Anda di halaman 1dari 13

PERSPEKTIF KOMUNIKASI DALAM

KEHIDUPAN SOSIAL

PAPER
Diajukan untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Referensi Digital

Dosen pengampu:
Adi Permana S., S.I.Kom., M.I.Kom

Disusun oleh:
3112191032 Moch Daryanto I
3112191212 Moch Yusuf Alviano
3112191212 Widi Wijaya Fadilah

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SANGGA BUANA YPKP BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya penulis bisa
menyelesaikan laporan paper Perspektif Komunikasi Dalam Kehidupa Sosial dengan baik.
Laporan paper ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Referensi Digital
yang mana merupakan tugas kelompok dari salah satu komponen yang harus dipenuhi pada
perkuliahan semester VII di Universitas Sangga Buana YPKP Bandung.
Selain daripada melaksanakan tugas laporan makalah, pada hakikatnya penulis
belajar serta menambah wawasan akan pengetahuan Perspektif Komunikasi dalam
Kehidupan Sosial yang bisa memberikan manfaat dan turut memperkaya wawasan materi
para pembaca.
Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan sehingga penulis
mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sehingga pada penulisan selanjutnya
bisa lebih sempurna.

Bandung, November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2

1.3 Maksud dan Tujuan.................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3

2.1 Perspektif dalam Ilmu Komunikasi........................................................3

2.2 Perkembangan Perspektif........................................................................5

2.3 Perspektif dan Realitas............................................................................8

B III SIMPULAN.............................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN

1.
1.1. Latar Belakang

Pendapat awam mengatakan bahwa komunikasi adalah berbicara. Pendapat itu tidak
sepenuhnya salah, akan tetapi tidak semudah itu mendefenisikan komunikasi. Dalam
keseharian kita kata “komunikasi” lazim digunakan orang, baik itu di dalam buku-buku,
percakapan, bahkan dalam ilmu-ilmu alam pun “komunikasi” sering disebutkan. Seperti,
“mereka masih mengkomunikasikan permasalahan itu”, “semut mempunyai cara
komunikasi tersndiri”, “alat komunikasi” dan sebagainya. Sebagai bahasa, tentu kata
“komunikasi” tidak dilarang untuk menggunakannya. Tetapi komunikasi sebagai ilmu,
jangan dianggap sederhana. Saking rumitnya dalam dunia ilmu komunikasi banyak sekali
ilmuwan yang mendefenisikannya, bahkan tidak sedikit yang saling bertentangan.
Terlepas dari semua perbedaan pendapat – hal ini lazim dalam ilmu sosial – di kalangan
ilmuwan karena mengingat latar belakang dan tujuan dari ilmuwannya.
Sudah menjadi prosedur kita sebagai akademisi dalam mendalami suatu ilmu untuk
‘membedah’ kembali kelaziman (proposisi) yang telah diterima umum lewat filsafat, guna
mendapatkan suatu pemahaman yang mantap bukan dengan maksud meragukan proposisi
itu sehingga kita mengkajinya kembali dari awal. Pemahaman yang mantap inilah yang
diperlukan khususnya bagi pemula pada suatu jurusan agar dikemudian hari lebih mudah
mempelajari bidangnya secara mendalam. Dan juga bisa menjadi solusi pada
permasalahan klasik di kalangan mahasiswa yang akan melakukan penelitian, yang
bisasanya ‘buta’ untuk memulai penelitian.
Sulit dimengerti kalau seseorang mengatakan tidak mau berhubungan dengan orang
lain, entah dengan alasan apapun. Sejak kecil kita semua telah terbiasa tergantung pada
lingkungan sosial kita, orang-orang disekitar kita. Walau ketergantungan ini semakin
berkurang pada waktu manusia meningkat dewasa, tetapi tetap ada dalam bentuknya yang
sangat bervariasi. Manusia selalu membutuhkan manusia yang lain hampir dalam segala
hal. Oleh karena itu, ia selalu membutuhkan kontak dengan sesamanya. Interaksi antara
individu dengan sesamanya inilah yang disebut dengan interaksi sosial. Dengan kata lain
interaksi sosial merupakan suatu bidang studi mengenai bagaimana seseorang
memengaruhi orang lain dan bagaimana orang lain tersebut bereaksi terhadap pengaruh
yang dirasakannya. Salah satu faktor yang sangat memengaruhi aksi dan reaksi dalam
situasi sosial adalah persepsi sosial.
Dalam berbagai kesempatan, komunikasi diperlihatkan sebagai ilmu yang
berhubungan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang lain. Ini menandakan
bahwa komunikasi menyentuh berbagai macam bidang kehidupan manusia. Komunikasi
juga menyentuh aspek ilmu dalam bidang komunikasi. Komunikasi adalah sebagai suatu
kegiatan dalam pertukaran pesan sesuai dengan pertumbuhan isu atau informasi dalam
kehidupan masyarakat. Informasi yang benar akan menimbulkan suatu ketenangan dalam
kehidupan masyarakat. Jika isu atau informasi yang dikembangkan orang dalam
berinteraksi tidak seirama dengan apa yang terjadi maka timbullah konflik dalam setiap
proses pertukaran pesan, baik yang bersifat individu, kelompok, maupun masyarakat.
Akibatnya, benturan sosial tidak dapat dihindari, baik dalam bentuk fisik maupun
penekanan setiap ide yang berkembang dalam setiap komponen kehidupan masyarakat
Ketika manusia sendirian, manusia berperilaku berbeda dari pada saat berada di
sekitar orang lain. Kelompok sosial memiliki serangkaian perilaku dan sikap unik
tersendiri. Hal-hal tersebut terangkum dalam teori interaksi sosial yang melihat pola
tindakan dan reaksi individu dalam menanggapi orang lain. Menurut teori interaksi sosial,
perilaku sosial masyarakat ditentukan oleh tekanan sosial yang dihadapi. Artinya, perilaku
diciptakan salah satunya sebagai respons terhadap lingkungan sekitar, khususnya
kelompok sosial. Cara manusia berinteraksi dalam masyarakat dapat menentukan
perilaku manusia tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana perspektif dalam ilmu komunikasi?
2. Bagaimana perkembangan perspektif komunikasi?
3. Bagaimana hubungan perspektif dengan realitas?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui ruang lingkup perspektif dalam ilmu komunikasi
2. Untuk mengetahui perkembangan perspektif komunikasi
3. Untuk mengetahui hubungan perspektif dengan realitas

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perspektif dalam Ilmu Komunikasi

Perspektif adalah sistematika subjektif yang unik dan berbeda yang ada pada setiap
orang. Seperti sidik jari kita, perspektif mempunyai kedudukan yang sama dalam hal
keunikannya. Maka bisa jadi salah satu hal yang membedakan kita dengan orang lain
adalah perspektif yang kita gunakan untuk berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh faktor
gen dan historis kita pada suatu lingkungan sehingga menjadikan kita individu yang unik.
Dengan kata lain perspektif adalah sudut pandang yang digunakan oleh seseorang untuk
menilai suatu fakta –bukan fakta itu sendiri – maka berdasarkan perspektif yang kita
gunakan akan menghasilkan penilaian yang berbeda dengan orang lain. Pengandaiannya,
ketika si A menilai buah durian sebagai suatu yang lezat dan harum maka akan berbeda
dengan penilaian si B yang menganggap durian adalah buah yang menjijikkan dan bau.
Dalam kasus ini sulit untuk mengutarakan alasan masing-masing terhadap penilaiannya
terhadap buah durian, si A mungkin pada masa kecilnya mendapat kesan pertama
(sensasi) pada durian sebagai buah yang enak berbeda dengan si B yang mungkin
mendapat sensasi berbeda.
Keunikan adalah salah satu sifat perspektif. Perspektif juga memiliki sifat samar,
maksudnya orang kadang-kadang menilainya sebagai suatu fakta, pada contoh diatas si A
akan benar-benar membantah penilaian si B begitu juga sebaliknya. Padahal faktanya
durian hanya buah yang kulitnya berduri, mempunyai daging lembek dan biji yang keras
dengan bentuk sedemikian rupa, soal rasa dan bau tidak lebih dari persepsi atau
pandangan. Karenanya seringkali ketika kita melakukan observasi, kita merasa bersikap
netral padahal sadar atau tidak secara teknis dan nonteknis kita melakukannya dengan
cara yang kita yakini pas dengan kita. Namun dengan sifat samarnya, perspektif tidak
dapat merubah fakta, seyakin apapun kita dengan perpektif yang kita gunakan tidak
akan merubah fakta bahwa kulit durian itu berduri. Jangan sampai kita tertipu dengan
persepsi kita sendiri dalam membahas ilmu-ilmu sosial yang sifatnya dinamis khususnya
Ilmu Komunikasi.
Mungkin sudah timbul pertanyaan,mengapa komunikasi – apabila dikatakan sebagai
suatu fakta – bisa banyak defenisi, lalu dimana letak fakta dari komunikasi? Saya tidak
akan menjawabnya secara gamblang, karena faktor ruang dari tulisan ini. Lagi pula inti
pembahasan kita adalah perspektif. Defenisi komunikasi yang paling terkenal dan
sederhana adalah source (sumber), message (pesan), dan destination (penerima/tujuan).
Apakah defenisi ini sebuah fakta dari komunikasi? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Kalau
jawabannya, defenisi di atas adalah sebuah persepsi, maka perspektif yang digunakan oleh
sang ilmuwan sangat pas dan menyentuh substansi dari komunikasi, yaitu minimal dalam
komunikasi terdapat sumber, pesan, dan tujuan. Tapi kalau kita menyebutnya sebagai
fakta, maka defenisi tersebut masih jauh dari komunikasi yang sebenarnya, yaitu tidak
adanya gangguan (noise) dalam prosesnya; komunikator dinilai sebagai sesuatu yang
stagman atau tetap sebagai si ‘source’ dan si ‘destination’, padahal dalam prosesnya
komunikasi tidak ditentukan siapa si ‘source dan siapa si ‘destination’ karena keduanya
bisa jadi menempati posisi ‘source sekaligus destination’; dan masih banyak lagi variabel
komunikasi yang diabaikan pada defenisi itu.
Supaya kita tidak bingung, dalam filsafat dikenal dengan kebenaran absolut (tetap)
dan kebenaran relatif (berubah-ubah), mari kita tempatkan persepsi sebagai kebenaran
relatif dan fakta sebagai kebenaran absolut. Dalam buku ini dinyatakan bahwa bukan
benar tidaknya persepsi yang kita gunakan tapi bermanfaatkah persepsi itu bagi kita?
Diantara perselisihan persepsi dengan fakta, sebenarnya yang kita perlukan adalah suatu
konsep yang relevan dengan tujuan – dalam hal ini komunikasi – agar persepsi kita bisa
dinilai sebagai kebenaran (baca:relatif). Konsep ini merupakan prapersepsi yang
membentuk suatu mode rancangan yang dekat dengan substansi komunikasi sehingga kita
bisa memilih persepsi yang benar-benar perspektif. Proses terjadinya konsep ini, sebagai
berikut: dalam hal memilih persepsi untuk pendekatan suatu fakta kita terlebih dahulu
melihat fakta dengan segala variabelnya –kondisi zaman, kondisi masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan, dan sebagainya – tersebut kemudian akan muncul suatu
gagasan yang kita sebut perspektif. Dalam buku ini terdapat jenis-jenis perspektif yang
mendasari ilmu komunikasi berdasarkan perkembangan zaman.

2.2. Perkembangan Perspektif


Seperti yang dibahas di atas bahwa perspektif bukan benar dan salahnya tapi relevan
tidaknya ia pada tujuan kita. Relevansi suatu perspektif tentu mempunyai perjalanan
panjang. Dari segi waktu pun demikian, perspektif ilmu-ilmu sosial yang kita gunakan
sekarang ternyata melalui lika-liku konflik dari zaman ke zaman. Pada awalnya ilmu-ilmu
alam yang sudah berkembang lebih dulu, atau dari versi yang terkenal bahwa ilmu-ilmu
alam yang pertama memisahkan diri dari tubuh filsafat, sedang ilmu-ilmu sosial pada
waktu itu masih bersifat umum dan tergolong sebagai filsafat. Sebelum membahas jenis-
jenis perspektif, ada baiknya kita mengenal dulu 3 bentuk konsep yang mendasari seluruh
jenis-jenis perspektif.
1. Realisme
Bulat sebagai persepsi dan Segitiga adalah faktanya. Saya mencoba menjelaskan
bahwa realisme menolak mentah-mentah kalau fakta diinterpretasikan oleh persepsi,
artinya pada suatu penilitian subjek harus benar-benar memisahkan diri dari objek
sehingga hasilnya adalah objektifitas murni. Ini selaras dengan istilah dualisme pemisahan
antara inti/fakta dan pinggiran/persepsi. Realis percaya kalau hasil penilitian mereka yang
objektif adalah kebenaran mutlak (absolut). Paham ini mungkin cocok pada ilmu alam,
Semut dengan reaksi kimianya dan struktur biologinya adalah satu kebenaran (fakta) yang
tidak bisa diganggu menggunakan persepsi. Namun ketika masuk ke ranah ilmu sosial
yang objek formal dan materinya adalah manusia beserta tindak-tanduknya tentu akan
sulit untuk paham ini menentukan fakta dan mengontrolnya kemudian. Kalau kita sudah
paham tentang Semut dengan menggunakan ilmu alam maka kita bisa menentukan
beberapa faktanya (Semut berkomunikasi lewat feromonnya) dan bisa melakukan kontrol
terhadapnya (karena Semut menggunakan feromon untuk berkomunikasi maka kita bisa
mengelabuinya dengan menghilangkan jejak feromonnya). Manusia ‘secara sosial’ tidak
ada fakta tetap padanya, karenanya kita tidak bisa melakukan ‘kontrol tetap’ pada
manusia. Sebagai contoh: saya perokok berat, maka saya akan gelisah kalau dalam
beberapa jam tidak merokok. Tapi pada saat bulan ramadhan saya tidak merasakan rasa
gelisah itu.
2. Nominalis
Bentuk hampir segitiga adalah fakta dan ruang kosongnya adalah persepsi. Paham
nominalis menghargai interpretasi seseorang terhadap fakta. Karena dalam konstruksi
diatas tidak selamanya orang akan menggaris lurus ruang kosong tersebut untuk
membentuk segitiga. Bisa jadi dia lebih memilih menambahkan setengah melingkar di
ruang kosong tersebut sehingga hasilnya bukan segitiga seperti kebanyakan orang. Fakta
bagi sebagian orang adalah suatu konstruksi yang dapat diubah sesuai persepsi yang
mereka anggap relevan. Tetapi bentuk hampir segitiga tersebut oleh paham nominalis
dianggap sebagai fakta murni yang belum lengkap sehingga harus diinterpretasikan.
Paham ini yang menjadi salah satu dasar dari post-positivisme, bahwa fakta
tetaplah fakta yang tidak bisa diganggu oleh persepsi. Namun bedanya pandangan
nominalis terhadap fakta tidak sama dengan realisme yang menganggap persepsi tidak
bisa diikutsertakan dalam pembentukan suatu fakta. Paham ini sedikit membuka diri
terhadap fleksibelitas ilmu sosial. Persepsi mempunyai kedudukan yang penting terhadap
pembentukan suatu fakta. Contoh, paham nominalis terhadap dinamika ilmu sosial: saya
orangnya perokok berat (fakta) tetapi saya tahu pada saat Ramadhan saya bisa
menahannya (persepsi). Contoh tadi mengartikan bahwa perokok bisa menahan
kecanduannya pada waktu-waktu tertentu (khas ilmu sosial) sehingga menimbulkan suatu
fakta yang terdiri dari fakta dan persepsi: saya perokok berat pada saat-saat tertentu saja.
Paham inipun percaya dengan terbentuknya suatu fakta berdasarkan penggabungan
persepsi dan fakta maka fakta inipun bisa menjadi alat kontrol sosialnya: karena saya
perokok pada saat-saat tertentu saja maka semua perokokpun begitu (khas ilmu alam).
Nah, menurut paham selanjutnya (konstruksionis) paham ini masih rancu dalam
menanggapi ilmu sosial dengan percaya bahwa dinamika sosial bisa dikontrol
berdasarkan fakta- fakta yang telah dibentuk oleh paham nominalis.
3. Kontruksionis
Paham konstruksionis menganggap segala sesuatu didunia kehidupan ini
termasuk fakta dan persepsinya bergantung pada individu yang menilai. Konstruksi suatu
fakta sesungguhnya hanya dibentuk oleh persepsi orang terhadapnya. Jika kedua paham
diatas menyebutkan segitiga dan hampir segitiga adalah fakta, maka konstruksionis dapat
memberikan kritikan “bentuk ‘segitiga’ itu sebenarnya siapa yang memberikan predikat
tersebut padanya? Bukankah persepsi yang relevan jua yang mempredikatkan suatu
fakta?”
Paham ini meyakini dengan pasti bahwa dinamika sosial tidak dapat dibuatkan
fakta yang bersifat objektif. Subjektifitas adalah solusi utama dalam ilmu sosial untuk
menemukan serentetan yang diyakini sebagai fakta. Kembali pada dua konsep filsafat
tentang kebenaran, yaitu kebenaran absolut dan kebenaran relatif. Konstruksionis
memposisikan faktanya – yang dibentuk berdasarkan persepsi – adalah suatu kebenaran
yang harus dipercayai, tapi kebenaran disini bersifat relatif, artinya selagi persepsi yang
digunakan relevan dan disetujui umum dengan pertimbangan ilmiah maka sepantasnya
kita percaya akan suatu fakta tersbut, tetapi jika fakta itu ditentang oleh fakta baru dengan
pertimbangan ilmiah pula maka fakta yang barulah yang harus dipercaya.
Tercatat pada buku ini, bahwa tahun 1760-1825 M, Henry Sain Simon bersama
muridnya August Comte (1798-1857) mencetuskan ‘paham baru’ bagi ilmu sosial, yaitu
dikenal dengan perspektif positivisme. Paham positif (perspektif positivisme) ini
berlatarkan kondisi zaman pada waktu itu yang sedang terjadi revolusi kekuasaan di
Perancis dengan tokoh revolusionernya adalah kebanyakan dari kalangan Filsuf. Henry
kemudian mencetuskan positivisme yang dikembangkan oleh August sebagai solusi yang
harus dipakai, karena menurutnya Filsuf-filsuf pada waktu itu masih menggunakan paham
mistis (mistisme) yang dikritiknya sebagai suatu kebodohan. Menurutnya sudah saatnya
‘akal sehat’ (logika) digunakan, dia kemudian mengadopsi metode-metode ilmu alam
sebagai solusi dari konflik sosial saat itu. Dari awal mulanya paham positivisme ini
muncul dikemudian hari mendapat kritikan dan terjadilah rekonseptualisasi hingga
dewasa ini muncul paham perpektif kritis. Berikut jenis-jenis persepektif:
a) Perpektif Positivisme (realisme)
b) Perpektif Post-Positivisme (realisme-nominalis)
c) Perpektif Interpretif (nominalis-konstruksionis)
d) Perpektif Konstruksionis
e) Perpektif Kritis

2.3. Perspektif dan Realitas


Jenis perspektif atau teoritisi tergantung pada bagaimana teoritisi itu memandang
manusia yang menjadi objek kajian mereka. Perbedaan perspektif ini pada dasarnya
merupakan perbedaan penafsiran tentang apa itu realitas, dan dalam ilmu sosial, bagaimana
kedudukan manusia dalam realitas itu. Ilmu-ilmu sosial itu senditi seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya , dapat dianggap sebagai perpanjangan ilmu alam, tetapi juga
mengandung unsur ilmu-ilmu humaniora. Untuk melihat perbedaan ini kita harus
menjelaskan pandangan- pandangan yang berbeda mengenai kedudukan manusia.
Menurut Immanuel Kant (Mulyana, 2001:19) ada dua jenis realitas, yaitu dunia
fenomena dan noumena.
1. Fenomena
Dunia fenomena adalah dunia yang kita alami dengan pancaindra kita. Sebuah
dunia yang didekati dengan pengalaman empiris. Kedudukan manusia dalam dunia ini
adalah sama dengan hewan, batu-batuan, air dan tumbuhan. Sebagai bagian dari alam ada
kekuatan mutlak yang merupakan hukum alam yang merupakan kekuatan alami yang
mendorong dunia alami tanpa bisa dilawan. Misalnya, grafitasi bumi, benda yang dilempar
ke atas pasti jatuh juga kebawah. Termasuk juga manusia, setinggi apapun dia melompat
pasti akan jatuh juga ke bawah. Singkatnya, dunia ini memiliki ketertiban atau tatanan
yang sempurna dalam alam: setiap peristiwa atau keadaan memiliki sebab.
2. Noumena
Dunia noumena tidak dapat didekati dengan pengamatan empiris karena hal itu
tidak bersifat fisik atau. Meskipun banyak orang berupaya mendekati dunia ini lewat nalar,
mereka gagal. Kant berpendapat bahwa meskipun kita dapat memikirkan dunia noumena,
nalar dan sains yang sebatas dunia fenomena, tidak dapat menelitinya. Kesulitan untuk
meneliti manusia adalah karena kedudukannya yang rumit. Bila makhluk-makhluk lain
seperti hewan, tumbuhan, juga udara, air, bebatuan, dan sebagainya tergolong dunia
fenomena, dan malaikat, jin, serta setan masuk dalam dunia noumena, maka seperti
dijelaskan kant, manusia sekaligus termasuk ke dalam fenomena dan noumena. Sebagai
fenomena kita terikat oleh hukum-hukum alam sebaliknya manusia juga adalah noumena
yang punya jiwa, mempunyai kemauan bebas. Manusia dikonseptualisasikan di sini
sebagai sekaligus pasif dalam arti manusia disebabkan, dibentuk dan didorong oleh
kekuatan-kekuatan di luar kendalinya, dan manusia juga aktif, mengontrol, membentuk,
bertindak, dan bebas.
Ridwan Usman (2011: 34) mengatakan “Pertumbuhan konflik dalam proses
komunikasi, terjadi akibat pelemparan pesan yang tidak memuaskan antara komunikan
dengan komunikator.”
BAB III
SIMPULAN

3.1. Kesimpulan

3.2. Saran
Kalau saya ditanya manakah perspektif yang lebih relevan bagi ilmu sosial masa
kini, maka secara pribadi saya lebih memilih perspektif Kritis. Tetapi secara bijak saya
akan menjawab, bahwa diluar dari pas tidaknya suatu perspektif sesungguhnya perspektif-
perspektif ini hanyalah serentetan konsep yang tidak memiliki kebenaran mutlak, karena
didalamnya masih banyak terdapat kekurangan yang bisa di temukan maupun tidak. Dalam
kehidupan nyata kita, bersosialisai tentu tidak semudah konsep yang ditawarkan diatas,
karena memang itulah gunanya konsep, hanya menawarkan tidak menjanjikan. Namun kita
patut bersyukur, dengan konsep-konsep cerdas diatas kita bisa berpresepsi secara cerdas
dimana menurut kita yang paling relevan untuk digunakan.
Pertanyaan tentang kebenaran suatu fakta di dalam Ilmu Komunikasi pada akhiran
ini sudah terjawab. Dari sekian banyak banyak defenisi komunikasi menurut para ahli,
ternyata secara pribadi kita masing- masing sudah bisa menilai mana yang paling relevan
bagi kita dan mana yang tidak serta secara umum kita bisa menerima defenisi orang lain
tentang komunikasi, karena kita paham bahwa komunikasi adalah fenomena sosial yang
bebas dipersepsikan oleh siapapun selagi itu bersifat ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Ana Nadhya. 2002. Memberi Perspektif Pada Ilmu Komunikasi. Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Volume 6, Nomor 2, November 2002 (187-201).

Irwanto, dkk. 1989. Psikologi Umum. Jakarta. Gramedia.

Mulyana, Deddy. 2017. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja


Rosdakarya.

M.A, Fairus. 2019. Mati Sebelum Mati: Perspektif Komunikasi Dalam Kehidupan
Manusia. Jurnal Al-Bayyan: Media Kajian dan Pengembangan Ilmu
Dakwah Vol. 25 No. 1 Januari – Juni 2019, 116 – 161

Rakhmat, Jalaludin. 2019. Psikologi Komunikasi. Bandung. Simbiosa Rekatama


Media.

Usman, Ridwan. 2001. Konflik dalam Perspektif Komunikasi: Suatu Tinjauan


Teoritis. Mediator: Jurnal Komunikasi Volume 2 No.1 2001.

Anda mungkin juga menyukai