OLEH:
TUGAS KE: 1
KATA PENGANTAR
Halaman……………………………………………………………….. i
Katapengantar………………………………………………………….ii
Daftar isi………………………………………………………………..iii
BAB
PENDAHULUAN…………………………………………………….1
A. Latarbelakang…………………………………………………......1.
B. Rumusan masalah …………………………………………...........1
C. Tujuan penulisan………………………………………….. ……..1
D. Metode penelitian……………………………………. ..…..……..2
BABPEMBAHASAN…………………………………………………5
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….....21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi
selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan
merupakan “pintumasuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari
pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas
Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19.
B. Rumusan Masalah
8. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?
9. Bagaimana gambaran umum tentang korupsi di Indonesia ?
10. Apa sajakah JenisJenis Korupsi ?
11. Apakah Dasar Hukum Tentang Korupsi ?
12. Bagaimana persepsi masyarakat tentang korupsi ?
13. Bagaimana peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi ?
14. Implementasi uu Tentang tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut
a) Mengetahui pengertian dari korupsi.
b) Mengetahui gambaran umum tentang korupsi yang ada di Indonesia.
c) Mengetahui jenis-jenis korupsi
d) Mengetahui dasar hukum korupsi
e) Mengetahui persepsi masyarakat tentang korupsi.
f)Mengetahui peran serta pemerintah dalam memberantas korupsi.
g)Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi.
h) Implementasi uu Tentang tindak pidana korupsi
D. Metode Penelitian
A. Pendekatan masalah
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Yuridis-Normatif. Penelitian Hukum Yuridis-Normatif
adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi
ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak)
secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi
dalam masyarakat. Pendekatan ini digunakan dalam penelitian
dengan meninjaunya dari suatu pendekatan dengan cara melihat suatu
masalah hukum sebagai kaidah atau norma yang dianggap sesuai
dengan penelitian. Pendekatan yuridis normatif itu sendiri dilakukan
terhadap hal-hal yang bersifat teoritis dan legalistik, dimana dalam
hal ini adalah dengan melakukan pendekatan dan menelaah asas-asas
hukum yang ada dalam teori, undang-undang dan peraturan-peraturan
yang lain, kemudian menyesuaikannya dengan apa yang terjadi di
lapangan dimana dalam hal ini adalah kewenangan yang dimiliki
KPK dalam hal supervisi dan koordinasi terhadap lembaga atau
instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data
yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari
bahan pustaka.2 Sumber dan jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan. Dimana data ini diperoleh melalui cara
mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini yaitu
mengenai pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK terhadap
lembaga atau instansi yang berwenang memberantas tindak pidana
korupsi. Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat yang dalam hal ini antara lain:
a. Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP);
b. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
c. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
d. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia; f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 2 Soerjono Soekanto.
Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Pers. Jakarta. 1990. Hlm.11
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan –bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
dalam menganalisa atau mengkaji dan memahami bahan hukum
primer, diantaranya seperti buku-buku atau literatur-literatur, hasil-
hasil penelitian juga peraturan-peraturan hukum seperti Peraturan
Pelaksana tim koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam
Keputusan Presidan RI No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pelaksana
KUHAP dalam Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2010 Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Bahan hukum tresier, yaitu bahan-bahan yang berguna sebagai
penunjang dimana bahan ini dapat memberikan informasi, petunjuk,
dan penjelasan terhadap bahan hukm primer dan bahan hukum
sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel, media
massa, makalah, naskah, paper, jurnal, dan bahan dari internet yang
berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan
merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968)
adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang
diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam
rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi
merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat
luas dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat
dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada
hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi
batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah
pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus
terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan
teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang
pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah
dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-
kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa
balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang
pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/
kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang
demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah
tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi
dengan masyarakat.
B. Gambaran umum korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an
bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah
melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan
dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang
dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971
dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek,
modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-
Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
b. Tindakan represif
Tindakan reprensif merupakan tindakan yang dilakukan sepagai
upaya yang bersifat reprensif (menekan, mengekang, menahan,
atau menindas) atau tegas. Upaya tersebut dapat dirasakan efektif
jika pelaksanaannya juga dilakukan secara efektif, sehingga
nantinya mampu membuat efek jera terhadap pelaku tindak
pidana dan tercapainya tujuan dari teori pemidanaan itu sendiri
yaitu :
1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan
kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals
preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah
melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan
kejahatan lagi (speciale preventif), atau;
2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang
melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik
tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Tindakan
reprensif yang telah dilakukan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan memberikan saksi pidana yaitu pidana pokok yaitu pidana
penjada dan pidana tambahan yaitu pidana denda dirasa belum
mampu membuat efek takut para penyelenggara lainnya untuk
melakukan tindak pidana korupsi, sehingga diperlukan terobosan-
terobosan baru yang nantinya dapat dijadikan upaya yang mampu
membuat rasa takut seseorang untuk melakukan tindak pidana
korupsi. Tindakan lain yang dapat ditempuh untuk memberikan
efek terhadap pelaku tindak pidana korupsi diantaranya adalah
seperti: 1) Sanksi pidana penjara maksimal. Sanksi yang diberikan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi seperti yang di putuskan
oleh pengadilan negeri jakarta terhadap Angelina Sondakh
berdasarkan putusan surat No: 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
memberikan putusan 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan penjara.
Putusan yang diberikan oleh hakim dirasa tidak mampu
memberikan efek menakut-nakuti para penegak hukum (pihak)
lain untuk melakukan korupsi. Sehingga perlu diberikan sanksi
yang berat dengan menambah jumlah lamanya pidana penjara. 2)
Pemiskinan para koruptor. Upaya pemiskinan terhadap terpidana
korupsi sejatinya merupakan sanksi pidana berupa penyitaan atau
perampasan aset yang diperoleh terpidana dari perbuatan korupsi
yang dilakukannya. Dalam hal penerapan sanksi penyitaan atas
hasil kejahatan korupsi, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010
tidak mengatur secara eksplisit mengenai hukuman tersebut untuk
dijatuhkan kepada pelaku perorangan. Akan tetapi, dengan
mengacu kepada ketentuan KUHP dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 maka hukuman tambahan berupa penyitaan aset
dapat dijatuhkan oleh majelis hakim. Memiskinkan Koruptor
dapat dijadikan upaya untuk membuat efek jera terhadap pelaku
korupsi bahkan efek takut pada pihak lain yang akan melakukan
korupsi. 3) Penerapan sanksi sosial terhadap pelaku tindak pidana
korupsi Hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk
hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum positif.
Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan.
Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial
menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus
korupsi. Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak
disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media
massa, seperti televisi atau koran. Sanksi sosial lainnya yang
dapat diberikan kepada para koruptor adalah mengucilkan para
koruptor dari pergaulan masyarakat, namun sanksi ini cenderung
tidak disetujui oleh para responden. Pemberian sanksi sosial
kepada pelaku tindak pidana korupsi lebih mengarah kepada
pemberian rasa malu terhadap koruptor sanksi sosial seperti
mencantumkan tanda mantan koruptor di KTP. Masih banyak lagi
upaya pemberian sanksi sosial yang mampu dijadikan untuk
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian serta analisis hukum pada bab
sebelumnya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian serta analisis hukum pada bab
sebelumnya, maka penulis mencoba menyampaikan saran-saran yang terkait
dengan upaya pemerintah dalam menekan korupsi di Indonesia yaitu :
1. Perlu adanya penegakan hukum yang benar dalam penerapan sanksi yang
diberiak kepada pelaku tindak pidana korupsi. Penerapan yang tepat yang
sesuai dengan tujuan dari pemberian sanksi sehingga nantinya memberikan
efek jera. Pelaksanaan penerapan sanksi harus dilakukan sesuai dengan
tujuan dari pemidaan. Tidak ada lagi perlakuan istimewa terhadap pelaku
tindak pidana korupsi di dalam penjara. Tindakan hukum yang lebih keras
dan tegas dalam memberikan hukuman (punishment) terhadap para pelaku
tindak pidana korupsi.
Buku :
Surachmin dan Suhadi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui Untuk
Mencegah, Sinar Grafika. Jakarta, 2011
Peraturan perundang-undangan :
Situs :
https://www.academia.edu/36208739
http://makalainet.blogspot.com/2013/10/korupsi.html
https://krirhmn.blogspot.com/2014/06/korupsi.html