Anda di halaman 1dari 21

IMPLEMENTASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

OLEH:

NAMA : NIKO RINALDO

NOMOR INDUK MAHASISWA : 301171010065

SEMESTER/KELAS: ENAM (6)

MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS

DOSEN PENGAMPU : VIVI ARFIANI SIREGAR, SH. MH

TUGAS KE: 1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan


Maha Penyanyang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-NyA kepada kami sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah tentang IMPLEMENTASI SANKSI
PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA.Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan
mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.. Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi
untuk pembaca.
DAFTAR ISI

Halaman……………………………………………………………….. i
Katapengantar………………………………………………………….ii

Daftar isi………………………………………………………………..iii
BAB
PENDAHULUAN…………………………………………………….1

A. Latarbelakang…………………………………………………......1.
B. Rumusan masalah …………………………………………...........1
C. Tujuan penulisan………………………………………….. ……..1
D. Metode penelitian……………………………………. ..…..……..2

BABPEMBAHASAN…………………………………………………5

1. Apa yang dimaksud dengan korupsi……………………………...5


2. Bagaimana gambaran umum tentang korupsi di Indonesia ……...6
3. Apa sajakah JenisJenis Korupsi…………………………………..6
4. Apakah Dasar Hukum Tentang Korupsi …………………………7
5. Bagaimana persepsi masyarakat tentang korupsi …………………8
6. Bagaimana peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi...10
7. Implementasi uu Tentang tindak pidana korupsi…………………12
BAB III PENUTUP…………………………………………………...15
Kesimpulan…………………………………………………………….15
Saran…………………………………………………………….……..15

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….....21
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi
selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan
merupakan “pintumasuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari
pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas
Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19.

Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: “Power tends to


corrupt, andabsolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung
korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Terkait penjelasan di atas,sudah terpapar dengan jelas bahwa korupsime


rupakan perilaku menyimpang. Tetapi mengapa masih ada saja
yangmelanggarnya? Pelakunya bukan hanya satu atau dua orang saja,
bahkan hampirratusan orang. Dari yang berstatus masyarakat biasa
hingga pejabat instansinegara.

Tindak perilaku korupsi akhir-


akhir ini makin marak dipublikasikan dimedia massa maupun maupun
media cetak. Tindak korupsi ini mayoritasdilakukan oleh para pejabat
tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya olehmasyarakat luas untuk
memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malahmerugikan negara. Hal
ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsunganhidup rakyat
yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melakukan tindakkorupsi.
Maka dari itu, di sini saya akan membahas tentang sanksi tindak
pidanakorupsi di negara Korea Utara dan Indonesia serta upaya untuk
memberantasnya.Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh
transparency.org, sebuahbadan independen dari 146 negara, tercatat
bahwa Indonesia menduduki posisike-5 sebagai negara terkorup di dunia
tahun 2013. Ini membuktikan bahwaIndonesia telah mencetak sebuah
prestasi yang luar biasa yang dapat memancingrespon negatif dari
berbagai negara. Namun, nampaknya respon negatif tidakdatang dari luar
saja,tetapi masyarakat dalam negeri juga akan melakukan hal yang sama.
Bagaimana tidak, pemimpin yang selama ini mereka
beri kepercayaanmalah memanfaatkan kekuasaan demi meraih
kekayaan.Berbagai upaya yang selama ini di terapkan tidak mampu
menanggulangitindakan korupsi. Apalagi yang terjadi akhir-akhir ini, di
salah satu lembagaperadilan Mahkamah Konstitusi. Dimana ketuanya
sendiri terjerat kasus korupsidugaan suap.

B. Rumusan Masalah
8. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?
9. Bagaimana gambaran umum tentang korupsi di Indonesia ?
10. Apa sajakah JenisJenis Korupsi ?
11. Apakah Dasar Hukum Tentang Korupsi ?
12. Bagaimana persepsi masyarakat tentang korupsi ?
13. Bagaimana peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi ?
14. Implementasi uu Tentang tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut
a) Mengetahui pengertian dari korupsi.
b) Mengetahui gambaran umum tentang korupsi yang ada di Indonesia.
c) Mengetahui jenis-jenis korupsi
d) Mengetahui dasar hukum korupsi
e) Mengetahui persepsi masyarakat tentang korupsi.
f)Mengetahui peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi.
g)Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.
h) Implementasi uu Tentang tindak pidana korupsi

D. Metode Penelitian
A. Pendekatan masalah
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Yuridis-Normatif. Penelitian Hukum Yuridis-Normatif
adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi
ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak)
secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi
dalam masyarakat. Pendekatan ini digunakan dalam penelitian
dengan meninjaunya dari suatu pendekatan dengan cara melihat suatu
masalah hukum sebagai kaidah atau norma yang dianggap sesuai
dengan penelitian. Pendekatan yuridis normatif itu sendiri dilakukan
terhadap hal-hal yang bersifat teoritis dan legalistik, dimana dalam
hal ini adalah dengan melakukan pendekatan dan menelaah asas-asas
hukum yang ada dalam teori, undang-undang dan peraturan-peraturan
yang lain, kemudian menyesuaikannya dengan apa yang terjadi di
lapangan dimana dalam hal ini adalah kewenangan yang dimiliki
KPK dalam hal supervisi dan koordinasi terhadap lembaga atau
instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data
yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari
bahan pustaka.2 Sumber dan jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan. Dimana data ini diperoleh melalui cara
mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini yaitu
mengenai pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK terhadap
lembaga atau instansi yang berwenang memberantas tindak pidana
korupsi. Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat yang dalam hal ini antara lain:
a. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP);
b. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
c. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
d. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia; f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 2 Soerjono Soekanto.
Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers. Jakarta. 1990. Hlm.11
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan –bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
dalam menganalisa atau mengkaji dan memahami bahan hukum
primer, diantaranya seperti buku-buku atau literatur-literatur, hasil-
hasil penelitian juga peraturan-peraturan hukum seperti Peraturan
Pelaksana tim koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam
Keputusan Presidan RI No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pelaksana
KUHAP dalam Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2010 Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Bahan hukum tresier, yaitu bahan-bahan yang berguna sebagai
penunjang dimana bahan ini dapat memberikan informasi, petunjuk,
dan penjelasan terhadap bahan hukm primer dan bahan hukum
sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel, media
massa, makalah, naskah, paper, jurnal, dan bahan dari internet yang
berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan
merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968)
adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang
diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam
rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi
merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat
luas dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat
dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada
hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi
batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah
pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus
terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan
teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang
pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah
dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-
kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa
balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang
pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/
kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang
demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi
dengan masyarakat.
B. Gambaran umum korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an
bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah
melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan
dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang
dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971
dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek,
modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-
Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah


cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin
banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial,
kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru
menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan
pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut
akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih & Bebas dari KKN. Menurut UU. No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis
tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara
ringkas ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
 Kerugian keuntungan Negara
 Suap menyuap
 Penggelapan dalam jabatan
 Pemerasan
 Perbuatan curang
 Benturan kepentingan dalam pengadaan
 Gratifikasi
C. Jenis-jenis korupsi

Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi,ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai
tindak korupsi.Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu
bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah)

D. Dasar hukum tentang korupsi


Dasar hukum pemberantasan tidak pidana korupsi adalah sebagai
berikut
1. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih
dan BebasKKN.
3. UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.- Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelengaraan
Negara yangBersih dan Bebas KKN.
5. UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.- UU
No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi(KPK).
6. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang
PercepatanPemberantasan Korupsi.
7. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara
PelaksanaanPeranSerta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan danPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
8. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang
Sistem ManajemenSumber Daya Manusia KP.
E. Presepsi masyarakat tentang korupsi
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi
danmemberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun
yang palingmenyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan
semakin meluasnyapraktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat
lokal, maupun nasional.Kelompok mahasiswa sering menanggapi
permasalahan korupsi denganemosi dan de-monstrasi. Tema yang sering
diangkat adalah“penguasa yangkorup”dan“deritarakyat”.Mereka
memberikan saran kepada pemerintah untukbertindak tegas kepada para
korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saatgerakan reformasi tahun
1998. Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatifdan koruptif
para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalamusaha
rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem pemerin-tahan
secaramenyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang.merata.
F.Peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan


dalammengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi)dan aparat hukum lain.KPK yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
TentangKomisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi,dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi
independen yang diharapkanmampu menjadi “martir”bagi para pelaku
tindak KKN.Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi
public sector denganmewujudkan good governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

G. Implementasi uu Tentang tindak pidana korupsi

Metode pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini dengan


menggunakan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research) dari peraturan perundang-undangan
maupun karya ilmiah, di samping itu untuk mendapatkan konsepsi teori
atau doktrin, juga digunakan pendapat atau pemikiran konseptual yang
berhubungan dengan peraturan yang mengatur tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang dalam Kaitannya dengan pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan
maupun kelompok dalam wilayah negara atau lintas wilayah negara
meningkat seperti kejahatan penyuapan, teroris, penyelundupan tenaga
kerja, narkotika, pencucian uang, korupsi dan masih banyak lagi kasus
pencucian uang yang telah memberikan peluang lembaga perbankan ikut
terlibat. Implementasi tindak pidana pencucian uang dalam
pemberantasan korupsi dalam penegakannya telah diatur dengan
berbagai peraturan perundang-undangan terkait seperti Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1997, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997,
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, diikuti dengan diterbitkan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Undang-Undang Nomor 30
tahun 2003, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002, Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2003, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002.
Pemerintah telah banyak berupaya dengan baik pembenahan regulasi
maupun aparat penegak hukum dalam rangka khusus berkaitan dengan
kejahatan tindak pidana pencucian uang dalam pemberantasan korupsi
yang telah melanda dan menyentuh semua lini kehidupan masyarakat.
Namun negara Indonesia masih dalam kategori negara yang korupsi.

1. Tinjauan Hukum Atas Penerapan Sanksi Tindak Pidana Korupsi


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pelaku tindak pidana korupsi ada 2 (dua) yaitu orang yang melakukan
tindak pidana korupsi itu sendiri dan korporasi yang melakukan

tindak pidana korupsi. Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang


dilakukan secara sistematis dan teroganisir serta dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki kedudukan dan peranan penting dalam tatanan
sosial masyarakat oleh karena itu kejahatan ini sering dikatakan sebagai
white collar crime atau kejahatan kerah putih. Sistem pemidanaan secara
umum berbeda dengan pemidanaan dalam pidana khusus. Mengenai
pidana pokok, walaupun jenis-jenis pidana dalam hukum pidana korupsi
sama dengan hukum pidana umum, tetapi sistem penjatuhan pidananya
ada kekhususan jika dibandingkan dengan hukum pidana umum, yaitu
sebagai berikut:6 a. Dalam hukum pidana korupsi 2 (dua) jenis pidana
pokok yang dijatuhkan bersamaan dibedakan menjadi 2 (dua) macam
yaitu Penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok yang bersifat imperatif dan
Penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok serentak yang bersifat imperatif
dan fakultatif. b. Sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi
menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus. c.
Maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan jauh melebihi
maksimum umum dalam KUHP 15 (lima belas) tahun. d. Dalam hukum
pidana korupsi tidaklah mengenai pidana mati sebagai suatu pidana
pokok yang diancamkan pada tindak pidana yang berdiri sendiri.

a. Para pelaku tindak pidana korupsi mendapat sanksi pidana penjara


minimum khusus.
b. Denda yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi belum
memberikan efek jera.
c. Pelaksanaan pengembalian kerugian negara tidak sepenuhnya
dilakukan.
d. Masih adanya perlakuan istimewa terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, seperti pemfasilitasan dalam penjara, pelaku korupsi bebas
keluar masuk penjara. Penerapan sanksi yang tidak efektif tentu tidak

akan mampu mengurangi tingkat korupsi yang begitu tinggi di negara


Indonesia. Sanksi pidana pokok dan pidana. tambahan tentu dirasa sudah
cukup membuat para koruptor jera dan menakuti para calon-calon pelaku
tindak pidana korupsi, dengan syarat sanksi yang diberikan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi benar-benar dilakukan sesuai dengan aturan
yang berlakunya, tidak ada perlakuan istimewa terhadap para koruptor,
serta tidak adanya pemfasilitasan yang berlebihan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi tersebut. Pada akhirnya para pelaku korupsi tersebut
merasakan betapa tidak enaknya di dalam sebuah penjara.

2. Tindakan Yang Dapat Ditempuh Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi Di Indonesia
Tindakan sebagai upaya pemerintah dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah sebagai
berikut :
a. Tindakan Preventif.
Tindakan preventif adalah upaya yang dilakukan pemerintah
berupa pengawasan yang dilakukan untuk pencegahan sebelum
terjadinya pelanggaran. Pengawasan yang dimaksud adalah
pengawasan yang dilakukan terhadap aparatur negara dengan
tujuan mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme yaitu ada 2 bentuk
pengawasan yang dilakukan :8 1) Pengawasan internal adalah
pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di
dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan. 2)
Pengawasan eksternal adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh
unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi.
Penerapan pendidikan anti korupsi di sekolah juga dapat menjadi
upaya preventif yang dapat dilakukan pemerintah. Sebagai upaya
untuk menumbuhkan generasi yang bersih dan anti korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga
pemerintah bekerjasama dengan Depdiknas dan sekolah. KPK
menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi bekerjasama
dengan Depdiknas pada setiap jenjang pendidikan melalui
sosialisasi, komunikasi, dan pendidikan. Tujuan dilaksanakannya
pendidikan anti korupsi tersebut adalah :
1) Membentukan manusia yang mempunyai pemahaman, sikap,
dan perilaku yang anti terhadap korupsi. Terutama pendidikan
antikorupsi kepada anak dini usia.
2) Mengenali dan memahami dampak buruk korupsi terhadap
kepercayaan masyarakat dan persaingan di dunia internasional.
3) Memiliki keberanian dan kebijaksanaan untuk memberantas
korupsi.

b. Tindakan represif
Tindakan reprensif merupakan tindakan yang dilakukan sepagai
upaya yang bersifat reprensif (menekan, mengekang, menahan,
atau menindas) atau tegas. Upaya tersebut dapat dirasakan efektif
jika pelaksanaannya juga dilakukan secara efektif, sehingga
nantinya mampu membuat efek jera terhadap pelaku tindak
pidana dan tercapainya tujuan dari teori pemidanaan itu sendiri
yaitu :
1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan
kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals
preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah
melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan
kejahatan lagi (speciale preventif), atau;
2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang
melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik
tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Tindakan
reprensif yang telah dilakukan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan memberikan saksi pidana yaitu pidana pokok yaitu pidana
penjada dan pidana tambahan yaitu pidana denda dirasa belum
mampu membuat efek takut para penyelenggara lainnya untuk
melakukan tindak pidana korupsi, sehingga diperlukan terobosan-
terobosan baru yang nantinya dapat dijadikan upaya yang mampu
membuat rasa takut seseorang untuk melakukan tindak pidana
korupsi. Tindakan lain yang dapat ditempuh untuk memberikan
efek terhadap pelaku tindak pidana korupsi diantaranya adalah
seperti: 1) Sanksi pidana penjara maksimal. Sanksi yang diberikan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi seperti yang di putuskan
oleh pengadilan negeri jakarta terhadap Angelina Sondakh
berdasarkan putusan surat No: 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
memberikan putusan 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan penjara.
Putusan yang diberikan oleh hakim dirasa tidak mampu
memberikan efek menakut-nakuti para penegak hukum (pihak)
lain untuk melakukan korupsi. Sehingga perlu diberikan sanksi
yang berat dengan menambah jumlah lamanya pidana penjara. 2)
Pemiskinan para koruptor. Upaya pemiskinan terhadap terpidana
korupsi sejatinya merupakan sanksi pidana berupa penyitaan atau
perampasan aset yang diperoleh terpidana dari perbuatan korupsi
yang dilakukannya. Dalam hal penerapan sanksi penyitaan atas
hasil kejahatan korupsi, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010
tidak mengatur secara eksplisit mengenai hukuman tersebut untuk
dijatuhkan kepada pelaku perorangan. Akan tetapi, dengan
mengacu kepada ketentuan KUHP dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 maka hukuman tambahan berupa penyitaan aset
dapat dijatuhkan oleh majelis hakim. Memiskinkan Koruptor
dapat dijadikan upaya untuk membuat efek jera terhadap pelaku
korupsi bahkan efek takut pada pihak lain yang akan melakukan
korupsi. 3) Penerapan sanksi sosial terhadap pelaku tindak pidana
korupsi Hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk
hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum positif.
Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan.
Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial
menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus
korupsi. Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak
disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media
massa, seperti televisi atau koran. Sanksi sosial lainnya yang
dapat diberikan kepada para koruptor adalah mengucilkan para
koruptor dari pergaulan masyarakat, namun sanksi ini cenderung
tidak disetujui oleh para responden. Pemberian sanksi sosial
kepada pelaku tindak pidana korupsi lebih mengarah kepada
pemberian rasa malu terhadap koruptor sanksi sosial seperti
mencantumkan tanda mantan koruptor di KTP. Masih banyak lagi
upaya pemberian sanksi sosial yang mampu dijadikan untuk
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian serta analisis hukum pada bab
sebelumnya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana umum tentu berbeda


dengan pelaku tindak pidana khusus, dalam hal ini adalah pelaku tindak
pidana korupsi. Penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ada 2 (dua) jenis pidana pokok yang dijatuhkan bersamaan
yang dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu 2 (dua) jenis pidana pokok
yang bersifat imperatif-kumulatif dan imperatif-fakultatif. Penerapan sanksi
terhadap pelaku tindak pidana korupsi pada kenyataannya adalah sebagai
berikut yaitu pelaku tindak pidana korupsi mendapat sanksi pidana penjara
minimum khusus, denda yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi belum memberikan efek jera, pelaksanaan pengembalian kerugian
negara tidak sepenuhnya dilakukan, masih adanya perlakuan istimewa
terhadap pelaku tindak pidana korupsi (pemfasilitasan dalam penjara, pelaku
korupsi bebas keluar masuk penjara).

2. Tindakan yang dapat ditempuh sebagai upaya pemberantasan tindak


pidana korupsi di Indonesia diantaranya adalah :

a. Tindakan preventif Tindakan preventif adalah upaya yang dilakukan


penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap Aparatur Negara berupa
pengawasan secara internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh orang atau
badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan dan
eksternal yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang
berada di luar unit organisasi yang diawasi. Tindakan preventif lebih
mengarah kepada pengendalian pemerintah sebagai pencegahan untuk
meminimalkan penyebab dan peluang untuk melakukan korupsi.

b. Tindakan reprensif Upaya reprensif adalah usaha yang diarahkan agar


setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat,
tepat, sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan lain sebagai upaya
reprensif yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yaitu
pemberian sanksi pidana penjara maksimum, pemiskinan para pelaku tindak
pidana korupsi, dan pemberian sanksi sosial terhadap pelaku tindak pidana
korupsi.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian serta analisis hukum pada bab
sebelumnya, maka penulis mencoba menyampaikan saran-saran yang terkait
dengan upaya pemerintah dalam menekan korupsi di Indonesia yaitu :

1. Perlu adanya penegakan hukum yang benar dalam penerapan sanksi yang
diberiak kepada pelaku tindak pidana korupsi. Penerapan yang tepat yang
sesuai dengan tujuan dari pemberian sanksi sehingga nantinya memberikan
efek jera. Pelaksanaan penerapan sanksi harus dilakukan sesuai dengan
tujuan dari pemidaan. Tidak ada lagi perlakuan istimewa terhadap pelaku
tindak pidana korupsi di dalam penjara. Tindakan hukum yang lebih keras
dan tegas dalam memberikan hukuman (punishment) terhadap para pelaku
tindak pidana korupsi.

2. Perlunya dukungan masyarakat luas baik dari kalangan organisasi


masyarakat, pelaku bisnis, serta mahasiswa sangat dibutuhkan untuk dapat
melanjutkan kebijakan pemerintah dalam menangani masalah korupsi
dengan memberikan kritik dan saran kepada pemerintah dalam setiap
program-program yang di buat oleh pemerintah. Adanya upaya tersebut maka
akan terhindar dari upaya melakukan korupsi pada penyelenggara negara.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,2005

Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia


.Bandung : Penerbit Sinar Baru.

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Bina


Grafika, Jakarta, 2001.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat IV Pembinaan Hukum Nasional,


Bina Cipta, Bandung, 1976

Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta :
GhaliaIndonesia

Soedijono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-Undangan Pidana Dalam

Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 2000.

Surachmin dan Suhadi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui Untuk
Mencegah, Sinar Grafika. Jakarta, 2011

Peraturan perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar 1945


UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan


BebasKKN.
UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.-
Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yangBersih
dan Bebas KKN.
UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.- UU No. 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(KPK).

Situs :
https://www.academia.edu/36208739
http://makalainet.blogspot.com/2013/10/korupsi.html
https://krirhmn.blogspot.com/2014/06/korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai