujian kewenangan
tersebut dan mengatur putusan yang akan dikeluarkan. Operasi
Tangkap Tangan ini pada akhirnya ikut menyeret O.C Kaligis, Gatot
Pudjo Nugroho dan istri sebagai pelaku dan inisiator pemberian suap.
Ketiga hakim PTUN Medan yang menerima suap dijatuhi hukuman
2 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK
yang menuntut ketiganya 4 tahun penjara. Selain itu vonis ini lebih
rendah dibandingkan ancaman hukuman sebagaimana pasal yang
didakwakan kepada mereka.

KASUS POSISI
16 Maret 2015, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melakukan
pemanggilan terhadap Ahmad Fuad Lubis selaku Ketua Bendahara
Umum Daerah sehubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi
terkait dengan Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah
Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunggakan
Dana Bagi Hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD
pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Atas panggilan tersebut Ahmad Fuad Lubis menyampaikan secara
langsung kepada Gatot Pudjo Nugroho selaku Gubernur Sumatera
Utara terkait adanya surat panggilan tersebut. Gatot Pudjo Nugroho
dan istrinya, Evy Susanti kemudian berkonsultasi dengan O.C
Kaligis membahas upaya yang dapat dilakukan agar dugaan tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam surat panggilan tidak
diarahkan kepada Gatot Pudjo Nugroho. Atas pertemuan tersebut
disepakati untuk melakukan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi
Sumatera Utara. O.C Kaligis memerintahkan M. Yagari Bastara untuk
menyiapkan draft permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Medan.
April 2015, Sehubungan dengan rencana pengujian kewenangan
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, O.C Kaligis, M. Yagari Bastara
dan Yurinda Tri Achyuni menemui Syamsir Yusfan yang merupakan
Panitera Pengganti pada Pengadilan Tata Usaha Medan meminta
agar dipertemukan dengan Ketua PTUN Medan, Tripeni Irianto
Putro. Dalam pertemuan tersebut O.C Kaligis menyampaikan
maksud kedatangannya yaitu untuk mengajukan permohonan
pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera di PTUN Medan.

194 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Atas maksud tersebut Tripeni Irianto Putro mempersilahkan untuk


diajukan. Setelah berkonsultasi, O.C Kaligis memberikan uang
sejumlah SGD 5.000 (lima ribu dollar singapura) kepada Ketua
PTUN Medan, Tripeni Irianto Putro.
5 Mei 2015, sebelum mendaftarkan permohonan pengujian, O.C
Kaligis kembali menjumpai Tripeni Irianto Putro dan memberikan
uang sejumlah SGD 10.000 (sepuluh ribu dollar singapura)
dengan permintaan agar Tripeni Irianto Putro menjadi hakim yang
menangani perkara tersebut. Setelah pemberian uang tersebut, O.C
Kaligis memerintahkan M. Yagari Bastara untuk mendaftarkan
permohonan pengujian.
6 Mei 2015, Tripeni Irianto Putro menetapkan dirinya, Darmawan
Ginting dan Amir Fauzi sebagai Majelis hakim yang memeriksa
permohonan tersebut. Setelah menerima berkas perkara Majelis
Hakim berdiskusi tentang perkara tersebut.
18 Mei 2015, dilaksanakan sidang pertama dengan acara
pembacaan permohonan dan tanggapan termohon. Sebelum sidang,
O.C Kaligis menemui Tripeni Irianto Putro untuk meyakinkan
yang bersangkutan agar memutus sesuai dengan petitum dalam
permohonan.
2 Juli 2015, O.C Kaligis dan M. Yagari Bastara menemui Tripeni
Irianto Putro mendesak agar permohonannya dimasukkan dalam
wewenang PTUN dan menyerahkan satu amplop putih berisi
uang, namun ditolak oleh Tripeni Irianto Putro. M. Yagari Bastara
kemudian bertemu dengan Darmawan Ginting dan Syamsir Yusfan
dan menyampaikan permintaan O.C Kaligis agar nantinya putusan
dibuat sesuai dengan petitum yaitu, surat perintah penyelidikan
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan surat permintaan
keterangan oleh Kejaksaan Tinggi dinyatakan tidak sah karena
harus ada pemeriksaan pengawasan internal terlebih dahulu. Atas
permintaan tersebut Darmawan Ginting meminta imbalan dan
meminta dipertemukan dengan O.C Kaligis.
Dalam musyawarah Majelis Hakim, Darmawan Ginting
menyampaikan pertemuan dengan M. Yagari Bastara, yang kemudian
Tripeni Irianto Putro meminta Darmawan Ginting dan Amir Fauzi
untuk membantu mengabulkan permohonan O.C Kaligis. Kemudian
dalam rapat musyawarah hakim disepakati untuk mengabulkan
sebagian permohonan.
2 Juli 2015, O.C Kaligis bertemu dengan Evy Susanty untuk

195
membicarakan perkembangan persidangan sekaligus memberikan
uang sejumlah USD 25.000 (dua puluh lima ribu dollar Amerika
Serikat) sebagai tambahan dari uang sebelumnya yang telah diberikan
kepada Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir Fauzi.
Uang tersebut kemudian diserahkan oleh M. Yagari Bastara kepada
Darmawan Ginting dan Amir Fauzi, masing-masing USD 5.000
(lima ribu dollar Amerika Serikat). Atas penerimaan uang tersebut
Darmawan Ginting dan Amir Fauzi melaporkan kepada Tripeni
Irianto Putro.
7 Juli 2015, Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan Amir
Fauzi membacakan putusan perkara Gugatan No. 25/G/2015/
PTUN-MDN dengan amar putusan mengabulkan permohonan untuk
sebagian dan menyatakan keputusan termohon Nomor: B-473/N.2.5/
Fd.1/03/2015 Tanggal 31 Maret 2015 perihal Permintaan Keterangan
terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah
(BUD) Pemprov. Sumut ada unsur penyalahgunaan Wewenang, serta
menyatakan tidak sah Keputusan Termohon nomor : B-473/N.2.5/
Fd.1/03/2015 tanggal 31 Maret 2015 perihal Permintaan Keterangan
terhadap Pemohon selaku mantan Ketua Bendahara Umum Daerah
(BUD) Pemprov. Sumut.
8 Juli 2015, Syamsir Yusfan menghubungi M. Yagari Bastara
dan mengatakan Ketua PTUN meminta uang untuk pulang mudik.
Kesokan harinya M. Yagari Bastara mengantarkan uang sejumlah
USD 5.000 (lima ribu dollar Amerika Serikat) terkait permintaan
Tripeni Irianto Putro dengan persetujuan O.C Kaligis. Sesaat setelah
pemberian uang, Penyidik KPK melakukan penangkapan terhadap
M. Yagari Bastara dan tripeni Iriano Putro.

DAKWAAN
Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum mendakwa Amir
Fauzi dengan menggunakan dakwaan Alternatif.
Pertama
Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55
ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Atau
Kedua

196 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak


Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (5) Ke-1
KUHPidana. Pasal-pasal yang didakwakan adalah sebagai berikut:
Pasal 12 Huruf c Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang N0. 20 Tahun 2001
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;”
Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
N0. 20 Tahun 2001
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.”
Pasal 55 Ayat (1) ke -1 KUHPidana
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut
melakukan perbuatan itu;
TUNTUTAN
Pada pokoknya Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi meminta kepada Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili
perkara tersebut agar:
1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan

197
diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana sebagaimana dalam
dakwaan Pertama.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana
penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar
Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair selama 6
(enam) bulan kurungan dengan perintah supaya Terdakwa tetap
ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa: (Hal 3 – Hal 90) seluruhnya
dikembalikan kepada Penuntun Umum untuk dipergunakan
dalam perkara atas nama Terdakwa M. Yagari Bastara..
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
10.000,- (Sepuluh ribu rupiah).

PUTUSAN MAJELIS
Majellis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang terdiri dari Tito Suhud selaku Hakim Ketua, Ibnu
Basuki Widodo dan Didiek Riyono Putro sebagai Anggota Majelis
Hakim pada tanggal 27 Januari 2016 membacakan putusan yang
pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI
SECARA BERSAMA-SAMA sebagaimana tercantum dalam
dakwaan Pertama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu pidana
penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000
(dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
3. Menetapkan masa selama terdakwa berada dalam tahanan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. Memerintahkan barang bukti berupa: (Hal 334 – Hal 427 )
dikembalikan kepada penuntut untuk dipergunakan dalam

198 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

perkara atas nama Terdakwa M. Yagari Bastara.


6. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 10.000,- (Sepuluh ribu rupiah).

CATATAN HUKUM
Sebagaimana telah diuraikan diatas, Majelis Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan terdakwa Amir Fauzi
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana
tercantum dalam dakwaan pertama. Amir Fauzi dijatuhi hukuman
penjara 2 tahun dengan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) subsidair 2 bulan kurungan. Meski diputus
bersalah oleh Majelis Hakim namun setidaknya ada 2 catatan hukum
terkait upaya memeriksa dan mengadili perkara. Kedua catatan
tersebut diantaranya mengenai Tuntutan Ringan jaksa Penuntut
Umum, Vonis Ringan dan Justice Collaborator.

Tuntutan Penuntut Umum Masih Dalam Kategori Ringan


Pengaturan tentang tuntutan pidana (Requisitoir) tidak secara
rinci diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Secara umum tuntutan pidana merupakan surat yang
memuat pembuktian surat dakwaan yang didasarkan pada alat bukti
yang terungkap di persidangan dan kesimpulan penuntut umum
tentang kesalahan terdakwa yang disertai dengan tuntutan pidana
(RM, 2006).
Tuntutan pidana dibacakan setelah proses pembuktian terhadap
perkara pidana dilakukan antara penuntut umum dan terdakwa
/ penasihat hukum. Meskipun dalam KUHAP tidak secara rinci
menjelaskan tentang anatomi dari tuntutan pidana (requisitoir)
tetapi dalam praktiknya, tuntutan pidana terus berkembang dari
masa ke masa. Keberadaan tuntutan pidana menjadi sangat penting
mengingat fungsi pentingnya dalam proses pemeriksaan perkara.
Tuntutan pidana pada intinya haruslah menjelaskan korelasi
antara perbuatan yang dituduhkan dan fakta-fakta hukum yang
terungkap dalam persidangan. Hal ini penting karena penuntut umum
harus dapat menyimpulkan korelasi keduanya dengan mendasarkan
pada analisa hukum agar didapati tuntutan pidana yang proporsional
dan optimal bagi terdakwa. Selain juga mempertimbangkan aspek

199
tujuan pemidanaan bagi terdakwa.
Sayangnya, Putusan No. 127/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST
tidak mengurai secara lengkap tuntutan pidana (requisitoir) jaksa
penuntut umum. Sehingga sulit mengurai dengan pasti bagaimana
jaksa menyimpulkan perbuatan terdakwa dikaitkan dengan fakta
hukum yang terungkap di persidangan untuk menghasilkan tuntutan
pidana yang proporsional dan optimal dengan tujuan pemidanaan.
Putusan hanya mengutip tuntutan hukuman bagi terdakwa. Dikutip
dalam putusan Halaman 3, Jaksa Penuntut Umum menuntut
Terdakwa Amir Fauzi dengan hukuman:
1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI bersalah melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
sebagaimana dalam dakwaan Pertama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana
penjara selama 4 (empat tahun) tahun dan 6 (enam)
bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan
dan pidana denda sebesar Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) subsidair selama 6 (enam) bulan kurungan dengan
perintah supaya Terdakwa tetap ditahan.

Jika dilihat dari tuntutan, Jaksa Penuntut Umum meyakini bahwa


perbuatan yang dilakukan terdakwa Amir Fauzi lebih sesuai dengan
kriteria unsur dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang 31 Tahun 1999
Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dibandingkan dengan dakwaan kedua. Dalam Hal ini
terdakwa Amir Fauzi yang merupakan Hakim PTUN Medan bersama
dengan Majelis Hakim lain (Tripeni Irianto Putro dan Darmawan
Ginting) telah menerima suap untuk mempengaruhi putusan yang
dibuat dalam gugatan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi
Sumatera Utara yang diajukan oleh O.C Kaligis. Dimana keyakinan
tersebut timbul dengan melihat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di
persidangan.

200 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Pasal 12 Huruf c sebagaimana diatur dalam Undang-Undang


31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas mengatur
ancaman hukuman minimum yaitu 4 tahun penjara dan maksimal 20
tahun penjara. Jika merujuk pada Poin 2 tuntutan, Jaksa Penuntut
Umum menuntut Terdakwa dihukum 4 tahun 6 bulan penjara.
Tuntutan ini masih tergolong dalam klasifikasi hukuman yang ringan
mengingat ancaman hukuman minimum dalam Pasal 12 Huruf c
adalah 4 tahun penjara.
Meski di satu sisi perbuatan yang diurai dalam dakwaan telah
terbukti dalam fakta persidangan, namun tidak didapati penjelasan
tentang kesimpulan Jaksa Penuntut Umum dengan tuntutan hukuman
yang dikenakan Jaksa Penuntut Umum. Ketiadaan penjelasan yang
utuh tentang requisitoir berakibat pada tidak ditemukannya dasar
pemikiran pengenaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sehingga
alasan dibalik tuntutan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara tidak dapat
dilihat. Apakah tuntutan hukuman tersebut sebanding dengan peran
dan bobot kesalahan terdakwa.
Meski begitu ketiadaan hubungan antara kesimpulan Jaksa
Penuntut Umum dengan jumlah tuntutan hukuman pidana dapat
dilihat dengan menggunakan pendekatan komparasi (comparative
approach). Dalam perkara ini menjadi relevan untuk melihat apakah
tuntutan dalam perkara dengan terdakwa Amir Fauzi sudah optimal
diterapkan dengan memperbandingkan tuntutan pidana dalam
perkara sejenis.
Dalam beberapa perkara yang ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkaitan dengan Pasal 12
Huruf c, setidaknya tercatat ada 10 Hakim yang pernah terjerat
kasus korupsi (Untuk perkara Syarifudin, hakim tidak sepakat
dengan jaksa yang mengenakan pasal 12 huruf c dan mengenakan
terdakwa dengan Pasal 5 ayat 2). Dari tabel terlihat bahwa perkara
yang pernah ditangani oleh KPK dimana melibatkan Hakim sebagai
penerima suap, justru dituntut dengan kategori hukuman yang
berat. Tuntutan paling ringan dikenakan kepada Heru Krisbandono
yang tersangkut kasus suap dalam persidangan korupsi APBD Kab.
Grobogan dan Ramlan Comel yang menerima hadiah dari mantan
Walikota Bandung untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi
Bantuan Sosial Pemerintah Kota Bandung. Baik Heru Krisbandono
dan Ramlan Comel dituntut 10 tahun penjara.

201
Tuntutan terberat dikenakan kepada Akil Mochtar, Ketua
Mahkamah Konstitusi yang menerima suap dalam sengketa pilkada di
Mahkamah Konstitusi. Selain Akil Mochtar, hakim lain yang dituntut
hukuman berat adalah Syarifudin. Syarifudin merupakan Hakim
Kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menerima suap
terkait perkara pailit PT. Sky Camping Indonesia. Hakim Syarifudin
dituntut 20 tahun penjara.

Tabel 1. Daftar Hakim Terjerat Korupsi oleh KPK


NO PERKARA KORUPSI TERDAKWA TUNTUTAN VONIS WAKTU
JPU HAKIM
1. Menerima Suap dari Sri Dartutik, Adik Heru Kris- 10 Tahun 6 Tahun 5 April 2013
terdakwa Kasus Korupsi APBD Kab. bandono
2. Grobogan Kartini 15 Tahun 8 Tahun 5 April 2013
Juliana
Marpaung
3. Menerima Suap dalam Gugatan PT Imas 13 Tahun 6 Tahun 30 Januari
Onamba Indonesia Dianasari 2012
4. Menerima Suap dalam Perkara Pragsono 11 Tahun 5 Tahun 8 April 2014
5. penyimpangan dana pemeliharaan Asmadinata 11 Tahun 5 Tahun 22 April
Mobil DPRD Grobogan 2014
6. Menerima suap Rp 150 juta. Diduga Setyobudi 16 Tahun 12 Tahun 17 Januari
uang yang diterima Hakim Setya dari Tejocahyo 2013
Asep ini berkaitan dengan dugaan
suap bantuan sosial (Bansos) di
Bandung.
7. Menerima hadiah Rp. 1,9 Miliar Ramlan 10 Tahun 7 Tahun 9 Desember
dan USD 160 Ribu dari Mantan Comel 2014
Walikota Bandung Dada Rosada untuk
mempengaruhi hasil sidang perkara
Bansos Pemkot Bandung
8. Menerima Suap Rp. 250 Juta dari Syarifudin 20 Tahun 4 Tahun 28 Februari
Kurator Puguh Wirawan terkait 2012
kepengurusan harta pailit PT. Sky
Camping Indonesia
9. Menerima Suap dari DL Sitorus Ibrahim 12 tahun 6 Tahun 2 Agustus
2010
10. Suap dalam sengketa pilkada di Akil Seumur Seumur 30 Juni
Mahkamah Konstitusi Mochtar Hidup Hidup 2014

Jika dibandingkan dengan tuntutan yang dikenakan kepada


Terdakwa Amir Fauzi dengan data tabel maka akan terlihat gap yang
sangat besar. Dalam banyak perkara suap hakim, Jaksa Penuntut
Umum selalu menuntut terdakwa dengan hukuman yang terbilang
berat. Sayangnya dalam perkara ini hal tersebut tidak terjadi.
Sehingga menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi standar bagi
Jaksa dalam meletakkan berat ringannya tuntutan yang diajukan.

202 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Dalam praktiknya, pengenaan tuntutan terhadap terdakwa


perkara korupsi dalam perkara suap mempertimbangkan beberapa
aspek seperti jumlah nilai suap, kedudukan atau jabatan si penerima
suap dan aspek konsekuensi yang timbul dari pemberian suap. Jika
merujuk pada data tabel, status penerima suap yang merupakan
Hakim dijadikan sebagai faktor utama dalam mengenakan tuntutan
tinggi bagi terdakwanya. Jabatan Hakim yang merupakan jabatan
yang mulia dan bermartabat tinggi serta menuntut integritas tanpa
cela menempatkan kedudukan Hakim berbeda dari jabatan publik
atau pejabat negara pada umumnya. Hakim yang merupakan tulang
punggung keadilan menjadi dasar pemberat tuntutan Jaksa Penuntut
Umum.
Dengan mengingat beberapa tuntutan dalam perkara terdahulu
sudah sepantasnya Jaksa Penuntut Umum mengenakan tuntutan
yang lebih berat bagi terdakwa Amir Fauzi. Terlepas dari jumlah suap
yang diberikan oleh Gatot Pudjo Nugroho dan O.C Kaligis, profesi
Hakim yang mulia dan menjalankan fungsi penegakan hukum dan
keadilan harus jadi dasar pengenaan tuntutan yang berat.

Vonis Ringan dan Penetapan Justice Collaborator


Selain tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,
penting kiranya mengupas lebih jauh amar putusan Majelis Hakim.
Meskipun Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
namun perlu didalami soal pertimbangan hakim dan hukuman yang
dijatuhkan kepada Terdakwa. Hukuman yang dijatuhkan tersebut juga
harus dapat dirasionalisasikan dengan pertimbangan hakim. Secara
sederhana, hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim haruslah sejalan
dan proporsional dengan pertimbangan hakim. Dengan demikian
hukuman yang dijatuhkan pun dapat dipertanggungjawabkan oleh
Majelis Hakim.
Dalam putusannya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang
intinya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa AMIR FAUZI terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI
SECARA BERSAMA-SAMA sebagaimana tercantum dalam
dakwaan Pertama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu
pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebesar

203
Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan
apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan
selama 2 (dua) bulan.

Bahwa berdasarkan putusan hakim, Terdakwa telah terbukti


secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 Huruf c, dan dihukum
dengan 2 tahun penjara. Dari amar putusan tersebut dapat dengan
jelas terlihat adanya kejanggalan. Jika kita kembali melihat ancaman
hukuman yang termuat dalam Pasal 12 Huruf c, yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;”

Ancaman hukuman dalam Pasal 12 huruf c dibagi atas pidana


penjara seumur hidup dan pidana penjara kurun waktu tertentu
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Sedangkan
pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada terdakwa Amir
Fauzi adalah 2 tahun penjara. Hukuman ini justru lebih ringan dari
ancaman minumum hukuman dalam Pasal 12 huruf c yakni 4 tahun.
Majelis Hakim dalam hal ini menyimpangi ketentuan Pasal 12 huruf
c dan mengurangi hukuman bagi terdakwa lebih rendah dari pidana
minimum.
Penjatuhan pidana dibawah ancaman pidana minimun ini
didasarkan pada argumentasi hakim yang menyebutkan:
“Menimbang, bahwa Terdakwa tidak ditetapkan sebagai
Justice Collaborators sebagimana tercantum dalam SEMA Nomor
4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistle Blower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, namun
dari fakta hukum yang ada, ternyata keadaan Terdakwa
telah memenuhi syarat menjadi Justice Collaborator,
maka dengan demikian hal ini akan dapat dijadikan sebagai alasan
yang meringankan dalam penjatuhan pidana;”

204 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Pertimbangan hakim tersebut membawa kita pada pertanyaan,


Apakah tepat pertimbangan Majelis Hakim tersebut untuk dijadikan
dasar pengurangan hukuman bagi terdakwa? Namun sebelum masuk
kedalam analisis perlu dibahas terlebih dahulu Justice Collaborator
untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang hal tersebut.
Istilah Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama
dapat dijumpai dalam banyak literatur atau aturan dan konvensi
internasional. Dalam United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC) disebutkan bahwa:
Article 37. Cooperation with law enforcement authorities
1. Each State Party shall take appropriate measures to encourage
persons who participate or who have participated in the
commission of an offence established in accordance with this
Convention to supply information useful to competent
authorities for investigative and evidentiary purposes and to
provide factual, specific help to competent authorities that may
contribute to depriving offenders of the proceeds of crime and to
recovering such proceeds.
2. Each State Party shall consider providing for the possibility,
in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused
person who provides substantial cooperation in the investigation
or prosecution of an offence established in accordance with this
Convention.
3. Each State Party shall consider providing for the possibility, in
accordance with fundamental principles of its domestic law, of
granting immunity from prosecution to a person who provides
substantial cooperation in the investigation or prosecution of an
offence established in accordance with this Convention.

Prinsip pokok yang diatur dalam UNCAC ini kemudian menjadi


satu pedoman penyusunan aturan tentang pelaku yang bekerjasama
dalam hukum nasional. Aturan yang lebih terperinci tentang
keberadaan pelaku yang bekerjasama juga diatur dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban.
Undang-Undang 31 Tahun 2014 secara jelas menggambarkan Justice
Collaborator sebagai Saksi Pelaku. Dalam Bab Ketentuan Umum
Pasal 1 ayat (2) disebutkan:
“Saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang

205
bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu
tindak pidana dalam kasus yang sama”.

Selanjutnya dalam Pasal 28 Disebutkan bahwa:


“(2) Perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan
syarat sebagai berikut:
a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak
pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
b. sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku
dalam mengungkap suatu tindak pidana;
c. bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang
diungkapkannya;
d. kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana
yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
e. adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya
Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku
atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut
keadaan yang sebenarnya.”

Dari kedua ketentuan tersebut dapatlah ditarik prinsip-


prinsip umum tentang keberadaan saksi pelaku yang bekerja sama
atau Justice Collaborator. Aturan lebih teknis mengenai Justice
Collaborator diatur pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, ketentuan tentang pemberian
status Justice Collaborator diatur dalam Poin ke-9 SEMA 4/2011,
yang berbunyi:
9. Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:
a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana
tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui
kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama, dalam
kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi
didalam proses peradilan;
b. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa
yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-
bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau
penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud

206 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang


memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-
aset/hasil suatu tindak pidana;

Poin ke-9 SEMA 4/2011 mendudukan ketentuan a dan b sebagai


syarat utama diberikannya status Justice Collaborator kepada
terdakwa. Selain itu keberadaan ketentuan a dan b haruslah dipahami
bersifat kumulatif karena merupakan bentuk syarat yang harus
dipenuhi.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim secara jelas menyebutkan
bahwa “Terdakwa tidak ditetapkan sebagai Justice Collaborator
......”, hal ini membawa implikasi hukum bahwa terdakwa tidak
memenuhi kriteria Justice Collaborator sebagaimana yang
diamanatkan oleh SEMA 4/2011. Meskipun dalam perkembangannya
terdakwa bersikap kooperatif dan mengakui perbuatannya serta
mempermudah penegak hukum membongkar perkara ini secara
lebih jelas, namun Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya tidak
pernah menetapkan terdakwa sebagai saksi pelaku yang bekerjasama
/ Justice Collaborator.
Dalam perkara yang sama, Jaksa Penuntut Umum justru
menjadikan terdakwa M. Yagari Bastara dan terdakwa Tripeni
Irianto Putro sebagai Justice Collaborator. Bahwa dalam Keterangan
Terdakwa (Halaman 149) yang termuat dalam putusan No. 124/PID.
SUS/TPK/2015/PN.JKT.PST dengan terdakwa Tripeni Irianto Putro,
disebutkan:
Bahwa Terdakwa ditetapkan sebagai Saksi Pelaku Yang
Bekerjasama (Justice Collaborator) berdasarkan Keputusan
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RI No. KEP -892/01-
55/09/2015 tertanggal 23 September 2015 Tentang Penetapan
Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) dalam tindak
pidana korupsi atas nama tersangka Tripeni Irianto Putro.
Pemberian status Justice Collaborator bagi Tripeni Irianto Putro
telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam SEMA 4/2011. Berbeda
halnya dengan terdakwa Amir Fauzi yang tidak pernah mendapatkan
status tersebut dari Jaksa Penuntut Umum. Oleh karenanya, tidak
seharusnya Majelis Hakim memberikan status Justice Collaborator
kepada Terdakwa Amir Fauzi.
Kejanggalan pemberian status Justice Collaborator bagi
terdakwa Amir Fauzi diperkuat dengan pertimbangan hakim yang

207
lemah. Meskipun Majelis Hakim dalam pertimbangannya berhasil
membangun argumentasi kesalahan terdakwa namun di sisi lain
Majelis Hakim gagal dalam menjelaskan bobot kesalahan dan peran
terdakwa. Pertimbangan Majelis Hakim mengenai bobot kesalahan
dan peran terdakwa dalam perkara a quo amatlah penting untuk
mengukur hukuman yang tepat bagi terdakwa.
Pasal 12 huruf c Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang 20 Tahun 2001 yang di-juncto-kan dengan Pasal 55 ayat
(1) KUHP memberi pengertian bahwa terdakwa dalam melakukan
perbuatan pidana tidak dilakukan secara seorang diri dan dilakukan
secara bersama-sama. Pasal 55 ayat (1) KUHP pada akhirnya menjadi
salah satu alat ukur dalam menentukan peran dan bobot kesalahan
terdakwa. Tanpa mempertimbangkan pasal ini rasanya penjatuhan
hukuman pidana menjadi tidak proporsional. Konstruksi Pasal 55
ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a. mereka yang melakukan (Plegen)
b. yang menyuruh melakukan (Doenplegen)
c. turut serta melakukan (Medeplegen)

Plegen, adalah seorang yang memenuhi semua unsur delik.


Artinya pelaku dapat dalam artian pengertian tunggal maupun
dalam pengertian jamak. Sedangkan Doenplegen, adalah orang
yang menyuruh lakukan suatu perbuatan pidana. Setidaknya ada 3
syarat penting dalam Doenplegen, Pertama, alat yang dipergunakan
untuk melakukan perbuatan pidana adalah orang. Kedua, orang
yang disuruh melakukan tidak memiliki kesengajaan, kealpaan atau
kemampuan bertanggung jawab. Ketiga, sebagai konsekuensi syarat
kedua adalah bahwa orang yang disuruh melakukan tidaklah dapat
dijatuhi pidana. Dan yang terakhir adalah Medeplegen, atau yang
secara sederhana sengaja ikut bekerja untuk melakukan perbuatan.
(Hiariej, 2014)
Sayangnya Majelis Hakim perkara a quo tidak secara rinci
dan cermat menjelaskan kualifikasi perbuatan terdakwa. Dalam
pertimbangannya Majelis Hakim menjelaskan:
Menimbang, bahwa unsur ke empat (Pasal 55 ayat 1/penyertaan)
bersifat alternatif, artinya apabila salah satu peranan dalam
unsur ini terbukti, maka unsur keempat dianggap telah terpenuhi;

208 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Bahwa Majelis Hakim menyatakan “.....salah satu peranan dalam


unsur ini....” merujuk kepada bentuk-bentuk penyertaan dalam Pasal
55 Ayat (1) KUHP, yaitu melakukan, menyuruh melakukan dan turut
serta melakukan. Dengan demikian Majelis Hakim haruslah dapat
membuktikan salah satu peran dari terdakwa Amir Fauzi dalam
konteks penyertaan.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya hanya menjelaskan fakta
hukum yang ada, nampak adanya kerjasama untuk mewujudkan
penerimaan hadiah berupa uang dari O.C Kaligis melalui M. Yagari
Bastara kepada Tripeni Irianto Putro, Darmawan Ginting dan
Amir Fauzi yang memeriksa dan memutus perkara permohonan
pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dan dalam
kesimpulannya Majelis Hakim berpendapat bahwa Unsur “Secara
bersama-sama melakukan tindak pidana” sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP telah terpenuhi.
Dalam hal ini Majelis Hakim gagal menjelaskan bentuk peranan
terdakwa dalam konteks Pasal 55 ayat (1) KUHP. Dengan demikian
sulit rasanya menerima logika hukuman yang dijatuhkan namun
disatu sisi Majelis Hakim gagal menunjukkan peranan terdakwa.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah hukuman yang dijatuhkan
setimpal dengan kesalahan dan peran terdakwa dalam perkara a quo.
Selain itu, Majelis Hakim juga luput dalam mempertimbangkan
hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa Amir
Fauzi. Dalam Putusan No. 124/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.
PST dengan terdakwa Tripeni Irianto Putro, Majelis Hakim ikut
mempertimbangkan faktor-faktor yang memberatkan kesalahan
terdakwa dan yang meringankan terdakwa. Dalam pertimbangannya,
faktor yang memberatkan terdakwa Tripeni Irianto Putro adalah karena
perbuatan terdakwa telah mencederai institusi pengadilan. Selain itu
Majelis Hakim juga ikut mempertimbangkan mempertimbangkan
efek dari penerimaan uang suap oleh Hakim PTUN Medan. Lebih
jauh Majelis Hakim turut mempertimbangkan tujuan pemidanaan
bagi terdakwa Tripeni Irianto Putro dalam menjatuhkan hukuman.
Namun hal ini justru tidak dijumpai dalam putusan terdakwa Amir
Fauzi. Padahal Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili 2
terdakwa tersebut adalah Majelis Hakim yang sama.
Idealnya, Majelis Hakim haruslah mempertimbangkan faktor-
faktor yang meringankan dan memberatkan hukuman bagi
terdakwa. Selain juga mempertimbangkan tujuan pemidanaan dalam

209
menjatuhkan hukuman bagi terdakwa. Dalam perkembangannya
setidaknya ada empat teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan,
teori absolut, relatif, gabungan dan teori kontemporer.
Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, teori
kontemporer relevan untuk diterapkan. Wayne R. Lafave menyebutkan
salah satu tujuan pemidanaan adalah sebagai detterent effect atau efek
jera agar pelaku kejahatan tidak mengulangi perbuatannya. Demikian
juga pemidanaan bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai
perbuatan yang dilarang (Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,
2014). Maka jika dikaitkan dengan perkara dengan terdakwa Amir
fauzi tujuan pemidanaan ini tidak tergambar dalam pertimbangan
hakim dan didalam amar putusan.

KESIMPULAN
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam
putusannya menyatakan terdakwa Amir Fauzi, Hakim PTUN Medan
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama. Majelis Hakim kemudian menjatuhkan
hukuman 2 tahun penjara bagi terdakwa Amir Fauzi. Meskipun
dinyatakan bersalah namun ada sejumlah kelemahan dalam putusan
tersebut yang menyebabkan terdakwa Amir Fauzi tidak dihukum
dengan hukuman yang setimpal dan proporsional.
Majelis Hakim keliru dalam menerapkan aturan tentang Justice
Collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama. Majelis Hakim
menyimpangi aturan yang dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak
Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama. Hakim tanpa melihat
pemenuhan syarat dalam SEMA 4/2011 memberikan status Justice
Collaborator kepada terdakwa Amir Fauzi.
Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman didasarkan pada
pertimbangan yang kurang mendalam. Dan dalam menjatuhkan
hukuman justru menyimpangi aturan Pasal 12 huruf c Undang-
Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001. Majelis
Hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara bagi terdakwa Amir
Fauzi padahal Pasal 12 huruf c mengatur hukuman minimal 4 tahun
penjara.
Apa yang dilakukan Majelis Hakim dapat dikategorikan sebagai
Misconduct of Judges. Karena dengan sengaja mengabaikan aturan-

210 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

aturan yang mengatur dan membatasi diskresi hakim. Dengan


demikian tindakan Majelis Hakim dengan memutus perkara ini
dengan sengaja mengabaikan kerangka hukum adalah bentuk
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Majelis Hakim
juga menunjukkan keseragaman pertimbangan. Dalam perkara yang
sama justru hakim tidak menunjukkan pertimbangan yang seragam
antara terdakwa Tripeni Irianto Putro dan terdakwa Amir Fauzi.
Selain hukuman yang dijatuhkan tidak setimpal dengan kesalahan
terdakwa, jaksa juga memiliki peran dalam konteks membuktikan
kesalahan terdakwa dan menuntut hukuman bagi terdakwa. Jaksa
Penuntut Umum dalam hal ini juga tidak optimal dalam melakukan
penuntutan. Tuntutan yang ringan bagi terdakwa jelas-jelas tidak
memiliki basis argumentasi yang cukup memadai. Dalam beberapa
perkara sejenis yang pernah ditangani oleh Jaksa Penuntut Umum
KPK, seringkali menuntut hakim yang menerima suap dengan
tuntutan pidana yang berat.

REKOMENDASI
Berdasarkan catatan dan kesimpulan terhadap putusan No. 127/
PID.SUS/ TPK/2015/PN.JKT.PST maka rekomendasi yang dapat
disampaikan antara lain adalah, Mahkamah Agung sebagai lembaga
peradilan tertinggi memberikan pemahaman yang jelas dan dapat
diikuti oleh hakim pengadilan tindak pidana korupsi tentang tujuan
pemidanaan. Hal ini dilakukan agar adanya keseragaman putusan
pengadilan dan pertimbangan hukumnya. Jangan sampai dalam
perkara yang serupa Hakim menjatuhkan hukuman yang saling
bertolak belakang dikarenakan tujuan pemidanaan yang berbeda-
beda. Dalam hal ini penggunaan teori kontemporer cukup relevan
bagi perkara korupsi. Selain memberikan nestapa dan pembalasan
bagi pelaku korupsi, putusan pengadilan juga memiliki nilai edukasi
dan pencegahan bagi masyarakat.
Selain itu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus secara
bersama-sama mengawasi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Apakah ada unsur Misconduct of Judges atau Legal Error dalam
sebuah putusan. Hal ini penting karena esensi keduanya sangatlah
berbeda. Legal Error menempatkan hakim sebagai subjek yang tidak
memiliki kesengajaan dalam menjatuhkan putusan yang kurang
tepat. Sedangkan Misconduct of Judges terdapat unsur kesengajaan

211
dalam membuat putusan yang keliru. Yang dalam perkara ini hakim
secara nyata menunjukkan kekeliruannya.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum juga harus lebih berani
menjatuhkan tuntutan yang lebih berat bagi hakim yang menerima
suap. Hakim yang merupakan tonggak keadilan seharusnya bisa
dihukum dengan seberat-beratnya dibandingkan dengan pelaku lain.
Meskipun hanya sebagai penerima dan bukan inisiator perbuatan
namun jabatan yang melekat padanya haruslah dipandang sebagai
faktor pemberat. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pemidanaan juga
tercapai. memberikan nestapa bagi pelaku dan juga mencegah hakim
lain melakukan perbuatan yang sama.

REFERENSI
Anak Buah OC Kaligis Berstatus “Justice Collaborator” Sejak Juli
2015. Kompas.com. Rabu.20 Januari 2016
Eddy O.S Hiariej. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta.
Cahaya Atma Pustaka
Indonesia Corruption Watch. 2016. Catatan Daftar Aparat Penegak
Hukum Terjerat Korupsi. Jakarta
Indonesia Corruption Watch. 2003. Menyingkap Mafia Peradilan.
Jakarta. Setara Press
Jadi Justice Collaborator Gary Divonis 2 Tahun Penjara. Tempo.co.
Rabu. 17 Februari 2016
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Atas Nama
Terdakwa Amir Fauzi (Nomor: 127/PID.SUS/TPK/2015/PN.JKT.
PST)
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Atas Nama
Terdakwa Tripeni Irianto Putro (Nomor: 124/PID.SUS/
TPK/2015/PN.JKT.PST)
Suharto RM. 1997. Penuntutan Dalam Praktik Peradilan. Jakarta.
Sinar Grafika
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang
Bekerja Sama Di Dalam Tindak Pidana Tertentu.
United Nation Convention Against Corruption

212 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Eksaminasi Terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Atas Nama Terdakwa Amir Fauzi (Aradila Caesar Ifmaini Idris)

Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Widyo Pramono. 2016. Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya
(Sebuah Perspektif Jaksa). Jakarta. Penerbit Buku Kompas

213
214 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
Combating Corruption
in Yudhoyono’s Indonesia:
An Insider’s Perspective1
Denny Indrayana
Faculty of Law, University of Gadjah Mada, Visiting Professor
at the Melbourne Law School and Faculty of Arts - University of
Melbourne

denny.indrayana@unimelb.edu.au

T
his paper shares my experiences in combating corruption
under President Susilo Bambang Yudhoyono’s (SBY)
administration from 2004 to 2014. In particular, I want to
give you my inside story as President SBY’s Special Advisor
for Legal Affairs from 2008 to 2009; his Special Advisor
for Legal Affairs, Human Rights, and Anti-Corruption from 2009
to 2011; and his Deputy Minister for Law and Human Rights from
2011 to 2014. I hope my experience of six years in government that
I will share with you tonight may be of some use in building a better
understanding of how difficult is to combat corruption, even for the
strongest authority in the country, the President.
I should admit that my observations may be subjective, because
of my close relationship with Pak SBY, but I can guarantee that I will
try my best to give you an academic and objective overview of the
anticorruption agenda under his administration. I will leave it to you

1 This paper has never been published but was presented on my inauguration as
Visiting Professor in the University of Melbourne on the 20 September 2016.

215
to decide how successful I am in doing this! If you disagree with me,
it does not matter. In fact, disagreeing is better, so we can have more
fruitful discussions!

THE PRESIDENT AFTER REFORMASI:


A MORE CHALLENGING JOB
Let me begin by sharing with you my argument that to be an
effective president one should have at least three things: more
constitutional powers, strong political support, and sufficient control.
I first delivered this argument in my inauguration speech as professor
of constitutional law in the Faculty of Law of the University of Gadjah
Mada in 2011. To put it in mathematical terms, my argument is:
EP = CP + PS + C
EP = Effective Presidency
CP = Constitutional Powers
PS = Political Support
C = Control

By ‘constitutional powers’, I mean the authority that a president


has, as outlined in the constitution. The more he has, the more
effective a president become, and vice versa. It is not difficult to
conclude that the president after the reformasi, especially after the
four constitutional amendments made between 199 and 2002, is
constitutionally a weaker president. The 1945 Constitution used
to be called as an “executive heavy constitution”, meaning that the
constitution give more powers to the president compared to the
other branches. The amendments mean it has become a more limited
executive constitution, with more checks and balances. One example
of the impact of the amendment is the limitation of presidential term,
previously unlimited, to a maximum of two terms, or ten years. This
amendment is crucial to save Indonesia from experiencing another
president for life, or at least one ruling for more than 30 years as
Soeharto did during the New Order era.
Second, ‘political support’ here means mainly support from
political parties, especially those who have seats or members in the
parliament, that is, the House of Representatives (DPR). With more
limited powers, the post- reformasi Presidents have serious problems
with political support. None of the presidents since the reformasi
have led a party that enjoys a majority in the DPR. The situation is

216 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective
(Denny Indrayana)

completely different to Soeharto’s presidency, where the president’s


party, GOLKAR, enjoyed an, on average, 68.5% majority in the DPR.
In fact, none of the parties since the reformasi have been able to win
more than 30% of the national vote, with the only exception being
the Struggle Indonesia Democratic Party (PDIP), which won 33.7%
in 1999 election. In the last national election, 2014, PDIP still won
the election but did so with just 19.26% of the vote. To be an effective
president, one should gain at least majority support from the House,
so as to be able to easily pass laws, make policies and appoint people
to strategic positions.
This lack of reliable majority political party support has directly
contributed to the difficulties all post-reformasi presidents have faced
in leading the country. The president has no option other than to try
to establish a solid coalition of parties, which is not always an effective
solution. It is, in fact, very challenging. In Bahasa Indonesia I would
say, instead of having a coalition that is solid, the president usually
ends up with coalition that is sulit (difficult).
My third element is sufficient control. A president with more
constitutional power and enough political support may still not be a
good president unless there is a sufficient system of control, or checks
and balances, not only from the opp osition, but also from the public
and the media. In any case, this control factor is the key. A president
who is not controlled would be very effective but, at the same time,
destructive. A president subject to too much control will be ineffective:
he or she will not be able deliver on policies and definitely would find
it very difficult to fulfill campaign promises. It is very clear that after
reformasi control of the president comes from many directions,
among others, a much stronger and sharper DPR, far more active
NGOs, and, of course, the media. By contrast, in the New Order era,
Soeharto was subject to very limited control, and sometimes almost
none.
So, compared to Soekarno and Soeharto, the post-reformasi
president faces far more challenges to be an effective ruler. With
more limited powers, minority political support and weak coalitions,
and many more effective controls on him or her, the president must
somehow lead a country like Indonesia, which has so many extremely
complex problems, including, of course, corruption, one the root
causes of so many other problems.

217
PRESIDENT YUDHOYONO AND POLITICAL
SUPPORT
I will now discuss the political support President SBY had. I
focus on this factor because it is more dynamic than the other two:
constitutional powers and control. Another reason to discuss his
political support is that it is one of the key factors in combating
corruption in Indonesia. In fact, the political landscape is crucial in
determining whether a president’s agenda will be successful or not.
Although the numbers were not so different, the effectiveness of
political support for Yudhoyono was different between the first and
second terms of his presidency. The coalition from 2004 to 2009
consisted of 8 parties, equivalent to 73.3% of the DPR.
The coalition from 2009 to 2014 was consisted of 6 parties,
equivalent to 75.5% members of the DPR. The votes for Democrat
Party increased almost three times, from 7.45% votes in 2004 to
20.85% in 2009.
I would argue, however, that, in the end, this increase made no
significant difference to the struggle against corruption. According
to the numbers – and especially the Democrat Party’s basic political
capital, which increased almost threefold – Yudhoyono’s capacity to
combat corruption was supposed to be much stronger. Unfortunately,
this proved not to be the case at all.
After winning the 2009 election, President SBY was optimistic
about his second term. He told me that the significant increase
in the Democrat Party vote is a strong mandate for him to run the
government more effectively, including as regards anti-corruption
efforts. One thing about which he and I miscalculated was that the
increase in his political mandate did result in increased supported
from his own coalition. That did not happen. In fact, political attacks
in his second term were sometimes more frequent and intense than
in his first term. Strangely, these attacks mainly came NOT from the
opposition, that is, the PDIP, led by Megawati Soekarnoputri. The
most dangerous attacks came, in fact, from within the coalition.
It is clear that coalition support during President SBY’s first term
was more solid than in his second term. There were many reasons
for this. One is Golkar’s position. Originally, Golkar had no history
of supporting an elected president in the post-reformasi period.
They nominated their own candidate, and lost the battle. In 2004,

218 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective
(Denny Indrayana)

not long after he was inaugurated as Vice President, Jusuf Kalla (JK)
won the chair of Golkar, and re-positioned the party as a supporter
of government. JK and Golkar’s significant political experience
contributed to the government’s political stability and reduced attacks
on SBY’s first presidency.
The situation was very different in the second term. Golkar
again nominated its own candidate and loss the battle in the 2009
presidential election. They also again eventually joined the cabinet
and became part of the government coalition. This time, however,
Golkar’s support was not as strong. Unlike the first term, when the
Chair of Golkar was also the Vice President, in the second term, the
Chair of Golkar, Aburizal Bakrie, had no position in the government.
He was not even a member of the cabinet. The resulting half-hearted
support of Golkar had a significant impact to the solidity of parties’
coalition. Moreover, the Prosperous Justice Party (PKS), another
coalition member, took the same position as Golkar, that is, it only
partially supported the President.
In fact, only few months after being inaugurated as members of
cabinet and coalition, Golkar and PKS aggressively initiated a Special
Committee to investigate Bank Century case, something President
SBY did not want to happen. I recently accompanied a former senior
minister who visited Melbourne. He told me that he actually advised
President SBY to expel both Golkar and PKS from the coalition. I
shared his view, but I also understood the dilemma President SBY
faced at the time.
I know that President SBY was, on several occasions, very angry
and seemed likely to expel Golkar and PKS. But, after making more
careful political calculations, he finally decided to keep both parties
inside the tent, rather than let them join the opposition, led by
PDIP, and make it more stronger and effective, thus creating a very
dangerous political risk for his administration. I know, for sure, that
this was not an easy decision for SBY—but he had limited options.
Having Boediono as Vice President in his second term gave SBY a
big opportunity to strengthen the anticorruption agenda. An academic,
not a politician, Pak Boediono was appointed as a technocrat. He
therefore had no conflict of interest politically or in terms of business
that would make it difficult for him to reinforce good governance
and wage war against corruptors. Unfortunately, however, having no
formal position in a political party turned out also to be a disadvantage

219
for someone holding a strategic political position in Indonesia. In fact,
the Bank Century case saw Vice President Boediono and the reformist
Minister of Finance, Sri Mulyani, both become political targets,
attacked by politicians led by Golkar, PDIP and PKS.
The first six months of the second term of the SBY presidency
were very tough. The Bank Century case was always headline news
and hearings were broadcast live by almost all television stations,
owned by the president’s opponents. It was only after President SBY
finally allowed Sri Mulyani to resign as Minister to become Managing
Director of the World Bank that the attacks slowed down. This showed
that the Bank Century case was really more a personal attack than
something in the national interest.
During these troubled six months President SBY tried to exercise
more powers to combat corruption. Several times he made public
statements calling for a fight against anybody who tried to avoid tax
payments. I could only guess against which persons and company
groups those statements were directed. I think the Indonesia public
knew perfectly well who the president was referring to. Despite this,
once he lost a vote in the DPR to stop the Bank Century case, President
SBY had no option other than to make political compromises.
I remember that on the night of that loss, we were in the State
House near the palace monitoring the voting process. President
SBY asked a rhetorical question, “What if the government coalition
only consisted of three parties”. I assumed he was referring to the
Democrat Party, the National Mandate Party (PKB) and the National
Awakening Party (PKB), who fully supported his position in the Bank
Century case in the DPR. He paused and then added, “It is not good
to make decision when you are full of anger”. Two weeks after that,
in a very small meeting of just a few participants held at his house in
Cikeas, SBY explained that he had finally decided to step back a little
bit, to decrease political tensions and focus more on the economic
agenda. It was after that meeting that the so-called Joint Secretariat
of Coalition was established and Aburizal Bakrie became its head.
This six months of Bank Century battles constituted clear evidence
that the war against corruption would not be successful without a
clean political landscape. Even a president with a strong mandate will
always have to make very careful calculations if he or she wants to
pursue an anticorruption agenda.
Another lesson from SBY’s two terms was that the strength of

220 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective
(Denny Indrayana)

his political support was related in complex ways to stability of the


government and the progress of anticorruption efforts. I would argue
that the first term of his presidency was more stable. Political support
for President SBY and Vice President JK was more solid than for SBY
and Boediono. ‘Stable’, however, does not mean less corrupt. The New
Order of Soeharto is a clear example of a more stable administration
that was actually very corrupt. In fact, if you seriously want to combat
corruption in a very corrupt political landscape, the political situation
will certainly NOT be stable. The problem of maintaining political
stability and at the same time combating corruption is the primary
challenge of any leader of a corrupt country, and the Indonesian
president is not excluded from that test.
Moreover, in Indonesia, political support is not necessarily
positive, particularly because political parties are still part of the
problem—and not the solution—for anticorruption efforts. To make
the situation worse, the parties are usually closely linked with corrupt
businessmen who support them financially. This financial support
means the parties lack independence and are easily contaminated
by corrupt practices and vested interests. Regrettably, the numbers
of tycoons, or as we say, ‘konglomerat’ who support the parties are
not many, and therefore, Indonesian parties are easily influenced by
small number of powerful oligarchs who have access to the parties’,
and the country’s, top leaders.
In fact, according to the latest report of World Bank, Indonesia
ranks as the world’s third worst concentration of wealth, where only
10% own 77%, or 1% own 50.3% of the country’s wealth. Further,
according the Economist, Indonesia ranks as seventh worst in crony-
capitalism index, where about two-third of the richest Indonesian run
their business with the support of the authorities, or in collusion with
them. This situation makes the anti-corruption agenda even more
difficult. One way to solve the problem is by reforming the financial
systems of political parties, so they are more independent and not so
easily contaminated by the intervention of corrupt businessmen.

PRESIDENT SBY AND ANTI-CORRUPTION


AGENDA
I joined the palace in late 2008, only one year before President
SBY finished his first term but I learned a lot about his approach

221
to combating corruption in his early years. One of the very first
instructions issued by President Yudhoyono was on corruption
eradication acceleration. I understand why some of the anti-
corruption NGOs criticized this instruction as ineffective but it was
at least a clear and strong gesture by a President who wanted to put
anti-corruption on his priority agenda.
‘Ineffective’ was also the term used by his critics to describe
SBY’s initiative to set up a Coordinating Team to combat corruption.
Indonesia Corruption Watch was suspicious that the team would be
a rival – and a threat - to the Corruption Eradication Commission
(KPK). I also criticized that Coordinating team, argued the President
should instead support and strengthen the KPK. However, I now think
that what the President tried to establish could actually be a good idea
– we need a better coordination system among the police and public
prosecution service, especially in handling corruption cases.
Another important initiative in relation to anti-corruption was
when President SBY sought to implement the Law on Military,
prohibiting the Indonesia National Army (TNI) from carrying on
business. The President set up a team to prepare the transfer of TNI
businesses to a more legitimate format. This initiative was not widely
covered by the media, but was it actually a very good and important
initiative.
President SBY’s approach of setting up ad hoc committees to
execute his anticorruption agenda actually showed how complex
the problems are. Pak SBY is a very disciplined and correct person
who always works according to the constitution and regulations. In
fact, one of his habits is to always carry a copy of the constitution,
signed with his name, in his pocket. Therefore to ask him to make a
decision that did not accord with the written laws is impossible. He
nonetheless accept my advice to set up some ad hoc committees to
deal with corruption issues, even if their legal basis was not always
strong.
Two of these committees were the Task Force to Eradicate Judicial
Mafia and Independent Team to Investigate Chandra Hamzah and
Bibid Samad Riyanto, the two commissioners of KPK. These ad hoc
committees were direct responses to the conflict between KPK and
corrupt policemen. There were three big conflicts of this kind - in
2009, 2012 and most recently in 2015. I would like to share with you
how President SBY handled the conflict against KPK in 2009 and

222 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective
(Denny Indrayana)

2012. I will not discuss the third conflict in 2015, because it was not
under SBY’s administration, the timeframe of our discussion. I will
also avoid it because it will inevitably involve my own subjective views
as I was named a corruption suspect mainly because I strongly and
publicly supported the KPK in this third battle with the corrupt police.

PRESIDENT SBY AND SUPPORT FOR THE KPK


Almost every time President SBY needed to communicate with
the KPK, he would ask me to contact its leaders. The President knew
very well that KPK is an independent body that is not under the
control of his executive branch but he also knew that informal but
respectful communication is always important. One principle that
SBY kept mentioning to me was that communication should not
be an intervention in KPK, preventing them from doing their job of
eradicating corruption. Indeed, the President did not seek to prevent
the KPK from investigating corruption cases against Aulia Pohan, the
father-in-law of his eldest son. SBY also never used his presidential
powers to try to stop cases against leaders of his own Democrat Party,
despite the damage these investigations did to his party.
Interventions in legal case are clearly prohibited according to SBY’s
principles. Yet, I did manage to ask the President to rescue the KPK
from being attacked by corruptors. In late 2009, almost at the same
time the Century case was initiated by the DPR, two commissioners
of the KPK, Chandra Hamzah and Samad Riyanto, were named as
suspects by the Indonesian police. This case quickly became an open
conflict between KPK and corrupt police. Civil society intensively and
extensively launched a public campaign under the tag of ‘gecko versus
crocodile’ (Cicak Vs Buaya), to show their support from KPK, which
was symbolized as the gecko, with corrupt police as the crocodile.
Ironically, the gecko and crocodile image was first suggested by
Susno Duadji, a three star police general, in an interview with Tempo
magazine to show the KPK had no chance against the police.
I believed that the cases against the two KPK commissioners were
fabricated. Based on this and inputs from anti-corruption colleagues, I
suggested President SBY set up an independent team to investigate the
cases against them. It was not easy to convince SBY, but surprisingly,
one night he called me and asked me to draft a presidential decree to
establish the team. He even allowed me to propose members of the

223
independent team.
Finally the independent team was established and named as the
8 Team, because it consisted of eight people, led by the late Adnan
Buyung Nasution, also previously a professor in this faculty. I was the
secretary of the team. After inviting and interviewing many people, the
team concluded within 2 weeks that there were no evidence against
Chandra and Bibit. The President finally made a public statement that
the case against the two commissioners should be settled ‘out of the
court’, meaning no legal prosecution should be carried out against
both of them.
Further, to follow up one of the recommendations of the 8 Team,
President SBY formed the Task Force to for Eradication Legal Mafia.
Judicial corruption was clear from our investigation of Chandra and
Bibit’s case. I therefore recommended the President establish an ad hoc
task force under his direction to combat the judicial mafia. Actually, I
was not confident the President would accept my suggestion but one
day he invited me in a meeting in Cikeas, and told me that he wanted to
put the battle against judicial mafia as the number one priority for the
100 Days Program with which he wished to start his 2nd term. Then,
at another meeting in the State House, he instructed me to draft the
Presidential Decree to set up the task force. It existed for two years,
from 2009 to 2011, and was led by a very effective figure, Kuntoro
Mangkusubroto. I was again the secretary of this ad hoc team.
Unfortunately, the authority of the team was limited, because to
have the power as legal enforcer, it needed a statute as a legal basis,
not just a presidential decree. However, we managed to increase
public awareness of the need to fight against the judicial mafia. One
of the cases widely covered by the media was the Gayus Tambunan
case. I found this corrupt tax official in Singapore, where he was a
fugitive, and persuaded him to come back to Jakarta. It turns out that
the case was a very high profile one. After returning from Singapore, I
directly requested to meet the President in Cikeas and reported to him
classified information that I learned from Gayus about the identity of
the companies he worked with to illegally reduced their tax bills.
I knew that the owner of the companies was very upset and
unhappy that Gayus’s case had blown up in this way. In one occasion,
he was spoke directly to me and made his unhappiness very clear. I
believe this strong political and business figure managed to influence
the decision-making process such that the anti-judicial mafia Task

224 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective
(Denny Indrayana)

Force was not extended beyond its original two years as we had
planned it would.
In 2012, when I was the Deputy Minister of Law and Human Rights,
another conflict took place between KPK and corrupt policemen, in
relation to a corruption case investigated by KPK against Djoko Susilo,
a two-star general. This time none of the commissioners of KPK were
legally attacked, but Novel Baswedan, a very senior investigator of
KPK, who had led Djoko’s case, was named a suspect in a torture
case. Accordingly, the case against Novel was widely seen as another
attempt to criminalize the KPK. It became the second gecko versus
crocodile conflict.
Although I was not his special legal advisor anymore, President
SBY called me and asked my advice on the second conflict. He
specifically asked me who had the jurisdiction to handle Djoko’s case,
because the police argued that they had the authority over the case,
not the KPK. I explained to SBY that KPK clearly has the jurisdiction
over the police based on the KPK Law itself. After carefully reading
the law, President SBY agreed with me and made a public speech that
the KPK should continue to handle the corruption case against Djoko.
SBY further indicated that he instructed the police to halt the case
against Novel Baswedan.
The two gecko versus crocodile conflicts clearly showed SBY’s
support for the KPK. I should mention, however, that his support
might also have been influenced by public pressure. The two conflicts
were widely covered by the media—print and electronic. They were
therefore, monitored by President SBY as important issues to which
he needed to pay more attention.

PRESIDENT SBY AND PUBLIC PERCEPTIONS


Another factor I think important is the influence of public
perceptions on the anti-corruption agenda during SBY’s presidency.
SBY always monitored the media—including social media—,
particularly as regards the anti-corruption agenda. His decision
would, therefore, be influenced not only by political consideration but
also public perceptions.
In terms of public perception, the two “gecko versus crocodile”
conflicts were clear examples of how a strong public campaign could
influence President SBY’s decision making. I know that, in making

225
decisions, he tried to listen to as many people as possible. I understand
that for the first gecko versus crocodile conflict in 2012, SBY ordered
an independent polling company to conduct a survey on popular
aspirations for the case against the two commissioners of KPK. The
survey result was definitely a key source of information used by SBY
to make his decision in favor of KPK.
However, it is important to understand that not all of SBY’s
decisions were decided by all public pressure. In relation to the death
penalty for example, although there was strong public support to
execute drug dealers, SBY was very careful in making decisions on
clemency. In fact, at one meeting I attended, he clearly mentioned
that he is not in favor of death penalty. Pak SBY could not publicly
mention this position, however, because the death penalty was held to
be constitutional by the Constitutional Court. Hence, despite strong
support from the public, SBY instead deliberately postponed some
executions.

CONCLUSION
My six years as President SBY’s special advisor and deputy minister
was truly an invaluable experience. I was able to see firsthand how
regulations are developed and applied in real politics, especially in
relation to anti-corruption cases. My conclusion is not unique - the
Indonesian experience is similar to that of other countries who have
corruption as one of the main problems they face. No president
has a magic spell that can easily make the corruption disappear.
No president can effectively run the country without the presence
of strong constitutional power, enough political support and the
presence of effective control mechanisms.
In Indonesia, post-reformasi presidents, including SBY, faced
major challenges in delivering anti-corruption reforms. The
constitutional reforms limited presidential powers; political support
of more than 50% of the parliament cannot easily be won or be
maintained; and the sources of control – that is, checks and balances,
are very strong and come from many directions. Therefore, President
SBY’s anti-corruption agenda has had some achievements but also
failures. One of the reasons for this is that the political elites did not
fully support the war against corruption. Some of the parties’ leaders
were even investigated and jailed by KPK, including the previous chair

226 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


Combating Corruption in Yudhoyono’s Indonesia: An Insider’s Perspective
(Denny Indrayana)

and treasurer of Democrat Party, the party of President SBY himself


SBY therefore tried very hard to balance a lack of political support
and the necessity of combating corruption. This is why his fight
against corruption achieved some success, but left many unresolved
challenges. The dilemma of any president in the current politics of
Indonesia, including SBY, is how to combat corruption effectively, and
at the same time keep strong and stable political support so as to be
able to deliver significant economic growth for the people’s prosperity.
Regrettably, to combat corruption is probably to point the gun at the
very politicians or businessmen who politically or financially support
the president himself. And sometimes they fight back, and therefore,
the gun backfires!

227
NEW
DESIGN
CLICK NOW

ACCH.KPK.GO.ID

228 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017


SAJIAN
PENUH GIZI
SEPUTAR
INFORMASI
ANTIKORUPSI
Alamat : Jln. Kuningan Persada Kav. 4, Setiabudi Jakarta 12950
Email: integrito@kpk.go.id | Telepon : 021 2557 8498
Fax : 021 5290 5592 | Website : www.kpk.go.id
Anda mengetahui tindakan korupsi
yang telah atau akan dilakukan
oleh seseorang
?
AYO lapor ke KPK
Mudah, Cepat dan Dijamin Kerahasiannya !
Segera kunjungi KPK Whistleblower's System
https://kws.kpk.go.id
Mari bersama mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
230 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017
STREAMING

RADIO
9:00 - 12:00 WIB
TV
12:00 - 17:00 WIB

HANYA DI
Aplikasi Mobile Pencegahan Korupsi

Jaga Jaga
Sekolahku puskesmasku

Jaga Jaga
rumah sakitku perizinanku

Akses Informasi tentang sekolah,


puskesmas, rumah sakit dan
layanan publik lainnya
secara mudah dan cepat
melalui smartphone Anda
ISSN 2477-118X

232 Volume 3, Nomor 1, Maret 2017

Anda mungkin juga menyukai