Anda di halaman 1dari 16

JURNAL SOSIOLOGI USK: MEDIA PEMIKIRAN & APLIKASI

Volume 16, Nomor 1, Juni 2022, Halaman: 12-27


P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
………………………………………………………………………………………………………………………………………………..……………………………………………
……………..………………………………

Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


*IndraSetia Bakti1, Muklir2, Sufi3
1-3
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
*email: indrasetiabakti@unimal.ac.id

Abstract
This study aims to explore the practice of sycophants in the office. We used observation
and literature study as methods. We analyzed the data obtained from observations and
document studies dialectically. The results showed that the behavior of sycophants as an
individual initiative in the organizational arena institutionalized the habitus of a
sycophant. The sycophants who lack the capability and professionalism have succeeded
in politicizing the situation in the office for their interests through various oppression
rites. Dominative social relations have created a toxic work environment and killed the
desire of other staff to be creative and innovate. As a result, government organizations
carry out routine tasks, but hard to come up with brilliant ideas in assisting community
services because many of their employees no longer believe in the career path system in
their office.
Keywords: Sycophancy, Enslave Art, Rites of Oppression

Abstrak
Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi praktik sikopansi di lingkungan kerja. Peneliti
menggunakan metode observasi dan studi literatur. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan lapangan dan kajian dokumen dianalisis secara dialektis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perilaku menjilat atasan sebagai prakarsa individu dalam arena
organisasi yang menginstitusionalisasi habitus sikopan. Para sikopan yang minim
kapabilitas dan profesionalitas berhasil memolitisasi situasi yang terjadi di lingkungan
kerja untuk kepentingan pribadinya melalui berbagai ritus penindasan. Relasi sosial yang
bersifat dominatif melahirkan lingkungan kerja toksik yang membunuh semangat staf lain
dalam berkreativitas dan berinovasi. Alhasil organisasi pemerintahan berjalan dalam
skema pelaksanaan rutinitas kerja namun agak sulit menelurkan ide-ide brilian dalam
pelayanan masyarakat karena banyak pegawai yang tidak percaya lagi dengan sistem
jenjang karier di kantornya.
Kata Kunci: Sikopansi, Seni Membudak, Ritus Penindasan

***

*
Corresponding Author

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


12
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

A. Pendahuluan
Kantor sebagaimana layaknya organisasi sosial, memiliki sebuah tatanan atau
sistem. Dalam tatanan kantor terdapat institusi dan struktur. Roda organisasi berjalan
karena disokong keberadaan institusi atau seperangkat norma yang terinstitusionalisasi.
Sementara struktur kantor umumnya bersifat hierarkis yang memunculkan otoritas legal-
rasional. Struktur ini menempatkan sekelompok kecil anggota sebagai atasan (penguasa)
dan sekelompok besar anggota yang lain sebagai bawahan (pihak yang dikuasai). Pihak-
pihak tersebut melakukan interaksi yang memunculkan konsep status dan peran. Status
atasan melekat hak dan kewajiban sebagai atasan. Begitu pula status bawahan, melekat
hak dan kewajiban sebagai bawahan. Dengan hak dan kewajiban tersebut para pihak
menjalankan perannya masing-masing.
Struktur hierarkis sebuah kantor menciptakan jabatan-jabatan yang berjenjang.
Terdapat jabatan tinggi, jabatan menengah, hingga jabatan rendah. Idealnya, posisi sosial
tersebut diraih atau diperoleh anggotanya berdasarkan prestasi (achieved status) yang
mencerminkan keterampilan, kemampuan, dan upaya pribadi masing-masing aktor
(Linton dalam Sunarto, 2004). Proses sosialisasi primer di mana individu didorong agar
unjuk prestasi tentunya dialami sejak masa-masa di sekolah. Tetapi kehidupan kantor
sepertinya terlalu jauh dari harapan ideal institusi pendidikan. Dalam dunia kantor,
prestasi belum tentu menentukan posisi. Konsep merit system di mana karier seseorang
ditentukan berdasarkan hasil prestasi kerjanya pada kenyataannya masih sulit terwujud.
Berbagai studi mendukung realitas dimaksud. Mubin & Roziqin (2018)
melakukan studi tentang pelaksanaan meritokrasi Indonesia yang dinilai setengah jalan.
Posisi dan promosi masih ditandai dengan hubungan kedekatan personal antara staf dan
atasan. Dasar pertimbangan seseorang memangku jabatan adalah rasa suka atau tidak
suka (like and dislike) dari promotornya, bukan pada kinerjanya. Studi lain juga
menggambarkan hal senada. Realitasnya sistem manajemen pegawai negeri sipil tidak
pernah bebas dari campur tangan politik (Edy 2018). Meskipun pemerintah sudah
melaksanakan proses lelang jabatan, tahap akhirnya tetap diwarnai oleh aksi “balas budi”
dan “balas dendam”(Hidayah and Herachwati 2021). Menurut Nurprojo (2014) hal itu
akibat adanya konfigurasi politik pada skala lokal. Alhasil terjadi politisasi birokrasi yang
tak berujung dalam proses rekrutmen jabatan. Hubungan kekerabatan dan perkoncoan
dalam mengisi pos jabatan menjadi fenomena yang dapat diamati pada banyak kantor
pemerintahan. Pengaruh pejabat yang lebih tinggi masih kental dalam menentukan karier

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


13
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

seseorang meskipun dilakukan dengan cara-cara yang “tidak jujur” karena selalu ada
celah dalam mengakali peraturan perundang-undangan (Basri 2017).
Mengapa idealitas profesionalisme terlalu sulit direalisasikan di dalam tatanan
kantor? Realitasnya politik kantor (office politics) masih terlalu mendominasi dalam
lingkungan kerja. Bila penelitian sebelumnya banyak berfokus pada realitas perilaku
politik elite lokal dalam proses penentuan jabatan birokrat, unsur kebaruan studi ini yaitu
menggambarkan perilaku politik oknum birokrat dalam melakukan pendekatan pada
atasannya. Hasrat meraih karier yang cemerlang kerap kali ditandai dengan perilaku
menjilat atasan. Politik kantor dan trik-trik kotor dipraktikkan secara masif sehingga
berdampak besar terhadap tingkat kesehatan sebuah organisasi. Studi ini bertujuan
menggambarkan praktik korosif perilaku sikopan dan “ritus penindasan” yang dibaca dari
sudut interaksi antar aktor maupun struktur yang melingkupinya.

B. Metode
Politik kantor sebagian besar dilakukan di balik pintu tertutup dan jauh dari
pengawasan publik. Sebagian kecil tindakan yang mencuat hanyalah fenomena yang
tertangkap dan dirasakan oleh pihak yang mengamatinya. Peneliti berpendapat sangat
tidak memungkinkan menggali motif perilaku sikopan dari aktor dan lingkarannya secara
langsung. Apabila hal itu dilakukan, validitas datanya meragukan. Masuk ke dalam
pikiran pelaku sikopan guna mencari tahu hubungan dan situasi yang memunculkan dan
menopangnya adalah upaya yang sulit dilakukan. Hal itu karena niat sikopansi seringkali
disembunyikan dengan hati-hati oleh para aktornya karena secara normatif memalukan.
Tindakan menjilat bisa berarti satu hal bagi pelakunya, hal lain bagi target tindakannya,
bahkan hal yang lain pula bagi pengamatnya. Realitasnya target sendiri bisa jadi tidak
menyadari aksi yang ditujukan kepadanya dan menganggapnya lebih sebagai bentuk
keramahan ketimbang niat manipulatif dan eksekusi licik pelaku sikopan (Jones 1965).
Dengan keterbatasan yang ada penelitian ini memadukan teknik pengumpulan data
observasi dan studi pustaka. Observasi dilakukan dengan mengamati perilaku yang
tampak dalam relasi sosial di sebuah kantor X. Perilaku tersebut dianalisis dengan
beberapa literatur yang relevan. Hasil pengamatan dan kajian literatur dipahami secara
dialektis. Maka penulis menyadari bahwa kajian kualitatif ini masih bersifat eksploratif.
Studi ini diharapkan dapat menambah literatur tentang praktik sikopansi di lingkungan

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


14
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

kerja yang memang masih jarang diteliti di Indonesia walaupun kata “penjilat” sudah
cukup ramah di telinga rakyat.

C. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil penelusuran dalam kamus bahasa Indonesia, penulis tidak
menemukan kata sikopan. Adapun kata ini langsung penulis serap dari bahasa Inggris,
sycophant. Padanan kata sycophant dalam bahasa Indonesia adalah penjilat dan hampir
tidak terdapat sinonim katanya. Bila kita mengeksplorasi bahasa Inggris istilah penjilat
sudah lebih kaya dengan ungkapan. Beberapa kata yang berasosiasi dengan istilah penjilat
diantaranya lickspittle, bootlicker, brownnosser, back-scratcher, ass-kisser, fawner, yes-
man, apple-polisher, ass-licker, crawler, flunky, groveller, hanger-on, kowtower,
forelock-tuggers, flatterer, mimickers, suck up, lackey, dan smarmy toady (studysite.org).
Kata-kata tersebut sebagian besar sudah masuk ke dalam kamus bahasa Inggris. Kamus
Merriam-Webster mendefinisikan sycophant atau penjilat sebagai “pelayan yang
mementingkan diri sendiri”. Penjilat adalah orang yang bertindak seperti budak atau
patuh terhadap seseorang yang mereka anggap penting guna mendapatkan keuntungan.
Tindakan sosialnya dinamakan ingratiation, yaitu strategi manajemen kesan di mana
aktor mencoba menjilat target. Ingratiation selalu interpersonal, artinya melibatkan
setidaknya dua orang yang berinteraksi (Jones 1965). Secara mendasar ingratiation
merupakan tindakan sosial (Weber 1963) karena mempertimbangkan perilaku orang lain.
Interaksi berlangsung secara dramaturgis di mana setiap pihak berusaha melakukan
pengaturan kesan (Goffman 1956). Bagi penulis sendiri, pandangan terhadap perilaku
menjilat sesungguhnya tergantung pada posisi informannya, apakah sebagai aktor
(karyawan penjilat), target tindakan (atasan), atau korban tidak langsung (rekan kerja).
Perilaku menjilat atasan adalah bagian dari politik kantor, tetapi politik kantor tidak harus
selalu menjilat. Hal itu berarti pula bahwa politik kantor tidak selamanya negatif dan
destruktif.
1. Institusi Sikopantik dan Institusionalisasi Perilaku Sikopan
Ralston (1985) berpendapat bahwa menjilat adalah seperangkat perilaku yang
diprakarsai secara individu dan diinduksi secara organisasional. Dalam lensa teoritis
manajemen dan administrasi publik, menjilat adalah sebuah deviasi (penyimpangan).
Anggota yang menjilat demi meraih promosi kontraproduktif dengan tujuan hakiki
sebuah organisasi. Tetapi pada kenyataannya sikopansi bukan norma baru karena sudah

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


15
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

terlalu lama mengakar dan dipraktikkan. Ada begitu banyak literatur yang mengisahkan
pelaku sikopan berkeliaran di lingkungan istana sejak Nusantara berada dalam era
feodalisme hingga demokrasi sistem presidensial di Indonesia saat ini. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, spirit “bapakisme” mendapatkan tempat istimewa yang dikenal
dengan istilah “asal bapak senang” (ABS) (Gaffar 1991). Namun perilaku ABS
sesungguhnya terjadi pula di setiap rezim dalam berbagai unit organisasi pemerintahan.
Panggilan “Bapak” tanpa embel-embel jabatan itu sendiri sebagai penanda “ungkapan
sayang” para loyalis sang patron yang mendemonstrasikan sisi kedekatan mereka
bagaikan sebuah keluarga.
Spirit dan praktik “bapakisme” melahirkan kronisme. Dalam lingkungan kerja,
kronisme menimbulkan perilaku pilih kasih yang dilakukan oleh atasan (Mughal 2020).
Hal itu karena kronisme organisasi secara signifikan terkait dengan kontrak psikologis
relasional. Realitasnya karyawan yang memiliki ketergantungan dan hubungan dekat
dengan atasannya menunjukkan perilaku kepatuhan yang lebih banyak bahkan cenderung
berlebihan dibandingkan dengan karyawan yang memiliki jarak dari atasannya (Shaheen
et al. 2019). Kajian terhadap karya klasik Jones (1965) memberi pemahaman bahwa
konformitas sering dipakai sebagai taktik menjilat yang dibumbui dengan dramaturgi
rendah diri di hadapan majikan. Sikap yes-man dan oportunisme bagaikan dua sisi koin
yang saling melengkapi. Konformitas berarti mematuhi segala perintah dan menjauhi
segala larangan majikan yang menjadi target pelaku sikopan. Sebagai catatan di sini,
perintah dan larangan majikan belum tentu selamanya sejalan dengan perintah dan
larangan peraturan perundang-undangan. Menurut Heychael (2014) episteme
(worldview) pra-kolonial yang bercorak politik perkoncoan berjalan berdampingan
dengan modernitas yang melipatgandakan medan kekuasaan. Penguasa menjalankan dua
aturan main yang berbeda secara sekaligus. Pengikut yang hendak merapat dipaksa
memahami cara kerja dunia semacam ini, salah satunya melalui strategi konformitas.
Konformitas juga berarti menyetujui semua pendapat majikan dan minimalisasi
kritik terhadap keputusan-keputusan yang dibuatnya. Penghormatan kepada atasan
disajikan pada tingkat yang berlebihan melalui persetujuan dan gestur yang menipu.
Kalaupun ada hal yang tidak disetujui hanyalah pada poin-poin kecil, bukan satu hal yang
substantif sifatnya. Tradisi patron-klien (Scott 1972) sudah pasti mengharamkan seorang
anak berseberangan dengan bapaknya. Para karyawan yang memilih diam mungkin aman
dari sasaran arogansi kebijakan. Sementara karyawan yang tidak patuh karena berbagai

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


16
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

alasan (misalnya terlalu vokal) berpotensi dicap “tidak loyal”. Label ini bisa berpengaruh
terhadap jalannya roda organisasi. Umpan balik yang disampaikan oleh para karyawan
yang tidak loyal lebih sering dipandang sebagai “penyakit” meskipun bisa jadi suatu
“obat” bagi organisasi. Pertimbangan politik lebih kuat sebagai acuan yang mengaburkan
rasionalitas instrumental Weberian yang didasari atas akal dan rasio (Weber 1963). Maka
tidak heran pada hampir setiap pergantian rezim kepemimpinan sebuah unit organisasi,
para profesional yang membantu rezim lama juga ikut didepak atau minimal dicurigai.
Menariknya dalam kondisi itu para sikopan yang lihai dapat bertahan karena daya
adaptasi mereka yang tinggi meskipun sebelumnya ia termasuk loyalis rezim lama.
Berdasarkan pengamatan, penjilat yang terampil selalu memelihara kedekatannya dengan
kekuasaan. Aktor tersebut secara blak-blakan “setia” dan patuh kepada rezim yang
berkuasa. Bila terjadi kudeta, kesetiaannya bisa bergeser dengan cepat dan sepenuhnya.
Semua pertunjukan itu bermanfaat baginya, yakni jaminan atas jabatan. Loyalitas dan
pengkhianatan sudah menjadi hal biasa dalam “kamus kehidupan” para penjilat.
Persekutuan hanya sebuah kedok atau topeng sebab tidak ada kawan dan lawan abadi,
yang abadi hanya kepentingan.
Praktik menjilat adalah sebuah seni bagi pelakunya. Dalam kasus ekstrem aktor
bahkan berupaya meniru gaya hidup target dan menyetujui keyakinan-keyakinan target
yang mungkin saja berbeda dengan keyakinannya. Hal itu karena imitasi adalah salah satu
bentuk “sanjungan” yang paling halus. Dalam praktik menyanjung, aktor juga bersedia
melebih-lebihkan ucapan dan menghujani target dengan pujian-pujian yang tidak
berdasar (Parker and Parker 2017). Aktor menggunakan komentar hampa dengan rasa
artifisial yang dimaksudkan untuk memberikan “belaian dan pijatan ego” pada atasan
mereka yang “kecanduan sanjungan”. Dalam era kekinian, tindakan menjilat bisa
dioptimalkan melalui pemanfaatan media sosial. Berdasarkan pengamatan, atasan narsis
yang menyukai politik pencitraan sering mengunggah status di media sosial, baik urusan
kantor maupun urusan pribadi. Pelaku sikopan kemudian tampil terdepan memberi tanda
“like status” atau meninggalkan komentar positif pada kolom yang tersedia di setiap
status yang diunggah oleh atasannya. Semua itu dilakukan demi tujuan promosi diri.
Institusi sikopantik hidup dalam sebuah habitat yang dinamakan “lingkungan
kerja toksik” sekaligus mereproduksi lingkungan itu. Istilah lingkungan kerja toksik
merujuk pada suatu kondisi di mana individu yang berkuasa serakah dan narsis dan/atau
terbiasa menggunakan cara yang tidak adil untuk menggertak, melecehkan, mengancam,

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


17
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

dan mempermalukan orang lain. Tempat kerja yang beracun (toksik) dapat menyebabkan
kecemasan, stres, depresi, masalah kesehatan, ketidakhadiran, kelelahan kerja, perilaku
kerja yang kontraproduktif, dan pada akhirnya menurunkan produktivitas. Kebalikan dari
kondisi tersebut adalah lingkungan kerja kolaboratif. Lingkungan kerja ini menghasilkan
rasa kebahagiaan, kegembiraan, keharmonisan, kebaikan, kesopanan, kerjasama, dan
kemudahan di tempat kerja (Anjum et al. 2018; Pickering, Nurenberg, and Schiamberg
2017).
Pada lingkungan kerja toksik praktik menjilat biasanya menjadi norma bahkan
menjadi institusi karena telah diterima sebagian besar anggota, ditanggapi sungguh-
sungguh, dan seolah diwajibkan. Sanksi bagi pegawai yang “tidak berusaha merapat”
pada pimpinan baru adalah label “tidak loyal” atau minimal “bukan loyalis kita” dan
dampaknya adalah stagnasi karier yang bersangkutan. Aturan ini bersifat tidak tertulis
(Heychael 2014). Manakala otoritas di sebuah kantor sengaja memelihara sistem
semacam ini demi kepentingannya, para bawahan tidak diberi pilihan yang lebih baik.
Menerapkan seni membudak tampaknya menjadi “pilihan rasional” bila ingin meniti
karier yang cemerlang. Institusionalisasi sikopansi membuat pola pikir dan praktik
semacam ini menjadi sebuah kelaziman. Sikopansi bukan lagi hal aneh dalam lingkungan
kerja toksik sebab sudah menjadi kesadaran praktis sebagian besar pelakunya.
Beberapa individu mungkin memiliki “bakat alam” dalam menjilat. Namun
variabel situasional menjadi faktor kuat pendorong perilaku politik sikopan (Appelbaum
and Hughes 1998). Praktik menjilat dapat tumbuh subur dan berkembang dalam situasi
bos atau atasan yang memang “suka disanjung”, “senang dilayani”, dan “lapar atas
persetujuan” karena mungkin kekurangan kapasitas kepemimpinan. Celah yang diberikan
oleh otoritas yang lebih tinggi ini membuat kalimat manis pekerja penjilat seringkali
mengalahkan totalitas pekerja profesional, meskipun aktor memalsukan ketulusan dalam
“dunia membungkuk” dan sentimen-sentimen yang dikreasikannya. Jilat-menjilat itu
sendiri adalah permainan penipuan. Menurut Parker & Parker (2017), menjilat biasanya
melibatkan dua orang yang setuju untuk saling menipu. Dalam aksi “tipu-tipu” para aktor
tidak tulus dalam berkomunikasi dan berinteraksi diantara sesama mereka meskipun
ekspresinya tampak alami. Aktor meningkatkan dan mengubah persepsi target tentang
dirinya dan keadaannya, sekaligus membentuk kembali dirinya. Di sisi lain, target juga
bertindak sebagai aktor yang menjadikan otoritas yang lebih tinggi sebagai target

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


18
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

sikopansi. Lingkungan kerja toksik terjadi ketika struktur kekuasaan didominasi oleh
lingkaran para penjilat.

Gambar 1. Praktik Sikopansi di Lingkungan Kerja


Bagan di atas memperlihatkan pejabat yang lebih tinggi dijadikan sebagai target
khusus pelaku sikopan. Laporan-laporan aktor yang tidak disaring secara benar
menghasilkan mispersepsi dalam pengambilan keputusan sehingga dapat dimaknai
bahwa target (pejabat tersebut) sebagai korban langsung praktik sikopansi. Masalah
terjadi ketika aktor telah begitu jauh mengubah dunia target sehingga target mulai
kehilangan kontak dengan kenyataan atau keputusannya bergantung pada laporan
berlebihan aktor. Karyawan lain berpotensi menjadi korban tidak langsung praktik
sikopansi dengan menanggung kerugian atas bias kebijakan atau keputusan pejabat yang
salah paham.
2. Habitus Sikopan dan “Ritus Penindasan”
Sikopansi yang terinstitusionalisasi dalam jangka panjang melahirkan habitus
sikopan pada diri sebagian pekerja. Habitus adalah cara berpikir dan pola perilaku sebagai
hasil endapan proses sosialisasi dan pembiasaan (Bourdieu 2016). Habitus sikopan berarti
perilaku menjilat telah mendarah-daging dan menjadi watak atau kesadaran praktis baru.
Dalam praktiknya menjilat melibatkan ritus manipulasi, dominasi, eksploitasi, dan
dehumanisasi. Aktornya bahkan memaknai tindakannya sebagai sebuah seni yang
diwujudkan dengan perilaku “membudak ke atas dan menindas ke bawah”.

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


19
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

Para aktor sikopan belajar merasionalisasi perilaku mereka. Variabel situasional


menjadi dasar dalam mempraktikkan sikopansi. Situasi modal manusia (human capital)
yang rendah pada diri sebagian individu pekerja ditambah dengan mekanisme jenjang
karier yang tidak jelas dan kebutuhan psikologis atasan yang tinggi atas dukungan dan
penghargaan memotori aksi pelaku sikopan. Berbagai teknik pendekatan dilakukan guna
membangun kepercayaan. Individu atau bahkan kelompok dengan sengaja bertindak
meningkatkan kepentingan diri mereka sendiri (Kacmar and Ferris 1993). Biasanya
penggunaan kekuatan dan jaringan sosial dilakukan guna mencapai perubahan yang
menguntungkan pelakunya (Gandle 2018). Memang di satu sisi hal itu tampak bagaikan
modal sosial (social capital) bagi aktor. Penulis sendiri merasa keberatan dalam
memandang koneksi pelaku sikopan sebagai modal sosial sebab pada lingkup organisasi
komponen norma (norms) dan kepercayaan (trust) (Putnam 1994) justru dirusak dengan
keberadaan praktik sikopansi yang dilakukan oleh sebagian oknum pekerja.
Realitasnya kehadiran pekerja sikopan sangat menjengkelkan bagi sebagian besar
staf (hasil pengamatan, 2021). Sinisme di kalangan staf mencuat tatkala menyaksikan
aktor sedang melancarkan aksinya melalui kelihaian berbahasa dan manipulasi ekspresi
non-verbal. Para staf pun mengekspresikan/melampiaskan amarah melalui sarana gosip
dan cemoohan di panggung belakang dengan ungkapan-ungkapan bernada kasar, seperti:
“dasar penjilat”, “ular berkepala dua”, “lidah kadal”, “kecoa kantor”, “antek/jongos
atasan”, dan sebagainya. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh aktor dari praktik
sikopansi ini berbanding lurus dengan risikonya, yakni mempertaruhkan reputasi dan
karakter yang bersangkutan di mata para pengamat dalam komunitas kantor.
Berkenaan dengan ritus penindasan dapat dikupas dari bagaimana relasi sosial
yang sengaja dibangun dalam sebuah unit organisasi. Lingkungan kerja kolaboratif
tentunya dibangun di atas landasan relasi sosial yang bersifat kerjasama. Alih-alih sebagai
“bos”, atasan memposisikan dirinya sebagai “pemimpin”. Sedangkan lingkungan kerja
toksik dibangun di atas landasan relasi sosial yang bersifat dominatif bahkan eksploitatif
walaupun dibungkus dalam jargon kerjasama juga.
Penulis memberi istilah “politik bakar mercon” sebagai strategi aktor beradaptasi
dalam sebuah proyek pekerjaan. Bila diandaikan tugas kantor sebagai mercon yang
dibakar oleh atasan. Dalam kurun waktu tertentu sebuah tim kerja diharapkan
menemukan solusi atas problema yang ditinggalkan. Pekerja sikopan dengan kapasitas
kerja yang minim beradaptasi dengan melimpahkan mercon tersebut ke tangan pekerja

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


20
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

yang dinilai memiliki kemampuan dan kemauan menyelesaikan proyek. Bila ada atasan,
aktor melancarkan “aksi cari muka” dengan menampilkan dirinya yang seolah sibuk dan
berkomitmen terhadap pekerjaan. Namun kesibukan yang justru mengarah kepada
demonstrasi kepanikan biasanya minim output yang substantif. Berdasarkan pengamatan,
tipe aktor semacam ini memang selalu hadir dalam rapat dan terkadang cukup aktif
melempar gagasan. Realitasnya pada saat pelaksanaan pekerjaan mereka kerap kali
menghilang lalu kembali lagi dengan semangat euforia manakala “mercon sudah
diledakkan” atau proyek pekerjaan berhasil diselesaikan oleh pekerja lain. Ironisnya
mereka juga turut menikmati honor kepanitiaan karena legalitas surat keputusan.
Pada lingkungan kerja toksik atasan bahkan mengetahui keadaan tersebut
meskipun menutup sebelah mata atau berlagak “pura-pura tidak tahu”. Pembiaran yang
menjadi dosa sistemik ini didorong oleh anggapan “yang penting pekerjaan beres”
walaupun hal itu harus diselesaikan oleh pemain tunggal. Berdasarkan pengamatan,
pekerja yang berkomitmen membantu organisasi dilimpahkan beban kerja yang tinggi.
Beberapa proyek pekerjaan sesungguhnya bukan tupoksi yang bersangkutan. Sementara
kompensasi yang diterima oleh pekerja yang aktif tidak mencerminkan nilai kerja yang
dihasilkan.
Lebih ironis lagi, ketika terjadi sebuah permasalahan, kesalahan ditimpakan
sepenuhnya kepada seseorang yang nyaris menjadi “pemain tunggal” tersebut. Aktor
sikopan yang seharusnya juga ikut bertanggungjawab dalam tim kerja mampu
memanipulasi jalan cerita sehingga merugikan citra rekan kerja sekaligus menyelamatkan
mukanya. Sementara atasan yang “tidak peka” turut melimpahkan kesalahan secara
personal. Padahal permasalahan sesungguhnya adalah pada tidak optimalnya tim kerja
yang dibentuk. Wewenang tidak didelegasikan secara jelas, para karyawan dibiarkan
menjelma menjadi serigala bagi sesamanya, dan fungsi manajemen sebenarnya kacau.
Hal itu tentunya bertolak belakang dengan semangat profesionalitas, efektivitas, efisiensi,
dan ekuitas sebagaimana adagium: “put the right man in the right place, doing the right
job in the right time, and pay the right money”.
3. Etika Hipokrit dan Spirit Parasitisme
Parasitisme sudah menjadi sebuah kelaziman di beberapa tempat, utamanya di
lingkungan kantor. Asal kata parasitisme adalah “parasit” yang berarti organisme hidup
yang mengisap makanan dari organisme lain yang ditempelinya, contohnya benalu
(KBBI). Ketika kata parasit ditambahkan akhiran “isme”, hal ini tentunya berafiliasi

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


21
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

dengan dunia manusia. Manusia parasit adalah manusia yang selalu berupaya mengambil
keuntungan dari sesamanya bahkan bila harus meninggalkan kerugian di pihak
korbannya. Spirit parasitisme ini didorong oleh sebuah kerangka berpikir sebagian orang:
“aku adalah subjek, yang lain cuma objek”. Ketika orang lain ditempatkan sebagai objek,
kita akan memperlakukan mereka tidak jauh sebagai benda atau peralatan. Maka mereka
sejatinya harus memberikan keuntungan bagi diri kita atau keberadaan orang lain cuma
mendukung tujuan-tujuan ekonomi politik kita, sedangkan tujuan-tujuan orang lain yang
dipandang sebagai objek itu dianggap “tidak ada” atau “tidak penting”. Hasilnya
hubungan sosial yang dibangun bukan hubungan sosial kerjasama, melainkan hubungan
sosial dominasi. Pola pikir semacam ini jelas tidak memanusiakan manusia.
Menempatkan orang lain sebagai objek adalah akar konflik manifes dan laten.
Parasitisme adalah sebuah ideologi atau sistem keyakinan yang malas atau anti
kerja keras. Spirit ini dimiliki oleh seseorang yang menginginkan hasil maksimal dengan
kontribusi minimal. Dalam satu sudut pandang parasitisme bisa menjadi patologis.
Penyakit relasi sosial ini dapat menjangkiti baik seorang atasan maupun seorang
bawahan. Seorang atasan yang parasit tidak profesional karena memanfaatkan
bawahannya mengerjakan hal-hal yang sebenarnya bersifat kepentingan pribadi atasan.
Ada cukup banyak atasan dalam kantor pemerintahan yang menyuruh bawahannya
mengerjakan urusan yang seharusnya dikerjakan sendiri seperti laporan sasaran kinerja
dan penilaian kinerja, laporan pajak, laporan harta kekayaan, sistem informasi pegawai,
laporan beban kerja sertifikasi dosen, bahkan menulis artikel scopus demi meraih status
guru besar. Sebaliknya para bawahan yang parasit juga bisa menjadi tidak profesional
karena minim kapasitas dan kapabilitas dalam menyelesaikan sebuah target pekerjaan.
Bagi para pekerja parasit-penjilat, tindakan yang dilakukan sangat beragam. Bila aktor
berada di level manajemen bawah, itikad buruk memanfaatkan keterampilan rekan kerja
demi menutupi kekurangannya bisa menjadi sebuah opsi. Bila aktor berada di level
manajemen menengah, beban kerja dilimpahkan kepada staf potensial di mana ia sendiri
mengambil keuntungan pencitraan sebab citra diri adalah prioritas. Pencitraan menjaga
nama tetap baik di mata atasan.
Tetapi ada biaya yang mesti dibayar oleh aktor untuk memoles sebuah citra, yakni
mengorbankan bawahan. Nama baik staf terpaksa atau malah sengaja dibenamkan,
meminjam Parker & Parker (2017) metode ini diistilahkan sebagai “kiss up, kick down”.
Hal itu dibungkus dengan politik bohong (politics of lying) sebagai salah satu manifestasi

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


22
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

machiavellisme (Pandey and Rastogi 1979). Praktik semacam ini dimungkinkan karena
pekerja level manajemen menengah sebagai jembatan yang menguasai saluran
komunikasi di dalam sebuah kantor. Para pekerja penjilat tidak jarang mengesampingkan
hati nurani dengan menodai reputasi orang lain. Berbagai modus operandi yang dilakukan
didasari oleh motif meningkatkan reputasi diri meskipun harus dengan mengorbankan
rekan kerja. Pada beberapa kasus berdasarkan hasil pengamatan, aktor bertindak bagaikan
seorang detektif yang suka mengorek kesalahan orang lain. Setiap kesalahan yang
dilakukan oleh pekerja lain bisa menjadi momentum bagi aktor untuk mengaduk situasi.
Aktor bahkan berani menyebarkan cerita palsu dan tuduhan tak mendasar di belakang
punggung seseorang. Alhasil penjilatan terkadang bisa lebih kejam daripada pembunuhan
sebab dalam prosesnya kerap kali diwarnai kelicikan dan fitnah-fitnah keji. Kerugian
yang ditanggung korban tentu saja pembunuhan karakter sehingga citranya jelek di mata
atasan. Secara otomatis, satu kompetitor dalam mengisi jabatan berhasil disingkirkan
yang memperbesar probabilitas aktor dalam meraih atau mempertahankan posisi. Inilah
manifestasi membungkuk ke atas, mencakar/menyikut ke samping, dan menendang ke
bawah.
Pekerja parasit dalam berbagai level manajemen sesungguhnya adalah beban
organisasi. Berdasarkan pengamatan, para pelaku sikopan setidaknya memiliki satu dari
dua hal: intelektualitas rendah atau mentalitas rendah. Secara objektif bisa diperhatikan
laporan hariannya dalam sistem kinerja pegawai yang didominasi oleh bidang urusan
“mengerjakan perintah atasan”, kurang kreativitas dan inovasi. Hal itu tidak mengejutkan
karena bagi aktor, urusan pribadi bos lebih utama ketimbang tugas pokok dan fungsi
utama yang diemban. Pelaku sikopan menghabiskan banyak waktu di sisi sang patron
meskipun banyak waktu tersebut tidak produktif bagi organisasi. Kinerja yang rendah
juga bisa ditutupi dengan strategi “pantang pulang sebelum bos pulang” atau
“meninggikan volume tawa” bila bos tengah melucu, sebab hal itu memang tidak
membutuhkan prasyarat intelektualitas tinggi. Keberadaan pekerja penjilat dipertahankan
lebih sebagai pertimbangan subjektif atasan, seperti loyalitas, senioritas, antusias untuk
tampil sesuai aba-aba, dan sebagainya.
Namun bahaya yang lebih mengancam bukan pada kinerja yang minim,
melainkan kemampuannya dalam memanipulasi keadaan. Praktik korosif menjilat dapat
memicu perpecahan melalui lidah yang bercabang. Efeknya begitu beracun, sentimen in-
group vs out-group menguat dalam unit kerja (Parker and Parker 2017). Sementara efek

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


23
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

yang lain berdasarkan temuan Yan et al. (2020) yaitu berdampak pada kelelahan
emosional dan perilaku kontraproduktif sebagian besar karyawan. Temuan ini
mendukung penelitian sebelumnya. Lingkungan kerja toksik karena didominasi para
penjilat mengurangi kesediaan bawahan yang lain untuk berkontribusi pada organisasi
melalui kinerja yang efektif. Alhasil ada begitu banyak potensi yang disia-siakan. Hal itu
sekaligus mengurangi kualitas hubungan antara atasan dan bawahan secara umum (Kim,
LePine, and Chun 2018). Dampaknya adalah setiap program baru yang ditawarkan oleh
atasan mendapatkan banyak penolakan. Para bawahan sudah terlanjur resisten dengan
memaknai program-program tersebut sebagai kepentingan atasan dan aktor-aktor di
dalam lingkarannya, bukan lagi kepentingan bersama. Tingkat rasa memiliki terhadap
program-program organisasi mengalami degradasi yang sangat signifikan. Bila keadaan
demikian terus berlanjut, tujuan-tujuan organisasi semakin sulit tercapai.
Etika hipokrit dan spirit parasitisme adalah “dasar normatif” dari mana praktik
sikopansi berangkat. Studi Lofberg (1920) bahkan menyandingkan dua kata tersebut
dalam sebuah judul artikel: “The Sycophant-Parasite”. Bagi otoritas yang sadar, paham
ini harus segera diberantas sebelum menjadi patologis bagi organisasi. Memang disadari
bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak
untuk berkuasa (the will to power) dan mengakui hal itu tidak mesti dipandang sebagai
suatu keburukan (Nietzsche 2001). Namun meraih kekuasaan dengan cara apa saja adalah
inti permasalahannya. Bila otoritas di tempat kerja tidak mampu mengelola sumber daya
manusia dengan penilaian yang objektif, hal itu akan melahirkan lingkungan kerja toksik.
Pada perusahaan swasta, efek lingkungan kerja toksik yaitu munculnya fenomena
burnout. Burnout adalah istilah psikologis yang didefinisikan melalui tiga komponen
yakni sindrom kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi
(depersonalization), dan rendahnya penghargaan atas kemampuan diri (low personal
accomplishment) (Lailani, Edy, and Nurdiana 2005). Burnout bisa mendorong karyawan
mengundurkan diri (turnover). Jika karyawan tidak merasa mendapat kompensasi yang
layak atau dalam hal ini, politik kantor menghentikannya untuk mencapai potensi
sebenarnya, menurut Gandle (2018) kepergian karyawan itu seharusnya tidak
mengejutkan. Hal itu menimbulkan kerugian karena organisasi sudah berinvestasi banyak
pada bidang sumber daya manusia. Pada kantor pemerintahan fenomena turnover
mungkin jarang terjadi. Namun efek lain yang muncul ialah para staf gagal memberikan
umpan balik dan ide-ide kreatif yang berharga, jujur, inovatif, dan unik yang membantu

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


24
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

organisasi tumbuh dan berkembang. Apa yang tersisa dari para staf tidak lebih dari
pelaksanaan rutinitas tugas pokok dan fungsi masing-masing. Perilaku mereka juga akan
mengarah ke tingkat produktivitas yang rendah (Wolf 2013), sinis, dan berprasangka
negatif (Lailani et al. 2005). Realitasnya berdasarkan pengamatan di lapangan, banyak
pegawai negeri yang kekurangan motivasi kerja. Akibatnya adalah proses pelayanan di
kantor-kantor pemerintahan relatif lamban dan jarang membuat lompatan besar dalam
kebijakan-kebijakan yang dirumuskan.

D. Kesimpulan
Ada banyak faktor yang menentukan karier seseorang di lingkungan
pemerintahan. Idealnya kinerja sebagai aspek utama dalam penentuan karier staf. Namun
kepentingan politik aktor-aktor di dalam organisasi menggeser penilaian kinerja dari
daftar prioritas. Istilah “relasi” membungkus hubungan kekerabatan dan perkoncoan di
lingkungan kerja. Sebagian aktor membangun relasi dengan otoritas yang lebih tinggi
melalui cara menjilat atasan. Realitasnya beberapa aktor itu sukses dalam meniti karier
meskipun minim modal manusia.
Bagaimana pun seni membudak telah banyak memberi jalan kesuksesan karier
bagi sebagian aktor. Di sisi lain, ritus penindasan menjadi warna lain dari kisah sukses
itu. Oleh karenanya, secara organisasional praktik sikopansi hendaknya diminimalisir
karena sikopansi adalah varian lain dari kebohongan, penipuan, kepalsuan, dan
kemunafikan. Layaknya virus dalam tubuh organisasi, sikopansi mampu bermutasi dalam
berbagai corak dan gaya sehingga menjadi semakin halus dan sulit terdeteksi, bahkan bisa
mempengaruhi institusi dan habitus anggotanya. Hal itu memproduksi dan mereproduksi
lingkungan kerja toksik yang dibangun di atas landasan relasi sosial yang bersifat
dominatif, eksploitatif, dan parasit.
Sikopansi tidak hanya merusak target yang dijilat, tetapi juga mempengaruhi
anggota komunitas organisasi yang lebih besar. Sikopansi adalah pintu gerbang kematian
kreativitas dan inovasi seluruh staf sebagai sebuah tim yang semestinya menjadi inti
kekayaan sumber daya manusia bagi organisasi. Sanjungan berminyak yang dipraktikkan
oleh atasan dan bawahan yang bersedia untuk “saling menipu” atau dramaturgi negatif
yang membudaya di dalam lingkungan kerja mengurangi kepercayaan (trust) yang
menjadi dasar tatanan sosial di sebuah kantor, dan pada akhirnya mengancam tatanan
tersebut.

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


25
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

Daftar Pustaka

Anjum, Amna, Xu Ming, Ahmed Faisal Siddiqi, and Samma Faiz Rasool. 2018. “An
Empirical Study Analyzing Job Productivity in Toxic Workplace Environments.”
International Journal of Environmental Research and Public Health 15(5).
Appelbaum, S. H., and B. Hughes. 1998. “Ingratiation as a Political Tactic: Effects within
the Organization.” Management Decision 36(2):85–95.
Basri, Hasan. 2017. “Analisis Pengembangan Karir Aparatur Sipil Negara Berdasarkan
Merit System (Studi Penelitian Di Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah).”
Universitas Sumatera Utara.
Bourdieu, Pierre. 2016. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Edy, Nurul. 2018. “The Paradox of the Promotion Office of the ASN through Merit
System in Environment the Government of the Province of Central Kalimantan.”
Journal of Local Government Issues 1(2):127–51.
Gaffar, Affan. 1991. “Hubungan Patron Client Dan Kosekuensinya Terhadap Lahimya
Pengusaha Indonesia : Review Buku Dr. Yahya Muhaimin.” UNISIA
10(XI.IV):83–90.
Gandle, S. 2018. “How to Tackle Workplace Politics and Sycophancy.”
Goffman, Erving. 1956. The Presentation of Self in Everyday Life. University of Edinburg
Social Sciences Research Centre.
Heychael, M. 2014. “Politik Kekeluargaan Dan Kekuasaan Yang Berpusat Pada Tubuh.”
Hidayah, N., and N. Herachwati. 2021. “The Merit System Development to Actualising
Career Establishment of Civil Apparatus in East Java Province Government.”
Kontigensi: Jurnal Ilmiah Manajemen 9(2):615–21.
Jones, E. E. 1965. “Conformity as a Tactic of Ingratiation.” Science 149(3680):144–50.
Kacmar, K. M., and G. R. Ferris. 1993. “Politics at Work: Sharpening the Focus of
Political Behavior in Organizations.” Business Horizons 36(4):70–75.
Kim, J. K., J. A. LePine, and J. U. Chun. 2018. “Stuck between a Rock and a Hard Place:
Contrasting Upward and Downward Effects of Leaders’ Ingratiation.” Personnel
Psychology 71(4):495–518.
Lailani, F., P. Edy, and F. Nurdiana. 2005. “Burnout Dan Pentingnya Manajemen Beban
Kerja.” BENEFIT 9(1).
Lofberg, J. O. 1920. “The Sycophant-Parasite.” The University of Chicago Press Journal
15(1):61–72.
Mubin, Fauzul, and Ali Roziqin. 2018. “Meritocracy of Bureaucracy in Indonesia.”
International Journal of Social Science and Humanity 8(8):241–46.
Mughal, Yasir Hayat. 2020. “A Holistic Model of Organizational Cynicism, Cronyism,
and Ingratiation.” African Journal of Hospitality, Tourism, and Leisure 9(1):1–
12.
Nietzsche, Friedrich Wilhelm. 2001. Nietzsche: Beyond Good and Evil, Prelude to a

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


26
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v16i1.25456
Vol. 16, No. 1, Juni 2022 Hal. 12-27

Philosophy of the Future. Cambridge University Press.


Nurprojo, Indaru Setyo. 2014. “Merit System Dan Politik Birokrasi Di Era Otonomi
Daerah.” Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS 8(1):45–52.
Pandey, J., and R. Rastogi. 1979. “Machiavellianism and Ingratiation.” The Journal of
Social Psychology 108(2):221–25.
Parker, D., and M. Parker. 2017. Sucking Up: A Brief Consideration of Sycophancy.
University of Virginia Press.
Pickering, C. E., K. Nurenberg, and L. Schiamberg. 2017. “Recognizing and Responding
to the ‘Toxic’ Work Environment: Worker Safety, Patient Safety, and
Abuse/Neglect in Nursing Homes.” Qualitative Health Research 27(12):1870–81.
Putnam, R. D. 1994. “Social Capital and Public Affairs.” Bulletin of the American
Academy of Arts and Sciences 5–19.
Ralston, D. A. 1985. “Employee Ingratiation: The Role of Management.” Academy of
Management Review 10(3):477–87.
Scott, James. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.”
American Political Science Review 66(1):91–113.
Shaheen, Sadia, Muhammad Waseem Bari, Filza Hameed, and Muhammad Mudassar
Anwar. 2019. “Organizational Cronyism as an Antecedent of Ingratiation:
Mediating Role of Relational Psychological Contract.” Frontiers in Psychology
10.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Weber, Max. 1963. Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free
Press.
Wolf, L. 2013. “6 Characteristics of the Douchiest Employee: The Sycophant.”
Yan, Miao, Yu Ping Xie, Jun Zhao, Yong Jun Zhang, Mohsin Bashir, and Ying Liu. 2020.
“How Ingratiation Links to Counterproductive Work Behaviors: The Roles of
Emotional Exhaustion and Power Distance Orientation.” Frontiers in Psychology
11:1–11.

Bakti, Muklir, Sufi: Sikopansi: Seni Membudak dalam Ritus Penindasan


27

Anda mungkin juga menyukai