Anda di halaman 1dari 70

PENELITIAN

UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBRANTASAN


TERHADAP PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR
DI DENPASAR (STUDI KASUS POLRESTA
DENPASAR)

PENELITI

I GUSTI NGURAH PARWATA SH MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017
Penelitian

PEMBRANTASA DAN PENCEGAHAN TERHADAP


PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DI
DENPASAR (STUDI KASUS POLRESTA DENPASAR)

Peneliti

I GUSTI NGURAH PARWATA SH MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017
KATA PENGANTAR

Om, Swastyastu.

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa /
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, PENELITIAN yang
berjudul “PEMBRANTASAN DAN PENCEGAHAN TERHADAP
PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DI DENPASAR (STUDI KASUS
POLRESTA DENPASAR) dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya. PENELITIAN ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban
Dosen Pengajar di Fak Hukum Udayana dalam menunjang Tri Dharma Perguruan
Tinggi pada Universitas Udayana.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna
karena keterbatasan Waktu. Peneliti berharap semoga penelitian ini memenuhi
kriteria salah satu syarat dari tri dharma pergutruan tingi pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana.

Dalam menyusun Penelitian ini, peneliti mendapatkan arahan dan


dukungan dari berbagai pihak baik secara materiil maupun immateriil. Peneliti
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
3. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H., Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Semoga bantuan, dorongan dan kajian ilmiah di bidang hukum pidana yang
telah diberikan kepada peneliti memperoleh penghargaan yang baik dari Tuhan
Yang Maha Esa. Peneliti menyadari sepenuhnya masih ada kekurangan dalam
penelitian ini. Dengan kerendahan hati, peneliti menghargai dan menerima kritik
dan saran demi kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang
memerlukan.

Om Santih, Santih, Santih Om.

Denpasar, 16 Maret 2017

Peneliti
DAFTAR ISI

Kulit
Coper tengah
Halaman Pengesahan
Daftar Isi
Ringkasan
Judul Penelitian
Daftar Isi

BAB I : PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
2. Rumusan Masalah

BAB II : TINJAUAN PUSTAKAAN


BAB III : TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian :
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
2. Manfaat Hasil Penelitian
a. Manfaat Teoritis
b. Praktis

BAB IV : METODE PENELITIAN


1. Jenis Penelitian
2. Metode Pendekatan
3. Sumber Bahan Hukum
4. Teknis Pengumpulan bahan Hukum
5. Teknis Analisis Bahan Hukum

BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI : PENUTUP
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Upaya Pencegahan dan pembrantasan Terhadap


Pencurian Kendaraan Bermotor Di Denpasar (Studi Kasus Polresta Denpasar)”.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Modus operandi yang
dilakukan oleh pelaku pencurian kendaraan bermotor dan bagaimana cara pihak
kepolisian menanggulangi pencurian kendaraan bermotor di Denpasar .Tujuan
skripsi ini adalah untuk mengetahui modus operandi yang pelaku lakukan untuk
pencurian kendaraan bermotor di Denpasar dan upaya penanggulangan yang
dilakukan oleh pihak kepolisian untuk menekan angka kejahatan pencurian
kendaraan bermotor di Denpasar.
Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris, dimana
Suatu prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan
meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan
mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan. Penelitian ini bersifat
deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok terntetu, atau untuk menentukan
penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara
suatu gejalan dengan gejala lain dalam masyarakat. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini dengan cara Penelitian lapangan (field research), penelitian
ini dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data primer
dan Penelitian pustaka (library research), penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum. Teknik analisa
yang di pergunakan dalam penelitian ini dengan cara metode kualitatif dimana
Setelah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terkumpul, maka bahan
hukum tersebut diolah dan dianalisa Setelah melalui proses pengolahan data
analisis, kemudian bahan hukum tersebut disajikan secara deskriptif analisis.
Pelaku pencurian kendaraan bermotor ini mempunyai modus operandi
untuk melakukan pencurian kendaraan bermotor di Indonesia itu salah satunya
yaitu menggunakan kunci T, Khusunya di wilayah hukum Polresta Denpasar
modus operandi yang sering dilakukan oleh pelaku dengan cara menggunakan
kunci T .Pelaku menggunakan kunci T karena membobol sarang kunci lebih
mudah dan lebih cepat. Faktor pelaku melakukan pencurian kendaraan bermotor
di Denpasar ialah dikarenakan faktor ekonomi dimana ekonomi pelaku sangat
terpuruk untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, oleh karena itu pelaku
melakukan kejahatan pencurian kendaraan bermotor dengan cara melakukan
modus operandi. Upaya penanggulangan yang dilakukan pihak polresta untuk
menekan kejahatan pencurian kendaraan bermotor ini dengan upaya preemtif
,preventif dan represif .

Kata Kunci: Pencurian Kendaraan Bermotor, Modus Operandi, Upaya


Penanggulangan
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Indonesia adalah Negara yang dapat digolongkan sebagai penganut tradisi


Cipil Law dimana sumber hukum utamanya adalah undang-undang dan kodifikasi.
Apab ila dihubungkan dengan hukum pidana, setiap perbuatan dapat
dikatagorikan sebagai kejahatan jika perbuatan tersebut telah dikriminalisasi oleh
undang-undang atau kodifikasi. Prinsif ini dikenal dengan istilah asas legalitas.
Penerapan asas legalitas menimbulkan suatu konsekuensi yaitu bahwa suatu
perbuatan yang dapat dipidana harus didasarkan pada undang-undang, tidak dapat
diterapkan asas retroaktif, lex stricia dan tidak diperkenankan penafsiran secara
analogi.

Pengertian kejahatan sangatlah beragam, tidak ada definisi buku yang di


dalamnya mencakup semua aspek kejahatn secara komprehensif, ada yang
mengartikan kejahatan dilihat dari aspek yuridis, sosiologis, maupun
kriminologis. Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan di karenakan
prespektif orang dalam memandang kejahatan sangat beragam. Banyak berbagai
macam jenis kejahatan, dimana salah satu dari kejahatan itu adalah kejahatan
pencurian kendaraan bermotor, hal ini tentunya sudah banyak terjadi di berbagai
daerah yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan memiliki tingkat mobilitas
tinggi.1

Tingkat kesadaran dari seseorang masyarakat akan pentingnya menjaga


barang milik pribadi terutama kendaraan bemotor cenderung sangat di abaikan.
Masyarakat banyak kurang menyadari bahwa berbagai macam kejahatan bisa saja
terjadi menimpa mereka atau orang di sekitar masyarakat itu sendiri, jika saja
masyarakat lalai maka akan banyak timbul kesempatan bagi para pelaku kejahatan
pencurian kendaraan bermotor untuk melancarkan aksinya, jika sudah terjadi

1
Didi M.Arief Mansur dan Elisatris Gultrom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan:
Kejahatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 55.
2

kejahatan pencurian kendaraan bermotor maka siapa yang akan di salahkan,


aparat penegak hukum kah atau orang lain.

Masyarakat itu sendiri merasa yakin jika mereka mampu menjaga


kendaraannya sendiri saat beraktifitas, baik di luar rumah maupun di lingkungan
rumah sendiri, jika ini terus di biarkan tanpa adanya sosialisasi maka kejahatan
kendaraan bermotor akan semakin meningkat dari setiap tahunnya.

Apabila di kaitkan dengan unsur pasal tindak pidana pencurian 362 KUHP
maka kejahatan pencurian kendaraan bermotor adalah perbuatan yang di lakukan
pelaku dengan mengambil suatu barang yaitu kendaraan bermotor itu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki
kendaraan bermotor tersebut secara melawan hukum. Kejahatan pencurian
kendaraan bermotor termasuk sebagai tindak pidana pencurian yang di atur dalam
KUHP. Berikut ini adalah pasal KUHP yang mengatur kejahatan pencurian
kendaraan bermotor beserta pasal yang memiliki keterikatan dengan kejahatan
pencurian kendaraan bermotor. 1. Pengertian pencurian menurut hukum 362
KUHP. 2. Pencurian dengan pemberatan yang di atur dalam pasal 363 KUHP. 3.
Pencurian dengan kekerasan yang di atur dalam pasal 365 KUHP. 4. Tindak
pidana penadahan yang di atur dalam pasal 480 KUHP.

Disebutkan dalam Pasal 362 KUHP bahwa:

“barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau


sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk di miliki
secara melawan hukum , diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah”.2

Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukan


bahwa pencurian adalah merupakan tindak pidana formil, mengambil adalah

2
Prof. Moeljatno, 2014, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara,
hlm. 128.
3

perbuatan tingkah laku positif atau perbuatan materil, yang dilakukan dengan
gerakan otot secara sengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari
dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya,
memegangnya dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkan ke tempat
lain atau ke dalam kekuasaannya. 3
Perlu ada atau tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan
tujuan-tujuan yang hendak di capai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh
untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. Tidak semua upaya-
upaya penanggulangan kejahatan bisa memperbaiki pelaku menjadi lebih baik,
oleh karena itu penggunaan pidana masih diperlukan walaupun sebagai upaya
terakhir.
Masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi juga merupakan masalah
kebijakan, selanjutnya oleh Sudarto mengemukakan bahwa, kita tidak boleh
melupakan, hukum pidana atau lebih tepat sistem pidana atau merupakan bagian
dari politik kriminal, ialah usaha yang rasional dalam menanggulangi kejahatan,
sebab di samping penanggulangan dengan menggunakan pidana masih ada cara
lain untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.4
Oleh karena itu dalam mengambil kebijakan untuk menggunakan hukum
pidana yang biasanya di mulai dengan proses kriminalisasi harus di perhatikan
beberapa hal, kriminalisasi tersebut di artikan sebagai proses penetapan suatu
perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat di pidana5. Proses ini di akhiri
dengan terbentuknya undang-undang di mana perbuatan itu di ancam dengan
suatu sanksi yang berupa pidana. Hal hal yang harus diperhatikan ada empat
yaitu:
a. Tujuan Hukum Pidana
b. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki

3
Agustina Rosan, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, hlm. 13.
4
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru,
hlm. 31.
5
Mahrus Ali, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 66.
4

c. Perbandingan antara sarana dan hasil


d. Kemampuan badan penegak
Hal-hal di atas harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang mengingat
bahwa hukum pidana merupakan penyaring dari banyak perbuatan tercela yang
merugikan masyarakat sehingga perbuatan yang dijadikan tindak pidana relatif
kecil jumlahnya.6
Demikian banyak pasal yang beterkaitan mengatur tentang kejahatan
pencurian kendaraan bermotor tetap saja kejahatan pencurian kendaraan bermotor
masih saja banyak berkembang di lingkungan sekitar. Bahkan salah satu dari
seorang pelaku ada juga yang masih berstatus sebagai pelajar. Masyarakat
tentunya perlu mengetahui berabagai macam modus operandi atau cara
melakukan pencurian kendaraan bermotor yang di lakukan oleh pelaku pencurian
kendaraan bermotor itu, karena di zaman yang semakin canggih seperti ini banyak
sekali modus operandi pencurian yang mengancam masyarakat. Seperti modus
operandi baru yang berkembang pada saat ini yaitu, pelaku pencurian mengincar
area parkir yang berada di sekitaran pusat perbelanjaan dengan cara membawa
plat nomor palsu yang sesuai dengan STNK yang di bawa pelaku untuk
mengganti plat nomor yang asli agar tidak dicurigai oleh petugas parkir karena
pelaku meyakinkan petugas parkir dengan STNK palsu yang dibawa pelaku. Ada
juga modus operandi pencurian kendaraan bermotor yang menggunakan unsur
kekerasan dalam aksinya, pelaku tidak segan–segan mencederai atau melukai
korban dengan senjata tajam atau bahkan senjata api. Hal ini dilakukan oleh
pelaku terhadap korban agar aksi yang dilakukan tidak diketahui oleh masyarakat
atau bahkan dari pihak kepolisian.

Pelaku pencurian kendaraan bermotor melancarkan aksinya jarang


melakukan pencurian secara sendiri melainkan sudah terorganisir secara baik dan
memilik jaringan sindikat yang besar di berbagai daerah.

Salah satu gejala sosial yang akhir-akhir ini meningkat di Denpasar adalah
terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor dan pelaku menggunakan

6
Ibid, hlm. 67.
5

berbagai macam modus operandi untuk melakukan aksinya di Denpasar.


Kejahatan pencurian kendaraan bermotor di Denpasar yang bertugas menangani
ialah Unit I bagian Ranmor Polresta Denpasar. Tugas Unit I Ranmor yaitu unit
Pencurian Kendaraan Bermotor melaksanakan penyidikan tindak pidana
pencurian, pemalsuan surat-surat kendaraan dan tindak pidana penipuan atau
penggelapan yang terjadi di Denpasar
Selama 3 tahun terakhir ini di Denpasar mengalami perkembangan
kejahatan pencurian kendaraan bermotor yang cukup meresahkan masyarakat
selain kejahatan pencurian lainnya dari tahun 2014 sampai 2016.

Kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor di Denpasar meningkat 33


persen hingga September 2016 yang mencapai 320 kasus. Jumlah tersebut lebih
tinggi dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 264 dan di tahun 2015 hanya 315
kasus, dimana masih cukup rendah, total kasus pencurian kendaraan bermotor di
Denpasar dari tahun 2014 sampai 2016 menjadi 899 kasus lebih tinggi dari kasus
kejahatan lainnya di Denpasar dimana diantaramya kasus pembunuhan 13 kasus,
kdrt 144 kasus, penipuan kasus 178, perjudian 268 kasus dan masih banyak kasus
yang ada di POLRESTA. berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Reinhard
Neinggolan (Bripka bagian Unit Ranmor Satuan Reskrim POLRESTA Denpasar
pada hari Senin, tanggal 16 Januari 2016) Menurut beliau, selama tiga tahun
terakhir jumlah kasus pencurian kendaraan bermotor di tujuh Kepolisian Sektor di
POLRESTA Denpasar memang tergolong tinggi dikarenakan ini jantung kota dari
Pulau bali tidak bisa dielakan kejahatan bisa mungkin terjadi di daerah ini.

Atas dasar permasalahan tersebut maka penyusun mengaggap


permasalahan ini penting untuk di tinjau secara mendalam dan menyajikannya
dalam bentuk sebuah karya tulis berupa penelitian. Agar kasus-kasus sedemikian
rupa dapat di tanggulangi sesuai dengan peraturan yang sudah di tentukan.
Dengan demikian maka penyusun tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dan
mengangkat permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul
“PENCEGAHAN DAN PEMBRANTASAN TERHADAP PENCURIAN
6

KENDARAAN BERMOTOR DI DENPASAR (STUDI KASUS POLRESTA


DENPASAR)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka


dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Modus operandi apakah yang sering dipakai pelaku untuk mencuri


kendaraan bermotor di Denpasar ?

2. Bagaimana upaya pencegahan dan pembrantasan pihak kepolisian


POLRESTA dalam menanggulangi kejahatan pencurian kendaraan
bermotor di Denpasar ?
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKAAN
1.7 Landasan Teori
Guna menunjang penelitian ini seusai dengan permasalahannya sehingga
dapat diwujudkan sebagai suatu kajian ilmiah di bidang ilmu hukum, maka
landasan teoritis dari pembahasan yang telah dirumuskan berpedoman pada
literatur-literatur, teori hukum atau teori hukum khusus, konsep-konsep hukum,
asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma, dan juga pendapat para sarjana
hukum yang berkaitan dengan pemasalahan kejahatan pencurian kendaraan
bermotor.
1.7.1 Penegakan Hukum
Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan
menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksan sanksi hukum
guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut sedangkan
menurut Satjipto Rahardjo penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.7

Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang
terwujud dalam serangkaian nilai untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut keberhasilan
penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai
arti yang netral sehingga dampak negative atau positifnya terletak pada isi faktor-
faktor tersebut. Faktor-faktor ini merupakan esensi serta tolak ukur dari efektivitas
penegakan hukum.

Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Hukum (undang-undang),
b. Penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk mapun
menerapkan hukum,

7
Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru: Bandung, hlm. 24.
8

c. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum,


d. Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan,
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.8

Di dalam suatu negara yang sedang membangung, fungsi hukum tidak


hanya sebagai alat control sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas semata, akan
tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan atau perubaan di dalam
suatu masyarakat, sebagaimana disbutkan oleh Roscoe Pound salah seorang tokoh
Sosilogical Jurisprudence dimana sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi
kejahatan dalam penegakan hukum pidana rasional. Penegakan hukum pidana
yang rasional tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi,
dan tahap eksekusi yaitu:

a. Tahap formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh


badan pembentuk undang-undang, dalam tahap ini pembentuk undang-
undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan
keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan dating, kemudian
merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam
arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat juga disebut
dengan tahap kebijakan legislative.
b. Tahap aplikasi, tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap
ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan
perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-
undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus
memegang teguh nilai-nilai keadilan. tahap kedua ini dapat juga disebut
tahap kebijakan yudikatif.

8
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, hlm. 5.
9

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana


secara konkrit oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat
pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat
oleh aparat pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang
telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankan
tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana
yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang. 9

1.7.2 Kesadaran hukum


Kesadaran hukum merupakan suatu keyakinan yang ditimbul dalam diri
individu maupun masyarakat sehingga individu maupun masyarakat tersebut
menaati aturan-aturan yang telah dibuat. Kesadaran hukum tidak terlepas dari
nilai moral yang hidup dalam masyarakat. Jika individu maupun masyarakat
tersebut memiliki nilai moral yang baik, maka kesadaran hukum individu maupun
masyarakat itu akan terbangun dengan baik. Pembentukan kesadaran hukum bagi
individu maupun masyarakat, harus dilakukan sejak dini agar supaya kesadaran
hukum itu tertanam didalam diri setiap individu maupun masyarakat tersebut.
Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang kesadaran
hukum. Di antara sekian banyaknya pendapat, terdapat suatu rumusan yang
menyatakan, bahwa sumber satu-satu hukum dan kekuatan mengikat adalah
kesadaran hukum masyarakat.10
Perubahan besar-besaran terjadi atas struktur sosial dan sistem sosial bangsa
ini suatu perubahan fundamental yang mencabut sampai akar-akarnya struktur dan
sistem kolonialisme di Indonesia. Perubahan ini merupakan perwujudan dalam hal
memperbaiki sistem hukum di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat yang diatur oleh undang-undang tersebut.11
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang rencana
pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025, menetapkan arah

9
Mulyadi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti: Bandung, hlm. 173.
10
Soerjono Soekanto, 2010, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press,
hlm. 167.
11
Sudjono Dirdjosisworo, 1983, sosiologi hukum, Jakarta : Rajawali Press, hlm. 83.
10

pembangunan materi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang salah
satunya adalah peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran
hukum yang tinggi terus ditingkatkan dengan lebih memberikan akses terhadap
segala informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan akses kepada masyarakat
terhadap pelibatan dalam berbagai proses pengambilan keputusan pelaksanaan
pembangunan nasional sehingga setiap anggota masyarakat manyadari dan
manghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Akibatnya akan
terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai rasa memiliki dan
taat hukum.12
Menurut Soerjono Soekanto untuk mengetahui kesadaran hukum
masyarakat di dalam proses perubahan yang menjadi ciri dari pembangunan,
dengan demikian maka pokok-pokok yang harus diteliti adalah :
1. Proses hukum, yaitu bagaimana masyarakat bertindak di dalam kehidupan
hukum dengan mengambil tindakan-tindakan hukum yang banyak dilakukan
sebagai patokan.
2. Alasan dan latar belakang proses hukum tersebut
3. Apakah proses hukum tersebut selaras atau tidak sesuai dengan peraturan-
peraturan tertulis yang berlaku
4. Mengapa terdapat keselarasan atau bahkan ketidaksesuaian antara proses
hukum dengan peraturan-peraturan tertulis yang berlaku.13
Mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya
mempertanyakan juga aspek penegakan hukum, yang pernah dilakukan oleh
Soerjono Soekanto tentang kesadaran dan kepatuhan hukum di tahun di tahun
1982, membuka pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam mematuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan
dan dilaksanakan secara konsekuen dalam komunikasi/hubungan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara bahkan berpolitik. Sejak awal tidak ada kesepakatan

12
Fence M. Wantu, 2010, Idee Des Recht kepastian hukum, keadilan dan
kemamfaatan(implementasi dalam proses peradilan perdata), Yogyakarta : Pustaka pelajar ,hlm.
3.
13
Soerjono soekanto, 2010, pokok-pokok sosiologi hukum, Jakarta : Rajawali press, hlm.
169.
11

yang jelas tentang konsepsi kesadaran hukum. Juga dipertanyakan apakah


kesadaran hukum sama dengan perasaan hukum. J.J. Von Schmid memberikan
ulasan tentang perasaan hukum, yaitu bahwa penelitian hukum yang timbul secara
serta merta dari masyarakat.
Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum
mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya melalui penafsiran secara
ilmiah. Paul Scholten menyebutkan kesadaran hukum merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan ada, sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-
nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian
yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Munculnya kesadaran hukum
didorong oleh sejauh mana kepatuhan kepada hukum yang didasari oleh:
indoctrination, habituation, utility, dan group indentification. Proses itu terjadi
melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang
selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan
penegakan hukum.
Soerjono Soekanto menyatakan terdapat empat indikator kesadaran hukum
yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu :
pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: faktor
hukumnya sendiri (UU), faktor penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas,
faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor kebudayaan.14
Masalah yang timbul kemudian berkaitan dengan bekerjanya hukum itu
adalah pertanyaan mengenai apakah hukum yang dijalankan di dalam masyarakat
itu benar-benar mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam peraturan
hukum tersebut. Pertanyaan demikian, purbacaraka membedakan tiga hal tentang
berlakunya hukum, yaitu hukum berlaku neraca filosofis, secara yuridis dan
sosiologis. Berlaku secara filosofis, bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita
hukum, yakni sebagai nilai positif yang tertinggi, sedangkan hukum berlaku
secara yuridis, terdapat anggapan, bahwa apabila penetuannya didasarkan pada

14
Saifullah, 2010, Refleksi sosiologi hukum, Bandung : refika aditama, hlm. 105.
12

kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen) atau terbentuk menurut cara
yang ditetapkan (W.Zevenbergen).
Bagi studi hukum dalam masyarakat, maka yang terpenting adalah hal
berlakunya hukum secara sosiologis (efektivitas hukum). Studi efektivitas hukum
adalah suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah
yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan realitas hukum dengan ideal
hukum, yaitu terdapat jenjang antara hukum dalam tindakan ( law in action)
dengan hukum dalam teori ( law in teory). Roscoe Pound membuat perbedaan
yang kemudian menjadi sangat terkenal di dalam ilmu hukum, yaitu antara law in
the books dan law in actions. Pembedaan ini mencakup persoalan-persoalan
antara lain, apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu
sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataannya.
Studi efektivitas hukum, adalah menelaah apakah hukum itu berlaku, dan
untuk mengetahui berlakunya hukum tersebut, Black menganjurkan agar
membandingkan antara ideal hukum, yakni kaidah yang dirumuskan dalam
undang-undang atau keputusan hakim, dengan realitas hukum. Soerjono Soekanto
berkaitan dengan realiatas hukum im menyatakan bahwa apabila seseorang
mengatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuannya,
maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak
atau perilaku tertentu, sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Kepatuhan
seseorang terhadap hukum seringkali dikaitkan dengan persoalan-persoalan di
seputar kesadaran hukum seseorang tersebut. Dengan lain perkataan, kesadaran
hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar
berfungsi atau tidak dalam masyarakat.
Satjipto Rahardjo memberikann pengertian kesadaran hukum sebagai
kesadaran masyarakat untuk menerima dan menjalankan hukum sesuai dengan
ratio pembentukannya. Mertokusumo memberikan pengertian kesadaran hukum
sebagai kesadaran tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau perbuat atau
seyogyanya tidak dilakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Kesadaran
hukum seringkali juga dikaitkan dengan efektivitas hukum. Dengan kata lain,
kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-
13

benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan


antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis, yaitu
kesadaran hukum yang tinggi menimbulkan ketaatan terhadap hukum, sedangkan
kesadaran hukum yang lemah mengakibatkan timbulnya ketidaktaatan terhadap
hukum.15

1.7.3 Efektivitas Hukum


Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan atau
kemanjuran atau kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak
terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variabel terkait yaitu:
karakteristik atau dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.16

Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita pertama-tama


haru dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati.jika
suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran
ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan adalah
efektif.17

Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan oleh


taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya,
sehingga dikenal asumsi bahwa,” taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator
suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan
pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk
mempertahankan dan melindungi masyrakat dalam pergaulan hidup.”18

Beberapa pendapat mengemukakan tentang teori efektivitas seperti


Bronislav Molinoswki, Clerence J Dias, Allot dan Murmer. Bronislav Malinoswki

15
Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan metode penelitian hukum, Malang : UMM
Press, hlm. 37.
16
Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk Ketiga, Citra Aditya
Bandung, hlm. 67.
17
Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi, Edsis Pertama, ctk Kesatu, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 375.
18
Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya
Bandung, hlm. 7.
14

mengemukakan bahwa teori efektivitas pengendalian sosial atau hukum, hukum


dalam masyarakat dianalisa dan dibedakan menjadi dua yaitu:

(1) Masyarakat modern,

(2) Masyarakat primitif,

Masyarakat modern merupakan masyarakat yang perekonomiannya


berdasarkan pasar yang sangat luas, spesialisasi di bidang industri dan pemakaian
teknologi canggih, didalam masyarakat modern hukum yang di buat dan
ditegakan oleh pejabat yang berwenang.19

Pandangan lain tentang efektivitas hukum oleh Clerence J. Dias


mengatakan bahwa terdapat 5 (lima) syarat bagi efektif tidaknya satu sistem
hukum meliputi:

1. Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap.


2. Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-
aturan yang bersangkutan.
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum dicapai dengan
bantuan aparat administrasi yang menyadari melibatkan dirinya kedalam
usaha mobilisasi yang demikian, dan para warga masyrakat yang terlibat
dan merasa harus berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum.
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya harus mudah
dihubungi dan dimasukan oleh setiap warga masyarakat, akan tetapi harus
cukup efektif menyelesaikan sengketa.
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di kalangan warga
masyarakat yang beranggapan bahwa aturan-atauran dan pranata-pranata
hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu efektif.
Dalam bukunya Achmad Ali yang dikutip oleh Marcus Priyo Guntarto yang
mengemukakan tentang keberlakuan hukum dapat efektif apabila :

1.Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan orang yang menjadi target.


15

2. Kejelasan dari rumusan subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami


oleh orang yang menjadi target hukum.
3. Sosialisasi yang optimal kepada semua orang yang menjadi target hukum.
4. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat
mengharuskan. Pada umumnya hukum prohibitur lebih mudah
dilaksanakan daripada hukum mandatur.
5. Sanksi yang akan diancam dalam undang-undang harus dipadankan
dengan sifat undang-undang yang dilanggar, suatu sanksi yang tepat untuk
tujuan tertentu, mungkin saja tidak tepat untuk tujuan lain. Berat sanksi
yang diancam harus proporsional dan memungkinkan untuk
dilaksanakan.20
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum masalah
kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya
telah menjadi faktor yang pokok dalam mengukur efektif tidaknya sesuatu yang
ditetapkan dalam hukum ini.21

Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot sebagaimana


dikutip Felik adalah sebagai berikut:

“Hukum akan mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat
mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan
kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang
dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegelapan maka kemungkinan terjadi
pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau
menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan sanggup
menyelsaikan.”22

20
Ibid.
21
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu pengantar, Rajawali Pers, Bandung, hlm.
20.
22
Salim H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Op.cit, hlm. 303.
16

Keberlakuan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya


sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksana norma jika validitas adalah kualitas
hukum, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenaranya bukan
tentang hukum itu sendiri.10 Selain itu wiiliam Chamblish dan Robert B. Seidman
mengungkapkan bahwa bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhi oleh all
other societal personal force (semua ketakutan dari individu masyarakat) yang
melingkupi seluruh proses.23

Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan


suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan
antara realitas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara
hukum dalam tindakan (law in action) dengan hukum dalam teori (law in theory)
atau dengan kata lain kegiatan ini akan memperlihatkan

Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L. Tobing, mengatakan bahwa


dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum apabila
didukung oleh tiga pilar, yaitu:

a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat diandalkan


b. Peraturan hukum yang jelas sistematis.
c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi.24
1.7.4 Teori Penanggulangan
Dilihat dari sudut kejahatan, upaya penanggulangan kejahatan tentunya
tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum pidana saja, tetapi harus juga
ditempuh dengan pendekatan secara integral yang harus dilakukan oleh yang
melakukan penanggulangan.

Upaya penanggulangan maupun pencegahan agar tidak ada lagi kerugian


materil maupun moril yang dapat dilakukan terdapat 3 teori, antara lain:
23
Robert B. Seidman, 1971, Law order and Power, Adition Publishing Company Wesley
Reading massachusett , hlm. 13.
24
Soleman B. Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali
Press, Jakarta, hlm. 48.
17

- Upaya Pre-emtif

Yang dimaksud dengan upaya Pre-emtif di sini adalah upaya-upaya awal


yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif
adalah menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma-
norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meski ada kesempatan untuk
melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal
tersebut maka tidak akan terjadi tindak pidana.

- Upaya preventif

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya


kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada mencoba
untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sehingga menimbulkan
ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang
juga meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan
ketertiban merupakan tanggung jawab bersama.

Langkah-langkah preventif tersebut meliputi:

1. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang


dengansendirinya akan mengurangi kejahatan.

2. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah


terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

3. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum


rakyat.

4. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya.

5. Meningkatkan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para


pelaksana penegak hukum. 25

- Upaya represif

25
Romli Atmasasmita, 1997, Krimonologi, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 45.
18

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara


konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan
upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan
perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan
yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan
masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan oang lain juga tidak akan
melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat.

Langkah-langkah konkrit dari upaya represif adalah:

1. Jika menyimpang dari norma hukum adat masyarakat sansksi diberikan


oleh masyarakat setempat dengan cara dikucilkan dan tidak dihargai di
dalam dan di masyarakat.

2. Jika melanggar kaidah hukum positif apalagi hukum pidana positif, dapat
dipidana berdasarkan ketentuan hukum tertulis. Hukuman bisa berbentuk
pidana kurungan, denda, penjara, ataupun pidana mati. 26

1.7.5 Teori Kriminologi

Kriminologi adalah keseluruhan pengetahuan yang membahas kejahatan


sebagai suatu gejala sosial. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard
(1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, yang secara hafiah, menjelaskan
kriminologi berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau jahat dan
“logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu
tentang kejahatan atau penjahat.27
Berikut definisi – definisi kriminologi menurut para ahli :
E.H.Suthrland
“Kriminologi merupakan keseluruhan pengetahuan yang membahas
kejahatan sebagai suatu gejala sosial. Dalam ruang lingkup pembahasan ini
termasuk proses-proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang
dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. Proses-proses dimaksud

26
Saeharodji, H. Hari, 1980, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 12.
27
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002, Kriminologi, PT Grafindo, Jakarta, hlm.
10.
19

meliputi tiga aspek yang merpuakan suatu kesatuan hubungan sebab-akibat yang
saling mempengaruhi.”
W.A Bonger
“Memberikan batasan bahwa”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya”. Bonger, dalam memberikan
batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek:
kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya
disimpulkan manfaat praktisnya.
kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengelamannya
seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala
kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan
metode yang berlaku pada kriminologi.28
SUTHERLAND
Merumuskan, (The Body of Knowledge regarding crime as social
Phenomenon) kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian
dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial, menurut SUTHERLAND
Kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan
reaksi atas pelnggaran hukum. sehingga olehnya dibagi menjadi empat yaitu:
1. Sosiologi Hukum, ilmu tentang perkembangan hukum.
2. Etiologi Hukum yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebab-
sebab kejahatan;
3. Penologi yang menaruh perhatian atas perbaikan narapidana.
PAUL MUDIGDO MULYONO
Tidak sependapat dengan definisi yang diberikan SUTHERLAND.
menurutnya definisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku
kejahatan itupun mempunyai andil atas terjadinya kejahatan, oleh karena
terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh
masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari sipelaku untuk melakukan
perbuatan jahat yang ditentang oleh masyarakat tersebut. Karenanya PAUL

28
Ibid, hlm. 3.
20

MUDIGDO MULYONO memberikan definisi Kiminologi sebagai ilmu


pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia.29

Terdapat beberapa teori dalam Kriminologi yang dapat dikelompokkan ke


dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor struktur sosial yang
mendukung timbulnya kejahatan, yaitu :
Teori Anomi : konsep anomi oleh R.Marton diformulasikan dalam rangka
menjelaskan keterkaitan antara kelas-kelas sosial dengan kecendrungan
pengadaptasiannya dalam sikap dan prilaku kelompok. Mengenai
penyimpangan dapat dilihat dari struktur sosial dan kultural.
Teori Differential Association : teori ini mengetengahkan suatu penjelasan
sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan.
Teori Contro Social : teori ini berangkat dari suatu asumsi/anggapan bahwa
individu didalam masyarakat mempunyai kecendrungan yang sama akan
suatu kemungkinannya.
Teori Frustasi Status : status sosial-ekonomi masyarakat yang rendah
menyebabkan masyarakat tidak dapat bersaing dengan masyarakat kelas
menengah.
Teori Konflik : pada dasarnya menunjukan pada perasaan dan keterasingan
khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol seseorang atas kondisi
kehidupannya sendiri.
Teori Lebeling : teori untuk mengukur mengapa terjadinya kejahatan.
Pendekatan labeling dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu persoalan
bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau lebel, persoalan
kedua adalah bagaimana labeling mempengaruhi seseorang.30
1.8 Hipotesis
Hipotesis pada dasarnya adalah merupakan pernyataan tentang sesuatu
yang untuk sementara waktu dianggap benar. Dikaitkan dengan penelitian,
hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang umumnya
29
Indah Sri Utari, 2012, Aliran dan Teori Dalam Kriminologi, Thafa Media, Semarang,
hlm. 2.
30
Ibid, hlm. 13.
21

dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Berdasarkan landasan teori yang telah


diuraikan diatas, maka terhadap permasalahan-permasalahan yang diajukan dapat
ditarik hipotesis sebagai berikut:
1. Modus operandi apakah yang sering dipakai pelaku untuk mencuri kendaraan
bermotor di Denpasar?

- Banyak berbagai macam modus operandi yang dilakukan pelaku


pencurian kendaraan bermotor di kota-kota besar, modus operandi itu
adalah bentuk atau cara. Modus Operandi yang dipakai seperti
menggunakan kunci T, memakai cairan setan, memakai kekerasan dan
masih banyak lagi. Khususnya di Denpasar salah satu modus operandi
yang sering dilakukan pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor
adalah modus operandi menukar plat nomor kendaraan, modus operandi
kejahatan ini tergolong baru. Para pelaku biasanya beraksi di tempat-
tempat perbelanjaan. Cara yang digunakan sangat simple, yakni para
pelaku datang ke lokasi dengan membawa plat nomor kendaraan berikut
STNK palsu.

Setelah itu, pelaku mencari kendaraan yang posisinya tidak terlihat


penjaga parkir. Biasanya kendaraan yang diincar harus seusai STNK. Dan
pelaku menukar plat nomor kendaraan yang sama dengan tertera di STNK.

Setelah terpasang, pelaku akan aman saat keluar dari loket parker
karena kendaraan yang dibawanya sesuai dengan STNK. Demi
melancarkan rencananya itu, biasanya pelaku berani mengatakan tiket
parker hilang. Dengan hanya menunjukan STNK dan membayar denda,
pelaku pun bisa kabur.

2. Bagaimana upaya penanggulangan pihak kepolisian polresta dalam


menanggulangi kejahatan pencurian kendaraan bermotor di Denpasar?
Upaya penanggulangan pencurian kendaraan bermotor ini sudah dilakukan
oleh pihak kepolisian untuk menekan kejahatan pencurian bermotor ini
dengan cara:
22

- Upaya penanggulangan Pre-Emtif

Yang dimaksud dengan upaya Pre-emtif di sini adalah upaya-upaya


awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan
secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik
sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meski
ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak ada
niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi tindak pidana.
Jadi dalam usaha pre-emtif faktor niat menjadihilang meski ada kesempatan.
Cara pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu; niat + kesempatan terjadi
kejahatan. Contohnya, di tengah malam pada saat lampu merah lalu lintas
menyala maka pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas
tersebut meskipun pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu
terjadi di banyak negara seperti Singapura, Australia dan negara-negara
lainnya di dunia. Jadi dalam upaya pre-emtif faktor niat tidak terjadi.

- Upaya preventif
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya
kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada
mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sehingga
menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya
perbuatan menyimpang juga meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab
bersama.
Langkah-langkah preventif tersebut meliputi:
1. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang
dengansendirinya akan mengurangi kejahatan.
2. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah
terjadinya penyimpangan-penyimpangan.
3. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum
rakyat.
23

4. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya.


5. Meningkatkan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para
pelaksana penegak hukum.
- Upaya represif
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan
secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan.
Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para
pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali
agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan
yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan
mengulanginya dan oang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi
yang akan ditanggungnya sangat berat.
Langkah-langkah konkrit dari upaya represif adalah:
1. Jika menyimpang dari norma hukum adat masyarakat sansksi diberikan
oleh masyarakat setempat dengan cara dikucilkan dan tidak dihargai di
dalam dan di masyarakat.
2. Jika melanggar kaidah hukum positif apalagi hukum pidana positif, dapat
dipidana berdasarkan ketentuan hukum tertulis. Hukuman bisa berbentuk
pidana kurungan, denda, penjara, ataupun pidana mati.31

31
Ibid, hlm. 12.
24

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.1 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengetahui tentang modus


operandi pelaku kejahatan pencurian kendaraan bermotor dan pencegahan
dan pembrantasan dari pihak kepolisian dalam mengatasi kejahatan
pencurian kendaraan bermotor di Bali.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui modus operandi yang dilakukan oleh pelaku untuk
mencuri kendaraan bermotor di Denpasar.
2. Untuk mengetahui pencegahan pencurian kendaraan bermotor
khususnya di Denpasar.
1.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat Teoritis

Diharapakan hasil penelitian ini bisa menjadi informasi atau bahan


hukum bagi kalangan akademis maupun masyarakat guna mengetahui dan
memahami secara lebih jelas mengenai pengaturan sanksi pidana terhadap
kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Penelitian ini juga diharapkan
sebagai masukan dalam perbaikan peraturan hukum dalam
penanggulangan kejahatan pencurian kendaraan bermotor.
b. Manfaat Praktis
Penlitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak dan instansi-instansi terkait
dalam penegakan hukum di masyarakat. Adapun manfaat yang diperoleh
dari penelitian ini adalah:
25

1. Diharapkan dapat menjadi pertimbangan para penegak hukum dalam


pencegahan dan pembrantasan kejahatan pencurian kendaraan
bermotor, agar dapat menerapkan sanksi kepada pelaku sesuai dengan
norma hukum yang berlaku.
2. Penelitian ini diharapkan menjadi comverative law secara teori
dengan ilmu yang berlaku di masyarakat.
26

BAB IV
METODE PENELITIAN
1.1 Metode Penelitian
Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan
berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna
mencapai tujuan.32 Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa peneitian
pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode
ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna mendapatkan kebenaran
ataupun ketidak benaran dari suatu gejala yang ada.
1.1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris, dimana
suatu prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan
meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan
mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan. Metode yuridis empiris
ini penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan
meneliti bagaimana bekerjanya hukum dalam lingkungan masyarakat.
Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di
masyarakat maka penelitian hukum yuridis empiris dapat dikatakan sebagai
penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang
diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat.
1.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
kasus dan pendekatan fakta. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara meneliti
kasus-kasus yang telah terjadi di Denpasar. Sedangkan pendekatan fakta
digunakan dengan mengadakan penelitian terhadap data dan wawancara langsung
terhadap pihak-pihak terkait.
1.3 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok terntetu, atau

32
Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi, Ilmu Hukum
Dalam Hilman Adikusuma, Penerbit Mandar Maju Bandun, hlm. 58.
27

untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini
menggambarkan tentang penanggulangan terhadap pencurian kendaraan bermotor
di Denpasar (studi kasus wilayah hukum POLRESTA Denpasar)
1.4 Sumber Bahan Hukum atau Data
Berdasarkan atas penggunaan Data Hukum Primer dan Data Hukum
Sekunder dalam penelitian hukum yuridis empiris. Masing-masing dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Data hukum primer yang digunakan adalah data yang bersumber dari suatu
penelitian lapangan, yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber
di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Data primer yang
di gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan
wawancara langsung dengan kepala bagian yang mengurusi kriminal
umum di POLRESTA Denpasar
2. Data hukum sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal-
jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat
dalam media masa, kitab undang-undang hukum dan internet dengan
menyebutkan nama situsnya.
1.5 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data tertentu sesuai
dengan data yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Teknik yang
digunakan antara lain.
1. Penelitian lapangan (field research), penelitian ini dilakukan dengan
cara terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data primer.
2. Penelitian pustaka (library research), penelitian ini dilakukan dengan
cara mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum.
1.6 Teknik Analisis
Setelah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terkumpul, maka
bahan hukum tersebut diolah dan dianalisa dengan mempergunakan metode
kualitatif. Setelah melalui proses pengolahan data analisis, kemudian bahan
hukum tersebut disajikan secara deskriptif analisis. Deskriptif artinya adalah
28

pemaparan hasil penelitian secara sistematis dan menyuluruh menyangkut fakta


yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan analisis artinya
fakta yang berhubungan penelitian dianalisis secara cermat, sehingga di dapatkan
kesimpulan hasil penilitian.
29

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V

TINJAUAN UMUM TERHADAP PENCEGAHAN DAN


PEMBRANTASAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR

2.1 Pengertian Penanggulangan


Penanggulangan itu sendiri berasal dari kata “tanggulang” yang berarti
menghadapi, mengatasi. Kemudian ditambah awalan “pe” dan akhiran “an”,
sehingga menjadi “penanggulangan” yang berarti proses, cara, perbuatan
menanggulangi.33
Masalah Penanggulan kejahatan sudah dilakukan oleh semua pihak, baik
pemerintah dan masyarakat pada umumya. Berbagai program serta kegiatan yang
telah dilakukan sambil terus mencari upaya yang paling tepat dan efektif dalam
mengatasi masalah tersebut. Upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil
beberapa lain dari teori-teori yang terpadu, teori – teori penanggulangan kejahatan
terdiri atas 3 pokok yaitu:
1. Pre-Emtif

Yang dimaksud dengan upaya Pre-emtif di sini adalah upaya-upaya awal


yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif
adalah menanamkan nilai-nilai atau norma-norma yang baik sehingga norma-
norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meski ada kesempatan untuk
melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal
tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan, jadi dalam upaya pre-emtif faktor niat
menjadi hilang meski ada kesempatan. Cara pencegahan ini berasal dari teori
NKK, yaitu; niat + kesempatan terjadinya kejahatan. Contohnya, di tengah malam
pada saat lampu merah lalu lintas menyala maka pengemudi itu akan berhenti dan
mematuhi aturan lalu lintas tersebut meskipun pada waktu itu tidak ada polisi

33
“Pengertian Penanggulangan” melalui http://kbbi.web.id., diakses tanggal 27 Oktober
2016, pukul 15.01 wita.
30

yang berjaga. Hal ini selalu terjadi di banyak negara seperti Singapura, Australia
dan negara-negara lainnya di dunia. Jadi dalam upaya pre-emtif faktor niat tidak
terjadi.

2. Preventif

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-
Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam
upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk
dilakukannya kejahatan. Contoh ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan
itu dihilangkan karena motor-motor yang ditempatkan di tempat penitipan motor,
dengan demikian kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi
dalam upaya preventif kesempatan ditutup.

3. Represif

Upaya terakhir ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana atau
kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan
menjatuhkan hukuman.34

Menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan pada


hakekatnya merupakan integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik
kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.35

2.2 Pencurian dan Unsur-Unsur Pencurian

Salah satu bentuk tindak pidana yang tercantum dalam Bukum Kedua
KUHP adalah tindak pidana pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab XXII
Pasal 362 – 367 KUHP. Tindak Pidana Pencurian secara umum dirumuskan
dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

34
Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Penangulangan Kejahatan, Jakarta; Kencana, hlm. 79.
35
Ibid, hlm. 79.
31

”Barang siapa mengambil seusatu barang, yang seluruhnya atau sebagaian


kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak enam puluh rupiah”.36
Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam
Pasal 362 KUHP tersebut di atas itu terdiri dari unsur subyektif dan unsur
obyektif. Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut Lamintang ialah :

a. Unsur subyektif

’met het oogmerk om het zich wederrehtelijk toe te eigenen’ atau


dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum;

b. Unsur obyektif

1) ’hij’ atau barangsiapa;

2) ’wegnemen’ atau mengambil;

3) ’eeniggoed’ atau sesuatu benda;

4) ’dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort’ atau yang


sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 37

Unsur-unsur tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP.
Seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah ’hij’, yang lazim
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan kata ’barangsiapa’. Kata ’hij’
tersebut menunjukkan orang, apabila dia memenuhi semua unsur tindak pidana
yang diatur dalam pasal tersebut maka karena bersalah telah melakukan tindak
pidana pencurian, dia dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun atau pidana denda setingi-tingginya sembilan ratus rupiah. 38

Unsur obyektif yang kedua dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan
’mengambil’ dari tempat di mana barang tersebut terletak. Oleh karena di dalam

36
Lamintang, 1989, Delik – delik Khusus Kejahatan - kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,
Cetakan Pertama, Sinar Baru, Bandung, hlm. 1.
37
Lamintang, 1984, op.cit, hlm. 1.
38
Ibid, hlm. 8.
32

kata ’mengambil’ sudah tersimpul pengertian ’sengaja’ maka undang-undang


tidak menyebutkan ’dengan sengaja mengambil’. Kalau kita mendengar kata
’mengambil’ maka pertama terpikir oleh kita adalah membawa sesuatu barang
dari suatu tempat ke tempat lain. Perbuatan ’mengambil’ tidak cukup apabila si
pelaku hanya memegang barangnya saja, akan tetapi si pelaku harus melakukan
suatu perbuatan sehingga barang yang dimaksud jatuh di dalam kekuasaannya.39

Kaitannya dengan unsur ’mengambil’, Moch. Anwar mengemukakan


pendapatnya tentang ’mengambil’ dari tindak pidana pencurian sebagai berikut:

”Unsur ’mengambil’ mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan


perkembangan masyarakat. ’Mengambil’ pada mulanya diartikan memindahkan
barang dari tempat semula ke tempat lain. Ini berarti membawa barang di bawah
kekuasaannya yang nyata. Perbuatan ’mengambil’ berarti perbuatan yang
mengakibatkan barang berada di bawah kekuasaan yang melakukan atau yang
mengakibatkan barang itu berada di luar pemiliknya. Tetapi hal ini tidak selalu
demikian, sehingga tidak perlu disertai akibat dilepaskannya dari kekuasaan
pemilik”.40

Mengenai pengertian unsur ’mengambil’ yang diberikan oleh Lamintang,


sebagai berikut:

”Perlu diketahui bahwa baik undang-undang maupun pembentuk undang-


undang ternyata tidak pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang
dimaksud dengan perbuatan ’mengambil’, sedangkan menurut pengertian sehari-
hari kata ’mengambil’ itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti, yakni:
a. mengambil dari tempat di mana suatu benda itu semula berada;
b. mengambil suatu benda dari penguasaan orang lain.
Sehingga dapat dimengerti jika di dalam doktrin kemudian telah timbul
berbagai pendapat tentang kata ’mengambil’ tersebut”.41

39
Hermin Hediati Koeswadji, 1984, op.cit, hlm. 20.
40
Moch. Anwar, 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus (Jilid I), Alumni, Bandung, hlm. 17.
41
Lamintang, 1989, op.cit, hlm. 12.
33

Sarjana lain yang memberikan pengertian tentang perbuatan ’mengambil’


diantaranya adalah Simons, pengertiannya adalah sebagai berikut:”Mengambil itu
ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam penguasannya atau membawa
benda tersebut secara mutlak berada di bawah kekuasaannya yang nyata, dengan
kata lain, pada waktu pelaku melakukan perbuatannya, benda tersebut harus
belum berada dalam penguasannya”. 42

Karena tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu
adalah merupakan suatu ’tindak pidana formil’, maka tindak pidana tersebut harus
dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya yaitu segera setelah pelaku
tersebut melakukan perbuatan ’mengambil’ seperti yang dilarang untuk dilakukan
orang di dalam Pasal 362 KUHP. 43

Unsur obyektif ketiga dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam
Pasal 362 KUHP itu ialah ’eenig goed’ atau ’suatu benda’. Kata ’goed’
atau’benda’ itu oleh para pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
berlaku di Indonesia dewasa ini, ternyata bukan hanya dipakai di dalam rumusan
Pasal 362 KUHP saja melainkan juga di dalam rumusan-rumusan dari lain-lain
tindak pidana, seperti pemerasan, penggelapan, penipuan, pengerusakan, dan lain-
lain. Pada waktu Pasal 362 KUHP tertentu, orang hanya bermaksud untuk
mengartikan kata ’goed’ yang terdapat di dalam rumusannya, semata-mata
sebagai ’stoffelijk en reorend god’ atau sebagai ’sebagai benda yang berwujud dan
menurut sifatnya dapat dipindahkan’. 44

Tentang pengertian ’barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan


orang lain’ terhadap pengertian tersebut, Moch. Anwar mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut:

”Pengertian barang telah mengalami proses perkembangan. Dari arti


barang yang berwujud menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari harta

42
Ibid, hlm. 13.
43
Ibid, hlm. 15.
44
Ibid, hlm. 16.
34

kekayaan. Semula barang ditafsirkan sebagai barang-barang yang berwujud dan


dapat dipindahkan (barang bergerak). Tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap
bagian dari harta benda seseorang. Dengan demikian barang itu harus ditafsirkan
sebagai sesuatu yang mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi dari
seseorang. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya
sedangkan obyek pencurian, atau sebagain lagi adalah kepunyaan pelaku sendiri.
Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian, yaitu
barang-barang dalam keadaan ’res nellius’ dan res derelictae’.45
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan ’barang’ adalah segala sesuatu
yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak). Bukan barang yang tidak
bergerak (onroerend goed), tetapi yang dapat bergerak (roerend goed), karena
dalam pencurian barang itu harus dapat dipindahkan. Pencurian tidak dapat terjadi
terhadap barang – barang yang tidak bergerak seperti tanah, sawah, gedung, dan
sebagainya. 46
Kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas, Simons mengatakan
bahwa ’Segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta kekayaan (seseorang)
yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi obyek tindak pidana
pencurian’. Dari kata-kata ’segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta
kekayaan’ di atas dapat disimpulkan, bahwa dapat menjadi obyek tindak pidana
pencurian itu hanyalah benda-benda yang ada pemiliknya saja. 47

Moch. Anwar menjelaskan pengertian ’dengan maksud melawan hukum’,


istilah ini terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku untuk
memiliki barang secara melawan hukum. Melawan hukum di sini diartikan
sebagai perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau kekuasaan sendiri
dari pelaku. Pelaku harus sadar, bahwa yang diambilnya adalah milik orang lain.48
Lebih lanjut mengenai pengertian ’memiliki barang bagi diri sendiri’ Moch.
Anwar berpendapat sebagai berikut:

45
Moch. Anwar, 1986, op.cit, hlm. 18.
46
R. Soesilo, 1984, Pokok - pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Delik-delik Khusus,
Politea, Bogor, hlm. 118.
47
Lamintang, 1989, op.cit, hlm. 21.
48
Moch. Anwar, 1986, op.cit, hlm. 19.
35

”Memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas


barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya,
sedangkan dia bukanlah pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu
terwujud dalam berbagai jenis perbuatan, yaitu menjual, memakai, memberikan
kepada orang lain, menggadaikan, menukarkan, merubahnya, dan sebagainya.
Pendeknya setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku seakan-akan
pemilik, sedangkan dia bukan pemilik. Maksud untuk memiliki barang itu tidak
perlu terlaksana, cukup apabila maksud itu ada. Meskipun barang itu belum
sempat dipergunakan, misalnya sudah tertangkap dulu, karena kejahatan
pencurian telah selesai terlaksana dengan selesainya perbuatan mengambil
barang.49

Sejalan dengan pendapat di atas, R. Soesilo mengemukakan pendapatnya


sebagai berikut:”Pengambilan harus dilakukan dengan maksud hendak memiliki
barang itu dengan melawan hukum. ’Memiliki’ artinya bertindak sebagai orang
yang punya, sedangkan ’melawan hukum’ berarti tidak berhak, bertentangan
dengan hak orang lain, tidak minta ijin terlebih dahulu”.50 Kata-kata ’memiliki
secara melawan hukum’ itu sendiri mempunyai arti yang jauh lebih luas dari
sekedar apa yang disebut ’zich toeeigenen’, karena termasuk dalam pengertiannya
antara lain ialah ’cara’ untuk dapat memiliki suatu barang.”51

2.2.1 Jenis-jenis Pencurian


Kaitannya dengan masalah tindak pidana pencurian, di Indonesia
mengenai tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas 5
(lima) macam tindak pidana pencurian:

49
Moch. Anwar, 1986, loc.cit, hlm. 23.
50
R. Soesilo, 1984, op.cit, hlm. 119.
51
Lamintang, 1989, op.cit, hlm. 31.
36

A. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP)

Perumusan pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP yang


menyatakan sebagai berikut : ”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. 52

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka unsur-unsur tindak pidana


pencurian (biasa) adalah sebagai berikut:

1) Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur:

a) Mengambil;

b) Suatu barang;

c) Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

2) Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur:

a) Dengan maksud;

b) Untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri;

c) Secara melawan hukum.53

B. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)

Istilah ”pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doktrinal disebut


sebagai ”pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang dikualifikasikan ini
menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau
dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam
dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa, oleh karena pencurian
yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan cara-
cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka

52
Moeljatno, 1985, op.cit, hlm. 128.
53
Ibid, hlm. 79.
37

pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan


harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP, maka unsur-
unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah:
1) Unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHP yang meliputi:
Ke-1 Pencurian ternak (Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP);

Ke-2 Pencurian pada waktu ada kebakaran, peletusan, banjir, gempa


bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam,
kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,
pemberontakan, atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2
KUHP);

Ke-3 Pencurian di waktu waktu malam dalam sebuah rumah atau


pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh
orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki

Ke-4 Pencurian yang dilakukan oleh dua orang yang bersekutu


(Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);

Ke-5 Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,


atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan
dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan
memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu
(Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP).

2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu
tersebut ke-4 dan ke-5 maka dikenakan pidana penjara paling lama
Sembilan tahun. 54

C. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)

54
Wirdjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT.Eresco,
hlm. 15.
38

Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari


pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-
unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi diperingan.
Perumusan pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP yang menyatakan:

”Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan pasal 363 ke-4,
begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak
dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari puluh lima rupiah, dikenai, karena
pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
enam puluh rupiah”. 55

Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur- unsur
dalam pencurian ringan adalah:
1) Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP);

2) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-
sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);

3) Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau


memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;

4) Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;

5) Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya; dan

6) Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh
lima rupiah.56

D. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)


Jenis pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP lazim disebut dengan
istilah ”pencurian dengan kekerasan” atau populer dengan istilah ”curas”.
Ketentuan Pasal 365 KUHP selengkapnya adalah sebagai berikut:

55
Ibid, hlm. 129.
56
M. Sudradjat, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Remadja Karya, Bandung, hlm. 67.
39

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicurinya.

(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada malam hari dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;

Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak


atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian seragam palsu;

Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara


paling lama lima belas tahun.

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan
mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu, jika disertai oleh salah satu hal yang
diterangkan dalam point 1 dan 3. 57

E. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP)


Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini
merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun

57
Ibid, hlm. 130.
40

korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal 367 KUHP akan
terjadi apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang
lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami – istri
tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja atau
tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayannya, maka pencurian atau membantu
pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat dilakukan penuntutan.
Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh suami atau isteri terhadap
harta benda isteri atau suami ada orang lain (bukan sebagai anggota keluarga) baik
sebagai pelaku maupun sebagai pembantu, maka terhadap orang ini tetap dapat
dilakukan penuntutan, sekalipun tidak ada pengaduan.58

2.3 Kejahatan Pencurian Kendaraan Bermotor

Masalah kejahatan pencurian kendaraan bermotor merupakan jenis


kejahatan yang selalu menimbulkan gangguan kepada masyarakat. Kejahatan
pencurian kendaraan bermotor yang sering disebut curanmor ini merupakan
perbuatan yang melanggar hukum yang berterkaitan dalam tindak pidana
pencurian dalam KUHP. Apabila dikaitkan dengan unsur Pasal 362 KUHP maka
kejahatan pencurian kendaraan bermotor adalah perbuatan pelaku kejahatan
dengan mengambil suatu barang berupa kendaraan bermotor yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki kendaraan
bermotor tersebut secara melawan hukum. Berikut ini pasal yang memiliki
keterikatan dengan kejahatan pencurian kendaraan bermotor, pencurian dengan
pemberatan yang di atur dalam pasal 363 KUHP, pencurian dengan kekerasan
yang di atur dalam pasal 365 KUHP dan Tindak pidana penadahan yang di atur
dalam pasal 480 KUHP.

2.4 Pengertian Kendaraan Bermotor

58
Moeljatno, 1985, loc.cit.
41

Berdasarkan UU No. 14 tahun 1992 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal
1 angka 7 kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakan oleh peralatan
teknik yang berada pada kendaraan itu, yang dimaksudkan dengan peralatan
teknik dapat berupa motor atau perlatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah
suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang
bersangkutan. Pengertian kata kendaraan bermotor dalam ketentuan ini adalah
terpasang pada tempat sesuai dengan fungsinya. Termasuk dalam pengertian
kendaraan bermotor adalah kereta gandengan atau kereta tempelan yang
dirangkaikan dengan kendaraan bermotor sebagai penariknya. Jenis-jenis
kendaraan bermotor dapat bermacam-macam yaitu:

- Mobil

- Sepeda motor

- Truk

- Kereta tempelan, dan

- Kereta gandengan59

MODUS OPERANDI PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DI


DENPASAR

Modus Operandi yang Dilakukan Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor di


Indonesia
Kejahatan di Indonesia merupakan gejala sosial yang tak kunjung ada
habisnya untuk dikaji, hal ini mengingat semakin berkembangnya kejahatan
seiring dengan perkembangan hidup manusia. Kejahatan sebagai fenomena sosial
lebih banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat
seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan hal-hal yang berhubungan dengan

59
UU No. 14 tahun 1992 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 1 angka 7.
42

upaya pertahanan dan keamanan negara.60 Berbagai macam kejahatan yang ada di
Indonesia salah satunya kejahatan pencurian. Sebagaimana halnya perkembangan
hidup manusia, pencurian juga mengalami beberapa pola kemajuan dalam teknik
pelaksanaannya maupun pelakunya.
Para pelaku kejahatan pencurian menggunakan berbagai macam cara
untuk melakukan aksinya, cara pelaku tersebut dinamakan dengan modus
operandi, modus operandi berasal dari bahasa Latin, artinya prosedur atau cara
bergerak atau berbuat sesuatu.61 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia modus
operandi itu ialah cara operasi orang, perorangan atau kelompok penjahat dalam
merencanakan rencana kejahatannya.62
Seiring dengan berkembangnya zaman, modus operandi pelaku kejahatan
pun ikut mengalami perkembangan, dari modus operandi yang bersifat tradisional
sederhana menjadi modus operandi yang modern. Tidak dapat dipungkiri
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi salah satu hal yang
mendorong semakin berkembangnya modus operandi para pelaku kejahatan
pencurian.
Berkembangnya modus operandi yang dilakukan pelaku dalam melakukan
kejahatan pencurian juga terjadi pada kejahatan pencurian kendaraan bermotor
dan juga modus operandi yang dilakukan para pelaku pencurian kendaraan
bermotor ikut mengalami perkembangan dari segi alat dan caranya.
Modus operandi pelaku terhadap kejahatan pencurian kendaraan bermotor
di wilayah Indonesia ada berbagai macam, yaitu:
1. Menggunakan kunci T
Pelaku terlebih dahulu melihat jenis kendaraan yang ada di parkiran,
kemudian pelaku membawa jenis kendaraan yang sama dengan calon sasaran dan
memarkirkannya disamping kendaraan yang akan dicuri tersebut. Dan pelaku
pura-pura untuk beberapa saat meninggalkan lokasi tersebut. Setelah beberapa

60
Indah Sri Utari, 2012, Aliran dan Teori Dalam Kriminologi, Thafa Media, Yogyakarta,
hal. 23.
61
Karni Soejono, 2000, Auditing: Audit Khusus & Audit Forensik Dalam Praktik,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 49.
62
“Pengertianmodusoperandi” melalui http://kbbi.web.id., diakses tanggal 23 november
2016, pukul 11.20 wita.
43

menit pelaku kembali dan langsung membawa sasarannya yaitu kendaraan


bermotor yang hendak dicuri. Untuk kendaraan pelaku yang ditinggalkan
kemudian akan diambil oleh teman pelaku, dan alat yang dipakai oleh pelaku
adalah kunci palsu berbentuk “T”.
2. Menggunakan cairan kimia
Menggunakan cairan kimia yaitu hasil racikan dari sejumlah bahan kimia
yang bisa membuat baja, besi atau alumunium pada kunci motor menjadi keropos.
Biasanya si pelaku memasukkan cairan kimia dengan menggunakan jarum suntik.
Modus ini dianggap lebih mudah dan tidak menimbulkan kecurigaan, karena
pelaku tetap menggunakan kunci biasa dan bukan dengan menggunakan kunci T
yang juga membutuhkan tenaga besar untuk merusak kunci motor.
3. Pura-pura mabuk atau sakit
Pelaku biasanya akan berpura-pura mabuk dijalan atau sakit. Ketika
korban akan menolong pelaku, pelaku akan bereaksi dan merampas kendaraan
korban .
4. Pura-pura mengemis dijalan
Modus seperti ini biasanya dilakukan di perempatan atau pertigaan jalan
yang sepi, ketika melihat korbannya berhenti di lampu merah, pelaku akan
mendekati calon korban dan merampas kendaraan dengan cara menodongkan
senjata api atau senjata tajam.
5. Menggunakan wanita sebagai umpan
Biasanya korban diajak berkenalan oleh seorang wanita dijalan atau
menghubungi terlebih dahulu untuk bertemu. Saat korban bertemu dengan wanita
tersebut yang tak lain adalah umpan dari pelaku, si pelaku pria akan muncul dan
merampas kendaraan korban.
6. Pura-pura menggunakan jasa ojek
Modus operandi berikutnya yaitu berpura-pura minta diantar ke suatu
tempat oleh si pengojek. Setelah sampai di suatu tempat yang agak sepi, si pelaku
biasanya menodong dengan senjata tajam agar pengojek tersebut menyerahkan
motornya.
44

Setelah pelaku pencurian kendaraan bermotor menguasai barang yang


dicurinya, selanjutnya mereka menjual hasil curiannya dengan harga yang relatif
rendah dan selanjutnya oleh pelaku penadahan ini memisahkan komponen-
komponen kendaraan ini yang biasa disebut dengan “di sate” dan kemudian dijual
secara satu persatu setiap komponen dengan harga yang relatif lebih murah dari
harga pasar yang sebenarnya. Sehingga perbuatan mereka ini tidak diketahui dan
cenderung bertujuan untuk mengelabui pihak berwajib ataupun orang merasa
kehilangan kendaraan bemotor.
Berbagai macam modus operandi yang dilakukan pelaku dalam kejahatan
pencurian kendaraan bermotor untuk melakukan aksinya dan tidak menutup
kemungkinan akan ada modus operandi yang baru lagi.

Modus Operandi Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor yang Sering


dilakukan di Kota Denpasar

Di Kota Denpasar bentuk kejahatan pencurian memiliki bermacam-macam


jenis yang cukup meresahkan masyarakat karena pencurian terjadi dimanapun,
kapanpun dan tidak melihat siapapun orang itu. Salah satu jenis pencurian yang
terjadi di Denpasar ialah pencurian terhadap kendaran bermotor.

Pelaku pencurian kendaraan bermotor tersebut memiliki pengalaman dan


modus operandi yang bermacam-macam khususnya di Denpasar. Pelaksanaan
modus operandi tersebut sering dilaksanakan dengan bersekutu atau dilakukan
oleh lebih dari satu orang agar mempermudah proses kejahatan.

Modus operandi kejahatan pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan


pelaku di Denpasar diketahui begitu banyak macam, bisa dilihat dari tabel di
bawah ini:
45

TABEL. 1. Macam-Macam Modus Operandi Pelaku Pencurian Kendaraan


Bermotor yang dilakukan di Denpasar Tahun 2014-2016

Jumlah
Tahun
Jenis Modus 2014-
No Presentase
Operandi 2016
2014 2015 2016
Menggunakan
1 162 198 141 501 55,73%
kunci T
Menggunakan
2 60 48 62 170 18,10%
cairan kimia
Pura-pura
3 mabuk atau 30 25 44 99 11,02%
sakit
Pura-pura
4 menggunakan 30 35 33 98 10,91%
jasa ojek
Pura-pura
5 mengemis 8 8 9 25 02,07%
dijalan
Menggunakan
wanita
6 2 1 3 6 00,77%
sebagai
umpan
Jumlah 292 315 292 899 100%

Sumber Data: ResKrimUm Kepolisian Resort Kota (Polresta) Denpasar


Data tabel diatas menunjukkan macam-macam modus operandi pencurian
kendaraan bermotor yang dilakukan oleh pelaku yang tercatat pada data Polresta
Denpasar dari tahun 2014 sampai dengan 2016. Jumlah data diatas menegaskan
46

bahwa modus operandi yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan pencurian
kendaraan bermotor di Kota Denpasar adalah modus menggunakan kunci T
dengan laporan kasus 501 dan presentase 55,73%, dimana proses modus operandi
itu dengan menggunakan kunci T, alat yang paling sering digunakan pelaku
pencurian kendaraan bermotor, karena lebih mudah dalam penggunaan dan
mempercepat proses pada saat pelaku melaksanakan aksi kejahatan pencurian
kendaraan bermotor ini. Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Reinhard
Neinggolan (Bripka bagian Unit Ranmor Satuan Reskrim POLRESTA Denpasar
pada hari Senin, tanggal 16 Januari 2016) pelaku-pelaku pencurian kendaraan
bermotor ini mendapatkan kunci T bukan dari sebuah toko penjual kunci tetapi
membuat sendiri kunci T yang terbuat dari kunci L dan kemudian dipipihkan serta
dibentuk menjadi kunci T dengan bagian-bagiannya agar dapat masuk sesuai pada
lubang kunci kontak motor. Bagian-bagian kunci T terdiri atas mata kunci T dan
gagang kunci T. Mata kunci berfungsi untuk masuk pada lubang kunci kontak
suatu motor, sedangkan gagang kunci berfungsi sebagai pegangan untuk tangan
pada saat memutar kunci T ke arah kanan. Modus operandi itu tergolonglah
sangat mudah dilakukan oleh pelaku dikarenakan alat yang mudah di dapat dan
pelaku tidak perlu belajar keras untuk melakukan modus operandi itu.

Disusul pencurian memakai cairan kimia dengan 170 kasus dan


presentase 18,10 %. Modus operandi ini menggunakan cairan kimia yaitu hasil
racikan dari sejumlah bahan kimia yang bisa membuat baja, besi atau alumunium
pada kunci motor menjadi keropos. Biasanya si pelaku memasukkan cairan kimia
dengan menggunakan jarum suntik. Modus ini dianggap lebih mudah dan tidak
menimbulkan kecurigaan, karena pelaku tetap menggunakan kunci biasa dan
bukan dengan menggunakan kunci T yang juga membutuhkan tenaga besar untuk
merusak kunci motor.
Pura-pura mabuk atau sakit 99 kasus dan presentase 11,02% dimana
modus operandi ini dilakukan dengan cara berdiam diri dijalan dan berpura-pura
mabuk atau merasakan sakit agar ada yang menolongnya untuk mengantarkan
pulang ,disaat calon korban ada yang melihat pelaku dalam keadaan seperti itu
47

dan korban lalu menghampiri pelaku, disanalah pelaku memulai aksinya dengan
mengambil kendaraan bermotor si korban secara paksa dan membawanya kabur.
Modus operandi selanjutnya ialah pura-pura menggunakan jasa ojek 98
kasus dan presentase 10,91%. Modus operandi pura-pura menggunakan jasa ojek
ini dengan cara pelaku pura-pura mmenggunakan jasa ojek itu, biasanya pelaku
berbohong untuk diantarkan ke suatu tempat, setelah berada di tempat yang sepi
pelaku melakukan aksinya dengan cara mendongkan benda tajam dan mengambil
kendaraan bermotor si tukang ojek itu.
pura-pura mengemis dijalan 25 kasus dengan presentase 02,07%, Modus
operandi ini pelaku melakukan dengan cara pelaku berpura-pura meminta uang
dan mengemis dijalan raya yang sepi dan tentunya pelaku membekali dirinya
dengan senjata tajam untuk melakukan aksinya, ,ketika melihat korbannya
berhenti di lampu merah, pelaku akan mendekati calon korban dan merampas
kendaraan dengan cara menodongkan senjata api atau senjata tajam.
Modus operandi terakhir presentase paling rendah adalah menggunakan
wanita sebagai umpan 6 kasus dan presentase 00,07% . Modus operandi ini pelaku
sengaja memakai wanita sexy sebagai umpannya Biasanya korban diajak
berkenalan oleh seorang wanita dijalan atau menghubungi terlebih dahulu untuk
bertemu. Saat korban bertemu dengan wanita tersebut yang tak lain adalah umpan
dari pelaku, si pelaku pria akan muncul dan merampas kendaraan korban. Modus
operandi ini tergolong sedikit dipakai pelaku karena si korban sudah menjauh
dahulu karena curiga ada gadis cantik malam hari berdiam diri dijalan raya yang
sepi, biasanya yang gampang terkena terkena hanya lelaki hidung belang.
Bermacam-macam modus operandi pelaku kejahatan pencurian kendaraan
bermotor di Denpasar seperti tabel 1, dari berbagai macam modus operandi itu
tidak jarang pelaku melakukan aksinya dengan berkelompok atau hanya dengan
perorangan, dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Reinhard Neinggolan
(Bripka bagian Unit Ranmor Satuan Reskrim POLRESTA Denpasar pada hari
Senin, tanggal 16 Januari 2016) beliau mengatakan modus operandi yang
dilakukan oleh pelaku pencurian kendaraan bermotor itu kebanyakan dilakukan
dengan berkelompok dengan presentase 65% dan perorangan 35%. Pelaku
48

melakukan pencurian kendaraan bermotor dengan cara berkelompok menjadi


sangat mudah untuk melakukan modus operandi dikarenan ada pelaku-pelaku
lainnya yang membantu aksinya menjadi proses pencurian semakin cepat
dilakukan, jika perorangan pelaku biasanya susah untuk mencuri karena dilakukan
sendirian, itu perlu waktu yang tidak sedikit dan tidak jarang diketahui oleh
masayarakat setempat .

UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBRANTASAN PENCURIAN


KENDARAAN BERMOTOR DI DENPASAR
Faktor-Faktor yang Mendasari Pelaku Pencurian Kendaraan Bermotor di
Denpasar
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihilangkan
dimanapun dan dalam waktu kapanpun. Usia kejahatan sering dipersepsikan
seumur peradaban manusia, bahkan ada yang menyatakan setua keberadaan
manusia. Akibatnya sukar menetukan secara pasti kapan tindak pidana mulai ada
didunia, sama sulitnya dengan menentukan batasan yang setepat-tepatnya tentang
perkembangan kejahatan di dunia.
Terjadinya suatu perkembangan kejahatan sangatlah berhubungan dengan
faktor yang mendasari terjadinya kejahatan tersebut. Faktor tersebut bisa berupa
kemiskinan, pendidikan, pengangguran dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya,
terutama pada kota-kota besar, dimana pelanggaran norma yang mendasari di kota
- kota besar mengapa orang melakukan tindak pidana ialah faktor-faktor
tersebut.63
Secara umum ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sebuah
kejahatan. Faktor-faktor pendorong terjadinya kejahatan pencurian kendaraan
bermotor di Denpasar bisa dilihat dari tabel dibawah ini :

63
Indah Sri Utari, 2012, Op.cit, hlm. 65.
49

TABEL. 2. Faktor-faktor yang Mendasari Pelaku Pencurian


Kendaraan Bermotor di Kota Denpasar dari Tahun 2014-2016

No Faktor-faktor Jumlah 2014- Presentase


2016
1 Faktor Ekonomi 489 54,39 %
2 Faktor Pendidikan 256 28,47 %
3 Faktor Lingkungan 154 17,13 %
Jumlah 899 100 %

Sumber Data: ResKrimUm Kepolisian Resort Kota (Polresta) Denpasar


Dari Tabel di atas, terlihat bahwa dari faktor-faktor sebab akibat pelaku
melakukan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor ada berbagai macam
faktor. Diantara data-data di atas maka dapat dikatakan bahwa yang mendasari
kejahatan pencurian kendaraan bermotor di Denpasar disebabkan oleh faktor
ekonomi dengan presentase 54,39% dan disusul dengan faktor pendidikan 28,47%
dan juga faktor lingkungan 17,13%, dari tabel yang diatas maka saya akan
memaparkan dari yang pertama yaitu faktor ekonomi dan selanjutnya faktor
pendidikan dan terakhir faktor lingkungan..
a. Faktor Ekonomi
Tabel yang berada diatas mengemukakan bahwa presentase faktor
ekonomi yang paling terttinggi dengan presentase 54,39% dimana hidup manusia
tidak lepas dari ekonomi, baik yang tinggal di perdesaan maupun diperkotaan,
karena tekanan ekonomi dan minimnya pendidikan, seseorang tanpa pekerjaan
tetap sulit untuk memperoleh penghasilan yang layak guna menyambung
hidupnya, maka cara yang paling mudah adalah melakukan pencurian atau
mencuri.
Ditambah dengan sifat konsumerisme manusia dalam membelanjakan
uangnya, daya tarik kota yang menampilkan beragam mode, menarik seseorang
untuk mengikuti mode yang ada, tanpa terlebih dahulu mengukur kemampuan
50

ekonomi orang tuannya atau dirinya.64 Adanya perbedaan yang mencolok antara
yang kaya dengan yang miskin juga bisa merupakan faktor pendorong terjadinya
pencurian dikarenakan ingin adanya kesetaraan anatara si miskin dengan si kaya.
Keadaan seperti ini terdapat di kota- kota besar di Indonesia, termasuk di Kota
Denpasar.
Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Muhammad rofiqi (Tersangka
Kejahatan pencurian Kendaraan Bermotor di Denpasar pada hari senin, tanggal 28
februari 2017 bertempat di Lapas Kerobokan) menyatakan pelaku mencuri
kendaraan bermotor dikarenakan oleh faktor ekonomi, pelaku berkata bahwa
pelaku mencuri dikarenakan terlilit hutang tidak bisa membayarnya dan belum
lagi keluarga pelaku sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk hidup,oleh
karena permasalahan pelaku dalam faktor ekonomi itu pelaku melakukan
pencurian kendaraan bermotor dengan modus operandi menggunakan kunci T,
tetapi pelaku sebelum akan mengambil kendaraan bermotor itu sudah diketahui
oleh masyarakat setempat
Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Reinhard Habonaran
Nainggolan (Kasat bagian Unit Ranmor Satuan Reskrim POLRESTA Denpasar
pada hari Selasa, tanggal 21 februari 2017) menyatakan bahwa akibat sulitnya
keadaan ekonomi yang terjadi di Indonesia khususnya di Denpasar sekarang ini,
sehingga mengakibatkan minimnya lapangan pekerjaan yang baik bagi orang-
orang yang sudah seharusnya menjadi tenaga kerja, sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya sangat sulit sekali. Sebagaimana diketahui, manusia tidak dapat
terlepas dari tuntutan pemenuhan kebutuhan demi kelangsungan kehidupannya,
sementara penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada. Dengan
keadaan yang demikian, maka menyebabkan mereka mengambil jalan pintas agar
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melakukan perbuatan melawan
hukum.
Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh aliran lingkungan
ekonomi, yang salah satu pelopornya yaitu F. Turati yang mengemukakan bahwa
kekurangan, kesengsaraan dan nafsu ingin memiliki yang berhubungan erat

64
Ibid, hlm. 13.
51

dengan sistem ekonomi mendorong timbulnya kejahatan.65


Kemudian Harvey Brenner mengemukakan bahwa pada satu
sisi perbedaan antara tingkat pendapatan dan lapangan pekerjaan dari kelompok
minoritas yang tertentu, dan pada sisi lain rata-rata pendapatan perkapita serta
pengangguran pada keseluruhan penduduk dapat pula menimbulkan terjadinya
tindak pidana.66
Pernyataan bahwa faktor-faktor ekonomi banyak mempengaruhi terjadinya
sesuatu kejahatan didukung oleh penelitian Clinard di Uganda menyebutkan
bahwa kejahatan terhadap harta benda akan terlihat naik dengan sangat pada
Negara-negara berkembang, kenaikan ini akan mengikuti pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi, hal ini disebabkan adanya "Increasing demand for
prestige articles for conficous consumfion ".67

b. Faktor Pendidikan
Faktor Pendidikan sangat besar juga pengaruhnya dengan kejahatan
pencurian kendaraan bermotor di Denpasar dengan presentase 28,47%. Jika
seseorang mempunyai tingkat pendidikan yang baik, maka sudah tentu orang
tersebut dengan mudah dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat. Akan tetapi sebaliknya jika tingkat pendidikan
seseorang itu rendah, maka dia tidak sanggup untuk berbuat dan melakukan
sesuatu maupun mengikuti perkembangan masyarakat.
Bila rendahnya tingkat pendidikan seseorang tersebut, maka orang yang
bersangkutan tidak mampu untuk mencari dan menemukan jalan yang terbaik dan
tidak terkecuali melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan
bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, Seperti kasus yang
berada di Polresta Denpasar pada tanggal 18 juli 2016 para pelaku ketut putu
juliawan berumur 18 tahun dimana pelaku tidak sekolah hanya sampai tamat
sekolah dasar (SD) mencuri 1 unit sepeda motor Suzuki Satria 125 cc dan
menjualnya di situs jual beli online .Pelaku mencuri kendaraan bermotor itu

65
Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sosio Kriminologi, Sinar Baru, Bandung, hlm. 109.
66
Moch. Anwar, 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, hlm. 13.
67
Ibid, hlm. 78.
52

dikarenakan pelaku ingin berpesta dengan temannya.


Dari hasil wawancara penulis dengan Bapak Reinhard Habonaran
Nainggolan (Kasat bagian Unit Ranmor Satuan Reskrim POLRESTA Denpasar
pada hari Selasa, tanggal 21 februari 2017) menjelaskan bisa dilihat dari kasus
diatas bahwa rata-rata pelaku kejahatan pencurian kendaraan bermotor di
Denpasar, dilakukan oleh pelaku yang berpendidikan rendah. Peranan pendidikan
akan sangat berpengaruh menumbuhkan perilaku yang rasional dan menurunkan
atau mengurangi bertindak secara irasional (emosional).

Jika semua orang dapat meniadakan orang-orang bodoh di atas dunia,


maka secara tidak langsung tindakan tersebut telah menghilangkan secara besar-
besaran orang-orang jahat di atas dunia.68
Pendapat tersebut sesuai dengan aliran kecakapan mental dalam ilmu
kriminologi. Aliran ini berpendapat bahwa kelemahan otak yang disebabkan
rendahnya tingkat pendidilan ini menyebabkan timbulnya kejahatan dan juga
tidak dapat konsekuen terhadap dirinya sendiri serta tidak dapat menilai arti dari
hukuman.69
c. Faktor lingkungan
Baik buruknya tingkah laku sesorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan
dimana orang tersebut berada, di Denpasar presentase kejahatan terjadi
dikarenakan faktor lingkungan ialah 17,13% pada pergaulan yang diikuti dalam
suatu lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian dan tingkah laku
seseorang. Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan pergaulan, apabila bergaul dengan orang baik maka perbuatan mereka
pasti akan baik pula mengikuti pergaulannya di lingkungan itu, dan apabila
bergaul dengan orang yang suka melakukan perbuatan buruk maka besar
kemungkinan akan dipengaruhinya serta ikut melakukan perbuatan buruk itu.
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Reinhard Habonaran Nainggolan
(Kasat bagian Unit Ranmor Satuan Reskrim POLRESTA Denpasar pada hari

68
Soedjono Dirdjosisworo., Op.Cit, hlm. 112.
69
Ibid, hlm. 79.
53

Selasa, tanggal 21 februari 2017) menyatakan bahwa salah satu penyebab


seseorang itu melakukan kejahatan adalah keadaan lingkungan dimana orang itu
berada. Seseorang dapat menjadi pelaku kejahatan tidak hanya berasal dari
lingkungan keluarga miskin tetapi ada juga berasal dari lingkungan keluarga kaya
dimana ada rasa kurang puas memiliki, agar kekayaannya semakin bertambah.
Pada umumnya orang melakukan tindak pidana itu berasal dari lingkungan yang
tidak baik.
Terjadinya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seseorang
tersebut salah satu penyebabnya adalah faktor lingkungan atau pergaulan orang
tersebut dengan masyarakat sekitarnya. Tindak pidana merupakan suatu gejala
sosial yang tidak berdiri sendiri melainkan adanya korelasi dengan berbagai
perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, hukum maupun teknologi serta
perkembangan yang lain sebagai akibat yang negatif dari setiap kemajuan atau
perubahan sosial dalam masyarakat, jadi faktor masyarakat dan lingkunganlah
yang sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam hubungannya dengan tindak
pidana yang dia lakukan karena tindak pidana itu bersumber dari masyarakat dan
masyarakat itu sendiri yang akan menanggung akibatnya baik langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab dari tindak pidana
adalah di dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan itu sendiri.
4.2 Upaya Penanggulan Pencurian Kendaraan Bermotor yang dilakukan
Pihak Kepolisian POLRESTA di Denpasar
Masalah Penanggulan kejahatan sudah dilakukan oleh semua pihak, baik
pemerintah dan masyarakat pada umumya. Berbagai program serta kegiatan yang
telah dilakukan sambil terus mencari upaya yang paling tepat dan efektif dalam
mengatasi masalah tindak pidana tersebut. Penanggulangan merupakan suatu
pencegahan yang berguna untuk meminimalisir atas kejadian atau perbuatan yang
telah terjadi agar tidak terjadi lagi perbuatan tersebut. Penanggulangan itu sendiri
berasal dari kata “tanggulang” yang berarti menghadapi, mengatasi. Kemudian
54

ditambah awalan “pe” dan akhiran “an”, sehingga menjadi “penanggulangan”


yang berarti proses, cara, perbuatan menanggulangi.70
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Reinhard Habonaran
Nainggolan (Kasat bagian Unit Ranmor Satuan Reskrim POLRESTA Denpasar
pada hari Selasa, tanggal 21 februari 2017) bentuk penanggulangan Kepolisian
Sektor Kota Denpasar terhadap kejahatan Pencurian Kendaraan Bermotor dengan
cara upaya mengurangi dan mencegah terjadinya kejahatan pencurian kendaraan
bermotor di Denpasar,sebagai berikut :
a) Upaya Pre-emtif yaitu Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan
nilai-nilai moral yang baik sehingga nilai-nilai tersebut tertanam dalam diri
seseorang, upaya pre-emtif dilakukan oleh Sat Unit Binmas biasanya dilakukan
dengan cara himbauan kepada masyarakat, penyuluhan, memasang spanduk dan
stiker di tempat strategis untuk dibaca, kepolisian membentuk kerjasama yang
baik antara masyarakat untuk lebih mudah menemukan titik terang mengenai isu
hukum yang ada dalam lingkungan masyarakat. Apabila masyarakat memiliki
kesadaran hukum yang baik maka tidak akan terjadi kejahatan. Pihak kepolisian
ikut mengambil bagian untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan
juga tokoh-tokoh yang berperan dalam suatu wilayah seperti kepala lurah, tokoh
adat, tokoh agama, pemuda karang taruna dan tokoh-tokoh lainnya yang
bersangkutan untuk dapat menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah mereka
juga ikut mengambil bagian dalam memberi pembinaan. Pembinaan dilakukan
dengan memberikan pembinaan-pembinaan tentang kesadaran hukum, selain itu
masyarakat juga diajak oleh pihak kepolisian untuk menjadi partner dari
kepolisian untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta selalu dihimbau untuk
tetap memberikan semua informasi tentang isu kejahatan yang terjadi dalam
lingkungannya demi menciptakan rasa aman dan damai.
b) Upaya Preventif yang merupakan upaya-upaya lanjutan dari upaya Pre-
Emtif yang menekankan pada menghilangkan kesempatan untuk melakukan
kejahatan. upaya penanggulangan secara preventif dilakukan oleh anggota Sat

70
“Pengertian Penanggulangan” melalui http://kbbi.web.id., diakses tanggal 27 Oktober
2016, pukul 15.01 wita.
55

Reserse dan Sabhara yaitu dengan turut aktif dan tanggap dalam melakukan
pencegahan terhadap penanganan kasus kejahatan kendaraan bermotor di
wilayah hukum Kepolisian Sektor Denpasar, khususnya wilayah sentral
perekonomian, baik berupa patroli, razia, penjagaan atau pemantauan oleh
Kepolisian Sektor Denpasar.
c) Upaya Represif yaitu upaya ini dimaksudkan untuk menindak para
pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar
mereka sadar bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan yang
melanggar hukum dan membahayakan masyarakat. Selain itu, aturan hukum
positif di dalam KUHP dan UndangUndang sudah mengatur mengenai tindak
pidana yang menjadi larangan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap orang,
siapa saja yang melakukan tindak pidana akan diberikan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
56

BAB VI

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian di atas dapat disimpulkan dalam


perumusan suatu tindak pidana pembuat undang-undang masih belum
menerapkan prinsif lex stricia yang merupakan konsekuensi dari asas
legalitas sehingga masih terdapat perumusan tindak pidana yang menimbulkan
pengertian ganda (multitafsir). Yaitu :

1. Modus operandi pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh pelaku di


di Indonesia ada berbagai macam modus operandi .Modus operandi berasal
dari bahasa Latin, artinya prosedur atau cara bergerak atau berbuat sesuatu.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia modus operandi itu ialah cara operasi
orang, perorangan atau kelompok penjahat dalam merencanakan rencana
kejahatannya. Modus operandi yang dilakukan pelaku di Indonesia adalah
menggunakan kunci T, menggunakan cairan kimia, pura-pura mabuk atau
sakit, pura-pura mengemis dijalan, menggunakan wanita sebagai umpan dan
pura-pura menggunakan jasa ojek. Modus operandi yang terdapat di Denpasar
yang dilakukan oleh pelaku kejahatan pencurian kendaraan bermotor yang
sering terjadi ialah modus operandi menggunakan kunci T dengan kasus 501
dengan presentase 55,73%, modus operandi ini cukup tinggi dipakai pelaku
untuk melancarkan aksinya dikarenakan menggunakan kunci T lebih mudah
dalam penggunaan dan mempercepat proses pada saat pelaku melaksanakan
aksi kejahatan pencurian kendaraan bermotor ini, selain menggunakan kunci T
disusul modus operandi lainnya yaitu menggunakan cairan kimia 18,10 %,
pura-pura mabuk atau sakit 11,02%, pura-pura menggunakan jasa ojek 10,91%,
pura-pura mengemis dijalan 02,07% dan terakhir menggunakan wanita sebagai
umpan 00,77%.
57

2. Faktor-faktor pendorong terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor di


Denpasar terdapat tiga faktor mengapa pelaku mencuri kendaraan bermotor
yaitu yang pertama faktor ekonomi dengan persentase 54,39% dimana faktor
ekonomi yang paling tertinggi menjadi pendorong terjadinya pelaku melakukan
kejahatan itu salah satu kasusnya yaitu dikarenakan perekonomian pelaku tidak
bisa untuk menghidupi keluarganya dan terbelit hutang tidak bisa membayar
,jalan pintas pelaku agar bisa cepat mendapatkan uang dengan cara mencuri
kendaraan bermotor, yang kedua ialah faktor pendidikan dengan presentase
28,47% dimana bila rendahnya tingkat pendidikan seseorang tersebut, maka
orang yang bersangkutan tidak mampu untuk mencari dan menemukan jalan
yang terbaik dan tidak terkecuali melakukan tindakan-tindakan yang
menyimpang dan bertentangan dengan aturan-aturan hukum dan yang ketiga
faktor lingkungan yang berlaku dikarenakan pelaku dang yang terakhir faktor
lingkungan dengan presentase 17,13% dimana baik buruknya tingkah laku
seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan, apabila bergaul
dengan orang baik maka perbuatan mereka pasti akan baik pula mengikuti
pergaulannya di lingkungan itu, dan apabila bergaul dengan orang yang suka
melakukan perbuatan buruk maka besar kemungkinan akan dipengaruhinya
serta ikut melakukan perbuatan buruk itu. Upaya penanggulangan yang
dilakukan oleh pihak kepolisian Polresta divDenpasar untuk menekan dan
mencegah angka kejahatan pencurian kendaraan bermotor itu dengan 3 upaya
yaitu, upaya Preemtif, Preventive, dan Represif.

.
58

5.2 Saran

1. Sebaiknya pihak kepolisian Polresta dalam merumuskan suatu perbuatan


pada dasarnya sedapat mungkin memberikan suatu difiniisi yang jelas dan
tidak membingungkan bagi masyarakat dan khususnya aparat penegak
hukum.

2. Sebaiknya jika kendala pendorong faktor ekonomi yang mendari pelaku


pencuiran kendaraan bemotor di Denpasar sebaikanya pihak kepolisian
berbicara kepada pemerintah yang terkait agar dibangunkan lapangan
pekerjaan agar tidak ada pengangguran dan tidak ada terkendala ekonomi
lagi karena sudah bekerja. Dalam proses penanggulan oleh pihak
kepolisian Polresta dalam kejahatan pencurian kendaran bermotor di
Denpasar sudah cukup baik tapi perlu ditingkatkan dan dimaksimalkan
lagi terutama dengan melakukan patroli bergilir di wilayah rawan
kejahatan, jika kendalanya kekurang personil maka lakukan penambahan
personil dengan cara recruitmen pendaftaran polisi dan melakukan
tindakan tegas kepada tersangaka tindak pidana pencurian kendaraan
bermotor itu agar pelaku lebih jera dan tidak melakukan perbuatannya lagi
dan meresahkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU
Agustina Rosan, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Atmasasmita Romli, 1997, Krimonologi, Penerbit Mandar Maju, Bandung

Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk Ketiga, Citra
Aditya Bandung.

Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penangulangan Kejahatan, Jakarta; Kencana.

Didi M. Arief Mansur dan Elisatris Gultrom. Urgensi Perlindungan Korban


Kejahatan: Kejahatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).

Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi, Ilmu
Hukum Dalam Hilman Adikusuma, Penerbit Mandar Maju Bandung.

Karni Soejono, 2000, Auditing: Audit Khusus & Audit Forensik Dalam Praktik,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Lamintang, 1989, Delik – delik Khusus Kejahatan - kejahatan Terhadap Harta


Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru, Bandung.

Mahrus Ali, 2011, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Moch. Anwar, 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus (Jilid I), Alumni, Bandung.

1
ii

M. Sudradjat, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu Dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana, Remadja Karya, Bandung.

Moch. Anwar, 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung.

Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan metode penelitian hukum, Malang :


UMM Press.
Prof. Moeljatno, 2014, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi
Aksara.

P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Robert B. Seidman, 1971, Law order and Power, Adition Publishing Company
Wesley Reading Massachusett .

R. Soesilo, 1984, Pokok - pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Delik-delik


Khusus, Politea, Bogor.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar


Baru.

Indah Sri Utari, 2012, Aliran dan Teori Dalam Kriminologi, Thafa Media,
Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta.

Saeharodji, H. Hari, 1980, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta.

Salim, H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis
dan Disertasi, Edsis Pertama, ctk Kesatu, Rajawali Press, Jakarta.
iii

Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya
Bandung.

Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatau pengantar, Rajawali Pers, Bandung.

Soleman, B. Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat,


Rajawali Press , Jakarta.

Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sosio Kriminologi, Sinar Baru, Bandung.

Saifullah, 2010, Refleksi sosiologi hukum, Bandung : refika aditama.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002, Kriminologi, PT Grafindo, Jakarta.

Wirdjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia,


PT.Eresco.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU No. 14 tahun 1992 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

III. INTERNET
http://metrobali.com/2013/11/15/kasus-curanmor-di-denpasar-meningkat-33-
persen/, diakses tanggal, 20 Mei 2016.

“Pengertian Penanggulangan” melalui http://kbbi.web.id., diakses, tanggal 27


Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai