Anda di halaman 1dari 84

JURNAL PENGAWASAN

ISSN 2686-2840
Jurnal Pengawasan terbit dua kali setahun (bulan September dan Maret) berisi artikel berupa
hasil penelitian dan hasil pemikiran/non penelitian (kajian analisis, aplikasi teori, review, research
comment) dalam lingkup pengawasan (termasuk di dalamnya governance, risk, control pada sektor
publik).
Penerbitan Jurnal Pengawasan dimaksudkan sebagai salah satu media pengembangan ilmu
di bidang pengawasan melalui penyebarluasan dan diskusi hasil penelitian, pemikiran dan gagasan
bagi para peneliti, akademisi, analis kebijakan, praktisi, dan pemerhati bidang pengawasan.

Pengarah:
Sekretaris Utama BPKP
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:
Kapuslitbangwas BPKP
Redaktur:
Dadang Rizal Iskandar
Jamason Sinaga
Mohamad Riyad
Rury Hanasri
Purwantoro
Dani Wirawan
Coenraad Rezky D.
Ida Siti Farida
Penyunting:
Chekat Fahmi Rosyadi
Nugroho Dwi Putranto
Ramondias Agustino
Eko Prasojo
Peer-Reviewers:
Dr. Arief Tri Hardiyanto, Ak., M.B.A.
Dr. Ayi Riyanto, Ak., M.Si.
Rudy Mahani Harahap, Ak., M.M., Ph.D.
Dr. Arief Hadianto, S.E., M.Ec.Dev.
Dr. Setya Nugraha, MIBA.
Dr. Felix Joni Darjoko, Ak., M.Ec.Dev. CFE.
Dr. Ilham Nurhidayat, Ak., CA., M.Ec.Dev., CSEP.
Dr. Cissy Fransisca Susanti, Ak., M.M.

Diterbitkan Oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tel : (021) 85910031 Ext. 1124


Pengawasan BPKP Fax : (021) 85910161
Gedung Perwakilan BPKP Provinsi Email : puslitbang@bpkp.go.id
DKI Jakarta Lantai 4 Website : www.bpkp.go.id/puslitbangwas.bpkp
Jl. Pramuka No. 33 Jakarta 13120
KATAPENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya Jurnal
Pengawasan Volume 2 Nomor 2 September 2020 telah diterbitkan di tengah pandemi Covid-19 yang
melanda negara Indonesia dan dunia. Terdapat 7 artikel ilmiah yang merupakan hasH penelitian dan
hasil pemikiran dalam lingkup pengawasan, yang di dalamnya terdapat 2 artikel membahas terkait
dengan kondisi pandemi saat ini yaitu artikel yang berjudul Analisis Efektivitas Model Pemelajaran:
Studi KomparatifModel Diklat Tatap Muka dan Diklat Online, dan Peran Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah dalam Percepatan Penanganan Darurat Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah.
Edisi kali ini dimulai dengan artikel I1ham Nurhidayat yang mengupas tentang dinamika atas
fenomena whistleblowing behaviour yang terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan metode multi
case study yang memperlakukan setiap kasus dengan pendekatan unique case orientation, ditemukan
bahwa terjadi berbagai bentuk konflik nilai. Kemudian artikel kedua adalah artikel daTi Sisca
Yulindrasari yang membandingkan hasil pemelajaran antara diklat tatap muka dengan diklat online.
Apalagi dengan kondisi sekarang dengan adanya pandemi Covid-19, maka pemelajaran online
menjadi suatu jawaban atas kebutuhan pengembangan kompetensi pegawai. Tapi seberapa efektifkah
diklat online ini, maka akan dijawab dalam artikel ini.
Artikel selanjutnya adalah artikel daTi Dayu Jati Sri Panuntun yang membahas tentang
pengaruh pelaksanaan akuntabilitas terhadap kinerja pegawai dengan menggunakan variabel tekanan
dan beban kerja sebagai variabel intervening. Metode yang digunakan adalah kombinasi penelitian
kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif dan hasH wawancara. Berikutnya artikel keempat
membahas tentang akuntansi pemerintah terkait dengan fenomena perlakuan akuntansi yang
diterapkan pada aset warisan Indonesia, yang dalam hal ini adalah Makan Sunan Giri yang terdapat
di Kabupaten Gresik.
Dua artikel selanjutnya terkait dengan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Artikel dari Nurina Vidya Pratiwi dan Bondan Wahyusari Kusumo mengupas peran APIP dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan penggunaan anggaran guna penyediaan barang dan jasa
dalam upaya percepatan penanganan Covid-19 di daerah. Sedangkan artikel daTi Siamet Susanto
membahas tentang peran APIP dalam mendukung pimpinan instansi pemerintah meningkatkan
. efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Edisi ini
diakhiri dengan artikel dari Agus Riyanto dan Iwan Erar Joesoef yang mengkaji pelaksanaan
program pemerintah dalam rangka percepatan pengambangan kawasan di Sumatera. Metode yang
digunakan adalah metode normative yuridis dengan mengacu pada teori asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Atas nama redaksi, kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas sumbangan
pemikiran melalui artikel-artikel yang telah dikirim. Selanjutnya, kami juga mengucapkan terima
kasih kepada mitra bestari dan berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu dan memberikan dukungan atas penerbitan jurnal ini. Kami menantikan artikel daTi para
pembaca jurnal, akademisi, praktisi, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk menyalurkan
ide, gagasan, dan pemikirannya terkait pengawasan termasuk di dalamnya governance, risk, control
pada sektor publik. Redaksi menyadari jurnal ini masih memiliki kekurangan, sehingga saran dan
kritik yang membangun akan sangat berharga bagi kami. Akhir kata, kami berharap Jurnal
Pengawasan ini dapat menjadi referensi dan sumber rujukan penelitian maupun karya tulis
berikutnya serta dapat menambah wawasan pembaca.
Pemimpin Redaksi

...

JURNAL PENGAWASAN
ISSN 2686-2840
Volume 2, Nomor 2 September 2020

DAFTAR ISI

Diskursus Konflik Nilai (Clash Of Value) dan Dilema Etika dalam Kasus
Whistleblowing
 Ilham Nurhidayat – 1

Analisis Efektivitas Model Pemelajaran: Studi Komparatif Model Diklat Tatap Muka
dan Diklat Online
 Sisca Yulindrasari – 13

Pengaruh Pelaksanaan Akuntabilitas terhadap Kinerja Instansi Pemerintah dengan


Menggunakan Tekanan dan Beban Kerja sebagai Variabel Intervening
 Dayu Jati Sri Panuntun – 21

Analisis Perlakuan Akuntansi pada Aset Bersejarah (Studi Kasus pada Aset
Bersejarah di Kabupaten Gresik)
 Rieswandha Dio Primasatya, Ahmad Fahrian Aditya, Dias Vivian Saphira, Firly
Baihaqi Hedyanto – 30

Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dalam Percepatan Penanganan Darurat


Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah
 Nurina Vidya Pratiwi, Bondan Wahyusari Kusumo – 41

Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dalam Optimalisasi Implementasi


Manajemen Risiko
 Slamet Susanto – 49

Penugasan Badan Usaha Milik Negara dalam Pengusahaan Jalan Tol: Studi
Penugasan PT. Hutama Karya (Persero) dalam Pengusahaan Jalan Tol di Sumatera
 Agus Riyanto, Iwan Erar Joesoef – 59
DISKURSUS KONFLIK NILAI (CLASH OF VALUE) DAN DILEMA ETIKA
DALAM KASUS WHISTLEBLOWING

Ilham Nurhidayat
Perwakilan BPKP Provinsi DIY
email: ilham.nurhidayat@bpkp.go.id

Abstrak
Riset ini mengkaji tentang dinamika atas fenomena whistleblowing behaviour yang terjadi pada lima
kasus di Indonesia dengan menitikberatkan pada dinamika relasi kuasa dan interaksi para aktor yang
muncul di dalam organisasi ketika ada orang dalam (insider) melakukan tindakan whistleblowing.
Riset kualitatif ini menggunakan metode multi case study yang memperlakukan setiap kasus dengan
pendekatan unique case orientation (Patton, 2002). Data dan informasi digali langsung dari para
whistleblower. Riset ini menemukan bahwa terjadi berbagai bentuk konflik nilai. Konflik nilai yang
pertama adalah pertaruhan (dilema) antara integritas diri versus loyalitas terhadap organisasi. Konflik
nilai yang kedua adalah pertaruhan (dilema) integritas diri versus integritas sebagai anggota
masyarakat. Konflik nilai ketiga adalah pertaruhan (dilema) antara loyalitas sebagai anggota
organisasi versus integritas sebagai anggota masyarakat. Interaksi yang terjadi akibat adanya relasi
kuasa (power) antara whistleblower dan wrongdoers adalah konflik dalam bentuk pertikaian,
pertentangan, pembalasan atau perlawanan balik (retaliation). Dalam konteks relasi antara
whistleblower dan kolega organisasi ditemukan konflik yang lebih kompleks. Bentuk interaksi yang
paling menonjol adalah resistensi dan perlawanan balik (retaliation) dari para pihak yang kontra
dengan tindakan whistleblower. Riset ini juga menemukan terjadinya ambivalensi sikap organisasi
secara kolektif dalam memposisikan whistleblower. Keberadaan whistleblower tidak mutlak
dianggap sebagai “pengkhianat” dan juga sebaliknya tidak pula secara mutlak dianggap sebagai
seorang “pahlawan”. Posisi whistleblower diibaratkan seperti “orang yang dibenci tapi sekaligus
dibutuhkan” pada waktu dan tempat yang sama.

Kata kunci: dilema, konflik nilai, whistleblower, whistleblowing

Abstract
This research examines the dynamics of the whistleblowing behavior phenomenon that occurs in five
cases in Indonesia, with an emphasis on the dynamics of power relations and the interactions of
actors that appear in the organization when an insider commits whistleblowing. This qualitative
research uses a multi case study method that treats each case with a unique case orientation
approach (Patton, 2002). Data and information are extracted directly from whistleblowers. This
study found that there various forms of clash of values. The first value conflict is a stake (dilemma)
between self-integrity versus loyalty to the organization. The second value conflict is a stake
(dilemma) of self-integrity versus integrity as a member of society. The third value conflict is a stake
(dilemma) between loyalty as a member of the organization versus integrity as a member of society.
The interactions that occur as a result of a power relationship between whistleblowers and
wrongdoers are conflicts in the form of disputes, contradictions, retaliation. In the context of the
relationship between whistleblowers and organizational colleagues, there are more complex conflict.
The most prominent forms of interaction are resistance and retaliation from the parties who oppose
the whistleblower action. This research also found an ambivalence of collective organizational
attitudes in positioning whistleblowers. The existence of a whistleblower was not absolutely
considered a "traitor" and vice versa was not absolutely considered a "hero". The whistleblower
position is likened to a "person who is hated but at the same time needed" at the same time and place.

Keywords: dilemma, clash of value, whistleblower, whistleblowing

1
1. PENDAHULUAN istilah-istilah lainnya. Sikap permisif dan
kompromis terhadap korupsi dan tindakan
Korupsi, kecurangan atau tindakan tidak
kecurangan lainnya tidak hanya berbahaya bagi
benar (wrongdoing) lainnya sulit dibongkar
organisasi, namun juga berdampak terhadap
ketika para pihak yang terlibat bersepakat untuk
masyarakat luas.
saling menutupi atau melakukan “konspirasi”
Untuk mereduksi mewabahnya sikap
(De Maria, 2006). Konspirasi memiliki makna
permisivisme terhadap perilaku korup,
serupa dengan beberapa istilah lainnya antara
diperlukan peran aktif dari setiap elemen
lain persekongkolan, pemufakatan jahat,
anggota organisasi dan masyarakat untuk berani
“patgulipat”, kolusi dan sebagainya. Fenomena
melawan kejahatan korupsi. Sikap tidak peduli,
yang juga dikenal dengan istilah “konspirasi-
masa bodoh dan pasif (hibernation) dari orang-
bersama” ini merupakan salah satu temuan De
orang baik di dalam sebuah komunitas atau
Maria (2006) dalam salah satu risetnya yang
organisasi justru menjadi salah satu penyebab
meneliti perilaku korup di lingkungan organisasi
meningkatnya penyakit korupsi di tubuh
publik dengan menggunakan pendekatan atau
organisasi sekaligus menjadi penghalang besar
konsep “brother secret, sister silence: sibling
dalam upaya pencegahan korupsi.
conspiracies”. Menurut De Maria (2006),
Kondisi ini juga diungkapkan oleh Edmund
konspirasi perilaku korupsi di dalam organisasi
Burke (1729-1797) seorang filsuf politik dari
terjadi karena adanya sinergitas antara sifat
Irlandia dan negarawan yang sering dianggap
kerahasiaan (secret) dan aksi tutup mulut
sebagai bapak konservatisme modern, yang
(silence) yang dilakukan para pihak yang
menyatakan bahwa “The only thing necessary
terlibat.
for the triumph of evil is the good men to do
Konspirasi dalam kejahatan korupsi
nothing. Burke berpendapat bahwa satu-satunya
memiliki daya merusak yang besar terhadap
kondisi yang diperlukan bagi kemenangan
organisasi. Konspirasi jahat dapat memicu
kejahatan adalah kondisi dimana orang-orang
munculnya resistensi bahkan merusak nilai-nilai
baik memilih untuk berdiam diri. Permisivisme
etika dan norma yang telah terbentuk di dalam
terhadap korupsi maupun kecurangan lainnya
organisasi. Konspirasi juga ikut membentuk
juga dapat menurunkan kepercayaan diri dari
benih-benih sikap permisif yang memposisikan
orang-orang yang jujur untuk berani bersuara
korupsi sebagai perilaku yang dianggap wajar
(voice) dan menyatakan bahwa korupsi adalah
dan merupakan perilaku yang lazim terjadi
sebuah extraordinary crime dan musuh bersama
(banalitas korupsi) (Nurhidayat, 2017).
masyarakat (Nurhidayat, 2017).
Kumorotomo (2001) mengingatkan tentang
Pertimbangan untuk memutuskan “bersuara
bahaya dari sikap permisif dan menjelaskan
atau tidak” dan “konflik nilai” antar aktor
bahwa gejala korupsi tidak boleh didiamkan saja
merupakan permasalahan yang sarat dengan
jika tidak ingin merembet secara ganas karena
dilema sekaligus tantangan etika di dalam
untuk menanggulanginya perlu energi yang lebih
organisasi. Berdasarkan fenomena tersebut,
besar. Membiarkan korupsi berkembang berarti
terdapat beberapa permasalahan yang dapat
ikut memperbesar jumlah kejahatan tersembunyi
diidentifikasi pada penelitian ini.
(hidden crime) di dalam tubuh masyarakat.
Permasalahan pertama, adanya fakta
Sikap permisif juga mendorong orang
menarik tentang munculnya individu dari
menjadi kompromis terhadap berbagai bentuk
internal organisasi yang “berani bersuara”
kecurangan lainnya sehingga pelaku sering tidak
membongkar berbagai kasus korupsi,
menyadari bahwa apa yang dilakukannya juga
pelanggaran maupun tindakan kecurangan
termasuk dalam kategori tindakan korupsi.
lainnya di internal tempatnya bekerja meskipun
Dampak buruk lainnya adalah munculnya
dikepung situasi tidak kondusif yang harus
rasionalisasi nilai terhadap kejahatan korupsi
mereka dihadapi. Permasalahan kedua, adanya
dengan menggolong-golongkan jenis-jenis
fenomena ketidakjelasan sikap moral (moral
perilaku korupsi dengan beberapa istilah, seperti
standing position) secara kolektif dari seluruh
“korupsi yang jujur”, “korupsi yang
anggota organisasi dalam merespons atau
dibenarkan”, “korupsi karena terpaksa” dan

2
menentukan sikap terhadap sepak terjang orang keberpihakan organisasi (standing position)
internal yang berani melakukan tindakan serta respons yang tidak dapat diprediksi dari
whistleblowing. organisasi secara kolektif terhadap tindakan
Keputusan untuk bersuara atau menjadi whistleblowing yang dilakukan oleh orang
whistleblower adalah persoalan yang tidak dalam (insider) organisasi.
mudah bagi seorang pegawai atau anggota suatu Reviu literatur penting dilakukan untuk
organisasi yang di dalam organisasi tempat membantu memetakan posisi penelitian secara
bekerjanya sedang berlangsung praktik tidak lebih jelas dengan cara menelusuri dan melacak
sehat. Respons berupa dukungan atau sebaliknya riset-riset sebelumnya yang menganalisis topik
berupa ketidaksepakatan (perlawanan) dari yang relevan atau ada korelasinya dengan fokus
organisasi terhadap tindakan whistleblowing studi dari penelitian. Hal ini dilakukan untuk
adalah sebuah “misteri” yang tidak dapat mengidentifikasi celah atau kesenjangan yang
diprediksi jawabannya dari awal. dapat dijadikan kontribusi kebaruan dari
Oleh karena itu, pertimbangan dalam penelitian ini.
pengambilan keputusan untuk bersuara atau Hingga saat ini, penelitian di Indonesia,
tidak serta interaksi dan konflik nilai antaraktor khususnya dengan topik korupsi didominasi oleh
yang terjadi merupakan permasalahan yang sarat riset dalam perspektif perilaku pelaku (koruptor)
dengan “dilema” sekaligus “tantangan etika” atau sisi “negatif”. Riset korupsi dari sisi
tersendiri di dalam organisasi. “positif”, tentang peran dan kontribusi seseorang
Berdasarkan beberapa permasalahan atau sekelompok orang yang berani bersuara
tersebut, maka dirumuskan pertanyaan mengungkap (membongkar) korupsi atau
penelitian sebagai berikut: “bagaimana praktik tidak sehat lainnya tergolong masih
dinamika interaksi dan konflik nilai (clash of jarang dilakukan di Indonesia. Riset tentang
value) antaraktor yang terjadi ketika ada orang keberanian bersuara di Indonesia masih jauh
internal (insider) berani melakukan tindakan tertinggal dengan beberapa negara lain.
whistleblowing?”. Diskusi tentang isu etika dan perilaku
Diskursus yang berkembang di berbagai whistleblowing di mancanegara telah bergulir
literatur tentang fenomena dan atau faktor yang lama yang ditandai dengan adanya beberapa
dapat memicu munculnya dilema etika literatur tentang whistleblower yang muncul
sehubungan dengan adanya tindakan sekitar tahun 1980an. Topik ini semakin ramai
whistleblowing yang dilakukan oleh orang diteliti sejak tahun 1985 di luar negeri dengan
internal organisasi (insider) dapat munculnya para peneliti dan tokoh utama dalam
dikelompokkan menjadi beberapa isu penting arus utama riset whistleblowing seperti misalnya
(Nurhidayat, 2017). Miceli dan Near.
Pertama, isu tentang adanya fenomena Riset dengan topik whistleblowing behavior
konspirasi (De Maria, 2006) dan sikap permisif telah banyak dilakukan di beberapa negara maju
terhadap perilaku korupsi, penyimpangan dan dengan latar belakang permasalahan, kesiapan
tindakan kecurangan lainnya (Kumorotomo, regulasi dan budaya yang sangat berbeda
2001). Kedua, adanya risiko yang melekat kondisinya dengan Indonesia. Dari hasil telusur
(inherent) pada setiap tindakan whistleblowing literatur, penelitian Nurhidayat (2017) dan
yang dilakukan oleh whistleblower (Pamerlee Nurhidayat & Kusumasari (2017) berhasil
dkk, 1982; Jos dkk, 1989; Miceli dkk, 1991; mengindentifikasi beberapa fokus studi dari
Davis, 1989; Davis, 1996; Chiu, 2003; Smith, beberapa riset terdahulu yang diklasifikasikan
2006; Hassink dkk, 2007; Rona, 2011). Ketiga, dalam beberapa area atau fokus penelitian,
lemahnya perlindungan hukum yang ditandai diantaranya adalah tentang teori, definisi, dan
dengan belum adanya perundang-undangan gambaran konseptual (misalnya: Tsahuridu
negara (Vaughn, 1999) yang secara khusus dan Vanderkerckhove, 2008; Davis, 1996;
mengatur perlindungan hukum bagi Johnson dan Kraft, 1990; Elliston, 1982; Jubb,
whistleblower di Indonesia (Awaludin, 2011). 1999; Park dan Blenkinsopp, 2009; dan Park
Keempat, belum adanya kejelasan atas posisi dkk, 2008); eksplorasi terhadap peran dan

3
faktor yang memengaruhi perilaku kepada pihak berwenang. Dalam terminologi
whistleblower (misalnya: Dozier dan Micelli, hukum, disebut dengan istilah justice
1989; MacNab dan Worthley, 2008;); collaborator atau saksi pelapor yang bersedia
tantangan etis dan hambatan whistleblowing bekerjasama. Satu hal yang membedakan
(misalnya: De Maria, 2006; Dyne dan Botero, whistleblower dengan justice collaborator
2003; Hersh, 2002) adalah para whistleblower tidak ikut terlibat
Selain itu ada beberapa topik lainnya antara dalam kasus tetapi mengambil risiko menjadi
lain adalah risiko dan respons dari organisasi pembongkar skandal (Tempo, 23-29 Desember
(misalnya: Hassink dkk, 2007; Smith , 2006; 2013).
Parmerlee dkk, 1982; Jos dkk, 1989; Davis, Secara komprehensif, Berry (2004)
1989; Chiu, 2003; Miceli dkk, 1991; Rona, mengemukakan bahwa perilaku whistleblowing
2011); urgensi keberadaan undang-undang dipengaruhi oleh tujuh dimensi budaya
perlindungan hukum (misal: Vaughn, 1999); organisasi: kewaspadaan, keterlibatan,
peran manajemen dan organisasi (misalnya: kredibilitas, akuntabilitas, pemberdayaan,
Miceli dkk, 2009; Kaptein, 2011; Bahl, 2011, keberanian dan pilihan. Dari sisi individu,
Ozdemir, 1999; King III, 1999); perbedaan MacNab dan Worthley (2008) berpendapat
argumen moral dalam hal perlindungan bahwa faktor kepercayaan diri merupakan salah
whistleblowing (misalnya: Tsahuridu & satu yang mewakili sifat individu yang dapat
Vandekerckhove, 2008); pendekatan psikologi memengaruhi tindakan whistleblowing. Selain
dan dimensi sosial seperti misalnya riset yang itu, seorang whistleblower secara mandiri
dilakukan Miceli dkk (1991); pengaruh aspek memiliki pilihan etis yang kuat sebagai
budaya dalam tindakan whistleblowing pendorong keberanian seorang whistleblower
(misalnya Park dkk, 2008; Tavakoli dkk, 2003) mengungkap skandal kejahatan terhadap publik.
dan faktor gender dan risiko pembalasan Hersh (2002) menemukan bahwa faktor-
balik (misalnya Lipman, 2015; Rehg dkk,2008; faktor yang memengaruhi tindakan
Mesmer-Magnus dan Viswesvaran, 2005; whistleblowing terdiri dari faktor individu,
Davidson, 2009; Zerema, 2011; Richardson faktor organisasi dan tingkat keseriusan (parah
(2014) dan Adebayo, 2005) tidaknya) suatu kejadian penyimpangan. Hasil
Di Indonesia, riset-riset terdahulu dengan riset menunjukan bahwa seorang whistleblower
topik whistleblowing lebih banyak didominasi bersedia melakukan tindakan whistleblowing
oleh riset dengan perspektif ilmu hukum tergantung dari kombinasi faktor yang
(misalnya: Awaludin, 2016 dan 2011) atau ilmu memengaruhinya meliputi karakteristik pribadi,
akuntansi atau manajemen dengan fokus pada struktur organisasi dan jenis atau tingkat
dilematika peran auditor internal sebagai keseriusan kejadian penyimpangan serta faktor
whistleblower. Hasil telusur literatur tersebut situasional. Selain kombinasi faktor-faktor
disajikan pada beberapa aspek yang terinci tersebut, dalam beberapa kasus whistleblower
sebagai berikut: juga mempertimbangkan biaya dan manfaat
(cost and benefit) dalam mengambil keputusan
Motivasi dan Faktor Pertimbangan
termasuk mempertimbangkan rasa aman terkait
Whistleblower
ada tidaknya perlindungan hukum serta tingkat
Motivasi seseorang berani menjadi respons dan kepastian tindak lanjut atas
whistleblower sangat beragam, dari mulai pengaduan yang telah dilaporkannya.
motivasi yang berorientasi etis hingga yang Pertimbangan terhadap berbagai faktor tersebut
bermotif sakit hati atau muak atas keterlibatan sejalan dengan konsep rational choice theory
dirinya dalam sebuah kejahatan yang kemudian (Chosin & Clarke dalam Hechter, 1997).
dia laporkan sendiri. Dalam beberapa kasus, Rona (2011) menemukan bahwa dalam
seorang pengungkap mungkin saja terlibat atau kondisi tertentu, whistleblower juga
menjadi bagian dalam kejahatan korupsi, namun mempertimbangkan alasan keuangan dan non-
dengan kesadaran sendiri yang bersangkutan keuangan serta analisis biaya dan manfaat (cost
melaporkan kejahatan yang melibatkan dirinya and benefit) sebelum memutuskan melakukan

4
tindakan whistleblowing. Rona (2011) juga seharusnya dapat diminimalisir dengan adanya
menulis makalah tentang peran penting dan unik sistem pelaporan dan perlindungan bagi
dari whistleblower dalam mengungkap praktik whistleblower yang kuat (Semendawai dkk,
penipuan dan nilai sosial yang mereka berikan. 2011: 9). Pada umumnya, kebijakan
Menurut Rona (2011), salah satu faktor atau whistleblowing dibuat dan diberlakukan
prasyarat utama yang dapat mendorong sekaligus untuk mengidentifikasi saluran
keberanian whistleblower mengungkapkan dan (channel) dan prosedur pelaporan yang tepat
membongkar praktik penyimpangan di dalam sehingga dapat meningkatkan kepedulian
lingkungan organisasinya adalah adanya terhadap praktik dalam organisasi yang
kepastian perlindungan hukum. Hal ini diperkuat dipengaruhi oleh kekuatan diskresi oleh anggota
dengan oleh Vaughn (1999) yang menyatakan organisasi (Tsahuridu dan Vandekerckhove,
bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk 2008). Namun demikian, menurut Berry (2004)
memasukkan unsur perlindungan hukum dalam Tsahuridu dan Vandekerckhove (2008)
terhadap whistleblower pada peraturan sampai saat ini belum ada konsensus yang
perundang-undangan negara. menunjukan bahwa kebijakan whistleblowing di
lingkungan organisasi dipastikan mampu
Posisi Dilematis Whistleblower
mendorong pegawai berperilaku sesuai hati
Beberapa peneliti berpendapat bahwa nurani dan harapan masyarakat.
whistleblowing merupakan isu penting dan dapat
Risiko dan Pembalasan terhadap
menimbulkan dampak buruk, baik terhadap
Whistleblower
individu yang melapor maupun organisasi yang
dilaporkan (Vinten, 1994). Tindakan Fenomena pembalasan balik terhadap para
whistleblowing dalam lingkungan organisasi whistleblower terjadi di berbagai negara.
disebut sebagai perilaku menyimpang Menurut pengamatan Smith (2006) di Amerika
(missbehavior) tipe O jika termotivasi oleh setiap hari karyawan menerima pembalasan
identifikasi perasaan yang kuat terhadap nilai ketika mereka melakukan pelaporan atas
dan misi yang dimiliki organisasi dan kepedulian kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan
terhadap kesuksesan organisasi. Adapun perusahaan atau atasan mereka. Pada umumnya
tindakan whistleblowing yang bersifat whistleblower mencari perlindungan hukum
”pembalasan dendam” dikategorikan sebagai melalui pengacara karena adanya ancaman
perilaku menyimpang tipe D karena dapat terhadap karirnya akibat tindakan
membahayakan orang lain atau organisasi. whistleblowing yang dilakukannya.
Sebagian pihak juga menilai Whistleblower harus mengeluarkan dana yang
whistleblowing sebagai perilaku menyimpang. tidak sedikit untuk membayar pengacara dan
Para atasan menganggapnya sebagai tindakan mendapatkan bantuan hukum. Selama proses
yang merusak yang kadang berupa langkah pelaporan berlangsung, para whistleblower pada
pembalasan dendam yang nyata (Near & Miceli, umumnya mengalami dilema dalam bersikap
1986). Para atasan berpendapat bahwa pada saat dan memposisikan dirinya terhadap atasan atau
tindakan tidak etis terungkap, maka mereka pimpinan dan situasi ini juga terjadi pada kondisi
harus berhadapan dengan pihak intern mereka sebaliknya.
sendiri. Penelitian Near & Miceli (1986) Organisasi memiliki kecenderungan
mengungkapkan bahwa whistleblower lebih melakukan pembalasan dalam berbagai bentuk
memilih melakukan aksi balas dendam apabila terhadap whistleblower. Argumentasi ini
mereka tidak mendapat dukungan yang mereka didukung oleh hasil penelitian Pamerlee dkk
inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi (1982) yang mengeksplorasi proses
tergolong serius, dan menggunakan sarana whistleblowing dan reaksi organisasi khususnya
eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada. terkait pembalasan terhadap whistleblower.
Dilema etis biasanya dialami seorang Pembalasan dilakukan baik terhadap
whistleblower pada saat mengungkapkan whistleblower yang posisi dan keberadaannya
skandal kejahatan yang terorganisir. Dilema etis masih dihargai organisasi karena faktor usia,

5
pengalaman, masa kerja, atau pendidikan, dan jaminan kepada whistleblower dari
maupun terhadap whistleblower yang kemungkinan pembalasan.
melaporkan kasus yang dinilai kurang Fenomena whistleblowing menarik diteliti
mengancam, tidak prestisius atau memiliki mengingat selama ini studi-studi yang sangat
dukungan publik. Survei yang dilakukan Jos dkk mainstream di hampir seluruh dunia dengan
(1989) menemukan beberapa bukti pembalasan topik korupsi, mayoritas lebih memfokuskan
berat yang dialami para whistleblower pada sisi “hitam” dari korupsi itu sendiri.
(responden penelitian mereka). Sebagian besar Sebagian besar riset-riset terdahulu lebih tertarik
whistleblower kehilangan pekerjaan, mengalami melakukan kajian tentang korupsi dari aspek
pelecehan, dimutasi, pengurangan gaji dan pelaku atau subyek korupsi dengan segala
tanggung jawab pekerjaan. Davis (1989) permasalahan dan problematikanya meliputi
berpendapat bahwa salah satu cara yang paling perdebatan tentang definisi dan jenis korupsi,
mudah untuk menghindari dari kewajiban faktor penyebab, dampak atau konsekuensi yang
melakukan tindakan whistleblowing adalah diakibatkan serta strategi pemberantasan
dengan bergabung dengan organisasi yang sehat tindakan korupsi.
sehingga kemungkinan besar tidak perlu
Faktor Lingkungan dan Budaya lokal
melakukan tindakan whistleblowing. Memilih
organisasi yang tepat memungkinkan seseorang Hasil riset Park dkk (2008) menunjukkan
terhindar dari kemungkinan atau kesempatan adanya variasi yang signifikan dalam hal
harus melakukan whistleblowing. Namun perbedaan kewarganegaraan dan orientasi
demikian, opsi tersebut tidak sesederhana budaya terhadap cara penyampaian
rekomendasi Davis (1989) karena organisasi whistleblowing. Beberapa riset lintas budaya dan
terdiri dari banyak orang dan tidak ada satu negara mengenai whistleblowing juga pernah
orang pun yang sempurna dan tidak pernah dilakukan peneliti lainnya antara lain Park dkk
melakukan kesalahan. (2008) dan Zhang dkk (2009). Penelitian di
China yang dilakukan Zhang dkk (2009) juga
Respons Manajemen dan Organisasi
memperkaya literatur tentang proses psikologis
Dalam konteks organisasi, sebagai manajer dalam proses whistleblowing. Zhang melakukan
yang sukses dan beretika seharusnya memiliki pengujian dalam konteks karakteristik budaya
kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya China yang unik. Persepsi orang di China
kesalahan dalam organisasi dan berani tentang budaya etis organisasi merupakan faktor
mengambil tindakan korektif sebelum masalah yang sangat signifikan memengaruhi
yang terjadi berkembang menjadi sebuah kondisi pertimbangan dan niat orang dalam melakukan
yang krisis (Miceli dkk, 2009). Tindakan whistleblowing.
preventif untuk mencegah kesalahan dalam
2. METODE PENELITIAN
organisasi adalah sesuatu penting, namun
pendeteksian dan koreksi atas kesalahan juga Penelitian ini menggunakan pendekatan
tidak kalah penting (Kaptein, 2011). Callahan kualitatif-eksploratori. Riset ini dimaksudkan
dan Collins (1992) berpendapat bahwa seorang untuk memahami berbagai isu dan mencari
manajer organisasi harus mengetahui sikap dan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang
pandangan pegawai tentang whistleblowing. Hal berkaitan dengan dilematika tindakan
ini penting mengingat pandangan pegawai whistleblowing dan respons organisasional
seharusnya dapat memengaruhi bagaimana terhadap tindakan whistleblower dengan
pimpinan memilih cara menanggapi atau menguji berbagai setting individu dan sosial
merespons terhadap tindakan whistleblower (lingkup internal maupun eksternal organisasi).
dalam konteks hukum yang terus berkembang. Secara khusus penelitian ini
Temuan Callahan dan Collins berimplikasi memperlakukan setiap kasus whistleblowing
penting bagi manajemen dan kebijakan publik. yang menjadi objek studi penelitian dengan cara
Organisasi yang ingin mendorong budaya unique case orientation (Patton, 2002).
whistleblowing harus memberikan perlindungan Perlakuan ini mengasumsikan bahwa setiap

6
kasus whistleblowing adalah unik dan istimewa unit kerja dan sekolah di lingkungan kantor
sehingga perlu dilakukan penggalian informasi Kementerian A Kabupaten J yang terjadi
secara detil per kasus. Riset ini meneliti kasus dalam rentang waktu dari tahun 2003
tindakan whistleblowing yang dilakukan oleh hingga 2005.
lima tokoh. Pada tahap berikutnya, dilakukan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
analisis lintas kasus dengan memperhatikan
keunikan setiap kasus whistleblowing. Dalam perspektif moral atau etika, tindakan
Tokoh whistleblower yang dijadikan whistleblowing menggambarkan sebuah kondisi
responden kunci yaitu: yang dinamakan dengan istilah konflik nilai
1. KS, mantan auditor lembaga pemeriksa (clash of value) (Snape dan Hannah, 2014) yang
yang merupakan figur yang pertama kali terjadi pada individu whistleblower. Konflik
(pionir) mendapat sebutan whistleblower di nilai ikut memicu munculnya dilema integritas
Indonesia. Hal ini disebabkan KS berani yang merupakan cerminan berlangsungnya
melakukan pengungkapan kasus penyuapan relasi kekuatan (power) dan pertaruhan integritas
terhadap dirinya dan tim pemeriksa oleh di dalam diri individu whistleblower ketika akan
institusi penyelenggara pemilihan umum. memutuskan untuk bersuara (voice) atau diam
Kasus tersebut dilaporkan oleh KS dan tim (silence) atas kondisi kecurangan yang
pemeriksa kepada Komisi Pemberantasan diketahuinya. Dari hasil penelitian ditemukan
Korupsi; beberapa bentuk konflik nilai yang terjadi
2. VAS, mantan pejabat keuangan (financial sebagaimana diilisutrasikan pada gambar 1.
controller) di perusahaan perkebunan besar
(PT. AAG). VAS membongkar adanya
skandal manipulasi pajak yang dilakukan Integritas Loyalitas
sebagai sebagai
oleh perusahaan raksasa dengan jumlah anggota anggota
kerugian negara yang besar. Kasus masyarakat organisasi

pelaporan kasus penggelapan pajak ini


bergulir dari tahun 2006 hingga akhirnya
Integritas diri
menjadi putusan tetap pengadilan pada sebagai individu
tahun 2012;
3. MUR, seorang guru PNS yang saat ini
mendapatkan amanah menjadi kepala Gambar 1. Konflik Nilai (Clash of Value)
sekolah di salah satu Sekolah Menengah Seorang Whistleblower
Pertama Negeri (SMPN) di lingkungan Sumber: hasil penelitian Nurhidayat (2017)
Dinas Pendididikan Nasional Kabupaten S. Konflik nilai yang pertama adalah
MUR merupakan tokoh pemberani yang pertaruhan (dilema) antara integritas diri versus
melaporkan adanya kasus pungutan liar loyalitas terhadap organisasi. Hal ini terjadi
(pungli) atas tunjangan sertifikasi guru di karena adanya pertaruhan nilai yang dibawa oleh
wilayah Kabupaten S yang berlangsung dari individu whistleblower untuk mempertahankan
tahun 2009 hingga 2010; integritas diri yang berpihak pada kejujuran,
4. AA, mantan pegawai honorer yang bertugas kepedulian dan keberanian tanpa pamrih
menjadi pemandu wisata di lingkungan (altruism) melawan tuntutan loyalitas sebagai
Museum RPS. AA membongkar skandal anggota organisasi dalam konteks semangat dan
pemalsuan dan pencurian arca koleksi jiwa korsa (esprit de corps) untuk menjaga nama
Museum RPS pada tahun 2007; baik atau citra organisasi dari sorotan publik atas
5. MUC, seorang guru pegawai negeri sipil terjadinya ”kegaduhan internal” yang terjadi.
(PNS) di lingkungan kantor Kementerian A Konflik nilai yang kedua adalah pertaruhan
Kabupaten J. MUC mengabdi sebagai guru (dilema) integritas diri versus integritas sebagai
di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN). anggota masyarakat. Diamnya orang dalam
MUC membongkar sederet kasus korupsi (insider) organisasi atas kondisi internal yang
dan kecurangan yang terjadi di beberapa membahayakan publik merupakan

7
pengkhianatan terhadap integritas sebagai Dari kelima whistlebowing, merujuk pada
anggota masyarakat dan wujud kepedulian atas pendapat Foucault dalam Dreyfus dan Paul
keselamatan dan kepentingan publik. Konflik (1982) maka dapat dikatakan bahwa relasi
nilai ketiga adalah pertaruhan (dilema) antara kekuasaan (power) terdapat pada setiap relasi
loyalitas sebagai anggota organisasi versus sosial menjadi terbukti. Oleh karena itu,
integritas sebagai anggota masyarakat. Kondisi kekuasaan (power) tidak memusat dan tidak pula
ini mencerminkan adanya pertaruhan nilai antara termiliki oleh salah satu pihak tetapi tersebar di
tuntutan loyalitas sebagai anggota organisasi dan setiap relasi sosial yang ada. Kekuasaan (power)
tuntutan terhadap keselamatan dan kepentingan bukan karena merengkuh segalanya namun
publik yang lebih luas sebagai perwujudan karena kekuasaan berasal dari mana pun. Tidak
integritas sebagai anggota masyarakat seperti halnya dengan relasi dominasi dimana
Berdasarkan kasus whistleblowing yang relasi kekuasaan memberikan banyak
diteliti, terdapat dua wacana dominan yang kemungkinan pilihan tindakan dari para aktor
berkontestasi dan saling memengaruhi opini para yang memiliki kepentingan atas suatu kondisi
aktor yang berkepentingan atas kasus yang tertentu. Analisis atas kekuasaan (power) yang
terjadi. Whistleblower dan aktor lain yang berlangsung pada kelima kasus whistleblowing,
mendukung atau pro terhadap tindakan peta pola dan skema relasi antar whistleblower
whistleblower merupakan aktor yang dan aktor-aktor yang berkepentingan dalam
memproduksi pengetahuan yang memandang tindakan whistleblowing ini diilustrasikan dalam
bahwa whistleblower adalah seorang pahlawan Gambar 2.
bagi organisasi. Selain itu, Whistleblower dan
aktor lain yang mendukung juga mewacanakan Wrongdoer
pengetahuan bahwa tindakan whistleblowing
yang dilakukannya adalah tindakan prosocial
serta kecurangan yang dilakukan pelaku adalah
praktik tidak sehat atau kejahatan yang harus Whistle- Rekan
Atasan
blower Sejawat
dihentikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
pemikiran Hersh dalam tulisan yang berjudul:
“Whistleblowers - Heroes or Traitors?:
Individual and Collective Responsibility for Bawahan
Ethical Behaviour”. Hersh menegaskan bahwa
whistleblower dikatakan sebagai seorang
pahlawan bagi organisasi apabila tindakan Gambar 2. Pola dan Skema Relasi antar
whistleblowing yang dilakukannya berbasis Whistleblower dan Aktor Lainnya dalam
tindakan prosocial. Tindakan Whistleblowing
Pada posisi pihak yang berseberangan, Sumber: hasil penelitian Nurhidayat (2017)
tindakan whistleblower diposisikan sebaliknya.
Perilaku pengungkapan (whistleblowing
Wacana dominan yang terbentuk adalah
behavior) tindakan kejahatan korupsi atau
pengetahuan yang diorganisasikan dan
kecurangan di organisasi publik khususnya di
diproduksi oleh pelaku kecurangan dan pihak
lingkungan birokrasi masih berlangsung
yang kontra dengan whistleblower yang
sporadis dan individual. Alih-alih ingin
meyakini bahwa whistleblower adalah seorang
mendorong menjadi sebuah budaya
penghianat dan tindakan yang dilakukannya
pengungkapan, komunitas (kolega organisasi) di
adalah “aneh dan nyentrik” serta melawan arus
sekelilingnya terlihat ragu untuk secara terang-
organisasi.
terangan mendukung aksi pengungkapan
Para aktor tersebut saling memperebutkan
(tindakan whistleblowing) yang dilakukan rekan
klaim kebenaran dengan mengkonstruksikan
sesama anggota organisasi. Tidak dapat
wacana dan pengetahuan yang sahih tentang
dipungkiri, keberanian untuk jujur dan melawan
rasionalisasi atas tindakan yang dilakukan
kecurangan bagi individu secara nyata masih
whistleblower serta kasus yang dilaporkannya.

8
cukup sulit dipraktikkan di tengah kultur terjadi pada individu whistleblower. Konflik
paternalistik yang telah mengakar kuat. nilai tersebut ikut memicu munculnya dilema
Dalam konteks individual, hasil penelitian integritas yang merupakan cerminan
menemukan berbagai bentuk konflik nilai (clash berlangsungnya relasi kekuatan (power) dan
of value). Konflik nilai yang pertama adalah pertaruhan integritas di dalam diri individu
pertaruhan (dilema) antara integritas diri versus whistleblower ketika akan memutuskan untuk
loyalitas terhadap organisasi. Kondisi ini terjadi bersuara (voice) atau diam (silence) atas kondisi
karena adanya pertaruhan nilai antara kecurangan yang diketahuinya.
mempertahankan integritas diri untuk berpihak Berdasarkan fakta empiris lima kasus
pada nilai-nilai kejujuran dan kebenaran dengan whistleblower pada riset ini menggambarkan
tuntutan loyalitas sebagai anggota organisasi terjadinya ambivalensi sikap organisasi dalam
terkait dengan semangat dan jiwa korsa (esprit menilai eksistensi whistleblower. Keberadaan
de corps) serta kepentingan menjaga citra dan whistleblower di dalam organisasi tidak mutlak
nama baik organisasi. dianggap sebagai seorang “pengkhianat” oleh
Konflik nilai yang kedua adalah pertaruhan anggota organisasi lainnya atau sebaliknya juga
(dilema) integritas sebagai individu di satu sisi tidak pula secara mutlak dianggap sebagai
versus integritas sebagai anggota masyarakat seorang “pahlawan”. Posisi whistleblower
yang mewakili kepentingan publik di sisi lain. diibaratkan seperti “orang yang dibenci tapi
Konflik nilai ketiga adalah pertaruhan antara sekaligus dibutuhkan” pada waktu dan tempat
loyalitas sebagai anggota organisasi versus yang sama (Nurhidayat & Kusumasari, 2018,
integritas sebagai anggota masyarakat. Hal ini 2019).
terjadi karena adanya pertaruhan nilai antara
5. REFERENSI
tuntutan loyalitas sebagai anggota organisasi dan
tuntutan perlunya perlindungan atas kepentingan Adebayo, D. O. 2005. Gender and attitudes
publik yang lebih luas sebagai perwujudan toward professional ethics: A Nigerian
integritas sebagai anggota masyarakat police perspective. African Security
Dalam konteks organisasional, hasil Review, Vol 14 (2): 93-100.
penelitian menemukan adanya interaksi sosial Awaludin, Arif. 2011. Rekonstruksi
yang terjadi akibat adanya relasi kuasa antara Perlindungan Hukum Terhadap
whistleblower dan pelaku kecurangan Penyingkap Korupsi. Disertasi (tidak
(wrongdoers). Bentuk riil dari interaksi yang dipublikasikan), Program Doktor Ilmu
terjadi pada kelima kasus whistleblowing dalam Hukum UNDIP, Semarang
riset ini adalah dalam bentuk pertikaian atau Awaludin, Arif. 2016. Ideologi Etis Penyingkap
pertentangan (conflict). Dalam konteks interaksi Korupsi Birokrasi. Pandecta, Vol 11,
antara whistleblower dan kolega atau anggota Nomor 2, Desember: 189-201.
organisasi lainnya, ditemukan bentuk interaksi Bahl, K T dan Dadhich, Anubha. 2011. Impact
yang lebih kompleks dan beragam dibandingkan of Ethical Leadership and Leader–Member
dengan relasi kuasa antara whistleblower dan Exchange on Whistle Blowing: The
pelaku kecurangan (wrongdoers). Bentuk Moderating Impact of the Moral Intensity
interaksi yang terjadi pada kelima kasus of the Issue. Journal of Business Ethics
whistleblowing bervariasi dari mulai adanya 103: 485–496
apatisme (ketidakpedulian), resistensi, sampai Berry, B. 2004. Organizational Culture: A
dalam bentuk perlawanan balik (retaliation) dari Framework and Strategies for Facilitating
para pihak yang kontra dengan sepak terjang Employee Whistleblowing. Employee
yang dilakukan para whistleblower. Responsibilities and Rights Journal 16(1):
1-11.
4. KESIMPULAN
DOI: 10.1023/B:ERRJ.0000017516.40437.
Tindakan whistleblowing dalam perspektif b1
etika terdapat sebuah kondisi yang dinamakan Callahan, E S dan John W. Collins. 1992.
dengan istilah konflik nilai (clash of value) yang Employee Attitudes toward

9
Whistleblowing: Management and Public Responsibility for Ethical Behaviour.
Policy Implications. Journal of Business Annual Reviews in Control 26: 243-262
Ethics, Vol. 11, No. 12: 939-948. Johnson, Roberta Ann dan Kraft, Michael F..
Chiu, R K. 2003. Ethical Judgment and 1990. Bureaucratic Whistleblowing and
Whistleblowing Intention: Examining the Policy Change. The Western Political
Moderating Role of Locus of Control. Quartely Vol.43 No. 4 (Dec): 849-874
Journal of Business Ethics, Vol. 43, No. Jos, Philip H., Mark E. Tompkins and Steven W.
1/2, Business Ethics in the Global Hays. In Praise of Difficult People. 1989. A
Knowledge Economy: 65-74. Portrait of the Committed Whistleblower.
Davidson, L.M. 2009. Professional Ethics and Public Administration Review, Vol. 49, No.
Complicity in Wrongdoing. Journal or 6: 552-561.
Markets and Morality, Vol.11 (1): 93-100. Jubb, P, 1999. Whistleblowing: A Restrictive
Davis, M. 1989. Avoiding the Tragedy of Definition and Interpretation. Journal of
Whistleblowin. Business & Professional Business Ethics. vol. 21, no. 1: 77-94
Ethics Journal, Vol. 8, No. 4: 3-19 Kaptein, M. 2011. From Inaction to External
Davis, M. 1996. Some Paradoxes of Whistleblowing: The Influence of the
Whistleblowin. Business & Professional Ethical Culture of Organizations on
Ethics Journal, Vol. 15, No. 1 (Spring): 3- Employee Responses to Observed
19 Wrongdoing. Journal of Business Ethics 98:
De Maria, W. 2006. Brother Secret, Sister 513–530.
Silence: Sibling Conspiracies against King III, G. 1999. The Implications of an
Managerial Integrity. Journal of Business Organization's Structure on
Ethics, 65: 219–234 Whistleblowing. Journal of Business
Dozier, Janelle Brinker dan Miceli, Marcia P. Ethics, Vol. 20, No. 4: 315-326.
1985. Potential Predictors of Whistle- Kumorotomo, W. 2001. Etika Administrasi
Blowing: A Prosocial Behavior Negara: Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Perspective. The Academy of Management Lipman, F D. 2015. Women as Whistleblowers:
Review, Vol. 10, No. 4 : 823-836 Does Gender Affect Retaliation?. The
Dreyfus, Hubert L. dan Paul Rabinow, 1982. Legal Intelligencer on June 30
Michel Foucault: Beyond Structuralism and MacNab, B R dan Worthley, Reginald. 2008.
Hermeneutics Chicago: University of Self-Efficacy as an Intrapersonal Predictor
Chicago Press. for Internal Whistleblowing: A US and
Dyne, L V, Soon Ang dan Isabel C. Botero. Canada Examination. Journal of Business
2003. Conseptualizing Employee Silence Ethics: 407-421
and Employee Voice as Multideminsional Mesmer-Magnus, Jessica R. dan Viswesvaran,
Constructs. /Journal of Management Chockalingam. 2005. Whistleblowing in
Studies 40: 1359-1392. Organizations: An Examination of
Elliston, F. 1982. A Anonymity and Correlates of Whistleblowing Intentions,
Whistleblowing. Journal of Business Actions, and Retaliation. Journal of
Ethics, Vol. 1, No. 3: 167-177 Business Ethics, Vol. 62, No. 3 : 277-297.
Hassink , Harold, Meinderd de Vries, dan Laury Miceli, Marcia Parmerlee., Janet P. Near dan
Bollen. 2007. A Content Analysis of Charles R. Schwenk. 1991. Who Blows the
Whistleblowing Policies of Leading Whistle and Why?. Industrial and Labor
European Companies. Journal of Business Relations Review, Vol. 45, No. 1: 113-130.
Ethics, Vol. 75, No. 1: 25-44 Miceli, M P, Janet P. Near dan Terry Morehead
Hechter, M. 1997. Sociological Rational Choice Dworkin. 2009. A Word to the Wise: How
Theory. Annual Reviews Social. 23:191– Managers and Policy-Makers Can
214 Encourage Employees to Report
Hersh, M.A. 2002. Whistleblowers- Heroes or Wrongdoing. Journal of Business Ethics,
Traitors?: Individual and Collective Vol. 86, No. 3: 379-396

10
Nurhidayat, Ilham and Kusumasari, Bevaola Patton, Michael Quinn. 1990. Qualitative
(2017). Revisiting Understanding of The Evaluation and Research Methods, 2nd Ed.
Whistleblowing Concept In The Context of California, USA: Sage Publication Inc.
Indonesia. Policy & Governance Review, Rehg M T, Marcia P. Miceli, Janet P. Near and
Volume 1, Issue 3, September ISSN 2580- James R. Van Scotter. 2008. Antecedents
3395 (Print), 2580-4820 (Online): 165-177 and Outcomes of Retaliation against
Nurhidayat, Ilham. (2017). Tindakan Whistleblowers: Gender Differences and
Whistleblowing: Dilematika dan Tantangan Power Relationships. Organization
Etika dalam Organisasi. Disertation Science, Vol. 19, No. 2 (Mar. – Apr ): 221-
(Doctoral Thesis), FISIPOL, Doctoral 240
Program of Public Administration. Richardson, W.E (2014). Sense and nonsense
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. about culture and climate. In N.M.
Nurhidayat, Ilham and Kusumasari, Bevaola Ashkanasy, C. P. M. Wilderom, and M. F.
(2018). Strengthening the effectiveness of Peterson (Eds.), Handbook of
whistleblowing system: A study for the organizational culture and climate (pp.
implementation of anti-corruption policy in xxiii–xxx).Thousand Oaks, CA: Sage.
Indonesia. Journal of Financial Crime. © Rona, I J. 2011. The Whistleblower Perspective:
Emerald Publishing Limited,Vol. 25 Issue: Why They Do It and Why We Need Them.
1:140-154, https://doi.org/10.1108/JFC-11- Working Paper Greene LLP.
2016-0069 Snape, D J & Hannah E S.F. 2014. Exploring the
Nurhidayat, Ilham and Kusumasari, Bevaola Dynamics of Personal, Professional and
(2019). Why would whistleblowers dare to Interprofessional Ethics. Policy Press, Mar
reveal wrongdoings? An ethical challenge 1. University of Bristol UK
and dilemma for organisations. Smith, N E. 2006. Balancing Legal, Ethical, and
International Journal of Law and Human Interests in Representing
Management © Emerald Publishing Whistleblowers. Litigation, Vol. 33, No. 1:
Limited, Vol. 61 No. 3-4: 505-515, 39-44
https://doi.org/10.1108/IJLMA-11-2018- Tavakoli, A., J.P. Keenan & B. Crnjak-
0253 Karanovic. 2003. Culture and
Ozdemir, M. 1999. The Implications of an Whistleblowing an Empirical Study of
Organization's Structure on Croatian and United States Managers
Whistleblowing. Journal of Business Utilizing Hofstede’s Cultural Dimensions.
Ethics, Vol. 20, No. 4: 315-326. Journal of Business Ethics, 43:1/2, 49
Park, H, John Blenkinsopp, M. Kemal Oktem (Mar.)
dan Ugur Omurgonulsen. 2008. Cultural Tsahuridu, Eva E dan Vandekerckhove, Wim.
Orientation and Attitudes toward Different 2008. Organisational Whistleblowing
Forms of Whitleblowing: A Comparison of Policies: Making Employees Responsible
South Korea, Turkey, and the UK. Journal or Liable?. Journal of Business Ethics, Vol.
of Business Ethic, Vol 85, No.4: 929-939. 82, No. 1: 107-118.
Park, Heungsik dan John Blenkinsopp. 2009. Vandekerckhove, W dan Lewis, D. 2012. The
Whistleblowing as Planned Behavior- A Content of Whistleblowing Procedures: A
Survey of South Korean Police Officer. Critical Review of Recent Official
Journal of Business Ethic, 85 (4): 545-556. Guidelines. Journal of Business Ethics.
Pamerlee, M A, Janet P. Near dan Tamila C. 108(2): 253-264.
Jensen. 1982. Correlates of Whistle- Vaughn, R. 1999. State Whistleblower Statutes
Blower’s Perceptions of Organizational and the Future of Whistleblower Protection.
Retaliation. Administrative Science 51 Admin. L. Rev. 581.
Quarterly, Vol. 27, No. 1 (Mar., 1982): 17- Zhang, Julia, Randy Chiu dan Liqun
34. WeiDecision. 2009. Making Process of
Internal Whistleblowing Behavior in China:

11
Empirical Evidence and Implications.
Journal of Business Ethics, Vol. 88,
Supplement 1 Business Ethics in Greater
China: 25-41
Zerema, H.P. 2011. The Difficulties Of Whistle
Blowers Finding Employment.
Management Research News, Vol. 24: 97-
100.

12
ANALISIS EFEKTIVITAS MODEL PEMELAJARAN: STUDI KOMPARATIF
MODEL DIKLAT TATAP MUKA DAN DIKLAT ONLINE

Sisca Yulindrasari
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
Sisca.Yulindrasari@bpkp.go.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pemelajaran antara diklat tatap muka (TM) dan
diklat online (OL). Diklat TM pemelajaran sepenuhnya dilakukan melalui tatap muka di dalam kelas,
sementara diklat OL seluruh proses pemelajaran dilakukan melalui internet. Pada penelitian ini jenis
diklat yang dibandingkan adalah diklat TM dan OL dengan materi Audit Pengadaan Barang dan Jasa
(APBJ). Hasil pemelajaran yang dibandingkan adalah nilai akhir (posttest) dan delta perubahan nilai
pretest dan posttest (delta). Materi pelatihan, pengajar dan tes yang diberikan konsisten antara
pelatihan TM dan OL. Penelitian menggunakan independent-samples t-tests. Hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan signifikan nilai posttest dan delta hasil pemelajaran antara diklat
TM dan OL. Nilai posttest diklat OL lebih tinggi dibandingkan diklat TM. Namun, delta diklat TM
menunjukkan hasil lebih tinggi dari pada delta diklat OL.

Kata kunci: dependent-samples t-test, diklat online, efektivitas, independent-samples t-tests,


posttest, tatap muka

Abstract
The purpose of this study was to compare the learning outcomes between face-to-face training (TM)
and online training (OL). The TM training had face-to-face instruction, whereas the OL training
participants received all instruction through the Internet. In this study, training being compared are
TM and OL training of the Audit of Goods and Services Procurement (APBJ). The learning outcomes
that are compared are the final score (posttest) and delta changes in the pretest and posttest (delta)
scores. The training materials, lecturers and tests provided are consistent between the TM and OL
training. This study used independent-samples t-tests. The results showed that there were significant
differences in the posttest and delta scores of learning outcomes between the TM and OL education
and training. The posttest score of OL training is higher than TM training. However, the TM training
delta shows higher results than the OL training delta.

Keywords: dependent-samples t-test, online training, effectiveness, independent-samples t-tests,


posttest, face-to-face

1. PENDAHULUAN ‘tugas’ yang harus dilakukan untuk dapat


berhasil dalam pekerjaan. Dapat dipahami,
Setelah Senge (1990) memperkenalkan
kebutuhan pelatihan bagi pegawai akan semakin
konsep workplace learning (pemelajaran bagi
meningkat.
pegawai), ‘work’ dan ‘learning’ yang
Di Indonesia, pemerintah mewajibkan
sebelumnya merupakan dua konsep terpisah,
pelatihan untuk seluruh Pegawai Negeri Sipil
kini menjadi satu rangkaian frasa. ‘Work’ adalah
(PNS) melalui Peraturan Pemerintah (PP) 17
kegiatan menghasilkan atau melakukan sesuatu
tahun 2020 pengganti PP 11 tahun 2017 tentang
untuk mencari nafkah, sedangkan ‘learning’
Manajemen PNS. Peraturan ini mendorong
terkait dengan pendidikan formal yang
pengembangan kompetensi setiap PNS dengan
dilakukan sebelum bekerja. Belajar dulu ‘hanya’
menetapkan standar minimal 20 jam pelatihan
dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan
per orang per tahun. Disamping itu Permenpan
pekerjaan. Sekarang, belajar berubah menjadi

13
RB Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengatur bahwa
Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara telah pengembangan kompetensi dalam bentuk
menetapkan standar kompetensi setiap jenjang pelatihan dapat dilakukan bentuk klasikal dan
jabatan. Peningkatan kebutuhan pelatihan ini nonklasikal (e-learning dan pelatihan jarak
jauh melampaui kapasitas pelatihan yang jauh).
dimiliki pemerintah. Hal ini menuntut lembaga Peraturan Lembaga Administrasi Negara
pelatihan untuk berinovasi dan mencari jalan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018
keluar. Salah satu opsi terbaik adalah melalui tentang Pedoman Penyelenggaraan
pelatihan online. Pengembangan Kompetensi Pegawai Negeri
Kebutuhan semakin meningkat dengan Sipil melalui e-Learning menjelaskan bahwa e-
adanya pandemi corona. Pandemi telah learning adalah pengembangan kompetensi PNS
mengubah banyak pola hidup manusia, mulai yang mengoptimalkan penggunaan teknologi
pola kerja, sekolah, belanja, ibadah dan hampir informasi dan komunikasi untuk mencapai
setiap sisi kehidupan lainnya. Berbagai cara tujuan pemelajaran dan peningkatan kinerja.
dilakukan untuk tetap dapat memenuhi protokol Penyelenggaraan e-learning dapat dilaksanakan
kesehatan sekaligus tetap dapat memenuhi untuk pengembangan kompetensi manajerial,
tuntutan kualitas kerja, sekolah dan ibadah. sosial kultural dan teknis seperti pelatihan yang
Masyakat semakin akrab dengan kegiatan dilakukan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan
sekolah jarak jauh, belanja online, rapat Pengawasan (Pusdiklatwas) BPKP.
teleconference dan berbagai ibadah juga Pelatihan di Pusdiklatwas BPKP
dilakukan dengan cara online. Online adalah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Diklat
jawaban terbaik untuk tetap menjaga kualitas Fungsional Auditor (FA), Teknis Substansi (TS)
kehidupan dengan tetap memenuhi semua dan Kedinasan. Metode pelatihan yang
protokol kesehatan. Riset ini fokus terhadap dilaksanakan adalah tatap muka, e-learning dan
pelatihan online. tatap muka jarak jauh. Metode tatap muka
Perkembangan pelatihan online telah dilakukan dengan instruktur dan peserta berada
menghasilkan beberapa bentuk pemelajaran, di dalam kelas. Metode tatap muka jarak jauh
synchronous, asynchronous, chatting, audio dikembangkan dengan aplikasi zoom video
visual, video conference, webinar, MOOC dan conference. Metode ini semakin berkembang
lain sebagainya. Pelatihan online juga ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan
berkembang dalam jumlah peserta dan jenis diterapkan untuk semua jenis diklat di
pelatihan. Perkembangan pesat ini masih Pusdiklatwas BPKP. Metode e-learning
menyisakan sebuah pertanyaan. Bagaimana sebenarnya telah dikembangkan Pusdiklatwas
perbandingan hasil pemelajaran antara diklat BPKP sejak 2014 dengan menggunakan aplikasi
online dengan tatap muka? Jawaban atas moodle untuk diklat Teknis Substansi (TS) dan
pertanyaan inilah yang akan diteliti dalam riset Jabatan Fungsional Auditor (JFA). Riset ini
ini. meneliti perbandingan hasil pemelajaran antara
Peraturan Presiden Republik Indonesia metode tatap muka dan online atas diklat Audit
Nomor 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengadaan Barang dan Jasa yang merupakan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan salah satu diklat TS.
(BPKP) mengatur bahwa BPKP mempunyai Pemelajaran online di lembaga-lembaga
tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di pendidikan tinggi meningkat dengan cepat
bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan (Means et al. 2009). Pendaftaran kelas online
pembangunan nasional. Dalam melaksanakan mengalami peningkatan yang jauh lebih cepat
tugas tersebut BPKP menyelenggarakan fungsi, dibandingkan kelas tatap muka pada rata-rata
salah satunya adalah pelaksanaan Pendidikan pendidikan tinggi (Allen dan Seaman 2010).
dan pelatihan di bidang pengawasan dan sistem Konsekuensinya, efektivitas pemelajaran online
pengendalian intern pemerintah. menjadi masalah yang semakin penting dan telah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia menjadi bahan perdebatan yang terus
Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen berkembang (Driscoll et al. 2012). Walaupun

14
artikel tentang praktik terbaik untuk pengajaran membandingkan persamaan dan perbedaan
online telah meneliti berbagai teknik dan strategi antara 2 fakta dan sifat objek yang diteliti.
pemelajaran online (Jaffee 1997; Little, Apabila dilihat dari karateristik data penelitian
Titarenko, and Bergelson 2005; Pearson 2010), yang digunakan, metode penelitian yang paling
namun penelitian empiris yang meneliti sesuai adalah menggunakan t-test independent
efektivitas pemelajaran kelas tatap muka (TM) samples (Stockemer, 2019 dan Pallant, 2016)
dibandingkan online (OL) masih dirasakan karena memenuhi syarat sebagai berikut:
kurang. 1. Variabel dependen kontinu (variabel berupa
Literatur yang meneliti tentang efektivitas nilai dengan skala 0-100).
pemelajaran online terbagi dua kelompok. 2. Variabel independen terdiri dari kelompok
Sejumlah besar penelitian empiris yang yang saling eksklusif (kelompok peserta
membandingkan antara pemelajaran online pelatihan tatap muka dan kelompok
dengan tatap muka membuktikan bahwa peserta pelatihan online adalah independen).
pemelajaran online berkinerja sama baiknya atau 3. Tidak ada pengaruh langsung dari satu nilai
bahkan lebih baik daripada siswa tatap muka dalam satu kelompok terhadap nilai lain
(Ramage 2002; Tucker 2001). Selain itu, dalam kelompok yang sama.
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa 4. Tidak banyak outlier yang signifikan
kepuasan siswa tidak berbeda secara signifikan (karena jumlah > 100, maka asumsi ini
di antara dua media pemelajaran (Allen et al. terpenuhi).
2002; York 2008). Penelitian-penelitian tersebut 5. Variabel dependen terdistribusi mendekati
memberikan dukungan lebih lanjut bahwa kelas normal.
online dapat menjadi lingkungan belajar yang
Riset ini menggunakan pendekatan
sama efektifnya. Namun, harus diakui, banyak
penelitian komparatif. Penelitian komparatif
penelitian memiliki berbagai kelemahan
memiliki prosedur yang tidak jauh beda dengan
metodologis, seperti mengandalkan sampel yang
penelitian lainnya, yaitu sebagai berikut:
kecil dan membandingkan pelatihan dengan
1. Penentuan masalah penelitian
perbedaan substansial dalam konten, bahan,
Pada tahap perumusan masalah penelitian
instruktur, dan metode mengevaluasi kinerja
atau pertanyaan penelitian, peneliti
siswa (Bernard et al. 2004; Jahng, Krug, dan
menetapkan pertanyaan penelitian ini
Zhang 2007; Means et al. 2009; Urtel 2008).
adalah: Metode mana yang lebih efektif
Penelitian yang menggunakan perbandingan
dalam pelatihan, Tatap Muka (TM) atau
sampel yang lebih besar dan program yang
Online (OL)? Penentuan metode yang lebih
direplikasi menunjukkan bahwa peserta
efektif akan digunakan dua kriteria, 1)
pelatihan online mencetak nilai yang lebih tinggi
metode dengan peningkatan pretest ke
pada penilaian yang identik (Urtel 2008).
posttest tertinggi, atau 2) metode dengan
Penelitian ini berusaha menutupi sejumlah
nilai akhir tertinggi.
kekurangan metodologis yang diuraikan di atas.
2. Penentuan kelompok yang mempunyai
Pelatihan yang diteliti menggunakan instruktur,
karakteristik yang akan diteliti
materi pelajaran, dan metode penilaian relatif
Kelompok yang akan diteliti adalah peserta
konstan antara metode TM dan OL. Objek
pelatihan online dengan metode MOOC
penelitian adalah peserta diklat TM dan OL
(Massive Open Online Courses) dengan
dengan jumlah relatif besar yaitu lebih dari 1600
materi Audit Pengadaan Barang dan Jasa.
orang. Peserta diklat TM dan OL memiliki
Penelitian ini akan fokus pada hasil posttest
kemampuan dasar yang relatif sama karena
dan delta peningkatan nilai pretest dan
seluruh peserta adalah anggota Aparat
posttest. Setelah menentukan kelompok
Pengawasan Intern Pemerintah bersertifikat.
yang akan diteliti langkah berikutnya
2. METODE PENELITIAN menentukan data kelompok pembanding
dengan mempertimbangkan karakteristik
Penelitian ini menggunakan metode
yang membedakan dengan kelompok
penelitian komparatif yaitu untuk
penelitian. Kelompok pembanding yang

15
dipilih dalam penelitian ini adalah peserta 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
pelatihan Audit Pengadaan Barang dan Jasa
Sebelum membandingkan antara metode
secara tatap muka. Pengajar, materi
TM dan metode OL, dilakukan pengujian
pelatihan dan soal test relatif konsisten
efektivitas masing-masing metode. Pengujian
antara kelompok yang diteliti dengan
menggunakan Uji Paired Sample T-test untuk
kelompok pembanding.
membandingkan selisih dua mean dari dua
3. Pengumpulan data
sampel yang berpasangan. Sampel berpasangan
Pengumpulan data dilakukan dengan
berasal dari subyek yang sama, setiap peserta
memanfaatkan aplikasi Simdiklat yang
diklat TM dan OL masing-masing diuji sebelum
menyimpan seluruh hasil pretest dan
pelatihan (pretest) dan setelah pelatihan
posttest pelatihan tatap muka dan aplikasi
(posttest).
MOOC yang menyimpan seluruh hasil
pretest dan posttest pelatihan online. Paired Sample T-test TM
Instrumen penelitian adalah soal posttest Output SPSS Paired Sample T-test TM
yang telah digunakan dalam setiap diklat dapat dilihat pada gambar 1, yang menunjukkan
selama ini. bahwa:
4. Analisis data 1. Jumlah sampel pelatihan TM sebanyak
Tahap terakhir adalah analisis data. 1.029, rata-rata nilai pretest sebesar 52.24
Analisis data dapat digambarkan sebagai dan posttest meningkat menjadi sebesar
berikut: 73.02. Standar deviasi makin lebar dari
a. membandingkan antara nilai pretest 16.06 menjadi 20.03 dan error bertambah
dan posttest untuk masing-masing dari 0.50 menjadi 0.62.
metode pelatihan (TM dan OL). 2. Tabel Paired Samples T-test menunjukkan
Membandingkan dengan hasil nilai signifikansi (2-tailed) sebesar
menggunakan dependent-samples t- 0.000 (p < 0.05). Dapat disimpulan bahwa
test. hasil pretest dan posttest mengalami
b. membandingkan delta (peningkatan perubahan yang signifikan (berarti).
pretest dan posttest) TM dan OL Dengan kata lain, pelatihan TM terbukti
dengan menggunakan independent- dapat meningkatkan pengetahuan peserta
samples t-test. pelatihan.
c. membandingkan nilai akhir (posttest)
TM dan OL dengan menggunakan
independent-samples t-test.

Gambar 1. Output SPSS Paired Sample T-test TM

16
Paired Sample t-test OL menjadi 6.20 dan error turun dari 0.61
menjadi 0.24.
Output SPSS Paired Sample t-test OL dapat
2. Tabel Paired Samples t-test menunjukkan
dilihat pada gambar 2, yang menunjukkan
hasil nilai signifikansi (2-tailed) sebesar
bahwa:
0.000 (p < 0.05). Dapat disimpulkan bahwa
1. Jumlah sampel pelatihan OL sebanyak 648,
hasil pretest dan posttest mengalami
rata-rata nilai pretest sebesar 82.40 dan
perubahan yang signifikan (berarti).
posttest meningkat menjadi sebesar 92.66.
Dengan kata lain, pelatihan OL terbukti
Standar deviasi makin sempit dari 15.638
dapat meningkatkan pengetahuan peserta
pelatihan.

Gambar 2: Output SPSS Paired Sample T-test OL

Dari pengujian Paired Samples T-test peserta pelatihan tatap muka (TM) dan online
sebelumnya diketahui bahwa metode pelatihan (OL).
TM dan OL keduanya efektif dalam 1. Hipotesis
meningkatkan pengetahuan peserta pelatihan. Hipotesis yang digunakan adalah hipotesis
Namun, pertanyaan penelitian belum terjawab. uji dua arah (uji dua sisi), untuk mengetahui
Metode mana yang lebih efektif? TM atau OL? apakah pelatihan TM dan OL memiliki
Pertanyaan ini akan dijawab dengan proporsi yang sama atau tidak. Hipotesis
pengujian selanjutnya, yaitu independent- yang digunakan berikut ini:
samples t-test, pengujian komparatif atas dua Ho: P1 = P2
proporsi dari dua populasi yang berbeda serta H1: P1 ≠ P2
independen. Pengujian ini digunakan pada saat P1 adalah proporsi pada peserta pelatihan
membandingkan apakah proporsi pada populasi TM. P2 adalah proporsi pada peserta
pertama lebih kecil, sama atau lebih besar pelatihan OL.
dibandingkan proporsi pada populasi kedua. 2. Tingkat Kepercayaan atau Tingkat
Pada penelitian ini yang diteliti adalah sebagai Signifikansi
berikut: Variabel kontinu berupa nilai posttest Tingkat kepercayaan yang sering
dan delta kenaikan nilai pretest ke posttest. Dua digunakan dalam pengujian statistik adalah
kelompok yang akan dinilai adalah kelompok

17
95 persen atau (1 – α) = 0,95 dengan α = 1. Levene’s test for equality of variances:
0,05. significance level menunjukkan nilai
3. Pengujian SPSS sebesar: 0.000, lebih kecil dibandingkan
Sampel pelatihan TM sebanyak 1.029 orang p=.05. Artinya varians untuk dua kelompok
sedangkan pelatihan OL sebanyak 648 (TM/OL) tidak sama. Oleh karena itu kita
orang. Jumlah ini adalah seluruh populasi harus menggunakan informasi di baris
peserta diklat Audit Pengadaan Barang dan kedua dari tabel uji-t.
Jasa di tahun 2019. Variabel kontinu yang 2. Significant Difference: Sig. (2-tailed) yang
di teliti adalah nilai Posttest dan Delta digunakan adalah yang baris kedua, karena
hasilnya adalah sebagai berikut: Lavene’s Test menunjukkan varians tidak
sama. Sig. (2-tailed) menunjukkan nilai
Independent-samples t-test Posttest
0.000 dan lebih kecil dari pada 0.05 maka
Output independent-samples t-test Posttest terbukti adanya perbedaan signifikan antara
dapat dilihat pada gambar 3, yang menunjukkan rata-rata nilai POSTTEST peserta pelatihan
bahwa: TM dan OL.

Gambar 3. Output independent-samples t-test Posttest

Independent-samples t-test Delta harus menggunakan informasi di baris


kedua dari tabel uji-t.
Output independent-samples t-test Delta
2. Significant Difference: Sig. (2-tailed) yang
dapat dilihat pada gambar 4, yang menunjukkan
digunakan adalah yang baris kedua, karena
bahwa:
Lavene’s Test menunjukkan varians tidak
1. Levene’s test for equality of variances:
sama. Sig. (2-tailed) menunjukkan nilai
significance level menunjukkan nilai
0.000 dan lebih kecil dari pada 0.05 maka
sebesar: 0.000, lebih kecil dibandingkan
terbukti adanya perbedaan signifikan antara
p=.05. Artinya varians untuk dua kelompok
rata-rata Delta peserta pelatihan TM dan
(TM/OL) tidak sama. Oleh karena itu kita
OL.

18
Gambar 4. Output independent-samples t-test Delta

4. KESIMPULAN meningkatkan kompetensi peserta diklat.


Dengan pertimbangan efisiensi, maka diklat OL
Pengujian menggunakan Paired Sample T-
tetap menjadi opsi yang patut dipertimbangkan.
Test telah dilakukan untuk menguji adanya
Penelitian ini memiliki beberapa
peningkatan nilai signifikan dari pre ke posttest.
keterbatasan. Pertama, penelitian menggunakan
Pengujian dilakukan pada kedua metode baik
data yang telah tersedia sebelumnya. Kedua,
TM maupun OL. Pelatihan TM pada 1.029
tidak dilakukan randomisasi peserta pelatihan
peserta dapat meningkatkan rata-rata nilai
antara pelatihan TM dan OL. Sehingga
pretest dari 52.24 menjadi 73.02 pada posttest.
dimungkinkan adanya selection bias berupa
Pelatihan OL pada 648 peserta dapat
perbedaan karakterisitik antara peserta diklat
meningkatkan rata-rata nilai pretest dari 82.40
TM dan OL. Ketiga, jangka waktu pelaksanaan
menjadi 92.66 pada posttest. Hasil pengujian
pelatihan berbeda, pelatihan OL dilaksanakan
menunjukkan kedua metode baik TM maupun
dalam kurun waktu empat minggu sementara
OL dapat memberikan peningkatan nilai yang
diklat TM hanya satu minggu.
signifikan.
Pengujian lanjutan untuk membandingkan 5. REFERENSI
efektivitas antara TM dan OL. Hasil pengujian
Allen, I. Elaine, Seaman, Jeff. 2010. Class
independent-samples t-test menunjukkan adanya
Differences: Online Education in the
perbedaan signifikan antara rata-rata posttest dan
United States, The Sloan Consortium.
delta diklat TM dan OL. Rata-rata nilai posttest
http://sloanconsortium.org/publications/sur
diklat OL sebesar 92,66 dan nilai rata-rata
vey/class_differences. Diakses tanggal 20
posttest diklat TM sebesar 73,02. Rata-rata delta
Mei 2020.
peningkatan nilai pretest ke posttest untuk diklat
Bernard, Robert M., Abrami, Philip C., Lou,
TM sebesar 20,78 sedangkan delta diklat OL
Yiping, Borokhovski, Evgueni, Wade,
sebesar 10,26.
Anne, Wozney, Lori, Wallet, Peter Andrew,
Walaupun delta diklat TM lebih tinggi
Fiset, Manon, Huang, Binru. 2004. How
dibanding delta diklat OL namun diklat OL tetap
Does Distance Education Compare to
menunjukkan delta yang cukup signifikan.
Classroom Instruction? A Meta-analysis of
Dengan kata lain, diklat OL juga efektif dalam

19
Empirical Literature. Review of Organization. New York:
Educational Research 743:379–439. Doubleday/Currency.
Driscoll, Jicha, Hunt, Tichavsky, Thompson, Sugiyono 2020. Metode Penelitian Pendidikan.
Gretchen. 2012. Can Online Courses Tucker, Sheila. 2001. Distance Education:
Deliver In-class Results?: A Comparison of Better, Worse, or As Good As Traditional
Student Performance and Satisfaction in an Education? Online Journal of Distance
Online versus a Face-to-face Introductory Learning Administration 44.
Sociology Course. Teaching Sociology. http://www.westga.edu/~distance/ojdla/wi
2012;40(4):312-331. nter44/tucker44.html. Diakses tanggal 20
https://journals.sagepub.com/doi/full/10.11 Mei 2020.
77/0092055X12446624#. Diakses tanggal Urtel, Mark G. 2008. Assessing Academic
20 Mei 2020. Performance Between Traditional and
Jaffee, David. 1997. Asynchronous Learning: Distance Education Course Formats.
Technology and Pedagogical Strategy in a Educational Technology & Society
Distance Learning Course. Teaching 111:322–30.
Sociology 254:262–77. York, Reginald. 2008. Comparing Three Modes
Jahng, Namsook, Krug, Don, Zhang, Zuochen. Of Instruction In A Graduate Social Work
2007. Student Achievement in Online Program, Journal of Social Work
Distance Education Compared to Face-to- Education, 44:2, 157-172.
face Education. European Journal of Open,
Distance, and E-Learning.
http://www.eurodl.org/materials/contrib/20
07/Jahng_Krug_Zhang.htm. Diakses
tanggal 20 Mei 2020.
Little, Craig B., Titarenko, Larissa, Bergelson,
Mira. 2005. Creating a Successful
International Distance-learning
Classroom. Teaching Sociology 334:355–
70.
Means, Barbara, Toyama, Yukie, Murphy,
Robert, Bakia, Marianne, Jones, Karla.
2009. Evaluation of Evidence-Based
Practices in Online Learning: A Meta-
analysis and Review of Online Learning
Studies. Washington, DC: Office of
Planning, Evaluation, and Policy
Development, U.S. Department of
Education.
http://www2.ed.gov/rschstat/eval/tech/evid
ence-based-practices/finalreport.pdf.
Diakses tanggal 20 Mei 2020.
Pearson, A. Fiona 2010. Real Problems, Virtual
Solutions: Engaging Students Online.
Teaching Sociology 383:207–14.
Ramage, Thomas R 2002., The No Significant
Difference Phenomenon: A Literature
Review.
http://spark.parkland.edu/ramage_pubs/1.
Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The
Art and Practice of the Learning

20
PENGARUH PELAKSANAAN AKUNTABILITAS TERHADAP KINERJA
INSTANSI PEMERINTAH DENGAN MENGGUNAKAN TEKANAN DAN BEBAN
KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

Dayu Jati Sri Panuntun


Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera Selatan
email: dayu.jati@bpkp.go.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pelaksanaan akuntabilitas (hukum dan kejujuran,
manajerial, program, kebijakan, dan finansial) terhadap kinerja pegawai dengan menggunakan
variabel tekanan kerja dan beban kerja sebagai variabel intervening. Data yang digunakan adalah
data primer dengan menggunakan kuesioner yang tersebar di 28 buah Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) Pemerintah Kota Palembang. Penelitian ini menggunakan kombinasi penelitian kuantitatif
dengan metode SEM-PLS terhadap hasil survei 116 buah responden yang didukung dengan data
kualitatif dan hasil wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pelaksanaan
akuntabilitas di SKPD Pemerintah Kota Palembang berpengaruh terhadap pelaksanaan kinerja
dengan tingkat yang berbeda-beda tergantung pada persepsian aktor akuntabilitas masing-masing.
Pelaksanaan akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, dan akuntabilitas finansial berpengaruh
positif terhadap kinerja pegawai, sedangkan pelaksanaan akuntabilitas hukum dan kejujuran serta
akuntabilitas kebijakan berpengaruh negatif terhadap kinerja pegawai. Hasil yang berbeda
ditunjukkan apabila menggunakan variabel tekanan kerja dan beban kerja sebagai variabel
intervening, yaitu pelaksanaan akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial,
akuntabilitas finansial, dan akuntabilitas program berpengaruh negatif terhadap kinerja pegawai,
sedangkan akuntabilitas kebijakan akan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai.

Kata kunci: akuntabilitas, beban kerja, tekanan kerja, performa kerja

Abstract
This study aims to look at the effect of the implementation of accountability (probity and legality,
managerial, program, policy, and financial) on the employee performance by using the variable
working pressure and workload as an intervening variable. The data used are primary data using
questionnaires spread over 28 pieces of work units (SKPD) Palembang government. This study uses
a combination of quantitative research with the SEM-PLS method of 116 respondents survey results
supported by qualitative data and interview results. The results of the study show that the variables
implementation of accountability in Palembang City Government SKPD affect the implementation
of the performance levels that vary depending on the perceived accountability of each actor. The
implementation of managerial accountability, program accountability, and financial accountability
has a positive effect on employee performance, while the implementation of probity and legality
accountability and policy accountability has a negative effect on performance. By using working
pressure and workload as an intervening variable, the implementation of probity and legality
accountability, managerial accountability, financial accountability, and program accountability has
negative effect on the performance, meanwhile policy accountability positive effect the performance.

Keywords: accountability, workload, work pressure, work performance

21
1. PENDAHULUAN institusi atau organisasi dipengaruhi oleh
lingkungan sosial tempat ia berada (Carruthers,
Sebagaimana yang terjadi di beberapa
1995). Adanya kondisi isomorpisme mimetik ini
negara lainnya, perkembangan kebijakan
akan menimbulkan kecenderungan organisasi
akuntabilitas di Indonesia dipengaruhi oleh
untuk terjebak pada pelaksanaan suatu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal
mekanisme kerja yang sifatnya sebatas
berasal dari tuntutan masyarakat agar sektor
seremonial formal dan bukan berorientasi pada
publik semakin transparan dan mampu
substansi (Tolbert dan Zucker, 1983; Gudono,
mempertanggungjawabkan kebijakan dan
2014).
tindakan yang dilakukan (akuntabilitas).
Hasil penelitian Akbar dan Manafe (2014)
Sedangkan faktor eksternal terjadi sebagai akibat
menemukan bahwa telah terjadi perbedaan
adanya tuntutan perubahan dalam lingkungan
persepsi dalam hal pelaksanaan akuntabilitas
global dalam hal manajemen sektor publik
yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
misalnya tuntutan good governance dan
Laporan akuntabilitas pemerintah hanya
performance management (Pusdiklatwas BPKP,
berfokus pada bentuk penyajian (based on
2011).
content) yaitu format laporan akuntabilitas
Pelaksanaan akuntabilitas oleh pemerintah
keuangan dan akuntabilitas kinerja, bukan
daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor
berfokus pada unsur pembentuknya (based on
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
source). Frink dan Klimoski (1998) menyatakan
yang menyatakan bahwa penyelenggara
bahwa kesalahan persepsi terhadap akuntabilitas
pemerintahan daerah harus menerapkan asas
terkadang menyebabkan organisasi merasa telah
akuntabilitas. Bentuk pertanggungjawaban yang
melaksanakan akuntabilitas, padahal belum
harus dilakukan pemerintah daerah sebagaimana
melaksanakan sepenuhnya.
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
Sedangkan dampak dari adanya unsur
2003 tentang Keuangan Negara serta Undang-
sanksi atau paksaan yang akan dikenakan
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
apabila suatu instansi pemerintah tidak
Perbendaharaan Negara di antaranya yaitu
melaksanakan unsur akuntabilitas akan
kewajiban menyusun laporan keuangan dan
menimbulkan gejala coercive isomorphism,
laporan kinerja instansi pemerintah. Lebih
yaitu suatu tindakan kepatuhan kepada aturan
lanjut, pemerintah daerah selaku penyelenggara
baku formal yang dilakukan lebih didominasi
pemerintahan daerah diharuskan untuk
akibat karena adanya tekanan pihak lain
menyusun laporan keuangan selambat-
(DiMaggio dan Powell, 1983). Menurut Gudono
lambatnya dua bulan setelah berakhirnya tahun
(2014) suatu paksaan atau tekanan dari suatu
anggaran, sedangkan laporan kinerja instansi
peraturan atas suatu pelaksanaan mekanisme
pemerintah daerah harus disampaikan paling
kerja dapat menimbulkan masalah berupa
lambat tiga bulan setelah tahun anggaran
ketaatan semu oleh instansi yang dituntut untuk
berakhir. Keterlambatan penyampaian laporan
dapat melaksanakannya. Kondisi ini akan
keuangan akan menimbulkan sanksi berupa
mengakibatkan instansi pemerintah cenderung
penangguhan pelaksanaan anggaran atau
hanya menyampaikan kinerja yang baik saja dan
penundaan pencairan dana, sedangkan
mengurangi atau menutupi penyajian informasi
keterlambatan pelaporan kinerja akan dikenakan
adanya kegagalan pelaksanaan program kegiatan
sanksi administratif.
(Akbar dan Ahyaruddin, 2016) sehingga
Dari segi teoritis, penerapan asas
pelaporan akuntabilitas akan menjadi bias
akuntabilitas dalam instansi pemerintah di
(Nurkhamid, 2008), yaitu kondisi dimana
Indonesia merupakan bentuk kondisi
penyajian yang ada di pelaporan berbeda dengan
isomorpisme mimetik (mimetic isomorphism),
kondisi yang sebenarnya terjadi sehingga akan
yaitu upaya meniru tindakan yang dilakukan
menimbulkan kesalahan dalam penyampaian
oleh suatu instansi terhadap instansi lain yang
informasi dan penilaian masyarakat terhadap
dinilai lebih maju (Akbar dan Sofyani, 2013).
kinerja instansi pemerintah.
Gejala isomorpisme merupakan bagian dari teori
institusional, yakni sebuah kondisi dimana suatu

22
Adanya keharusan untuk menyusun laporan Pelaksanaan wawancara dilakukan dengan
akuntabilitas yang disertai dengan sanksi dan teknik deep interview menggunakan beberapa
pemaksaan yang akan dikenakan apabila terjadi pertanyaan pokok yang masih dapat
ketidaksesuaian dengan ketetapan peraturan dikembangkan pada saat berlangsungnya
pada akhirnya akan menambah beban kerja dan kegiatan wawancara.
menimbulkan tekanan kerja bagi para pelaksana Perumusan hipotesis dalam penelitian ini
akuntabilitas. Hasil penelitian Akbar, Pilcher, adalah pelaksanaan akuntabilitas (hukum dan
dan Perrin (2012) menyatakan telah terdapat kejujuran, manajerial, program, kebijakan, dan
pandangan bahwa pemerintah daerah merasa finansial) dengan menggunakan tekanan kerja
dibebani dengan adanya kewajiban menyusun dan beban kerja sebagai variabel intervening
laporan akuntabilitas sehingga mengabaikan akan berpengaruh negatif terhadap kinerja.
tugas utama mereka untuk memberikan Model diagram jalur dalam penelitian ini adalah
pelayanan publik. Permasalahan inilah yang sebagai berikut:
kemudian menyebabkan kualitas laporan
akuntabilitas, baik keuangan dan kinerja, tidak
selalu sejalan, apalagi jika dibandingkan dengan
kenyataan kualitas pelayanan publik yang
diberikan. Pelaksanaan akuntabilitas baru
sebatas perwujudan perintah regulasi peraturan
dan pemenuhan kewajiban secara vertikal
(pemerintah kepada legislatif atau pemerintah
daerah kepada pemerintah pusat) namun belum Gambar 1. Model Persamaan Struktural
dapat memberikan nilai tambah (value added)
yang optimal bagi publik. Mardiasmo (2009) Berdasarkan gambar 1 di atas, persamaan
struktural model dengan nilai konstanta atau
menyatakan bahwa tuntutan akuntabilitas publik
seharusnya menekankan lembaga-lembaga unstandardized adalah sebagai berikut:
sektor publik untuk lebih fokus pada Y = α +α X +α X +α X +α X +
pertanggungjawaban horizontal (kepada α X + ɛ (persamaan 1)
masyarakat) bukan hanya pertanggungjawaban Y = β +β X +β X +β X +β X +
vertikal (kepada otoritas yang lebih tinggi). β X + ɛ (persamaan 2)
2. METODE PENELITIAN Z=λ +λ Y +λ Y +γ X +γ X +
γ X + γ X + γ X + ɛ (persamaan 3)
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
persepsi pegawai atas pengaruh pemenuhan Keterangan:
unsur akuntabilitas terhadap kinerja dengan X1 = Akuntabilitas Kejujuran dan Hukum
menggunakan variabel tekanan kerja dan beban X2 = Akuntabilitas Proses/Manajerial
kerja sebagai variabel intervening pada Satuan X3 = Akuntabilitas Program
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah X4 = Akuntabilitas Kebijakan
Kota Palembang. Penelitian dilakukan pada X5 = Akuntabilitas Finansial
bulan September sampai dengan November Y = Beban Kerja
tahun 2016. Y = Tekanan Kerja
Metode pengumpulan data yang digunakan Z = Kinerja
adalah metode survei, dimana informasi dan data Analisis data menggunakan model
diperoleh secara langsung dari responden persamaan Structural Equation Modeling (SEM)
dengan menggunakan kuesioner yang diukur berbasis komponen (varian), yaitu dengan
dengan menggunakan skala Likert. metode Partial Least Square (PLS). PLS
Selain menggunakan kuesioner, merupakan analisa persamaan struktural (SEM)
pengumpulan data primer juga akan dilakukan berbasis varian yang secara simultan dapat
dengan cara wawancara tatap muka secara melakukan pengujian model pengukuran
langsung terhadap responden yang telah dipilih.

23
sekaligus pengujian model struktural (Ghozali, dilakukan dengan melihat nilai signifikansi t
2014). statistik. Hasil resampling bootstrapping PLS
ditunjukkan oleh tabel berikut:
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2. Resampling bootstrapping PLS
Pengujian nilai menunjukkan nilai
Standard
sebagai berikut: T
Deviation P Values
= 1 – (1 - ) (1 – ) … (1 – ) Statistics
(STDEV)
= 1 – (1 -0,494) (1 –0,350) (1 –0,586) X1 -> Y1 0,129 0,976 0,330
= 0,864 X1 -> Y2 0,085 2,775 0,006
Dari hasil perhitungan terlihat bahwa nilai X1 -> Z 0,106 2,019 0,044
lebih besar daripada 0 (nol) yaitu sebesar X2 -> Y1 0,091 0,241 0,810
0,864. Nilai menunjukkan bahwa konstruk X2 -> Y2 0,150 0,041 0,967
model penelitian serta variabel yang digunakan
X2 -> Z 0,102 3,689 0,000
secara keseluruhan mempunyai nilai
kemampuan memprediksi (predictive relevance) X3 -> Y1 0,062 0,810 0,418
yang sangat baik. X3 -> Y2 0,074 4,942 0,000
Pengujian hipotesis dilakukan dengan X3 -> Z 0,057 1,055 0,292
metode resampling Bootstrap yang X4 -> Y1 0,063 2,332 0,020
dikembangkan oleh Geisser dan Stone. Untuk
X4 -> Y2 0,125 2,038 0,042
nilai probabilitas, nilai p-value dengan alpha 5%
adalah kurang dari 0,05. Nilai t-tabel untuk alpha X4 -> Z 0,072 10,297 0,000
5% adalah 1,96. Output hasil bootstrapping PLS X5 -> Y1 0,088 7,463 0,000
adalah sebagai berikut: X5 -> Y2 0,084 1,340 0,181
Tabel 1. Hasil Regresi Variabel X5 -> Z 0,101 2,112 0,035
Original Sample Y1 -> Z 0,091 2,210 0,028
Sample Mean Y2 -> Z 0,120 3,702 0,000
X1 -> Y1 0,126 0,132
Hasil pengujian inner model
X1 -> Y2 -0,237 -0,237 memperlihatkan pengaruh secara tidak langsung
X1 -> Z -0,214 -0,207 (indirect effect) maupun total pengaruh variabel
X2 -> Y1 0,022 0,036 akuntabilitas terhadap kinerja yaitu dengan
X2 -> Y2 -0,006 0,017 menggunakan variabel beban kerja dan tekanan
X2 -> Z 0,376 0,357 kerja sebagaimana ditunjukkan pada tabel
berikut:
X3 -> Y1 -0,050 -0,051
X3 -> Y2 -0,364 -0,359 Tabel 3. Total Pengaruh Akuntabilitas
Terhadap Kinerja
X3 -> Z 0,060 0,066
Pengaruh tidak Total
X4 -> Y1 -0,147 -0,139 Pengaruh langsung pengaruh
X4 -> Y2 0,255 0,242 langsung Melalui Melalui tidak
X4 -> Z -0,745 -0,735 Y1 Y2 langsung
X1 -> Z -0,214 0,043 -0,095 -0,131
X5 -> Y1 0,653 0,633 X2 -> Z 0,376 -0,075 0,168 -0,007
X5 -> Y2 -0,112 -0,130 X3 -> Z 0,060 -0,012 0,027 -0,152
X5 -> Z 0,214 0,226 X4 -> Z -0,745 0,149 -0,332 0,143
X5 -> Z 0,214 -0,043 0,095 -0,181
Y1 -> Z -0,200 -0,211
Y2 -> Z 0,446 0,450 Perbedaan pengaruh akuntabilitas terhadap
kinerja seperti ditunjukkan pada hasil analisis
Pengujian signifikansi pengaruh variabel menggunakan SEM-PLS menunjukkan bahwa
independen terhadap variabel dependen terhadap jenis pelaksanaan akuntabilitas (hukum

24
dan kejujuran, manajerial, program, serta lambat laun akan memunculkan kesadaran
kebijakan) akan memberikan pengaruh yang bahwa akuntabilitas harus dilakukan dalam
berbeda-beda tergantung pada apakah rangka pertanggungjawaban profesional”.
pelaksanaan akuntabilitas tersebut dilakukan Salah satu indikator pelaksanaan
oleh karena adanya kesadaran profesional akuntabilitas di institusi pemerintah adalah hasil
(normative isomorphisme), tekanan formal opini laporan keuangan serta nilai laporan
maupun informal (coercive isomorphisme), akuntabilitas kinerja pemerintah. Adanya
ataukah akibat adanya kebutuhan meniru kesadaran untuk melaksanakan akuntabilitas
tindakan organisasi lain (mimetic dengan baik oleh para aktor akuntabilitas akan
isomorphisme). memicu terjadinya isomorpisme mimetik
Teori institusi menguraikan bahwa tindakan (mimetic isomorphism), yaitu tindakan
yang dilakukan dalam suatu organisasi tidak organisasi yang akan cenderung menjadikan diri
terlepas dari adanya tekanan dari pihak luar mereka menjadi sama menyerupai seperti
(eksternal). Tekanan-tekanan dari luar yang organisasi lain dan mendorong organisasi untuk
membentuk organisasi akan melalui proses melakukan imitasi (meniru). Hal ini tercermin
ketaatan (compliance), peniruan, dan proses pada pernyataan hasil responden (GY) berikut:
kognisi (Gudono, 2014). Teori institusi juga “Secara umum, adanya daerah yang
berlaku pada pelaksanaan pemenuhan unsur memiliki opini laporan keuangan dan hasil
akuntabilitas yang dilakukan oleh institusi evaluasi laporan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah (LAKIP) yang baik akan memicu
pernyataan responden (JR) berikut: pemerintah daerah (pemda) di wilayah lain
“Hal yang mendasari pelaksanaan untuk melakukan upaya serupa”.
akuntabilitas yang dilakukan oleh pemerintah Terjadinya kondisi isomorpisme terhadap
daerah lebih didasari oleh adanya peraturan pelaksanaan akuntabilitas pada akhirnya akan
yang mengatur dan mengikat serta mewajibkan mempengaruhi kinerja yang dilakukan oleh para
dilaksanakannya akuntabilitas.” aktor akuntabilitas. Hal ini tercermin pada
Peraturan yang mengikat dan memaksa pernyataan hasil wawancara dengan responden
institusi untuk melaksanakan akuntabilitas (GY) berikut:
merupakan gejala adanya isomorpisme koersif “Pelaksanaan akuntabilitas jelas dapat
(coercive isomorphism). Pelaksanaan mempengaruhi kinerja seseorang, seperti
akuntabilitas yang dilakukan lebih didominasi bersikap jujur, mematuhi hukum, tidak
oleh adanya tekanan formal maupun informal menyalahgunakan kekuasaan, serta tidak
yang diberikan pada organisasi dengan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
organisasi lainnya dimana mereka saling bertindak efektif dan efisien, bersikap responsif,
bergantung dan di dalamnya terdapat fungsi dan mendorong pelayanan berbiaya murah”.
organisasi. Perbedaan pengaruh akuntabilitas terhadap
Pelaksanaan akuntabilitas yang terjadi di kinerja seperti ditunjukkan pada hasil analisis
SKPD Pemerintah Kota Palembang tidak hanya menggunakan SEM-PLS menunjukkan bahwa
didasari oleh tekanan dari luar (eksternal) terhadap jenis pelaksanaan akuntabilitas (hukum
melainkan juga karena adanya kesadaran yang dan kejujuran, manajerial, program, serta
dilakukan oleh para aktor akuntabilitas. kebijakan) akan memberikan pengaruh yang
Pelaksanaan akuntabilitas yang didasari berbeda-beda tergantung pada apakah
komitmen terhadap organisasi dan kesetiaan pelaksanaan akuntabilitas tersebut dilakukan
profesionalisme merupakan gejala adanya oleh karena adanya kesadaran profesional
isomorpisme koersif (coercive isomorphism). (normative isomorphisme), tekanan formal
Hal ini tercermin pada pernyataan responden maupun informal (coercive isomorphisme),
(GY) berikut: ataukah akibat adanya kebutuhan meniru
“Pada awalnya pelaksanaan akuntabilitas tindakan organisasi lain (mimetic
memang didasari oleh adanya peraturan yang isomorphisme).
mengharuskan adanya akuntabilitas, namun

25
Pelaksanaan akuntabilitas yang “Salah satu masalah utama yang terjadi di
dipengaruhi oleh kesadaran profesional pemda adalah kompetensi sumber daya manusia
(normative isomorphisme) akan cenderung di pemda, masalah ini berhubungan dengan
meningkatkan produktivitas kinerja. Hal ini terlalu cepatnya sistem rotasi atau mutasi
sejalan dengan penelitian Frink dan Ferris pegawai, sehingga pegawai yang bertugas di
(1999) yang menyatakan bahwa dengan adanya bagian pelaporan silih berganti orang dan
akuntabilitas, individu dalam kondisi kesadaran mengakibatkan harus selalu dimulai dari nol
yang tinggi serta melakukan kinerja dengan baik, lagi, belajar dari awal lagi”.
tetapi ketika tidak ada akuntabilitas maka Kompetensi yang baik juga harus diikuti
pengaruh kesadaran terhadap kinerja secara oleh komitmen yang kuat dalam rangka
signifikan akan menjadi lebih rendah. pelaksanaan kinerja yang baik. Tanpa sinergi
Pelaksanaan akuntabilitas yang disebabkan oleh kedua hal tersebut kinerja pemerintah yang tidak
coercive isomorphisme dan mimetic baik akan ditutupi oleh pelaporan akuntabilitas
isomorphisme, meskipun tidak selalu, namun yang tidak sesuai dengan kondisi yang
cenderung akan menurunkan produktivitas sebenarnya terjadi. Hal ini sejalan dengan
kinerja. Hal ini dikarenakan paksaan tersebut pernyataan Simonson dan Staw (1992) yang
akan menimbulkan ketaatan semu serta terjebak menyebutkan bahwa di bawah kondisi
pada pelaksanaan mekanisme kerja yang terbatas akuntabilitas hasil (outcome accountability),
sifat seremonial formal dan bukan berorientasi individu yang akuntabel akan menunjukkan
pada substansi (Gudono, 2014). kinerja dan komitmen yang sangat besar.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Pimpinan instansi memiliki peran yang
pelaksanaan akuntabilitas terhadap kinerja besar dalam rangka pelaksanaan akuntabilitas
memiliki pengaruh yang berbeda-beda, bisa dan kinerja instansi. Komitmen yang kuat akan
positif ataupun negatif, tergantung dari jenis dan menghindarkan terjadinya perilaku
persepsi yang digunakan. Hal ini menjadi opportunistik (adverse selection dan moral
indikator bahwa pelaksanaan akuntabilitas yang hazard) sedangkan kompetensi yang baik akan
dilakukan oleh pemerintah daerah belum bisa menghasilkan tindakan yang sesuai dengan
mencerminkan kondisi yang sebenarnya terjadi. ketentuan dan peraturan yang berlaku. Hal ini
Sejalan dengan penelitian ini, hasil wawancara tercermin dalam pernyataan hasil wawancara
dengan responden (JR) berikut: dengan responden (JR) berikut:
“Secara umum, pelaporan akuntabilitas “Pelaksanaan akuntabilitas memiliki
yang dilakukan oleh pemerintah daerah belum beberapa permasalahan yang secara umum
mencerminkan kondisi yang sebenarnya dapat diatasi dengan adanya komitmen yang
terjadi”. disertai kompetensi dari pimpinan instansi,
Ketidaksesuaian pelaporan akuntabilitas tanpa adanya keseimbangan antara komitmen
yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan dan kompetensi maka pelaksanaan akuntabilitas
berdampak pada bias yang dihasilkan oleh para dan ketercapaian kinerja yang baik akan sangat
pengguna informasi. Bias yang ditimbulkan sulit terjadi”.
dalam pelaporan akuntabilitas akan berdampak
pada sulitnya melakukan penilaian atas kinerja 4. KESIMPULAN
yang sebenarnya telah dicapai oleh pemerintah. Pelaksanaan akuntabilitas di SKPD
Hal ini dapat menjelaskan adanya pengaruh yang Pemerintah Kota Palembang berpengaruh
berbeda-beda antara variabel akuntabilitas terhadap pelaksanaan kinerja dengan tingkat
terhadap kinerja. yang berbeda-beda tergantung pada persepsian
Permasalahan pada pemenuhan aktor akuntabilitas masing-masing.
akuntabilitas dan kinerja ini terutama terjadi Variabel akuntabilitas hukum dan kejujuran
akibat kurangnya kompetensi sumber daya berpengaruh negatif terhadap kinerja, baik
manusia yang dimiliki oleh pemerintah daerah. dengan menggunakan ataupun tanpa
Hal ini tercermin pada pernyataan hasil menggunakan variabel intervening, artinya
wawancara dengan responden (JR) berikut: bahwa pelaksanaan akuntabilitas hukum dan

26
kejujuran seperti kepatuhan terhadap hukum dan akan bernilai positif sebesar 0,143 apabila
peraturan lain yang disyaratkan dalam melalui variabel beban kerja dan tekanan kerja.
menjalankan organisasi, penghindaran Hal ini memperlihatkan pertanggungjawaban
penyalahgunaan jabatan (abuse of power), serta kebijakan instansi pemerintah kepada legislatif
tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dan masyarakat akan meningkatkan kinerja
apabila diukur menggunakan variabel perantara apabila disertai dengan adanya persepsi variabel
berupa beban kerja dan tekanan kerja akan beban kerja dan tekanan kerja. Dengan adanya
berpengaruh negatif terhadap kinerja pegawai. kecakapan pegawai yang menimbulkan
Akuntabilitas hukum dan kejujuran menuntut pengaruh negatif terhadap beban kerja serta
adanya upaya kehati-hatian dalam bertindak, adanya sifat proaktif dari badan legislatif dan
terlebih dalam ranah hukum dimana kesalahan masyarakat yang menuntut akuntabilitas
melaksanakan peraturan akan berakibat sanksi kebijakan pemerintah, maka akuntabilitas
hukum baik perdata ataupun pidana, hal ini yang kebijakan akan bersifat positif terhadap kinerja.
kemudian membatasi ruang gerak ataupun Nilai akuntabilitas finansial berpengaruh
keleluasaan pegawai dalam bekerja, sehingga positif terhadap kinerja sebesar 0,214, artinya
akuntabilitas hukum dan kejujuran akan tetap pelaksanaan akuntabilitas finansial akan
bersifat negatif terhadap kinerja meskipun tanpa membuat pengelolaan keuangan menjadi lebih
adanya variabel intervening berupa beban kerja ekonomi, efisien, dan efektif sehingga dapat
dan tekanan kerja. meningkatkan kinerja. Dengan adanya variabel
Variabel akuntabilitas manajerial intervening berupa beban kerja dan tekanan
berpengaruh positif terhadap kinerja sebesar kerja akan membuat akuntabilitas finansial
0,376, artinya pelaksanaan akuntabilitas berpengaruh negatif terhadap variabel kinerja
manajerial akan membuat pengelolaan sebesar -0,181, artinya dalam rangka
organisasi menjadi lebih efisien dan efektif pelaksanaan akuntabilitas finansial, munculnya
sehingga dapat meningkatkan kinerja. Dengan tekanan kerja dan beban kerja akan menurunkan
adanya variabel intervening berupa beban kerja kinerja pegawai. Hal ini dikarenakan adanya
dan tekanan kerja akan membuat akuntabilitas sifat kehati-hatian instansi pemerintah dalam
manajerial berpengaruh negatif terhadap mengelola keuangan yang tersedia. Tuntutan
variabel kinerja sebesar -0,007, artinya dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan
rangka pelaksanaan akuntabilitas manajerial, keuangan dengan baik dan benar semakin
munculnya tekanan kerja dan beban kerja akan menjadi perhatian yang serius oleh publik.
menurunkan kinerja pegawai. Ketidakleluasaan dalam mengelola keuangan
Variabel akuntabilitas program tidak terutama disebabkan oleh adanya ketakutan
berpengaruh signifikan terhadap kinerja, namun apabila terjadi kesalahan dalam mengambil
apabila melalui variabel beban kerja dan tekanan suatu tindakan, sehingga pada akhirnya akan
kerja akan menjadi signifikan berpengaruh menurunkan kinerja pegawai.
negatif terhadap kinerja sebesar -0,152, artinya Hasil penelitian ini juga menunjukkan
dalam pelaksanaan akuntabilitas program akan terjadinya kondisi isomorpisme terhadap
mempengaruhi kinerja apabila disertai dengan pelaksanaan akuntabilitas pada instansi
munculnya tekanan kerja dan beban kerja. pemerintah daerah. Nilai pengaruh yang
Pertanggungjawaban program tidak berbeda-beda pada pelaksanaan akuntabilitas
memberikan pengaruh apapun terhadap kinerja terhadap kinerja, tergantung dari jenis dan
apabila tidak adanya variabel beban kerja dan persepsi yang digunakan, menjadi indikator
tekanan kerja. Hal ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan akuntabilitas yang dilakukan
pelaksanaan akuntabilitas program yang oleh pemerintah daerah belum bisa
berpengaruh negatif terhadap tekanan kerja akan mencerminkan kondisi yang sebenarnya terjadi.
memberikan pengaruh yang bersifat negatif pula Ketidaksesuaian pelaporan akuntabilitas
terhadap kinerja. yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan
Nilai akuntabilitas kebijakan berpengaruh berdampak pada bias yang dihasilkan oleh para
negatif terhadap kinerja sebesar -0,745, namun pengguna informasi. Bias yang ditimbulkan

27
dalam pelaporan akuntabilitas akan berdampak Indonesian Economy and Business, 29 (1),
pada sulitnya melakukan penilaian atas kinerja p.56 – 73.
yang sebenarnya telah dicapai oleh pemerintah. Akbar, R., Pilcher, R., and Perrin, B. 2012.
Performance Measurement in Indonesia:
Keterbatasan Penelitian
the Case of Local Government. Pacific
Beberapa keterbatasan yang terdapat dalam Accounting Review, p.262-291.
penelitian ini antara lain: Akbar, Rusdi., dan Sofyani, Hafiez. 2013.
1. Ruang lingkup penelitian yang terbatas Hubungan Faktor Internal Institusi dan
pada SKPD Pemerintah Kota Palembang, Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja
sehingga tidak bisa menggambarkan Instansi Pemerintah (SAKIP) Di
kondisi umum yang terjadi di pemerintah Pemerintah Daerah. Jurnal Akuntansi dan
daerah secara keseluruhan. Sebaiknya pada Keuangan Indonesia, 10 (2), p.184-205.
penelitian selanjutnya dapat menambah Carruthers, B.G. 1995. Accounting, Ambiguity,
objek penelitiannya dengan memperluas and The New Institusionalism. Accounting,
lokasi penelitian. Organizational, and Society Journal, 20 (4),
2. Metode analisis data yang menggunakan p.313-328.
SEM-PLS atau berbasis varian tidak DiMaggio, P., and Powell, W. 1983. The Iron
menghasilkan hasil analisis yang sekuat dan Cage Revisited: Institutional Isomorphism
seakurat apabila menggunakan SEM and Collective Rationally in Organizational
berbasis kovarian (CBSEM). Sebaiknya Field. American Sociological Review, 48,
pada penelitian selanjutnya dapat p.147-160.
melakukan analisis penelitian Frink, D.D. and Ferris, G. R. 1999. The
menggunakan CBSEM dengan terlebih Moderating Effects of Accountability on the
dahulu memperluas objek penelitian serta Conscientiousness - Performance
memperbanyak jumlah responden. Relationship. Journal of Business and
3. Metode pengumpulan data menggunakan Psychology, 13 (4), Summer, p.515-524.
metode survei melalui kuesioner memiliki Frink, D. D., and Klimoski, R. J. 1998. Toward
kelemahan salah satunya adalah a Theory of Accountability in Organizations
kemampuan poin pertanyaan sebagai and Human Resource Management.
indikator yang dapat secara tepat Research in Personnel and Human
mencerminkan kondisi yang terjadi. Resources Management, 16, 1-50.
Sebaiknya pada penelitian selanjutnya Ghozali. 2014. Structural Equation Modeling:
dapat menyusun poin pertanyaan dengan Metode Alternatif Dengan Partial Least
lebih baik serta memperbanyak jumlah Square (PLS). Semarang: Universitas
pertanyaan agar dapat meningkatkan Diponegoro.
ketepatan pertanyaan sebagai indikator Gudono. 2014. Teori Organisasi. Edisi 3.
variabel. Yogyakarta: BPFE.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik.
5. REFERENSI
Yogyakarta: Andi Offset.
Akbar, Rusdi., and Ahyaruddin, Muhammad. Nurkhamid, M. 2008. Implementasi Inovasi
2016. The Relationsip Between The Use of Sistem Pengukuran Kinerja Instansi
A Performance Measurement System, Pemerintah. Jurnal Akuntansi Pemerintah,
Organizational Factors, Accountability, p.45-76.
and The Performance of Public Sector Pusdiklatwas BPKP. 2011. Modul Akuntabilitas
Organizations. Journal of Indonesian Instansi Pemerintah. Edisi Kelima.
Economy and Business, 31(1), p.1-22. Simonson dan Staw. 1992. Deescalation
Akbar, Rusdi., and Manafe, Mesri W.N. 2014. Strategies: A Comparison of Techniques for
Accountability and Performance: Evidence Reducing Commitment to Losing Courses of
From Local Government. Journal of Action. Journal of Applied Psychology, 77
(4), p.419-426.

28
Tolbert, P. S., & Zucker, L. G. 1983.
Institutional Sources of Change in the
Formal Structure of Organizations: The
Diffusion of Civil Service Reform, 1880-
1935. Administrative Science Quarterly,
28, p.22-39.

29
ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI PADA ASET BERSEJARAH
(STUDI KASUS PADA ASET BERSEJARAH DI KABUPATEN GRESIK)

Rieswandha Dio Primasatya1, Ahmad Fahrian Aditya2, Dias Vivian Saphira3, Firly Baihaqi Hedyanto4
1
Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta Bidang Investigasi
email: rieswandhaprimasatya@gmail.com
2
Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah BPKP
email: ahmadfahrian99@gmail.com
3
Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah BPKP
email: dvsaphira@gmail.com
4
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya
email: firlybaihaqi@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini adalah fenomena perlakuan akuntansi yang diterapkan pada aset warisan di Indonesia,
baik dalam hal pengakuan, penilaian, dan pengungkapan dalam laporan keuangan. Fokus penelitian
ini adalah analisis perlakuan akuntansi dalam pengelolaan Makam Sunan Giri. Penelitian ini
bertujuan untuk: memahami pentingnya aset bersejarah (aset warisan), menjelaskan metode yang
digunakan untuk menilai Makam Sunan Giri, menjelaskan makam pengungkapan Sunan Giri dalam
laporan keuangan, dan menganalisis kesesuaian standar akuntansi yang berlaku untuk akuntansi
untuk Makam Sunan Giri saat ini. Penelitian ini menggunakan studi kasus pada wawancara dengan
studi informan. Data yang dianalisis adalah hasil wawancara dengan akademisi, instansi terkait dan
manajer Makam Sunan Giri. Data diperoleh melalui proses wawancara langsung. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada definisi yang tepat dari aset warisan. Hal ini dibuktikan dengan
paparan terhadap sebagian besar informan yang selalu mengaitkan dengan definisi historis definisi
aset Warisan sehingga ada kebingungan di antara keduanya. Selain itu, pengelola Makam Sunan Giri
masih mengalami kesulitan dalam menilai penilaian aset warisan. Namun, praktik akuntansi dalam
pengelolaan Makam Sunan Giri dianggap sesuai dengan standar akuntansi yang ditetapkan oleh
pemerintah, yang disajikan dan diungkapkan dalam CaLK tanpa nilai.

Kata kunci: akuntansi, aset bersejarah, laporan keuangan, catatan atas laporan keuangan (CaLK)

Abstract
This study is the phenomenon of the accounting treatment applied to heritage assets in Indonesia,
both in terms of recognition, valuation, and disclosure in the financial statements. The focus of this
study is an analysis of the accounting treatment in the management of Tomb of Sunan Giri. This
study aimed to: understand the significance of historic assets (heritage assets), describes the methods
used to assess the Tomb of Sunan Giri, explaining Tomb of Sunan Giri’s disclosure in the financial
statements, and analyze the appropriateness of the accounting standards applicable to the
accounting for current Tomb of Sunan Giri. This study used case study on interviews with informants
study. The data analyzed were the result of interviews with academics, related agencies and
managers of the Tomb of Sunan Giri. The data obtained through direct interview process. The results
of this study indicate that there is no precise definition of heritage assets. This is evidenced by the
exposure to most of the informants who always associate with the historic definition of asset
definition Heritage so there is confusion between the two. In addition, the manager of Tomb of Sunan
Giri is still experiencing difficulties in assessing valuation on heritage assets. However, the practice
of accounting in the management of Tomb of Sunan Giri is considered to be in accordance with the
accounting standards set by the government, which is presented and disclosed in CaLK without
value.

Keywords: accounting, heritage assets, financial statements, CaLK

30
1. PENDAHULUAN dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
upaya memperkokoh budaya bangsa.
Indonesia dengan latar belakang sejarah
Konsekuensinya, mengetahui bagaimana aset
yang sangat panjang telah memberikan aset-aset
tersebut diakui sebagai aset bersejarah dan
bersejarah yang merupakan kekayaan yang
bagaimana memberi penilaian terhadap aset
dimiliki negara yang memiliki nilai baik secara
tersebut sangat diperlukan. Menurut
material maupun immaterial. Keberadaan aset-
International Public Sector Accounting
aset tersebut tentu harus disajikan di dalam
Standards 17 – Property, Plant and Equipment
laporan keuangan milik pemerintah sehingga
paragraf 11, sebagian dari aset bersejarah
kriteria lengkap dalam penyajian laporan
memberikan potensi manfaat lainnya pada
keuangan dapat dipenuhi. Dalam penyajian aset-
pemerintah selain nilai sejarahnya seperti
aset bersejarah tersebut bukan berarti tidak
potensi wisata misalnya candi, makam,
menemui kendala. Dengan usia yang tua akan
monumen, gedung bersejarah, tempat-tempat
sangat sulit untuk menentukan nilai yang tepat di
purbakala, area konservasi, potensi
dalam penyajian aset bersejarah tersebut.
digunakannya sebagai perkantoran, sekolah,
Aset bersejarah (Heritage assets)
rumah sakit (yang mana pada aset ini diterapkan
merupakan aset yang penting bagi kebudayaan
prinsip-prinsip yang sama seperti aset tetap
masyarakat dan sejarah bangsa serta sebagai
lainnya) ataupun potensi manfaat terbatas
identitas negara. Aset bersejarah didefinisikan
misalnya karya seni dan reruntuhan. Segala
sebagai sebuah aset dengan kualitas sejarah,
potensi ini seharusnya dilaporkan dalam
seni, ilmiah, teknologi, geofisik atau lingkungan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang
yang dipegang dan dipelihara untuk
merupakan hasil dari aktivitas teknis serta
berkontribusi bagi ilmu pengetahuan dan
memiliki tujuan untuk menyediakan informasi
kebudayaan serta memberi manfaat bagi entitas
yang bermanfaat sebagai media perantara atau
pemegangnya (Accounting Standards Board,
komunikasi penghubung pihak-pihak yang
2006). Aset bersejarah merupakan salah satu aset
berkepentingan dan juga sebagai alat bantu
yang dilindungi oleh Negara (Agustini, 2011).
pengambilan keputusan ekonomi.
Aset besejarah bukanlah aset dan akan lebih
Dasar Hukum untuk aset bersejarah diatur
tepat diklasifikasikan sebagai kewajiban, atau
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
secara alternatif disebut sebagai fasilitas dan
tentang Keuangan Negara yang menjelaskan
menyajikannya secara terpisah (Carnegie dan
bahwa keuangan negara adalah semua hak dan
Wolnizer, 1995). Berbeda halnya dengan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
Micallef dan Peirson (1997), mereka
uang serta segala sesuatu baik berupa uang
berpendapat bahwa aset bersejarah tergolong
maupun berupa barang yang dapat dijadikan
dalam aset dan dapat dimasukkan dalam neraca.
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
Aset bersejarah merupakan aset berwujud yang
dan kewajiban tersebut. Dalam Peraturan
didalamnya terkandung nilai seni, budaya,
Menteri Keuangan Nomor 78 Tahun 2014
pendidikan, sejarah, pengetahuan dan
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan
karakteristik unik lainnya dimana dalam hal
Barang Milik Negara menerangkan bahwa
pelepasannya, aset bersejarah ini dilindungi oleh
pemanfaatan barang milik negara dilakukan
pemerintah dan Undang-Undang, sehingga patut
dengan memperhatikan kepentingan negara dan
untuk dipelihara dan dipertahankan
kepentingan umum. Biaya pemeliharaan dan
kelestariannya. Manfaatnya pun tidak hanya
pengamanan barang milik negara serta biaya
untuk kepentingan ideologis dan akademis tetapi
pelaksanaan yang berkaitan dengan pemanfaatan
juga sebagai sumber ekonomi.
barang milik negara dibebankan pada mitra
Mundarjito (2006) mengatakan
pemanfaatan.
kecenderungan mengutamakan aspek ideologis
Penelitian tentang aset bersejarah pernah
dan akademik telah menyebabkan aspek
dilakukan oleh Fauziah pada tahun 2014 dan
ekonomis dalam pelestarian budaya belum
Ridwan pada tahun 2015 dengan candi sebagai
mendapat perhatian secara wajar. Pengelolaan
objeknya. Dalam penelitian ini penulis ingin
aset bersejarah merupakan salah satu kewajiban

31
menganalisis perlakuan akuntansi atas aset yang bersangkutan tidak mengecualikan suatu
bersejarah dengan makam sebagai objeknya. barang atau jasa memenuhi definisi aset,
Pemilihan Kabupaten Gresik sebagai tempat misalnya barang atau jasa yang telah
penelitian karena di Kabupaten Gresik terdapat didonasikan kepada perusahaan dapat dianggap
beberapa aset bersejarah berupa makam sebagai aset.
contohnya makam Sunan Giri yang memiliki Manfaat ekonomi masa depan yang
nilai bersejarah. terwujud dalam aset adalah potensi dari aset
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tersebut untuk memberikan sumbangan, baik
peneliti terdorong untuk mengangkat langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk
permasalahan dalam bentuk penelitian dengan arus kas dan setara kas kepada perusahaan.
judul “Analisis Perlakuan Akuntansi pada Potensi tersebut dapat berbentuk sesuatu yang
Aset Bersejarah”. Berdasarkan latar belakang produktif dan merupakan bagian dari aktivitas
yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah operasional perusahaan.
yang ingin dikemukakan adalah sebagai berikut:
Definisi Aset Bersejarah
1. Bagaimana dinas terkait mendefinisikan
pengertian aset bersejarah dan bagaimana Menurut Micallef dan Peirson (1997) aset
pengakuan akuntansi terhadap aset bersejarah tergolong dalam aset dan dapat
bersejarah? dimasukkan dalam neraca (Heritage assets are
2. Bagaimana dinas terkait menentukan considered assets and they can be included on
metode penilaian dari aset bersejarah? the balance sheet). Sementara Christiaens
3. Bagaimana dinas terkait menyajikan dan (2004) Christiaens dan Rommel (2008) Rowles
mengungkapkan aset bersejarah dalam (1992) menjelaskan bahwa aset bersejarah harus
laporan keuangan? dimasukkan dalam neraca meskipun tidak
4. Apakah perlakuan akuntansi untuk aset memenuhi definisi resmi (Heritage assets
bersejarah sesuai dengan standar akuntansi should be reported in the balance sheet not with
yang berlaku saat ini? standing their non - compliance with the official
definitions).
Tujuan yang ingin dicapai dalam
Barton (2000) berpendapat bahwa aset
penyusunan penelitian ini adalah:
bersejarah harus disajikan dalam anggaran
1. Menjelaskan pengertian aset oleh dinas dan
terpisah sebagai “aset layanan” (Heritage assets
pengakuan akutansi atas aset bersejarah.
must be represented in a separate budget as
2. Mengetahui metode yang digunakan oleh
"services assets"). Hal ini sesuai dengan Pallot
dinas dalam menilai aset bersejarah.
(1990), (1992) yang menyatakan bahwa aset
3. Menjelaskan penyajian dan pengungkapan
bersejarah harus disajikan dalam kategori yang
aset bersejarah dalam laporan keuangan
terpisah dari aset sebagai “aset daerah”
oleh dinas.
(Heritage assets must be represented in a
4. Membandingkan perlakuan aset bersejarah
separate category of asset as "community
saat ini dengan standar akuntansi yang
assets").
berlaku.
Mautz (1988) beranggapan bahwa aset
Definisi Aset bersejarah harus disajikan pada kategori terpisah
dari aset sebagai “fasilitas” (Heritage assets
Menurut definisinya dalam akuntansi, aset
must be represented in a separate category of
adalah sumber daya yang dikuasai oleh
asset as "facilities") sedangakan Nasi et al.
perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa
(2001) menyebutkan jika aset bersejarah tidak
lalu dan darimana manfaat ekonomi di masa
harus disajikan dalam neraca (Heritage assets
depan diharapkan akan diperoleh perusahaan.
should not be reported in the balance sheet).
Aset perusahaan berasal dari transaksi atau
Carnegie dan Wolnizer (1995) berpendapat
peristiwa lain yang terjadi di masa lalu.
bahwa aset besejarah bukanlah aset dan akan
Perusahaan biasanya memperoleh aset melalui
lebih tepat diklasifikasikan sebagai liabilitas,
pengeluaran berupa pembelian atau produksi
atau secara alternatif disebut sebagai fasilitas
sendiri. Akan tetapi, tidak adanya pengeluaran

32
dan menyajikannya secara terpisah (Heritage organisasi secara langsung dari objek yang
assets are not assets and it would be more diteliti dan untuk kepentingan studi yang
appropriate to classify them as liabilities, or bersangkutan yang dapat berupa interviu dan
alternatively to call them facilities and show observasi. Peneliti menggunakan teknik
them separately). snowball sampling, yaitu teknik penentuan
sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,
2. METODE PENELITIAN
kemudian sampel ini disuruh memilih teman-
Berdasarkan rumusan masalah, pendekatan temannya untuk dijadikan sampel begitu
yang dilakukan pada penelitian ini adalah seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin
pendekatan kualitatif. Metode kualitatif adalah banyak (Sugiyono, 2010). Teknik snowball
metode penelitian yang digunakan untuk sampling yang digunakan dalam penelitian ini
meneliti objek dalam kondisi alamiah dimana adalah memilih narasumber utama yaitu kepala
peneliti berperan sebagai instrumen kunci dinas pariwisata dan kebudayaan sebagai
(Sugiyono, 2010). Penggunaan metode pemegang kekuasaan tertinggi dalam
kuantitatif kurang tepat digunakan dalam pengelolaan aset bersejarah, yang setelah itu
penelitian ini karena fokus penelitian ini adalah akan memberikan informasi siapa saja informan
untuk mengungkapkan makna atau esensi yang kompeten dan terlibat langsung dalam
fenomena yang terjadi pada objek penelitian. pengelolaan aset bersejarah.
Penggunaan pendekatan kualitatif sebagai Data sekunder adalah data yang
prosedur penelitian diproyeksikan dapat diperoleh/dikumpulkan dan disatukan oleh
menghasilkan data deskriptif atas fenomena studi-studi sebelumnya atau yang diterbitkan
yang diamati (Bogdan dan Taylor, 1975:42). oleh berbagai instansi lain. Biasanya sumber
Makna atau esensi dari sebuah fenomena bisa tidak langsung berupa data dokumentasi dan
diinterpretasikan melalui data deskriptif yang arsip-arsip resmi. Data sekunder dalam
diperoleh peneliti melalui serangkaian penelitian ini adalah peraturan yang terkait
pengamatan baik itu wawancara, dokumentasi, dengan pengelolaan aset bersejarah, laporan
maupun observasi. Peneliti memiliki pertanggungjawaban aset bersejarah, dan
kepentingan dalam penelitian ini untuk dokumentasi lainnya yang berkaitan dan
menemukan jawaban yang diperoleh melalui mendukung penelitian.
deskripsi komprehensif terkait makna aset Keterbatasan geografis dan alasan
bersejarah dan perlakuan akuntansi untuk pragmatis seperti waktu, biaya, dan tenaga, harus
mengakui, menilai dan mencatat aset bersejarah dijadikan pertimbangan dalam memilih lokasi
tersebut. penelitian. Lokasi penelitian dari penelitian ini
Peneliti menggunakan metode penelitian adalah makam Sunan Giri. Pemilihan lokasi
kualitatif berupa studi kasus untuk pengelolaan tersebut berdasarkan pada beberapa hal yaitu:
aset bersejarah berupa makam Sunan Giri di 1. Makam Sunan Giri merupakan salah satu
Kabupaten Gresik. Metode studi kasus dipilih aset bersejarah yang sangat populer
agar dapat menjelaskan isu atau fenomena sehingga membuat peneliti ingin meneliti
mengenai aset bersejarah secara keseluruhan dan tentang aset bersejarah tersebut.
komprehensif. Perdebatan terjadi karena belum 2. Aset bersejarah di komplek makam Sunan
disepakatinya cara atau teknik untuk membatasi Giri dikelola oleh UPTD Makam Sunan
obyek penelitian studi kasus agar dapat disebut Giri dan Yayasan Makam Sunan Giri yang
sebagai kasus. Hal ini sesuai dengan isu memiliki catatan akuntansi atas
mengenai perlakuan akuntansi pada aset pengelolaan makam Sunan Giri.
bersejarah yang hingga kini belum disepakati
Penelitian ini seperti yang telah dijelaskan
secara umum.
sebelumnya menggunakan data primer dari hasil
Sumber data yang digunakan pada
wawancara. Wawancara pasti melibatkan
penelitian ini berupa data primer dan data
informan sebagai narasumber. Informan adalah
sekunder. Data primer adalah data yang
orang yang diwawancarai, diminati informasi
dikumpulkan sendiri oleh perorangan/suatu
oleh pewawancara/peneliti (Bungin, 2007).

33
Informan harus merupakan sosok yang Triangulasi jenis ini digunakan untuk
menguasai dan memahami data, informasi, menguji kebenaran suatu informasi yang
ataupun fakta dari suatu objek. Adapun informan diperoleh. Cara perbandingannya adalah
dalam penelitian ini adalah: dengan membandingkan informasi yang
didapat metode interviu dengan metode
Tabel 1. Daftar Informan
Inisial Asal Lembaga Jabatan
observasi, atau apakah hasil observasi sama
MS Dinas Pariwisata Kepala Dinas dengan informasi yang diberikan ketika
dan Kebudayaan interviu.
K Dinas Pariwisata Kasi Sejarah dan Metode analisis data adalah suatu proses
dan Kebudayaan Purbakala mencari makna dari sekumpulan data sehingga
M Dinas Pariwisata Bendahara Barang
dapat dituangkan dalam pembahasan temuan
dan Kebudayaan
I Dinas Pariwisata UPTD Kawasan penelitian. Menganalisis data kualitatif
dan Kebudayaan Wisata Giri membutuhkan daya kreatif serta kemampuan
S Yayasan Makam Kepala Yayasan intelektual tinggi.
Sunan Giri Makam Sunan Giri Berbeda dengan penelitian kuantitatif,
penelitian kualitatif lebih menekankan kepada
Menurut Sugiyono (2010) teknik penggunaan metode-metode yang berbeda untuk
pengumpulan data merupakan langkah yang dapat memahami, menganalisis, dan
paling penting dalam penelitian, karena tujuan mengungkapkan fenomena dari suatu kejadian
dari penelitian adalah untuk memperoleh data. secara lebih natural serta mencari jawaban atas
Tanpa mengetahui teknik dalam mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang menyoroti cara
data, maka peneliti akan kesulitan mendapatkan munculnya pengalaman sosial sekaligus
data yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. perolehan maknanya (Denzin and Lincoln,
Berikut ini adalah teknik pengumpulan data 2009). Analisis data juga memerlukan
yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian: interpretasi khusus terkait hal-hal penting yang
1. Survei pra-penelitian. Survei pra-penelitian perlu diungkapkan agar dapat mejadi informasi
ini dilakukan untuk memastikan yang berguna bagi penelitiannya. Secara umum,
ketersediaan data dan kesediaan pemilik metode analisis data pada penelitian kualitatif
data untuk membagikan data tersebut. dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah data
Sebelum penelitian dilakukan, peneliti reduction dan kedua adalah data display. Setelah
meminta ijin kepada pihak-pihak yang itu dilakukan penarikan kesimpulan.
terkait dalam penelitian dengan mengujungi
lokasi penelitian. Dalam penelitian ini 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
peneliti meminta ijin kepada Kepala Dinas Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M, dan
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten dimakamkan diatas bukit dalam cungkup
Gresik. berarsitektur yang sangat unik. Makam Sunan
2. Penelitian lapangan dan pengumpulan data. Giri terletak di Dusun Giri Gajah, Desa Giri,
Untuk mengetahui secara langsung Kecamatan Kebomas berjarak 4 km dari pusat
bagaimana dinas terkait mengelola aset Kota Gresik. Komplek makam yang ada di
bersejarah menjadi subjek penelitian, maka puncak Bukit Giri ini berada di tengah-tengah
penelitian lapangan perlu untuk dilakukan. makam keluarga dan masyarakat Giri. Lokasi
Langkah pengumpulan data adalah dengan tersebut dapat dijangkau dengan mudah oleh
wawancara dan dokumentasi. transportasi umum, dan dikawasan tersebut
3. Data yang telah dikumpulkan dapat tersedia lahan parkir yang memadai, kios-kios
dilakukan uji keabsahan untuk memperkuat aneka suvenir serta terdapat fasilitas penunjang
validitas data penelitian dengan melakukan berupa masjid Giri.
triangulasi peneliti, metode, teori, dan Secara keseluruhan lingkungan makam ini
sumber data (Bungin, 2007:256). nampak anggun dan berwibawa. Gapuro (pintu
Triangulasi yang dilakukan dalam gerbang) berbentuk sepasang naga dengan
penelitian ini adalah triangulasi metode. candra sangkala. Setiap hari tidak pernah sepi

34
peziarah, namun saat-saat yang paling banyak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
pengunjung adalah setiap bulan Ramadhan dari Gresik mengatakan:
awal sampai akhir, dan pada puncaknya adalah “Aset bersejarah merupakan aset berwujud
pada malam selawe (25 Ramadhan). Sedangkan yang memiliki manfaat di masa yang akan
haul beliau jatuh pada hari Jumat terakhir bulan datang dalam bentuk nilai sejarah, ilmu
Maulud. pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau
Komplek Makam Sunan Giri ini dikelola kebudayaan yang terjadi akibat peninggalan
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sejarah sehingga dapat dimanfaatkan oleh
Kabupaten Gresik dan juga Yayasan Makam pemerintah maupun masyarakat umum yang
Sunan Giri dimana pendapatan dari retribusi harus dijaga dan dipelihara kelestariannya.“
parkir untuk masuk komplek Makam Sunan Giri Berdasarkan argumen tersebut, maka MS
di kelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan meyakini bahwa aset bersejarah masuk ke dalam
Kabupaten Gresik sementara pendapatan dari golongan aset dan bukan liabilitas karena aset
infaq dan pemberian bantuan untuk pengelolaan bersejarah memiliki manfaat di masa yang akan
Makam Sunan Giri dikelola oleh Yayasan datang. Aset bersejarah dapat melakukan hal itu,
Makam Sunan Giri. antara lain melalui jumlah pengunjung yang
Pemahaman tentang makna aset bersejarah dapat didatangkan setiap tahunnya serta
memainkan peranan penting dalam menganalisis keuntungan-keuntungan lain yang tidak hanya
perlakuan akuntansi untuk makam Sunan Giri didapatkan oleh entitas yang memilikinya
sebagai aset bersejarah (heritage assets). Hal ini namun juga keuntungan bagi masyarakat.
beralasan karena makna atau definisi aset dapat Pernyataan MS juga didukung oleh K, yang
mempengaruhi aspek pengakuan, penilaian, menyatakan:
penyajian dan pengungkapannya. Ada dua aspek “Aset bersejarah adalah aset yang memiliki
utama yang perlu diperhatikan dalam memahami nilai, baik nilai historis maupun nilai lainnya
aset bersejarah yaitu apakah aset bersejarah yang berkaitan dengan suatu peristiwa di masa
termasuk aset atau liabilitas dan kriteria lalu sehingga kelak di masa depan aset
umurnya. bersejarah tersebut dapat menjadi bukti nyata
Definisi mengenai aset bersejarah (heritage adanya peristiwa di masa lalu.”
assets) masih diperdebatkan oleh para ahli Berdasarkan pendapat tersebut, maka K
sehingga belum ada definisi akuntansi yang tepat mengelompokkan aset bersejarah sebagai aset
hingga saat ini. Hal tersebut mempengaruhi dan bukan liabilitas karena memiliki nilai
pendapat beberapa ahli dalam historis yang kelak di masa depan dapat menjadi
mengklasifikasikan aset bersejarah apakah bukti nyata adanya peristiwa di masa lalu. Selain
masuk dalam golongan aset atau liabilitas. itu dengan adanya nilai historis yang melekat
Seperti yang disampaikan oleh Micallef dan pada aset bersejarah tersebut maka pemerintah
Peirson (1997), aset bersejarah tergolong dalam wajib mengelola dan menjaga aset bersejarah
aset dan dapat dimasukkan dalam neraca. tersebut.
Pernyataan ini berbeda dengan apa yang Pendapat di atas menunjukkan bahwa aset
disampaikan oleh Carnegie dan Wolnizer (1995) bersejarah memang tepat ditempatkan dalam
yang mengatakan bahwa aset bersejarah golongan aset. Selain karena dapat
bukanlah aset dan akan lebih tepat menghasilkan keuntungan ekonomi di masa
diklasifikasikan sebagai liabilitas, atau secara yang akan datang, aset bersejarah juga
alternatif disebut sebagai fasilitas dan merupakan sesuatu yang dimiliki oleh suatu
menyajikannya secara terpisah. entitas. Berbeda dengan liabilitas yang justru di
Pandangan tentang makna aset bersejarah masa yang akan datang ada kewajiban yang
dapat dilihat pada kasus Makam Sunan Giri, harus dipenuhi, yaitu kewajiban untuk
sebagaimana yang diungkapkan oleh informan menyerahkan barang atau jasa pada pihak lain.
yang dilibatkan dalam penelitian ini. Pendapat Meskipun argumen yang dipakai berbeda,
yang mereka ungkapkan mengenai definisi aset namun kedua informan tersebut memiliki
bersejarah pun bermacam-macam. MS, Kepala pemahaman yang sama tentang makna aset

35
bersejarah. Secara eksplisit dapat dilihat bahwa dapat diakui sebagai aset bersejarah. Aset
aset bersejarah pada dasarnya merupakan suatu bersejarah dapat dimaknai memberikan manfaat
aset bukan liabilitas sebagaimana yang di masa yang akan datang dalam bentuk nilai
disampaikan oleh Carnegie dan Wolnizer sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama
(1995). Hal ini sama dengan hasil penelitian dan/atau kebudayaan yang terjadi akibat
yang dilakukan Ridwan Mohammad (2015) peninggalan sejarah sehingga perlu dijaga
yang meneliti aset bersejarah dengan Candi kelestariannya. Konsekuensinya, entitas
Penataran sebagai objeknya dimana Candi pengelola memiliki kewajiban untuk
Penataran juga dikelompokkan menjadi aset melestarikannya bukan untuk
bukan liabilitas. mengeksploitasinya demi kepentingan
Pada tahap pengakuan aset bersejarah, komersial. Aset bersejarah lebih dimaknai dari
dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia aspek non moneter bukan aspek moneter.
seharusnya memperlakukan sama antara non-
Metode Penilaian yang Digunakan untuk
operational heritage assets dengan operational
Makam Sunan Giri
heritage aset yaitu diakui sebagai aset tetap
dalam laporan keuangan. Namun, jenis non Aspek penting lain dari aset adalah aspek
operational heritage assets yang dapat diakui penilaian. Secara teoritis, penilaian merupakan
dalam neraca adalah jenis aset tanah dan penentuan jumlah rupiah suatu elemen laporan
bangunan bersejarah yang diperoleh pada keuangan yang akan disajikan dalam laporan
periode berjalan. Hal ini sejalan dengan keuangan. Meskipun secara konseptual banyak
pengakuan aset bersejarah bahwa dapat diakui metode yang dapat digunakan dalam penilaian
sebagai aset tetap dalam neraca jika memiliki aset namun tidak semua aset mudah untuk
biaya yang andal sehingga untuk menentukan dinilai, salah satunya adalah aset bersejarah.
biaya yang andal maka diperlukan bukti yang Melakukan penilaian atas aset bersejarah
menunjukkan berapakah biaya yang melekati memang tidak mudah untuk dilakukan. Berbagai
suatu item tersebut, karena pada dasarnya aset macam alasan melatarbelakangi adanya
bersejarah yang bernilai sering menjadi pernyataan tersebut. Diantaranya adalah seperti
perhatian publik sehingga jika dikelola dengan yang diungkapkan oleh K terkait penilaian
baik, publik akan menilai entitas pemerintahan makam Sunan Giri berikut ini:
memiliki kinerja yang baik. “Nilai dari makam sunan giri itu sampai
Beberapa praktik akuntansi di beberapa sekarang tidak dapat ditentukan berapa rupiah,
negara mencoba menemukan apakah akuntansi karena belum ada tenaga ahli untuk menilai aset
dapat memperlakukan aset bersejarah dengan bersejarah, selain itu juga menghindari adanya
lebih baik. Penggunaan aset bersejarah dan pihak yang akan menduplikasi makam tersebut.”
waktu pemerolehan aset bersejarah akan Bagi seseorang yang sudah bersinggungan
mempengaruhi perlakuan pengakuan aset dalam langsung dengan aset bersejarah, khususnya
laporan keuangan. Saat ini hanya Australia dan pihak pengelola, aset bersejarah diyakini
New Zaeland saja yang mengakui aset memiliki nilai yang tak terhingga sehingga tidak
bersejarah sebagai aset tetap dalam laporan mudah bagi mereka untuk menentukan berapa
keuangan. Sedangkan di Amerika hanya nilai aset tersebut. Menilai aset bersejarah
mengakui operational heritage asset sebagai dianggap terlalu tabu, karena suatu aset yang tak
aset tetap dalam laporan keuangan. Sedangkan ternilai harganya tersebut jika dinilai dalam
Swedia mengakui aset bersejarah yang diperoleh bentuk moneter maka tidak akan ada nilai
dalam periode berjalan. Hal ini menunjukkan nominal yang mampu mewakilinya.
bahawa tiap negara memiliki perlakuan yang Metode penilaian yang dikenal untuk
berbeda terhadap pengakuan aset bersejarah. menilai aset sebenarnya ada beragam jenis,
Gambaran di atas menunjukkan bahwa aset diantaranya adalah melalui pendekatan
bersejarah, termasuk Makam Sunan Giri, dapat historical cost dan fair value. Keduanya biasa
diakui sebagai aset. Dengan kriteria umur yang digunakan untuk menilai sebuah aset, namun
lebih dari 50 tahun maka Makam Sunan Giri akan berbeda halnya jika hal ini diterapkan untuk

36
menilai aset bersejarah. Aset bersejarah aset bersejarah yang terungkap dalam penelitian
memiliki karakteristik khusus dibandingkan ini. Aset bersejarah merupakan manfaat di masa
dengan aset pada umumnya. M menjelaskan yang akan datang dalam bentuk nilai sejarah,
bahwa: ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau
“Aset bersejarah tidak bisa dihitung kebudayaan yang terjadi akibat peninggalan
menggunakan pendekatan biaya dan alternatif sejarah. Makna ini mengindikasikan bahwa aset
terhadap historical cost kan fair value, nilai bersejarah tidak langsung berkaitan dengan
wajarnya berapa itu tidak mudah ditentukan aspek ekonomi sehingga tidak mudah untuk
karena kita tidak tahu market value. Market menilai besarnya jumlah rupiah yang melekat
value-nya tidak tersedia, maka kita lakukan pada aset bersejarah termasuk Makam Sunan
appraisal, namun dengan dasar apa?” Giri. Hal ini sama dengan hasil penelitian yang
Dari pernyataan di atas, maka dapat dilihat dilakukan Fauziah Galuh (2014) yang meneliti
bahwa M meyakini pendekatan biaya (historical aset bersejarah dengan Candi Borobudur sebagai
cost) tidak cocok digunakan untuk dijadikan objeknya dimana Candi Borobudur juga dicatat
alternatif pendekatan penilaian aset bersejarah, dengan nilai nol.
khususnya Makam Sunan Giri. Alternatif adalah Menurut teori pengukuran versi Campbell
dengan membuat nilai prediksi (appraisal) (1928 dalam Kam, 1992), pengukuran berkaitan
berapa nilai ekonomi yang dapat dihasilkan dengan penentuan angka-angka yang
Makam Sunan Giri tersebut termasuk untuk menggambarkan sifat-sifat sistem material dan
lingkungan di sekitarnya. Namun, hal tersebut bilangan-bilangan didasarkan pada hukum yang
juga menimbulkan kendala, terlebih bagi aset mengatur tentang sifat-sifat obyeknya. Makam
bersejarah yang tidak memiliki nilai ekonomi. Sunan Giri sebagai aset bersejarah memiliki
Nilai prediksi untuk nilai ekonomi suatu aset sifat-sifat unik yang tidak berkaitan dengan
akan susah dilakukan jika aset tersebut tidak angka moneter sebagaimana pendapat Campbell
memiliki nilai ekonomi. tetapi lebih berkaitan dengan nilai
Jika dilihat dari laporan keuangan yang kesejarahannya.
selama ini dibuat oleh pihak pengelola makam, Temuan ini sejalan dengan argumen
Makam Sunan Giri dinyatakan dengan nilai Rp0 Aversano dan Christiaens (2012) yang
dalam laporan keuangan. Hal tersebut sesuai berpendapat bahwa aset bersejarah berbeda
dengan pernyataan yang disampaikan oleh S, dengan aset pada umumnya karena aset tersebut
Kepala Yayasan Makam Sunan Giri yang tidak dapat diproduksi ulang, digantikan dan
mengatakan: juga tidak memungkinkan kondisinya untuk
“Makam Sunan Giri tidak ada nilainya, diperdagangkan. Lebih lanjut, Hooper et al.
kebijakan dari Kementerian Keuangan tidak ada (2005) meyakini bahwa aset bersejarah lebih
nilainya, nilainya ya 0. Dalam pelaporan berkaitan dengan nilai kesejarahan yang ada di
barang milik negara, ada: extra comptable, dalamnya bukan nilai ekonomi yang tersimpan
intra comptable, aset lainnya, aset bersejarah. dalam aset bersejarah tersebut.
Makam Sunan Giri masuk dalam akun aset
Penyajian dan Pengungkapan Makam Sunan
bersejarah, justru kalau nilainya Rp1 malah
Giri dalam Laporan Keuangan
menjadikan disclaimer, di CaLK juga tidak ada
nilainya. Dia tidak ada pengaruhnya terhadap Penyajian dan pengungkapan adalah unsur
neraca.” penting lainnya dalam pelaporan keuangan.
Nilai nol yang diberikan untuk Makam Melalui penyajian dan pengungkapan, entitas
Sunan Giri bukan berarti bahwa Makam Sunan dapat menyampaikan informasi penting bagi
Giri tidak memiliki nilai. Hal tersebut dilakukan pihak yang membutuhkan. Konsekuensinya,
untuk memenuhi tujuan pelaporan keuangan penyajian dan pengungkapan aset bersejarah
yaitu melaporkan segala jenis aset yang dimiliki juga memainkan peranan penting dalam
oleh negara. Kesulitan dalam melakukan pelaporan keuangan entitas pengelolanya.
penilaian terhadap Makam Sunan Giri sebagai Menurut PSAP No. 07 Tahun 2010, aset
aset bersejarah dapat dikaitkan dengan makna bersejarah merupakan aset tetap yang dimiliki

37
atau dikuasai oleh pemerintah yang karena umur Tabel 2. Catatan atas Laporan Keuangan
dan kondisinya aset tetap tersebut harus Yayasan Makam Sunan Giri tahun 2016
dilindungi oleh peraturan yang berlaku dari Kegiatan % Alokasi Dana
segala macam tindakan yang dapat merusak aset Haul Sunan Giri 20% + Rp. 160.000.000
tetap tersebut. Terkait dengan penyajian dan Pegawai dan 20% + Rp. 160.000.000
pengungkapannya dalam laporan keuangan, aset Karyawan
bersejarah diungkapkan dalam CaLK saja tanpa Pembangunan 15% + Rp. 120.000.000
Keadaan Sosial 15% + Rp. 120.000.000
nilai. Beberapa aset bersejarah juga memberikan
Perawatan 10% + Rp. 80.000.000
potensi manfaat lainnya kepada pemerintah Rapat dan Tamu 10% + Rp. 80.000.000
selain nilai sejarahnya, misalnya untuk ruang Dinas
perkantoran. Untuk kasus tersebut, aset ini akan Administrasi 10% + Rp. 80.000.000
diterapkan prinsip-prinsip yang sama seperti aset Total Rp. 800.000.000
tetap lainnya. I mengungkapkan:
“Pendapatan untuk retribusi parkir makam Makam Sunan Giri merupakan aset
Sunan Giri pada tahun 2016 sekitar 1,2 miliar bersejarah yang dikelola oleh Yayasan Makam
dan langsung masuk ke kas daerah, pendapatan Sunan Giri di bawah Dinas Pariwisata dan
tersebut sudah sesuai target pendapatan dari Kebudayaan Kabupaten Gresik, sehingga
retribusi parkir makam sunan Giri, dan untuk penyajian dan pengungkapan Makam Sunan Giri
tahun 2017 target pendapatan tersebut naik dalam laporan keuangan merupakan tanggung
menjadi 1,25 miliar, apabila tidak mencapai jawab pemerintah. Informan di lapangan tidak
target maka akan diadakan evaluasi.” mampu mengungkapkan secara detail alasan
Komplek Makam Sunan Giri ini dikelola penyajian dan pengungkapan Makam Sunan Giri
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam laporan keuangan.
Kabupaten Gresik dan juga Yayasan Makam Tabel 2 menunjukkan bahwa Makam Sunan Giri
Sunan Giri dimana pendapatan dari retribusi terbukti sudah diungkapkan dalam laporan
parkir untuk masuk komplek Makam Sunan Giri keuangan, yaitu dalam CaLK. Penyajian dan
di kelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan pengungkapan Makam Sunan Giri dalam CaLK,
Kabupaten Gresik lewat UPTD Kawasan Wisata tanpa diungkapkan dalam neraca, karena adanya
Giri yang pada tahun 2016 mendapat pendapatan kesulitan untuk menilai makam tersebut. Jika
sekitar 1,2 miliar rupiah dan semua pendapatan makam dimasukkan dalam neraca tentu ada
tersebut masuk kas daerah Kabupaten Gresik. kewajiban untuk menilai makam tersebut, lalu
Dan untuk tahun 2017 target pendapatan tersebut makam akan masuk dalam daftar aset. Walaupun
naik menjadi 1,25 miliar, apabila tidak mencapai Makam Sunan Giri tidak dimasukkan dalam
target maka akan diadakan evaluasi. neraca, penyajian dan pengungkapan dalam
Sementara pendapatan dari infaq dan CaLK paling tidak sudah memenuhi tanggung
pemberian bantuan untuk pengelolaan Makam jawab pihak pengelola untuk melaporkan aset
Sunan Giri dikelola oleh Yayasan Makam Sunan yang mereka kelola. Hal ini menunjukkan bahwa
Giri yang pada tahun 2016 mendapatkan dana letak penyajian dan pengungkapan suatu aset
sekitar 800 juta rupiah, dan dana tersebut dalam laporan keuangan baik dalam neraca
digunakan untuk berbagai kegiatan yang maupun CaLK bergantung pada kepentingan
berhubungan dengan Makam Sunan Giri, seperti penyusun laporan keuangan. Tujuan pemerintah
kegiatan haul Sunan Giri, Pembangunan dan untuk melaporkan aset bersejarah dalam laporan
Perawatan Makam Sunan Giri yang keuangan tentu sebagai bentuk
selengkapnya tersaji dalam tabel berikut ini: pertanggungjawaban pemerintah kepada
masyarakat untuk melaporkan segala aset negara
yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah
merupakan sebuah entitas yang tidak
berorientasi pada profit (keuntungan) sehingga
dalam penyusunan laporan keuangan pun
berbeda dengan entitas yang profit oriented.

38
Kesesuaian Standar Akuntansi saat ini informasi yang ada di dalamnya. Temuan
dengan Standar Akuntansi yang diterapkan penelitian tersebut mengindikasikan perlakuan
untuk Makam Sunan Giri akuntansi yang diterapkan oleh pihak pengelola
Makam Sunan Giri sesuai dengan standar
Akuntansi untuk aset bersejarah diatur
akuntansi bagi aset bersejarah yang berlaku saat
dalam Pedoman Standar Akuntansi
ini, yaitu PSAP No. 07 Tahun 2010.
Pemerintahan (PSAP) No. 07 Tahun 2010.
Dilihat dari segi penilaiannya, aset bersejarah 4. KESIMPULAN
tidak diperbolehkan menganut penilaian kembali
Aset bersejarah merupakan aset berwujud
(revaluation), namun menganut penilaian aset
yang memiliki manfaat di masa yang akan
berdasarkan biaya perolehan atau harga
datang dalam bentuk nilai sejarah, ilmu
pertukaran. Dalam hal terjadi perubahan harga
pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau
secara signifikan, pemerintah dapat melakukan
kebudayaan yang terjadi akibat peninggalan
revaluasi atas aset yang dimiliki agar nilai aset
sejarah sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tetap pemerintah yang ada saat ini
pemerintah maupun masyarakat umum yang
mencerminkan nilai wajar sekarang.
harus dijaga dan dipelihara kelestariannya.
Yayasan Makam Sunan Giri tidak
Nilai Makam Sunan Giri tidak hanya
menerapkan metode penilaian apapun, baik
berkaitan dengan nilai ekonomi, tetapi
melalui pendekatan biaya maupun penilaian
mencakup nilai sejarah, ilmu pengetahuan,
kembali (revaluation). Hal ini bukan berarti
pendidikan, agama dan/atau kebudayaan. Oleh
pihak pengelola tidak menjalankan apa yang
karena itu, sampai saat ini belum ada dasar
sudah diatur dalam PSAP, namun tidak semua
penilaian yang dianggap paling tepat untuk
aset bersejarah khususnya makam mudah untuk
Makam Sunan Giri.
dinilai. Standar akuntansi tersebut mungkin
Makam Sunan Giri disajikan dan
dapat diterapkan untuk aset bersejarah lainnya,
diungkapkan dalam Catatan atas Laporan
misalnya ruang perkantoran, lukisan, museum,
Keuangan dengan tanpa nilai. Hal tersebut
dan lain- lain.
membuktikan bahwa dinas terkait, dalam hal ini
Jika dilihat dari segi penyajian dan
Yayasan Makam Sunan Giri sudah memenuhi
pengungkapan dalam laporan keuangan,
tanggung jawabnya untuk memasukkan Makam
menurut PSAP No. 07 Tahun 2010, aset
Sunan Giri dalam laporan keuangan
bersejarah diungkapkan dalam Catatan atas
sebagaimana yang diwajibkan oleh pemerintah
Laporan Keuangan (CaLK) saja tanpa nilai,
bahwa segala jenis aset negara harus
kecuali untuk beberapa aset bersejarah yang
diungkapkan dalam laporan keuangan.
memberikan potensi manfaat lainnya kepada
Praktik akuntansi yang diterapkan untuk
pemerintah selain nilai sejarahnya, misalnya
Makam Sunan Giri juga sudah sesuai dengan
gedung untuk ruang perkantoran. Untuk kasus
standar akuntansi yang berlaku, karena Makam
jenis aset ini, penilaian aset didasarkan pada
Sunan Giri juga diungkapkan dalam CaLK saja
prinsip-prinsip yang sama seperti aset tetap
dan tanpa nilai hanya berupa jumlah unitnya.
lainnya. Aset bersejarah yang masuk dalam
golongan tersebut akan dimasukkan dalam 5. REFERENSI
neraca. Act Accounting Policy. 2009. Heritage and
Yayasan Makam Sunan Giri sudah Community Assets: Measurement of
menerapkan apa yang tercantum dalam PSAP Heritage and Community Assets.
No. 07 Tahun 2010 tersebut. Berdasarkan Accounting Policy Team-New Zaeland
analisis laporan keuangan Yayasan Makam Treasury. 2002. Valuation Guidance for
Sunan Giri, Makam Sunan Giri disajikan dan Cultural and Heritage Assets.
diungkapan dalam CaLK saja tanpa nilai dan Aversano, Natalia dan Caterina Ferrone. 2012.
hanya berupa jumlah unitnya. Penyajian dan The Accounting Problem of Heritage
pengungkapan Makam Sunan Giri dalam Assets. Advanced Research in Scientific
laporan keuangan membuktikan bahwa pihak Areas.
pengelola bersikap transparan atas segala jenis

39
Barton, A. 2000. The Conceptual Arguments Thacker, Ronald J. 1979. Accounting Principles.
Concerning Accounting for Public Heritage Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall
Assets: A Note. Accounting, Auditing, Internasional.
Accountability Journal, 18. Wild, Susan. 2013. Accounting for Heritage,
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Cultural, and Community Assets-
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Alternative Metrics from a New Zealand
Bungin, M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Maori Educational Institution. AABFJ. Vol.
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, 7 No. 1.
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Chief Operating Officer and DVC. 2007.
Heritage Assets: Valuation and Stocktaking
Policy. The University of Sydney: Sydney.
Hooper, Keith, Kate Kearins, dan Ruth Green.
2005. Knowing “The Price of Everything
and the Value of Nothing”: Accounting for
Heritage Assets. Accounting, Auditing &
Accountability Journal. Vol. 18 No.3,
pp.410-433.
International Public Sector Accounting
Standards Boards. 2006. Accounting for
Heritage Assets Under the Accrual Basis of
Accounting. International Federation of
Accountants.
International Federation of Accountants. 2006.
Accounting for Heritage Assets Under the
Accrual Basis of Accounting. New York.
Kingston University/RICS. 2007. A Draft
Summary Report on the Valuation of
Heritage Assets.
Moleong, Lexy J, Dr. 2010. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Miles, B. B., dan A. M Huberman. 1992. Analisa
Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Pedoman Standar Akuntansi Pemerintah. 2011.
Nomor 07: Aset Tetap.
Pallot, June.1990. “The Nature of Public Assets:
A Response to Mautz”. Accounting
Horizon.
Rusdiyanto. 2005. Evaluasi Arah Kebijakan
Akuntansi bagi Heritage Assets dalam
Akuntansi Pemerintah RI. Disertasi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Rowles, Tom. 1992. “Infrastucture and
Heritage Assets Accounting”. Australian
Accountant.
Syahdin, Akhmad Fajarullah dan Arianto A.
Patunru. 2012. Economic Valuation of
World Heritage Site: A Case Study of
Chandi Borobudur.

40
PERAN APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH DALAM
PERCEPATAN PENANGANAN DARURAT COVID-19
DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

Nurina Vidya Pratiwi1, Bondan Wahyusari Kusumo2


1
Inspektorat Kota Surakarta
email: Nurinav42@gmail.com
2
Inspektorat Kota Surakarta
email: bondan.wahyusari@gmail.com

Abstrak
Ditetapkannya Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) oleh WHO sebagai pandemik global,
memerlukan upaya penanganan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
melakukan langkah-langkah percepatan penanganan dan antisipasi dalam situasi tanggap darurat.
Dalam situasi tanggap darurat mekanisme penganggaran daerah dilakukan secara khusus melalui
refocusing kegiatan dan realokasi anggaran daerah. Melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) di Lingkungan Pemerintah Daerah APIP diberikan amanat untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut. Dan
sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran BPKP Nomor SE-6/K/SE/2020 maka pengawasan
APIP atas pengadaan barang/jasa dalam rangka percepatan penanganan COVID-19 dilaksanakan
melalui kegiatan Reviu. Tulisan ini bertujuan mengupas peran APIP dalam melakukan pembinaan
dan pengawasan penggunaan anggaran guna penyediaan barang dan jasa dalam upaya percepatan
penanganan COVID-19 di daerah. Dalam menjalankan tugasnya, APIP dihadapkan pada area-area
berisiko tinggi yang membutuhkan pengawasan intensif terkait pendanaan untuk penanganan
bencana, pengadaan barang dan jasa dalam penanganan keadaan darurat, dan juga pengelolaan jaring
pengaman sosial. Tugas pengawasan oleh APIP dalam percepatan penanganan COVID-19
dijalankan melalui pendampingan/asistensi secara paralel dengan proses refocusing dan realokasi
anggaran dan juga proses pengadaan barang/jasa dengan tetap memperhatikan protokol penanganan
COVID-19 guna memastikan seluruh proses dan tahapannya berjalan lancar dengan tetap
mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Kata kunci: COVID-19, anggaran, APIP

Abstract
The declaration of Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) by WHO as a global pandemic requires
joint handling efforts of the Central Government and Regional Governments to accelerate handling
and anticipation emergency response situations. In this situations, the regional budgeting
mechanism is carried out specifically through refocusing and reallocation of regional budget.
Through the instruction of the Minister of Home Affairs Number 1 of 2020 concerning the Prevention
of the Spread and Acceleration of Handling of Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) in the
Regional Government, APIP is mandated to carry out guidance and supervision of the
implementation of this Ministerial Instruction. As stated in BPKP Circular Letter Number SE-
6/K/SE/2020, APIP supervision of the procurement of goods and services in order to accelerate the
handling of Covid 19 is carried out through review activities. This paper aims to examine the role of
APIP in conducting guidance and monitoring of budget use for the provision of goods and services
in an effort to accelerate the handling of COVID-19 in the regions. In carrying out its duties, APIP
is dealing with high-risk areas that require intensive supervision related to disaster funding
management, procurement of goods and services in emergency handling, and also management of
social safety nets. The APIP’s supervision of accelerated handling of COVID-19 is carried out

41
through parallel assistance with the refocusing and budget reallocation process and also the process
of procuring goods/services while still paying attention to the handling protocol for COVID-19 to
ensure that all processes and stages run smoothly while maintaining the principles accountability
and transparency.

Keywords: COVID-19, budget, APIP

1. PENDAHULUAN kedaruratan, dan dilaksanakan sesuai dengan


prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun
Sejalan dengan hal tersebut, melalui
2007 Pasal 1 angka 19, yang dimaksud dengan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
Status keadaan darurat bencana adalah suatu
2020 diktum keenam, Aparat Pengawasan Intern
keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
Pemerintah (APIP) mendapat amanat untuk
jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi
melakukan pembinaan dan pengawasan atas
Badan yang diberi tugas untuk menanggulangi
pelaksanaan Instruksi Dalam Negeri tersebut
bencana. Pada bulan Maret 2020, Organisasi
dengan mengidentifikasi titik resiko proses
Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi
penanganan bencana dan memastikan efektivitas
mengumumkan bahwa wabah Corova Virus
pengendalian yang ada, melakukan kegiatan
Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi
monitoring terkait kepatuhan dan efektivitas,
global. Sejak saat itu berbagai elemen
meningkatkan peran advice dan insight terutama
Pemerintah berkoordinasi untuk melakukan
terkait tata kelola, resiko, dan pengendalian,
langkah-langkah antisipasi dan penanganan
serta terus melakukan peningkatan dan
dampak yang cepat, tepat, fokus, terpadu dan
pemanfaatan TI untuk mendukung pelaksanaan
sinergis antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
pengawasan intern yang cepat dan intensif. APIP
Daerah dalam rangka percepatan penanganan
juga diharapkan untuk terus menjaga
COVID-19.
pelaksanaan penanganan COVID-19 dan terus
Kondisi pandemik COVID-19 yang
berkolaborasi, berinovasi dan saling membantu
memerlukan penanganan cepat di kondisi
demi terciptanya akuntabilitas penanganan
darurat mendorong dikeluarkannya kebijakan
COVID-19. Adapun salah satu bentuk
khusus yang berbeda dengan pengaturan secara
pengawasan APIP dijelaskan melalui Surat
umum di bidang pengelolaan keuangan daerah.
Edaran BPKP Nomor SE-6/K/SE/2020 yaitu
Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
pengawasan APIP atas pengadaan barang/jasa
20 Tahun 2020, Pemerintah Daerah harus
dalam rangka percepatan penanganan COVID-
memprioritaskan Anggaran Pendapatan dan
19 dilaksanakan melalui kegiatan Reviu.
Belanja Daerah (APBD) untuk melakukan
Tujuan penulisan ini adalah mengupas
langkah-langkah antisipasi dan penanganan
peran APIP dalam melakukan pembinaan dan
dampak penularan COVID-19 di daerahnya.
pengawasan penggunaan anggaran guna
Langkah-langkah tersebut dijabarkan ke dalam
penyediaan barang dan jasa dalam percepatan
penanganan kesehatan, penanganan dampak
penanganan pandemi COVID-19 di lingkungan
ekonomi serta jaringan pengaman sosial.
Pemerintah Daerah yang dilakukan dalam situasi
Adapun mekanisme penganggarannya dilakukan
tanggap darurat.
melalui refocusing dan realokasi anggaran
Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan
daerah tahun 2020. Menurut Undang-Undang
Aparatur Negara Nomor 220 Tahun 2008, yang
Nomor 24 Tahun 2007 dan Peraturan
dimaksud APIP adalah instansi pemerintah yang
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008, bahwa tata
dibentuk untuk melaksanakan tugas pengawasan
cara pemanfaatan serta pertanggungjawaban
intern (internal audit) di lingkungan pemerintah
penggunaan sumber daya bantuan bencana pada
pusat dan/atau pemerintah daerah. APIP terdiri
saat tanggap darurat dilakukan secara khusus
dari Badan Pengawasan Keuangan dan
sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi
Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal

42
Kementerian, Inspektorat/Unit Pengawasan pemerintah, serta dapat mendukung manajemen
Intern pada Kementerian Negara, Inspektorat pemerintah daerah dalam pelaksanaan
Utama/Inspektorat Lembaga Pemerintah Non rekomendasi BPK dan perbaikan sistem
Kementerian, Inspektorat/Unit Pengawasan pengendalian Internal. APIP yang profesional
Intern pada Kesekretariatan Lembaga Tinggi dan independen mendorong peningkatan
Negara dan Lembaga Negara, Inspektorat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Unit Pengawasan keuangan yang dapat meningkatkan kewajaran
Intern pada Badan Hukum Pemerintah lainnya laporan keuangan.
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, tugas pengawasan oleh APIP
APIP Daerah memiliki fungsi dan peran dalam percepatan penanganan COVID-19
dalam melakukan pembinaan Sistem dijalankan melalui:
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dan 1. Monitoring dan koordinasi penggunaan
mendorong peningkatan efektivitas manajemen anggaran penerima bantuan;
risiko (risk management), pengendalian 2. Kesesuaian penyaluran bantuan kepada
(control), dan tata kelola (governance) penerima bantuan;
organisasi sebagaimana diamanatkan dalam 3. Pencegahan gratifikasi dalam pemberian
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 bantuan hingga penerimaan bantuan;
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah 4. Pengawasan anggaran yang dialokasikan ke
(SPIP). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 daerah dalam rangka percepatan
Tahun 2008 pasal 11, perwujudan peran APIP penanganan COVID-19;
yang efektif harus memberikan keyakinan yang 5. Pendampingan/asistensi ataupun reviu.
memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi,
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir
dan efektivitas pencapaian tujuan
penyimpangan dan penyalahgunaan sehingga
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi
dapat tepat sasaran, transparan dan akuntabel
pemerintah, memberikan peringatan dini (early
dengan tetap memperhatikan protokol
warning system) dan meningkatkan efektivitas
penanganan COVID-19 guna memastikan
manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas
seluruh proses dan tahapannya berjalan lancar
dan fungsi instansi pemerintah serta memelihara
dengan tetap mengedepankan prinsip
dan meningkatkan kualitas tata kelola
akuntabilitas dan transparansi.
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi
Pengawasan ini sebagai fungsi check and
pemerintah. APIP juga dibentuk untuk
balace sehingga efektivitas dan efisiensi
mengawasi jalannya pemerintahan, terutama
pelaksanaannya di lapangan dapat maksimal
sektor pengelolaan keuangan agar berjalan
sekaligus menutup celah yang memungkinkan
sesuai ketentuan peraturan perundang-
terjadinya penyalahgunaan anggaran tersebut.
undangan. Pengawasan intern ini dilakukan
Ketentuan dalam Undang-undang tentang
melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan
Keuangan Negara merupakan norma Legislasi
kegiatan pengawasan lain terhadap
yang merupakan produk Legislatif RI bersama
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi
Pemerintah RI yang memang sengaja dirancang
dalam rangka memberikan keyakinan yang
untuk menyediakan dasar hukum, yang
memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan
membolehkan Pemerintah Daerah
sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.
mengeluarkan pembiayaan untuk
Fungsi APIP yang berjalan dengan baik
menanggulangi keadaan darurat kebencanaan.
dapat mencegah kecurangan, menghasilkan
Selain norma legislasi di atas, masih ada lagi
keluaran yang berharga untuk menjadi masukan
ketentuan derivatif, yang menjabarkan isi dari
bagi pihak auditor eksternal, eksekutif dan
Undang-undang Keuangan Negara agar lebih
legislatif dalam memperbaiki pengelolaan dan
implementatif, baik norma legislasi maupun
pertanggungjawaban keuangan daerah pada
regulasi, yang dapat dijadikan acuan dasar
waktu yang akan datang. BPK dapat
hukum atau konsideran “mengingat” bagi
memanfaatkan hasil pengawasan APIP terutama
Pemerintah Daerah dalam menerbitkan
dari hasil reviu atas laporan keuangan
kebijakannya, baik yang diatur dalam Undang-

43
undang Penanggulangan Bencana, Peraturan dimaksud perlu diarahkan untuk mencegah dan
Pemerintah, maupun dalam Peraturan Menteri. penanganan COVID-19.
Dalam Pasal 60 - 62 Undang-undang No 24 Kondisi COVID-19 yang harus segera
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana teratasi dalam waktu yang sesegera mungkin
ditentukan bahwa dana Penanggulangan menyebabkan dikeluarkannya kebijakan belanja
Bencana menjadi tanggung jawab bersama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah situasi luar biasa melalui refocusing dan
yang dialokasikan secara memadai dalam realokasi anggaran untuk percepatan
APBN/ APBD. penanganan COVID-19 maupun untuk
Secara khusus melalui Instruksi Presiden pemulihan ekonomi. Seluruh kebijakan tersebut
Nomor 4 Tahun 2020, langkah-langkah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah
percepatan penanganan COVID-19 dilakukan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
secara cepat, tepat, fokus, terpadu dan sinergi 2020 sebagai payung hukum untuk mengambil
antar Kementerian/Lembaga dan Pemerintah langkah-langkah cepat dan luar biasa serta
Daerah untuk melakukan refocusing, realokasi terkoordinasi untuk menghadapi pandemi
anggaran dan pengadaan barang/jasa dalam COVID-19. Area-area berisiko tinggi yang
rangka penanganan pandemi. Realokasi membutuhkan pengawasan intensif yaitu terkait
anggaran ditujukan pada sejumlah hal, seperti pendanaan untuk penanganan bencana,
penanganan kesehatan, penanganan dampak pengadaan barang dan jasa dalam penanganan
ekonomi hingga penyediaan jaring pengamanan keadaan darurat, dan juga pengelolaan jaring
sosial. pengaman sosial.
Terkait dengan upaya percepatan Beberapa potensi korupsi dalam pengadaan
penanganan COVID-19 oleh Pemerintah barang dan jasa tersebut di antaranya adalah
Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 20 persekongkolan/kolusi dengan penyedia barang/
tahun 2020 mengatur beberapa hal tentang jasa, menerima suap, gratifikasi, benturan
penanganan dampak COVID-19, sebagai kepentingan, perbuatan curang, berniat jahat
berikut: memanfaatkan kondisi darurat, hingga
1. Pemda perlu melakukan langkah antisipasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
dan penanganan dampak penularan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
COVID-19. memerinci sejumlah kerawanan dalam
2. Pemda perlu memprioritaskan penggunaan penggunaan anggaran penanganan
APBD untuk antisipasi dan penanganan COVID-19 yaitu:
dampak penularan COVID-19. 1. Potensi korupsi dalam pengadaan barang
3. Kepala Daerah harus membentuk Gugus dan jasa, dimana kerawanan tersebut
Tugas Percepatan Penanganan Penularan terletak pada kolusi dengan penyedia,
COVID-19. mark-up harga, kickback dan benturan
4. Dalam melakukan langkah antisipasi dan kepentingan dalam pengadaan serta
penanganan dampak penularan COVID-19, kecurangan;
Pemerintah Daerah dapat melakukan 2. Pemberian sumbangan atau donasi dimana
pengeluaran yang belum tersedia kerawanan tersebut dalam pencatatan
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan penerimaan, penyaluran bantuan, hingga
dalam Rancangan Perubahan APBD. penyelewengan bantuan;
3. Korupsi pada proses refocusing dan
Selanjutnya, Permendagri 20/2020 di atas
realokasi anggaran COVID-19 untuk
diperkuat lagi secara harmoni oleh Peraturan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.7/2020,
(APBN) ataupun jika di daerah melalui
dalam Pasal 3 menyatakan bahwa Pemerintah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Daerah wajib menganggarkan belanja wajib
(APBD), dimana titik rawannya terletak
bidang kesehatan yang besarannya telah
pada alokasi sumber dana dan belanja,
ditetapkan dalam APBD dan/atau Perubahan
hingga pemanfaatan anggaran tersebut;
APBD. Dan belanja wajib bidang kesehatan

44
4. Penyelenggaraan bantuan sosial atau social nilai disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan
safety net dimana titik rawannya dari proses pekerjaan, dan pembayaran dalam rangka
pendataan, klarifikasi dan validasi data penanganan COVID-19 dapat dilakukan secara
hingga distribusi bantuan agar bantuan termin atau sekaligus. Ketentuan tata cara
sosial diterima oleh masyarakat. pembayaran tersebut dituangkan dalam Surat
Pesanan/SPPBJ. Untuk pemberlakuan pajak,
Kerangka kerja penggunaan anggaran pada
berlaku Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
kondisi darurat disajikan dalam gambar berikut
Nomor 28/PMK.03/2020 tentang Pemberian
ini:
Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang
Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi
COVID-19. Aturan ini disahkan per tanggal 6
April 2020. PPN tidak dipungut atau dengan kata
lain ditanggung pemerintah. Dalam hal ini
pemerintah tidak memungut PPN atas
pemanfaatan barang impor dan jasa. Adapun,
barang-barang yang tidak dipungut 10 persen
atas nilai barang tersebut antara lain obat-obatan,
vaksin, peralatan laboratorium, peralatan
pendeteksi, peralatan pelindung diri, peralatan
Gambar 1. Kerangka Kerja Penggunaan untuk perawatan pasien, dan peralatan
Anggaran pada Kondisi Darurat pendukung lainnya. Sementara, jasa yang
diperlukan dalam rangka penanganan COVID-
Barang dan jasa yang dapat disediakan 19 sehingga tidak dikenakan PPN yakni jasa
melalui pengadaan dalam rangka penanganan konstruksi, jasa konsultasi, teknik, dan
COVID-19 pada prinsipnya seluruh barang/jasa manajemen, jasa persewaan, dan jasa pendukung
dalam rangka penanganan COVID-19 yang lainnya. Tidak hanya PPN, pembebasan juga
pemenuhan maupun pemanfaatannya bersifat pada PPh Pasal 22 atau PPh Impor atas impor
mendesak dan harus dipenuhi dalam kurun dari pembelian barang yang dilakukan oleh
waktu keadaan darurat dan Proses pengadaan badan/instansi pemerintah, rumah sakit rujukan,
dan pemanfaatan barang/jasa dapat dilakukan dan pihak lain yang ditunjuk untuk membantu
walaupun anggaran belum tersedia atau tidak penanganan wabah COVID-19. Perlu dicatat,
cukup tersedia. Namun demikian, Pemerindah PPh Pasal 22 juga dibebaskan atas penjualan
Daerah dapat mengupayakan refocusing yang dilakukan oleh pihak penjual, pembebasan
dan/atau realokasi anggaran baik secara simultan PPh Pasal 21 yang diterima wajib pajak orang
ataupun setelah pelaksanaan pekerjaan. pribadi dalam negeri sebagai imbalan yang
Pengadaan barang/jasa dalam penanganan diberikan oleh badan/instansi pemerintah, rumah
keadaan darurat dapat dilakukan dengan sakit rujukan, atau pihak lain yang ditunjuk atas
swakelola, dan atau melalui penyedia. Kriteria jasa yang diperlukan dalam rangka penanganan
penyedia yang ditunjuk adalah penyedia yang wabah COVID-19, pembebasan PPh Pasal 23
telah berkontrak untuk pengadaan barang/jasa atas penghasilan yang diterima wajib pajak
sejenis dengan Instansi Pemerintah, penyedia badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
dalam katalog elektronik, penyedia pada rantai sebagai imbalan yang diberikan oleh
pasok terpendek (pabrikan, distributor/ badan/instansi pemerintah, rumah sakit rujukan,
subdistributor ataupun agen), atau penyedia lain atau pihak lain yang ditunjuk atas jasa teknik,
yang dianggap mampu. Pengadaan dimasa manajemen, atau jasa lain yang diperlukan
pandemi ini sedikit berbeda dengan pengadaan dalam rangka penanganan wabah COVID-19.
barang/jasa tidak dalam keadaan darurat, dimana Berikut ini adalah bagan alir proses
Pengadaan barang/jasa dalam rangka untuk pengadaan barang/jasa dalam rangka
penanganan COVID-19 tidak diperlukan HPS, penanganan COVID-19:
tidak diperlukan Jaminan Pelaksanaan, tidak ada
batasan nilai pengadaan barang/jasa, besaran

45
menghindari masalah yang berhubungan dengan
penyalahgunaan wewenang dan segala bentuk
penyimpangan lainnya, yang dapat berakibat
pada pemborosan keuangan negara, utamanya
dalam situasi tanggap darurat COVID-19. APIP
daerah diberikan amanat untuk memberikan
pendampingan (asistensi) selama proses
pengadaan barang/jasa, melakukan reviu hingga
audit atas penggunaan anggaran dalam
Gambar 2. Bagan Alir Proses Pengadaan penanganan COVID-19 di lingkungan
Barang/Jasa dalam Penanganan Covid-19 pemerintah daerah. Keterlibatan APIP tersebut
untuk memastikan kegiatan yang diusulkan
2. KERANGKA KERJA KONSEPTUAL merupakan kegiatan yang terkait dengan
Penetapan kondisi darurat COVID-19 percepatan penanganan COVID-19 dan
menimbulkan perlakuan berbeda atas anggaran kegiatan yang diusulkan telah
penatalaksanaan mekanisme penganggaran dan sepenuhnya mendukung kegiatan percepatan
juga pengadaan barang/jasa. Hal tersebut tetap penanganan COVID-19.
menuntut adanya tranparansi dan akuntabilitas APIP menjalankan pengawasan melalui
dalam semua proses tahapannya. Untuk pendampingan/asistensi terhadap refocusing
mengoptimalkan tugas dan fungsi pengawasan kegiatan dan realokasi APBD dalam rangka
oleh APIP di dalam mengawal proses tersebut percepatan penanganan COVID-19 di daerah
perlu didukung dengan sebuah rencana dengan cara:
pengawasan yang tepat dengan memetakan 1. Mendorong Pemerintah Daerah melakukan
risiko penyelewengan yang mungkin timbul dan percepatan penggunaan APBD untuk
juga upaya mitigasinya. percepatan penanganan COVID-19.
Untuk itu langkah-langkah yang dilakukan 2. Meyakinkan telah teralokasikannya
APIP dalam upaya tersebut disajikan dalam anggaran untuk kegiatan Gugus Tugas
bagan alir berikut: Percepatan Penanganan COVID-19.
3. Meyakinkan pelaksanaan, penatausahaan
dan pertanggungjawaban Belanja Tidak
Terduga dalam penanganan COVID-19
telah memadai.
4. Meyakinkan Rencana Kebutuhan Belanja
yag diusulkan dalam APBD telah sesuai
dengan protokol penanganan COVID-19
yang ditetapkan Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19.
Gambar 3. Langkah Kerja APIP dalam Selain itu APIP juga melakukan
Pengawasan Bantuan Covid-19 pendampingan/asistensi terhadap pelaksanaan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN pengadaan barang/jasa dalam penanganan
darurat sejak proses perencanaan hingga
Pengawasan APIP dalam percepatan pembayaran, meliputi:
penanganan COVID-19 dijalankan secara 1. Memastikan kegiatan adalah dalam rangka
paralel dengan proses pengadaan barang/jasa COVID-19.
dengan tetap memperhatikan protokol 2. Meyakinkan Perangkat Daerah memiliki
penanganan COVID-19 guna memastikan Daftar Identitas/RKB dalam COVID-19.
seluruh proses dan tahapannya berjalan lancar 3. Memastikan pelimpahan kewenangan dari
dengan tetap mengedepankan prinsip PA ke KPA/PPK, KPA ke PPK untuk
akuntabilitas dan transparansi. Tujuan melaksanakan PBJ COVID-19.
pengawasan APIP adalah mengurangi atau

46
4. Memastikan penyedia yang ditunjuk adalah 6. Jumlah pegawai (auditee) yang terbatas di
penyedia yang memiliki kemampuan untuk kantor, sehingga tidak dapat membantu
melaksanakan pekerjaan. APIP sepenuhnya dalam memenuhi
5. Memastikan penyedia memiliki dan permintaan atas informasi audit yang
menyiapkan alat bukti kewajaran saat diperlukan;
diaudit. 7. Perjalanan dinas yang terbatasi.
6. Memastikan barang/jasa telah dibayar
Dalam menghadapi tantangan dan
sesuai pesanan dan akan diterima sesuai
rintangan tersebut, perlu dilakukan penyesuaian,
kesepakatan.
khususnya pada pertanggungjawaban tugas
7. Memastikan pekerjaan segera dimulai
pengawasan. Pada masa pandemi ini, fungsi
setelah SPPBJ dan SPMK terbit.
APIP saat ini adalah membantu konsultasi bukan
8. Memastikan pelaksana swakelola memiliki
hanya dalam rangka audit. Sehingga mindset
kemampuan dan telah menyetujui untuk
sebagai APIP tidak hanya bertindak sebagai
melaksanakan pekerjaan.
watch dog melainkan harus dapat berfokus untuk
9. Memastikan para pihak telah
try to help sehingga kegiatan pengawasan tetap
menandatangani pakta integritas.
dapat dilakukan dengan memenuhi protokol
Kondisi luar biasa yang tercipta akibat penanganan COVID-19 dan tidak menghambat
pandemi COVID-19 ini, menjadi tantangan baru proses penanganan di lapangan, namun tetap
yang cukup berat bagi APIP untuk terjun menjaga akuntabilitas dan transparansi proses
langsung ke lapangan. Beberapa kendala APIP pengadaan dan penyalurannya dari berbagai
melakukan pengawasan dalam percepatan potensi kecurangan.
penanganan COVID-19 antara lain:
4. KESIMPULAN
1. Program Kerja Pengawasan Tahunan
(PKPT) tahun 2020 sebagai pedoman Komitmen APIP dalam penegakan
pelaksanaan tugas-tugas pengawasan, telah akuntabilitas kerja dan menghindari segala
disiapkan, dialokasikan, dan diarahkan bentuk penyelewengan diimplementasikan ke
untuk tugas-tugas pengawasan yang dalam upaya pengawalan dan pendampingan
sifatnya rutin/ reguler; terkait proses pelaksanaan pengadaan barang
2. Dalam melaksanakan tugasnya APIP harus dan jasa dalam penanganan darurat COVID-19.
on going process (dari awal, pertengahan, Hasil Identifikasi area-area berisiko tinggi
dan sampai akhir) dengan konsekuensi yang membutuhkan pengawasan intensif,
biaya pengawasan menjadi semakin besar menunjukkan bahwa area-area tersebut
yang mungkin saja belum terakomodir di berkaitan dengan pendanaan untuk penanganan
dalam PKPT; bencana, pengadaan barang dan jasa dalam
3. Selain tuntutan profesionalitas, obyektivitas penanganan keadaan darurat, dan juga
dan independensi APIP, untuk pengelolaan jaring pengaman sosial. APIP
meningkatkan kualitas tugas-tugas berperan besar dalam menghadapi kondisi
pengawasan maka dapat dipastikan bahwa darurat tersebut melalui langkah-langkah
kemampuan APIP untuk melakukan tugas pencegahan penyimpangan dan peningkatan
pengawasan terhadap pengelolaan akuntabilitas seluruh belanja, terutama
anggaran penanganan COVID-19 ini pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut
hasilnya masih akan jauh dari apa yang dilakukan untuk memastikan tata cara revisi
menjadi ekspektasi publik; anggaran telah sesuai dengan ketentuan
4. Risiko terinfeksi virus dan harus mengalami peraturan perundangan, memastikan usulan
karantina, sehingga berdampak terhadap kegiatan hasil refocusing mendukung percepatan
pelaksanaannya rencana audit dengan penanganan COVID-19, serta memastikan
berkurangnya anggota tim audit; kegiatan pengadaan barang/jasa adalah dalam
5. Ketentuan bekerja secara WFH yang setiap rangka percepatan penanganan COVID-19.
saat dapat terganggu, karena jaringan yang APIP dalam melaksanakan tugasnya senantiasa
tidak stabil; berkoordinasi dengan masing-masing Perangkat

47
Daerah yang memiliki fungsi penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di
pencegahan COVID-19, serta pihak-pihak Lingkungan Pemerintah Daerah.
eksternal terkait lainnya. Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008
Dalam masa pandemi ini, APIP diharapkan tentang Pendanaan dan Pengelolaan
memiliki sense of crisis dan harus menjadi Bantuan Bencana.
penasihat yang mampu menyediakan jasa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
pengendalian secara real time. Tidak perlu Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
menunggu paska kejadian baru dilakukan audit, Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
namun dapat dilakukan pendampingan secara Keuangan Negara untuk Penanganan
real time untuk memitigasi penyimpangan yang Pandemi Corona Virus 2019 (COVID-19)
terjadi, dengan tetap memonitor pengendalian dan/atau dalam Rangka Menghadapi
yang dilakukan dan memberikan jasa-jasa Ancaman yang Membahayakan
alternatif konsultasi lainnya. Diharapkan APIP Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
dapat menjalankan perannya dengan lebih Sistem Keuangan.
efektif dan dapat memberi nilai tambah bagi Surat Edaran BPKP Nomor SE-5/K/SE/2020
instansi. tentang Tata Cara Reviu oleh APIP atas
Refocusing Kegiatan dan Realokasi
5. REFERENSI
Anggaran Kementerian/lembaga/
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Pemerintah Daerah dalam Rangka
Indonesia. Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Percepatan Penanganan Corona Virus
Laporan Keuangan. 12 November 2008. Disease 2019 (COVID-19).
DJP. Direktorat Jenderal Pajak Tanggap Surat Edaran BPKP Nomor SE-6/K/SE/2020
COVID-19. https://www.pajak.go.id/ tentang Tata Cara Reviu oleh APIP atas
covid19. Diakses pada tanggal 03 Juni Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka
2020. Percepatan Penanganan Corona Virus
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun Disease 2019 (COVID-19).
2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Surat Edaran LKPP RI Nomor 3 tahun 2020
Percepatan Penanganan Corona Virus tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan
Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Pengadaan Barang/jasa Dalam Rangka
Pemerintah Daerah. Penanganan Corona Virus Disease 2019
Kompas.com. Pemerintah Resmi Bebaskan (COVID-19).
Pajak Barang dan Jasa untuk Penanganan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
COVID-19 untuk Penanganan COVID-19, 700/859/IJ tentang Pelaksanaan
Ini Detilnya. 12 April 2020. Pengawasan APIP dalam Masa Penanganan
https://money.kompas.com/read/2020/04/1 COVID-19.
2/151600926/ pemerintah-resmi-bebaskan- Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang
pajak-barang-dan-jasa-untuk- penanganan- Penanggulangan Bencana.
COVID-19-ini. Diakses pada tanggal 03
Juni 2020.
LKPP. Konsultasi dalam rangka Pengadaan
Barang/Jasa Darurat COVID-19 Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. 7 April 2020.
http://www.lkpp.go.id/v3/#/read/5818.
Diakses pada tanggal 03 Juni 2020.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20
tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan

48
PERAN APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH DALAM
OPTIMALISASI IMPLEMENTASI MANAJEMEN RISIKO

Slamet Susanto
Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera Barat
email: slamet.susanto@bpkp.go.id

Abstrak
Setelah diwajibkannya penerapan manajemen risiko pada Instansi Pemerintah sesuai PP Nomor 60
Tahun 2008 tentang SPIP, Pimpinan Instansi Pemerintah di Indonesia pada umumnya telah
menerapkan manajemen risiko pada organisasinya. Walaupun demikian, masih terdapat
permasalahan dalam pelaksanaan manajemen risiko instansi pemerintah, sebagaimana yang
diharapkan pada unsur Penilaian Risiko dalam SPIP. Peran APIP dalam penerapan manajemen risiko
seperti yang tercantum dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 dan Standar Audit Intern Pemerintah
Indonesia Tahun 2014 perlu dioptimalkan. Peran APIP tersebut adalah memberikan peringatan dini
dan mendukung Pimpinan Instansi Pemerintah meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Perbaikan pemahaman atas peran APIP
terhadap penerapan manajemen risiko, tersedianya tool dan pedoman yang dapat digunakan dalam
kegiatan assurance dan consulting, dan perbaikan tingkat kompetensi SDM APIP terkait dengan
manajemen risiko diharapkan dapat meningkatkan kematangan manajemen risiko pada instansi
pemerintah. Sehingga penerapan manajemen risiko pada instansi pemerintah dapat lebih
memberikan jaminan yang memadai terhadap penciptaan dan perlindungan nilai.

Kata kunci: SPIP, manajemen risiko, APIP

Abstract
The obligation to implement risk management in Government Agencies in accordance with
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 concerning Government Internal Control Systems
(SPIP) has encouraged leaders of government agencies in Indonesia to start implementing risk
management in their organizations. However, there are still problems in implementing risk
management in government agencies. This is evident from the results of the assessment of the Risk
Assessment element as a component of the SPIP. The role of APIP in implementing risk management,
as stated in PP Nomor 60 Tahun 2008 and the Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia Tahun
2014, needs to be optimized. APIP is expected to provide early warning against the occurrence of
risks and support the agency leader in improving the effectiveness of risk management in carrying
out the duties and functions of Government Agencies. Better understanding of the role of APIP in the
application of risk management, the availability of tools and guidelines that can be used in assurance
and consulting activities, and risk management competency improvement of APIP's human
resources, are expected to help government agencies to increase their risk management maturity
level. Thus, the application of risk management in government agencies can provide more adequate
guarantees for value creation and protection.

Keywords: SPIP, risk management, APIP

1. PENDAHULUAN Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, pernah


dilakukan penelitian tentang tingkat kematangan
Sebelum diberlakukannya aturan yang
penerapan manajemen risiko pada instansi
mewajibkan implementasi manajemen risiko
pemerintah di Indonesia yang dilaksanakan oleh
pada instansi pemerintah sesuai Peraturan
Puslitbangwas BPKP pada tahun 2007.
Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang

49
Responden pemetaan sebanyak 411 unit eselon I bersifat formalitas, belum menjadi pertimbangan
dan 68 unit eselon II di 62 instansi pemerintah dalam perencanaan pengawasan oleh APIP,
pusat dengan tingkat respons responden Rencana Tindak Pengendalian tidak
berdasarkan unit eselon 1/II sebanyak 203 unit. ditindaklanjuti, penilaian risiko masih pada level
Hasil pemetaan menunjukkan bahwa hanya 1% operasional (belum level strategis), pejabat
(3 unit kerja eselon II dari 203 unit eselon I/II) strategis belum dilibatkan dalam penilaian
yang telah menerapkan manajemen risiko risiko, dan belum terdapat monitoring atas
dengan baik, ditunjukkan dengan instansi kegiatan penilaian risiko.
pemerintah telah memiliki kepedulian adanya Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
risiko, kebijakan berkaitan manajemen risiko, (APIP) sebagai mitra kerja pimpinan instansi
kerangka kerja bagaimana proses penggalian pemerintah berperan dalam mendukung
risiko dan penilaian risiko serta unit kerja telah Pimpinan Instansi Pemerintah meningkatkan
mengimplementasikan tahapan/ proses SPIP dan efektivitas manajemen risiko dalam
manajemen risiko. penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi
Kewajiban implementasi manajemen risiko Pemerintah.
pada instansi pemerintah telah secara jelas Penulis mencoba menjelaskan peran APIP
dicantumkan pada Peraturan Pemerintah Nomor dalam optimalisasi implementasi manajemen
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian risiko, dimulai dengan terlebih dahulu
Intern Pemerintah. Pimpinan Instansi memberikan pemahaman tentang peran APIP
Pemerintah menerapkan manajemen risiko yang harus dilakukan, peran tambahan, peran
dalam bentuk kegiatan antara lain yang tidak boleh dilaksanakan atas penerapan
mempertimbangkan risiko dalam pengambilan manajemen risiko, panduan penerapan
keputusan, melakukan penilaian risiko berupa manajemen risiko, peran APIP sesuai dengan
identifikasi risiko dan analisis risiko, dan tingkat kematangan penerapan manajemen
menyusun sistem informasi yang mendukung risiko, kondisi penerapan manajemen risiko saat
pelaporan atas penilaian risiko secara periodik. ini berdasarkan hasil evaluasi atas pelaksanaan
Setelah kurang lebih dua belas tahun penilaian risiko pada Kementerian/Lembaga/
diterapkannya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Daerah, beberapa hal yang dapat
Pemerintah (SPIP), berdasarkan hasil evaluasi menyebabkan kurang optimalnya peran APIP
atas penerapan SPIP pada 628 K/L/Pemda, dalam implementasi manajemen risiko, dan
capaian maturitas SPIP per 24 Februari 2020 mengusulkan saran perbaikannya.
diketahui bahwa sebanyak 4 K/L/Pemda
Peran APIP dalam Penerapan Manajemen
memiliki tingkat maturitas SPIP Level 0,
Risiko
sebanyak 63 K/L/Pemda level 1, sebanyak 185
K/L/Pemda level 2, sebanyak 375 K/L/Pemda Peran APIP yang efektif dalam penerapan
level 3, dan sebanyak 1 K/L/Pemda memiliki manajemen risiko telah dicantumkan dalam
tingkat maturitas SPIP level 4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
Terkait dengan implementasi manajemen dan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia
risikonya, 375 K/L/Pemda yang memiliki Tahun 2014, yaitu memberikan peringatan dini
tingkat maturitas level 3 pada umumnya telah dan mendukung Pimpinan Instansi Pemerintah
melakukan penilaian risiko, namun masih meningkatkan efektivitas manajemen risiko
terdapat beberapa permasalahan pada dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi
pelaksanaan penilaian risikonya, sehingga Pemerintah. APIP harus dapat mengevaluasi dan
pencapaian tujuan organisasi pada K/L/Pemda memberikan kontribusi pada perbaikan tata
belum dapat dijamin melalui penanganan atas kelola sektor publik, manajemen risiko, dan
risikonya. Permasalahan yang terdapat pada pengendalian intern dengan menggunakan
pelaksanaan penilaian risiko yang dihadapi pendekatan sistematis dan disiplin. Peran APIP
K/L/Pemda yang memiliki tingkat maturitas yang efektif dapat terwujud jika didukung
level 3 tersebut adalah beberapa belum memiliki dengan Auditor yang profesional dan kompeten
pedoman teknis penilaian risiko, penilaian risiko dengan hasil audit intern yang semakin

50
berkualitas. Salah satu kompetensi yang harus manajemen risiko, membuat keputusan atas
dimiliki oleh auditor intern pemerintah adalah respons risiko, menerapkan respons dan
kompetensi teknis audit intern meliputi antara manajemen risiko atas nama manajemen,
lain kompetensi bidang manajemen risiko, dan akuntabilitas manajemen risiko.
pengendalian intern, dan tata kelola sektor
Panduan Penerapan Manajemen Risiko pada
publik.
Organisasi
Peran APIP dalam penerapan manajemen
risiko dapat mengacu pada makalah The Institute APIP perlu memahami bagaimana
of Internal Auditor (IIA) Afiliasi Inggris dan manajemen risiko diterapkan pada organisasi.
Irlandia, dengan judul The Role of Internal Ada beberapa panduan yang dapat digunakan
Auditing in Enterprise-wide Risk Management. oleh Instansi Pemerintah di Indonesia sebagai
Dalam makalahnya yang berisi opini tentang benchmark untuk menerapkan manajemen risiko
Peran Auditor Internal dalam Manajemen pada organisasi, yaitu antara lain ISO 31000:
Risiko, IIA mengemukakan tentang peran 2018 Risk Management–Guidelines, Enterprise
auditor internal mana yang harus, boleh, dan Wide Risk Management COSO, dan Pedoman
tidak boleh dimainkan dalam penerapan Manajemen Risiko Berbasis Governance yang
manajemen risiko organisasi, yaitu sebagai dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan
berikut: Governance tahun 2012. Uraian rinci dari
1. Peran inti auditor internal dalam masing-masing panduan tersebut sebagai
manajemen risiko adalah kegiatan yang berikut:
berhubungan dengan kegiatan assurance
1. Penerapan Manajemen Risiko menurut
yang meliputi memberikan keyakinan pada
ISO 31000: 2018 Risk Management–
rancangan dan efektivitas proses
Guidelines
manajemen risiko, memberikan keyakinan
bahwa risiko dievaluasi dengan benar, Definisi manajemen risiko menurut ISO
mengevaluasi proses manajemen risiko, 31000: 2018 adalah kegiatan organisasi yang
mengevaluasi pelaporan mengenai status terarah dan terkoordinasi dengan pengelolaan
dari risiko-risiko kunci dan risiko. Tujuan dari penerapan manajemen risiko
pengendaliannya, meninjau pengelolaan adalah penciptaan nilai dan perlindungan nilai,
risiko-risiko kunci, termasuk efektivitas yang dicapai dengan cara mengelola risiko
pengendalian dan respons lain terhadap dalam proses pengambilan keputusan, proses
risiko tersebut. penetapan dan kegiatan pencapaian sasaran,
2. Peran tambahan yang boleh dilaksanakan serta perbaikan kinerja. Sehingga arah
adalah kegiatan consulting dengan penerapan manajemen risiko adalah mengawal
dibarengi pengamanan independensi dan terwujudnya visi, misi, sasaran jangka panjang,
objektivitas yang cukup, antara lain dan sasaran kinerja dari risiko yang dihadapi
memulai pembentukan manajemen risiko organisasi.
dalam organisasi, mengembangkan strategi ISO 31000: 2018 menjelaskan Kerangka
manajemen risiko, memfasilitasi Kerja Manajemen Risiko untuk membantu
identifikasi, analisis dan evaluasi risiko, organisasi mengintegrasikan manajemen risiko ke
memberikan pelatihan manajemen tentang dalam keseluruhan sistem manajemen organisasi
merespons risiko, mengoordinasikan seperti yang digambarkan dalam gambar 1.
kegiatan manajemen risiko, mengonsolidasi
laporan mengenai risiko, memelihara dan
mengembangkan kerangka manajemen
risiko.
3. Peran yang tidak boleh dilakukan auditor
internal dalam penerapan manajemen risiko
adalah mengatur risk appetite, menerapkan
proses manajemen risiko, menjamin

51
maka perlu dilakukan evaluasi dengan cara
mengukur secara berkala kerangka kerja
manajemen risiko apakah sesuai dengan tujuan
pembuatan, rencana penerapan, dan capaian
indikator yang ditetapkan. Selain itu perlu
dievaluasi untuk menetapkan apakah kerangka kerja
manajemen risiko masih tetap mampu mendukung
pencapaian sasaran organisasi atau tidak. Evaluasi
dilakukan secara terus menerus oleh pemilik risiko,
dilakukan secara berkala oleh pimpinan unit kerja,
Gambar 1. Kerangka kerja manajemen risiko dan dilakukan setiap tahun oleh pihak independen
menurut ISO 31000: 2018 (auditor internal atau auditor eksternal).
Organisasi memperbaiki kerangka kerja
Pimpinan organisasi harus menunjukkan manajemen risiko dengan cara memantau dan
kepemimpinan dan komitmen dalam memastikan menyesuaikan kerangka kerja manajemen risiko
bahwa manajemen risiko telah diintegrasikan ke dengan perubahan lingkungan internal dan eksternal
dalam tata kelola organisasi, kegiatan organisasi, (adaptasi), mengidentifikasi kesenjangan,
dan proses pengambilan keputusan pada setiap mengembangkan rencana perbaikan dan
tingkatan organisasi. Mengintegrasikan manajemen memperbaiki kerangka kerja manajemen risiko
risiko dalam organisasi disesuaikan dengan (perbaikan berkesinambungan).
kebutuhan dan budaya organisasi, sehingga perlu
dirancang kerangka kerja penerapan manajemen 2. Penerapan Manajemen Risiko menurut
risiko. Enterprise Wide Risk Management COSO
Perancangan kerangka kerja penerapan COSO ERM disusun oleh Committee of
manajemen risiko dilakukan dengan cara terlebih Sponsoring Organizations of the Treadway
dahulu memahami organisasi dan konteksnya Commission disponsori oleh 5 asosiasi dan
(internal dan eksternal), menentukan kebijakan atau lembaga akuntansi profesional, AICPA, AAA,
pernyataan yang menjelaskan tujuan organisasi FEI, IIA, dan IMA dengan tujuan menyediakan
menerapkan manajemen risiko dan komitmen untuk jaminan yang memadai terhadap pencapaian
menerapkannya serta mengkomunikasikan ke tujuan perusahaan.
seluruh jajaran organisasi, menetapkan kewenangan COSO ERM–Integrated Framework,
dan tanggung jawab kepada seluruh pihak dalam mendefinisikan manajemen risiko sebagai:
menerapkan manajemen risiko, memastikan bahwa “Proses yang dipengaruhi oleh Board of
sumber daya untuk penerapan manajemen risiko Directors, manajemen, dan personil lain dalam
telah dialokasikan secara memadai, dan entitas, diaplikasikan pada pembentukan strategi
membangun metode komunikasi dan konsultasi dan pada seluruh bagian perusahaan, dirancang
dalam penerapan manajemen risiko. untuk mengidentifikasi kejadian potensial yang
Implementasi kerangka kerja manajemen dapat mempengaruhi entitas, dan mengelola
risiko dilakukan dengan cara menyusun jadwal dan risiko selaras dengan risk appetite entitas, untuk
kebutuhan sumber daya untuk menerapkan menyediakan jaminan yang wajar terhadap
manajemen risiko, mengidentifikasi siapa yang pencapaian sasaran dari entitas.”
mengambil keputusan penerapan manajemen risiko, Dalam kerangka manajemen risikonya,
di mana, kapan, dan bagaimana keputusan COSO ERM menuntut perusahaan untuk dapat
penerapan manajemen risiko diambil pada tiap menentukan terlebih dahulu sasaran
bagian organisasi, menyesuaikan proses perusahaannya, yang terdiri dari empat kategori
pengambilan keputusan bilamana diperlukan, dan yaitu:
memastikan bahwa pengaturan organisasi untuk a. Strategis: sasaran yang mendukung dan
mengelola risiko telah dipahami dengan baik. selaras dengan misi perusahaan.
Guna memastikan kerangka kerja penerapan b. Operasi: efektivitas dan efisiensi dari
manajemen risiko telah berjalan dengan efektif, penggunaan sumber daya perusahaan.

52
c. Pelaporan: keterpercayaan dari pelaporan.
d. Pemenuhan: pemenuhan terhadap hukum
dan regulasi yang berlaku.
Dalam COSO ERM, manajemen risiko
terdiri dari delapan komponen yang saling
terkait, yaitu:
a. Lingkungan internal
Mengidentifikasi kondisi internal
perusahaan, meliputi kekuatan dan
kelemahannya, serta pandangan entitas
terhadap risiko dan manajemen risiko.
b. Penetapan sasaran Gambar 2. COSO ERM–Integrated Framework
Sasaran kegiatan manajemen risiko harus
COSO ERM–Integrated Framework
sejalan dengan sasaran dari perusahaan,
mendeskripsikan peran dan tanggung jawab dari
serta konsisten dengan risk appetite
unit-unit kerja perusahaan dalam penerapan
perusahaan.
manajemen risiko. Satu prinsip dasar yang
c. Identifikasi kejadian
ditanamkan COSO ERM adalah bahwa “semua
Kejadian internal dan eksternal yang dapat
bagian di dalam perusahaan memiliki tanggung
mempengaruhi pencapaian sasaran
jawab terhadap ERM”, yang artinya
perusahaan harus diidentifikasi, meliputi
implementasi manajemen risiko harus mencakup
risiko dengan kesempatan yang dapat
entity-level, division, business unit, hingga
muncul.
subsidiary, dan mencakup seluruh seluruh
d. Penilaian risiko
sumber daya manusia di dalamnya.
Risiko dianalisis berdasarkan kemungkinan
Perbedaan antara COSO ERM dengan ISO
dan dampaknya. Hasil analisis risiko akan
31000: 2018–Risk Management Guidelines
dijadikan dasar untuk menentukan
adalah standar ISO 31000: 2018 memiliki
perlakuan risiko.
keunggulan esensial dalam memberikan
e. Perlakuan risiko
panduan yang lebih mendetail dan
Terdapat empat alternatif pada perlakuan
komprehensif. Keberadaan prinsip manajemen
risiko, yaitu menghindari (avoidance),
risiko, penetapan konteks eksternal, dan
menerima (acceptance), mengurangi
pemisahan antara kerangka kerja dengan proses
(reduction), dan membagi risiko (sharing).
manajemen risiko menjadi keunggulan
Pemilihan perlakuan risiko dilakukan
kompetitif yang dimiliki oleh ISO 31000: 2018.
dengan membandingkan hasil analisis ISO 3100: 2018 juga dapat diterapkan pada
risiko dengan risk appetite dan risk
organisasi baik profit maupun non profit
tolerance.
oriented. Sedangkan COSO ERM ditekankan
f. Aktivitas pengendalian
penerapannya pada organisasi profit
Membangun dan mengimplementasikan
(perusahaan). Dalam memilih standar terbaik
kebijakan dan prosedur untuk memastikan
untuk diimplementasikan, keunikan pada kedua
perlakuan risiko diterapkan dengan efektif.
standar tersebut perlu dipertimbangkan dan
g. Informasi dan komunikasi
disesuaikan dengan sasaran, karakteristik, dan
Informasi yang relevan diidentifikasi,
regulasi yang berlaku pada organisasi. Dalam
diperoleh, dan dikomunikasikan dalam
penerapannya, organisasi juga dapat
bentuk dan waktu yang tepat agar personil
mengadaptasi dan mengkombinasikan
dapat melakukan tanggung jawabnya
komponen-komponen tertentu pada kedua
dengan baik.
rujukan tersebut untuk membangun sistem
h. Pemantauan
manajemen risiko tersendiri yang efektif bagi
Seluruh kegiatan ERM harus dipantau,
organisasinya.
dievaluasi dan dikembangkan.

53
3. Penerapan Manajemen Risiko menurut administrasi data serta informasi
Komite Nasional Kebijakan Governance manajemen risiko.
c. Aspek perawatan yaitu aspek yang
Sebagai badan bentukan pemerintah yang
memastikan adanya upaya menjaga
bertujuan untuk mendorong penerapan tata
efektivitas penerapan dan perbaikan yang
kelola perusahaan dalam sektor korporasi dan
berkesinambungan melalui monitoring dan
publik di Indonesia, didirikan berdasarkan
reviu atas proses manajemen risiko. Aspek
Keputusan Menko Perekonomian nomor
perawatan terdiri dari pendidikan dan
KEP/49/M.EKON/11/2004, Komite Nasional
pelatihan berlanjutan; komunikasi dan
Kebijakan Governance (KNKG) berkepentingan
publikasi; reviu dan audit tata kelola
terhadap penerapan manajemen risiko di
manajemen risiko; serta benchmarking.
Indonesia. Instansi pemerintah dapat mengacu
penerapan manajemen risiko pada pedoman 2. KERANGKA KERJA KONSEPTUAL
yang diterbitkan oleh KNKG pada tahun 2012,
Tujuan dari penerapan manajemen risiko
yaitu Pedoman Manajemen Risiko Berbasis
adalah penciptaan dan perlindungan nilai, yang
Governance yang banyak mengacu pada ISO
dicapai dengan cara mengelola risiko dalam
31000-Risk Management.
proses pengambilan keputusan, proses
Secara umum KNKG memberikan panduan
penetapan dan kegiatan pencapaian sasaran,
proses penerapan manajemen risiko pada suatu
serta perbaikan kinerja.
organisasi, terdiri dari tiga aspek yaitu:
Untuk mencapai tujuan penerapan
a. Aspek struktural yaitu aspek yang
manajemen risiko, Pemerintah Republik
memastikan arah penerapan, struktur
Indonesia telah mengeluarkan aturan mengenai
organisasi penerapan dan akuntabilitas
kewajiban menerapkan manajemen risiko pada
pelaksanaan manajemen risiko dalam
instansi pemerintah, seperti yang secara jelas
organisasi, penyediaan sumber daya, dan
dicantumkan pada Peraturan Pemerintah Nomor
sebagainya. Aspek struktural terdiri dari
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
komitmen, kebijakan manajemen risiko,
Intern Pemerintah. Peraturan tersebut
akuntabilitas dan kepemimpinan,
menjelaskan bahwa Pimpinan Instansi
pembentukan unit kerja manajemen risiko,
Pemerintah menerapkan manajemen risiko
penunjukan karyawan pada masing-masing
dalam bentuk kegiatan antara lain
bagian unit kerja yang ditunjuk menjadi
mempertimbangkan risiko dalam pengambilan
fasilitator dalam penerapan manajemen
keputusan, melakukan penilaian risiko berupa
risiko (risk champion), serta penyediaan
identifikasi risiko dan analisis risiko, dan
sumber daya yang diperlukan untuk
menyusun sistem informasi yang mendukung
pelaksanaan manajemen risiko.
pelaporan atas penilaian risiko secara periodik.
b. Aspek operasional yaitu aspek yang
Seperti yang tercantum dalam materi
menunjukkan tahapan proses implementasi
paparan dari BPKP tentang Kebijakan
yang sistematis dan terarah, mulai dari
Pembinaan Penyelenggaraan SPIP dan MR pada
pernyataan komitmen Pimpinan Eselon I,
K/L/D, yang disampaikan oleh Nani Ulina
penyusunan Pedoman Manajemen Risiko
Kartika Nasution tanggal 26 Februari 2020,
organisasi, briefing untuk Pimpinan Eselon
permasalahan dalam pelaksanaan penilaian
I, pelatihan para pemangku risiko, hingga
risiko yang terjadi dalam 12 tahun penerapan
penerapannya. Aspek operasional terdiri
SPIP, menyebabkan terjadinya dampak sebagai
dari penyusunan buku Panduan Manajemen
berikut:
Risiko; peluncuran, sosialisasi, dan
1. Berpengaruh terhadap konsistensi dan
pelatihan manajemen risiko; teknik dan
kesinambungan kegiatan penilaian risiko.
metode untuk implementasi proses
2. Hasil penilaian risiko tidak dapat digunakan
manajemen risiko; sistem pelaporan
dalam pengambilan keputusan.
internal dan eksternal; monitoring dan
pengukuran kinerja; serta tata usaha dan

54
3. Kegiatan pengawasan APIP tidak sinergi risiko/pelaksanaan penilaian risiko atau
dengan usaha penanggulangan risiko atas control and risk self assessment unit kerja,
pencapaian tujuan organisasi. menjadi fasilitator dalam mengidentifikasi
4. Risiko atas pencapaian tujuan organisasi potensi terjadinya kecurangan dan
dapat terjadi dan berulang. bagaimana organisasi mengelola risiko
5. Tujuan organisasi tidak terkawal, risiko kecurangan.
hanya dikelola untuk menjamin tercapainya 2. Kegiatan assurance, yaitu mengevaluasi
tujuan tiap-tiap unit secara parsial. kecukupan dan efektivitas penerapan
6. Awareness atas risiko-risiko yang disusun manajemen risiko, dan memberikan
tidak didukung kebijakan pengelolaan feedback perbaikan proses bisnis dengan
risiko oleh pimpinan organisasi. cara melakukan audit dengan pendekatan
7. Peningkatan kualitas penilaian risiko tidak berbasis risiko.
meningkat dan tidak ada langkah perbaikan
untuk risiko yang tidak tertangani.
Sampai saat ini, BPKP telah mengeluarkan
pedoman dan hasil kajian terkait penerapan
manajemen risiko di Indonesia yang dapat
digunakan oleh Pimpinan Instansi pemerintah
untuk memperbaiki penerapan manajemen
risikonya.
Berdasarkan pengalaman penulis selama
bertugas sebagai Auditor di BPKP, paling tidak
Gambar 3. Peran APIP dalam Penerapan
terdapat tiga hal yang menyebabkan peran APIP
Manajemen Risiko
dalam implementasi manajemen risiko pada
instansi pemerintah dirasakan kurang berjalan Menurut Chartered IIA, tahun 2014 dalam
dengan optimal, yaitu kurang dipahaminya peran Risk Based Internal Auditing, Assessing the
APIP untuk memberikan peringatan dini dan Organization’s Risk Maturity, dijelaskan bahwa
mendukung Pimpinan Instansi Pemerintah tingkat kematangan manajemen risiko pada
meningkatkan efektivitas manajemen risiko suatu organisasi terbagi menjadi 5 (lima)
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi tingkatan yaitu:
Pemerintah, kurangnya pendekatan yang 1. Level 1 – Risk Naive: Tidak ada pendekatan
sistematis dan disiplin berupa ketersediaan formal yang dikembangkan dalam
pedoman assurance dan consulting serta tool pengelolaan risiko.
dalam mengevaluasi dan memberikan kontribusi 2. Level 2 – Risk Aware: Pengembangan
pada perbaikan manajemen risiko, dan manajemen risiko masih terpisah-pisah atau
kurangnya kompetensi teknis APIP di bidang per bagian organisasi.
manajemen risiko. 3. Level 3 – Risk Defined: Organisasi sudah
memiliki dan mengkomunikasikan strategi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dan kebijakan serta risk appetite dalam
APIP dapat berperan dalam kegiatan penerapan manajemen risiko.
consulting dan assurance dalam manajemen 4. Level 4 – Risk Managed: Organisasi telah
risiko, yaitu sebagai berikut: mengembangkan dan mengkomunikasikan
1. Kegiatan consulting, yaitu melakukan manajemen risiko secara enterprises-wide.
sosialisasi/pelatihan/workshop manajemen 5. Level 5 – Risk Enabled: Manajemen Risiko
risiko, bimbingan teknis dalam penyusunan dan Sistem Pengendalian Intern sudah
panduan penerapan manajemen risiko, menyatu dalam seluruh operasi.
tugas dan tanggung jawab setiap pihak yang
Peran Auditor Internal dilakukan sesuai
terlibat dalam penerapan manajemen risiko,
tingkat kematangan manajemen risiko. Pada
road map penerapan manajemen risiko,
tingkat kematangan Risk Naive, Risk Aware, dan
menjadi fasilitator dalam penyusunan profil

55
Risk Defined, Auditor Internal melakukan penerapan manajemen risiko. Kemudian
penugasan Consulting untuk mendorong dilanjutkan dengan workshop untuk para
pimpinan organisasi melakukan identifikasi dan pejabat setingkat Eselon III dan IV tentang
penilaian risiko serta menyusun register risiko peran dan tanggung jawab mereka dalam
yang dapat digunakan dalam pelaksanaan Audit penerapan manajemen risiko organisasi.
Berbasis Risiko. APIP juga dapat berperan 3. Tahap III adalah APIP memfasilitasi
sebagai fasilitator dalam penilaian risiko berupa penyusunan strategi dan rencana penerapan
melakukan bimbingan teknis penyusunan manajemen risiko organisasi secara lebih
pedoman penilaian risiko dan memberikan menyeluruh yang antara lain berisikan hal-
pemahaman kepada pemilik risiko tentang cara, hal sebagai berikut:
tahapan, ruang lingkup penilaian risiko. a. Menyusun Panduan Penerapan
Penugasan Assurance seperti melakukan Manajemen Risiko antara lain berupa
Audit Berbasis Risiko dapat diterapkan secara Pedoman Umum Manajemen Risiko
optimal pada kondisi Risk Enabled dan Risk dan Prosedur Manajemen Risiko;
Managed. APIP juga berperan melakukan b. Menyusun Road Map atau Grand
evaluasi pelaksanaan penilaian risiko. Design Penerapan Manajemen Risiko
termasuk budget dan jadwalnya
selama 3 – 5 tahun ke depan.
4. Tahap IV adalah APIP memfasilitasi
persiapan untuk peluncuran manajemen
risiko organisasi dengan aktivitas antara
lain:
a. Penetapan secara formal Panduan
Penerapan Manajemen Risiko dalam
Peraturan Kepala Kementerian/
Lembaga;
b. Penetapan pegawai yang ditunjuk
Gambar 4. Peran APIP sesuai Tingkat sebagai Pemilik Risiko, Koordinator
Kematangan Manajemen Risiko Manajemen Risiko, dan Administrator
Manajemen Risiko di tiap-tiap Unit
Mengacu kepada pendakatan penerapan
Pemilik Risiko pada setiap Eselon II;
manajemen risiko menurut KNKG, langkah-
langkah penerapan manajemen risiko organisasi c. Sosialisasi/pelatihan untuk para
pegawai yang ditunjuk sebagai
pada Instansi Pemerintah yang dilakukan untuk
aspek operasional dalam rangka mengelola Pemilik Risiko, Koordinator
Manajemen Risiko, dan Administrator
manajemen perubahan agar tidak terjadi
Manajemen Risiko di tiap-tiap Unit
resistensi dari pimpinan, dapat dilakukan
Pemilik Risiko pada setiap Eselon II
sebagai berikut:
tentang Panduan Penerapan
1. Tahap I adalah APIP agar berusaha
mendapatkan komitmen dari para pimpinan Manajemen Risiko dan Road Map
Penerapan Manajemen Risiko.
organisasi (pejabat Eselon I) untuk
5. Tahap V adalah APIP memfasilitasi
penerapan manajemen risiko dan
pelaksanaan uji coba (pilot project)
penunjukan para pejabat yang bertanggung
penerapan manajemen risiko pada unit
jawab untuk mengoordinasikan penerapan
manajemen risiko pada Instansi Pemerintah organisasi terpilih. Kegiatan yang
dilakukan berupa penyusunan Profil Risiko
(Komite Manajemen Risiko).
Unit Pemilik Risiko suatu Unit Kerja
2. Tahap II adalah APIP memfasilitasi
Eselon II yang dipilih sebagai uji coba
pelaksanaaan executive briefing untuk
dengan hasil berupa Register Risiko, Peta
pejabat Eselon I dan Eselon II mengenai
penerapan manajemen risiko organisasi dan Risiko, dan Rencana Aksi Mitigasi Risiko.
tugas pokok dan tanggung jawabnya dalam

56
6. Tahap VI adalah APIP melakukan Risiko Kecurangan dalam Pengelolaan
monitoring dan reviu proses penerapan Keuangan Daerah;
manajemen risiko pada unit organisasi 6. Peraturan Deputi Bidang Pengawasan
terpilih sebagai dasar dalam menerapkan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
manajemen risiko pada organisasi secara Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pedoman
keseluruhan. Pengelolaan Risiko Pemerintah Daerah.
Dalam rangka penerapan manajemen risiko, Pedoman yang dapat digunakan oleh APIP
APIP perlu meningkatkan kompetensi dalam melakukan kegiatan assurance dalam penerapan
melakukan bimbingan teknis penyusunan manajemen risiko yang telah disusun oleh
pedoman penilaian risiko, bimbingan teknis BPKP, yaitu Peraturan Kepala BPKP RI Nomor
bagaimana melakukan penilaian risiko, maupun 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengawasan
melakukan evaluasi atas pelaksanaan penilaian Intern Berbasis Risiko.
risiko. Terdapat lembaga-lembaga yang Beberapa pedoman tentang manajemen
mengadakan pelatihan manajemen risiko di risiko pada sektor publik sebelum digunakan
Indonesia, seperti Pusdiklatwas BPKP dengan oleh APIP, perlu di-update sesuai dengan
pelatihan Audit Berpeduli Risiko dan perkembangan manajemen risiko saat ini, yaitu
Manajemen Risiko Sektor Publik. Kemudian Pedoman Umum Manajemen Risiko Sektor
Lembaga Sertifikasi Profesi Manajemen Risiko Publik. Kemudian untuk membantu APIP dalam
(LSPMR) juga melakukan sertifikasi melaksanakan kegiatan consulting, perlu
kompetensi dalam bidang manajemen risiko bagi disusun Pedoman Penerapan Manajemen Risiko
para profesional di Indonesia, seperti CRMP dan untuk Instansi Pemerintah Pusat (Kementerian
CRMO. dan Lembaga). Pedoman ini dapat digunakan
Selain itu, APIP juga dapat memanfaatkan oleh pihak manajemen organisasi untuk
pedoman dan hasil kajian yang telah dihasilkan menerapkan manajemen risiko, sekaligus
oleh BPKP. Terkait dengan penerapan digunakan oleh APIP dalam memberikan
manajemen risiko pada Kementerian/Lembaga/ bimbingan teknis kepada pihak manajemen
Pemerintah Daerah, pedoman yang telah disusun dalam menerapkan manajemen risiko. Pedoman
oleh BPKP untuk pimpinan instansi pemerintah Evaluasi Kecukupan dan Efektivitas Penerapan
dalam menerapkan manajemen risiko dapat Manajemen Risiko untuk Instansi Pemerintah,
digunakan oleh APIP melakukan kegiatan juga perlu disusun untuk dapat digunakan oleh
consulting, yaitu: APIP dalam kegiatan assurance untuk melihat
1. Laporan Hasil Penelitian Puslitbangwas tingkat kecukupan dan efektivitas penerapan
BPKP Nomor: LHP-47/LB/2007 Tanggal manajemen risiko suatu instansi pemerintah.
29 Januari 2007 tentang Pedoman Selain itu, perlu dilakukan pemetaan
Manajemen Risiko Sektor Publik; kembali terhadap praktik manajemen risiko di
2. Laporan Hasil Penelitian Puslitbangwas instansi pemerintah baik tingkat Eselon I
BPKP Nomor: LHP-48/LB/2007 Tanggal maupun Eselon II untuk mendapatkan gambaran
29 Januari 2007 tentang Petunjuk Teknis penerapan manajemen risiko yang mutakhir
Fasilitasi Manajemen Risiko Sektor Publik; pada instansi pemerintah secara keseluruhan.
3. Laporan Hasil Penelitian Puslitbangwas Hasil pemetaan praktik manajemen risiko bisa
BPKP Nomor: Nomor: LHP-765/LB/2007, digunakan oleh manajemen instansi pemerintah
Tanggal 4 Oktober 2007 tentang Teknik- dan APIP untuk mengetahui kondisi tingkat
teknik Manajemen Risiko untuk Instansi kematangan manajemen risiko suatu instansi,
Pemerintah; dapat digunakan untuk melakukan
4. Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER- benchmarking ke instansi pemerintah yang
688/K/D4/2012 tentang Pedoman tingkat kematangan manajemen risikonya sudah
Pelaksanaan Penilaian Risiko di baik, dan dapat digunakan dalam perbaikan
Lingkungan Instansi Pemerintah; praktik manajemen risiko.
5. Peraturan Kepala BPKP Nomor 21 Tahun
2016 tentang Strategi Penerapan Penilaian

57
4. KESIMPULAN (Kementerian dan Lembaga), dan Pedoman
Evaluasi Kecukupan dan Efektivitas
Untuk meningkatkan peran APIP dalam
Penerapan Manajemen Risiko untuk
optimalisasi implementasi manajemen risiko,
Instansi Pemerintah.
maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
5. Puslitbangwas BPKP perlu melakukan
1. APIP dapat meningkatkan perannya
penelitian kembali tentang kondisi terkini
sebagai fasilitator dengan berinisiatif secara
tingkat kematangan penerapan manajemen
aktif memberikan awareness kepada
risiko pada instansi pemerintah di
pimpinan instansi untuk menerapkan
Indonesia.
manajemen risiko, membantu pimpinan
membangun infrastruktur manajemen 5. REFERENSI
risiko, membangun budaya risiko, dan
Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia.
berperan aktif mengevaluasi pelaksanaan
2014. Standar Audit Intern Pemerintah
tiap tahap proses manajemen risiko pada
Indonesia.
instansinya.
IIA, Chartered. 2014. Risk Based Internal
2. APIP dituntut memiliki keahlian di bidang
Auditing, Assessing the Organization’s Risk
manajemen risiko dengan cara mengikuti
Maturity.
pendidikan dan pelatihan serta sertifikasi
International Organization for Standardization.
manajemen risiko dan pengendalian, seperti
2018. ISO 31000: 2018 Risk Management –
CRMP dan CRMO. APIP wajib
Guidelines.
meningkatkan pengetahuan, keahlian dan
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2012.
keterampilan, serta kompetensi melalui
Pedoman Manajemen Risiko Berbasis
Pendidikan dan Pelatihan Profesional
Governance.
Berkelanjutan di bidang manajemen risiko.
Kusuma, Charvin. 2014. Perbandingan COSO-
3. APIP disarankan memiliki tool atau
ERM Integrated Framework dengan ISO
perangkat pendukung untuk menerapkan
31000: 2009 Risk Management – Principles
perannya dalam memberikan jasa
and Guidelines. Associate Researcher
assurance dan consulting di bidang
CRMS Indonesia.
manajemen risiko dan pengendalian dengan
Nasution, Nani Ulina Kartika. Kebijakan
mengacu pada pedoman yang telah disusun
Pembinaan Penyelenggaraan SPIP dan MR
sebelumnya oleh BPKP atau benchmark
pada K/L/D. BPKP. 26 Februari 2020.
pada instansi pemerintah lainnya, seperti
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
pedoman untuk melakukan penilaian risiko,
Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
control and risk self assessment,
Pengendalian Intern Pemerintah.
identifikasi potensi terjadinya kecurangan,
Susilo, Leo J., Victor Riwu Kaho. 2018.
evaluasi kecukupan dan efektivitas
Manajemen Risiko Berbasis ISO 31000:
penerapan manajemen risiko, dan audit
2018 Panduan untuk Risk Leaders dan Risk
berbasis risiko.
Practitioners.
4. BPKP perlu membantu dalam penyediaan
pedoman terkait manajemen risiko yang
mutakhir untuk membantu APIP dalam
menyiapkan perangkat pendukungnya.
Beberapa pedoman yang sebaiknya
diperbaharui sesuai perkembangan
manajemen risiko, di antaranya adalah
Pedoman Umum Manajemen Risiko Sektor
Publik, Pedoman Penerapan Manajemen
Risiko untuk Instansi Pemerintah Pusat

58
PENUGASAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DALAM PENGUSAHAAN
JALAN TOL: STUDI PENUGASAN PT. HUTAMA KARYA (PERSERO) DALAM
PENGUSAHAAN JALAN TOL DI SUMATERA

Agus Riyanto1, Iwan Erar Joesoef2


1
Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Barat
email: agus.riyanto@bpkp.go.id
2
Universitas Pembangunan Veteran Jakarta
email: iwan.erar@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan program Pemerintah dalam rangka percepatan
pengembangan Kawasan di Sumatera. Pokok permasalahannya adalah Pemerintah telah menugaskan
PT. Hutama Karya (Persero) untuk melakukan pengusahaan jalan tol pada 24 Ruas Jalan Tol di
Sumatera yang layak ekonomi namun secara keseluruhan tidak layak finansial. Dalam penelitian ini
menimbulkan pertanyaan apakah penugasan tersebut dapat diberikan kepada PT. Hutama Karya
(Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Persero untuk pengusahaan 24
Ruas Jalan Tol di Sumatera? Penelitian ini dilakukan dengan metode normative yuridis dengan
mengacu pada teori asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Solusi dari penelitian ini
adalah bagaimana Pemerintah seharusnya dapat menunjuk PT. Hutama Karya (Persero) dengan
memperhatikan AUPB dan tidak bertentangan dengan regulasi di sektor infrastruktur Jalan Tol.

Kata kunci: pengusahaan jalan tol, BUMN, asas-asas pemerintahan yang baik

Abstract
This study aims to examine the implementation of Government programs in the context of
accelerating the development of Regions in Sumatra. The main problem is that the Government has
assigned PT. Hutama Karya (Persero) to operate toll roads on 24 Toll Roads in Sumatra that are
economically feasible but overall are not financially viable. In this study raises the question whether
the assignment can be given to PT. Hutama Karya (Persero) as a State-Owned Enterprise (BUMN)
in the form of a Persero for the operation of 24 Toll Roads in Sumatra? This research was conducted
using the juridical normative method with reference to the general principles of good governance
(AUPB) theory. The solution of this research is how the Government should be able to appoint PT.
Hutama Karya (Persero) by taking into account AUPB and not in conflict with regulations in the toll
road infrastructure sector.

Keywords: toll road concession, SOEs, principles of good governance

1. PENDAHULUAN sehingga memungkinkan badan usaha untuk


mendapatkan tingkat pengembalian investasi
Penyelenggaraan jalan tol merupakan salah
dan keuntungan yang wajar dari pengusahaan
satu upaya pemerintah dalam menunjang
jalan tol tersebut. Namun dalam keadaan tertentu
peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu
yaitu: pembangunan jalan tol tidak layak
daerah, sekaligus meringankan beban dana
finansial meskipun layak secara ekonomi
Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan.
sehingga tidak ada badan usaha yang berminat
Dalam penyediaan infrastruktur jalan tol,
yang menyebabkan pengembangan jaringan
pemerintah mendorong peran aktif badan usaha
jalan tol tidak dapat diwujudkan oleh badan
untuk bekerja sama dalam pengusahaan jalan tol,
usaha, Pemerintah dapat mengambil langkah
utamanya untuk lokasi pengusahaan jalan tol
sesuai dengan kewenangannya yaitu
yang layak ekonomi dan layak finansial,

59
melaksanakan pembangunan jalan tol sebagian Peranan pemerintah dalam sistem
atau seluruhnya oleh pemerintah yang perekonomian modern, dapat dibagi dalam tiga
selanjutnya pengoperasian dan pemeliharaan bagian yaitu: peranan alokasi, peranan distribusi,
dilakukan oleh badan usaha yang dipilih melalui peranan stabilitasi. Peranan alokasi sangat
proses pelelangan. (Indonesia, Undang-Undang, dibutuhkan untuk penyedian barang/jasa yang
2004). tidak dapat disediakan oleh swasta yaitu barang-
Dalam rangka percepatan pengembangan barang umum atau disebut juga barang publik.
Kawasan di Sumatera, melalui Perpres No. 100 Barang publik antara lain: Jalan, Jembatan,
Tahun 2014 telah diubah dengan Perpres No. Bandara, Air Bersih, Udara Bersih, dan lain-lain.
117 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perpres (Azizah, Artikel, 2012, halaman 1).
No. 100 Tahun 2015 tentang Percepatan Dalam rangka penguatan konektivitas,
Pembangunan Jalan Tol di Sumatera. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Pemerintah memberikan penugasan kepada PT. Rakyat (PUPR) melalui Badan Pengatur Jalan
Hutama Karya (Persero) untuk melakukan Tol (BPJT) telah menyelesaikan pembangunan
pengusahaan jalan tol pada 24 Ruas Jalan Tol di jalan tol sejak tahun 2015 hingga Juni 2019 yaitu
Sumatera yang layak ekonomi namun secara sepanjang 985 Kilometer (km). Kemudian pada
keseluruhan tidak layak finansial. (Indonesia, akhir tahun 2019 ditargetkan sepanjang 1.852
Peraturan Presiden, 2014 dan 2015, halaman 3- km jalan tol telah terbangun di beberapa wilayah
4). di Indonesia, mulai dari Pulau Jawa, Pulau
Suatu ruas tol dinyatakan layak ekonomi Sumatera, Pulau Kalimantan, hingga Pulau
umumnya mendasarkan analisa Benefit Cost Sulawesi. Secara kumulatif jika dijumlahkan
Ratio (BCR) atau dilihat dari tingkat keseluruhan sejak tahun 1978 hingga saat ini
kebermanfaatannya terhadap masyarakat jumlah jalan tol yang sudah tersambung
sebagai pengguna jalan (user cost) antara lain: seluruhnya yaitu sepanjang 1.780 km. Pada
dari potensi tingkat penghematan biaya tahun 2020, pemerintah menargetkan
operasional kendaraan jika ada jalan tol, tingkat membangun jalan tol sepanjang 600 km.
penghematan waktu tempuh jika ada jalan tol. Pengusahaan Jalan Tol ini merupakan tugas
Sedangkan suatu ruas tol dinyatakan memenuhi Pemerintah atas infratruktur yang masuk dalam
tingkat kelayakan finansial apabila dari sisi kategori “Public Good” atau untuk kepentingan
Investor proyek pembangunan jalan tol tersebut umum yang dapat dikerjasamakan dengan badan
dapat memberikan tingkat pengembalian usaha baik badan usaha pemerintah
investasi yang menguntungkan yang umumnya (BUMN/BUMD) maupun badan usaha swasta
dihitung berdasarkan tingkat Net Present Value (Iwan Erar Joesoef, Disertasi FHUI, 2011).
(NPV), Payback Period, dan Internal Rate of Model-model kerjasama ini sangat bervariasi
Return (IRR). dalam lingkup kerja sama pemerintah dan swasta
Pengusahaan jalan tol untuk lokasi yang (public private partnership).
layak ekonomi namun tidak layak finansial Dalam membangun infrastruktur,
seharusnya dilakukan oleh pemerintah. penunjukkan PT. Hutama Karya (Persero) ini
(Indonesia, Peraturan Pemerintah, 2005, telah dikecualikan oleh peraturan perundang-
halaman 19). Sehingga penugasan Pemerintah undangan Monopoli dan Persaingan Usaha.
kepada PT Hutama Karya (Persero) merupakan Pasal 51 tersebut diartikan oleh banyak pihak
salah satu bentuk pelimpahan wewenang sebagai bentuk pengecualian bagi BUMN dalam
pemerintah kepada instansi lain yang dalam hal melakukan monopoli usaha. Namun,
pelaksanaanya harus memperhatikan peraturan menurut M. Iqbal Ketua Komisi Pengawas
perundang-undangan dan asas-asas umum Persaingan Usaha (KPPU Periode Juni 2001 –
pemerintahan yang baik, untuk menghindari Juni 2002), pengeculian tersebut bukanlah
adanya penyalahgunaan wewenang, dan ketidak pengecualian secara mutlak. UU No. 3 Tahun
pastian hukum dari penyelenggara administrasi 1999 Tentang Larangan Monopoli dan
pemerintah. (Indonesia, Undang-Undang, 2014, Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak
halaman 6). memberikan pengecualian kepada BUMN yang

60
melakukan persaingan usaha tidak sehat. BUMN kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan
dapat melakukan monopoli apabila memenuhi kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat
persyaratan-persyaratan tertentu, sebagai keputusan, memerintah dan melimpahkan
berikut: tanggung jawab kepada orang/badan lain.
1. kegiatan yang dilakukan oleh BUMN Menurut H. D. Stout wewenang adalah
adalah kegiatan yang menguasai hajat hidup pengertian yang berasal dari hukum organisasi
orang banyak. pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
2. kegiatan yang menguasai hajat hidup orang seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan
banyak tersebut harus ditetapkan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-
UU. wewenang pemerintahan oleh subjek hukum
3. BUMN tersebut memang ditunjuk oleh publik di dalam hubungan hukum publik.
pemerintah untuk melaksanakan kegiatan (Ridwan, 2016, halaman 101). Menurut Louis A.
usaha itu. Allen (1985), wewenang adalah jumlah
kekuasaan (powers) dan hak (rights) yang
Namun, harus diingat bahwa yang
didelegasikan pada suatu jabatan. Sedangkan
dikecualikan adalah strukturnya bahwa BUMN
menurut R. C. Davis (1951), wewenang adalah
itu boleh melakukan monopoli. "Tetapi conduct-
hak yang cukup, untuk memungkinkan
nya atau perilakunya tetap tidak dikecualikan,"
seseorang dapat menyelesaikan suatu
kata Iqbal. Dengan kata lain, jika BUMN yang
tugas/kewajiban tertentu.
mendapat pengecualian tersebut melakukan
Berdasarkan pengertian para ahli di atas
persaingan usaha tidak sehat, misalnya dengan
dapat disimpulkan bahwa wewenang adalah hak
menghambat pelaku usaha lain masuk ke dalam
yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang
bidang usaha yang bersangkutan, maka BUMN
lain agar melakukan hal tertentu sehingga dapat
tersebut tetap harus mematuhi peraturan yang
mencapai tujuan yang diinginkan.
ada di dalam UU No. 3 Tahun 1999 Tentang
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 UU
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Sehat.
Pemerintahan, wewenang adalah hak yang
Berdasarkan latar belakang tersebut,
dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
rumusan masalah yang akan dibahas dalam
Pemerintahan atau penyelenggara negara
penelitian ini adalah:
lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau
1. Apakah PT. Hutama Karya (Persero) dapat
tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
diberikan penugasan untuk percepatan
Dalam pasal 1 angka 6, kewenangan
pembangunan Jalan Tol di Sumatera?
pemerintahan yang selanjutnya disebut
2. Bagaimana seharusnya penugasan PT.
kewenangan adalah kekuasaan badan dan/atau
Hutama Karya (Persero) untuk percepatan
Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
pembangunan JalanTol di Sumatera yang
negara lainnya untuk bertindak dalam ranah
sesuai dengan Asas-Asas Umum
hukum publik. (Indonesia, Undang-Undang,
Pemerintahan yang Baik (AUPB)?
2014, halaman 2).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Sehingga secara yuridis wewenang
mengetahui dan menganalisis kebijakan pemerintah dapat diartikan sebagai tindakan
penugasan pengusahaan jalan tol kepada PT pemerintah dalam proses penyelenggaraan
Hutama Karya (Persero) dari perspektif hukum pemerintahan yang lingkupnya diatur dalam
administrasi publik apakah telah dilaksanakan peraturan perundang-undangan yang
dengan memperhatikan AUPB sehingga pelaksanaanya dapat menimbulkan akibat-akibat
pelaksanaannya dapat memberikan kepastian hukum.
hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dalam pasal 1 angka 8 UU Nomor 51 tahun
Teori Pelimpahan Kewenangan 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor
5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Negara menyebutkan sebagai berikut: Badan
kata wewenang disamakan dengan kata atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan

61
atau pejabat yang melaksanakan urusan legalitas, maka berdasarkan prinsip ini tersirat
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
undangan yang berlaku. (Indonesia, Undang- peraturan perundang-undangan, artinya sumber
Undang, 2009, halaman 4). wewenang bagi pemerintah adalah peraturan
Menurut Indroharto (1991, halaman 90), perundang-undangan. Secara teoritik,
rumusan “berdasarkan peraturan perundang- kewenangan yang bersumber dari peraturan
undangan yang berlaku” selain mengandung perundang-undangan tersebut diperoleh melalui
makna untuk keabsahan (legalitas) dari setiap tiga cara, sebagaimana yang didefinisikan oleh
perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh H. D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, sebagai
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (“TUN”), berikut:
juga menunjukkan bahwa wewenang 1. Atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang- pemerintahan oleh pembuat undang-
undangan yang berlaku saja. undang kepada organ pemerintahan.
Secara teoritik kewenangan yang 2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang
bersumber dari peraturan perundang- undangan pemerintahan dari satu organ pemerintahan
tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu kepada organ pemerintahan lainnya.
atribusi, delegasi, dan mandat. Dalam atribusi 3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan
terjadi pemberian wewenang pemerintah yang mengizinkan kewenangannya dijalankan
baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan oleh organ lain atas namanya.
perundang-undangan. Disini diciptakan suatu
Lebih lanjut H. R. Ridwan (2006, halaman
wewenang baru (Indroharto, 1991, halaman 90).
107) menjelaskan bahwa Philipus M. Hadjon
Hal serupa juga dijelaskan oleh H. R.
membuat perbedaan delegasi dan mandat
Ridwan (2006, halaman 101–102) seiring
sebagai berikut:
dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas
Tabel 1. Matrik Perbedaan Delegasi dan Mandat
Uraian Mandat Delegasi
Dalam hubungan rutin atasan-bawahan: hal Dari suatu organ pemerintahan kepada organ
a. Prosedur Pelimpahan
biasa kecuali dilarang secara tegas lain: dengan peraturan perundang-undangan.
Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
b. Tanggung jawab dan tanggung gugat Tetap pada pemberi mandat
kepada delegataris.
Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi
c. Kemungkinan si pemberi menggunakan Setiap saat dapat menggunakan sendiri
kecuali setelah ada pencabutan dengan
wewenang itu lagi wewenang yang dilimpahkan itu.
berpegang pada asas “contrarius actus”.

beralih sepenuhnya kepada penerima


Sedangkan menurut Pasal 1 UU Nomor 30
delegasi.
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
yang dimaksud: 3. Mandat adalah pelimpahan kewenangan
1. Atribusi adalah pemberian kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
kepada Badan dan/atau Pejabat yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau
Pemerintahan oleh UUD Tahun 1945 atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
Undang-Undang. dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan tetap berada pada pemberi mandat.
dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Indonesia, Undang-Undang, 2004,
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau halaman 5).
Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
Menurut pasal 8 ayat 2 UU Nomor 30 tahun
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
2014 tentang Administrasi Pemerintah
menyatakan bahwa Badan dan/atau Pejabat

62
Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang 3. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum
wajib berdasarkan peraturan perundang- tidak boleh diubah-ubah sewaktu-waktu,
undangan, dan AUPB. sehingga setiap orang tidak lagi
Karena tindakan pemerintah wajib mengorientasikan kegiatan kepadanya.
mendasarkan pada peraturan perundang- 4. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan
undangan maka setiap peraturan perundang- sebagaimana diumumkan dengan
undangan yang menjadi dasar menjalankan pelaksanaan senyatanya.
wewenang tersebut harus memenuhi syarat-
Selain wajib mendasarkan peraturan
syarat peraturan perundang-undangan yang baik.
perundangan-undangan, Badan dan/atau Pejabat
I. C. Van der Vlies dalam bukunya Het
Pemerintahan dalam menggunakan wewenang
wetsbegrip en beginselen van behoorlijke
wajib memperhatikan Asas-asas Umum
regelgeving, membagi asas-asas pembentukan
Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya
peraturan negara yang baik ke dalam asas-asas
disingkat AUPB yaitu prinsip yang digunakan
formal dan material (ed. Maria Farida I. S., 2016,
sebagai acuan penggunaan wewenang bagi
halaman 254). Asas-asas formal, meliputi:
Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van
keputusan dan/atau tindakan dalam
duidlijke systematiek).
penyelenggaraan pemerintahan. (Indonesia,
2. Asas organ/Lembaga yang tepat (beginsel
Undang-Undang, 2014, halaman 4)
van het justie organ).
Dalam Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 30
3. Asas perlunya pengaturan (het
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
noodzakelijkheids beginsel).
AUPB meliputi asas sebagai berikut:
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
1. Kepastian hukum, asas dalam negara
uitvoerbaarheid).
hukum yang mengutamakan landasan
5. Asas Konsensus (het beginsel van
ketentuan peraturan perundang-undangan,
konsesus).
kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam
Sedangkan asas material meliputi: setiap kebijakan penyelenggaraan
1. Asas tentang terminologi dan sistematika pemerintahan.
yang benar (het beginsel van duidelijke 2. Kemanfaatan, manfaat yang harus
terminologi en duiidelijke systematiek). diperhatikan secara seimbang antara: (1)
2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel kepentingan individu yang satu dengan
van de kenbaarheid). kepentingan individu yang lain; (2)
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum kepentingan individu dengan masyarakat;
(het rechtsgelijkheids beginsel). (3) kepentingan Warga Masyarakat dan
4. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheids masyarakat asing; (4) kepentingan
beginsel). kelompok masyarakat yang satu dan
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan kepentingan kelompok masyarakat yang
individual (het beginsel van de individuele lain; (5) kepentingan pemerintah dengan
rechts bedeling). warga masyarakat; (6) kepentingan
generasi yang sekarang dan kepentingan
Sedangkan menurut Lon Fuller dalam
generasi mendatang; (7) kepentingan
bukunya The Morality of Law (moralitas hukum)
manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan
dalam pembentukan peraturan perundang-
pria dan wanita.
undangan harus memperhatikan prinsip-prinsip
3. Ketidakberpihakan, asas yang mewajibkan
pembentukan hukum yang adil (Efendi, 2015,
Badan dan/atau Pejabat Pemerintah dalam
halaman 1) diantaranya:
menetapkan dan/atau melakukan keputusan
1. Hukum harus dibuat sedemikian rupa
dan/atau tindakan dengan
sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa
mempertimbangkan kepentingan para
atau memiliki hasrat kejelasan.
pihak secara keseluruhan dan tidak
2. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu
diskriminatif.
sama lain.

63
4. Kecermatan, asas yang mengandung arti 3. AUPB dapat dijadikan alasan untuk
bahwa suatu keputusan dan/atau tindakan mengajukan gugatan, dan pada akhirnya
harus didasarkan pada informasi dan AUPB dapat dijadikan “alat uji” oleh hakim
dokumen yang lengkap untuk mendukung administrasi, untuk menilai sah atau
legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan tidaknya, atau batal atau tidaknya
keputusan dan/atau tindakan sehingga keputusan administrasi negara.
keputusan dan/atau tindakan yang
Sehingga dalam pelaksanaan peraturan
bersangkutan dipersiapkan dengan cermat
perundang-undangan maupun AUPB, kepastian
sebelum keputusan dan/atau tindakan
hukum menjadi salah satu kunci kualitas dari
tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.
pelaksanan wewenang pemerintah. Hal tersebut
5. Tidak menyalahgunakan kewenangan, asas
sejalan dengan konsep penegakan hukum yang
yang mewajibkan setiap Badan dan/atau
harus memperhatikan tiga asas atau norma
Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan
hukum: kepastian hukum (rechtissicherheit),
kewenangannya untuk kepentingan pribadi
kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan
atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai
(gerechtigkeit). Unsur-unsur tersebut oleh
dengan tujuan pemberian kewenangan
Gustav Radbruch dikatakan sebagai penopang
tersebut, tidak melampaui, tidak
cita hukum (idee des rechts) yang akan
menyalahgunakan, dan/atau tidak
membimbing manusia dalam kehidupan
mencampuradukkan kewenangan.
berhukum (Badriyah, 2016, halaman 2).
6. Keterbukaan, asas yang melayani
Kepastian hukum secara normatif adalah
masyarakat untuk mendapatkan akses dan
ketika suatu peraturan perundang-undangan
memperoleh informasi yang benar, jujur,
dibuat dan diundangkan secara pasti, karena
dan tidak diskriminatif dalam
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan
artian tidak menimbulkan keragu-raguan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak
(multitafsir), dan logis dalam artian menjadi
asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
suatu sistem norma dengan norma lain, sehingga
7. Kepentingan umum, asas yang
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
mendahulukan kesejahteraan dan
norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
kemanfaatan umum dengan cara yang
ketidakpastian peraturan perundang-undangan
aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak
dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi
diskriminatif.
norma, atau distorsi norma (Reza, 2017, halaman
8. Pelayanan yang baik, asas yang
1). Kepastian hukum dalam prinsip AUPB
memberikan pelayanan yang tepat waktu,
adalah asas dalam negara hukum yang
prosedur dan biaya yang jelas, sesuai
mengutamakan landasan ketentuan peraturan
dengan standar pelayanan, dan ketentuan
perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan
peraturan perundang-undangan (Indonesia,
keadilan dalam setiap kebijakan
Undang-Undang, 2014, halaman 7-9).
penyelenggaraan pemerintahan (Indonesia,
Menurut Indroharto (1994, halaman 145- Undang-Undang, 2014, halaman 7). Sedangkan
146) AUPB merupakan bagian dari asas-asas menurut Pasal 3 angka 1 UU Nomor 28 tahun
hukum umum yang secara khusus berlaku dan 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
penting artinya bagi perbuatan-perbuatan hukum Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
pemerintahan. Keberadaan AUPB disebabkan Nepotisme, yang dimaksud dengan “Asas
oleh beberapa hal: Kepastian Hukum” adalah asas dalam negara
1. AUPB merupakan bagian dari hukum hukum yang mengutamakan landasan peraturan
positif yang berlaku; perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
2. AUPB merupakan norma bagi perbuatan- dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
perbuatan administrasi negara, di samping (Indonesia, Undang-Undang, 1999, halaman
norma-norma dalam hukum tertulis dan 13). Sehingga mendasarkan pendapat-pendapat
tidak tertulis; ahli dan peraturan perundang-undangan tersebut
di atas, penulis berpendapat bahwa untuk dapat

64
dikatakan memenuhi asas kepastian hukum disebut BUMN, adalah badan usaha yang
paling tidak suatu kebijakan pemerintah harus seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
mendasarkan suatu peraturan perundang- oleh negara melalui penyertaan secara langsung
undangan, pelaksanaan tidak boleh saling yang berasal dari kekayaan negara yang
bertentangan antar peraturan perundang- dipisahkan (Indonesia, Undang-Undang, 2003,
undangan, tidak menimbulkan multitafsir atau halaman 2).
mudah dipahami rakyat pada umumnya. Sesuai dengan pasal 9 UU Nomor 19 tahun
2003, bentuk BUMN terdiri Persero dan Perum
Teori Badan Usaha Milik Negara
dengan uraian sebagai berikut:
Pengertian aset secara etimologi berasal 1. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya
dari bahasa Inggris “Asset” yang memiliki disebut Persero, adalah BUMN yang
makna “sifat bernilai”. Sedangkan pengertian berbentuk perseroan terbatas yang
aset menurut terminologi adalah suatu hak yang modalnya terbagi dalam saham yang
bernilai dan memberikan manfaat di kemudian seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh
hari. Dalam ekonomi, aset selalu di kaitkan satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
dengan aktiva yang menunjukan kepemilikan Republik Indonesia yang tujuan utamanya
yang bernilai atas suatu sumberdaya yang mengejar keuntungan.
memiliki manfaat dan umumnya dinilai dengan 2. Perusahaan Umum, yang selanjutnya
satuan uang. disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh
PSAK Nomor 16 menyebutkan bahwa modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi
definisi dari pengertian aset yaitu semua atas saham, yang bertujuan untuk
kekayaan yang dipunyai individu ataupun kemanfaatan umum berupa penyediaan
kelompok yang berwujud maupun yang tidak barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi
berwujud, yang memiliki nilai akan memiliki dan sekaligus mengejar keuntungan
manfaat bagi tiap orang atau perusahaan (Ikatan berdasarkan prinsip pengelolaan
Akuntan Indonesia, Standar, 2010). Menurut perusahaan. (Indonesia, Undang-Undang,
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 tahun 2003 2003, halaman 2).
tentang Keuangan Negara, yang dimaksud
Sedangkan menurut UU Nomor 40 tahun
Keuangan Negara meliputi semua hak dan
2007 tentang Perseroan Terbatas, yang
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
dimaksud Perseroan Terbatas yang selanjutnya
uang serta segala sesuatu baik berupa uang atau
disebut perseroan adalah badan hukum yang
barang yang dapat dijadikan sebagai milik
merupakan persekutuan modal, didirikan
negara. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
yang dimaksud Perusahaan Negara adalah badan
usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
dimiliki oleh Pemerintah Pusat (Indonesia,
yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
Undang-Undang, 2003, halaman 2). Selanjutnya
peraturan pelaksanaannya (Indonesia, Undang-
sesuai dengan pasal 2 yang dimaksud dengan
Undang, 2007, halaman 1).
Keuangan Negara sebagaimana pasal 1 angka 1,
Guru Besar Fakultas Hukum UI (FHUI)
meliputi antara lain kekayaan negara/kekayaan
Erman Radjagukguk (2012, halaman 1)
daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
mengatakan bahwa kekayaan BUMN Persero
berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
hukum bukanlah menjadi bagian dari kekayaan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
negara. Pasalnya, ‘kekayaan negara yang
perusahaan negara/perusahaan daerah.
dipisahkan’ di dalam BUMN hanya berbentuk
(Indonesia, Undang-Undang, 2003, halaman 3).
saham. Artinya, kekayaan BUMN tidak menjadi
Sedangkan menurut pasal 1 angka 1,
kekayaan negara. Erman merujuk pada pasal 1
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang
ayat 2 UU Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan
Badan Usaha Milik Negara, yang dimaksud
Usaha Milik Negara yang menyatakan bahwa
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya
Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut

65
Persero, adalah BUMN yang berbentuk sumbangan bagi perkembangan perekonomian
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam nasional pada umumnya dan penerimaan negara
saham yang seluruh atau paling sedikit 51 persen pada khususnya; huruf c. menyelenggarakan
dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
adalah mengejar keuntungan. Selanjutnya, Pasal dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai
11 menyatakan terhadap Persero berlaku segala bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; dan
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi huruf d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan
Perseroan Terbatas sebagaimana diatur di dalam usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh
UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan sektor swasta dan koperasi. Namun dalam
Terbatas. BUMN yang berbentuk Perum juga pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada
adalah bagian badan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
pasal 35 ayat 2 UU Nomor 19 tahun 2003 Peranan pemerintah dalam sistem
tentang BUMN yang menyatakan bahwa Perum perekonomian modern, dapat dibagi dalam tiga
memperoleh status Badan Hukum sejak bagian yaitu: peranan alokasi, peranan distribusi,
diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang peranan stabilitasi. Peranan alokasi sangat
pendiriannya. Pasal 7 ayat 6 UU Nomor 1 tahun dibutuhkan untuk penyediaan barang/jasa yang
1995 tentang Perseroan Terbatas juga tidak dapat disediakan oleh swasta yaitu barang-
menjelaskan bahwa BUMN dapat memperoleh barang umum atau disebut juga barang publik.
status badan hukum setelah akte pendiriannya Barang publik antara lain: Jalan, Jembatan,
disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Bandara, Air Bersih, Udara Bersih, dan lain-lain
Berdasarkan beberapa hal di atas, Erman menilai (Azizah, Artikel, 2012, halaman 1).
bahwa BUMN tidak menjadi bagian dari Menurut Friedman, keterlibatan negara
kekayaan negara (Hukum Online, Berita, 2012). dalam bidang ekonomi diletakkan pada tiga
Namun sesuai dengan Putusan Mahkamah bentuk perusahaan negara (Arifin S, Laporan,
Konstitusi, Putusan Nomor 48/PUU-XI/2013, 2010, halaman 25–26), yaitu:
terkait Permohonan Pengujian Pasal 2 huruf g 1. Department Government Enterprise, yaitu
dan huruf i UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Perusahaan Negara yang merupakan bagian
Keuangan Negara secara umum dapat integral dari suatu departemen/
dinyatakan bahwa kekayaan yang dipisahkan kementerian/lembaga yang tugasnya
pada perusahaan negara/perusahaan daerah membangun fasilitas umum, sehingga
dalam hal ini aset BUMN merupakan bagian dari mempunyai hubungan hukum publik antara
Kekayaan Negara sebagaimana dinyatakan pemerintah dengan masyarakat yang
dalam pasal 2 yang dimaksud dengan Keuangan dilayani. Dipimpin oleh seorang kepala
Negara sebagaimana pasal 1 angka 1, meliputi yang merupakan bawahan dari departemen,
antara lain: huruf g. kekayaan negara/kekayaan mempunyai dan memperoleh fasilitas
daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain negara. Model ini dikenal sebagai
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, Perusahaan Jawatan (Perjan).
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan 2. Statutory Public Corporations, yaitu
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada Perusahaan Negara yang tugasnya hampir
perusahaan negara/perusahaan daerah. Pasal 1 sama dengan department government
angka 1, meliputi antara lain: huruf i. kekayaan enterprise yaitu membangun fasilitas
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan umum atau melayani kepentingan umum,
fasilitas yang diberikan pemerintah (Mahkamah namun dalam hal manajemen lebih otonom
Konstitusi, Putusan, 2013). karena berstatus badan hukum dan diatur
Sehingga memperhatikan hal tersebut di dalam undang-undang, mempunyai nama
atas, dan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 dan kekayaan sendiri serta bebas bergerak
ayat 1 UU Nomor 19 tahun 2003 tentang seperti perusahaan swasta, dapat di tuntut
BUMN, sesuai tujuan pendiriannya, BUMN dan menuntut, hubungan hukumnya diatur
dapat dimanfaatkan oleh negara sebagai aset menurut hukum privat, modal seluruhnya
negara antara lain untuk: huruf a. memberikan dimiliki negara dari kekayaan negara yang

66
dipisahkan, dapat mempunyai dan 2. Perum selanjutnya diatur dalam ketentuan
memperoleh dana dan kredit dalam dan luar PP Nomor 13 tahun 1998 tentang
negeri (obligasi), secara finansial harus Perusahaan Umum pasal 1 ayat 1, dengan
dapat berdiri sendiri kecuali ada politik ciri utama seluruh modalnya dimiliki
pemerintah mengenai tarif dan harga serta negara berupa kekayaan negara yang
diatur melalui subsidi pemerintah, dipimpin dipisahkan dan tidak terbagi atas saham,
oleh seorang direksi dan pegawainya adalah dan menyelenggarakan usaha yang
pegawai perusahaan negara yang diatur bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
dalam ketentuan tersendiri di luar ketentuan penyediaan barang dan atau jasa yang
yang berlaku bagi pegawai negeri, bermutu tinggi dan sekaligus memupuk
organisasi, tugas, wewenang, tanggung keuntungan berdasarkan prinsip
jawab dan tata cara tanggung jawab, serta pengelolaan perusahaan.
pengawasan diatur secara khusus sesuai 3. Persero sesuai dengan PP Nomor 12 tahun
dengan undang-undang. Model ini di kenal 1998 dalam pasal 1 diatur bahwa Persero
publik dengan public corporation atau adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Perusahaan Umum (Perum). berbentuk Perseroan Terbatas atau PT yang
3. Commercial Companies, yaitu Perusahaan seluruh atau paling sedikit 5% saham yang
Negara yang memiliki ciri makna usahanya dikeluarkannya dimiliki oleh negara
untuk menumpuk keuntungan, status melalui penyertaan modal secara langsung.
hukum adalah badan hukum perdata yang
Memperhatikan sifat usaha BUMN, yaitu
berbentuk perseroan terbatas, hubungan
untuk memupuk keuntungan dan melaksanakan
usahanya diatur menurut hukum perdata,
kemanfaatan umum, sejak berlakunya UU
modal seluruhnya atau sebagian merupakan
Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha
milik negara dari kekayaan negara yang
Milik Negara, bentuk BUMN disederhanakan
dipisahkan, tidak memiliki fasilitas negara,
menjadi dua yaitu:
dipimpin oleh seorang direksi dan status
1. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya
pegawai adalah pegawai perusahaan biasa.
disebut Persero, adalah BUMN yang
Peranan pemerintah adalah sebagai
berbentuk perseroan terbatas yang
pemegang saham. Model ini juga disebut
modalnya terbagi dalam saham yang
Perusahaan Perseroan (state companies).
seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh
Bentuk-bentuk usaha negara berdasarkan satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
UU Nomor 9 tahun 1969 tentang Penetapan Republik Indonesia yang tujuan utamanya
Peraturan Pemerintah pengganti UU Nomor 1 mengejar keuntungan.
tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha 2. Perusahaan Umum, yang selanjutnya
Negara menjadi Undang-Undang dibedakan ke disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh
dalam tiga bentuk, yakni: Perusahaan Jawatan modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi
(Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan atas saham, yang bertujuan untuk
Perusahaan Perseroan (Persero). kemanfaatan umum berupa penyediaan
1. Perjan selanjutnya diatur dalam pasal 1 ayat barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi
1 PP Nomor 6 tahun 2000 tentang dan sekaligus mengejar keuntungan
Perusahaan Jawatan, dengan ciri utama berdasarkan prinsip pengelolaan
seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah perusahaan.
dan merupakan kekayaan negara yang
Terhadap BUMN tersebut di atas sesuai
dipisahkan serta tidak terbagi atas saham-
dalam pengelolaannya tunduk terhadap UU
saham, dan menyelenggarakan kegiatan
Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
usaha untuk kemanfaatan masyarakat
termasuk perubahannya jika ada dan peraturan
umum, berupa penyediaan jasa pelayanan
pelaksanaannya serta peraturan perundang-
yang bermutu tinggi dan tidak semata-mata
undangan sektoral yang mengatur bidang usaha
mencari keuntungan.

67
BUMN dan swasta yang dikeluarkan oleh Bogor - Ciawi sepanjang 59 km (termasuk jalan
departemen/lembaga non departemen. akses) yang dibangun pemerintah dengan
Sedangkan Perjan, perannya saat ini sumber pendanaan anggaran pemerintah dan
digantikan oleh Badan Layanan Umum (BLU) pinjaman luar negeri ditetapkan menjadi Jalan
yang merupakan instansi di lingkungan Tol Jagorawi oleh Presiden Soeharto pada tahun
pemerintah yang dibentuk untuk memberikan 1978, yang selanjutnya dalam rangka
pelayanan kepada masyarakat berupa pengelolaan, pemeliharaan, dan pengadaan jalan
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tol, pemerintah mendirikan PT Jasa Marga
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan (Persero).
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada Dengan berlakunya UU Nomor 13 tahun
prinsip efisiensi dan produktivitas, dengan pola 1980, pada tanggal 27 Desember 1980, PT Jasa
pengelolaan keuangan yang memberikan Marga (Persero) berdasarkan kewenangan yang
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk diberikan pemerintah melaksanakan
menetapkan praktek-praktek bisnis yang sehat penyelenggaraan jalan tol, meliputi semua
untuk meningkatkan pelayanan kepada kegiatan pewujudan sasaran pembinaan jalan tol
masyarakat dalam rangka memajukan dan kegiatan operasinya meliputi pengumpulan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan tol, pengaturan pemakaian dan pengamanan
kehidupan bangsa yang dibentuk berdasarkan PP jalan tol, usaha lain yang sesuai dengan maksud
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan dan tujuan penyelenggaraan jalan tol (Indonesia,
Badan Layanan Umum (Indonesia, Peraturan Undang-Undang, 1980, halaman 9 dan 19).
Pemerintah, 2005, halaman 1). PT. Jasa Marga (Persero) sebagai operator
sekaligus sebagai otoritas jalan tol di Indonesia,
2. METODE PENELITIAN
hingga tahun 1987 merupakan satu-satunya
Dalam penelitian ini, metode yang penyelenggara jalan tol yang pengembangannya
digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dibiayai pemerintah dengan dana berasal dari
(Soekanto, 2006, halaman 10) dengan pinjaman luar negeri dan obligasi Jasa Marga.
melakukan pemilihan teori-teori, asas-asas, Pada tahun 1990-an PT Jasa Marga mulai
norma-norma, doktrin-doktrin dan pasal-pasal di berperan sebagai lembaga otoritas yang
dalam undang-undang terpenting yang relevan memfasilitasi investor swasta untuk turut serta
dengan permasalahan. dalam pengusahaan jalan tol dalam skema
Kemudian membuat sistematika dari data- Perjanjian Kuasa Pengusahaan/PKP (Jasa
data tersebut sehingga akan menghasilkan Marga, 2020, halaman 1).
klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan Skema PKP dilaksanakan dengan metode
yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang tender, pada periode tahun 1995 - 1997
dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dilakukan tender 19 ruas jalan tol sepanjang 762
dalam bentuk uraian secara sistematis pula, km, namun karena krisis moneter pada Juli 1997,
selanjutnya semua data diseleksi, diolah melalui Keputusan Presiden Nomor 39/1997
kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga tentang Penangguhan/Pengkajian Kembali
dapat memberikan solusi terhadap permasalahan Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara,
yang dimaksud. dan Swasta yang Berkaitan dengan
Sedangkan teknis analisa yang digunakan, Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara,
menggunakan pendekatan yuridis normatif yang pemerintah menunda program pembangunan
difokuskan untuk mengkaji penerapan atau jalan tol tersebut sehingga jalan tol pada periode
kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif 1997 – 2001 hanya terbangun 13,30 km (BPJT,
(Ibrahim, 2008, halaman 295). 2020, halaman 1).
Pada tahun 1998, melalui Keppres Nomor 7
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan
Tahun 1978, periode dimulainya sejarah Swasta dalam penyediaan infrastruktur,
jalan tol di Indonesia yaitu sejak ditetapkannya pemerintah mendorong badan usaha swasta
Jalan Bebas Hambatan (Free Way) Jakarta - untuk turut serta dalam penyediaan infrastruktur

68
khususnya jalan tol, dan pada tahun 2002 a. seluruh lingkup pengusahaan jalan tol
pemerintah mengeluarkan Keppres Nomor 15 yang layak secara ekonomi dan
tahun 2020 tentang penerusan pengusahaan finansial.
proyek-proyek jalan tol yang tertunda (BPJT, b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan
2020, halaman 1). Sehingga dari tahun 1987 - tol yang dibangun oleh pemerintah.
2007 (penerusan PKP menjadi PPJT), 553 km c. meneruskan bagian jalan tol yang
jalan tol telah dibangun dan dioperasikan di dibangun pemerintah, dan
Indonesia. Dari total panjang tersebut 418 km pengoperasian dan pemeliharaan
jalan tol dioperasikan oleh PT. Jasa Marga dan keseluruhan jalan tol.
135 km sisanya dioperasikan oleh swasta lain
Untuk huruf a. lingkup pengusahaan
(BPJT, 2020, halaman 1).
meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan
Kemudian dengan berlakunya UU Nomor
teknis, pelaksanaan konstruksi,
38 tahun 2004 tentang Jalan tanggal 18 Oktober
pengoperasian, dan pemeliharaan.
2004 dan PP Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan
Sedangkan untuk huruf b. dan c. harus
Tol, wewenang penyelenggaraan jalan tol yang
memperhitungkan pengembalian investasi
sebelumnya diserahkan pemerintah kepada PT.
pemerintah. Badan usaha dipilih melalui
Jasa Marga (Persero) dikembalikan kepada
proses pelelangan (vide pasal 21 PP Nomor
Pemerintah dan sesuai dengan pasal 45 ayat 1
15 tahun 2005 dan pasal 22 A PP Nomor 43
dan ayat 2 UU Nomor 38 tahun 2004
tahun 2013).
dilaksanakan oleh Badan Pengatur Jalan Tol
3. Pengusahaan jalan tol oleh pemerintah dan
(BPJT), dengan wewenang penyelenggaraan
Badan Usaha, diperuntukkan untuk ruas
jalan tol tersebut meliputi: pengaturan,
jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi
pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan
keseluruhan proyek tidak layak secara
tol (Indonesia, Undang-Undang, 2014).
finansial. Pengusahaan meliputi pendanaan
Selanjutnya PT. Jasa Marga (Persero) Tbk.
dan/atau perencanaan teknis dan/atau
berperan sebagai Badan Usaha Jalan Tol
konstruksi serta pengoperasian dan
sebagaimana Badan Usaha lainnya yang
pemeliharaan dilakukan oleh Badan Usaha
bergerak di bidang pengusahaan jalan tol.
yang dipilih melalui proses pelelangan
Hal tersebut sejalan dengan pasal 43 ayat 2
(vide, pasal 22 PP Nomor 15 tahun 2005
UU Nomor 38 tahun 2004 yang menyatakan
dan pasal 22 A ayat 2 PP Nomor 43 tahun
bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan oleh
2013).
pemerintah dan/atau badan usaha yang
memenuhi persyaratan. Selanjutnya dalam PP Sedangkan apabila dilihat dari proses
Nomor 43 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua penunjukkan badan usaha dapat dikelompokkan
PP Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol, dalam dua mekanisme yaitu:
pengusahaan jalan tol dilihat dari sisi subyek 1. Mekanisme penugasan pemerintah kepada
hukum pelaksana pengusahaan dapat badan usaha milik negara, sebagaimana
dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu: diatur dalam pasal 20 ayat 3 PP Nomor 43
1. Pengusahaan jalan tol oleh pemerintah, tahun 2013 tentang Pengusahaan Jalan Tol
dengan ketentuan ruas tol layak secara oleh Pemerintah, dengan ketentuan:
ekonomi, tetapi belum layak secara a. pendanaan pemerintah untuk
finansial. Pengusahaan meliputi: pengusahaan jalan tol terbatas;
pendanaan, perencanaan teknis, konstruksi, b. dalam rangka percepatan
yang selanjutnya pengoperasian dan pembangunan wilayah;
pemeliharaan dilakukan oleh Badan Usaha c. badan usaha milik negara yang
yang dipilih melalui proses pelelangan diberikan penugasan, keseluruhan
(vide, pasal 20 ayat 1 dan 2, pasal 22 A PP modalnya dimiliki negara;
Nomor 43 tahun 2013). d. penugasan ditetapkan dengan
2. Pengusahaan jalan tol oleh Badan Usaha, Peraturan Presiden;
meliputi:

69
e. dengan lingkup penugasan Pengusahaan jalan tol dengan skema
pengusahaan meliputi pendanaan, penugasan pemerintah kepada badan usaha milik
perencanaan teknis dan konstruksi negara antara lain pengusahaan 24 ruas jalan tol
selanjutnya pengoperasian dan di Sumatera oleh PT. Hutama Karya (Persero)
pemeliharaan oleh badan usaha yang sedangkan pengusahaan jalan tol dengan skema
dipilih melalui proses pelelangan. lelang antara lain pengusahaan di ruas-ruas jalan
Namun sejak berlakunya PP Nomor 30 tol trans Jawa oleh Badan Usaha Jalan Tol.
tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
PP Nomor 15 tahun 2005 tanggal 16 Nomor 15 tahun 2015 tentang Jalan Tol, pasal 13
Agustus 2017, ketentuan lingkup ayat 3, penetapan suatu rencana pembangunan
penugasan pengusahaan kepada badan ruas jalan tol oleh Menteri mendasarkan dari
usaha milik negara diubah menjadi: (a) hasil prastudi kelayakan yang meliputi antara
melaksanakan seluruh lingkup lain: analisa sosial ekonomi, analisa proyeksi
pengusahaan jalan tol meliputi lalu lintas, pemilihan koridor jalan tol, dan
pendanaan, perencanaan teknis, analisa perkiraan biaya konstruksi serta analisa
kontruksi, pengoperasian dan kelayakan ekonomi. Suatu ruas tol dinyatakan
pemeliharaan; (b) meneruskan layak ekonomi umumnya mendasarkan analisa
pengusahaan jalan tol yang belum Benefit Cost Ratio (BCR) atau dilihat dari tingkat
diselesaikan pemerintah, termasuk kebermanfaatannya terhadap masyarakat
pengoperasian dan pemeliharaan. sebagai pengguna jalan (user cost) antara lain:
2. Mekanisme pelelangan secara terbuka dan dari potensi tingkat penghematan biaya
transparan, sesuai dengan Permen PUPR operasional kendaraan jika ada jalan tol, tingkat
Nomor 01/PRT/M/2017 tentang Tata Cara penghematan waktu tempuh jika ada jalan tol.
Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha untuk Sedangkan suatu ruas tol dinyatakan memenuhi
Pengusahaan Jalan Tol. Pelelangan dapat tingkat kelayakan finansial apabila dari sisi
dilakukan untuk pengusahan jalan tol yang investor proyek pembangunan jalan tol tersebut
layak ekonomi dan layak finansial maupun dapat memberikan tingkat pengembalian
untuk pengusahaan jalan tol yang layak investasi yang menguntungkan yang umumnya
secara ekonomi namun belum layak secara dihitung berdasarkan tingkat Net Present Value
finansial yang akan mendapatkan dukungan (NPV), Payback Period, dan Internal Rate of
pemerintah dalam bentuk konstruksi atau Return (IRR).
insentif perpajakan maupun jaminan Keputusan pemerintah dalam mempercepat
pemerintah untuk menigkatkan tingkat pembangunan jalan tol trans Sumatera
kelayakannya. (Indonesia, Peraturan mendasarkan pada hasil kajian dari Koica yang
Menteri, 2017, halaman 22 – 28). Skema tertuang dalam laporan Koica, Final Report: The
pelelangan tersebut selain mengacu Perpres Esthablishment of A Master Plan For The
Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan, juga Arterial Road Network In Sumatera Island,
mengacu pada Perpres Nomor 38 tahun Kementerian PUPR, Juli 2010, yaitu sebagai
2015 tentang Kerjasama Pemerintah berikut:
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur.

70
Tabel 2. Result of Economic Feasibility Analysis
Length NPV
Class Section B/C IRR (%)
(Km) (Bill. Rp)
Bakauheni - Palembang 308 1.75 3,493 20.06
Palembang-Pekanbaru 610 0.66 -3,123 11.16
Pekanbaru- Medan 353 1.03 151 15.28
Alt. I Medan – Aceh 460 0.57 -2,314 9.77
Palembang – Bengkulu 303 0.46 -3,249 7.85
Pekanbaru – Padang 242 0.61 -2,798 10.45
Tebing Tinggi – Sibolga 175 0.31 -3,141 4.27
Bakauheni – Palembang 308 1,64 3,091 19.62
Palembang – Pekanbaru 610 0.62 -3,564 10.57
Pekanbaru- Medan 353 0.97 -182 14.66
Alt. II Medan – Aceh 460 0.41 -4,294 6.83
Palembang – Bengkulu 303 0.43 -4,294 7.33
Pekanbaru – Padang 242 0,57 -3,276 9.82
Tebing Tinggi – Sibolga 175 0.29 -3,371 3.51

Tabel 3. Short-Term Economic Impact Depending on Construction Alternative


Unit: Million Rp, Person)
1 Phase 2 Phase 3 Phase
Added Added Added
Production Employment Production Employment Production Employment
Value Value Value
Direct 5,419,565 3,148,880 68,394 5,330,115 3,103,915 58,913 2,382,037 1,452,906 30,196
Total 11,614,884 6,738,266 146,676 11,296,193 6,580,989 124,758 5,145,226 3,132,652 65,279
Tabel 4. Long-Term Economic Impact Depending on Construction Alternative
Unit: Million Rp, Person)
After 2019 After 2024 After 2029
Added Added Added
Production Employment Production Employment Production Employment
Value Value Value
572,242 316,366 7,493 920,194 504,619 11,621 1,398,780 767,563 17,711

Hasil analisis ekonomi menurut Koica Mendasarkan hal tersebut, pertimbangan


untuk tol trans Sumatera secara umum tingkat utama pemerintah tetap melaksanakan
kelayakan ekonomi masih rendah sehingga pembangunan jalan tol dengan skema penugasan
Koica dalam laporannya tidak melakukan kepada BUMN meskipun tingkat kelayakan
finansial analisis. Sesuai dengan Peraturan ekonomi masih belum optimal adalah dalam
Menteri Pekerjaan Umum Nomor rangka mendorong percepatan pertumbuhan
6/PRT/M/2010 pasal 8 ayat 2, proyek dinyatakan ekonomi di Sumatera sebagaimana dinyatakan
layak apabila nilai kelayakan finansial proyek dalam konsideran pertimbangan terbitnya
paling kurang sebesar 4% (empat persen) di atas Perpres Nomor 100 tahun 2014 tentang
rata-rata suku bunga pinjaman bank pemerintah. Percepatan Pembangun Jalan Tol di Sumatera.

71
Terkait dengan penugasan pemerintah menyalahgunakan kewenangan; (f) keterbukaan;
kepada PT. Hutama Karya (Persero) untuk (g) kepentingan umum; dan (h) pelayanan yang
melaksanakan pengusahaan jalan tol pada 24 baik (Indonesia, Undang-Undang, 2014,
ruas tol di Sumatera merupakan bentuk delegasi halaman 13).
kewenangan pemerintah yang pelaksanaannya Dalam penelitian ini, penulis fokus pada
wajib berdasarkan peraturan perundang- pemenuhan tiga AUPB, yaitu sebagai berikut:
undangan dan asas-asas umum pemerintahan 1. Asas Kepastian Hukum
yang baik (Indonesia, Undang-Undang, 2014, Asas kepastian hukum menurut penjelasan
halaman 11). pasal 10 UU Nomor 30 tahun 2004 adalah asas
Penugasan pemerintah kepada PT. Hutama dalam negara hukum yang mengutamakan
Karya (Persero) untuk melakukan pengusahaan landasan ketentuan peraturan perundang-
24 ruas tol di Sumatera melalui Perpres Nomor undangan, kepatutan, keajaegan, dan keadilan
100 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangun dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
Jalan Tol di Sumatera, terakhir diubah dengan pemerintahan (Indonesia, Undang-Undang,
Perpres Nomor 117 tahun 2015. Berdasarkan PP 2014, halaman 7). Sedangkan menurut Reza
Nomor 43 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua (2017, halaman 1), kepastian hukum secara
PP Nomor 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol dan normatif adalah ketika suatu peraturan
PP Nomor 49 tahun 2011 tentang Perubahan PP perundang-undangan dibuat dan diundangkan
Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi secara pasti, karena mengatur secara jelas dan
Pemerintah, penugasan tersebut meliputi logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam
konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaan. artian menjadi suatu sistem norma dengan norma
(Indonesia, Peraturan Presiden, 2015, halaman lain, sehingga tidak berbenturan atau
5). menimbulkan konflik norma. Konflik norma
Pengusahaan jalan tol pada dasarnya yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan
merupakan wewenang pemerintah. Wewenang perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi
penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, norma, reduksi norma, atau distorsi norma.
pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan Ketentuan peraturan perundang-undangan
tol yang sebagian dilaksanakan oleh BPJT yang menjadi dasar adalah Perpres Nomor 100
(Indonesia, Undang-Undang, 2004, halaman tahun 2014 tentang Percepatan Pembangun Jalan
22). Dalam kondisi tertentu, dimana tidak Tol di Sumatera yang terakhir diubah dengan
terdapat badan usaha yang berminat untuk Perpres Nomor 117 tahun 2015, kemudian
melaksanakan pengusahaan jalan tol ketentuan dalam pasal 20 ayat 1 sampai dengan
dikarenakan tingkat kelayakan finansial yang 5 dari PP Nomor 43 tahun 2013 tentang
rendah meskipun secara ekonomi layak, Perubahan Kedua atas PP Nomor 15 tahun 2005
pembangunan jalan tol seluruhnya atau sebagian tentang Jalan Tol. Ketentuan dalam Peraturan
dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan Pemerintah tersebut mengacu pada ketentuan
selanjutnya pengoperasiannya dilakukan oleh dalam pasal 50 ayat 4 dan ayat 5 dari UU Nomor
badan usaha. Apabila pemerintah tidak memiliki 5 tahun 2004 tentang Jalan, sehingga seharusnya
pendanaan sedangkan pemerintah berkeinginan terdapat konsistensi dan tidak ada keraguan
untuk mempercepat pelaksanannya dapat dalam penerapannya. Namun dalam
menugaskan badan usaha milik negara yang pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang
seluruh modalnya milik negara untuk melakukan terindikasi tidak memenuhi asas kepastian
pengusahaan jalan tol (Indonesia, Peraturan hukum antara lain sebagai berikut:
Pemerintah, 2017, halaman 3). Kemudian dalam a. Lingkup pengusahaan jalan tol dalam
pasal 10 ayat 1 UU Nomor 30 tahun 2014 penugasan kepada PT. Hutama Karya
tentang Administrasi Pemerintah, AUPB yang (Persero) meliputi pendanaan, perencanaan
dimaksud dalam Undang-Undang ini, meliputi: teknis, pelaksanaan konstruksi,
(a) kepastian hukum; (b) kemanfaatan; (c) pengoperasian, dan pemeliharaan (vide,
ketidakberpihakan; (d) kecermatan; (e) tidak pasal 2 ayat 3 Perpres Nomor 117 tahun

72
2015), tidak selaras dengan lingkup dilaksanakan dengan pemilihan badan
pengusahaan jalan tol yang pelaksanaan usaha secara pelelangan secara terbuka oleh
pengusahaannya oleh pemerintah yang PT. Hutama Karya (Persero).
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2. Asas Kemanfaatan
43 tahun 2013 yang hanya meliputi Asas kemanfaatan menurut penjelasan
kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pasal 10 UU Nomor 30 tahun 2004 adalah
dan pelaksanaan konstruksi jalan tol yang manfaat yang harus diperhatikan secara
selanjutnya pengoperasian dan seimbang antara (1) kepentingan individu yang
pemeliharaan dilakukan oleh Badan Usaha satu dengan kepentingan individu yang lain; (2)
yang dipilih melalui pelelangan (vide, pasal kepentingan individu dengan masyarakat (3)
20 ayat 1 dan 2, dan pasal 22 A PP Nomor kepentingan warga masyarakat dan masyarakat
43 tahun 2013). Lingkup pengusahaan asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat
dalam Peraturan Pemerintah tersebut yang satu dan kepentingan kelompok
selaras dengan penjelasan pasal 50 ayat 5 masyarakat yang lain; (5) kepentingan
yang menyatakan bahwa pemerintah dalam pemerintah dengan warga masyarakat; (6)
keadaan tertentu dapat mengambil langkah kepentingan generasi yang sekarang dan
melaksanakan pembangunan jalan tol kepentingan generasi mendatang; (7)
seluruhnya atau sebagian yang selanjutnya kepentingan manusia dan ekosistemnya; dan (8)
pengoperasian dan pemeliharaan dilakukan kepentingan pria dan wanita.
oleh Badan Usaha. Sehingga dalam lingkup Dalam rangka meningkatkan kelayakan
penugasan yang diberikan kepada PT. finansial pengusahaan jalan tol di Sumatera,
Hutama Karya (Persero) akan lebih tepat pemerintah memberikan dukungan berupa: (a)
apabila hanya meliputi kegiatan pendanaan, Penyertaan Modal Negara (PMN), tahun 2015
perencanaan teknis, dan pelaksanaan sebesar Rp3,6 triliun, 2016 sebesar Rp2 triliun,
konstruksi jalan tol yang selanjutnya dan 2019 sebesar Rp10,5 triliun dari kebutuhan
pengoperasian dan pemeliharaan dilakukan PMN Rp10 triliun sampai dengan Rp15 triliun
oleh Badan Usaha yang dipilih melalui per tahun hingga tahun 2030 (Hari. W, 2019,
pelelangan. halaman 1), (b) Pembangunan beberapa seksi
b. Dalam pengoperasian dan pemeliharaan, jalan tol sepanjang ± 80 km melalui skema
PT. Hutama Karya (Persero) dapat Viability Gap Fund (VGF) yaitu dukungan
bekerjasama dengan pihak lain melalui pemerintah dalam bentuk kontribusi sebagian
pembentukan anak perusahaan dengan PT. biaya konstruksi yang diberikan secara tunai
Hutama Karya sebagai pemegang saham yang sumber pendanaannya dari beberapa BUJT
mayoritas (vide pasal 4 ayat 1 dan 2 Perpres Tol Trans Jawa, yaitu Tol Semarang Batang
Nomor 117 tahun 2015). Klausula tersebut 28,65 km, Tol Krian Legundi Bunder 25 km, Tol
tidak selaras dengan ketentuan dalam pasal Cisumdawu 6 km, Jakarta Cikampek Elevated
20 ayat 2 PP Nomor 43 tahun 2013 yang 15 km, dan Jakarta Cikampek Selatan 12 km.
mengisyaratkan bahwa untuk (Waskita Karya, 2019), (c) Pemberian jaminan
pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol pinjaman atas pinjaman yang dilaksanakan oleh
dilaksanakan oleh Badan Usaha yang PT. Hutama Karya (Persero) untuk mencukupi
dipilih melalui pelelangan. Selain hal pembiayaan pembangunan jalan tol di Sumatera
tersebut penerapan klausula tersebut juga sepanjang 2.700 km yang diperkirakan mencapai
berpotensi melanggar ketentuan dalam Rp476 triliun, yang menghubungkan Aceh
pasal 20 ayat 4 yang mensyaratkan BUMN sampai Lampung melalui 24 Ruas Jalan Tol dan
penerima penugasan seluruh modalnya ditargetkan selesai pada tahun 2024 (Hari. W,
dimiliki oleh negara. Sehingga apabila 2019, halaman 1).
pemerintah memberikan ijin kepada PT. PT. Hutama Karya (Persero) merupakan
Hutama Karya (Persero) dalam pelaksanaan BUMN yang salah satu tujuan pendiriannya
pengoperasian dan pemeliharaan adalah mencari keuntungan (Indonesia, Undang-
bekerjasama dengan pihak lain, sebaiknya Undang, 2003, halaman 2). Dalam pengusahaan

73
jalan tol, keuntungan Badan Usaha Jalan Tol mempertimbangkan kepentingan para pihak
(BUJT) tercermin dari masa konsesi yaitu masa secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
pengusahaan jalan tol yang diberikan oleh PT. Hutama Karya (Persero) merupakan
pemerintah kepada BUJT untuk mengembalikan BUMN yang sebelumnya berdasarkan PP
investasi ditambah keuntungan yang wajar. Nomor 61 tahun 1961 tanggal 29 Maret 1961
Masa konsesi dihitung berdasarkan rencana dengan nama PN. Hutama Karya. Status
usaha yang diusulkan BUJT untuk pengusahaan perusahaan berubah menjadi Perseroan Terbatas
jalan tol yang dilaksanakan melalui pelelangan berdasarkan PP Nomor 14 tahun 1971 juncto
dan disepakati dalam Perjanjian Pengusahaan Akta Perseroan Terbatas Nomor 74 tanggal 15
Jalan Tol (PPJT) antara pemerintah dan BUJT. Maret 1973, juncto Akta Perubahan Nomor 48
Sedangkan untuk penugasan pengusahaan jalan tanggal 8 Agustus 1973, juncto Akte Perubahan
tol di Sumatera, PT. Hutama Karya (Persero) Nomor 85 tanggal 29 April 2013, dengan
diberikan masa konsesi selama 40 Tahun. kepemilikan saham 100% oleh Pemerintah
Realisasi rencana usaha bergantung pada Republik Indonesia dan Menteri Negara BUMN
realisasi trafik kendaraan dan realisasi tarif jalan sebagai Kuasa Pemegang Saham.
tol yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 tahun 2003
Umum dan Perumahan Rakyat. Dalam tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan
pengusahaan jalan tol, risiko trafik menjadi Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya
risiko Badan Usaha. Realisasi pengembalian disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh
investasi ditambah keuantungan yang wajar atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
sangat bergantung pada realisasi trafik, dan negara melalui penyertaan secara langsung yang
dalam prakteknya pemenuhan standar pelayanan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
minimal jalan tol oleh BUJT juga sangat Bentuk BUMN sesuai dengan Undang-Undang
bergantung pada realisasi trafik. Sehingga dalam tersebut, terdiri dari:
pelaksanaan penugasan pemerintah kepada PT. a. Perusahaan Perseroan (Persero) adalah
Hutama Karya (Persero), pemerintah perlu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas
mempertimbangkan pemberian jaminan realisasi yang modalnya terbagi dalam saham yang
trafik atas rencana trafik yang disepakati dalam seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh
rencana usaha, untuk memastikan PT. Hutama satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
Karya (Persero) selaku BUJT pada 24 Ruas Tol Republik Indonesia yang tujuan utamanya
di Sumatera dapat memberikan layanan jalan tol mengejar keuntungan.
yang handal kepada masyarakat sesuai ketentuan b. Perusahaan Umum (Perum) adalah BUMN
Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol, dengan yang seluruh modalnya dimiliki negara dan
ketentuan apabila realisasi trafik melebihi tidak terbagi atas saham, yang bertujuan
perhitungan trafik dalam rencana usaha, PT untuk kemanfaatan umum berupa
Hutama Karya (Persero) wajib menyetorkan penyediaan barang dan/atau jasa yang
kelebihan realisasi pendapatan ke kas negara. bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
3. Asas Ketidakberpihakan keuntungan berdasarkan prinsip
Asas ketidakberpihakan menurut pengelolaan perusahaan.
penjelasan pasal 10 UU Nomor 30 tahun 2004
Daftar BUMN konstruksi di Indonesia dan
adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau
komposisi pemegang saham, antara lain:
Pejabat Pemerintah dalam menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau tindakan dengan

74
Tabel 5. Kepemilikan Saham BUMN
No Nama Perusahaan Pemegang Saham
1 PT. Amarta Karya (Persero) 100,00% Pemerintah RI
2 PT. Brantas Abipraya (Persero) 100,00% Pemerintah RI
3 PT. Hutama Karya (Persero) 100,00% Pemerintah RI
4 PT. Istaka Karya (Persero) 7,66% Pemerintah RI, Kreditur 92,34%
1,00% Pemerintah RI, PT. Perusahaan
5 PT. Nindya Karya (Persero)
Pengelola Aset (Persero) 99,00%
Perum Pembangunan Perumahan
6 100,00% Pemerintah RI
Nasional
7 PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. 51,00% Pemerintah RI, 49,00% Publik
PT. Pembangunan Perumahan
8 51,00% Pemerintah RI, 49,00% Publik
(Persero) Tbk.
9 PT. Waskita Karya (Persero) Tbk. 66,04% Pemerintah RI, 33,94% Publik
10 PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. 65,05% Pemerintah RI, 34,95% Publik

Berdasarkan tabel tersebut, selain PT. persaingan usaha tidak sehat yang menjadi unsur
Hutama Karya (Persero) masih terdapat empat yang saling melengkapi dalam pelaksanaan UU
BUMN lain yang seluruh kepemilikan sahamnya Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan (Indonesia,
dimiliki negara yang memungkinkan untuk Undang-Undang, 200, penjelasan halaman 4).
diberikan penugasan pengusahaan 24 Jalan Tol
4. KESIMPULAN
di Sumatera oleh Pemerintah. Selain hal
tersebut, apabila menggunakan metode PT. Hutama Karya (Persero) secara hukum
interprestasi gramatikal atau bahasa (Siti M. B., positif dapat diberikan penugasan oleh
2016) BUMN yang lebih tepat untuk menerima pemerintah untuk melaksanakan pengusahaan
penugasan adalah BUMN yang berbentuk Perum 24 ruas jalan tol di Sumatera karena merupakan
karena seluruh modalnya dimiliki negara dan BUMN berbentuk Perseroan yang sampai
tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk dengan saat ini sahamnya 100% dimiliki oleh
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang Pemerintah RI. Sesuai dengan PP Nomor 43
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus tahun 2013, menyatakan dalam hal pendanaan
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pemerintah untuk pengusahaan jalan tol terbatas,
pengelolaan perusahaan, beda halnya dengan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah,
BUMN yang berbentuk Persero yang modalnya pemerintah dapat menugaskan badan usaha
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling milik negara yang seluruh modalnya dimiliki
sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya negara untuk melaksanakan pengusahaan jalan
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tol.
tujuan utamanya mengejar keuntungan. Agar penugasan PT. Hutama Karya
Sehingga BUMN yang berbentuk Persero (Persero) untuk percepatan pembangunan jalan
terdapat kemungkinan seluruh modalnya tidak tol di Sumatera yang sesuai dengan asas-asas
dimiliki negara sebagaimana dipersyaratkan umum pemerintahan yang baik, dalam
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun pelaksanaan penugasan sebaiknya
2013, BUMN yang dapat diberikan penugasan memperhatikan paling tidak tiga asas berikut:
oleh pemerintah adalah BUMN yang seluruh 1. Asas Kepastian Hukum
modalnya dimiliki negara. Pemerintah RI wajib mempertahankan
Sehingga seyogyanya dalam Peraturan 100% porsi kepemilikan modal di PT.
Presiden, Pemerintah menjelaskan alasan Hutama Karya (Persero) paling tidak
memilih PT. Hutama Karya (Persero) daripada sampai dengan berakhirnya masa
BUMN lainnya agar tidak menimbulkan pengusahaan jalan tol (masa konsesi) yang
persepsi keberpihakan pemerintah dalam disepakati dalam PPJT. Kemudian
pemberikan penugasan kepada PT. Hutama pemerintah melakukan perubahan Perpres
Karya (Persero), serta persepsi adanya Nomor 100 tahun 2014 yang terakhir
pengabaian larangan praktek monopoli dan diubah dengan Perpres Nomor 117 tahun

75
2015 terutama terkait: (a) klausula dalam oleh badan usaha yang dipilih melalui
pasal lingkup penugasan jalan tol kepada proses pelelangan terbuka.
PT. Hutama Karya (Persero) disesuaikan
Kemudian dalam rangka percepatan
dengan wewenang pengusahaan
pengusahaan jalan tol untuk lokasi yang layak
pemerintah yang hanya sampai tahap
ekonomi namun belum layak finansial dapat
pembangunan, selanjutnya pengoperasian
memenuhi peraturan perundang-undangan dan
dan pemeliharaan dilakukan badan usaha
asas-asas umum pemerintahan yang baik, para
untuk pengusahaan jalan tol yang layak
pemangku kepentingan terkait penyelenggaran
ekonomi namun tidak layak finansial
jalan tol untuk dapat mempertimbangkan:
seperti dalam UU Nomor 38 tahun 2004
1. Melakukan penyelarasan kembali
pasal 20 ayat 1 dan 2. (b) klausula dalam
peraturan-peraturan terkait
pasal 4 yang memungkinkan PT. Hutama
penyelenggaraan jalan tol dengan UU
Karya (Persero) dalam pelaksanaan
Nomor 5 tahun 2004 tentang Jalan dan
penugasan bekerja sama dengan pihak lain
undang-undang terkait lainnya yang
melalui pembentukan anak perusahaan,
menjiwai khususnya UU Nomor 45 tahun
karena secara substansi hal tersebut tidak
2005 tentang Larangan Praktek Monopoli
selaras dengan syarat penugasan yang
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
hanya dapat diberikan kepada BUMN yang
2. Menyusun kriteria dan prosedur pemilihan
keseluruhan modalnya dimiliki oleh negara.
BUMN yang akan menerima penugasan
2. Asas Kemanfaatan
pengusahaan jalan tol dari pemerintah
Jaminan pemerintah dan dukungan
sehingga proses penetapan BUMN
pemerintah dalam penugasan pengusahaan
penerima penugasan lebih transparan dan
jalan tol Sumatera, lebih dalam konteks
akuntabel.
peningkatan kelayakan finansial. PT.
3. Melakukan kajian lebih lanjut apakah
Hutama Karya (Persero) adalah BUMN
BUMN dalam bentuk Perum atau instansi
yang tujuan pendiriannya selain sebagai
pemerintah dalam bentuk BLU yang lebih
agen pembangunan diharapkan juga untuk
tepat diberikan penugasan pengusahaan
dapat memupuk keuntungan. Sehingga
jalan tol oleh pemerintah sampai dengan
sudah seyogyanya pemerintah memberikan
konstruksi yang selanjutnya pengoperasian
jaminan pendapatan kepada PT. Hutama
dan pemeliharaan dilaksanakan oleh Badan
Karya (Persero) apabila trafik yang telah
Usaha melalui proses pelelangan terbuka.
disepakati dalam rencana usaha tidak
terpenuhi sehingga berdampak pada 5. REFERENSI
kemampuan perusahaan dalam melakukan
Buku
pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol
yang berdampak pada kualitas layanan jalan Barda, Nawawi Arief. Penegakan Hukum dan
tol kepada masyarakat. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
3. Asas Ketidakberpihakan Citra Aditya Bakri, Bandung, 2001.
Jiwa dari UU Nomor 38 tahun 2004 salah Badriyah, Malikhatun Siti. Sistem Penemuan
satunya adalah pencegahan praktek Hukum dalam Masyarakat Prismatik, Sinar
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Grafika, 2016.
Sehingga klausula yang menyatakan Fajrimei, A.G. Asas Legalitas dalam Rancangan
lingkup pengusahaan jalan tol dalam KUHP, ELSAM, Jakarta, 2005.
penugasan BUMN dari pemerintah meliputi Friedman. Legal Theory, Stren& Stou Limited,
pendanaan, perencanaan teknis, konstruksi, London, 1960.
pengoperasian, dan pemeliharaan, Salim, HS. Hukum Kontrak Teori dan Teknik
diselaraskan kembali dengan Undang- Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Undang bahwa untuk pengoperasian dan Jakarta, 2019.
pemeliharaan seyogyanya dapat dilakukan Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha,
Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, 2002.

76
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Persaingan Usaha”, Jurnal Hukum Prioris,
tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Vol. 2 No. 4, 2010.
Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum
Hasil Penelitian/Tugas Akhir
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, 1991. Ayudha. D. Prayoga et al. (ed.), Persaingan
Jhony, Ibrahim. Teori dan Metodologi Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Indonesia, Proyek ELIPS. Badan
Publishing, 2008. Pembinaan Pelaksanaan Pedoman
Kamal, Rokan, Mustafa, Hukum Persaingan Penghayatan dan Pengamalan, Jakarta,
Usaha Teori dan Prakteknya di Indonesia, 2000.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012. Joesoef, I.E. Model Kerjasama Pemerintah dan
Lexy. J. Moleong. Metodologi Penelitian Swasta: Studi Penerapan Kontrak Build
Kuantitatif, PT. Remaja Rosda Karya, Operate Transfer Dalam Perjanjian
Bandung, 2000. Pengusahaan Jalan Tol di Indonesia,
Mirriam, Webster. Dictionary. Disertasi, Program Doktoral Fakultas
Peter, Marzuki M. Penelitian Hukum, Kencana, Hukum Universitas Indonesia, Juli 2011.
Jakarta, 2011. Koica. Final Report: The Esthablishment of A
Pratiwi, et al., Penjelasan Hukum Asas-Asas Master Plan For The Arterial Road
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) Network In Sumatera Island, Kementerian
Hukum Administrasi Negara, the Center for PUPR, Juli 2010.
International Legal Cooperation in Soeriaatmadja, Arifin. Laporan Akhir
Partnership with Indonesian Institute for Kompendium Bidang Hukum Keuangan
Independent Judiciary, 2016. Negara (Sumber-Sumber Keuangan
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Raja Negara), Badan Pembinaan Hukum
Grafindo Persada, 2006. Nasional Kementerian Hukum dan HAM –
Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian RI, Jakarta, 2010.
Hukum, UI Press, 2006.
Makalah/Pidato
Artikel Jurnal Erika, SP & Wisudanto. “Struktur Pembiayaan
Hikmanto, J. “Sekilas Tentang Hukum Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Persaingan dan UU No 5 Tahun 1999”, Penunjang Pertumbuhan Ekonomi”,
Jurnal Magister Hukum, Vol. 1 No 1, UII Paparan, Simposium I Jaringan Perguruan
Yogyakarta, 1999. Tinggi untuk Pembangunan Infrastruktur
Indroharto. “Asas–asas Umum Pemerintahan Indonesia di Graha ITS Surabaya, 03
Yang Baik”, dimuat dalam Paulus Effendi Agustus 2016.
Lotulung (Ed.), Himpunan Makalah Asas– Simanjuntak, Kennedy. “Pembahasan Rencana
asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Pembangunan Tahun 2020”, Paparan,
Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Rapat Banggar DPR RI, Deputi Sarana dan
Bandung, 1994. Prasarana Bappenas, Jakarta, 24 Juni 2020.
Smith, Julian, et.al. “Membangun Masa Depan Waskita Karya. “Tol Terbanggi Besar –
Indonesia Membuka Aliran Proyek”, Jurnal Pematang Panggang – Kayu Agung
Prakarsa Edisi 22, Oktober 2015. (TBPPKA)”, Paparan, Rapat Persiapan
Pasaribu, Benny. “Regulasi Dan Persaingan Audit di Kantor BPKP, Oktober 2019,
Sehat Dalam Sistem Ekonomi Indonesia”, Jakarta.
Jurnal Persaingan Usaha, Komisi Pengawas
Internet
Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010.
Tri, Anggraini M.A. “Aspek Monopoli atas Adhi Karya. “Pemegang Saham”,
Cabang Produksi yang Menguasai Hajat https://adhi.co.id/hubungan-investor-gp0xz
Hidup Orang Banyak Berdasarkan Hukum 25971XBanJDoXq1#saham. Diakses atau
diunduh tanggal 22 Mei 2020.

77
Badan Pengatur Jalan Tol, “Sejarah”. metrokaltara.com/kepastian-hukum/.
http://bpjt.pu.go.id/konten/jalan-tol/ Diakses atau diunduh tanggal 13 Mei 2020.
sejarah. Diakses atau diunduh tanggal 18 Upperline, “Profile”,
Mei 2020. https://upperline.id/profile/profile_detail/a
Brantas Abipraya, “Pemegang Saham”. marta-karya. Diakses atau diunduh tanggal
http://www.brantas-abipraya.co.id/id 22 Mei 2020.
/informasi-pemegang-saham/index. Upperline, “Pemegang Saham”.
Diakses atau diunduh tanggal 22 Mei 2020. https://upperline.id/profile/profile_detail/
CNN Indonesia, “Saham Istaka Karya” perumnas. Diakses atau diunduh tanggal 22
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/ Mei 2020.
20181003102900-92-335260/jokowi- Waskita Karya, “Pemegang Saham”.
restrukturisasi-saham-istaka-karya. Diakses https://www.waskita.co.id/pages/investor-
atau diunduh tanggal 22 Mei 2020. relations/shareholder?lang=id. Diakses atau
Hutama Karya, “Pemegang Saham”. diunduh tanggal 22 Mei 2020.
https://www.hutamakarya.com/pemegang- Wijaya Karya, ”Pemegang Saham”
saham. Diakses atau diunduh tanggal 22 http://investor-id.wika.co.id/
Mei 2020. shareholdings. html. Diakses atau diunduh
Jasa Marga, “Profil Perusahaan”. tanggal 22 Mei 2020.
https://jasamarga.com/public/id/infoperusa Widowati, Hari. “Bangun Tol 2.700 km, Hutama
haan/ProfilPerusahaan/Overview.aspx. Karya Butuh PMN Rp 10-15 Triliun per
Diakses atau diunduh tanggal 18 Mei 2020. Tahun”, https://katadata.co.id/berita/2019/
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, 03/06/bangun-tol-2700-km-hutama-karya
“Wewenang” https://kbbi.kemdikbud.go. butuh-pmn-rp-10-15-triliun-per-tahun.
id/entri/wewenang. Diakses atau diunduh Diakses atau diunduh tanggal 20 Mei 2020.
tanggal 14 Mei 2020.
Peraturan Perundang-undangan
Menulis berita, “Tol Trans Sumatera Layak
Secara Ekonomi, Senin, 05 Maret 2015” Indonesia, Undang-Undang tentang Larangan
https://www.medanbisnisdaily.com/news/r Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
ead/?id=149761. Diakses atau diunduh Tidak Sehat, UU Nomor 5 tahun 1999, LN
tanggal 10 April 2020. Nomor 33 tahun 1999.
Nanda, Efendi, “Syarat-Syarat UU/Peraturan Indonesia, Undang-Undang tentang
Perundang-undangan yang baik”, Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
https://catatananiefendi.blogspot.com/2015 Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
/09/syarat-syarat-uuperaturan-perundang. UU Nomor 28 tahun 1999, TLN Nomor
html. Diakses atau diunduh tanggal 14 Mei 3851 tahun 1999.
2020. Indonesia, Undang-Undang tentang Keuangan
Nindya Karya, “Pemegang Saham”. Negara, UU Nomor 17 tahun 2003, LN
https://www.nindyakarya.co.id/profile. Nomor 47 tahun 2003.
Diakses atau diunduh tanggal 22 Mei 2020. Indonesia, Undang-Undang tentang Badan
Pembangunan Perumahan, “Pemegang Saham” Usaha Milik Negara, UU Nomor 19 tahun
https://www.ptpp.co.id/investor- 2003, LN Nomor 70 tahun 2003.
relation/shareholder. Diakses atau diunduh Indonesia, Undang-Undang tentang Jalan, UU
tanggal 22 Mei 2020. Nomor 38 tahun 2004, LN Nomor 132
Radjagukguk, Erman, “Kekayaan BUMN Bukan tahun 2004.
Bagian Keuangan Negara”, tanggal 31 Indonesia, Undang-Undang tentang Perseroan
Oktober 2012, www.hukumonline.com. Terbatas, UU Nomor 40 tahun 2007, LN
Diakses atau diunduh tanggal 14 Mei 2020. Nomor 84 tahun 2007.
Riza, Muhammad, “Kepastian Hukum, 15 Indonesia, Undang-Undang tentang
November 2017”. https: //www. Administrasi Pemerintah, UU Nomor 30
tahun 2014, LN Nomor 292 tahun 2014.

78
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jalan Badan Usaha dalam Penyediaan
Tol, PP Nomor 15 tahun 2005, LN Nomor Infrastruktur, Perka LKPP Nomor 19 tahun
32 tahun 2005. Peraturan Pemerintah 2015.
tentang Perubahan Kedua Peraturan Indonesia, Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 tentang Keuangan (PSAK) Nomor 16 tentang Aset,
Jalan Tol, PP Nomor 43 tahun 2013 LN Ikatan Akuntan Indonesia, Jakarta.
Nomor 101 tahun 2013. Peraturan
Putusan Pengadilan
Pemerintah tentang Perubahan Ketiga
Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2005 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-
tentang Jalan Tol, PP Nomor 30 tahun 2017 XI/2013 tentang Pengujian terhadap Pasal 2
LN Nomor 183 tahun 2017. huruf g dan huruf i UU Nomor 17 tahun
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang 2003 tentang Keuangan Negara, 18
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan September 2014.
Umum, PP Nomor 23 tahun 2005, TLN Pendapat Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 4502 tahun 2005. Peraturan Nomor 27/KPPU-PAT/X/2017 tentang
Pemerintah tentang Perubahan atas Penilaian Terhadap Pengambilalihan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 (Akuisisi) Saham Perusahaan PT. Trans
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Jabar Tol, PT. Sriwijaya Markmore Persada
Layanan Umum, PP Nomor 74 tahun 2012 dan PT. Pemalang Batang Tol Road oleh
LN Nomor 171 tahun 2012. PT. Waskita Toll Road, 3 Oktober 2017.
Indonesia, Peraturan Presiden tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,
Perpres Nomor 67 tahun 2005. Peraturan
Presiden tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur, Perpres Nomor 66 tahun
2013.
Indonesia, Peraturan Presiden tentang
Percepatan Pembangunan Jalan Tol
Sumatera, Perpres Nomor 100 tahun 2014.
Peraturan Presiden tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 100 tahun 2014
tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol
Sumatera, Perpres Nomor 117 tahun 2015.
Indonesia, Peraturan Presiden tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,
Perpres Nomor 38 tahun 2015.
Indonesia, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha untuk
Pengusahaan Jalan Tol, Permen PUPR
Nomor 01/PRT/M/2017.
Indonesia, Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa tentang
Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan
Usaha Kerjasama Pemerintah dengan

79

Anda mungkin juga menyukai