Anda di halaman 1dari 169

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343205718

PSIKOLOGI KLINIS DALAM KONTEKS PEMASYARAKATAN

Book · July 2020

CITATION READS

1 5,059

2 authors, including:

Imaduddin Hamzah
Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
16 PUBLICATIONS 52 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Kesurupan massal View project

All content following this page was uploaded by Imaduddin Hamzah on 25 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PSIKOLOGI KLINIS DALAM
KONTEKS PEMASYARAKATAN

Editor: Dr. Imaduddin Hamzah, S.Psi., M.Si.


PSIKOLOGI KLINIS DALAM KONTEKS PEMASYARAKATAN

Imaduddin Hamzah, Dkk.


Copyright © 2020 by Imaduddin Hamzah, Dkk.

Diterbitkan oleh:
CV. Insan Cendekia Mandiri
Jl. Lintas Sumatra Solok-Padang KM. 8 Bukit Kili Koto Baru
Kabupaten Solok – Sumatra Barat

Tel +62813 7272 5118


Tel +62822 6890 0329

Email : penerbitbic@gmail.com
Website : www.insancendekiamandiri.co.id
: www.adhanmedia.id

Penyunting : Dr. Imaduddin Hamzah, S.Psi., M.Si.


Tim Insan Cendekia
Tata letak : @Teamminang
Desain Cover : Adhan Chaniago

vi, 166 hlm, 14,8 × 21 cm


Cetakan pertama, Juni 2020

Terbit : Mei, 2020


ISBN : 978-623-7383-74-1

Hak Cipta dilindungi undang-undang Republik Indonesia Nomor 19


Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal 72.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan
bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Kata Pengantar

Tantangan sistem pemasyarakatan semakin dinamis,


seiring dengan perkembangan sosial budaya di masyarakat,
politik hukum, birokrasi dan aparat penegak hukum,
kejahatan, kemajuan teknologi informasi komunikasi,
termasuk dinamika yang terjadi di dalam rumah tahanan dan
lembaga pemasyarakatan. Ketangguhan sistem
pemasyarakatan memperjuangkan terwujudnya filosofi
pemasyarakatan menjadi semakin berat.
Resililiensi pemasyarakatan membutuhkan berbagai
modal kekuatan sehingga adaptif menghadapi berbagai
tantangan, antara lain kontribusi pemikiran melalui
penelitian dan kajian ilmiah yang andal dari berbagai disiplin
ilmu terkait (multidisiplin).
Warga binaan pemasyarakatan adalah subyek utama
sasaran pemasyarakatan. Mereka adalah makhluk individu
dan makhluk sosial yang memiliki fungsi dan dinamika
psikologis yang unik, yang mempengaruhi munculnya
perilaku menyimpang dan gangguan klinis. Buku ini
merupakan kumpulan hasil penelitian dan kajian ilmiah yang
membahas berbagai aspek psikologi klinis dalam lingkung
pemasyarakatan. Buku ini diharapkan menjadi sumbangan
berharga bagi para praktisi kebijakan pemasyarakatan dan
para akademisi yang berminat mengembangkan khazanah
ilmiah pemasyarakatan, sehingga disiplin ilmu
pemasyarakatan dapat terbangun.
Terima kasih kepada para kontributor penulis, keluarga
besar dan civitas akademika Politeknik ilmu pemasyarakatan
serta kepada para pembaca atas segenap bantuan yang telah
mendukung terbitnya buku ini.

April 2020
Editor,

Imaduddin Hamzah

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| iii


SAMBUTAN
Direktur Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) adalah satu-


satunya perguruan tinggi kedinasan yang akan meluluskan
Taruna yang memiliki kompetensi di bidang pemasyarakatan.
Kehadiran Poltekip, merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam transformasi Sistem Kepenjaraan berubah
menjadi Sistem Pemasyarakatan, berdasarkan dari hasil
Konferensi Dinas Djawatan Kepenjaraan di Lembang,
Bandung tanggal 27 April 1964. Jika kita melakukan refleksi
latar belakang berdirinya Poltekip, maka secara tegas dan
jelas menunjukkan bahwa Poltekip hadir berangkat dari
perubahan politik hukum di Indonesia, yaitu hukum
Pancasila yang merupakan kristalisasi pandangan dan
falsafah hidup yang sarat dengan nilai dan etika serta moral
luhur bangsa Indonesia.
Konsekuensinya, Polteknik Ilmu Pemasyarakatan, perlu
mengembangkan cara-cara baru dalam pendidikan, penelitian
dan pengabdian masyarakat agar dapat meningkatkan
kualitas lulusan sebagai aparatur sipili negara
pemasyarakatan yang unggul. Unggul berarti menunjukkan
kualitas proses dan hasil yang memenuhi bahkan melebihi
harapan, sehingga lulusan Poltekip mempunyai karakteristik
kinerja (performance), dan keandalan terbaik yang mencapai
bahkan melampui standar kompetensi jabatan teknis
pemasyarakatan.
Kehadiran buku Psikologi Klinis dalam Konteks
Pemasyarakatan ini merupakan wujud nyata peningkatan
kualitas proses pembelajaran dan penelitian para lulusan dan
dosen poltekip, yang diharapkan dapat menjadi sumbangsih
pengabdian poltekip dalam bidang ilmu pengetahuan bagi
kemajuan pemasyarakatan.

Depok, April 2020

Dr. Rachmayanthy, Bc.IP, S.H., M.Si.

iv | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................. iii


Daftar Isi ............................................................................................................. v
BAGIAN 1 MEMAHAMI PERAN PSIKOLOGI KLINIS DALAM
PEMASYARAKATAN .....................................................................................1
❖ Psikologi Klinis dalam Sistem Pemasyarakatan ..............2
❖ Faktor Determinan Remaja Pelaku Pencurian:
Perspektif Teori Kontrol Sosial ............................................. 17
❖ Criminal Profiling Narapidana Kasus Kejahatan
Seksual ............................................................................................... 30
BAGIAN 2 PROBLEM PENYESUAIAN DIRI NARAPIDANA DI
PENJARA DAN PENANGANANNYA ......................................... 49
❖ Krisis Adaptasi Pada Tahanan dan Penanganannya .. 50
❖ Resiliensi dan Kesiapan Mental Reintegrasi Sosial
Narapidana ...................................................................................... 66
❖ Dampak Psikologis Dukungan Keluaga pada Anak
Berkonflik dengan Hukum ...................................................... 84
❖ Penerapan Cognitive Behavior Therapy (Cbt) pada
Narapidana yang Mengalami Stres ..................................... 95
❖ Bimbingan dan Konseling Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan ........................................................................ 111
BAGIAN 3 PENERAPAN PSIKOLOGI KLINIS PADA MASA
REINTEGRASI DAN DIVERSI ............................................................. 119
❖ Self Control dan Perkembangan Perilaku Narapidana
............................................................................................................. 120
❖ Pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan dalam
Proses Penyidikan Anak ........................................................ 134
❖ Kepatuhan Klien : Peran Motivasi dan Komunikasi
Klien dalam Proses Pembimbingan ................................. 147

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| v


vi | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan
PSIKOLOGI KLINIS DALAM
KONTEKS
PEMASYARAKATAN

Bagian 1

[MEMAHAMI PERAN PSIKOLOGI


KLINIS DALAM EMASYARAKATAN]
PSIKOLOGI KLINIS DALAM SISTEM
PEMASYARAKATAN
Imaduddin Hamzah

Individu menjalani hukuman di lembaga


pemasyarakatan sebagai konsekuensi hukum tindakan
kejahatan yang dilakukan. Tindakan kejahatan dilakukan
dengan beragam motif, modus, akibat yang ditimbulkan dari
kejahatan, termasuk pengaruh karakteristik kepribadian dan
lingkungan psikososialnya. Sehingga akibat perbuatan
pelanggaran hukum tersebut, individu tersebut ditetapkan
sebagai narapidana. Narapidana adalah terpidana yang
menjalani masa pidana di dalam lembaga pemasyarakatan.
Terpidana adalah seseorang terdakwa yang diputuskan
bersalah di pengadilan oleh hakim dengan putusan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Namun, dalam
konteks sistem pemasyarakatan, para pelanggar hukum yang
berada dalam sistem pemasyarakatan, disebut dengan warga
binaan pemasyarakatan (WBP), yang terdiri dari narapidana,
anak didik pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan.
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan
secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan
agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab. Di dalam sistem ini

2 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


dilakukan pemasyarakatan sebagai suatu kegiatan untuk
membina Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Sejumlah penelitian bidang psikologi telah banyak
menyajikan penjelasan tentang perilaku kejahatan, di
antaranya faktor kepribadian dan gangguan psikologis.
Menurut McCalllum (2004) menjadi hal biasa untuk
menghubungkan konsep psikomedis gangguan kepribadian
antisosial untuk pelanggaran norma-norma sosial. Para
pelaku kejahatan lebih juga impulsif dibandingkan dengan
populasi normal pada umumnya (Pabbathi, Naik, Mandadi, &
Bhogaraju, 2014). Singh (2020) menyatakan Kondisi
psikologis tertentu memang meningkatkan risiko seseorang
melakukan kejahatan. Penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan penyakit mental mungkin lebih rentan terhadap
kekerasan jika mereka tidak menerima pengobatan yang
memadai, secara aktif mengalami delusi, atau memiliki
paranoid lama.
Kasus yang cukup menyita perhatian masyarakat
Indonesia, pembunuhan berantai dan mutilasi terhadap 11
orang tahun 2008 yang dilakukan Very Idam Henyansyah
alias Ryan Jombang, yang didiagnosis memiliki gangguan
kepribadian psikopat. Kasus menarik lainnya di Pekanbaru
Februari 2020, ayah membunuh anak kandungnya karena
terpengaruh bisikan gaib, yang menunjukkan kejahatan
dilakukan pelaku dalam kondisi ciri-ciri psikosis. Penjelasan
teoritis dan fakta menggambarkan bahwa sebelum masuk ke
dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana sudah
mempunyai problem psikologis yang mengakibatkan individu
masuk penjara. Kemudian, individu yang memiliki gangguan
psikologis dihukum masuk ke dalam penjara menghadapi

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 3


lingkungan dengan kondisi yang khusus, tentu akan
menimbulkan respon berbeda.
Kehidupan di dalam penjara sesungguhnya mengubah
individu akibat perubahan dimensi spasial, penghayatan
waktu, penyesuiaan tubuh tahanan/narapidana dan
melemahkan kehidupan emosional mereka, bahkan dan
merendahkan identitas diri mereka. Bagaimana efek
psikologis seseorang yang berada dalam penjara dan setelah
bebasnya? Apakah ada ciri-ciri psikologis mereka yang
melakukan kejahatan? Tidakkan pengalaman selama di dalam
penjara menyebabkan gangguan mental? Bagaimana individu
berinteraksi dengan situasi yang penuh tekanan dan program
pembinaan dan pembimbingan kemasyarakatan yang mereka
jalani ? Ini menjadi pertanyaan untuk mengeksplorasi
psikologis individu yang menjalani hukuman di lembaga
pemasyarakatan maupun menjalani sisa pidana di luar
lembaga pemasyarakatan.
Berbagai gejala psikopatologis narapidana dan tahanan,
seperti bunuh diri, psikosis dan kecemasan. Sejumlah kasus
bunuh diri dengan cara menggantung diri di dalam lembaga
pemasyarakatan hampir setiap tahun dilaporkan, meski tidak
mempunyai data yang terpublikasi secara resmi. Namun hasil
temuan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (2016)
menunjukkan bunuh diri merupakan penyebab kematian ke
dua setelah sakit (lihat gambar 1). Namun kematian
terbanyak yang disebabkan sakit dapat diasumsikan pula
dipengaruhi kondisi psikologis yang buruk.

4 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Sumber : LBHM, 2016
Gambar 1. Penyebab kematian dalam penjara (N=120)
Proses penyesuaian diri narapidana di lembaga
pemasyarakatan memunculkan respon yang berbeda. Susie
Hulley dan kawan-kawan (2015) dari Institute of Criminology
melakukan studi terhadap ratusan tahanan Inggris,
menemukan bahwa para tahanan banyak mengalami
transformasi kepribadian yang signifikan selama menjalani
hukuman di penjara. Namun peneliti lain menemukan
lembaga pemasyarakatan mempengaruhi fisik dan kejiwaan
narapidana, ditambah kecemasan yang berlebihan
menimbulkan depresi dan kecenderungan bunuh diri
(Agusriadi, 2018). Penjara dapat mempengaruhi individu
berada di dalamnya berinteraksi dengan lingkungan yang
menciptakan peluang menjadi residivisme (Hofer, 1988).
Dengan gambaran studi tersebut, kontribusi psikologi klinis,
sebagai spesialisi psikologi dalam perwujudan kesehatan
mental di lembaga pemasyarakatan menjadi hal yang sangat
penting dan strategis.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 5


A. Psikologi klinis sebagai ilmu terapan
Psikologi Klinis, merupakan cabang psikologi yang
menggunakan konsep-konsep psikologi abnormal,
psikologi perkembangan, psikopatologi dan psikologi
kepribadian, serta prinsip-prinsip dalam assesmen dan
intervensi, untuk dapat memahami dan memberikan
layanana bantuan bagi mereka yang mengalami masalah-
masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri dan
perilaku abnormal (APA, 2019). Menurut Plante (2005)
psikologi klinis berfokus pada penilaian, perawatan, dan
pemahaman tentang masalah dan gangguan psikologis dan
perilaku, yakni mengkaji upaya pada cara-cara di mana
psikologi manusia berinteraksi dengan aspek fisik,
emosional, dan aspek sosial dari kesehatan dan disfungsi
mental.
Psikologi klinis sebagai salah satu devisi dalam
American Psychology Association (APA divistion 12)
memfokuskan pada penyediaan perawatan kesehatan
mental dan perilaku yang berkelanjutan dan komprehensif
untuk individu dan keluarga, konsultasi dengan lembaga
dan masyarakat, pelatihan, pendidikan dan pengawasan,
dan praktik berbasis penelitian. Kehadiran psikologi
dalam bidang pemasyarakatan setidaknya berkaitan
dengan lingkup psikologi klinis, yaitu :
1. Memahami psikopatologi dan pertimbangan
diagnostik/intervensi.
2. Memahami masalah kesehatan mental di seluruh
tingkatan usia berdasarkan pemahaman yang baik
tentang psikopatologi.
3. Asesmen: kemampuan untuk mengintegrasikan dan
mensintesis data tes kepribadian dengan pengukuran
tambahan asesmen yang terstandarisasi.

6 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


4. Konsultasi: kemampuan untuk memberikan layanan
konsultasi dengan tenaga profesional kesehatan
lainnya, terkait perawatan dan organisasi individu
dengan psikopatologi berat, bunuh diri dan kekerasan.
5. Research Base: pertemuan penelitian spesifik dan kajian
kritis ilmu pengetahuan, pengetahuan dan metode yang
berkaitan dengan area-area yang diidentifikasi berbeda
dengan kajian psikologi klinis.
Dengan demikian psikologi klinis berupaya untuk
menggunakan prinsip-prinsip psikologi untuk lebih
memahami, memprediksi, dan meringankan intelektual,
emosional, biologis, psikologis, sosial, dan aspek perilaku
dalm fungsi manusia. Namun ada beberapa isu spesial
psikologi klinis dalam bidang pemasyarakatan, antara lain
maladjustment secara perilaku, intelektual, emosional,
psikologis, dan sosial individu yang di penjara,
ketidakmampuan dan ketidaknyamanan, dan munculnya
psikopatologi narapidana yang berdampak secara sosial,
seperti kekerasan dan kerusuhan di lembaga
pemasyarakatan.

B. Penelitian psikologi klinis narapidana


Riset-riset psikologi di lingkungan penjara dan
narapidana telah cukup luas dilakukan dalam berbagai
cabang ilmu psikologi, seperti psikologi penjara, psikologi
kriminal, psikopatologi, psikologi perkembangan dan
psikologi kepribadian. Bahkan kerapkali studi psikologi di
penjara dan narapidana juga sering dilakukan
berkolaborasi dengan para ahli di bidang lainnya, seperti
neurologi, kriminologi, dan kesehatan masyarakat. Fokus
studi menunjukkan topik-topik yang variasi, seperti dari
pengembangan instrument asesmen, deskripsi profil

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 7


kejahatan dan residivisme, penyakit mental, kepribadian
psikopat, penerapan metode terapi dan manajemen
perawatan kesehatan mental di penjara, serta kajian
kekerasan dalam penjara.
Fazel (2019) menjelaskan sistem peradilan pidana
di banyak negara berpenghasilan tinggi menggunakan
beberapa bentuk alat penilaian risiko terstruktur atau
instrumen untuk menginformasikan keputusan tentang
hukuman, pembebasan bersyarat, pelepasan dan masa
percobaan. Diperkirakan ada lebih dari 300 instrument
penilaian risiko pelaku kriminal (Desmarais et al. 2014),
sebagian diantaranya dipasarkan dan dijual secara
komersial. Amerika Serikat saja berdasarkan review dari
1970 untuk 2012 tercatat 39 negara memiliki alat
penilaian risiko mereka sendiri (Desmarais, Johnson et al.
2016)
Nathan James (2018) menulis laporan penelitian
tentang Risk and Needs Assessment in the Federal Prison
System yang menjelaskan pengembangan model The Risk-
Needs-Responsivity (RNR) sebagai paradigma dominan
dalam penilaian risiko dan kebutuhan para narapidana
pelaku kejahatan. Instrumen penilaian risiko dan
kebutuhan ini terdiri dari serangkaian item yang
digunakan untuk mengumpulkan data perilaku kriminal
dan sikap yang mengindikasikan dengan risiko residivis.
Narapidana dapat diklasifikasikan sebagai tinggi, sedang,
atau residivis beresiko rendah. Instrumen penilaian terdiri
dari faktor risiko statis dan dinamis. Faktor risiko statis
tidak berubah (misalnya, usia pada penangkapan atau
jenis kelamin pertama), sedangkan faktor risiko dinamis
dapat berubah sendiri atau diubah melalui intervensi
(misalnya, usia saat ini, tingkat pendidikan, atau status

8 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


pekerjaan). Hasil studi ini secara umum menunjukkan
bahwa instrumen penilaian yang paling umum digunakan
dengan tingkat akurasi yang moderat, dapat memprediksi
siapa yang berisiko untuk residivisme dengan kekerasan.
Di Indonesia, Assessment Risiko dan Assessment
Kebutuhan Bagi Narapidana Dan Klien Pemasyarakatan,
telah dinyatakan dalam Peraturan Menteri Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2013, yang dilakukan bagi Narapidana yang sisa masa
pidananya lebih dari 1 (satu) tahun, dilaksanakan pada
awal masa pidana; dan sebelum pelaksanaan asimilasi
atau reintegrasi sosial. Instrument baku yang disusun oleh
direktorat jenderal pemasyarakatan telah digunakan
memuat berbagai pertanyaan dengan lima dimensi
(security, saftety, stability, health and society), di antaranya,
menyangkut aspek psikologis, seperti riwayat kekerasan
dan penyesuaian sosial.
Kajian psikologi klinis di penjara yang cukup banyak
dipublikasikan berkaitan dengan konseling dan
psikoterapi, terutama mengatasi gejala kecemasan dan
depresi narapidana. Cognitive behavior therapy (CBT) dan
terapi berbasis mindfulness memberikan hasil yang cukup
efektif bagi narapidana yang mengalami depresi dan
kecemasan (Yoon, Slade, & Fazel, 2017). Penelitian
pemberian terapi pada narapidana wanita di Lembaga
pemasyarakatan wanita di Bandung menemukan terapi
EMDR (Eye Movement Desensitization And Reprocessing)
yang diberikan kepada 7 narapidana wanita menunjukkan
mampu menurunkan tingkat traumatik kategori tinggi
setelah dilakukan 4 kali sesi/pertemuan (Susanty, 2017).
Studi Joseph, (2017) mengatasi kecemasan narapidana
menjelang bebas bersyarat dengan terapi penerimaan dan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 9


komitmen menghasilkan gambaran bahwa setelah 5 sesi
terapi ini terbukti dapat mengurangi kecemasan pada
warga binaan menjelang pembebasan bersyarat dengan
menunjukan perubahan ke arah yang positif, dengan
dipengaruhi juga oleh kelompok dukungan narapidana
lain. Sejumlah hasil riset tersebut menunjukkan manfaat
penerapan psikologi klinis di penjara.
Fenomena lain yang sering kali menarik perhatian
untuk penelitian di lembaga pemasyarakatan adalah
kerusuhan dan kekerasan. Apalagi peristiwa kerusuhan di
lembaga pemasyarakatan di Indonesia hampir setiap
tahun terjadi. Penjelasan salah satu petugas atas
kerusuhan yang terjadi di Lapas Banceuy 2016, seperti
dikutip dari Media Indonesia (23 April 2016), Kerusuhan
dilakukan oleh salah seorang narapidana yang diamankan
kepolisian karena positif mengkonsumsi narkoba,
mengalami tekanan psikis, karena tidak ada memperoleh
pengurangan masa tahanan (remisi), sehingga meluapkan
emosi dengan memicu kerusuhan terhadap narapidana
lain. Penjelasan ini memperlihatkan bahwa kerusuhan dan
kekerasan berasosiasi dengan frustrasi dan kelemahan
mengelola tekanan emosional.
Namun sejumlah penelitian disiplin ilmu psikologi
menjelaskan fenomena kerusuhan dan kekerasan dengan
perspektif berbeda. Eksperimen klasik di penjara yang
dilakukan Zimbardo (1971) yang mempelajari apa yang
akan terjadi jika orang normal ditempatkan dalam penjara
dengan perlakuan yang kejam. Berdasarkan eksperimen
itu disimpulkan bahwa orang biasa yang sehat secara
psikologis dapat melakukan kekerasan (penjaga yang
bermain peran berubah melakukan kekerasan
sebenarnya), jika dihadapkan pada situasi yang

10 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


memungkinkan mereka melakukannya terhadap para
tahanan. Towl (2006) menyimpulkan dari sejumlah hasil
penelitian yang mengeksplorasi kekerasan di penjara
mengidentifikasi adanya faktor psikologis yang
berkontribusi seperti perilaku negatif terhadap staf dan
peraturan penjara, sikap empati dan pro-korban,
keyakinan tentang agresi, kemarahan, agresi dan
permusuhan, ikatan sosial dan kesepian emosional, harga
diri sosial dan kesehatan. Dalam laporan penelitiannya
(Pate, 2008) menulis Salah satu faktor penyebab
kerusuhan di penjara adalah masalah overcrowding,
mengisi sel untuk dua orang dengan tiga orang, sehingga
kondisi menjadi tidak sehat, overpopulated, yang
diasosiasikan dengan rendahnya psychological well-being.

C. Area studi psikologi klinis dalam pemasyarakatan


Marisa Mauro, seorang psikolog klinis yang bertugas
di the California Department of Corrections and
Rehabilitation, menyatakan seperti yang ditulis di
Psychology Today (16 April 2009):
Saya bekerja dengan beberapa narapidana dengan
kondisi menantang memiliki ideasi bunuh diri aktif, niat
atau rencana memiliki ideasi, niat atau rencana untuk
menyakiti orang lain, sebagai akibat dari gangguan mental,
sehingga tidak mengkonsumsi makanan, berpakaian, tidur
di kamar, atau kegiatan lain dari kehidupan sehari-hari
meskipun semua hal itu tersedia.
Tantangan tugas yang dihadapi Mauro, tidak
berbeda jauh dengan situasi yang dihadapi petugas
pemasyarakatan dan psikolog yang bertugas. Sehingga
membutuhkan pemahaman psikologi klinis yang baik
untuk melihat masalah psikologi klinis secara lebih

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 11


komprehensif pada tingkatan analisis individual,
kelompok, organisasi dan masyarakat.
Sejumlah psikolog klinis di penjara pada sejumlah
negara telah memiliki tugas utama yang terdeskirpsi
secara rinci dan jelas, dengan metode dan prosedur kerja
yang telah terstandarisai, bukan saja oleh institusi yang
berwenang dalam manajemen penjara, tetapi juga
organisasi profesinya. Tugas-tugas rutin yang dilakukan
para psikolog klinis, di antaranya mental health screening
terhadap narapidana yang baru masu ke penjara, dengan
menggunakan quick mental health screening. Psikolog
klinis juga melakukan emergency duty, ketika psikolog
harus selalu siap dihubungi ketika narapidana mengalami
krisis kesehatan mental yang darurat. Di samping itu,
psikolog di penjara melakukan pelayanan rutin
memberikan evaluasi, diagnosis untuk kebutuhan
program treatment terhadap narapidana yang
membutuhkan. Terakhir, psikolog juga memberikan
konseling dan terapi secara individual dan kelompok
sebagai bentuk pelayanan kesehatan mental, terhadap
narapidana yang teridentifikasi mengalami gangguan
mental, gangguan kepribadian (seperti anti sosial),
ketergantungan narkoba, depresi dan kecemasan. Psikolog
klinis secara khusus juga dapat melaksanakan tugas
asesmen dan memberikan pendapat profesional
berdasarkan permintaan pengadilan terhadap tahanan,
atau untuk tujuan pembebasan bersyarat.
Ombudsman RI melihat perlunya peningkatan
kualitas dan akses terhadap fasilitas kejiwaan bagi para
tahanan maupun narapidana di lembaga pemasyarakatan
(lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) (Kompas.com, 7
Mei 2018). Sebenarnya International Association for

12 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Correctional and Forensic Psychology telah menetapkan
standar pelayanan psikologi di tahanan, penjara, fasilitas
koreksional dan lembaga lainnya. Tujuan utamanya adalah
memastikan adanya proses yang tertib, program dan
proses terintegrasi bagi sejumlah tenaga profesional
kesehatan mental yang berkualitas untuk
mengidentifikasi, memonitor, menangani, dan mengatur
tindak lanjut layanan kesehatan mental bagi yang sakit
mental yang serius pada tahanan sakit, narapidana dan
anak remaja yang di pidana.
Magaletta, Patry, Dietz, & Ax (2007)
Mengidentifikasi area pengetahuan psikologi klinis di
lingkungan institusi koreksional, seperti lembaga
pemasyarakatan. Penguasan tugas bidang psikologi klinis
di lembaga pemasyarakatan, meliputi :
1. Psikopatologi, menguasai pengetahuan tentang tanda
dan simptom gangguan mental yang umum ditemukan
pada narapidana di populasi lembaga pemasyarakatan.
2. Pencegahan bunuh diri, menguasai pengetahuan
tentang bagaimana mengenali, menilai gejala bunuh
diri narapidana, termasuk menangani pasien yang
pernah mencoba bunuh diri dan tindak lanjutnya.
3. Faktor lingkungan, komunikasi dan relasi
interdepartemen, menguasai pengetahuan tentang
peran psikolog dalam mengelola penyakit mental di
lembaga pemasyarakatan, bekerja sama dengan
lembaga keagamaan, kepolisian dan pengambil
kebijakan dalma pelayanan kesehatan mental
4. Safety, menguasai pengetahuan tentang pemahaman
kebutuhan untuk strategi perlindungan diri terhadap
pasien narapidana yang mempunyai riwayat

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 13


melakukan kekerasan, menghadapi respon intimidatif
dari narapidana.
5. Penghidaran konfrontasi, menguasai pengetahuan
tentang kebijakan dan aturan dalam menggunakan
tekanan/paksaan ketika menghadapi narapidana.
6. Isu etika, menguasai pengetahuan tentang etika yang
berlaku dalam pelayanan psikologi dari organisasi
tempat kerja dan organisasi profesi, menjaga
kerahasiaan, dan mengambil keputusan yang tepat
ketika menghadapi dilema etika.
7. Psikofarmakologi/medis, menguasai pengetahuan
tentang bagaimana menggunakan konsultasi psikiatrik
dalam kasus-kasus kejiwaan di lembaga
pemasyarakatan.
8. Psikopati klinis, menguasai pengetahuan tentang teori,
konstruk dan karakter psikopat, terutama
hubungannya dengan kekerasan.

14 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Daftar Pustaka

Agusriadi. (2018). Pembinaan narapidana yang mengalami


gangguan jiwa di dalam Lembaga pemasyarakatan.
Universitas Syiah Kuala.
Hofer, P. (1988). Prisonization dan residivisme : A
psychological perspective. International Journal of
Offender Therapy and Comparative Criminology, 32(2),
95–106. https://doi.org/0803973233
Joseph, M. C. (2017). Penerapan terapi penerimaan dan
komitmen untuk mengurangi kecemasan pada
narapidana menjelang pembebasan bersyarat di Lapas
X. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora Dan Seni, 1(2),
239–247.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. (2016). Kematian
tahanan, kegagalan pemidanaan. Jakarta.
Magaletta, P. R., Patry, M. W., Dietz, E. F., & Ax, R. K. (2007).
What is correctional about clinical practice in
corrections? Criminal Justice and Behavior, 34(1), 7–21.
https://doi.org/10.1177/0093854806290024
McCalllum, D. (2004). Personality and dangerousness
Genealogies of antisocial personality disorder. Cambridge:
Cambridge University Press.
Pabbathi, L. R., Naik, U. S., Mandadi, G. D., & Bhogaraju, A.
(2014). Personality assessment of offenders and
mentally ill offenders. AP J Psychol Med, 15(1), 55–59.
Pate, J. K. (2008). Collective behavior and the factors that cause
prison riots. Maryville College.
Plante, T. G. (2005). Contemporary Clinical Psychology
(Second Edi). New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Susanty, E. (2017). Penanganan gejala traumatik dengan
terapi EMDR (Eye movement desenzitization and
reprocessing) pada narapidana wanita di Lapas Klas IIA

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 15


Bandung Jawa Barat. INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi,
8(1), 1–15.
Towl, G. J. (2006). Psychological Research in Prisons. In G. J.
Towl (Ed.), Psychological Research in Prisons.
https://doi.org/10.1002/9780470775073
Yoon, I. A., Slade, K., & Fazel, S. (2017). Outcomes of
psychological therapies for prisoners with mental health
problems: A systematic review and meta-analysis.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 85(8), 783–
802. https://doi.org/10.1037/ccp0000214
Ghiasi N, Singh J. Psychiatric Illness And Criminality.
[Updated 2020 Feb 3]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Plante, Thomas. (2005). Contemporary Clinical Psychology.
New York: Wiley.

16 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


FAKTOR DETERMINAN REMAJA PELAKU
PENCURIAN: PERSPEKTIF TEORI KONTROL
SOSIAL
Rizki Ayu Hanifah

A. Fenomena Anak Berhadapan dengan Hukum


Masa remaja adalah masa peralihan, saat individu
tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang
memiliki kematangan. Pada masa tersebut ada dua hal
penting yang menyebabkan remaja melakukan
pengendalian diri, pertama hal yang bersifat eksternal,
yaitu perubahan lingkungan, dan yang kedua, hal bersifat
internal, yaitu karakteristik dalam diri remaja yang
membuat remaja relatif lebih bergejolak dibandingkan
dengan masa perkembangan lainnya (Gunarsa, 2004).
Delinkuensi adalah suatu bentuk menyimpang,
yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi
yang sangat labil dan defektif. ABH (Anak berhadapan
dengan hukum) selain pelaku juga sebagai korban, dalam
proses peradilan pidana. Hal ini terjadi saat ABH menjalani
proses pemeriksaan yang hampir sama dengan proses
peradilan pidana pada orang dewasa. Pada saat proses
tersebut diterapkan pada anak, anak akan mengalami
tekanan baik fisik maupun mental. Proses ini pada
dasarnya adalah sebuah viktimisasi dalam proses
peradilan. Namun pada kenyataannya masih saja ada anak
yang ditangkap, ditahan, bahkan di penjara.
Fenomena kenakalan anak yang terjadi pada tahun
2019 dapat dilihat pada tabel 1, yang menunjukan
tingginya angka anak pidana di Indonesia, sebagai
tergambar pada Tabel 1.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 17


Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan dari
bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2019 anak
yang dipidana mengalami penurunan jumlah. Kenaikan
jumlah anak pidana terjadi pada bulan Februari, Maret,
Mei dan Oktober.
Tabel 1.
Data Anak didik pemasyarakatan pada Tahun 2019
Anak
Bulan
Pidana
Januari 2.751
Februari 2.756
Maret 2.759
April 2.515
Mei 2.562
Juni 2.464
Juli 2.424
Agustus 2.403
September 2.281
Oktober 2.436
November 2.354
Desember 1.854
Sumber : Sistem Data Base Pemasyarakatan

Studi kejahatan anak yang terekam berdasarkan


penelitian kemasyarakatan (Litmas) Balai Pemasyarakatan
(Bapas) Klas. I Bandung menemukan berbagai bentuk
kejahatan yang menonjol (Tabel 2)
Jenis tindak pidana pada litmas anak Bapas Klas I
Bandung menunjukan bahwa jumlah terbanyak adalah
litmas anak dengan kasus/jenis tindak pidana pencurian
dengan jumlah 113 (Seratus Tiga Belas) kasus. Selanjutnya
Tindak pidana pengeroyokan dengan jumlah 69 (enam
puluh sembilan) kasus. Kemudian tindak pidana
pencabulan dengan jumlah 61 (Enam Puluh Satu) kasus.

18 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Dalam mengakomodasi prinsip-prinsip
perlindungan anak, terutama prinsip non-diskriminasi
yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah
mengatur secara tegas mengenai keadilan restoratif dan
diversi. Peraturan ini dimaksudkan untuk menghindari
dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga
dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dan anak dapat kembali ke
dalam lingkungan sosial yang wajar.
Tabel 2.
Jenis Tindak Pidana pada Litmas Anak Bapas Kelas I
Bandung Tahun 2019
Jenis Tindak
Jumlah
Pidana
Trafficking 2
UU ITE 2
Pencabulan 61
Kekerasan
Terhadap Anak 32
Narkoba 2
Penipuan 1
Lakalantas 5
Pengeroyokan 69
Penganiayaan 10
Senjata api 11
Pencurian 113
Pemerasan 2
Pengrusakan 8
Penadahan 5
Total 326
Sumber : Data Litmas Bapas Kelas I Bandung

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 19


Anak Nakal adalah : anak yang melakukan tindak
pidana; dan anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Kenakalan sering kali mengalami
peningkatan, perkembangan tindak pidana yang dilakukan
anak baik kualitas maupun modus operandinya. Fenomena
ini seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku
(Sambas, 2010).
Kenakalan anak erat kaitannya dengan
kriminalitas anak, dan menurut Santrock, kenakalan anak
mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial
seperti tindakan berlebihan di sekolah, pelanggaran-
pelanggran seperti melarikan diri dari rumah sampai
perilaku-perilaku kriminal. Kenakalan anak tidak hanya
tindakan kriminal saja, melainkan segala tindakan yang
dilakukan oleh anak yang dianggap melanggar nilai-nilai
sosial, sekolah ataupun masyarakat (Santrock, 2003).
Dari kenakalan-kenakalan yang telah dilakukan
remaja pasti ada faktor yang mempengaruhinya untuk
berbuat kenakalan. Perilaku menyimpang yang dilakukan
oleh remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, mengingat
tingkat kelabilan yang ada dalam diri anak, menurut Romli
Atmasasmita dibagi menjadi 2 (dua) kelompok motivasi,
yaitu : Motivasi intrinsik pada kenakalan adalah faktor
intelegentia; faktor usia; faktor kelamin; dan faktor
kedudukan anak dalam keluarga. Sedangkan faktor yang
termasuk motivasi ekstrinsik adalah faktor rumah tangga;
faktor pendidikan dan sekolah; faktor pergaulan anak; dan
faktor media media (Soetodjo, 2006).

20 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


B. Delinkuensi dalam perspektif teori kontrol sosial
Teori Kontrol Sosial (Social Bonds Theory)
dikemukakan oleh Travis Hirschi pada tahun 1969 dalam
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun1997 tentang
Pengadilan Anak menyatakan bahwa bukunya yang
berjudul Causes of Delinquency. Ikatan-ikatan yang
membentuk basis dari teori delinkuensi antara lain adalah:
keterikatan, komitmen, keterlibatan, dan keyakinan.
Pertama Keterikatan dalam Ikatan Sosial. Dalam teori
delinkuensi Hirschi, keterikatan (attachment) adalah
kedekatan emosional anak muda dengan orang dewasa,
dengan orang tua yang biasanya merupakan sosok
terpenting untuk mereka. Kedekatan ini melibatkan
komunikasi yang akrab dan perasaan bahwa orang tua
tahu apa yang mereka lakukan dan dimana mereka.
Kekuatan ikatan ini bergantung pada sejauh mana anak
menghabiskan waktu dengan orang tua dan “berinteraksi
dengan mereka di tingkat personal” (Lilly, 2015).
Kedua, ikatan komitmen sosial. Komitmen
(commitment) menyebabkan anak-anak muda menurut
atau mengikuti konformitas (Briar & Piliavin, 1965).
Karena mereka telah banyak berjuang demi kesuksesan di
sekolah, misalnya, mereka tidak akan “menghancurkan
masa depannya” dengan melakukan tindakan yang salah.
Ini adalah komponen rasional dari ikatan sosial sebab
komitmen merupakan bagian dari kalkulasi manfaat-biaya
(cost-benefit). Orang yang sangat berkomitmen akan
merasa delinkuensi adalah irasional jika dilakukan. Maka,
mereka mengendalikan diri dengan pertimbangan ini.
Ketiga, ikatan keterlibatan sosial. Keterlibatan
(Involvment) adalah cara lain untuk mengemukakan
bahwa penolakan akses ke peluang kejahatan akan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 21


menurunkan kemungkinan terjadinya delinkuensi. Diskusi
teori Hirschi tidak meletakkan keterlibatan dalam term
peluang (opportunity), namun ada gunanya jika kita
meletakannya di sana. Dia menunjukan fakta bahwa
aktivitas konvensional yang terstruktur akan menutup
kemungkinan untuk melanggar. Pendapat ini sekarang
lazim dengan teori kejahatan environmental atau teori
peluang kejahatan.
Komponen terakhir yaitu ikatan keyakinan sosial.
Hirschi (1969) menggunakan istilah keyakinan (belief)
lebih secara sosiologis ketimbang psikologis. Dia tidak
menggunakan istilah ini untuk mengindikasikan
pandangan yang dipegang teguh; sebaliknya, dia
menggunakan istilah ini untuk menunjukkan persetujuan
dalam pengertian setuju pada nilai-nilai dan norma
tertentu dengan tingkat persetujuan tertentu. Dalam
pengertian ini, keyakinan tidak dilihat sebagai kredo
personal yang tidak diinternalisasikan namun sebagai
kesan dan opini yang sangat bergantung pada penguatan
sosial yang konstan. Jika tingkat persetujuannya lebih
besar, maka ia akan setara dengan keyakinan di mana
individu memberi persetujuan dan kerjasama sepenuh
hati. Poinnya yaitu bahwa keyakinan tidak dipandang
sebagai keadaan batin yang bebas dari situasi; keyakinan
dianggap sebagai posisi moral yang hati-hati demi
mendapatkan dukungan sosial berdasarkan keterikatan
pada sistem sosial konvensional.

22 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


tinggi
25%

rendah
75%

Gambar 1. Kategori Tingkat Attachment


Pada gambar 1 (kategori tingkat attachment)
menunjukan bahwa dari 92 dokumen litmas anak yang
diteliti sebanyak 69 orang atau sebesar 75% berada pada
kategori rendah dan sisanya sebanyak 23 orang atau
sebesar 25% berada pada kategori tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa kurangnya attachment dapat
mempengaruhi anak berbuat kenakalan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tingkat attachment yang rendah dapat
berakibat anak berbuat kenakalan. Karena dalam diri anak
tersebut tidak merasakan adanya kontrol orang tua secara
langsung saat mereka akan berbuat menyimpang.
Gambar 2 memperlihatkan grafik kategori tingkat
commitment yang menunjukan bahwa dari 92 dokumen
litmas anak yang diteliti sebanyak 76 orang atau sebesar
83% berada pada kategori rendah dan sebanyak 16 orang
atau sebesar 17% sisanya berada pada kategori tinggi. Hal
ini menunjukan bahwa kurangnya commitment dapat
mempengaruhi anak berbuat kenakalan. Dapat
disimpulkan, dengan melihat tabel kategori tingkat
commitment di atas bahwa anak yang memiliki tingkat
commitment yang rendah akan mudah untuk melakukan
perbuatan yang menyimpang. Karena dalam dirinya tidak

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 23


mersakan kerugian dari perbuatan menyimpang yang
akan dilakukannya.
tinggi
17%

rendah
83%

Gambar 2. Kategori Tingkat Commitment


Berdasarkan grafik kategori tingkat involvment
(gambar 3), menunjukkan bahwa dari 92 dokumen litmas
anak yang diteliti sebanyak 89 atau 97% berada pada
kategori rendah dan sebanyak 3 orang atau sebesar 3,3%
sisanya berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukan
bahwa kurangnya involvment dapat mempengaruhi anak
berbuat kenakalan. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya
keterlibatan anak dalam aktivitas yang positif berdampak
pada besarnya peluang anak melakukan kenakalan.
tinggi
3%

rendah
97%

Gambar 3. Kategori Tingkat Involvment

24 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Kategori tingkat belief menunjukan bahwa dari 92
litmas anak yang diteliti sebanyak 51 orang atau sebesar
55% berada pada kategori rendah dan sebanyak 41 orang
atau sebesar 45% sisanya berada pada kategori tinggi. Hal
ini menunjukan bahwa rendahnya tingkat belief dapat
mempengaruhi anak berbuat kenakalan. Dapat
disimpulkan bahwa apabila keyakinan anak pada validitas
moral dari hukum dan aturan lemah atau dilemahkan
maka kemungkinan tindakan kriminal itu terjadi.
Hasil analisa data berdasarkan dimensi
attachment, commitment, involvment, dan belief secara
bersama-sama saling mempengaruhi kenakalan remaja
kasus pencurian di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung.
Dari keempat dimensi tersebut dimensi involvmentlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap kenakalan anak
dengan persentase 89%. D imana dimensi ini terdiri dari
enam variabel, di antaranya : klien aktif dalam kegiatan
akademik, yang menunjukkan bahwa lebih banyak remaja
yang tidak aktif dalam kegiatan ini sebesar 97,8%; klien
aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler, yang menunjukan
bahwa lebih banyak remaja yang tidak aktif dalam
kegiatan ekstrakulikuler sebesar 85,9%; klien sering
beribadah di tempat peribadatan, menunjukkan bahwa
lebih banyak remaja yang jarang beribadah di tempat
peribadatan sebesar 97,8%; klien suka membantu orang
tua, menunjukkan bahwa mayoritas remaja suka
membantu orang tuanya sebesar 46,7%; klien merupakan
anak yang tidak memiliki kemauan, menunjukkan bahwa
lebih banyak emaja yang memiliki kemauan sebesar
53,3%; dan klien mengikuti sekolah agama di daerah
tempat tinggalnya, yang menunjukkan bahwa mayoritas
remaja tidak mengikuti sekolah agama di daerah tempat

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 25


tinggalnya sebesar 86,4%. Dari keenam variabel tersebut
menunjukan bahwa mayoritas remaja memilih untuk tidak
mengikuti kegiatan-kegiatan positif, justru mereka lebih
senang bergaul dengan perkumpulan yang negatif untuk
mengisi waktu luangnya.
Selain keempat dimensi Social Bonds Theory ada
beberapa faktor lain yang turut berpengaruh terhadap
kenakalan remaja yang ditemukan dalam litmas, yaitu:
jenis kelamin responden seluruhnya adalah laki-laki.
Remaja berjenis kelamin laki-laki cenderung lebih berani
dalam melakukan tindakan menyimpang; Usia responden
seluruhnya adalah remaja, pada rentang usia ini secara
psikis kondisi mentalnya masih labil dan cenderung belum
berfikir panjang atas adanya dampak negatif dari
perbuatannya.
Rentang usia pertengahan hingga akhir remaja
adalah puncaknya anak berbuat kenakalan; Tingkat
pendidikan responden mayoritas adalah sekolah
menengah pertama, hal ini berpengaruh terhadap
terjadinya kenakalan remaja. Karena semakin rendah
tingkat pendidikan seseorang maka semakin banyak
waktu luang yang memungkinkan anak dalam berbuat
kenakalan; usia orang tua klien, semakin muda usia orang
tua maka semakin rendah tingkat kematangan orang tua
dalam mendidik dan mengarahkan anaknya; Pendidikan
terakhir orang tua, pendidikan yang rendah akan
mempengaruhi cara orang tua mendidik anak-anaknya;
Pekerjaan orang tua, pekerjaan yang tergolong rendah
menunjukkan bahwa ekonomi keluarga tersebut rendah,
hal ini akan mendukung seorang remaja melakukan
tindakan menyimpang dikarenakan faktor ekonomi
keluarganya; dan mayoritas tingkat usia teman

26 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


sepermainan klien, adalah remaja yang seusia dengannya.
Anak yang seusia cenderung akan melakukan interaksi
lebih intim dan cenderung menyimpang.

C. Dimensi kontributor terbesar delinkuensi remaja


melakukan pencurian
Keempat dimensi dari teori Social Bonding Theory
yaitu attachment, commitment, involvment, dan belief yang
rendah secara bersama-sama saling mempengaruhi
kenakalan remaja pada klien kasus pencurian di Balai
Pemasyarakatan Klas I Bandung. Attachment yang rendah
sebesar 75% dapat berakibat remaja berbuat kenakalan.
Karena dalam diri remaja tersebut tidak merasakan
adanya kontrol orang tua secara tidak langsung saat
mereka akan melakukan penyimpangan.
Tingkat commitment yang rendah sebesar 83%
memudahkan remaja untuk melakukan perbuatan yang
menyimpang. Di dalam diri remaja tidak memikirkan
kerugian yang akan didapatkannya di masa mendatang
dari perbuatan menyimpang yang akan dilakukannya.
Selanjutnya involvment yang rendah sebesar 97%
berakibat remaja melakukan penyimpangan. Karena
melibatkan anak pada aktifitas positif akan menurunkan
kemungkinan terjadinya delinkuensi, begitupun
sebaliknya remaja yang tidak memiliki kegiatan positif
membuat kemungkinan delinkuensi meningkat.
Setelah itu belief yang rendah sebesar 55% dapat
mempengaruhi remaja berbuat kenakalan. Karena remaja
tersebut hanya sekedar mengetahui apa yang mereka
lakukan itu salah, namun tidak diyakini dalam dirinya
bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan. Dari
keempat dimensi di atas, Involvment adalah dimensi yang

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 27


paling berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Karena
mayoritas remaja memilih untuk tidak mengikuti
kegiatan-kegiatan positif, sebaliknya mereka lebih senang
bergaul dengan perkumpulan yang negatif untuk mengisi
waktu luangnya. Sehingga dimensi ini berpengaruh besar
terhadap kenakalan yang dilakukan oleh remaja kasus
pencurian.
Selain keempat dimensi di atas ada beberapa
faktor yang turut berpengaruh terhadap kenakalan remaja
kasus pencurian, antara lain yaitu : jenis kelamin, usia
responden, tingkat pendidikan, usia orag tua, pendidikan
terakhir orang tua, pekerjaan orang tua, dan usia teman
sepermainan. Kesimpulan yang dapat diambil dari Social
Bonds Theory adalah keempat dimensi yaitu attachment,
commitment, involvment, dan belief sangat berpengaruh
pada terjadinya kenakalan remaja. Karena semua dimensi
berada pada kategori rendah. Dan dimensi involvment
sebagai determinan kriminogen terhadap klien remaja
kasus pencurian.

28 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Daftar Pustaka

Briar, S., and Piliavin. I (1965). Delinquency, Situational


Inducement, and the Commitment to Conformity. Social
Problems 13:35-45.
Gunarsa, Singgih D (2004). Psikologi Praktis Anak, Remaja &
Keluarga. Cetakan 7. Jakarta : PT. Gunung Mulia.
Hirschi, Travis (1969). Causes of Delinquency. Barkeley:
University of Media Group.
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Lilly J. Robert (2015). Teori Kriminologi Konteks dan
Konsekuensi. Jakarta : Prenada Media Group.
Sambas, Nandang (2010). Pembaruan Sistem Pemidanaan
Anak di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Santrock, J.W (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta:
Erlangga.
Soetodjo, Wagiati (2006). Hukum Pidana Anak. Bandung : PT.
Refika Aditama.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 29


CRIMINAL PROFILING NARAPIDANA KASUS
KEJAHATAN SEKSUAL
Putri Rahmawaty Herlambang

A. Fenomena kejahatan seksual


Saat ini kejahatan seksual merupakan suatu
tindakan kehajatan yang sering terjadi dalam kehidupan
masyarakat kejahatan seksual suatu bentuk perilaku yang
memberikan dampak yang tidak menyenangkan terhadap
korban yang mendapatkan perlakuan tersebut. Banyak
kasus pelecehan seksual yang dilakukan mulai dari yang
sekedar gurauan yang bersifat seksual yang tidak
diinginkan sampai tindakan yang hampir menjurus ke
pemerkosaan. Tindak kejahatan yang dapat digolongkan
dalam kejahatan seksual antara lain pemerkosaan,
perzinahan, pelecehan seksual maupun pencabulan.
Berdasarkan data Sistem Database
Pemasyarakatan (SDP) Direktorat Jenderal Pemsyarakatan
menunjukan bahwa jumlah narapidana kasus kejahatan
seksual dan perlindungan anak sebanyak 22.132 orang.
Jumlah ini menduduki urutan kedua setelah kasus
pencurian dalam jenis kejahatan pidana umum. Sedangkan
menurut data Badan Pusat Statistik jumlah kejadian
terhadap sesusilaan di Indonesia tertinggi pada tahun
2017 dengan angka kejadian 5.513. kemudian turun
menjadi 5.258 pada tahun 2018. Perununan angka
kejadian tersebut bukan berarti dapat diperspesikan
bahwa masyarakat telah sadar tentang kejahatan seksual.
Karena angka tersebut masih dapat digolongkan cukup
tinggi jika dibanding pada tahun 2015 Indonesia pernah
mencapai angka 5.051 kejadian.

30 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Fenomena kasus kejahatan seksual di atas
berdapampak pada meningkatnya penghuni Lapas dan
rutan di Indonesia. Karena tingginya pidana penjara bagi
pelaku kejahatan seksual. Menurut undang-undang No. 35
tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
pelaku tindak kejahatan seksual meliputi persetubuhan
(Pasal 76D), kekerasan (Pasal 76E), dan pencabulan (Pasal
76E) yang terbukti bersalah akan mendapat pidana
penjara paling singkat 5 tahun hingga paling lama 15
tahun penjara. Serta menurut KUHP menyebutkan bahwa
masa hukuman terhadap kejahatan seksual paling lama 12
tahun penjara.
Saat ini Indinesia memiliki aturan hukuman
alternative bagi pelaku kejahatan seksual, yaitu hukuman
kebiri kimia. Yang tercantum pada Undang-Undang No. 17
Tahun2016. Pemberlakukan hukuman kebiri kimia baru
dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada kasus
pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto oleh seorang
pemuda bernama Muh Aris (20) pada 18 Juli 2019. Sampai
saat penerapan kebiri kimiawi masih menimbulkan pro
dan kontra. Hukuman kebiri kimia tidak bisa menjadi
solusi tunggal untuk menanggulangi tingginya kasus
kejahatan seksual. Hal ini menjadikan hukuman penjara
sebagai jalan tengah untuk memberikan efek jera pada
pelaku kejahatan seksual. (Hidayat, 2019)
Tingginya hukuman penjara pada kasus kejahatan
seksual memberikan dampak bagi pelaksnaan sistem
pemasyarakatan yang dilaksanakan Lapas dan rutan, yaitu
overcrowded (masalah-masalah yang timbulkan
dikarenakan meningkatnya jumlah narapidana dan
tahanan di dalam lapas dan rutan). Salah satu masalah

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 31


yang diakibatkan oleh overcrowded adalah tidak
optimalnya program pembinaan. Tidak optimalnya
program tersebut karena jumlah penghuni yang terlalu
banyak. Program pembinaan yang dilaksanakan
diharapkan dapat menjadi bekal untuk narapidana hidup
bermasyarakat setelah bebas tetapi realitanya program
pembinaan Lapas dan Rutan hanyalah untuk mengisi
waktu luang narapidana di dalam Lapas. Program
pembinaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
mengakibatkan resiko pengulangan tindak pidana
(residivis) sangat besar. Oleh karena itu penelitian
mengenai criminal profiling narapidana kasus kejahatan
seksual untuk mengetahui faktor kriminogen narpidana
dapat membantu petugas dalam memberikan pembinaan
yang sesuai dan diharapkan akan menurunkan tingkat
residivisme narapidana.

B. Profile Kejahatan (criminal profiling)


Menurut Turvey (2012), Criminal Profiling ialah
kegiatan pencarian hubungan antara karakteristik
kriminal secara fisik, emosional kebiasaan, vokasi serta
psikologi. Criminal Profiling juga dapat diartikan sebagai
pekerjaan yang mengidentifikasi ciri-ciri fisik, perilaku dan
demografis dari pelaku kejahatan berdasarkan aksi tindak
kejahatannya (Muti’ah, 2015). Profil kriminal
menggambarakan tentang kebiasaan, pembawaan
personal, kecenderungan, serta karakteristik geografis-
demografis pelaku kejahatan meliputi jenis kelamin, usia,
pendidikan, status sosio-ekonomi, asal tempat tinggal.
Rogers (2003) dan Turvey (2008) berpendapat
bahwa Kompetensi psikologis diperlukan untuk
menyimpulkan kebisaan pelaku (signature behavior) dan

32 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


motif (modus operandi) pelaku kejahatan. Modus
operandi dapat mengindikasikan pendidikandan
keterampilan yang dimiliki pelaku kejahatan serta tingkat
pengalaman pelaku kejahatan. Dengan melihat modus
operandi dapat terlihat apakah suatu kejahatan dilakukan
dengan terencana atau tidak. Sedangkan signature
behaviors merupakan setiap tindakan yang mencerminkan
sikap emosional dan psikologi pelaku yang menyebabkan
terjadinya suatu tindak kejahatan. Bahkan pelaku
kejahatan menganggap sebagai sebuah kebiasaan dan
kebutuhan. (meliputi: mencari untung, hasrat berkuasa,
rasa tamak, rasa marah, balas dendam, ingin berbuat sadis
atau perilaku tak wajar, lainnya, dan sebagainya)
(Muti’ah,2015;20)
Beberapa Aspek yang digunakan untuk
memahami Criminal Profiling pelaku, antaralain:
1. Biologis. Aspek ini didasarkan pada fungsi struktur
penentu sebagai akibat pengaruh dari gen, kromosom,
hormonal, kimia, atau tipe tubuh.
2. Psikologis. Aspek ini didasarkan pada adanya masalah
emosional sehingga menyebabkan pembiasaan perilaku
kejahatan, penalaran serta pola pikir, selain itu
kepribadian sosiopatik juga dapat mempengaruhi.
Terdapat beberapa pendekatan psikologi yang dapat
digunakan dalam proses profiling pelaku kejahatan di
antaranya; pendekatan kognitif, pendekatan
psikoanalisis, serta pendekatan perilaku kejahatan.
3. Sosial-budaya. Aspek ini mendorong seseorang untuk
melakukan tindak kejahatan, di antaranya symbolic
interaction, socialroles, dan teori penyimpangan
budaya.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 33


C. Kejahatan seksual
Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang
melanggar norma–norma dan melanggar hukum sosial,
sehingga masyarakat menentangnya. Secara yuridis
formal, kejahatan ialah bentuk dari tingkah laku yang
merugikan masyarakat dan bertentangan dengan moral
kemanusiaan. Kejahatan juaga anti sosial dan melanggar
hukum serta undang- undang pidana yang berlaku. Saat ini
kejahatan seksual dikategorikan menjadi beberapa jenis
yaitu:
1. Non-Konsensual. Kejahatan seksual dalam jenis ini
memaksa perilaku seksual fisik pada korbannya seperti
penyerangan seksual atau pemerkosaan.
2. Psikologis bentuk pelecehan. Kejahatan seksual dalam
jenis ini memberikan pengaruh spikis pada korban
seperti perdagangan manusia, pelecehan seksual,
eksposur tidak senonoh, dan mengintai tapi bukan
eksbisionisme.
3. Penggunaan posisi kepercayaan untuk tujuan seksual,
Contoh kejahatan seksual dalam jenis ini seperti
kekerasan seksual, dan incest, pedofilia.
Dalam hal kasus kejahatan seksual, mayoritas
korban akan mengalami trauma, stress dan gangguan
psikis lainnya. Tak hanya itu, bahkan yang parah adalah
korban yang mengalami kejahatan seksual jika tidak
diberikan penanganan yang tepat nantinya akan berubah
menjadi pelaku kejahatan seksual. Oleh karena itu
pengetahuan mengenai faktor-faktor kriminogen pada diri
narapidana kasus kejahatan seksual sangat penting.
Karena dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat
menimbulkan kejahatan, kita mempunyai data yang kita

34 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


gunakan sebagai dasar untuk memberikan terapi maupun
pembinaan yang tepat.
Hal ini selajan dengan argumen para ahli baik
peneliti dan praktisi yang berpartisipasi dalam forum
SOMAPI (Sex Offender Management Asessment and
Planning Initiative) sepakat bahwa perlunya intervensi
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan bukan seragam,
dibutuhan untuk mencocokkan perawatan pelanggar seks
sebagai upaya manajemen dengan tingkat risiko dan
kebutuhan kriminogenik pelanggar seks (Baldwin, 2015).
Penilaian faktor kriminogen pelanggar seksual
perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait
dengan kriminalitas umum serta faktor spesifik kejahatan
seksual. Penggunaan skala criminal thinking adalah untuk
menilai faktor kriminalitas pelanggar seksual dan skala
Sexual Harrasment Definitions Questionnaire (SHDQ) serta
Sexual Harrasment Attitudes Scale (SHAS). Untuk menilai
faktor spesifik pemahan atas sikap pelaku kejahatan
seksual. SHDQ ini berasal dari 2 bentuk pelecehan seksual,
yaitu non verbal dan verbal. Skala ini untuk menggali dan
menilai seberapa besar pemahaman seseorang dalam
bentuk pelecehan seksual. SHAS ini berangkat dari tiga
komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan konasi. Yaitu
berisi sebagaimana besar orang dalam menyikapi
pelecehan seksual berdasarkan pengalaman dalam
keadaan yang telah digambarkan di keseluruhan item, baik
itu dalam bentuk keyakinan, perasaan dan perilaku
(Kurniawan, 2016).

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 35


D. Criminal Thinking
Konsep criminal thinking merupakan pola pikir
seseorang yang terlibat dalam gaya hidup kriminal dan
cara pemikiran tertentu sehingga mendorong perilaku
antisosial. Walters (1995) menyempurnakan model
pemikiran kriminal perilaku, di mana model pemikiran
tersebut merupakan gaya hidup berdasarkan justfikasi,
rasionalisasi, dan dukungan untuk melakukan perilaku
antisosial. Kemudian Criminal thinking scale yang
dikembangkan oleh Knight (2006), Menyatakan bahwa
criminal thinking mencakup enam aspek di antaranya
menuntut hak, tingkat agresivitas, justifikasi atau
pembenaran perilaku, berdarah dingin (kurangnya
keterlibatan emosional dalam hubungan dengan orang
lain), perasaan ketidak bertanggungjawaban
(menyalahkan orang lain atas masalah seseorang), dan
rasionalisasi kejahatan (sikap negatif terhadap hukum dan
figur otoritas). Mengukur konsep criminal thinking pada
pelaku kejahatan seksual merupakan hal yang penting,
mengingat kekhawatiran korban dan masyarakat tentang
perilaku kriminal yang mengganggu.
Ada enam aspek criminal thinking menurut
Walters (1990), Sari, 2014), yaitu :
1. Menuntut hak. Aspek ini ialah rasa kepemilikan dan
istimewa seseorang untuk melakukan apapun. Sehingga
pemikiran tersebut memberikan orang izin untuk
melakukan dan mewujudkan tujuan kriminalnya.
2. Justifikasi. Aspek ini ialah pola pikir seseorang dalam
pembenaran dan rasionalisasi atas suatu pelanggaran
yang dilakukan dengan berfokus pada ketidakadilan
social. Sehingga sering pelaku kejahatn seksual tidak
merasa bersalah atas kejahatan yang telah dilakukan.

36 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


3. Tingkat agresivitas. Apek ini ialah pola pikir pelaku
kejahatan yang meranancang dirinya untuk
memperoleh kekuasaan dan kontrol atas lingkungan
sosial melalui intimidasi, manipulasi, atau kekerasan
interpersonal.
4. Berdarah dingin. Aspek ini ialah pola pikir di mana
dalam melakukan kejahatannya pelaku tidak
melibatkan emosional dalam hubungan dengan orang
atau individu lain.
5. Rasionalisasi Kejahatan. Aspek ini ialah pembenaran
atas pola pikir negatif terhadap hukum dan norma
yang berlaku.
6. Perasaan Ketidak bertanggung jawaban. Aspek ini ialah
pola pikir menyalahkan orang lain atas masalah atau
tindak kejahatan yang dilakukan.

E. Sexual Harrasement
Skala ini diadaptasi dari Foulis’ Sexual Harassment
Definitions Questionnaire (1997). Sexual Harassment/
Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak
disukai, yang membuat seseorang merasa tersinggung,
terhina dan/atau terintimidasi. Pelecehan seksual diukur
dengan skala yang diadaptasi dari Foulis’ Sexual
Harassment Definitions Questionnaire (1997). Skala ini
membedakan bentuk pelecehan seksual menjadi 2 yaitu
non verbal dan verbal. Skala ini untuk menggali dan
menilai seberapa besar pemahaman/penilaian seseorang
tentang bentuk pelecehan seksual.
Pengukuran orientasi kejahatan seksual dapat juga
menggunakan Harrasment Attitudes Scale. Skala ini
mengadaptasi skala dari Mazer’s The Sexual Harassment
Attitude Scale (1989). Skali ini menilai seksual dari tiga

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 37


komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan konotasi. Skala
ini berisi tentang bagaimana seseorang dalam menyikapi
pelecehan seksual berdasarkan pengalaman dalam
keadaan yang telah digambarkan di keseluruhan item, baik
itu dalam bentuk keyakinan, perasaan dan perilaku.
Sehingga nantinya dapat menilai seberapa besar seseorang
mendukung atau mentoleransi suatu bentuk pelecehan
seksual. Menurut Secord dan Bacman (1964) membagi
sikap menjadi tiga komponen, antara lain:
1. Komponen kognitif. komponen yang berasal dari
pengetahuan yang mendorong seseorang yakin akan
sikap yang dilakukannya
2. Komponen afektif. komponen yang berhubungan dan
berasal dari perasaan. Sehingga seseorang dapat
merasakan rasa senang atau tidak senang terhadap
sikap yang dilakukan.
3. Komponen konatif. Komponen sikap yang berupa
kesiapan seseorang untuk menetukan perilaku yang
akan ia kerjakan dengan objek tertentu(Apsari, 2009).

F. Profil kriminal Kejahatan seksual


Hasil penelitian terhadap sampel 85 narapidana
dengan latar belakang kasus perlindungan anak (kecuali
narapidana dengan pasal 80 undang-undan perlindungan
anak) dan asusila di Lembaga Pamasyarakatan Klas IIA
Kediri menemukan profil criminal thinking dan sexual
harrasment narapidana.

38 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Tabel 1.
Data Deskritif Criminal Thinking
Mean Maximum Minimum
Menuntut Hak 15.2471 24.00 8.00
Justifikasi 16.4471 24.00 7.00
Tingkat Agresivitas 19.9176 27.00 8.00

Berdarah Dingin 4.1059 8.00 2.00

Rasionalitas 11.5765 17.00 5.00


Tidak Bertanggung Jawab 16.0471 22.00 9.00
Berdasarkan hasil analisis data criminal thinking
narapidana kasus kejahatan seksual dapat diketahui
bahwa terdapat Aspek yang mempengarungi pola pikir
narapidana berbuat kejahatan, yaitu menuntut hak,
justifikasi, tingkat agresivitas, berdarah dingin,
rasionalitas dan rasa tidak bertanggung jawab. Di antara
Aspek-Aspek tersebut Aspek tingkat agresivitas yang
mempunyai nilai mean tertingi, yakni sebesar 19.9. Pada
Aspek tingkat agresivitas terdapat 37 orang yang memiliki
tingkat agresivitas tinggi. Jumlah ini terbanyak di antara
Aspek yang lain, yakni 8 orang memiliki nilai tinggi pada
Aspek menuntut hak, 19 orang memiliki nilai tinggi pada
Aspek justifikasi, 15 orang memiliki nilai tinggi pada Aspek
berdarah dingin, 9 orang memiliki nilai tinggi pada
demensi rasionalitas, dan 16 orang memiliki nilai tinggi
pada aspek rasa tidak bertanggung jawab.
Penelitian criminal thinking yang dilakukan Ika
Novita (2014) pada Narapidana Lembaga Pemasyarakatan
Wanita. Pada Aspek tingkat agresivitas mempunyai nilai
tertinggi dalam kejahatan pada jiwa, yakni sebesar 18.85.
Kejahatan pada jiwa yang dimaksud adalah kejahatan yang

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 39


melibatkan seseorang sebagai korbannya kecuali pada
kasus narkoba. Pada aspek tingkat agresivitas kekuatuan
fisik menjadi faktor dominan untuk menyakiti orang lain.
Menurut Baron dan Richardson, agresivitas adalah sebuah
bentuk tindakan atau perilaku yang ditujukan untuk
mengusik, menyakiti, mengintimidasi orang lain. Secara
umum Myers mengelompokan jenis agresi dalam dua
jenis, yaitu hostile aggression (perilaku agresif sebagai
ungkapan kemarahan/emosi) dan instrumental agressionI
(agresif sebagai sarana mencapai sebuah tujuan). (Fadlan,
2015).
Dalam kasus kejahatan seksual termasuk jenis
agresivitas instrumental aggression. Agresivitas jenis ini
biasanya akibat dari tindakan seseorang terhadap individu
lain yang awalnya telah dipikirkan terlebih dahulu. Pada
narapidana kasus kejahatan seksual, narapidana
umumnya tertarik pada bagian tubuh tertentu dari korban
sehingga mendorong narapidan untuk berbuat tindakan
seksual terhadap korban. Bedasarkan hasil data pada
penelitian ini 40% narapidana menganggap bentuk tubuh
sebagai bagian manusia yang menarik. 25% bentuk wajah,
15% cara bicara, 7% rambut dan kulit, 4% cara berjalan
serta 2% cara berpakaian%.
Aspek kedua yang mempengaruhi pola pikir
narapidana kasus kejahatan seksual adalah Justifikasi.
Aspek ini mempunyai mean 16.4 dengan jumlah reponden
yang memiliki nalai tinggi sebanyak 19 orang. Hipp et al
(2017) mengidentifikasi beberapa bentuk justifikasi
pelaku kejahatan seksual, antara lain (Fact News,2019):

40 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


1. Pelaku mengatakan bahwa sebenarnya korbanlah yang
ingin melakukan hubungan seksual.
2. Pelaku memandang bahwa korbannya yang salah.
Karena pada saat melakukan pelecehan seksual korban
dalam keadaan mabuk dan tidak mengatakn “jangan”
secara lantang serta tidak melawan. Ataupun korban
mempunyai hal yang membuat pelaku tertarik dan
tergoda untuk melakukan pelecehan seksual.
3. Memiliki padangan negative pada perempuan.
4. Pelaku mengatakan bahwa dirinya tidak dapat
mengendalikan dirinya jika melihat wanita yang
menggodanya.
5. Pelaku melihat perempuan sebagai objek seksual
Aspek ketiga yang mempengaruhi pola pikir
narapidana kasus kejahatan seksual adalah rasa tidak
bertanggung jawab. Aspek ini mempunyai mean 16.0
dengan jumlah reponden yang memiliki nalai tinggi
sebanyak 16 orang. Dalam ini narapidana kasus kejahatan
seksual merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Ia
menganggap bahwa hal yang ia lakukan adalah dampak
dari lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu narapidana
juga tidak menunjukan rasa empati ataupun peduli
terhadap korbanya. Karena narpidana sudah merasa
bahwa dirinya dipenjara untuk menjalani hukumannya.
Pola pemikiran yang demikian membuktikan bahwa
narapidana tidak memiliki rasa bertanggung jawab serta
menjali hukuman hanya sekedar formalitas untuk mereka.
Mereka tidak merasa bahwa perbuatannya berdampak
buruk bagi orang lain.
Aspek keempat yang mempengaruhi pola pikir
narapidana kasus kejahatan seksual adalah menuntut hak.
Aspek ini mempunyai mean 15.2 dengan jumlah

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 41


responden yang memiliki nalai tinggi sebanyak 8 orang.
Dalam aspek ini menujukan pola berfikir narapidana kasus
kejahatan seksual tentang pemberian hak/izin terhadap
diri sendiri untuk melakukan tindakan kiriminal kepada
orang lain. Narapidana beranggapan bahawa dirinya
berhak untuk melakukan pelecehan seksual kepada
korban dengan alasan masing-masing yang mereka miliki.
Aspek kelima yang mempengaruhi pola pikir
narapidana kasus kejahatan seksual adalah rasionalitas.
Aspek ini mempunyai mean 11,5. dengan jumlah
responden yang memiliki nalai tinggi sebanyak 6 orang.
Dalam aspek ini narapidana membuta suatu nalar
pembernaran atas kejahatan seksual yang dilakukan.
sebagai contoh laki-laki yang mencium, hingga melakukan
hubungan seksual kepada seorang perempuan yang
mempunyai hubungan sebagai pacar ataupun teman dekat
dalah hal yang wajar. Laki-laki yang merasionalkan
kehajatan seksual sering sekali tidak memahami sikap
penolakan korban atas kejahatan seksual yang mereka
lakukan. Bahkan mereka lebih cenderung mengabaikan
penolakan dari korban. Hal ini dikuatkan dengan data
demografis pada penelitian ini yang menunjukan bahwa
angka tertinggi pada item hubungan pelaku dengan
korban berada pada hubungan pacar, yakni sebesar 36%,
25% memiliki hubungan teman, 14% lainnya (tetangga,
mantan), 8% memiliki hubungan sebagai murid, 6%
memiliki hubungan sebagai anak tiri.
Aspek keenam yang mempengaruhi pola pikir
narapidana kasus kejahatan seksual adalah rasionalitas.
Aspek ini mempunyai mean 4.1. dengan jumlah reponden
yang memiliki nalai tinggi sebanyak 3 orang. Dalam aspek
ini narapidana tidak melibatkan emosi dalam melakukan

42 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


kejahatannya, tanpa rasa menyesal atas perbutannya serta
tidak ada rasa empati terhadap korban. Bahkan pada
situasi tertentu narapidana tampak tenang menjalani
pidananya. Aspek ini sangat sulit untuk terdeteksi
sehingga memerlukan adanya penelitian lebih lanjut.
Profil kriminal para narapidana kejahatan seksual,
dalam hasil penelitian menunjukan bahwa pemahaman
narapidana kasus kejahatan seksual terhadap seksual
harrasement/ pelecehan seksual sangatlah buruk, yakni
sebesar 71% atau 60 orang dari 85 orang responden tidak
memahami tentang definisi pelecehan seksual. Hal ini
dapat terjadi karena mereka menganggap hal kecil seperti
gurauan tentang seksual, berkomentar, bersiul kepada
lawan jenis dan melirik kepada bagian tubuh lawan jenis
adalah hal biasa mereka lakukan dan bukan suatu
pelecehan seksual. Tak hanya itu mereka menggap jika hal
tersebut mereka lakukan kepada teman dekat serta
seseorang yang memiliki kedekatan dengan mereka
bukanlah suatu bentuk pelecehan seksual.
Hasil penelitian dengan kesimpulan berbeda
(Bagas, 2016) yang dilakukan terhadap sampel normal
(mahasiswa). Bagas menyimpulkan bahwa pemahaman
subjek penelitian mengenai pelecehan seksual cenderung
tinggi. Gambaran ini menggambarkan bawah tingkat
pendidikan dan lingkungan pergaulan mahasiswa
berkontribusi terhadap pemahaman suatu pelecehan
seksual dengan detail dan kritis. Sementara, penelitian
dengan subjek narapidana kasus kejahatan seksual dengan
latar belakang pendidikan mayoritas SMP, yakni sebanyak
38% atau 32 orang, 33% atau 28 orang berpendidikan
SMA, 25% atau 21 orang berpendidikan sekolah dasar, dan
hanya 5% atau 4 orang yang berpendidikan sarjana. Studi

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 43


ini menyimpulkan bahwa faktor pendidikan menjadi salah
satu factor narapidana tidak dapat dengan baik memahami
definisi dan perilaku pelecehan seksual.
Buruknya pemahaman narapidana kasus kejahatan
seksual tentang definisi pelecehan seksual berdampak
pada sikap dan perilaku mereka dalam menanggapi
pelecehan seksual. Berdarsakan analisis data penelitian
ditemukan 62% (n=53) dari jumlah responden memiliki
sikap mendukung perilaku pelecehan seksual. Ada
beberapa kemungkinan menjadi faktor tingginya nilai
narapidana mendukung perilaku pelecehan seksual, yaitu
menonton film porno dan lingkungan narapidana dalam
bersosialisasi.
Temuan studi juga mendukung tingginya perilaku
pelecehan seksual adalah 63% atau 54 orang dari jumlah
responden pernah melakukan hubungan seksual di luar
nikah. Hal ini menggambarkan bahwa untuk narapidana
kasus kejahatan seksual melakukan pelecehan seksual
hingga hubungan seksual di luar pernikahan adalah suatu
hal yang wajar dilakukan. kondisi ini dapat disebut sebagai
proses penurunan moralitas di masyarakat. Seseorang
yang memiliki moralitas tinggi tidak akan mungkin
melakukankan kekerasan ataupun kejahatan seksual
kepada orang lain (Hurairah, 2015).
Untuk menumbuhkan kembali moralitas pada diri
narapidana kasus kejahatan seksual serta mengembalikan
hidup, kehidupan dan penghidupan mereka. Sehingga
pada saat bebas mereka dapat kembali menjadi manusia
seutuhnya yang produktif. Maka diperlukan proses
pembinaan yang tepat di dalam lembaga pemasyarakatan.
Di dalam penelitian ini mengulas tentang pola pikir dan
sikap narapidana kasus kejahatan seksual. Secara tidak

44 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


langsung hal tersebut adalah faktor-faktor yang
mendorong narapidana melakukan kejahatan seksual.
Dengan berdasarkan data penelitian diharapkan pihak
Lembaga Pemasyarakatan dapat memberikan pembinaan
untuk mengurangi tingkat agresivitas narapidana kasus
kejahatan seksual serta dapat memberikan pengetahuan
tentang pemahan serta perilaku pelecehan seksual.

G. Kesimpulan
Kajian faktor determinan narapidana kasus
kejahatan seksual dengan landasan teori criminal thinking
(pola berfikir criminal) dan sexual harrasement
(pemahaman dan sikap terhadap pelecehan seksual).
Menggambarkan bahwa bahwa faktor kontributif
narapidana melakukan kejahatan seksual adalah faktor
agresivitas yang tinggi, yaitu pola pikir pelaku kejahatan
yang meranancang dirinya untuk memperoleh kekuasaan
dan kontrol atas lingkungan sosial melalui intimidasi,
manipulasi, atau kekerasan. Selain itu buruknya
pemahaman narapidana tentang pelecehan seksual
berdampak pada sikap narapidana yang mendukung atau
mentoleransi tindakan dari pelecehan seksual.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 45


Dafar Pustaka

Alfon, Matius. (2019). LPSK: Kasus Kekerasan Seksual pada


Anak Meningkat Tiap Tahun.
https://news.detik.com/berita/d-4637744/lpsk-
kasus-kekerasan-seksual-pada-anak-meningkat-tiap-
tahun
Astuti, Nur. A.R. (2019). Komnas Perempuan: Laporan
Kekerasan Seksual Meningkat di 2018.
https://news.detik.com/berita/d-4456709/komnas-
perempuan-laporan-kekerasan-seksual-meningkat-
di-2018
Badan Pusat Statistik. Statitik Kriminal 2019.
Baldwin, Kelvin. (2015). Chapter 6: Sex Offender Risk
Assessment. Sex Offender Management Asessment
and Planning Initiative (SOMAPI).
https://www.smart.gov/SOMAPI/sec1/ch6_risk.html
Dwi Marwayanti, S. I. T. I. (2016). Tinjauan Kriminologis
Terhadap Kejahatan Pelecehan Seksual (Studi Kasus
Tahun 2011-2013 Di Kota Makassar) (Doctoral
dissertation).http://103.195.142.17/
handle/123456789/18213.
Fadlan, Muhammad. (2015). Psikologi Klinis: Observasi
Agresivitas Pada Pria Dewasa Penderita Hiperseks.
https://www.academia.edu
/10249058/_Psikologi_Klinis_Observasi_Agresivitas
_Pada_Pria_Dewasa_Penderita_Hiperseks?auto=dow
nload.
Huraira, D., Rohmah, N., Rifanda, N., Novitasari, K., Diena, U., &
Nuqul, F. L. (2015). Kekerasan seksual pada anak:
Telaah relasi pelaku korban dan kerentanan pada
anak. Psikoislamika, 12(2), 5-10.
Hendrojono. (2005). Kriminologi Pengaruh Perubahan
Masyarakat dan Hukum. Surabaya: Srikandi

46 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


International Labour Organization. (2010). Frequently Asked
Questions Sexual Harassment At The Workplace. ILO
Jakarta Office.
Kurniawan, S. B. (2016). Sikap Mahasiswa Terhadap Pelecehan
Seksual (Doctoral dissertation, University of
Muhammadiyah Malang).
http://eprints.umm.ac.id/34274/.
Latessa,E.J., Lowenkamp,C. (2005). What are Criminogenic
Needs and Why are they Important?. Community
Correction: Research and Best Practices. Division of
Criminal Justice, University of Cincinnati
Limbong, R. F. N. (2017). Tinjauan Kriminologis Kejahatan
Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkungan Keluarga
(Studi Kasus Di Lembaga Perlindungan Anak Sulsel
Tahun 2014-2016) Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
2017 (Doctoral dissertation).
http://103.195.142.17/handle/ 12345678/ 24622.
Lunenburg, C. F. (2010). Sexual harrasment : An abuse of
power. Diakses 2 Februari 2020 dari
http://www.nationalforum.com/
Malamuth, N. M. (1986). Predictors of naturalistic sexual
aggression. Journal of personality and social
psychology, 50(5), 953.
Muti'ah, T. (2015). Criminal Profiling Pelaku Eksploitasi
Seksual Pada Anak Di Yogyakarta. Sosiohumaniora:
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 1(1).
http://jurnal.ustjogja.ac.id/ index.php/
sosio/article/view/514.
Moh. Nazir. (2011). Metode Penelitian, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Novian, Rully. (2018). Strategi Menangani Overcrowding di
Indonesia: Penyebab, Dampak Dan Penyelesaiannya,
Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 47


http://icjr.or.id/data/wp-
content/uploads/2018/04/Overcrowding-
Indonesia_Final.pdf
Sari, Ika.N. (2014). Criminal Thingking Pelaku Kejahatan
Ditinjau dari Bentuk Kejahatan Studi Narapiadana
Lemga Pemasyarakatan Wantina Kelas IIA Malang.
http://etheses.uin-
malang.ac.id/615/2/10410022%20Indonesia.pdf
Turvey, Brent E. (2012). Criminal Profiling An Introduction to
Behavioral Evidence Analysis. Fourth edition.
Academic Press is an imprint of Elsevier The
Boulevard, Langford Lane, Kidlington, Oxford, OX5
1GB, UK
Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. pelaku tindak kejahatan seksual
Walters, G. D. (1995). The Psychological Inventory of Criminal
Thinking Styles dan Knight, K., Simpson, D. D.,
Garner, B. R., Flynn, P. M., & Morey, J. T. (in press).
The TCU Criminal Thinking Scales.
Walters, G.D., Trovac, Marie., Rhyclech, Mark., Fazio, Roberto
Di., Olson, Julie R. (2002). Assessing Change With The
Psychological Inventory of Criminal Thinking Style: A
controlled nalysis ana Multisite Cross-Validation. 29
(3), 308-331.

48 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Psikologi Klinis dalam
Konteks Pemasyarakatan

Bagian 2

[PROBLEM PENYESUAIAN DIRI


NARAPIDANA DI PENJARA DAN
PENANGANANNYA]

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 49


KRISIS ADAPTASI PADA TAHANAN DAN
PENANGANANNYA
Trie Efriliawati

A. Krisis Adaptasi Pada Tahanan Perempuan


Rumah Tahanan Negara (Rutan) adalah tempat
tersangka atau terdakwa ditahan selama proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan di Indonesia. Rumah tahanan (Rutan)
merupakan salah satu unit pelaksana teknis Kementerian
Hukum dan HAM, salah satu jenis di antaranya adalah
Rutan Perempuan. Pembentukan rutan perempuan
didasarkan perempuan memiliki sifat dan kebutuhan
khusus yang berbeda dari laki-laki sehingga memerlukan
perawatan dan perlakuan yang berbeda pula.
Pengklasifikasian ini juga dilakukan demi faktor keamanan
dan faktor psikologis tahanan perempuan.
Salah satu perbedaan yang mencolok, yang
terdapat pada tahanan perempuan sehingga
membutuhkan perawatan khusus ialah bahwa perempuan
pada dasarnya memiliki kecenderungan gangguan
psikologis lebih besar daripada laki-laki. Gangguan
prikologis yang kerap kali terjadi pada tahanan
perempuan misalnya depresi, keinginan untuk bunuh diri,
gangguan kecemasan dan lain sebagainya. Gangguan
psikologis yang terjadi ini biasanya terjadi karena tahanan
perempuan tidak dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan kebiasaan hidup di rutan.
Kondisi rutan dan perubahan hidup yang dialami
Tahanan menyebabkan tekanan yang terus menerus
sehingga mereka tidak mampu mengubah sikapnya
terhadap kondisi yang harus dihadapi dan menyebabkan

50 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


tahanan kehilangan makna hidupnya. Tahanan perempuan
yang terbiasa hidup bebas, tidak dikekang, hidup
berkecukupan, apalagi jika dia sudah memiliki keluarga
akan sulit menerima dirinya sehingga banyak dari mereka
yang putus asa dan tidak memiliki motivasi untuk
menjalani hidup padahal belum tentu mereka akan
menjalani hukuman pidana karna keputusan hakim belum
diturunkan. Ketika tahanan tidak mampu untuk
beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupan Rutan dan
berpikir bahwa hidup mereka akan berakhir di tempat
yang biasa mereka sebut ‘penjara’, maka akan
menimbulkan depresi.
Tahanan yang mengalami krisis adaptasi akan
mudah mengalami depresi. Tahanan menjadi bingung,
cemas, sakit, shock dengan keadaan yang dihadapi
sehingga semakin menyukarkan adaptasi. Sebagian
tahanan yang tidak dapat mengelola pikiran dengan baik
bahkan akan memikirkan tentang bagaimana cara
mengakhiri kehidupan mereka yang sudah tak bermakna
lagi dengan pikiran bunuh diri.
Hal ini juga dijelaskan dalam buku Intercultural
Communication in Context yang menjelaskan bahwa ada
empat tahapan dalam adaptasi. Pada tahap terakhir yaitu
tahap Resolution, dijelaskan bahwa seseorang yang
mengalami proses adaptasi akan sampai pada beberapa
kemungkinan. Kita akan focus pada kemungkinan
gagalnya adaptasi yang akan menimbulkan adanya Flight
dari orang itu, atau dalam tulisan ini akan berfokus pada
tahanan baru. Flight adalah kondisi di mana tahanan baru
gagal dalam menjalani adaptasi sehingga secara fisik dan
psikologis dia akan menghindari kontak dan mencoba lari

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 51


dari kenyataan, tak jarang juga kegagalan adaptasi ini
menyebabkan tahanan mengalami gangguan psikologis.
Gangguan psikologis yang sering kali dialami oleh
tahanan baru adalah depresi. Dikutip dari jurnal
keperawatan oleh Tololiu, Makalalag dan Junaidi (2012)
memberi pengertian tentang depresi sebagai suatu
perasaan sedih yang sangat mendalam yang terjadi pada
seseorang setelah mengalami suatu peristiwa
menyedihkan, misalnya kehilangan seseorang yang sangat
disayangi. Depresi dapat menyerang siapa saja tidak
mengenal jenis kelamin, golongan sosial, keadaan
ekonomi, ataupun usia. Seseorang cenderung mengalami
beberapa kali episode depresi dan dapat menjadi semakin
buruk apabila disertai stres.
Dalam jurnal tersebut, lebih lanjut dijelaskan
tentang depresi yang dikutip dari Rathus (1991)
menyatakan orang dengan depresi umumnya mengalami
gangguan emosi, motivasi disfungsional, serta kognisi.
Atkinson (1991) menjelaskan bahwa pasien depresi
mengalami gangguan suasana hati seperti tidak ada
harapan, patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak
mampu mengambil keputusan untuk memulai suatu
kegiatan, tidak mampu konsentrasi, tidak punya semangat
hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri (Lumongga,
2009).
Wanita biasanya dua kali lebih mudah mengalami
depresi dibandingkan pria. Mungkin karena wanita
cenderung hidup tertekan karena tergantung pada orang
lain, atau karena wanita cenderung memberikan respon
terhadap kesengsaraan atau kesulitan hidup dengan cara
menarik diri dan menyalahkan diri sendiri.
Di rutan atau Lembaga pemasyarakatan, sering
ditemui kasus tahanan/narapidana mengalami depresi,
namun kurang tertangani petugas secara tepat, sehingga

52 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


depresi tersebut berimplikasi pada pada berbagai
penyakit yang muncul pada tubuh tahanan, bahkan
berujung pada terjadinya bunuh diri, seperti yang terjadi
pada ATA, tahanan kasus penipuan di Rutan Perempuan
Bandung.
ATA berusia 41 tahun ini, selama dua minggu
ditempatkan di sel pengasingan. Menurut keterangan
petugas Rutan Perempuan Bandung, sebelumnya ATA
sering kali mengamuk dan beberapa kali mencoba
melawan petugas, maka dari itu dia ditempatkan di sel
pengasingan. Selama berada di sel pengasingan, ATA
mengaku bahwa dia menjadi lebih sering merasakan
pusing dan mual, serta mengalami gangguan pencernaan.
Pihak Rutan tidak memberikan penanganan khusus bagi
ATA dan hanya memberinya obat maag dan obat vertigo
saja. ATA mengaku bahwa dia sering kali berpikir untuk
mengakhiri hidupnya selama tinggal sendirian di dalam sel
pengasingan. ATA yang sebelumnya merupakan
pengusaha Event Organizer mengaku bahwa melakukan
diwawancarai, dia masih tidak bisa menerima kenyataan
bahwa dia terjerat kasus hukum dan masih tidak bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peraturan di
Rutan sehingga dia merasa tertekan.
Petugas rutan perempuan Bandung, ketika
diwawancarai perihal masalah yang dialami ATA, tidak
dapat memberikan solusi yang tepat. Mereka mengaku
bahwa, sampai saat ini belum ada penanganan untuk
penyakit psikologis yang dialami ATA, mereka hanya
berusaha semampunya untuk terus mengontrol ATA untuk
tidak melakukan percobaan bunuh diri, karena ATA
memang sering kali melakukan self-harm (melukai diri
sendiri).

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 53


Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 1999 tetang Perawatan Tahanan
paragraph 4 pasal 21 disebutkan bahwa setiap tahanan
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini tentu
menjadi dasar bagi Rutan untuk menjalankan tugas dan
fungsinya dalam merawat kesehatan tahanan baik
kesehatan fisik maupun psikologisnya. Kesehatan tahanan
sebenarnya juga menjadi salah satu factor kegiatan
penyidikan dan persidangan dapat berjalan lancar.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
35 tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan
Pemasyarakatan Pasal 6, telah diatur tentang pelayanan
kepribadian yang berhak didapatkan oleh setiap tahanan
yaitu salah satunya adalah konseling psikologi. Konseling
psikologi ini seyogyanya diberikan oleh tenaga ahli yang
telah mendapat pelatihan tentang pelayanan sosial, seperti
psikolog, dan konselor. Namun dalam pelaksanaannya,
pelayanan konseling psikologis ini belum diterapkan di
banyak Rutan di Indonesia.
Berdasarkan fenomena di rutan, penting untuk
mengetahui tentang apa saja dampak yang dapat
disebabkan oleh krisis adaptasi pada tahanan baru,
khususnya tahanan perempuan. Bagaimana cara
mengatasi krisis adaptasi ini yang ditakutkan akan
bermuara pada gangguan psikologis tahanan, karena
sesungguhnya kesehatan mental saat seorang tahanan
baru masuk ke Rutan sangat berpengaruh bagi
pembinaannya kelak di Lapas, dan sangat berpengaruh
juga bagi kesehatan fisiknya. Jika kita dapat memastikan
bahwa tahanan baru yang masuk rutan memiliki
kesehatan mental yang baik dan dapat beradaptasi dengan
baik, maka seharusnya kita juga dapat memecahkan

54 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


masalah yang sering terjadi di Rutan/Lapas seperti bunuh
diri, dan gangguan keamanan ketertiban lainnya.
Kita perlu juga mengetahui langkah apa saja yang
dapat diambil demi mengurangi krisis adaptasi yang
terjadi pada tahanan perempuan. Sebab, sebagai lembaga
yang diberi tanggung jawab untuk perawatan tahanan,
Rutan perempuan wajib menjaga dan memastikan bahwa
selama menjalani masa tahanan, tahanan perempuan
sehat jasmani maupun rohaninya.

B. Penanganan Krisis Adaptasi Tahanan


Para ahli mengartikan krisis sebagai suatu
kejadian atau peristiwa yang terjadi secara tiba tiba dalam
kehidupan seseorang yang mengganggu keseimbangan
selama mekanisme coping sehingga individu tersebut tidak
dapat memecahkan masalah. Krisis dalam arti lain, juga
diartikan sebagai gangguan internal yang disebabkan oleh
kondisi penuh stress atau yang dipersepsikan oleh
individu sebagai ancaman. Sedangkan adaptasi adalah
suatu perubahan yang melibatkan individu dalam
merespon perubahan yang ada di lingkungan dan dapat
mempengaruhi keutuhan tubuh secara fisiologis maupun
psikologis.
Model yang paling umum untuk menjelaskan
proses adaptasi adalah U-Curve Theory of Adaptation, yang
telah dijelaskan secara singkat sebelumnya. Teori ini
didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh seorang
sosiolog asal Norwegia, Sverre Lysgaard (1955), yang
mewawancarai para siswa di Norwegia yang belajar di
Amerika Serikat. Hasil dari penelitian ini telah banyak di
konfirmasi oleh penelitian lain yang dilakukan setelahnya
dan telah diterapkan untuk banyak kelompok migran yang

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 55


berbeda, sebagaimana disebutkan dalam buku
Intercultural Communication in Contexts oleh Martin dan
Nakayama pada tahun 2010.
Model culture shock digambarkan Lysgaard
dengan kurva dan menyebutnya “U-Curve Hypothesis”.
Kurva ini dalam adaptasi digambarkan dengan perasaan
optimis dan kegembiraan serta ekspektasi yang tingi
terhadap suatu lingkungan baru yang pada akhirnya akan
menggiring kepada frustasi, ketegangan, dan kecemasan
sebagai individu yang tidak dapat berinteraksi dengan
efektif dengan lingkungan baru. Secara spesifik Kurva U
menjelaskan bahwa ada empat tahap dalam
adaptasi(Martin & Nakayama, 2010):
1. Honeymoon
Tahap pertama di mana biasanya seseorang akan
merasa semangat dan penasaran terhadap lingkungan
baru yang akan ia diami. Individu mungkin akan tetap
merasa asing, namun satu dua hal membuatnya merasa
nyaman berada di tempat baru tersebut.
2. Frustation
Ini adalah tahap di mana rasa penasaran dan
semangat yang menggebu-gebu di awal berubah
menjadi frustasi, jengkel, dan tidak mampu berbuat
apa-apa karena realitas tidak sesuai dengan ekspektasi
yang dimiliki pada tahap awal.
3. Readjustmen
Tahap penyesuaian kembali di mana seseorang
yang mulai mengalami frustasi akan kembali
mengembangkan berbagai macam cara untuk bisa
beradaptasi dengan keadaan yang ada.

56 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


4. Resolution
Tahap terakhir di mana seseorang yang
mengalami proses adaptasi akan sampai pada empat
kemungkinan. Pertama, full participation: di mana dia
akan mencapai titik nyaman dan berhasil membina
hubungan serta menerima kebudayaan yang baru
tersebut. Kedua, accommodation: bisa menerima tapi
dengan catatan dalam hal-hal tertentu. Yang ketiga,
Fight: tidak merasa nyaman namun berusaha menjalani
sampai dia kembali ke daerah asalnya dengan segala
daya upaya. Dan yang terakhir yaitu Flight: di mana
orang yang mengalami proses adaptasi secara fisik atau
psikologi menghindari kontak untuk lari dari situasi
yang mengakibatkan tahanan baru mengalami
gangguan psikologis.
Dalam proses pemasyarakatan, dikenal istilah
Admisi Orientasi yang diperuntukan bagi narapidana baru.
Pada tahap Admisi Orientasi ini narapidana baru akan
diperkenalkan pada lingkungan dan peraturan Lapas, dan
pada tahap ini pula biasanya narapidana akan mengalami
proses adaptasi. Proses adaptasi memiliki empat tahapan
yaitu, Honeymoon, Frustation, Readjustment, dan
Resolution, seperti yang dikemukakan Lysgaard dalam
teori Adaptasi Kurva U. Pada tahap resolusion, atau tahap
akhir adaptasi, ada kemungkinan tahanan akan beradatasi
dengan baik dan tidak menutup kemungkinan adaptasi
akan gagal sehingga tahanan mengalami yang dinamakan
krisis adaptasi. Krisis adaptasi akan mengarahkan tahanan
dan narapidana pada tekanan, depresi dan gangguan
psikologis lainnya.
Bagi tahanan yang mengalami gangguan psikologis
maka pihak rutan wajib memberikan layanan kesehatan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 57


berupa Konseling psikologis sebagaimana diamanatkan
dalam Permenkumham Nomor 35 tahun 2018 tentang
Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan. Adapun
tujuan dari konseling psikologis ini adalah untuk
membantu tahanan baru dalam beradaptasi dengan
lingkungan dan peraturan Rutan, menerima kenyataan
tentang masalah yang dihadapinya, dan mengakui
kesalahan, sehingga proses pembinaan setelah masa
tahanan berakhir dapat berjalan maksimal dan sesuai
dengan tujuan Pemasyarakatan yang dimuat dalam
Undang Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Rutan perempuan melaksanakan fungsi perawatan
kepada tahanan dan fungsi pembinaan kepada narapidana
yang masa pidananya singkat, rata-rata di bawah dua
tahun. Petugas Rutan Perempuan perlu menyadari bahwa
proses adaptasi tahanan adalah proses awal yang penting.
Tidak dapat dipungkiri, setiap tahanan pasti mengalami
kekecewaan dan perasaan sedih yang mendalam ketika
harus menghuni Rutan. Lingkungan, peraturan, dan
suasana yang didapatkan di Rutan tentu sangat berbeda
dengan keadaan di luar. Tahanan yang tadinya hidup
menghirup udara bebas dan melakukan hal tidak terikat,
mau tidak mau harus tinggal di balik tembok Rutan yang
tinggi, dan peraturan Rutan yang mengikat. Tentu tidak
mudah untuk menyesuaikan diri, butuh waktu, dan tidak
jarang juga tahanan mengalami kegagalan dalam
beradaptasi.
Penanganan terhadap krisis adaptasi tidak hanya
dilihat dari pelayanan kesehatannya, tetapi juga dari sisi
pengamanan. Berikut akan dijelaskan impelementasi

58 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


penanganan krisis adaptasi pada tahanan dari
pengamanan dan pelayanan kesehatannya.

C. Pengamanan Tahanan dengan Krisis Adaptasi


Krisis adaptasi yang dihadapi tahanan tentu saja
sangat berpengaruh bagi kehidupan tahanan di rutan dan
juga akan mempengaruhi proses pembinaan ketika
tahanan nanti sudah dijatuhi vonis, apalagi jika krisis
adaptasi tersebut berlangsung dalam waktu yang lama.
Krisis adaptasi pengaruhnya sangat besar bagi kesehatan
jiwa/psikologis tahanan. Sebenarnya, kita dapat melihat
apakah tahanan dapat beradaptasi dengan lingkungan
rutan atau tidak dari kecenderungan tahanan tersebut
mengalami gangguan jiwa.
Selain dapat berpengaruh bagi kesehatan tahanan,
gangguan psikologis yang diakibatkan oleh krisis adaptasi
juga dapat menyebabkan gangguan keamanan dan
ketertiban di lingkungan rutan Perempuan. Seperti kasus
RK, seorang penghuni rumah tahanan perempuan di
Bandung. Ia mengakui bahwa satu minggu setelah dia
menempati rutan Perempuan, dia belum mampu
menyesuaikan diri. Dia sangat ketergantungan pada rokok,
oleh sebab itu, saat ditempatkan di kamar masa
pengenalan lingkungan (mapenaling), merasa sangat stress
dan hampir mengakhiri hidupnya sendiri akibat tidak
diijinkan merokok oleh petugas. RK sempat membuat
keributan dan melawan pada petugas, dia mengaku bahwa
lingkungan dan peraturan Rutan Perempuan Bandung
sangat membuatnya stress dan sulit beradaptasi, oleh
sebab itu dia menjadikan rokok sebagai penghilang stress,
namun tidak mendapat ijin dari petugas. Karena
perbuatannya ini, RK tidak diperbolehkan masuk ke kamar

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 59


tahanan dan harus menempati kamar Mapenaling selama
sepuluh hari.
Penanganan tahanan yang mengalami krisis
adaptasi yang sampai mengganggu kemanan dan
ketertiban ini, kepala Kesatuan pengamanan Rutan,
memberi tindakan dan hukuman sesuai peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan
pelanggaran yang dia lakukan. Namun dalam aspek
pengamanan ini juga, pengawasan terhadap tahanan yang
mengalami depresi akibat krisis adaptasi harus diperketat
karena seseorang yang mengalami depresi punya potensi
melakukan hal-hal yang dapat membahayakan dirinya
maupun orang lain, seperti percobaan bunuh diri.

D. Pelayanan Kesehatan Tahanan dengan Krisis Adaptasi


Dalam menangani krisis adaptasi pada tahanan,
Rutan Perempuan dapat melakukan langkah preventif
krisis adaptasi dengan melakukan Skrining Deteksi Dini
Gangguan Jiwa yang dilaksanakan dengan bekerjasama
dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Arcamanik. Kegiatan skrining ini sebenarnya baru
dilakukan satu kali pada tanggal 09 Januari 2020. Skrining
ini dijadwalkan akan dilaksanakan rutin setiap tiga bulan
sekali.
Form skrining gangguan jiwa yang didapatkan dari
Puskesmas Arcamanik yang digunakan untuk mengukur
resiko gangguan jiwa pada tahanan terdiri dari 29
pertanyaan yang harus diberi jawaban Ya atau Tidak oleh
tahanan (Form Skrining Deteksi Dini Gangguan Jiwa
terlampir). Pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam
form merupakan pertanyaan yang berhubungan dengan
kesehatan jiwa dan utamanya aspek-aspek yang menjadi

60 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


ciri-ciri utama seseorang yang mengalami gangguan jiwa.
Hasil dari Skrining gangguan jiwa ini kemudian
dikembalikan kepada pihak Puskesmas untuk dinilai oleh
dokter yang berwenang. Jika dari 29 pertanyaan, terdapat
lebih dari delapan jawaban YA, maka tahanan tersebut
memiliki kecenderungan untuk dapat lebih mudah
mengalami gangguan psikologis.
Tabel 1.
Persentasi tahanan yang mengikuti skrining gangguan jiwa
tahanan yang tahanan tahanan tahanan
mengikuti dengan risiko dengan risiko dengan risiko
Skrining gangguan gangguan gangguan
jiwa ringan jiwa sedang jiwa tinggi
(Nilai < 8) (8 < Nilai < (15 < Nilai)
15)
48 orang 38 orang 7 orang 3 orang
(79,16%) (14,58%) (6,25%)
Dari hasil skrining gangguan Jiwa yang
dilaksanakan pada bulan Januari 2020 tersebut, dapat
diketahui bahwa 6,25% memiliki risiko gangguan jiwa
tinggi dan dinyatakan oleh dokter Puskesmas Arcamanik
membutuhkan bantuan dan konseling dari tenaga ahli
kejiwaan yaitu psikolog ataupun psikiater.

E. Kegiatan bagi Tahanan yang Mengalami Krisis


Adaptasi
Faktor lain yang membuat tahanan mengalami
krisis adaptasi adalah status mereka sebagai seorang
tahanan yang harus tunduk dan patuh kepada petugas.
Penelitian terhadap tahanan berinisial RK, menceritakan
bahwa sebelum mengalami penahanan, dia berprofesi
sebagai pengusaha dengan banyak bawahan yang selalu
melayaninya. Namun ketika masuk ke Rutan, dia sedikit
tidak bisa menyesuaikan diri dan dalam hatinya dia masih

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 61


tidak bisa menerima kenyataan bahwa di Rutan dia harus
tunduk kepada petugas. Lain halnya dengan tahanan SD,
dalam wawancara, ia mengaku sebelum masuk Rutan dia
adalah seseorang yang sering menghabiskan waktu
dengan aktivitas waktu di luar rumah. Namun, yang paling
membuatnya tertekan adalah ketika di Rutan, dia harus
berada di balik tembok yang tinggi dengan kegiatan yang
itu-itu saja hampir setiap hari. Menurut SD, dia sangat
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
Rutan.
Upaya rutan untuk menangani krisis adaptasi yang
dialami sebagian tahanan ini, antara lain dengan
memberikan kegitan-kegiatan yang bermanfaat bagi
tahanan. Dengan memberikan berbagai macam kegiatan
yang melibatkan tahanan secara langsung ini sebenarnya
juga dapat mengurangi kecenderungan tahanan untuk
mengalami krisis adaptasi. Kegiatan yang menyita waktu
senggang tahanan, dapat mengalihkan pikiran para
tahanan dari masalah yang dia hadapi sehingga dia tidak
terus-terusan memikirkan kehidupannya di luar Rutan.
Dan saar masa pengenalan lingkungan, seharusnya juga
diberikan kegiatan atau pengarahan oleh petugas kepada
para tahanan baru untuk menggambarkan bagaimana
kehidupan di Rutan, bagaimana peraturan yang harus
mereka taati, dan memberikan masukan untuk mengatasi
masalah sulit beradaptasi. Pengarahan seperti ini
sebenarnya sangat membantu dalam mencegah terjadinya
krisis adaptasi pada tahanan.

62 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


F. Kesimpulan
Krisis adaptasi pada tahanan di Rutan Perempuan
umumnya dapat disebabkan oleh umumnya mengalami
perubahan mental yang drastis karena kehidupan di dalam
Rutan sangatlah berbeda dengan kehidupan di luar rutan.
Krisis adaptasi dapat berdampak buruk bagi kesehatan
psikologis tahanan. Ketika seseorang telah melakukan tiga
fase utama dalam adaptasi, maka dia akan sampai pada
tahap Resolution, di mana dalam tahap ini bisa saja timbul
kemungkinan tahanan akan gagal dalam beradaptasi dan
sebagai akibatnya dia akan mengalami stress dan
keinginan untuk melarikan diri tinggi.
Rutan dapat beberapa langkah untuk
penangannya, di antaranya dengan memberikan kegiatan-
kegiatan dalam Rutan, sehingga para tahanan tidak
terjebak dengan ketakutannya tentang kehidupan di rutan.
Upaya lainnya adalah tidak membatasi kunjungan
keluarga atau membeda-bedakan jam kunjungan tahanan
dengan narapidana. Selain mengadakan upaya tersebut,
perlu upaya Rutan mengetahui kecenderungan tahanan
krisis adaptasi dan depresi, dengan membangun
kerjasama dengan lembaga/institusi kesehatan dalam
mengadakan Skrining Deteksi Dini Gangguan Jiwa,
sehingga dapat diberikan penanganan yang tepat tahanan
yang memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan
psikologis.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 63


Daftar Pustaka

Ardilla, Fauziya dan Ike Herdiana. (2013). Penerimaan diri


pada narapidana wanita. Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya.
AW., Suranto. (2010). Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Fahrozy, Erry. (2019). Pola adaptasi narapidana di Lapas
Narkotika Kelas III Pangkalpinang. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung.
Gerungan, W.A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: Rafika
Aditama.
Hanun, Isna Busyrah. (2013). Studi tentang penyesuaian diri
mantan narapidana di kecamatan Banjarnegara
Kabupaten Banjarnegara. Skripsi Mahasiswa Program
Studi Bimbingandan Konseling Universitas
Yogyakarta.
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama. (2010). Intercultural
Communication in Contexts 5th Edition. New York:
McGraw-Hill.
Junaidi. (2012). Anomali Jiwa. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Kaplan, H. (2010). Sinopsis Psikiatri. Tangerang: Binarupa
Aksara.
Lumongga. (2009). Depresi. Jurnal Keperawatan Kesehatan.
Meleong, J. L. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Pane, dr. Merry Dame Cristy. (2019). Mengapa wanita lebih
mudah mengalami depresi?
https://www.alodokter.com/mengapa-wanita-lebih-
mudah-mengalami-depresi, diakses 29 Februari 2020
Republik Indonesia. (1999). Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan.

64 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Republik Indonesia. (1999). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 tentang Perawatan
Tahanan. http://bphn.go.id/data/documents/
99pp058.pdf, diaksespada 6 Januari 2020.
Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 35 tahun 2018 tentang
Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan.
Republik Indonesia. (1995). Undang-Undang RI Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Sari, Misda Fatriana Alsefta. (2019). Proses Penyesuaian Diri
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas II B Kota Bengkulu. Fakultas Ushulluddin Adab
dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Bengkulu.
Sunberg, Norman D., Allen A. Winebarger, & Julian R. Taplin.
(2018). Psikologi Klinis Edisi Keempat. Yogyakarta:
PustakaPelajar.
Tololiu, Tinneke A. dan Siti Hardiyanty Makalalag. (2015).
Hubungan depresi dengan lama masa tahanan
narapidana di Rumah Tahanan Negara Kelas II A
Malendeng Manado. Jurusan Keperawatan Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Manado.
Yulianto, Esa. (2014). Hubungan antara strategi koping dan
konsep diri dengan tingkat depresi pada penderita
diabetes militus tipe II di wilayah kerja puskesmas I
Kutasari Kabupaten Purbalingga. Bachelor Thesis,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 65


RESILIENSI DAN KESIAPAN MENTAL
REINTEGRASI SOSIAL NARAPIDANA
Wahda Chairunnisa Meidiningsih

A. Kondisi Narapidana
Selama menjalani masa pidana di lembaga
pemasyarakat (Lapas), narapidana menghadapi berbagai
keterbatasan : tidur dengan tempat ruangan yang tidak
nyaman, mengikuti aturan dan disiplin, beradaptasi
narapidana lain yang memiliki latar belakang yang
berbeda. Dengan kata lain, seorang narapidana dalam
jangka waktu tertentu harus berada di dalam tempat yang
dibatasi ruang lingkupnya, aktivitas yang terbatas,
komunikasi terbatas, dan segala sesuatu yang terbatas.
Adanya kondisi yang tidak menyenangkan dalam Lapas
tersebut dapat menimbulkan berbagai keadaan psikologis,
seperti muncul perasaan tidak nyaman, gelisah, cemas
serta tertekan (Harsono, 1995).
Berdasarkan hal tersebut, pembinaan yang
diberikan kepada narapidana tentunya disampaikan
secara menyeluruh. Adapun fungsi pokok pembinaan
mencakup tiga hal yaitu : a) Penyampaian informasi dan
pengetahuan; b) Perubahan dan pengembangan sikap; dan
c) Latihan dan pengembangan kecakapan serta
ketrampilan. (Mangunhardjana, 1986: 48)

B. Pembinaan narapidana
Pembinaan yang diberikan mencakup keseluruhan
aspek kebutuhan manusia, mulai dari aspek kejiwaan atau
psikologis hingga fisik atau jasmani, termasuk pembinaan
perilaku. Pembinaan narapidana dalam bentuk
penambahan pengetahuan dan kegiatan yang efektif dan

66 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


efisien bagi narapidana dapat menghasilkan perubahan
dari diri narapidana ke arah yang lebih baik dalam
perubahan berfikir, bertindak atau dalam bertingkah laku.
Perilaku dimaksud adalah operasionalisasi dan aktualisasi
sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap
suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam,
teknologi, atau, organisasi), sementara sikap adalah
operasionalisasi dan aktualisasi pendirian (Ndraha, 1997).
Perilaku adalah aktualisasi dari sikap terhadap nilai dan
norma atau obyek yang dihadapi.
Dalam kondisi keterbatasan dan pengekangan,
narapidana perlu mengembangkan cara hidup yang
membuatnya mampu bertahan dan adaptif di dalam lapas.
Kondisi yang dialami narapidana tersebut erat kaitannya
dengan kemampuan resiliensi yang dimilikinya. Resiliensi
merupakan kemampuan individu untuk mengatasi dan
beradaptasi dengan kondisi yang merugikan serta
bertahan dalam keadaan tertekan maupun bangkit dari
kesengsaraan (adversity) serta trauma yang dialami
sepanjang hidupnya (Reivich & Shatte, 2002 : 32).
Kemampuan resiliensi perlu dimiliki oleh
narapidana untuk mengatasi stres akibat tekanan dari
lingkungan sekitarnya. Narapidana yang mengalami stres
tinggi merupakan akibat dari rendahnya kemampuan
resiliensi di dalam dirinya, sehingga narapidana
mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
lingkungan Lapas, membuatnya tertekan selama menjalani
pidana. Narapidana yang memiliki kemampuan resiliensi
rendah cenderung mengalami stres dan depresi dengan
segala kegiatan di Lapas karena tidak mampu beradaptasi
dengan lingkungan Lapas (Riza & Ike, 2013).

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 67


Stres yang dialami narapidana penting untuk
menjadi perhatian petugas Lapas, karena stres dapat
dikelola narapidana dengan baik dapat memunculkan
perilaku yang menganggu keamanan dan tata tertib di
Lapas. Stres dapat menimbulkan emosi negatif seperti
mudah marah dan memunculkan perilaku buruk. Hal-hal
tersebut terjadi sebagai bentuk penyimpangan dari rasa
ketidakpuasan atau ketidaknyamanan (Trilukmana, 2018).
Berdasarkan studi di Lapas Kelas I Palembang
memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah
pelanggaran tata tertib dalam kurun waktu 5 bulan
terakhir (dijelaskan dalam gambar berikut).

Sumber : Database Lapas Kelas I Palembang


Gambar 1. Jumlah Pelanggaran Tata Tertib Lapas Kelas I Palembang

Salah satu ukuran keberhasilan narapidana


mengikuti pembinaan di lapas adalah tidak melakukan
tindakan yang melanggar keamanan dan ketertiban.
Narapidana dapat menunjukkan sikap bertahan dan
menginginkan kehidupan yang lebih baik harus terwujud
melalui program-program pembinaan yang diberikan

68 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


kepada narapidana. Sayangnya, saat ini belum adanya
indikator dan standar terukur keberhasilan pembinaan
bentuk baku yang dapat dijadikan dasar saat menetapkan
seorang narapidana siap untuk kembali ke masyarakat.
Maka tingkat resiliensi merupakan salah satu perilaku
yang sangat berperan penting dalam menghadapi suatu
permasalahan maupun mempertahankan optimisme saat
berada didalam kondisi yang sangat menekan narapidana.
Hal tersebut juga menjadi suatu indikator tersendiri bagi
kesiapan narapidana saat hendak kembali ke masyarakat.
Indikator keberhasilan pembinaan tentunya
diperlukan saat narapidana akan diusulkan mengikuti
program integrasi seperti asimilasi, pembebasan
bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Saat
ini para Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sebagai
pembuat rekomendasi dalam pemberian program
integrasi tersebut belum memiliki instrumen penilaian
yang baku dalam melaksanakan asesmen untuk keperluan
penelitian kemasyarakatan (litmas) integrasi. PK
menggunakan instrumen yang sama saat narapidana
masuk ke Lapas, hal ini tentunya tidak dapat mengukur
keberhasilan program pembinaan dikarenakan item
pertanyaan bersifat statis atau tetap.
Individu yang resilien atau memiliki ketangguhan
diri yang tinggi cenderung memiliki daya tahan yang kuat
terhadap kondisi yang membuatnya tertekan maupun
dapat beradaptasi secara baik dengan kondisi yang
membuatnya trauma sekalipun. Kehidupan narapidana di
Lapas memberikan kesan psikologis bagi masing-masing
narapidana. Setelah masa pidana tersebut menjelang
berakhir maka narapidana akan dihadapkan dengan
kehidupan luar yang akan menyambutnya dengan cara

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 69


pandang yang berbeda. Maka narapidana memerlukan
kesiapan dalam proses kembalinya ke masyarakat.
Kesiapan merupakan keseluruhan kondisi yang
membuatnya siap untuk memberikan respon di dalam
cara tertentu terhadap suatu situasi. Narapidana nantinya
akan kembali ke masyarakat dan kembali kepada situasi di
mana akan kembali hidup bermasyarakat. Dalam hidup
bermasyarakat diperlukan suatu kesiapan yang matang
dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk
kembali terjun dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kesiapan yang harus dimiliki seorang narapidana dalam
adalah kesiapan aspek kognitif, aspek afektif, aspek
psikomotorik, dan aspek sosial, dimana hal-hal tersebut
diringkas sebagai kesiapan mental.
Narapidana tanpa resiliensi yang baik akan
memiliki kecenderungan untuk mengulangi lagi tindak
pidana yang dilakukannya sebagai akibat dari tidak
adanya ketangguhan diri. Berdasarkan data jumlah WBP
Lapas Kelas I Palembang menunjukkan bahwa angka
residivis pada setiap tahun mengalami peningkatan
(dijelaskan dalam gambar berikut).
200 135 147 168
85 98

0
2015 2016 2017 2018 2019
Sumber : Database Lapas Kelas I Palembang
Gambar 1.2. Jumlah Residivis Lapas Kelas I Palembang

Narapidana yang memiliki tingkat resiliensi yang


tinggi cenderung akan memiliki rencana saat bebas dari
lembaga pemasyarakatan. Sebagai contoh, rencana untuk
memulai kehidupan yang baru bersama keluarga dan
hubungan yang baru di masyarakat. Narapidana dengan

70 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


resiliensi tinggi juga mampu menjalani segala aktifitas di
Lapas tanpa terbebani. Sedangkan narapidana dengan
resiliensi rendah, akan cenderung stres hingga
dimungkinkan menjadi depresi karena ketidakmampuan
untuk beradaptasi (Riza & Ike, 2013).
Resiliensi merupakan hal penting yang harus ada
dalam diri seorang narapidana dewasa, karena dengan
sikap resilien, ia akan berjuang untuk beradaptasi,
bertahan, dan bangkit dari kemalangan. Narapidana yang
resilien akan mendapat bekal ilmu pengetahuan,
pengalaman, dan keterampilan yang dimanfaatkan
menjalani kehidupan kembali ke masyarakat. Berdasarkan
penjelasan di atas, bahwa setiap narapidana mengalami
perjuangan saat menjalani kehidupan yang jauh dari
keluarga dan masyarakat. Mereka juga mengalami tekanan
psikis sehingga membutuhkan sikap resilien agar mampu
beradaptasi, bertahan, dan bangkit kembali.
Menurut Reivich K. dan Shatte A. dalam buku The
Resilience Factor, pada tahun 2002 menyatakan bahwa
resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan
beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah
yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan
yang tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan atau trauma yang dialami dalam
kehidupannya. Resiliensi pada diri individu akan membuat
individu mampu untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi
dalam kehidupannya yang dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Reivich dan Shatte (2002), menyebutkan
bahwa terdapat tujuh aspek yang membentuk resiliensi,
yaitu emotional regulation (regulasi emosi), impulse
control (pengendalian impuls), optimism (optimisme),
empathy (empati), causal analysis (analisis penyebab

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 71


masalah), self-efficacy (efikasi diri) dan reaching out
(pencapaian).
Menurut para ahli resiliensi dipandang sebagai
kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau
peristiwa yang traumatis. Resiliensi adalah kemampuan
untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level
yang tinggi, menjaga kesehatan dibawah kondisi penuh
tekanan, bangkit dari ketepurukan, mengatasi
kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama
dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan
menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Resiliensi membantu individu yang hidup dalam kondisi
atau pengalaman buruk dengan meningkatkan harapan
dan keyakinan yang memadai untuk pribadi dan fungsi
sosial yang lebih efektif. Individu yang memiliki resiliensi
yang baik akan berhasil menyesuaikan dirinya dengan
kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan serta
tekanan yang dialaminya di dalam kehidupannya dengan
lingkungan (Iskandar, 2017).

C. Kesiapan Mental Reintegrasi Sosial Narapidana


Kesiapan merupakan keseluruhan kondisi yang
membuat seseorang siap untuk memberikan respon di
dalam cara tertentu terhadap suatu situasi. Narapidana
nantinya akan kembali ke masyarakat (reintegrasi sosial)
dan kembali kepada situasi di mana akan kembali hidup
bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat diperlukan
suatu kesiapan yang matang dalam pengetahuan,
keterampilan, dan sikap untuk kembali terjun dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Kesiapan yang harus dimiliki seorang narapidana
adalah kesiapan dalam aspek kognitif, afektif,

72 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


psikomotorik, dan sosial. Kesiapan merupakan hal yang
mendasar dalam memulai sesuatu dan saat kembali ke
masyarakat. Apabila memiliki kesiapan, sehingga apapun
yang akan dikerjakan akan dapat teratasi dengan lancar
dan hasilnya baik terutama dalam kembali ke masyarakat.
Meskipun faktor pendidikan dan keterampilan tidak
signifikan untuk mencapai kesiapan, paling tidak bisa
menjadi salah satu faktor pendukung untuk mencapai
kesiapan yang lebih maksimal dengan didukung faktor-
faktor lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesiapan
adalah suatu keadaan bersiap-siap untuk mempersiapkan
sesuatu. Hal ini juga didukung oleh Dalyono (2005), bahwa
kesiapan adalah kemampuan yang cukup baik fisik dan
mental untuk melakukan suatu kegiatan. Namun, bukan
hanya kesiapan mental, menurut Hamalik (2008)
mengemukakan bahwa kesiapan juga merupakan
tingkatan atau keadaan yang harus dicapai dalam proses
perkembangan perorangan pada tingkatan pertumbuhan
mental, fisik, sosial dan emosional (Hamalik, 2008).
Berdasarkan definisi itu, bahwa kesiapan dapat diartikan
sebagai suatu keadaan atau kemampuan yang baik,
ditinjau secara fisik, mental, maupun sosial untuk
melakukan suatu kegiatan atau kerja. Kesiapan seorang
narapidana juga akan dipengaruhi oleh pengalaman
menjalani proses pembinaan selama masa tahanan di
Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam sebuah hasil penelitian di United States
Department of Labor oleh Center for Faith-Based and
Community Initiatives, dikemukakan bahwa salah satu hal
yang menghambat kesuksesan mantan narapidana dalam
menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat adalah

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 73


ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan
narapidana akan status yang disandangnya sehingga
diperlukan suatu program reintegrasi bagi mantan
narapidana dalam melakukan proses sosialisasi kembali
dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini akan
terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan dan hak bagi
mantan narapidana untuk kembali dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kesiapan narapidana dalam menghadapi proses
integrasi ke dalam masyarakat akan terkait dengan
program asimilasi yang diadakan sebagai upaya
reintegrasi kembali narapidana dalam kehidupan
bermasyarakat. Program reintegrasi bagi narapidana akan
didapatkan selama menjalani proses pembinaan pada 2/3
sisa masa pidana. Penanganan mantan narapidana
difokuskan pada reintegrasi dirinya dalam kehidupan
bermasyarakat dan pengakuan bahwa tindak pidana
merupakan bagian tanggungjawab dari masyarakat akan
usaha pencegahan dan pengawasan terhadap terjadinya
kejahatan.
Teori kesiapan menurut Thorndike (1871) disebut
sebagai law of readiness, dimana kesiapan diartikan bahwa
seseorang memiliki kemampuan untuk bersedia dan
bertindak terhadap sesuatu untuk mencapai kepuasan
(dalam Slameto, 2000). Dijelaskan bahwa sikap kesiapan
diawali dari mental atau psikis yang baik. Kesiapan mental
terbentuk oleh rasa kemauan, mempunyai keyakinan, jujur
dan bertanggungjawab. Hal tersebut menunjang
kehidupan manusia secara psikososial. Komponen
pembentuk kesiapan mental dijelaskan sebagai berikut:

74 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


1. Mempunyai kemauan
Kemauan merupakan tenaga penggerak yang
berasal dari dalam diri manusia. Dorongan diartikan
sebagai kehendak yang terarah pada suatu tujuan.
Kemauan dapat pula diartikan sebagai kemampuan
untuk menentukan pilihan, memiliki kebebasan untuk
mengendalikan diri serta bertindak. Kemauan yang
positif oleh seorang narapidana, seperti mau memiliki
pekerjaan yang halal, mau memperbaiki hubungan
dengan orang lain, mau memperbaiki diri sehingga
mampu menjadi pribadi yang lebih baik.
2. Berkeyakinan
Berkeyakinan atau memiliki suatu keyakinan
diartikan dengan narapidana tersebut mempercayai
suatu kebenaran. Yakin atau percaya mendorong
seseorang untuk tetap teguh dalam pendirian yang ia
anggap benar. Hal ini membuat seseorang tidak akan
mudah untuk terpengaruh terhadap hal-hal negatif
yang tentunya tidak dapat untuk dihindari.
3. Jujur
Kejujuran secara etimologi berarti lurus hati,
tidak berbohong, tidak curang, mengikuti aturan, tulus
dan ikhlas. Jujur adalah salah satu pembentuk karakter
dan moral manusia yang berakhlak mulia di mana
orang yang memiliki kejujuran tentu ia akan memiliki
rasa integritas, adil, setia, dan dapat dipercaya oleh
orang lain. Jujur juga diartikan sebagai suatu
kesesuaian sikap antara perkataan dan perbuatan.
4. Bertanggungjawab
Rasa tanggungjawab adalah suatu pengertian
dasar untuk memahami manusia sebagai makhluk yang
menjunjung kesusilaan dan dapat mengukur tinggi

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 75


rendahnya akhlak seseorang. Rasa tanggungjawab tidak
hanya berlaku bagi diri manusia itu sendiri namun juga
berlaku terhadap hubungan dengan orang lain.
Tanggungjawab diartikan pula sebagai implementasi
dari kesadaran akan kewajiban.
Kesiapan mental narapidana akan terkait dengan
pembinaan mental yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan. Kesiapan mental bagi mantan
narapidana akan terkait dengan keadaan psikososial diri
narapidana akan pemikiran dan perasaan dirinya dalam
upaya untuk mengontrol kembali tingkah lakunya secara
tepat. Narapidana diharapkan sudah menyadari kesalahan
dan bisa menerima serta menangani rasa frustasi dengan
wajar, mengendalikan emosi dirinya melalui ibadah
(agama), memiliki rasa kepercayaan diri dan semangat
untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat, dan dapat
menangani rasa cemas dan gelisah.
Tingkat resiliensi berdasarkan dimensi emotional
regulation dan variabel kesiapan mental berbanding lurus.
Dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi emotional regulation, maka semakin
tinggi kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi emotional regulation, maka semakin
rendah pula kesiapan mental narapidana kembali ke
masyarakat.
Dimensi emotional regulation yang menjadi salah
satu faktor atau indikator yang mempengaruhi tingkat
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat. Saat
kembali ke masyarakat narapidana harus memiliki
kapasitas untuk dapat mengendalikan dan menyesuaikan
emosi yang muncul pada intensitas yang tepat hingga

76 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


mampu untuk mencapai tujuan. Regulasi emosi terdiri atas
kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis,
kognisi yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi yang
berhubungan dengan emosi (Shaffer, 2005 : 19).
Tingkat resiliensi berdasarkan dimensi impulse
control dan variabel kesiapan mental berbanding lurus.
Dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi impulse control, maka semakin tinggi
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi impulse control, maka semakin
rendah pula kesiapan mental narapidana kembali ke
masyarakat.
Pengendalian impuls yang rendah mampu
meningkatkan percepatan timbulnya perubahan suasana
emosi yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini berakibat
terhadap kemampuan orang tersebut untuk
mengendalikan pikiran dan tingkah laku. Tingkah laku
yang muncul tersebut memberikan rasa ketidaknyamanan
terhadap lingkungannya sehingga berdampak pada
hubungan dengan lingkungan (Reivich, 2002 : 39).
Tingkat resiliensi berdasarkan dimensi emphaty
dan variabel kesiapan mental berbanding lurus. Dapat
diartikan bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi emphaty, maka semakin tinggi
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi emphaty, maka semakin rendah pula
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Dimensi emphaty menjelaskan bahwa seorang
berkemampuan untuk mengerti dan memahami apa yang
orang lain rasakan. Secara ringkas, empati dijelaskan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 77


sebagai pembayangan diri saat berada di posisi orang lain.
Mantan narapidana yang memiliki empati tinggi saat
kembali ke masyarakat akan mudah untuk membangun
relasi dengan orang lain, mudah untuk berperilaku tolong-
menolong, menimbulkan moral yang tinggi dan mengatur
emosi (Anandika, 2019).
Tingkat resiliensi berdasarkan dimensi optimism
dan variabel kesiapan mental berbanding lurus. Dapat
diartikan bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi optimism, maka semakin tinggi
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi optimism, maka semakin rendah pula
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Individu yang memiliki rasa optimis akan
memandang masa depan dengan penuh kebahagiaan dan
semangat. Narapidana yang kembali ke masyarakat
memiliki harapan untuk meraih kehidupan yang lebih baik
dengan keberhasilan dan mampu untuk mengembangkan
diri secara maksimal (Aldita, 2004).
Tingkat resiliensi berdasarkan dimensi causal
analysis dan variabel kesiapan mental berbanding lurus.
Dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi causal analysis, maka semakin tinggi
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi causal analysis, maka semakin
rendah pula kesiapan mental narapidana kembali ke
masyarakat.
Saat narapidana kembali ke masyarakat, tentu ia
akan dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan
kehidupan. Causal analysis yang dimiliki oleh mantan

78 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


narapidana dijadikan suatu kemampuan untuk
mengidentifikasi penyebab dari permasalahan tersebut.
Apabila ia mampu mengidentifikasi secara tepat maka
dapat menjadi suatu jaminan bahwa mantan narapidana
tersebut tidak membuat kesalahan yang sama.
Tingkat resiliensi berdasarkan dimensi self efficacy
dan variabel kesiapan mental berbanding lurus. Dapat
diartikan bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi self efficacy, maka semakin tinggi
kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi
berdasarkan dimensi self efficacy, maka semakin rendah
pula kesiapan mental narapidana kembali ke masyarakat.
Bandura dan Woods menyatakan bahwa self efficacy
mengarah pada suatu keyakinan terhadap diri untuk
mampu memiliki motivasi, mampu secara kognisi, dan
melakukan tindakan-tindakan yang memenuhi harapan
(Ghufron, 2010). Mantan narapidana yang dihadapkan
dengan situasi yang sulit cenderung akan mudah
menyerah jika belum cukup memiliki kemampuan efikasi
diri. Individu yang memiliki kemampuan efikasi diri yang
tinggi akan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengatasi tantangan dan permasalahan yang ada.
Tingkat resiliensi berdasarkan dimensi reaching
out dan kesiapan mental berbanding lurus. Dapat diartikan
bahwa semakin tinggi tingkat resiliensi berdasarkan
dimensi reaching out, maka semakin tinggi kesiapan
mental narapidana kembali ke masyarakat. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi berdasarkan
dimensi reaching out, maka semakin rendah pula kesiapan
mental narapidana kembali ke masyarakat. Reaching out
atau pencapaian oleh seorang mantan narapidana saat

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 79


kembali ke masyarakat ialah saat ia mampu untuk
mengambil hikmah dari terjadinya suatu permasalahan
yang menimpanya. Pencapaian lainnya adalah individu
mampu untuk meraih nilai-nilai positif kehidupan tanpa
rasa kompromi dengan ketakutan dan rasa
ketidakmampuan. Banyak individu yang tidak mampu
melakukan reaching out dikarenakan sejak kecil
ditanamkan oleh suatu pola pikir untuk menghindari
kegagalan atau situasi yang menakutkan.
Narapidana dengan resiliensi rendah adalah
narapidana yang belum mampu untuk meregulasi emosi
atau bersikap tenang di bawah suatu tekanan,
mengendalikan impuls atau dorongan, mempunyai sikap
empati, mempunyai rasa optimisme terhadap masa depan
yang lebih baik, mampu untuk menganalisis dan
mengidentifikasi penyebab masalah secara tepat, memiliki
efikasi diri atau keyakinan diri dan meraih suatu
pencapaian berdasarkan suatu kompetensi. Individu
dengan resiliensi yang rendah tentu akan mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri, mengendalikan emosi,
mengatur tingkah laku, dan memperhatikan suatu
permasalahan. Individu tersebut cenderung akan terjebak
dalam emosinya sendiri, mengalami kesulitan untuk
membuat keputusan secara tepat dan akurat, mengalami
kesulitan menghadapi persoalan secara positif, serta
tertutup pada kehidupan yang baru.
Situasi dan kondisi yang dihadapi narapidana
selama menjalani masa pidana di Lapas menjadikan
narapidana cenderung merasakan permasalahan
psikologis. Individu dengan harga diri yang rendah
memiliki potensi untuk mengalami stres hingga depresi,
maka dari itu diperlukan kemampuan resiliensi sebagai

80 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


ketangguhan diri saat menghadapi permasalahan dalam
hidupnya (Rahmasari, Jannah & Sukmawati, 2014).
Menurut Everall (2006), tingkat resiliensi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor individual,
faktor keluarga, dan faktor komunitas. Sedangkan
menurut Grotberg (1999), resiliensi dipengaruhi oleh
faktor berikut : Satu, sumber dukungan sosial. Hal ini
berkaitan dengan relasi dengan keluarga yang harmonis,
lingkungan pembelajaran yang nyaman dan kondusif serta
hubungan lain di luar lingkungan keluarga. Dua,
kemampuan individu itu sendiri. Kemampuan tersebut
terkait kekuatan dai dalam diri seperti percaya diri, sikap
yang tenang, bertaqwa, berempati, bertanggungjawab dan
mandiri. Tiga, kemampuan individu secara sosial dan
interpersonal. Hal ini berkaitan dengan keterampilan
sosial dan interpersonal seperti keterampilan mengatur
emosi saat berhubungan dengan orang lain, keterampilan
tolong-menolong, keterampilan menghibur orang lain
serta kemampuan menyelesaikan masalah bersama-sama
dengan orang lain.
Peningkatan resiliensi dapat dilaksanakan melalui
program-program pembinaan bidang kepribadian maupun
kemandirian. Program pembinaan kepribadian dan
kemandirian membuat narapidana memiliki banyak
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang
bermanfaat.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 81


Daftar Pustaka

Aldita. (2004). Optimisme Masa Depan Ditinjau Dari


Motivasi Dan Latar Belakang Status Sosial. Fakultas
Psikologi UMS : Surakarta.
Anandika, P. (2019) Empati Adalah Emosi Yang Berbeda
Dengan Rasa Iba. Jurnal Psikologis: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Connor, K.M., Davidson, J.R. (2003). Development of a New
Resilience Scale : The Connor-Davidson Resilence Scale
(CD-Risc). Research Article about Depression and
Anxiety 18:76-82. Wiley-Liss. Inc.
Dalyono. (2005). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Guilford, J.P. (1956). Fundamental Statistic in Psychology and
Education. 3rd Ed. New York: McGraw-Hill Book
Company, Inc.
Hamalik, O. (2008). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan
Pendekatan Sistem. Jakarta : Bumi Aksara.
Harsono, C. H. (1995). Sistem Baru Pembinaan Narapidana.
Jakarta: Djambatan.
Iskandar, A.B. (2017). Resiliensi Mantan Narapidana
terhadap Penolakan Lingkungan. Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Mangunhardjana. (1996). Pembinaan, Arti dan Metodenya.
Yogyakarta: Kanisius.
Nasution, S.M. (2011). Resiliensi : Daya Pegas Menghadapi
Trauma. Medan : Medan USU Press.
Ndraha, T. (1997). Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahmawati, D., Jannah, M., Sukmawati, P. N. W., (2014).
Harga Diri dan Religiusitas dengan Resiliensi Pada
Remaja Madura Berdasarkan Konteks Sosial Budaya
Madura. Jurnal Psikologi Teori & Terapan Vol. 4, No. 2,
130-139, ISSN:2087-1708

82 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Reivich, K., Shatte, A. (2002). The Resilience Factor. United
Kingdom : Amazon’s Book.
Riza, M., Herdiana, I. (2013). Resiliensi pada Narapidana
Laki-Laki di Lapas I Medaeng. Jurnal Psikologi
Kepribadian dan Sosial Vol.2 No.1, Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya.
Shaffer, DR. (2005). Social and Personality Development. USA :
Thomson.
Slameto. (2000). Belajar dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Trilukmana, I. (2018). Hubungan Coping Flexibilty dan
Resiliensi Pada Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Klas IIA Malang, Skripsi
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah
Malang.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 83


DAMPAK PSIKOLOGIS DUKUNGAN KELUAGA
PADA ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Dinda Sawajua Wijanarko

Usia anak adalah usia yang sangat rentan dipengaruhi


kondisi psikologisnya dari faktor luar yaitu lingkungan,
pergaulan, dan sekolah. Perkembangan psikologis pada usia
anak merupakan masa yang alami terjadi pada usia anak pada
umumnya. Pada usia ini, anak tumbuh dan kembang dengan
sangat pesat dar segi fisik, kognitif, atau sosial. Jika masa anak
tidak didampingi dengan baik maka anak mengalami masa
krisis atau situasi dan kondisi yang sulit juga masalah
psikologis yang mengakibatkan perilaku yang negatif seperti
kurangnya disiplin pada anak, motivasi yang rendah,
melanggar peraturan, tindakan yang berujung kekerasan,
bullying (perundungan), melakukan tindakan kejahatan
seperti mengkonsumsi narkoba dan efek negatif lainnya. Hal
ini tentu merugikan banyak pihak, jika masa anak tersebut
hingga melakukan tindakan kejahatan yang berujung
pemidanaan pada anak itu sendiri.
Anak yang tersangkut dalam pemidanaan di Indonesia
sudah diatur dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA).
Dalam sistem peradilan pidana Anak dijabarkan bahwa
pembimbing kemasyarakatan melakukan pendampingan
sejak Anak ditetapkan menjadi tersangka sampai Anak
memiliki kekuatan hukum tetap atau berhasilnya pada proses
Diversi. Kategori anak yang berkonflik dengan hukum adalah
Anak yang telah berusia 12 tahun sampai berusia 18 tahun
(Sulchan & Ghani, 2017).
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) merupakan
lingkungan yang didesain untuk pemenuhan hak dan
kewajiban anak. Pengaruh tersebut dapat berupa dampak

84 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


psikologis anak selama berada di dalam Lembaga Pembinaan
Khusus Anak. Untuk menangani dampak psikologis akibat
pemidanaan anak di LPKA, anak memerlukan dukungan yang
berperan menekan dan meminimalisir dampak psikologis
dialami oleh anak. Dukungan tersebut bersumber dari luar
individu anak yang pada hakekatnya mempunyai ikatan atau
hubungan sosial dengan anak. Ikatan tersebut merujuk pada
hubungan keluarga yang di dalamnya juga terdapat peran
anak sebagai anggota keluarga.
Pemidanaan yang dijalani oleh anak tentu memberikan
dampak tersendiri pada anak dalam kehidupan sehari-hari
berada di LPKA dampak tersebut salah satunya dampak
psikologis. Dampak tersebut tentu tidak dapat dihindari oleh
anak tidak dapat disetarakan dengan narapidana dewasa
sehingga rentan sekali anak merasakan dampak psikologis
yang diakibatkan pemenjaraan dalam lembaga. Oleh karena
itu, diperlukan suatu dukungan yang bersifat ekstrinsik yang
dapat menekan dan meminimalisir dampak psikologis
tersebut selama masa pidana yang dijalani oleh anak di LPKA.
Dukungan yang dimaksud yakni dukungan keluarga, di mana
secara mendasar anak tentu memiliki suatu hubungan atau
ikatan yang kuat sebagai bagian dari angota keluarga.
Dukungan keluarga akan berlawananan dengan tekanan
selama anak berada di dalam LPKA, sehingga dampak yang
mempengaruhi anak ketika memiliki instensitas dukungan
keluarga tinggi maupun rendah serta tekanan pada anak di
LPKA akan menghasilkan nilai yang positif atau negatif dari
segi psikologis.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 85


A. Social Family Support
Menurut Hurlock dalam (Widanarti & Indriati,
2002). Suatu dukungan yang berasal dari keluarga dapat
berupa perhatian, bentuk penerimaan dan rasa
kepercayaan tersebut sehingga meningkatkan kebahagiaan
dalam diri anak, menyebabkan anak termotivasi untuk
terus berusaha menggapai tujuannya.
Menurut Purnamaningsih dengan adanya
hubungan dan komunikasi yang baik antara orangtua dan
anak menghasilkan support yang baik dalam pemecahan
masalah pada anak tetapi kondisi tersebut dibatasi oleh
waktu pertemuan didalam keluarga (Widanarti & Indriati,
2002). Dalam dukungan sosial keluarga terdapat pengaruh
yang penting terhadap anak yang berupa kasih sayang
orang tua terhadap anak atau sebaliknya, sebagai media
support kepada anggota keluarganya yang sedang
mengalami permasalahan, dan dukungan sosial keluarga
mendorong anggota keluarganya dapat mencapai suatu
cita cita atau keinginan, dan media yang memberikan
motivasi bagi anak serta dukungan moral dan memberikan
setiap bantuan psikologis atau materi kepada anggota
keluarganya.
Keluarga merupakan suatu media edukasi yang
pertama mengajarkan seseorang (suatu budaya yang
diberikan orang tua) guna seseorang menemukan
emosinya. Anggapan anak pada orang tua akan
membuahkan pemikiran secara general yang akan mereka
gunakan untuk mengungkapkan emosi. Keluarga adalah
media edukasi yang mempunyai pengaruh dalam
membentuk seseorang berkembang dan dapat terciptanya
suasana yang nyaman dan harmonis apabila terdapat
keserasian serta komunikasi di dalam keluarga yang kuat

86 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


antara orang tua dan anak (Retnowati, Widhiarso, &
Rohmani, 2003).
Keluarga harus mengetahui dan menyadari
keharmonisan keluarga itu tentunya mempengaruhi
tingkat kenakalan anak, di mana kondisi keluarga yang
kurang baik (broken home), sangat kurang interaksi dan
komunikasi antar keluarga, orang tua yang otoriter, serta
terjadi suatu permasalahan di dalam keluarga akan
menghasilkan remaja yang bermasalah (Hyoscyamina,
2011). Dengan demikian, keluarga merupakan hubungan
yang komplek dan dinamis sebagai tempat berkeluh kesah
atau saling berbagi dan mengasihi antara orang tua dan
anak, sehingga anak cenderung meniru orang tua melalui
pola asuh yang diterapkan oleh orang tua serta keluarga
itu disatukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional.

B. Psikologi Anak Berkonflik dengan Hukum


Anak adalah usia di mana individu mengalami
masa perkembangan dan pertumbuhan secara pesat serta
perkembangan eksplorasi terhadap lingkungan (Murni,
2017). Pengetahuan tentang anak pada UU SPPA tahun
2012 yaitu anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun (Munajah,
2016).
Psikologis anak memiliki beberapa aspek yang
berkaitan dengan individu mempelajari dan memikirkan
lingkungannya secara kognitif yaitu aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan
pengolahan informasi, pengetahuan, pemecahan masalah
dan semua proses yang didapatkan dari mempelajari,
memperhatikan, mengamati, membayangkan,
memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 87


(Rohmah, 2010). Maka dari itu psikologis anak merupakan
gabungan dari beberapa sifat dan dihasilkan sebuah
tindakan oleh anak.
Pemidanaan adalah suatu penjatuhan hukuman
bagi seorang terpidana oleh hakim untuk
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang
diharapkan seorang terpidana akan mempunyai sikap
tindak yang baik setelah menjalani pidananya (Loqman,
1986). Pemidanaan itu sendiri bertujuan untuk menyadari
bersalah, menghindari efek dekstruktif dan berperan aktif
mengembalikan kehidupan sosialnya secara wajar dengan
melakukan perbuatan yang diterima oleh masyarakat
(Hikmawati, 2016).

C. Dukungan keluarga terhadap psikologis Anak


Studi terhadap anak yang berada di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta menunjukkan
bawah dukungan keluarga (family support mempengaruhi
tingkat kondisi psikologis anak berdasarkan dimensi
pembelajaran, motivasi diri, tindakan, dan emosionalnya.
Persentase nilai pengaruh ini sebesar 90,4%, yang
menggambarkan semakin tinggi tingkat dukungan
keluarga maka semakin tinggi (positif) tingkat kondisi
psikologis anak. Sebaliknya, semakin rendah tinggi tingkat
dukungan keluarga maka semakin rendah tingkat kondisi
psikologis anak.

88 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Gambar 1. Statistik status dalam keluarga

Gambar 1 memperlihatkan dukungan keluarga


terhadap anak Lembaga Pembinaan Khusus Anak Jakarta
yang berjumlah 20 anak, pada penelitian ini terdiri ayah
sebanyak 11 orang atau sebesar 55% dan status sebagai
ibu sebanyak 6 orang atau sebesar 30% kemudian status
sebagai saudara sebanyak 2 orang atau sebesar 10%
setelah itu sisanya sebanyak 1 orang yang berstatus
sebagai kerabat sebesar 5%.
Penelitian yang dilakukan oleh Glanz dkk.,2008
pada jurnal (Nurhidayati, 2014), bahwa dukungan sosial
keluarga adalah media yang memiliki fungsi hubungan
yang dapat dijelaskan dalam empat hal yaitu dukungan
emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi
dan dukungan penilaian. Masing-masing indikator dari
dukungan sosial keluarga adalah sebagai berikut:

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 89


1. Dukungan emosi yaitu suatu bentuk dorongan yang
menciptakan sifat yang rendah hati, kenyamanan, dan
rasa sayang terhadap sesama.
2. Dukungan instrumental adalah suatu bentuk yang nyata
berupa materi atau jasa antara keluarga dan anak.
3. Dukungan informasi merupakan pemberian
pembelajaran atau edukasi suatu keterampilan dan
minat anak yang bertujuan untuk mengatasi suatu
masalah yang berupa nasehat antara keluarga dan anak,
petunjuk, atau penghargaan terhadap anak.
4. Dukungan penilaian yaitu melibatkan informasi yang
ditujukan kepada anak agar menunjang seseorang
dalam menilai kemampuan dirinya sendiri
Dukungan keluarga merupakan hal yang sangat
penting bagi anak yang sedang menjalani pidana di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak, sehingga kondisi
psikologis yang sedang terjadi pada anak akan berbubah
sesuai dengan tingkat dukungan keluarga, pada jurnal
(Widanarti & Indriati, 2002) bahwa dukungan dari
keluarga yang berupa penerimaan, perhatian dan rasa
percaya tersebut akan meningkatkan kebahagiaan dalm
diri anak serta kebahagiaan yang diperolh anak
menyebabkan anak termotivasi untuk terus berusaha
dalam kehidupannya, sehingga anak mempunyai rasa
percaya diri dalam melakukan berbagai hal dan dukungan
keluarga dapat membantu anak dalam menyelesaikan
suatu masalah. Anak akan lebih baik dari segi
pembelajaran, motivasi, tindakan, dan emosional apabila
dukungan keluarga yang diberikan sangat baik dan
membuat anak tersebut mempunyai tingkat psikologis
yang lebih baik dengan adanya dukungan keluarga yang
tinggi.

90 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Gambar 2. Hubungan dukungan keluarga dengan psikologis anak

Motivasi yang timbul jika anak sering dikunjungi


keluarga berdasarkan wawancara yang diambil dari 3 anak
secara acak (random) maka dihasilkan sebagai berikut:
1. Senang
2. Gembira
3. Semangat
4. Motivasi untuk cepat bertemu keluarga
5. Termotivasi untuk meneruskan pendidikan paket B
6. Membahagiakan orang tua
7. Motivasi untuk bekerja
Berdasarkan hasil wawancara 3 orang anak di
LPKA mengungkapkan anak yang sering dikunjungi orang
tua akan mendapatkan perasaan yang senang dalam diri
anak, tindakan yang diambil anak semata-mata untuk
bertemu dengan keluarga dan berusaha yang terbaik
untuk keluarga anak tersebut, mempunyai motivasi yang
tinggi untuk berusaha menjadi pribadi lebih baik. Kondisi
psikologis anak akan menjadi lebih baik berdasarkan apa
yang mereka serap serta dukungan keluarga yang menjadi

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 91


motivasi anak tersebut. Sehingga anak mempunyai rasa
yang kuat untuk tujuan mereka, maka mereka akan
berusaha semampu mereka untuk menjadi anak yang lebih
baik dan menjadikan orang tua sebagai titik kembali
mereka.
Kondisi psikologis anak akan meningkat seiring
dengan tingginya intensitas dukungan keluarga, sehingga
anak akan menjadi pribadi yang lebih baik dari segi minat,
motivasi, tindakan serta emosional anak. Pada bidang
pembinaan ada beberapa perbedaaan dalam kondisi anak
jika anak tersebut didukung keluarga dan tidak didukung
keluarga, maka ada beberapa perbedaan sebagai berikut :
1. Dengan dukungan keluarga
a. Semangat
b. Aktif
c. Lebih terbuka
d. Lebih mudah untuk diatur
e. Patuh pada perintah
2. Tanpa dukungan keluarga
a. Tidak semangat
b. Tidak aktif
c. Tidak termotivasi
d. Tidak menunjukan bakat
Pada beberapa kondisi tersebut yang menjadi
alasan di bidang pembinaan pada LPKA lebih
mengedepankan kondisi anak dengan memberikan
mentoring dan pembinaan yang sesuai dengan kondisi
anak yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi, bakat
dan minat anak dapat lebih baik dengan kerja sama pihak
ke-3 dengan LPKA. Kerjama dengan organisasi ini dengan
tujuan yang sama untuk membina anak, memberikan
pendidikan pada anak, dan menjadi keluarga sementara

92 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


untuk anak yang berada di LPKA. Dengan kerja sama
organisasi, pembinaan untuk memotivasi anak lebih aktif.

D. Kesimpulan
Dukungan keluaga memberikan pengaruh positif
terhadap kondisi psikologis anak. Semakin tinggi tingkat
dukungan keluarga maka semakin tinggi kondisi psikologis
anak, kekuatan korelasi antara tingkat dukungan keluarga
dengan tingkat kondisi psikologis anak. Hubungan atau
relasi yang berkualitas antara orang tua dan anak dapat
dilihat ketika orang tua dapat memenuhi kebutuhan anak
yaitu kebutuhan rasa aman, keselamatan, cinta dan kasih
sayang serta kebutuhan aktualisasi diri. Suatu hubungan
yang baik akan berpegaruh positif perkembangan,
misalnya pada penyesuaian, kesejahteraan, perilaku sosial,
dan transmisi nilai. Sebaliknya, hubungan dengan yang
buruk dapat menimbulkan akibat pada masalah perilaku
pada diri anak. Hubungan yang terjalin antara orang tua
dengan anak dapat dilihat dari adanya keterikatan
perasaan antara orang tua dan anak serta keluarga yang
hangat. Hubungan yang berkualitas antara orang tua dan
anak dapat berpengaruh pada penilaian anak terhadap
kontrol yang dilakukan oleh orang tua. Sehingga dukungan
orang tua sangatah berpengaruh terhadap kondisi
psikologis anak yang berada pada Lembaga Pembinaan
Khusus Anak.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 93


Daftar Pustaka

Hikmawati, P. (2016). Pidana pengawasan sebagai pengganti


pidana bersyarat menuju keadilan restoratif. Jurnal
Negara Hukum, 71-88.
Hyoscyamina, D. E. (2011). Peran keluarga dalam
membangun karakter anak. Jurnal Psikologi Undip,
144-152.
Loqman, L. (1986). Pemidanaan yang bagaimana. Jurnal
Hukum dan Pembangunan Vol 14, No 6 (1984), 576-
582.
Munajah. (2016). Ketentuan pemidanaan terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana sebelum dan sesudah
pengaturan keadilan restoratif di indonesia. Al'Adl,
50-58.
Murni. (2017). Perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial
pada masa kanak-kanak awal tahun 2-6 tahun. Jurnal
ar-raniry, 19-33.
Retnowati, S., Widhiarso, W., & Rohmani, K. W. (2003).
Peranan keberfungsian keluarga pada pemahaman
dan pengungkapan emosi. Jurnal Psikologi, 91-104.
Rohmah, E. Y. (2010). Perkembangan psikologis anak mi/sd.
Jurnal Penelitian Keagamaan dan Sosbud, 127-146.
Sulchan, A., & Ghani, G. M. (2017). Mekanisme penuntutan
jaksa penuntutan umum terhadap tindak pidana anak.
Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, 110-133.
Widanarti, N., & Indriati, A. (2002). Hubungan antara
dukungan sosial keluarga dengan self efficacy. Jurnal
Psikologi, 112-123.

94 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


PENERAPAN COGNITIVE BEHAVIOR
THERAPY (CBT) PADA NARAPIDANA YANG
MENGALAMI STRES
Melli Kurniati

A. Stres pada Narapidana


Salah satu penyebab stres narapidana adalah
terbatasnya perilaku narapidana, kepadatan isi penjara,
isolasi masyarakat, dan terbatasnya ruang personal
narapidana, sehingga narapidana cenderung merasa
sesak dalam kondisi tersebut (Welta & Agung, 2017).
Selama berada di dalam lembaga pemasyarakatan
(Lapas), narapidana yang awalnya memiliki kebebasan
menjadi individu yang memiliki beberapa keterbatasan,
misalnya dalam hal aturan-aturan yang harus dipenuhi,
hilangnya privasi, dan terpisah dari dunia luar seperti
keluarga, teman, dan pekerjaan. (Anggraini, Hadiati, &
Sarjana, 2019).
Kegiatan yang dapat dilakukannya secara bebas
sebelum masuk ke dalam Lapas dapat berubah drastis
ketika seorang narapidana masuk ke dalam Lapas.
Kegiatan yang terstruktur dan terjadwal, peraturan
yang ketat, pembatasan waktu kunjungan dan kegiatan
lainnya merupakan aturan yang harus dijalani
narapidana di dalam Lapas. Seorang narapidana
dituntut untuk dapat menyesuaikan diri terhadap
lingkungan yang ada di dalam Lapas di mana
penyesuaian tersebut tidak mudah dan membutuhkan
waktu.
Pasal 18 ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2015 tentang Pengamanan pada Lapas/Rutan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 95


menjelaskan bahwa narapidana yang masuk ke dalam
Lapas memiliki batasan dalam ruang gerak, dan
memiliki batasan area kegiatan untuk Narapidana.
Narapidana tidak dapat berkomunikasi secara bebas
dengan keluarga dan teman serta tidak dapat secara
bebas berinteraksi dengan masyarakat diluar.
Keadaan seperti ini dapat menjadi stressor yang
menyebabkan stres pada narapidana. Stres yang
dirasakan oleh individu yang menimbulkan upaya
untuk melakukan reaksi terhadap stres yang
dialaminya. Reaksi tersebut merupakan suatu aktivitas
untuk melakukan penyesuaian diri terhadap situasi
perangsang tertentu, yang apabila tidak dapat
dilakukan dengan baik akan menyebabkan gangguan
fisik maupun kejiwaan. (Buahatika, 2019 : 47).
Poernomo (1985) mengungkapkan, masa
hukuman menyebabkan narapidana mengalami banyak
kehilangan seperti, kehilangan pekerjaan, kehilangan
pelayanan pribadi, kehilangan kenyamanan dan
kehilangan kebebasan (Welta & Agung, 2017).
Hukuman pidana yang didapatkan oleh narapidana
dapat berdampak pada psikologisnya berupa susah
tidur, memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, depresi
kronis, penarikan dirinya terhadap lingkungan, serta
memiliki perasaan yang berbeda dari orang lain. Selain
dampak psikologis, narapidana juga memiliki beban
sosial dari hukuman pidananya itu sendiri. Narapidana
juga menerima stigma buruk, stigma buruk yang
diberikan oleh masyarakat dapat bertahan sangat lama
hingga narapidana itu bebas dari Lapas. Oleh karena itu
stigma tersebut mengakibatkan narapidana susah
untuk kembali kedalam lingkungan masyarakat.

96 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Menurut Cho et al, (2008), untuk mengurangi
tekanan dan stres yang dirasakan oleh narapidana
dilakukan upaya Cognitive Behavior Therapy (CBT)
untuk mencegah dan mengurangi stres, dengan
menurunkan gejala penyakit melalui modifikasi pikiran
dan perilaku negatif. CBT adalah terapi yang
memfokuskan pada bagaimana mengubah pemikiran
atau keyakinan yang negatif (Beck, 1988). Tujuan dari
CBT adalah untuk membantu seseorang untuk
memecahkan permasalahan yang ada pada diri
seseorang mengenai disfungsi emosional, perilaku dan
kognisi secara sistematis. Dalam (Yusuf, Yanuvianti, &
Coralia, 2009 : 431) CBT akan merubah sikap dan
perilaku seseorang yang memiliki masalah psikologis
apabila mereka belajar berpikir secara berbeda.

B. Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Menurut Horwin (dalam Sudrajat, 2008), CBT
merupakan salah satu dari bentuk konseling yang
bertujuan untuk memberi bantuan kepada klien agar
klien menjadi lebih baik dan memperoleh pengalaman
hidup yang memuaskan. CBT memodifikasi cara
berpikir klien dengan memusatkan cara berpikir yang
berhubungan dengan emosional dan psikologi klien.
Pendekatan ini berupaya membantu klien mengubah
pemikiran yang tidak logis menjadi pemikiran yang
logis. Para ahli yang tergabung dalam National
Association of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT),
mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior
therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang
menekankan peran yang penting berpikir bagaimana

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 97


kita merasakan dan apa yang kita lakukan (NACBT,
2007).
CBT merupakan pendekatan konseling yang
memfokuskan pada pembenahan kognitif seseorang
yang menyimpang akibat dari kejadian yang merugikan
dirinya baik secara fisik maupun secara psikis. CBT
dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan
mental, tujuan dari CBT adalah mengajak individu
untuk belajar mengubah perilaku dirinya,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga dirinya
menjadi lebih baik, serta dapat berpikir dengan jelas
dan membantu klien untuk membuat keputusan yang
tepat.
Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003)
meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk
melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang
saling berkaitan membentuk semacam jaringan SKR
didalam otak manusia. Proses kognitif menjadi faktor
yang menentukan bagaimana manusia dapat berpikir,
merasakan dan bertindak. Manusia dapat berpikir
secara rasional dan irasional, dimana pemikiran yang
rasional dapat menyebabkan gangguan emosi serta
tingkah laku yang menyimpang, untuk itu CBT dapat
memodifikasi fungsi berpikir, merasakan dan bertindak
dengan menekankan peran otak dalam menganalisa,
bertanya, memutuska, bertindak serta memutuskan
kembali. Dengan memodifikasi pemikiran CBT
diharapkan dapat mengubah tingkah laku seseorang
yang negatif menjadi positif.
CBT merupakan bentuk psikoterapi yang
terstruktur berdasarkan pada premis bahwa pemikiran,
perasaan dan perilaku individu saling mempengaruhi

98 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


dalam hubungan timbal balik. CBT berfokus kepada
pikiran subyek yang disebabkan oleh sebagian stimulus
yang mengarah kepada respon emosional. Menurut
(Beck, 2011) berpendapat bahwa individu dengan
kesulitan emosional cenderung untuk melakukan
keslahan logis yang menyimpang dari realita objektif.
Kesalahn logis yang terjadi pada individu termasuk
dalam kategori distorsi kognitif (Corey, 2009). Berikut
daftar distorsi kognitif menurut Beck :
1. Arbitary Inference (Berprasangka Buruk)
Individu cenderung membuat kesimpulan tanpa
didukung oleh bukti yang nyata,relevan, dan
memikirkan skenario terburuk.
2. Selective Abstraction (Pikiran Selektif)
Yaitu pembentukan kesimpulan berdasarkan
hasil yang terisolasi dari sebuah kejadian. Informasi
yang lain terabaikan, asumsi dari kejadian penting
karena berurusan dengan kegagalan dan kelemahan.
3. Overgeneralization (Overgeneralisasi)
Yakni individu membuat kesimpulan negatif
yang jauh dari situasi yang dialami, individu memegang
keyakinan ekstrim berdasarkan sebuah insiden tunggal
dan menerapkan hal tersebut pada situasi dan latar
yang berbeda.
4. Catastrophising (Katastropisasi)
Yaitu berpikir hal yang paling buruk dalam
suatu situasi atau berpikir terlalu berlebihan dalam
suatu situasi.
5. Labelling (Label)
Distorsi kognitif ini memberi label pada
siapapun; orang lain, ataupun kita sendiri. Padahal,
setiap orang punya banyak sisi dan tidak mungkin satu

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 99


label dapat mendeskripsikan keseluruhan sisi
seseorang.
6. Dischotomus Reasoning (Berpikir Hitam-Putih)
Distorsi kognitif ini membuat kita berpikir
hanya di dua titik ekstrem. Orang-orang pasti baik atau
jahat. Hidup akan berjalan lancar atau buruk. Peristiwa
yang kita alami hanya terdiri dari kejadian baik atau
buruk.
7. Negatives Imperatives (Keharusan)
Ide yang tegas mengenai keharusan akan segala
sesuatu yang ditemui dalam kehidupan. Menurut (Beck,
2011) Tahapan konseling dengan menggunakan
pendekatan CBT adalah sebagai berikut :
8. Tahap Awal
Pada tahap awal mengumpulkan data dari klien,
sehingga konselor dapat menyusun dan
memprioritaskan agenda konseling yang akan
dilaksanakan. Pada tahap ini konselor fokus pada
konseptualisasi masalah klien.
9. Tahap Pertengahan
Klien dan konselor mendiskusikan masalah
yang termasuk dalam agenda untuk dipecahkan.
Konselor bertugas untuk memperkuat, membantu dan
mengevaluasi pikiran dari klilen dan meminta klien
mengungkapkan pemahaman yang mereka dapatkan.
10. Tahap Akhir
Pada tahap akhir sesi, konselor membahas dan
mengevaluasi perkembangan klien selama konseling
dengan berdasarkan respon dari klien.

100 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


C. Penanganan Stres Narapidana dengan CBT
Menurut (Isaacs, 2004) Stres merupakan
stimulus atau situasi yang dapat menimbulkan distres
dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis yang terjadi
pada seseorang. Stres membutuhkan adaptasi yang
cukup, sindrom adaptasi umum atau teori Selye
menggambarkan stres sebagai suatu kerusakan yang
terjadi pada tubuh seseorang, tanpa memperdulikan
apakah penyebab dari stres tersebut positif ataukah
menjadi negatif. Respon tubuh dapat diprediksi tanpa
memperhatikan stresor atau penyebab tertentu.
Menurut (Hawari, 2001) Stres adalah respon
dari tubuh yang bersifat nonspesifik terhadap tuntutan
setiap bebannya. Bila seseorang setelah mengalami
stres terdapat gangguan pada satu atau bahkan lebih
dari organ tubuh, sehingga seseorang tidak dapat
menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka
seseorang tersebut mengalami distres. Kondisi stres
seseorang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Kondisi tidak stres (eustres), dimana seseorang
dapat mengatasi stresnya sendiri dan tidak terdapat
gangguan pada fungsi organ tubuh.
2. Kondisi stres (distres), merupakan keadaan di mana
seseorang sedang mengahadapi stres dan terjadi
gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga
seseorang tdak dapat menjalankan fungsinya dengan
baik.
Stres tidak memiliki batasan ruang dan waktu,
serta tidak terbatas dengan usia dan jenis kelamin..
ketika seseorang mendapatkan tekanan-tekanan yang
menyebabkan ketegangan pada syaraf, maka pada saat
itulah seseorang mengalami stres. Menurut Aizid

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 101


(2015) stres dapat berpengaruh buruh terhadap otak,
yang menyebabkan tidak adanya keseimbangan
kimiawi di dalam tubuh dan dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit berbahaya. Selain itu, akan
berpengaruh terhadap memori seseorang, fokus, serta
konsentrasi yang membuat seseorang menjadi tidak
tenang. Stres yang muncul merupakan akibat dari
adanya tuntutan yang melebihi kemampuan dari
individu untuk memenuhinya. Apabila seseorang tidak
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan, maka
seseorang akan merasakan suatu kondisi ketegangan di
dalam dirinya. Ketegangan yang berlangsung lama dan
tidak ada penyelesaian, akan berkembang menjadi
stress.
Menurut (Prayitno, 2009) keadaan yang terjadi
tersebut merupakan keadaan yang banyak dialami oleh
seorang narapidana. Narapidana sebelumnya
merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat yang
tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang
narapidana. Namun, karena suatu keadaan atau sesuatu
hal, mengakibatkan seseorang menjadi narapidana dan
masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Stuart dan
Sundeen (2005) mengklasifikasikan tingkat stres, yaitu:
1. Stres ringan
Pada tingkat stres ini sering terjadi pada
kehidupan sehari-hari dan kondisi ini dapat membantu
individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah
berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
2. Stres sedang
Pada stres tingkat ini individu lebih
memfokuskan hal penting saat ini dan

102 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit
lahan persepsinya.
3. Stres berat
Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat
menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada
hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi stres. Individu tersebut mencoba
memusatkan perhatian pada lahan lain dan
memerlukan banyak pengarahan.
Penerapan CBT terhadap narapidana yang
mengalami stres diawali dengan perkenalan, asesmen
stres yang dialami narapidana, serta menjelaskan
tentan CBT yang akan dilaksanakannya dalam beberapa
pertemuan. Pada tahap ini ditemukan keluhan
narapidana sering merasakan. Pada tahap ini
narapidana diberikan tugas mandiri untuk
memperhatikan ciri-ciri stres yang muncul dalam
dirinya dan melakukan “monitor perasaan” yaitu
memonitor perasaan setiap harinya untuk mengetahi
hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang membuat perasaan
menjadi positif dan negatif.
Pada sesi kedua, dilakukan Identifikasi masalah,
mencari akar permasalahan yang bersumber dari emosi
negatif, penyimpangan proses berpikir dan keyakinan
utama yang berhubungan dengan gangguan pada klien.
Pada sesi ini ditemukan bahwa narapidana memiliki
pikiran negatif, salah satu klien menganggap ayah
tirinya sebagai penghalang untuk bertemu dengan
ibunya, dan selama melakukan wawancara terlihat
bahwa ia belum bisa menghindari pikiran negatif yang
ada pada pada dirinya, selalu bercerita tentang
anggapan buruknya terhadap ayah tirinya.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 103


Pada sesi monitoring perasaan konselor
menanyakan tugas yang sudah diberikan pada
narapidana, membahas tugas yang sudah ia kerjakan.
Pada sesi ini narapidana mulai mampu memahami
tentang perasaan yang sering ia alami, ia dapat
membedakan perasaan negatif dan positif. Pemberian
tugas diberikan kembali kepada narapidana dalam
bentuk menuliskan rencana kegiatan yang sudah ia
tuliskan di lembar kertas ke lembar tugas rencana
kegiatan yang akan dilaksanakan selama 3 hari
kedepan, dan melakukan evaluasi terhadap dirinya
sendiri setelah melakukan kegiatan setiap harinya.
Sesi keempat membahas tugas rencana kegiatan
yang sudah dikerjakan dan dilaksanakan sebelumnya.
Narapidana juga mampu mengevaluasi diri dan
melakukan perbaikan. Narapidana menyadari bahwa
sering merasa malas dan perasaannya masih berat
untuk melakukan kegiatan yang sudah direncanakan.
Setelah mencoba melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut, narapidana yang mengikuti CBT pada sesi ini
merasakan lebih baik. Mereka merasakan bahwa di
dalam kamar tidak sepenuhnya nyaman, tetapi berada
di luar kamar pun bisa membuat perasaan menjadi
nyaman. Mereka merasakan manfaat dari melakukan
kegiatan-kegiatan positif yang sudah ia lakukan dalam
beberapa hari.
Pada sesi selanjutnya, narapidana diajak
melakukan Restrukturisasi pikiran. Narapidana
membahas distorsi pikiran yang muncul dalam bentuk
yaitu berprasangka buruk dan labeling. Pembahasan
tentang pikiran negatif dilanjutkan dengan memberikan
penjelasan tentang pikiran negatif di antaranya,

104 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


berprasangka buruk (Arbitary Inference), Labeling,
berpikiran hitam putih (Dischotomous Reasoning),
overgeneralisasi, katastropisasi, dan keharusan
(Negatives Imperatives), yang harus dihindari agar
dirinya terbebas dari kondisi stres. Restrukturisasi
pikiran sangat penting dilakukan untuk menata kembali
pemikiran-pemikiran yang negatif menjadi lebih sehat
dan positif. Pikiran negatif muncul secara otomatis dan
sulit untuk dicegah.
Pada sesi akhir narapidana dan konselor
melakukan evaluasi seluruh sesi dan post-test level
stres setelah mengikuti sesi CBT. Narapidana mengaku
bahwa dirinya menjadi lebih baik dari sebelumnya,
mulai dari mengenali ciri-ciri stres, pikiran negatif dan
mampu memonitor perasaannya sendiri. Selanjutnya ia
sudah mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih
positif setiap harinya dan dapat merestrukturisasi
pikiran negatifnya agar bisa berpikir lebih positif lagi.
Dari sesi terakhir ini ditemukan nilai post-test
menunjukkan perubahan tingkat stres yang menurun.
Seperti terlihat pada subyek kedua (Gambar 1).

Perubahan Skor PSS Subyek 2


40

30

20 Perubahan Skor
PSS Subyek 2
10

0
Pre-test Post-test

Gambar 1. Grafik Perubahan Skor stres Subyek kedua

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 105


Dalam melakukan pelaksanaan terapi, terdapat
tiga fase pelaksanaan intervensi yang dilakukan untuk
narapidana yang mengalami stres, yaitu fase awal, fase
pertengahan dan fase akhir (Laidlaw, 2003). Pada fase
awal konselor memberikan penjelasan tentang terapi
CBT yang akan dilaksanakan selama 6 sesi, konselor
menjelaskan tentang ciri-ciri stres sebagai gangguan
psikologis. Hal ini penting untuk disampaikan agar
subyek dapat mengerti dan memahami tentang terapi
CBT dan gangguan yang dialaminya sebelum menjalani
sesi terapi. (Laidlaw, 2003). Konselor melakukan ini
pada sesi pertama, dan berhasil membuat subyek
memahami materi tersebut. Dengan pemahaman
subyek ini maka dapat memudahkan subyek untuk
menjalani sesi-sesi berikutnya, karena mereka dapat
memahami dasar dari terapi dan gangguan apa yang
ingin subyek atasi.
Pada fase pertengahan, konselor memberikan
teknik-teknik dari aspek perilaku dan kognitif kepada
para subyek. Urutan sesi dalam terapi ini bukan
merupakan masalah dalam CBT, namun untuk kasus
stres maka diperlukan penyesuaian terkait urutan sesi
terapi tersebut dengan mendahulukan sesi aspek
perilaku kemudai dilanjutkan dengan aspek kognitif
(Laidlaw, 2003). Hal ini sesuai dengan cara konselor
yaitu mendahulukan teknik-teknik perilaku mulai dari
membuat rencana kegiatan dan kegiatan harian.
Selanjutnya, dilakukan teknik dari aspek kognitif yaitu
mengenali pikiran negatif dan kemudian melakukan
restrukturisasi terhadap pikiran negatif tersebut. Cara-
cara ini dapat memudahkan narapidana yang menjadi
subyek untuk berhasil melakukan terapinya, karena

106 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


aspek perilaku memang lebih mudah untuk dilakukan
sehingga menumbuhkan keyakinan dalam diri
narapidana ia mampu menjalani terapinya tersebut,
serta aspek perilaku pada umumnya dapat membawa
perubahan yang dapat dirasakan secara lebih nyata
dibandingkan dengan aspek kognitif (Laidlaw, 2003).
Fase akhir dilakukan konselor untuk
menekankan bahwa terapi yang sesungguhnya adalah
mereka mencoba menjalankan sendiri semua teknik
yang telah diajarkan, bukan pada saat bertemu dengan
konselor. Konselor melihat bahwa cara ini mampu
untuk meyakinkan para subyek untuk mau melakukan
teknik-teknik yang diajarkan karena hanya mereka
yang tahu dan bisa mengatasi stresnya, sementara
untuk peran konselor adalah menjelaskan fungsi hingga
cara untuk melakukan teknik tersebut kepada para
subyek.
Narapidana yang mengikuti sesi CBT memiliki
distorsi kognitif pada pemikirannya. Distorsi
kognitif adalah berpikiran secara berlebihan dan tidak
rasional diidentifikasi dalam terapi kognitif dan
variannya, yang mengekalkan gangguan psikologis
tertentu Burn (1988). Salah narapidana berprasangka
buruk terhadap ibunya karena tidak pernah datang dan
menurutnya tidak perduli, menurut anggapan ibunya
tidak perduli karena sudah menikah lagi dan dihalangi
oleh ayah tirinya untuk tidak usah datang
menjenguknya. Ia melakukan labeling terhadap ayah
tirinya, bahwa ayah tirinya adalah orang yang jahat
karena telah memisahkan subyek dengan ibunya.
Pemberian cap atau label (Labelling) Mirip dengan
black and white thinking, distorsi kognitif ini membuat

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 107


seseorang memberi label pada siapapun; orang lain,
ataupun diri sendiri sendiri.

D. Kesimpulan
Penerapan CBT mampu mengurangi stres
narapidana yang disebabkan distorsi kognitif. Cognitive
Behavior Therapy atau Terapi Kognitif-Perilaku dapat
digunakan untuk menangani stres narapidana yang
ditunjukkan dengan menurunnya skor tingkat stres
yang didapatkan dari perbandingan hasil penilaian yang
dilakukan sebelum terapi (Pre-test) hingga setelah
terapi dilakukan (Post-test).

108 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Daftar Pustaka

Anggraini, D., Hadiati, T., & Widodo,S. (2019). Perbedaan


tingkat stres dan tingkat resiliensi narapidana yang
baru masuk dengan narapidana yang akan segera
bebas (studi pada narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIa Wanita Semarang). Jurnal
Kedokteran Diponegoro, 8(1), 148–160. Retrieved
from http://garuda.ristekdikti.go.id/
documents/detail/916613
Buahatika, E. (2019). Upaya Petugas Lembaga
Pemasyarakatan dalam Mengatasi Stres pada
Narapidana di Lapas Perempuan Kelas II B Bengkulu
(Vol. 4), hlm.47.
Beck, Judith S. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Basic and
Beyond (2nd ed). New York: The Guilford Press.
Beck, A. T., Steer, R.A., & Carbin, M.G. (1988). Psychometric
properties of the Beck Depression Inventory:
Twenty-five years of evaluation. Clinical Psychology
Review, 8 (1), hlm. 77-100.
Cho HJ, Kwon JH, & Lee JJ., (2008). Antenatal Cognitive-
behaviour therapy for prevention of postpartum
depression : A pilot study, Yonsei Med J Vol. 49, No. 4,
hlm. 45
Hawari, (2001). Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi.
Jakarta: FKUI.
Isaacs, (2004). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta:
EGC.
Laidlaw, K., Thompson, L.W., Gallagher-Thompson, D. &
Dick-Siskin, L.(2003). Cognitive behaviour therapy
with older people. Chichester: John Wiley & Sons.
Minonne, G.A. (2008). Therapist Adherence, Patient
Alliance, and Depression Change in the NIMH
Treatment for Depression Collaborative Research

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 109


Program. Disertasi. Diakses pada tanggal 20 Mei
2012 http://hdl.handle.net/2027.42/60744.
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan
Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ
Media. hlm. 54.
Prayitno, Erman Amti. (2009). Dasar-Dasar Bimbingan dan
Konseling. Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 67.
Stuart, G. W., and Sundeen,A. J. (2005). Buku saku
keperawatan jiwa. 6th edition.St. Lois : Mosby Year
Book.
Welta, O., & Agung, I. M. (2017). Kesesakan dan masa
hukuman dengan stres pada narapidana. 60–68.
Retrieved from http://garuda.ristekdikti.go.id/
documents/detail/665451
Yusuf, U., Yanuvianti, M., & Coralia, F. (2009). Rancangan
intervensi berbasis “Cognitive-behavioral therapy ”
untuk menanggulangi prokrastinasi akademik pada
mahasiswa. (1), 431–436.

110 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


BIMBINGAN DAN KONSELING NARAPIDANA DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Farah Rianda Nur Swandaru

Sebagai negara hukum yang berdasarkan pancasila dan


UUD 1945, hukum merupakan salah satu perantara yang
dibutuhkan untuk mengantisipasi dalam perkembangan
kehidupan manusia. Selain itu hukum juga diperlukan untuk
mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat, adapun salah satu bentuk
penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat antara lain
misalnya munculnya suatu tindak pidana yang menyebabkan
terganggunya ketentraman dan stabilitas dari sebuah
lingkungan masyarakat yang membuat keamanan dan
kenyamanan dalam lingkungan tersebut menjadi terganggu,
ini merupakan bentuk dari salah satu contoh penyimpangan
yang terjadi di lingkungan sekitar. Selama ini perkembangan
perilaku atau kasus kejahatan bukan semakin menurun
namun semakin bertambah, dengan munculnya berbagai
kejahatan baru yang semakin modern membuat banyak
penyimpangan yang terjadi di masyarakat (Mertokusumo,
2003). Dewasa ini tindak kejahatan yang kerap dilakukan
oleh masyarakat Indonesia, berupa tindak pidana narkotika.
Berdasarkan hasil yang didapat dari Ditjenpas (Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia) bahwa presentase tindak pidana kasus narkotika
mencapai 62% dari total seluruh jumlah narapidana di
Indonesia dan hampir semua Lapas/Rutan didominasi oleh
narapidana dengan kasus narkotika (Fanaqi & Pratiwi, 2019).
Pembahasan kejahatan narkoba, tidak terlepas dari
fakta sosial menarik di dalamnya. Dewasa ini, narkoba telah
merambah di berbagai lingkungan masyarakat, dari usia

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 111


remaja, dewasa bahkan anak-anak. Hingga kini Pemerintah
Indonesia menyatakan bangsa Indonesia telah berstatus
darurat narkoba. Untuk itu perlunya langkah – langkah dalam
menekan penyalahgunaan maupun peredaran narkoba.
Sehingga bagi narapidana yang telah menjalani hukuman
karena kasus narkotika diharapkan tidak kembali melakukan
pengulangan tindak pidana kelas sewaktu ia bebas dan
langkah–langkah tersebut sebagai langkah pencegahan
peningkatan angka residivis tindak pidana narkotika.
Langkah-langkah tersebut salah satunya yakni bimbingan dan
konseling.
Bimbingan dan konseling semakin populer dikenal oleh
masyarakat dan sering juga digunakan oleh lembaga
pemasyarakatan sebagai bagian dari bentuk pembinaan
kepribadian maupun pembinaan kemandirian. Bimbingan
dan konseling sendiri merupakan pelayanan dari, untuk, dan
oleh manusia yang memiliki pengertian yang khas. Bimbingan
sendiri adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan
oleh seorang ahli kepada individu dengan menggunakan
berbagai prosedur, cara dan bahan agar individu tersebut
mampu mandiri dalam memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya. Sedangkan konseling merupakan proses
pemberian bantuan yang didasarkan pada prosedur
wawancara konseling oleh seorang ahli kepada klien
bermasalah (Zainal, 2012)
Bimbingan yang diberikan kepada individu tidak hanya
ditujukan untuk membantu individu mengatasi masalah yang
ada di dalam pekerjaan, tetapi mencakup segala aspek
kehidupan individu. Dengan tujuan agar dapat sesorang
dalam meningkatkan iman dan taqwa terhadap agama dan
Tuhan yang dianut oleh individu, adanya perkembangan
dalam kehidupan sosial bersosial dalam lingkunagn

112 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


masyarakat, rumah dan sekolah abgi remaja dan anak.
(Wibawa, Utami, & Fatonah, 2016).
Perkembangan zaman yang semakin maju dan proses
pertambahan jumlah penduduk yang makin meningkat
menjadi faktor penting penyebab sulitnya mencari lapangan
pekerjaan sekarang. Sehingga dapat berdampak jumlah
pengangguran menjadi lebih tinggi, dan hal itu menjadi
potensi peningkatan kriminalitas yang lebih tinggi. Kondisi ini
diperkuat mekanisme penanggulangan kejahatan yang
kurang optimal sehingga banyak dari orang yang berbuat
kejahatan dan dihukum di lembaga pemasyarakatan.

A. Bimbingan dan Konseling bagi narapidana


Menurut Nuryati (2018) bimbingan merupakan
proses di mana seorang konselor atau seseorang yang
memiki keahlian di bidangnya dalam memberikan bantuan
kepada orang lain, dan dari berbagai kalangan usia.
Konselor memberikan support dan saran dalam
pengembangan potensi diri konseli agar dapat
meningkatkan kemampuan diri untuk menyelesaikan
masalah pribadi konseli. (Nuryati, 2018).
Menurut Edwin C. Lewis dalam Raniry (2017)
konseling merupakan suatu treatment yang diberikan
kepada orang lain (konseli) yang sedang mengalami
masalah pribadi dari seorang yang memiliki kemampuan
khusus (konselor) dalam menangani setiap problem
dengan beberapa cara yang nantinya akan berdampak
pada pengembangan perilaku konseli terhadap keefektifan
sikap terhadap lingkungan (Raniry, 2017).
Sehingga yang dimaksud dengan bimbingan dan
konseling adalah pertemuan tatap muka tersebut
dilakukan konselor atau seorang tenaga ahli di bidangnya

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 113


sebagai proses pemberian bantuan terhadap seseorang
untuk mengembangkan dan menyelesaikan masalah agar
dapat mencapai tujuan dan kemantapan diri seseorang
dalam menyelesaikan masalah diri dengan keputusan yang
diambil. Membantu seseorang dalam merubah pola hidup
yang salah menjadi benar sehingga seseorang dapat
mengarahkan hidup yang sesuai dengan tujuan dan arah
yang lebih baik dan mapun norma – norma yang berlaku.
Berdasarkan U No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 butir 7, Narapidana adalah
Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
Lembaga Pemasyarakatan. Meskipun hilang kemerdekaan,
narapidana tetap memiliki hak yang dilindungi oleh
Negara Indonesia. Menurut Pompe tindak pidana adalah
suatu pelanggaran norma(gangguan terhadap tata tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah
perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan hukum (Poernomo, 1983). Salah satu tindak
pidana adalah penyalahgunaan narkoba. UU No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dalam Azhri (2013), menjelaskan
bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintesis, mengakibatkan candu terhadap pengguna,
menghilangkan dan menurunkan kesadaran. (Azhri, 2013)
Menurut Crow & Crow dalam Wiratama (2018),
bimbingan merupakan salah satu bentuk proses
pemberian bantuan dari seorang tenaga ahli atau yang
mempunyai bidang dasar ilmu yang sejalan ditujukan
untuk membantu seseorang dalam penyelesaian
keputusan bagi hidupnya dan menanggung beban atau

114 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


masalahnya. (Wiratama, 2018). Sedangkan konseling itu
sendiri sesuai dengan yang disampaikan oleh Mortensen
dalam Bustan & Halim (2012) konseling merupakan
proses di mana seseorang membantu orang lain dalam
memahami dan tangkas dalam mencari solusi
permasalahan dan mampu menyelesaikannya (Bustan &
Halim, 2012).
Bimbingan dan konseling merupakan alih bahasa
dari istilah inggris guidance and counseling. Dulu istilah
konseling diIndonesiakan menjadi penyuluhan (nasihat).
Akan tetapi karena istilah penyuluhan banyak digunakan
di bidang lain, semisalnya dalam penyuluhan pertanian
dan penyuluhan keluarga berencana yang sama sekali
berbeda isinya yang dimaksud dengan counseling, maka
agar tidak menimbulkan salah paham, istilah counseling
tersebut langsung di serap menjadi Konseling.
Dalam melakukan intervensi kepada narapidana
tindak pidana narkotika diperlukan program pembinaan,
seperti pembinaan kepribadian dan pembinaan
kemandirian. Agar mencapai hasil yang optimal dalam
pelaksanaan pembinaan tersebut dibutuhkan suatu
pemberian layanan bagi narapidana sesuai dengan
kebutuhan masing–masing diri narapidana. Layanan
tersebut yakni layanan bimbingan konseling.
Pengimplementasian layanan bimbingan dan konseling
kepada narapidana tindak narkotika diharapkan dapat
mengubah pribadi diri narapidana menjadi lebih baik,
mencegah pengulangan tindak pidana kembali, mampu
berintegrasi secara penuh ke dalam masyarakat sewaktu
bebas kelak, menjadi pribadi yang mandiri, adanya
perencanaan dalam menyusun masa depan dengan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 115


optimal dan pengembangan diri konseli terhadap masalah
yang tidak menjadi hambatan bagi dirinya.
Layanan konseling ini bertujuan untuk membantu
warga binaan dalam menyelesaikan masalah, membantu
warga binaan dalam mencari solusi penyelesaian masalah
yang mereka miliki. Untuk itu tujuan dari layanan
konseling ini sangatlah baik, namun harus mendapat
dukungan penuh dari pihak terkait seperti pejabat terkait
dalam program/layanan konseling tentang penjadwalan
dan sasaran bagi siapa yang akan menjadi konseli, begitu
juga dengan konselor seperti psikolog atau pihak ke-3
yang memiliki keahlian dan keterampilan yang tepat.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di lembaga
pemasyarakatan memerlukan langkah-langkah strategis,
yaitu :
1. Kerjasama dengan pihak ke-3, yang mampu melakukan
layanan psikoterapi bagi bagi narapidana secara
terjadual.
2. Ruang Konseling yang memadai
3. Penyediaan sumber daya manusia (SDM), seperti
psikolog.

116 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 12. (1995). Pemasyarakatan. Jakarta.


Peraturan Pemerintah Nomor 31. (1999). Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 28. (2006). Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Jakarta.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 35.
(2018). Revitalisasi Pemasyarakatan. Jakarta.
Azhri, S. (2013). Rasa Berharga dan Pelajaran Hidup
Mencegah Kekambuhan Kembali Pada Pecandu
Narkoba Studi Kualitatif. Jurnal Psikologi, Vo.9, No.1.
Bustan, R., & Halim, D. (2012). Pelayanan Konseling pada
Warga Binaan Sosial di Panti Sosial Bangun Daya I -
Kedoya Jakarta Barat. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA
SERI HUMANIORA, Vol.1, No.3 , 158-167.
Fanaqi, C., & Pratiwi, R. M. (2019). Partisipasi Masyarakat
Dalam Pencegahan Narkoba Di Garut. Jurnal
Komunikasi Hasil Pemikiran dan Penelitian, Vol.5, No.1,
160-176.
Hallen. (2002). Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika
Aditama.
Hamidi. (2008). Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM
Press.
Ilya Rahmi Risno, A. I. (2013). Perolehan Siswa Setelah
Mengikuti Layanan Konseling Perorangan. Jurnal
Ilmiah Konseling, 62-70.
Kesuma, R. G. (2011). Hubungan Sikap Konselor Sekolah
Terhadap Profesinya dengan Penerapan Kode Etik
Profesi Bimbingan dan Konseling dalam Pelaksanaan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 117


Konseling Individual di SMA Negeri Se-Kota
Semarang. Jurnal UNNES, 56-68.
Mamatrono, S. M. (2020, Februari Selasa). Layanan
Bimbingan dan Konseling. (F.R. Swandaru,
Interviewer)
Moleong, L. J. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nuryati, N. (2018). Bimbingan Rohani Islam dan Perasaan
Tenang Lansia. HISBAH : Jurnal Bimbingan Konseling
dan Dakwah Islam, 85-98.
Priyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif. Sidoarjo:
Zifatama.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R & D. Bandung: Elfabeta.
Sutopo, H. B. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jurnal
Ilmu Sosial, 73-81.
Wibawa, A., Utami, Y. S., & Fatonah, S. (2016). Pola
Komunikasi Konselor dan Narapidana. Jurnal
Komunikasi ASPIKOM, Vol.2, No.6, 410-424.
Wiratama, R. (2018). Efektivitas Metode Konseling Individu
Dalam Mengendalikan Tongkat Kenakalan Remaja di
SMAN 1 Kauman Tahun Pelajaran 2017/2018. Jurnal
Kontak Keilmuan, Vol.4, No.2, 65-73.
Zainal, A. (2012). Ikhtisar Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Bandung: Yrama Widya.

118 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


PSIKOLOGI KLINIS DALAM
KONTEKS PEMASYARAKATAN

Bagian 3

[PENERAPAN PSIKOLOGI KLINIS


PADA MASA REINTEGRASI DAN
DIVERSI]

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 119


SELF CONTROL DAN PERKEMBANGAN
PERILAKU NARAPIDANA
Nadya Mustika Sandy

Jumlah narapidana yang kembali melakukan perilaku


yang negatif semakin meningkat. Terdapat mantan
narapidana (klien) maupun narapidana yang kembali
melakukan perbuatan melanggar hukum atau masih
mengulangi perbuatan tindak pidana yang pernah dilakukan
sehingga masyarakat merasa khawatir terhadap kembalinya
narapidana ke lingkungan masyarakat. Dari data yang
diperoleh, narapidana dewasa yang melakukan tindak pidana
kembali pada tahun 2017/2018 yakni 18 tindak pidana
pencurian, 5 tindak pidana pencurian dan kekerasan yang
menyebabkan orang lain meninggal, 5 tindak pidana senjata
tajam, 5 tindak pidana penganiayaan, dan 1 tindak pidana
kekerasan. Hal tersebut menunjukkan bahwa narapidana
belum berhasil dalam pelaksanaan perkembangan akibat
memiliki kontrol diri yang rendah. Dengan melihat uraian di
atas, betapa pentingnya dan tidak dapat dipisahkan antara
fungsi kontrol diri (self control) yang harus dimiliki oleh
narapidana saat proses perkembangan perilaku.
Salah satu upaya untuk mencegah perilaku negatif
narapidana yaitu dengan cara mengontrol diri. Narapidana
dengan kontrol diri tinggi mampu mengubah perilaku
menjadi lebih baik dan menjadi agen utama dalam
mengarahkan dan mengatur perilaku, sehingga membawa
kepada konsekuensi positif. Narapidana dengan kemampuan
mengontol diri dengan baik, akan membawa dampak yang
positif, sedangkan narapidana yang tidak bisa mengontrol
diri dengan baik akan membawa dampak negatif berupa
kegagalan dalam perkembangan perilaku, seperti melakukan

120 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


pengulangan tindak pidana, perkelahian, tidak diterima oleh
masyarakat sekitar serta perilaku menyimpang lainnya.
Banyak masalah yang terjadi pada narapidana sebagai akibat
dari kurangnya kontrol diri yang kuat. Permasalahan
narapidana cenderung ke arah pengulangan tindak pidana,
hal ini sebagai bentuk dari kegagalan narapidana untuk
mengembangkan kontrol diri dalam berperilaku saat
menjalankan masa reintegrasi.
Individu yang mengalami kesulitan dalam mengontrol
diri dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam
perilakunya, seperti mengalami depresi. Hasil penelitian Yin
Yang (2014) menemukan beberapa mantan narapidana di
Tiongkok kembali melakukan tindak pidana karena
mengalami gangguan dan kesulitan dalam mengontrol diri.
Pengulangan tindak pidana yang dilakukannya oleh mantan
narapidana akibat tidak mampu untuk mengontrol diri dan
mengelola emosinya dengan baik.

A. Kontrol Diri
Kontrol diri (self control) adalah kemampuan dari
dalam diri individu untuk dapat menyusun, membimbing,
mengatur dan mengarahkan bentuk perilakunya yang
nantinya dapat membawa individu tersebut ke arah
dengan konsekuensi positif. (Averill, 1973) Dimensi self
control terdiri dari 3 (tiga) komponen, antara lain :
1. Kontrol Perilaku (Behavioral Control)
Kontrol perilaku merupakan kemampuan
individu untuk memodifikasi suatu keadaan yang
tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol
perilaku ini dibagi menjadi dua komponen mengatur
pelaksanaan (regulated administrasion) dan mengatur
stimulus (stimulus modifiability).

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 121


a. Kemampuan mengontrol perilaku untuk
menentukan siapa yang mengendalikan situasi; dan
b. Kemampuan mengontrol stimulus untuk
menghadapi stimulus yang tidak diinginkan dengan
cara mencegah atau menjauhi stimulus.
c. Kontrol Kognitif (Cognitive Control)
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu
dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan
cara menafsirkan, menilai atau menggabungkan suatu
kejadian untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terbagi
menjadi dua komponen yaitu memperoleh informasi
(information again) dan melakukan penilaian (apraisal).
Kemampuan memperoleh informasi (information again)
yaitu informasi yang dimiliki individu mengenai
keadaan akan membuat individu mampu mengantisipasi
keadaan dengan berbagai pertimbangan. Melakukan
penilaian (apraisal) adalah usaha individu untuk menilai
dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan
segi-segi positif secara subjektif.
2. Mengontrol keputusan (Decision Control)
Mengontrol keputusan merupakan
kemampuan individu untuk memilih dan menentukan
tujuan yang ingin dicapainya. Kemampuan
mengontrol keputusan ini dapat berfungsi dengan
baik,jika individu mempunyai kesempatan, kebebasan,
dan cara-cara lain dalam melakukan sebuah tindakan.
(Averill, 1973)

122 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


B. Perkembangan Perilaku
Teori perkembangan perilaku (behaviorisme)
adalah teori yang mengamati perkembangan perilaku,
berupa perubahan yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons individu terhadap rangsangan.
Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan
umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi
yang diinginkan. Seseorang dianggap telah berhasil dalam
perkembangan perilaku apabila ia mampu menunjukan
perubahan tingkah laku dengan cara yang baru sebagai
interaksi antara stimulus dan respons. Usaha
pekembangan sikap dan perilaku untuk menjadi lebih baik
dengan tujuan agar seseorang yang kembali ke dalam
masyarakat memiliki daya tahan, dalam arti bahwa dia
dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi
kejahatan-kejahatan. Perkembangan perilaku terjadi
apabila terdapat perubahan tingkah laku yang sesuai
dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat dengan mengembangkan pengetahuan,
kemampuan dan memotivasi individu sebagai warga
masyarakat yang baik dan berguna (Saleh, 2018).
Narapidana harus mampu menunjukkan
perkembangan perilaku. Hal tersebut dapat diukur dari
keberhasilan ataupun kegagalan perkembangan perilaku.
Narapidana yang berhasil dalam perkembangan perilaku
memiliki minat dan kemampuan serta daya kreatif yang
didapatkan saat masa pembinaan di dalam Lapas sehingga
memiliki keterampilan usaha/kerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan mendapatkan pekerjaan sesuai
dengan bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh
narapidana. Selain itu, memiliki kesadaran dan tanggung
jawab sosial serta memiliki kemauan dan kemampuan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 123


untuk menyesuaikan diri dan kerjasama dalam kelompok
lingkungannya sehingga narapidana mampu
melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik. Indikator
dalam keberhasilan perkembangan perilaku jika:
1. Narapidana tidak melakukan perbuatan pidana dan
menjadi pribadi yang baru dan berguna untuk
lingkungan disekitarnya;
2. Narapidana memiliki keterampilan dala bidang
pekerjaan. Alasan dari pernyataan tersebut karena
setelah narapidana bebas, keterampilan dalam
pekejaan dapat membantu untuk mencari pekerjaan
yang layak dan penghasilan yang cukup. Sehingga,
menjaga keseimbangan antara penghasilan yang
diperoleh dengan kebutuhan, baik barang maupun
jasa. Kondisi seperti itu akan dapat mencegah
narapidana melakukan kejahatan lagi;
3. Narapidana dapat hidup dengan baik di dalam
lingkungan serta bertanggungjawab untuk memberikan
motivasi agar dapat memperbaiki diri sendiri dan tidak
mengulangi kejahatan (residivis);
4. Memiliki ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
seperti tekun melaksanakan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing, sehingga
narapidana lebih sadar dan tabah dalam melaksanakan
fungsi sosialnya; dan
5. Berperilaku baik di lingkungan sekitar agar disenangi
dan diterima baik di dalam lingkungan.
Namun, narapidana dapat mengalami kegagalan
dalam proses perkembangan perilaku akibat berbagai
faktor. Indikator kegagalan dalam proses
perkembangan perilaku yaitu:

124 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


1. Narapidana melakukan perbuatan pidana dan menjadi
pribadi yang sering melakukan pelanggaran;
2. Narapidana tidak memiliki keterampilan kerja;
3. Narapidana tidak dapat hidup dengan baik di dalam
lingkungan dan mengulangi kejahatan (residivis);
4. Rendahnya ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan jarang melaksanakan ibadah; dan
5. Berperilaku tidak baik di lingkungan sekitar sehingga
menganggu ketertiban di lingkungan. (Saleh, 2018)

C. Self control dan perkembangan perilaku klien


Penelitian yang dilakukan mengenai self control para
100 orang narapidana yang berstatus sebagai klien Balai
Pemasyarakatan (Bapas) Klas. I Tangerang dengan
gambaran jumlah berdasarkan jenis kasus sebagaimana
terlihat pada gambar 1. Berdasarkan gambar 1 diketahui
bahwa dari 100 orang responden, 5 jenis kejahatan
terbanyak mulai kasus narkotika (32,7%), 23,1%
responden terlibat dalam kasus kesusilaan, kasus
pembunuhan 20,2%, dan 12,5% responden terlibat dalam
kasus penganiayaan.

40 24 34
21
30 13
20 2
10 1 2 2 1
0

Gambar 1. Jumlah klien balai pemasyarakatan Klas. I Tangerang


berdasar jenis kejahatan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 125


Narapidana kasus narkoba memperlihatkan angka
tertinggi ditangani pembimbingannya oleh bapas. Ini
konsisten dengan jumlah narapidana kasus narkoba
secara nasional. Daerah Kota Tangerang menjadi daerah
nomor satu penyalahgunaan narkoba tertinggi di Provinsi
Banten, 50 persen lebih narapidana pada Bapas di Provinsi
Banten didominasi oleh mantan penyalahgunaan narkoba.
Narapidana masih berada di usia produktif. Badan
Narkotika Nasional Kota Tangerang 2019. Berdasarkan hal
tersebut bahwa di Bapas Kelas I Tangerang didominasi
oleh narapidana yang pernah melakukan penyalahgunaan
narkoba di provinsi Banten yaitu sebesar 32,7%. (Badan
Narkotika Nasional Kota Tangerang , 2019).
Penyalahgunaan narkotika akhir-akhir ini menjadi
isu yang sangat mengkhawatirkan di Indonesia. Dari fakta
yang dapat disaksikan hampir setiap hari baik melalui
media cetak maupun elektronik, barang haram tersebut
telah merebak kemana-mana tanpa pandang bulu,
terutama di antara remaja yang sangat diharapkan
menjadi generasi penerus bangsa dalam membangun
negara di masa mendatang. Penyalahgunaan narkotika
telah menyusup di dalam lingkungan pendidikan, mulai
dari kampus, SMU, sampai kepada murid-murid sekolah
dasar, bahkan di kalangan artis, eksekutif, dan pengusaha.
Penyalahgunaan narkotika tersebut akan merusak
perkembangan jiwa generasi muda juga menimbulkan
berbagai masalah yakni masalah bagi diri sendiri juga
masalah bagi kemajuan bangsa. Penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba memang dipandang sebagai
masalah besar (Taufik, 2005).

126 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


100
80
60 84
40
20 16
0
Tinggi Rendah

Gambar 2. Tingkat Kontrol diri responden


Sejumlah studi mengidentifikasi adanya faktor
kelemahan kontrol diri berkontribusi terhadap tindakan
kejahatan dan perbaikan diri narapidana menjalani
asimilasi dan pembebasan bersyarat (lihat gambar 2).
Kontrol diri (self control) meliputi 3 (tiga) dimensi yaitu
kontrol perilaku (behavioral control), kontrol kognisi
(cognitive control), dan kontrol keputusan (decisional
control). Berdasarkan studi terhadap narapidana yang di
dalam pengawasan bapas, diperoleh gambaran variabel
kontrol diri (self control) di Bapas Kelas I Tangerang
tersebut menunjukkan bahwa bahwa dari 100 responden
sebanyak 84 orang atau sebesar 80,8% berada pada
kategori yang tinggi dan sebanyak 16 orang atau sebesar
15,4% sisanya berada pada kategori rendah (gambar 2).
Sebagian besar responden narapidana lebih banyak
menunjukkan kategori tinggi dalam kontrol diri dalam
ketiga dimensinya.
Dalam masa pembimbingan, narapidana yang
berhasil dalam perkembangan perilaku apabila
narapidana mampu menunjukan perubahan tingkah laku
dengan cara yang baru sebagai interaksi antara stimulus
dan respons (Rosslan Saleh, 2018). Usaha pekembangan

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 127


sikap dan perilaku untuk menjadi lebih baik dengan tujuan
agar narapidana yang kembali kedalam masyarakat
memiliki daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup
dalam masyarakat tanpa melakukan lagi kejahatan-
kejahatan. Perkembangan perilaku terjadi apabila terdapat
perubahan tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma
dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dengan
mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan
memotivasi individu sebagai warga masyarakat yang baik
dan berguna. Narapidana yang berhasil dalam
perkembangan perilaku memiliki minat dan kemampuan
serta daya kreatif yang didapatkan saat masa pembinaan
di dalam Lapas sehingga memiliki keterampilan
usaha/kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bakat dan
keterampilan yang dimiliki oleh narapidana.
Berdasarkan gambar tentang perkembangan
perilaku di Bapas Kelas I Tangerang gambar 3,
menunjukkan bahwa bahwa dari 100 responden sebanyak
88 orang atau sebesar 84,6% berada pada kategori yang
tinggi dan sebanyak 12 orang atau sebesar 11,5% sisanya
berada pada kategori rendah. Berkaitan dengan
pernyataan responden yang lebih banyak memilih pada
kategori tinggi, hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
perilaku pada narapidana atas kontrol diri (self control) di
Bapas Kelas I Tangerang sudah baik.

128 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


100

50 88

12
0
Tinggi Rendah
Gambar 3. Tingkat perkembangan perilaku responden
Hasil pada tabel tersebut menggambarkan bahwa
pengalaman di penjara juga memberikan efek positif bagi
beberapa narapidana. Perilaku narapidana akan menjadi
lebih baik ketika narapidana telah memahami hubungan
antara perbuatan dan konsekuensi positif atau negatif
yang diterima selama menjalani masa pidana di Lapas.
Sehingga narapidana mampu menujukkan perubahan
perilaku menjadi lebih baik ketika menjalani masa
reintegrasi (Bartol, 1994).
Tabel 1.
Hubungan antara kontrol diri (self control) dan perkembangan perilaku

Perkembangan Total
Perilaku
Rendah Tinggi
Count 2 14 16
Rendah 100
Kontrol % Kontrol Diri 2% 14%
%
Diri
Count 10 74 84
Tinggi
% Kontrol Diri 10% 74% 84%
Count 12 88 100
100
% Kontrol Diri 12% 88%
%

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 129


Apakah perkembangan perilaku ini dipengaruhi
kontrol diri narapidana? Secara deskriptif, tabel silang
antara variabel kontrol diri dengan variabel
perkembangan perilaku narapidana (lihat Tabel 1)
menunjukkan bahwa bahwa dari total responden 100
orang, dimensi perkembangan perilaku mayoritas 84
orang dipengaruhi oleh kontrol diri yang tinggi, sedangkan
sisanya 16 orang dipengaruhi oleh kontrol diri yang
rendah.
Dimensi perkembangan perilaku yang rendah
mayoritas dipengaruhi kontrol diri yang rendah,
sedangkan dimensi perkembangan perilaku yang tinggi
mayoritas dipengaruhi kontrol diri yang tinggi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan tersebut
adalah bahwa kontrol diri dan perkembangan perilaku
narapidana berbanding lurus. Semakin tinggi kontrol diri,
maka semakin tinggi pula perkembangan perilaku
narapidana. Begitu pula sebaliknya semakin rendah
kontrol diri, maka semakin rendah pula perkembangan
perilaku narapidana di Bapas Kelas I Tangerang.
Tabel 2.
Uji korelasi antara kontrol diri dengan perkembangan perilaku narapidana
Kontrol Diri Perkembangan
(Self Control) Perilaku
Kontrol Diri (Self Pearson Correlation 1 ,579**
Control) Sig. (2-tailed) ,000
Pearson Correlation ,579** 1
Perkembangan
Sig. (2-tailed) ,000
Perilaku
N 100 100
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Model R R Square Adjusted R Std. Error


Square of the
Estimate

1 ,579a ,336 ,329 14,197

a. Predictors: (Constant), Kontrol Diri (Self Control)

130 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Uji korelasi antara kontrol diri dengan
perkembangan perilaku narapidana sebesar yaitu 0,579 (α
< 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan di antara
keduanya signifikansi. Arah hubungan dari hasil output di
atas menunjukkan angka positif. Artinya, jika kontrol diri
narapidana tinggi maka perkembangan perilaku
narapidana tinggi. Sebaliknya, jika dimensi kontrol diri
narapidana rendah maka perkembangan perilaku
narapidana rendah. Berdasarkan nilai R pada tabel Model
Summary tersebut, dapat diketahui bahwa besarnya
koefisien regresi antara variabel x (kontrol diri) dan
variabel y (perkembangan perilaku narapidana) adalah
sebesar 0,579 yang berarti cukup. Nilai R Square sebesar
0,336 menunjukkan bahwa variabel kontrol diri
memberikan kontribusi dalam mempengaruhi variabel
perkembangan perilaku narapidana sebesar 33,6%
sedangkan sisanya 66,4% dipengaruhi oleh variabel atau
faktor lain.
D. Kesimpulan
Kontrol diri (self control) dengan dimensi kontrol
perilaku, kontrol kognitif dan kontrol keputusan secara
bersama-sama turut mempengaruhi perkembangan
perilaku pada narapidana di dalam pengawasan bapas.
Tingkat pengaruh sebagai prediktor sebesar 33,6%.
Narapidana yang menjalani pembimbingan menunjukkan
kontrol diri berada dalam kategori tinggi, dengan
perincian, kontrol perilaku (behavioral control) 76%,
kontrol kognitif (cognitive control) 88,5%, kontrol
keputusan (decisional control) 90,4%. Studi ini mendukung
penjelasan bahwa faktor kontrol diri yang kuat
berkontribusi terhadap perbaikan diri narapidana
menjalani asimilasi dan pembebasan bersyarat.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 131


Daftar Pustaka

Averill, J.R. (1973). Personal Control Over Aversive Stimuli


and Its Relationship to Stress. Psychological Bulletin.
Bartol, C.L. 1994. Psychology and Law. The Journal of
Psychological. California : Wadsworth Inc.
Firganefi. (2013). Buku Ajar Hukum Kriminologi. Bandar
Lampung: PKKPUU Universitas Lampung, hlm. 11
Golfied , M. (2001). Abnormal Psychology, 2th Edition. New
York: W.W. Norton & Company Inc.
Gottfredson, M.R. & Hirschi, T. (1990). A General Theory of A
Crime. Stanford : Stanford University Press.
Hurlock, E.B. (1997). Psikologi Perkembangan: Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa
Istiwidayanti. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (1995). Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Lazarus, R.S. (1976). Pattern of Adjustment. Tokyo: Mc Graw-
Hill Kogakhusu Inc.
Moedjanto, G. (1993). Pendidikan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia di Indonesia. Jakarta : Merdeka Rakyat.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi
Abnormal
Rosslan Saleh. (2018). Gambaran Perubahan Perilaku dan
Strategi Penanganan Narapidana. Jurnal Arkhe
Universitas Tarumanegara, 1, 31.
Rustanto. (2009). Metode Bimbingan Konseling. Jakarta:
Media Suara
Ryan, S. (2013). Sample Size Determination and Power.
Singapore : Albert Gorgious

132 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Saifuddin, A. (2001). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Saputra, Hendara. 2008. Analisis Pengaruh Strategi Perubahan
Perilaku Terhadap Kualitas Pekerjaan. Jakarta : Erlangga
Semiun, Y. (2006). Perkembangan Perilaku. Yogyakarta :
Kanisius.
Sheridan,C.L. dan Radmacher,S.A. (1992). Health Psychology :
Challenging The Biomedical Model. Singapore : John
Willey & Sons.
Taufik. 2005. Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Yin Yang. (2014). Self-control Strength in Prison with
Antisocial Personality Disorder, The Jounal of
Psychological, 25, 5.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 133


PENDAMPINGAN PEMBIMBING
KEMASYARAKATAN DALAM PROSES
PENYIDIKAN ANAK
Siti Ngatiqoh

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari


keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan
sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak
memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa
negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan
terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik
umat manusia. (Pinatih, 2019).
Secara filosofi anak sebagai bagian dari generasi muda,
sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan
potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang
akan datang, yang memiliki peran strategis serta mempunyai
ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan
perlindungan yang khusus pula. (Nashriana, 2011).
Tindak pidana yang terjadi saat ini di masyarakat bukan
saja pelakunya orang dewasa, bahkan terjadi kecenderungan
pelakunya adalah masih tergolong usia anak-anak. Oleh
karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan
kenakalan anak perlu segera dilakukan (Sambas, 2010).
Banyak peristiwa yang menarik perhatian masyarakat akhir-
akhir ini, yaitu dengan semakin maraknya tindak pidana yang
dilakukan oleh anak. Berikut data isi Lembaga Pembinaan
Khusus Anak di Indonesia selama 3 tahun terakhir dari tahun
2017 – 2019.

134 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Tabel 1
Data Isi LPKA di Indonesia 3 Tahun Terakhir
NO BULAN 2017 2018 2019
1 Januari 2612 2901 2752
2 Februari 2744 2919 2744
3 Maret 2709 3063 2760
4 April 2497 3016 2559
5 Mei 2748 3009 2563
6 Juni 2633 2779 2473
7 Juli 2732 2486 2426
8 Agustus 2660 2482 2421
9 September 2794 2492 2299
10 Oktober 2800 2553 2454
11 November 2784 2502 2378
12 Desember 2825 2333 1992
Sumber: http://smslap.ditjenpas.go.id
Berdasarkan data pada tabel 1, tindak pidana tidak
hanya dilakukan oleh orang dewasa, tidak sedikit dari pelaku
tindak pidana adalah anak. Ketika dilakukan penanganan
terhadap anak melalui peradilan pidana layaknya orang
dewasa dampak yang dihasilkan tidak efektif, bukan efek jera
yang timbul melainkan sebagian besar anak yang telah
melalui proses peradilan pidana akan merasakan trauma
yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan karena secara
kejiwaan anak berbeda dengan orang dewasa, maka konsep
peradilan pidana yang memberikan tekanan cukup banyak
terhadap pelaku tindak pidana tidaklah tepat digunakan pada
anak sehingga perlu dilakukan pendampingan terhadap anak.
Dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa anak
tidaklah sama dengan orang dewasa baik secara fisik maupun
psikologis, di mana secara kejiwaan anak berada pada masa
yang rentan. Anak belum mandiri, belum memiliki kesadaran
penuh serta kepribadiannya belum stabil, maka demi
kepentingan anak yang akan menjadi penerus bangsa maka

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 135


sudah selayaknya aparat penegak hukum menerapkan
penanganan berbeda terhadap anak yaitu dengan didampingi
oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam proses penyidikan
anak.

A. Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan (PK)


Balai Pemasyarakatan (Bapas) merupakan unit
pelaksana teknis di bidang Pemasyarakatan yang
merupakan pranata atau satuan kerja dalam lingkungan
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang
bertugas melakukan pembimbingan terhadap klien sampai
seorang klien dapat memikul beban/masalah dan dapat
membuat pola sendiri dalam menanggulangi beban
permasalahan hidup.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 24 UU No. 11 Tahun
2012 Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut
Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang
melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan,
pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan. Balai
pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan
(PK) memiliki tugas untuk melakukan pendampingan
terhadap anak di tingkat penyidikan. Setelah
ditetapkannya Undang-undang nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Balai
Pemasyarakatan menjadi salah satu unsur penting dalam
proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan atau
melibatkan Anak.
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai tugas
Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang dalam hal ini
dilakukan oleh Petugas Kemasyarakatan yang merupakan
bagian dari Balai Pemasyarakatan. Pembimbing

136 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Kemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak
hukum yang melaksanakan penelitian kemasayarakatan,
pembimbingan dan pendampingan terhadap anak di dalam
dan di luar proses peradilan pidana. Tugas utama
pembimbing kemasyarakatan adalah membuat laporan
hasil penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara
anak, melakukan pendampingan, melakukan
pembimbingan, dan melakukan pengawasan terhadap
anak. Pembimbing Kemasyarakatan berperan
mendampingi anak dalam proses penyidikan anak.

B. Teori Peran
Teori Peran (Role Theory) adalah teori yang
merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi, maupun
disiplin ilmu. Istilah “peran” diambil dari dunia teater.
Dalam teater, seseorang aktor harus bermain sebagai
seorang tokoh tertentu dan dalam kedudukannya sebagai
tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu
(Sarwono, 2015). Peran berarti laku, bertindak. Di dalam
kamus besar bahasa Indonesia, peran adalah perangkat
tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat.
Peran diartikan pada karakterisasi yang disandang
untuk dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas
drama, yang dalam konteks sosial peran diartikan sebagai
suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika
menduduki suatu posisi dalam struktur sosial. Peran
seorang aktor adalah batasan yang dirancang oleh aktor
lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam satu
penampilan/unjuk peran (role perfomance) (Suhardono,
2018). Peran adalah suatu konsep tentang apa yang

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 137


dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai
organisasi. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku
individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat
(Soekanto, 2007). Setiap peran bertujuan agar antara
individu yang melaksanakan peran tadi dengan orang-
orang disekitarnya yang tersangkut, atau, ada hubungannya
dengan peran tersebut, terdapat hubungan yang diatur
oleh nilai-nilai sosial yang diterima dan ditaati oleh kedua
belah pihak.
Beberapa dimensi peran sebagai berikut :
1. Peran sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini
berpendapat bahwa peran merupakan suatu
kebijkasanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan;
2. Peran sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan
bahwa peran merupakan strategi untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat (public supports);
3. Peran sebagai alat komunikasi. Peran didayagunakan
sebagai instrumen atau alat untuk mendapatkan
masukan berupa informasi dalam proses pengambilam
keputusan. Persepsi ini dilandaskan oleh suatu
pemikiran bahwa pemerintahan dirancang untuk
melayani masyarakat, sehingga pandangan dan
preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan
yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang
responsif dan responsibel;
4. Peran sebagai alat penyelesaian sengketa, peran
didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi
atau meredam konflik melalui usaha pencapaian
konsesus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi
yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan
pandangan dapat meningkatkan pengertian dan
toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan dan

138 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


kerancuan;
5. Peran sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran
diakukan sebagai upaya masalah-masalah psikologis
masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan ,
tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka
bukan komponen penting dalam masyarakat
(Horoepoetri, Arimbi dan Santosa, 2003).
Soekanto (2007) mengungkapkan bahwa peran
(role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan
(status). Artinya seseorang telah menjalankan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya,
maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran.
Keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang
lain saling tergantung, artinya tidak ada peran tanpa status
dan tidak ada status tanpa peran. Setiap orang pun dapat
mempunyai macam-macam peran yang berasal dari pola
pergaulan hidupnya. Hal tersebut berarti pula bahwa peran
tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi
masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang
diberikan masyarakat kepadanya. Peran sangat penting
karena dapat mengatur perilaku seseorang, di samping itu
peran menyebabkan seseorang dapat meramalkan
perbuatan orang lain pada batas-batas tertentu, sehingga
seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan
parilaku orang-orang sekelompoknya (Narwoko, 2004).
Peran yang melekat pada diri seseorang harus
dibedakan dengan kedudukan atau tempat dalam
pergaulan kemasyarakatan. Kedudukan atau tempat
seseorang dalam masyarakat (social-position) merupakan
unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam
organisasi masyarakat. Sedangkan peran lebih banyak
menunjuk pada fungsi, artinya seseorang menduduki suatu

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 139


kedudukan tertentu dalam masyarakat dan menjalankan
suatu peran. Suatu peran paling sedikit mencakup 3 hal,
yaitu:
1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan
kedudukan atau tempat seseorang dalam masyarakat;
2. Peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat
dilakukan oleh individu dalam masyarakat; dan
3. Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang
penting bagi struktur sosial masyarakat

C. Peran PK dalam pendampingan anak di Tingkat


Penyidikan
Dalam melakukan pendampingan terhadap anak,
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) berperan sebagai
motivator. Anak tentunya akan merasa down dan terpuruk
karena kasus yang telah dilakukannya. Hal tersebut
menjadikan dia harus berurusan dengan hukum serta
pihak yang berwajib. Hal itu akan menjadikan psikologis
anak terganggu serta rasa penyesalan dan keputus-asaan
yang mendalam. Masa depan yang suram terbayang –
bayang dalam benak pikiran anak. Motivasi dan nasehat
sangat diperlukan oleh anak dalam menghadapi itu semua.
Untuk itu, Pembimbing Kemasyarakatan sangat berperan
baik dalam proses pendampingan anak di tingkat
penyidikan, Pembimbing Kemasyarakatan harus
memberikan nasihat serta memotivasi anak secara optimal
agar anak tidak mengulangi lagi, dapat bangkit kembali,
dan kepercayaan diri anak tidak hilang. Pembimbing
Kemasyarakatan meyakinkan anak bahwa masa depan
anak belum berakhir karena kasus yang telah ia alami,
masih ada harapan dalam meraih cita cita. Pembimbing
Kemasyarakatan mendorong rasa semangat anak agar

140 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


menjadi manusia yang lebih baik dan menjadi kebanggaan
orang tua, keluarga, bangsa maupun negara, karena
sejatinya anak merupakan aset generasi penerus bangsa di
masa yang akan datang.
Pembimbing Kemasyarakatan berperan dalam
membuat kesimpulan serta memberi rekomendasi. Dalam
proses pendampingan anak di tingkat penyidikan,
Pembimbing Kemasyarakatan mendampingi anak pada
saat dilakukan berita acara pemeriksaan oleh pihak
penyidik, setelah itu apabila pelanggaran yang dilakukan
anak memenuhi syarat diversi seperti yang tercantum
dalam Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak yaitu anak tersebut baru pertama kali
melakukan tindak pidana dan ancaman hukuman dibawah
7 tahun maka wajib untuk dilakukan diversi. Diversi
merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke luar proses peradilan pidana.
Disini sangat dibutuhkan peran pembimbimbing
kemasyarakatan dalam mendampingi anak, apabila dalam
proses diversi di tingkat penyidikan ini tidak didampingi
oleh pembimbing kemasyarakatan maka diversi tidak
dapat dilakukan.
Dalam proses diversi, pembimbing kemasyarakatan
juga memiliki tugas untuk membuat penelitian
kemasyarakatan mengenai latar belakang anak melakukan
tindak pidana, kronologi kejadian, hubungan dengan
keluarga dan juga mengenai lingkungan tempat tinggal
anak. Di akhir pembuatan penelitian kemasyarakatan
tersebut, Pembimbing Kemasyarakatan dapat membuat
rekomendasi keputusan terbaik apa yang akan dijalani oleh
anak, rekomendasi tersebut juga dimusyawarahkan
dengan pihak lain dalam proses diversi. Hasil rekomendasi

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 141


dapat berupa pidana bersyarat, anak kembali ke orang tua,
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian,
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan dan pelayanan
masyarakat. Kesimpulan dan rekomendasi yang dibuat
pastinya telah mendapat pertimbangan dari berbagai sisi.
Dan tentunya didasarkan pada asas “kepentingan terbaik
bagi anak‟.
Dalam proses pendampingan terhadap anak,
Pembimbing Kemasyarakatan berperan dalam melakukan
sosialisasi kepada masyarakat tentang diversi. Dalam
kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui mengenai diversi, salah satu kendala diversi
pun karena korban tidak mau untuk melaksanakan diversi.
Hal tersebut karena mereka belum memahami apa itu
diversi. Sehingga perlu dilakukan sosialisasi kepada
masyarakat. Di sinilah peran Pembimbing
Kemasyarakatan, ia harus memiliki strategi agar
masyarakat mengetahui dan memahami tentang diversi
salah satunya dengan melakukan sosialisasi kepada
masyarakat.
Pembimbing Kemasyarakatan sebagai alat
komunikasi antara anak dengan pihak penyidik serta
antara pihak korban dan pelaku. Ia mencoba untuk
memberikan informasi mengenai diversi baik kepada
korban maupun kepada pelaku. Dan mencoba untuk
menyatukan kedua belah pihak, mencairkan suasana
terutama agar pihak korban mau untuk memaafkan pihak
pelaku. Dalam proses diversi, Pembimbing
Kemasyarakatan juga sebagai alat komunikasi dalam
menyampaikan hasil penelitian kemasyarakatan yang telah
dibuat, hasil penelitian kemasyarakatan dibaca didepan

142 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


semua pihak yang hadir dalam proses diversi tersebut.
Dalam proses diversi, pembimbing kemasyarakatan
merupakan wakil fasilitator di setiap tingkatan. Diversi
dibuka oleh pihak penyidik kemudian selanjutnya
diserahkan kepada Pembing Kemasyarakatan sebagai
mediator. Pembimbing Kemasyarakatan menjadi penengah
antara korban dan pelaku dan berusaha semaksimal
mungkin untuk mencari solusi yang terbaik bagi korban
dan pelaku, serta mencari kepentingan yang terbaik untuk
anak.
Selain berperan sebagai mediator, pembimbing
kemasyarakatan juga berperan sebagai negosiator dalam
proses diversi ini. Pembimbing Kemasyarakatan
melakukan negosiasi kepada pihak korban mengenai
jumlah yang harus diberikan oleh anak yang berhadapan
dengan hukum kepada pihak korban sebagai ganti untuk
biaya perawatan yang perlu diakukan oleh korban. Dengan
adanya peran pembimbing kemasyarakatan sebagai
negosiator, membuat proses diversi ini menjadi berhasil.

D. Kesimpulan
Pendampingan pembimbing kemasyarakatan
dalam proses penyidikan anak sangat penting, pembimbing
kemasyarakatan berperan sebagai motivator, menentukan
rekomendasi bagi anak, pembimbing kemasyarakatan
berperan dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat
tentang diversi, pembimbing kemasyarakatan sebagai alat
komunikasi dan pembimbing kemasyarakatan sebagai
mediator serta negosiator.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 143


Daftar Pustaka

Agong, Suyanto J. Dwi Narwoko. (2004). Sosiologi Teks


Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Media
Group.
Nashriana. (2011). Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di
Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Agusriadi. (2018). Pembinaan narapidana yang mengalami
gangguan jiwa di dalam Lembaga pemasyarakatan.
Universitas Syiah Kuala.
Hofer, P. (1988). Prisonization dan residivisme : A
psychological perspective. International Journal of
Offender Therapy and Comparative Criminology, 32(2),
95–106. https://doi.org/0803973233
Joseph, M. C. (2017). Penerapan terapi penerimaan dan
komitmen untuk mengurangi kecemasan pada
narapidana menjelang pembebasan bersyarat di Lapas
X. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora Dan Seni, 1(2),
239–247.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. (2016). Kematian
tahanan, kegagalan pemidanaan. Jakarta.
Magaletta, P. R., Patry, M. W., Dietz, E. F., & Ax, R. K. (2007).
What is correctional about clinical practice in
corrections? Criminal Justice and Behavior, 34(1), 7–21.
https://doi.org/10.1177/0093854806290024
McCalllum, D. (2004). Personality and dangerousness
Genealogies of antisocial personality disorder. Cambridge:
Cambridge University Press.
Pabbathi, L. R., Naik, U. S., Mandadi, G. D., & Bhogaraju, A.
(2014). Personality assessment of offenders and
mentally ill offenders. AP J Psychol Med, 15(1), 55–59.
Pate, J. K. (2008). Collective behavior and the factors that cause
prison riots. Maryville College.

144 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Plante, T. G. (2005). Contemporary Clinical Psychology
(Second Edi). New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Susanty, E. (2017). Penanganan gejala traumatik dengan
terapi EMDR (Eye movement desenzitization and
reprocessing) pada narapidana wanita di Lapas Klas IIA
Bandung Jawa Barat. INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi,
8(1), 1–15.
Towl, G. J. (2006). Psychological Research in Prisons. In G. J.
Towl (Ed.), Psychological Research in Prisons.
https://doi.org/10.1002/9780470775073
Yoon, I. A., Slade, K., & Fazel, S. (2017). Outcomes of
psychological therapies for prisoners with mental health
problems: A systematic review and meta-analysis.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 85(8), 783–
802. https://doi.org/10.1037/ccp0000214
Agusriadi. (2018). Pembinaan narapidana yang mengalami
gangguan jiwa di dalam Lembaga pemasyarakatan.
Universitas Syiah Kuala.
Hofer, P. (1988). Prisonization dan residivisme : A
psychological perspective. International Journal of
Offender Therapy and Comparative Criminology, 32(2),
95–106. https://doi.org/0803973233
Joseph, M. C. (2017). Penerapan terapi penerimaan dan
komitmen untuk mengurangi kecemasan pada
narapidana menjelang pembebasan bersyarat di Lapas
X. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora Dan Seni, 1(2),
239–247.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. (2016). Kematian
tahanan, kegagalan pemidanaan. Jakarta.
Magaletta, P. R., Patry, M. W., Dietz, E. F., & Ax, R. K. (2007).
What is correctional about clinical practice in
corrections? Criminal Justice and Behavior, 34(1), 7–21.
https://doi.org/10.1177/0093854806290024

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 145


McCalllum, D. (2004). Personality and dangerousness
Genealogies of antisocial personality disorder. Cambridge:
Cambridge University Press.
Pabbathi, L. R., Naik, U. S., Mandadi, G. D., & Bhogaraju, A.
(2014). Personality assessment of offenders and
mentally ill offenders. AP J Psychol Med, 15(1), 55–59.
Pate, J. K. (2008). Collective behavior and the factors that cause
prison riots. Maryville College.
Plante, T. G. (2005). Contemporary Clinical Psychology
(Second Edi). New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Susanty, E. (2017). Penanganan gejala traumatik dengan
terapi EMDR (Eye movement desenzitization and
reprocessing) pada narapidana wanita di Lapas Klas IIA
Bandung Jawa Barat. INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi,
8(1), 1–15.
Towl, G. J. (2006). Psychological Research in Prisons. In G. J.
Towl (Ed.), Psychological Research in Prisons.
https://doi.org/10.1002/9780470775073
Yoon, I. A., Slade, K., & Fazel, S. (2017). Outcomes of
psychological therapies for prisoners with mental health
problems: A systematic review and meta-analysis.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 85(8), 783–
802. https://doi.org/10.1037/ccp0000214

146 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


KEPATUHAN KLIEN : PERAN MOTIVASI DAN
KOMUNIKASI KLIEN DALAM PROSES
PEMBIMBINGAN
Yoga Dwi Putra Permana

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan, mendefinisikan pembimingan sebagai
pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan
perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Klien
Pemasyarakatan. Di sisi lain, klien pemasyarakatan sendiri
atau yang selanjutnya disebut dengan klien adalah seseorang
yang berada dalam bimbingan Bapas (Pasal 1 Undang–
Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Secara mendasar klien pemasyarakatan dibagi menjadi dua,
yakni klien dewasa dan klien anak.
Klien dewasa yang dimaksud terdiri dari seseorang
yang berstatus terpidana bersyarat dan narapidana yang
mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang
Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB). Setiap klien
diwajibkan mengikuti secara tertib program pembimbingan
yang diadakan oleh Balai Pemasyarakatan atau Bapas. Dalam
hal ini pembimbingan terhadap klien di Bapas dilaksanakan
secara langsung oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK).
Terdapat konsekuensi tersendiri apabila klien tidak
mengikuti secara tertib pembimbingan yang dilakukan PK
terhadapnya, yaitu berupa pencabutan program
PB/CMB/ataupun CB. Sebagaimana contoh di salah satu
Bapas di Provinsi DKI Jakarta, yaitu Bapas Kelas I Jakarta
Pusat.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 147


Berdasarkan data pada tabel 1 di bawah ini jumlah
pencabutan program PB/CMB/CB pada klien dewasa Bapas
Kelas I Jakarta Pusat pada Tahun 2019 cenderung mengalami
naik-turun setiap bulannya. Sepanjang tahun 2019 Jumlah
terbanyak pencabutan terdapat pada program PB yakni
sebanyak 20 klien dewasa yang dicabut hak PB-nya, diikuti
oleh pencabutan program CB sebanyak 8 klien dewasa yang
dicabut hak CB-nya, dan terakhir pencabutan program CMB
sebanyak 2 klien dewasa yang dicabut hak CMB-nya.
Tabel 1
Jumlah Pencabutan Program PB/CMB/CB Klien Dewasa Bapas Kelas
I Jakarta Pusat Tahun 2019
Jumlah Pencabutan
No. Bulan
PB CMB CB
1. Januari 2 1 -
2. Februari - - -
3. Maret 3 - 2
4. April 1 - 2
5. Mei 2 1 1
6. Juni 2 - 1
7. Juli 4 - 2
8. Agustus - - -
9. September 1 - -
10. Oktober 2 - -
11. November 2 - -
12. Desember 1 - -
Jumlah 20 2 8
Sumber : Seksi BKD Bapas Kelas I Jakarta Pusat
Mayoritas pencabutan terjadi dikarenakan klien
melakukan tindak pidana kembali selama masa bimbingan
dan/tidak melakukan wajib lapor serta tidak patuh sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu
klien diharapkan kepatuhannya dalam setiap pembimbingan
yang dilaksanakan oleh Bapas melalui PK Bapas agar apa
yang menjadi tujuan pemasyarakatan dapat tercapai dengan
baik dan klien dapat berintegrasi secara penuh di dalam

148 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


masyarakat secara berkelanjutan dan berkesinambungan
setelah bebas menjalani pidananya di Lembaga
Pemasyarakatan. Kepatuhan klien pemasyarakatan menjadi
kunci utama dalam keberhasilan pembimbingan yang
dilakukan oleh PK terhadap klien.
Selama klien menjalani pembimbingan juga dibutuhkan
suatu motivasi klien agar klien senantiasa patuh pada segala
ketentuan pembimbingan serta dapat mengikuti segala
kegiatan bimbingan dengan baik dan optimal. Secara
berkesinambungan dan berkelanjutan motivasi klien dalam
mengikuti pembimbingan juga diharapkan dapat terjaga dan
mengalami peningkatan agar apa yang menjadi tujuan
pembimbingan dapat tercapai dengan baik.
Selama proses pembimbingan, klien juga senantiasa
melakukan konseling dengan masing–masing PK yang
menanganinya. Satu orang klien ditangani oleh satu orang PK.
Konseling yang dilakukan menciptakan suatu hubungan atau
ikatan antara PK dengan klien dalam suatu kegiatan
pembimbingan. Hubungan tersebut juga menimbulkan suatu
komunikasi antara PK dan klien selama masa bimbingan di
Bapas. Antara klien yang satu dengan klien lainnya tentu
berbeda dalam hal intensitas komunikasinya dengan PK,
tergantung dari kebutuhannya. Intensitas komunikasi klien
dengan PK diharapkan dapat terjaga dan stabil demi
terciptanya kepatuhan klien yang diharapkan serta
pemulihan hidup, kehidupan, dan penghidupan bagi klien
dapat terwujud dan terealisasi. Dari penjelasan itu, dapat
dikatakan bahwa motivasi klien dewasa maupun intensitas
komunikasi dengan PK masing – masing secara langsung dan
tak langsung berkontributif dalam menciptakan suatu sikap
patuh klien dalam menjalani pembimbingan.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 149


A. Motivasi Kepatuhan
Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan internal
dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan
dengan adanya, hasrat dan minat, dorongan dan
kebutuhan, harapan dan cita-cita, penghargaan dan
penghormatan (Uno, 2016). Motivasi menjadi salah satu
unsur pada individu dalam setiap melakukan kegiatan.
Motivasi mempunyai peranan tersendiri dalam individu
bersikap maupun bertingkah laku (Hisyam, 2018).
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa
motivasi juga menjadi faktor dalam suatu kepatuhan
seseorang pada suatu kondisi tertentu. Sebagai contoh
jurnal penelitian karya Rahma Dani, Gamya, dan Bayhakki,
2015, Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Riau, dengan judul “Hubungan Motivasi,
Harapan, dan Dukungan Petugas Kesehatan terhadap
Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik untuk Menjalani
Hemodialisis”. Dalam penelitian tersebut faktor motivasi
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepatuhan
pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani hemodialisis.
Motivasi mempunyai peran penting dalam menumbuhkan
sikap patuh pasien, baik motivasi dari diri sendiri maupun
motivasi dari orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian motivasi yang paling
dominan mendorong kepatuhan pasien yang menjalani
hemodialisis yakni motivasi ekstrinsik atau motivasi dari
keluarga/orang lain. Motivasi dari keluarga dapat berupa
pujian terhadap kemajuan kesehatan pasien dan keluarga
juga mengingatkan jadwal hemodialisis pasien (Dani, R.,
Utami, G. T., Bayhakki, 2015). Seseorang yang memiliki
motivasi yang tinggi akan cenderung berperilaku patuh

150 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


dibandingkan dengan yang memiliki motivasi rendah.
Sehingga dapat dikatakan motivasi juga merupakan faktor
yang mempengaruhi suatu kepatuhan seseorang dalam
kondisi tertentu.

B. Komunikasi dalam pembimbingan


Menurut Carl I. Hovland (dalam Latifah, Holilullah
& Yanzi, 2013) “ Communication is the process to modify the
behavior of others individuals”. (Komunikasi adalah proses
mengubah perilaku orang lain). Definisi Hovland
menunjukkan bahwa komunikasi merupakan kegiatan
yang bersifat continue untuk mengubah perilaku orang
lain. Tentu saja hal ini tidak bisa terjadi dalam setiap
kegiatan komunikasi. Hanya komunikasi yang
komunikatif-lah yang memungkinkan terjadinya proses
perubahan perilaku orang lain. Dalam komunikasi antar
individu, segala sesuatu yang akan disampaikan oleh
seorang individu kepada individu lain memiliki maksud
dan tujuan yang berbeda. Maka dari itu, komunikasi yang
dilakukan memiliki taraf kedalaman yang berbeda–beda
(Nurudin, 2016). Taraf–taraf tersebut secara tidak
langsung juga akan menciptakan suatu intensitas dalam
komunikasi antar individu yang dinamakan dengan
intensitas komunikasi.
Menurut Devito (dalam Munawaroh & Azizah,
2018) intensitas komunikasi adalah tingkat kedalaman
dan keluasan pesan yang terjadi saat berkomunikasi
dengan orang. Intesitas komunikasi yang terjadi secara
mendalam ditandai dengan adanya kejujuran,keterbukaan,
dan saling percaya yang dapat memunculkan suatu respon
dalam bentuk perilaku atau tindakan. Devito (2009) juga
menyatakan bahwa untuk dapat mengukur intensitas

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 151


komunikasi antar individu dapat ditinjau dari (6) enam
aspek, yaitu: Frekuensi dan durasi saat berkomunikasi;
Perhatian yang diberikan saat komunikasi; Keteraturan
dalam berkomunikasi; Isi Komunikasi; Tingkat keluasan
pesan saat berkomunikasi dan jumlah orang yang diajak
berkomunikasi; dan Tingkat kedalaman pesan saat
berkomunikasi.
Sebuah penelitian telah membuktikkan bahwa
komunikasi juga berpengaruh pada kepatuhan seseorang
terhadap sesuatu. Sebagai contoh jurnal karya Dewi
Hapsari Wulandari, 2015, Mahasiswa Program Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, dengan judul “Analisis Faktor–Faktor yang
Berhubungan dengan Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru
Tahap Lanjutan Untuk Minum Obat di RS Rumah Sehat
Terpadu Tahun 2015”. Dalam penelitian tersebut,
kepatuhan pasien dalam terapi dimana dengan
komunikasi yang baik, seorang tenaga kesehatan dapat
memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan
pengetahuan pasien sehingga diharapkan lebih dapat
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan
terapi. Komunikasi menjadi salah satu hal terpenting pada
hubungan pasien dengan tenaga kesehatan (dokter atau
perawat).
Komunikasi diharapkan dapat terjalin dengan baik
sehingga dapat berpengaruh pada kepatuhan pasien dalam
pengobatan yang secara simultan kepatuhan tersebut
menyebabkan tujuan pasien, yakni kesembuhan dapat
terealiasi dalam diri pasien dengan baik (Hapsari, 2015).
Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi juga menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan
seseorang dalam suatu kondisi tertentu.

152 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


C. Kepatuhan Klien
Sedangkan Blass (dalam Fadhilah, 2016)
mengungkapkan bahwa kepatuhan adalah menerima
perintah-perintah dari orang lain. Kepatuhan dapat terjadi
dalam bentuk apapun, selama individu tersebut
menunjukkan perilaku taat terhadap sesuatu atau
seseorang, misalnya kepatuhan terhadap norma sosial.
Blass juga mengungkapkan bahwa kepatuhan disebabkan
oleh kepribadian, kepercayaan, dan lingkungan, dimana
kepribadian dan kepercayaan seseorang merupakan
kemampuan seseorang dalam mengontrol diri (dalam
Fadhilah, 2016).
Seseorang dapat dikatakan patuh kepada perintah
orang lain atau aturan, apabila seseorang tersebut
memiliki tiga dimensi kepatuhan yang terkait dengan
sikap dan tingkah laku (Blass, dalam Riyono &
Kuncorowati, 2016). Dimensi-dimensi tersebut antara lain
: Kepercayaan(belief), penerimaan (accept), dan tindakan
(Act).
Menurut Milgram (dalam Wulandari & Ulum,
2017) terdapat faktor–faktor yang mempengaruhi
kepatuhan individu terhadap individu lain, yaitu :
1. Status Lokasi.
Faktor ini menunjukkan dimana semakin penting
lokasi yang diberikan instruksi maka semakin tinggi
pula kepatuhan. Hal ini menunjukkan bahwa prestise
dapat meningkatkan kepatuhan.
2. Tanggung jawab personal.
Semakin besar tanggung jawab personal maka
tingkat kepatuhan akan meningkat.

3. Legitimasi dari figur otoritas.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 153


Legitimasi dalam hal ini dapat diartikan seberapa
jauh masyarakat mau menerima dan mengakui
kewenangan, keputusan, dan kebijakan yang diambil
oleh figur otoritas.
4. Status dari figur otoritas.
Atribut diri yang melekat pada figure otoritas
dapat mempengaruhi kepatuhan. Semakin tinggi kelas
atau level atribut diri yang dimiliki figure otoritas,
maka semakin pula meningkatkan kepatuhan seseorag
terhadap figur otoritas tersebut.
5. Dukungan dari rekan.
Dukungan sosial dari lingkungan sekitar dapat
berpengaruh pada kepatuhan individu terhadap suatu
hal. Dukungan sosial juga mempunyai andil dalam
membuat seseorang patuh atau tidak terhadap suatu
ketentuan. Bila seseorang memiliki dukungan sosial
dari temannya untuk tidak patuh, maka kepatuhan
berpotensi menjadi berkurang.
6. Kedekatan dengan figur otoritas.
Hubungan kedekatan secara pribadi dengan figur
otoritas dapat menjadi salah satu faktor yang
berkontributif menimbulkan sikap patuh. Semakin
dekat hubungan seseorang dengan figur otoritas, maka
peluang kepatuhan seseorang tersebut terhadap figur
otoritas semakin besar.
Faktor tanggung jawab sosial yang dinyatakan oleh
Milgram secara mendasar merupakan bagian dari motivasi
intrinsik seseorang untuk bersikap patuh. Sedangkan
faktor-faktor seperti status lokasi, legitimasi dari figur
otoritas, status dari figur otoritas, maupun dukungan
rekan merupakan faktor yang bersifat eksternal yang
dapat menimbulkan sikap patuh seseorang terhadap

154 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


sesuatu. faktor kedekatan dengan figur otoritas sendiri
dapat diciptakan melalui proses komunikasi antara
individu dengan figur otoritas yang bersangkutan dalam
konteks kepatuhan terhadap sesuatu. Individu cenderung
lebih mudah memenuhi permintaan dari individu lain
yang saling memiliki suatu hubungan, terlebih hubungan
yang begitu dekat. Seberapa dekat hubungan antar
individu dengan individu lain juga disebabkan oleh
seberapa sering antar individu tersebut menjalin
komunikasi. Asumsi ‘sering’ disini dapat diartikan sebagai
suatu intensitas. Dan jika dikaitkan dalam konteks
komunikasi, maka akan bermakna sebagai intensitas
komunikasi.
Dalam melaksanakan pembimbingan yang
diselenggarakan oleh Bapas, klien dewasa diwajibkan
mematuhi segala aturan yang telah ditentukan oleh PK
yang membimbingnya. Terdapat konsekuensi tersendiri,
apabila klien dewasa tidak mematuhi aturan-aturan
tersebut, yakni salah satunya berupa pencabutan program
PB/CMB/CB klien. Maka dari itu kepatuhan klien dewasa
dalam melaksanakan program pembimbingan sangat
ditekankan. Dalam menumbuhkan sikap patuh klien
tentunya diperlukan motivasi klien itu sendiri yang
menjadi dasar pendorong dalam membuat klien selalu
patuh. Disamping itu, komunikasi antara klien dan PK juga
perlu dibangun dan dijaga dikarenakan komunikasi
menjadi salah unsur dasar dalam pelaksanaan
pembimbingan klien.
Hubungan komunikasi klien dengan PK secara
tidak langsung menciptakan suatu intensitas komunikasi
dalam pelaksanaan pembimbingan. Intensitas Komunikasi
yang baik antara klien dengan PK mempunyai peran

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 155


penting tersendiri dalam mencapai keberhasilan program
pembimbingan dimana keberhasilan tersebut dapat
diukur dengan aspek kepatuhan klien dalam menjalani
pembimbingan. Dengan kata lain, motivasi klien dewasa
maupun intensitas komunikasi dengan PK masing –
masing dan bersamaan berkontributif dalam menciptakan
kepatuhan klien dalam pembimbingan.

D. Motivasi, komunikasi dan Kepatuhan Klien dalam


Proses Bimbingan.
Penelitian tentang hubungan tingkat motivasi klien
dewasa dengan tingkat kepatuhan klien dewasa dalam
proses bimbingan, menemukan korelasi 0,876 (Sig. 0,000
< 0,05) dimana nilai tersebut menunjukkan bahwa
variabel tingkat motivasi klien dewasa memberikan
kontribusi dalam mempengaruhi variabel tingkat
kepatuhan klien dewasa dalam proses bimbingan sebesar
87,6%. Pengaruh tingkat motivasi klien terhadap tingkat
kepatuhan klien dewasa dalam proses bimbingan tersebut
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat motivasi
klien dewasa, maka semakin tinggi pula tingkat kepatuhan
klien dewasa dalam proses bimbingan. Sebaliknya,
semakin rendah tingkat motivasi klien dewasa, maka
semakin rendah pula tingkat kepatuhan klien dewasa
dalam proses bimbingan. Pernyataan tersebut sejalan
dengan pendapat Lawrence Green (2015) bahwa
kepatuhan dapat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor
predisposisi yang meliputi pengetahuan, pendidikan,
ekonomi, sosial, budaya, dan motivasi (baik motivasi
intrinsik maupun motivasi ekstrinsik).
Sedangkan hubungan tingkat intensitas
komunikasi klien dan PK dengan tingkat kepatuhan klien

156 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


dewasa dalam proses bimbingan, memperoleh nilai R
Square 0,999 (Sig. 0,000 atau < 0,05) yang menunjukkan
terdapat pengaruh intensitas komunikasi dengan PK yang
signifikan terhadap kepatuhan klien dewasa dalam proses
bimbingan di Bapas. temuan penelitian tingkat intensitas
komunikasi klien dengan PK ini berarti semakin tinggi
tingkat intensitas komunikasi dengan PK maka semakin
tinggi pula tingkat kepatuhan klien dewasa dalam proses
bimbingan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat intensitas
komunikasi dengan PK maka semakin rendah pula tingkat
kepatuhan klien dewasa dalam proses bimbingan.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 157


Daftar Pustaka

Dani, R., Utami, G. T., Bayhakki. (2015). Hubugan Motivasi,


Harapan, dan Dukungan Petugas Kesehatan Terhadap
Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik untuk
Menjalani Hemodialisis. JOM, Vol.2, No.2, hal. 1362-
1371.
Fadhilah, F., F. (2016). Hubungan Antara Dukungan Sosial
Sebayadan Gaya Pengasuhan Ustadzah Dengan
Kepatuhan Terhadap Peraturan Pada Santriwati MTs
Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Sukoharjo.
Jurnal UNNES.
Green, Lawrence. (2015). Health Education: A Diagnosis
Approach. The John Hopkins University: Mayfield
Publishing
Hisyam, C., J. (2018). Perilaku Menyimpang : Tinjauan
Sosiologis. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kozier, Barbara. (2014). Fundamental of Nursing. California:
Addist Asley Publishing Company.
Latifah, R., N., Holilullah, & Yanzi, H. (2013). Hubungan
Intensitas Komunikasi Interpersonal Siswa dengan
Kemampuan Komunikasi di Kelas XI SMA
Muhammadiyah 2 Karang Tengah Tahun Pelajaran
2012/2013. Jurnal UNILA. Vol. 1, No.1.
Munawaroh, N., L. & Azizah, A. (2018). Disharmonisasi
Keluarga Ditinjau Dari Intensitas Komunikasi.
KOMUNIKA : Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol.12,
No.2, hal. 291-310.
Nurudin. (2016). Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer.
Jakarta: Rajawali Pers
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
(Online), tersedia : https://www.bphn.go.id, diunduh
24 Desember 2019.

158 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan


Riyono, G. & Kuncorowati, P., W. (2016). Hubungan Antara
Pengetahuan Hukum dengan Tingkat Kepatuhan
Terhadap Tata Tertib Sekolah Pada Siswa Kelas X SMA
Negeri 4 Yogyakarta. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan dan Hukum, hal. 1-16.
Smet, B. (2014). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo.
Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. .
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM Republik Indonesia. (Online),
tersedia : https://www.bphn.go.id, diunduh 24
Desember 2019.
Uno, H.B. (2016). Teori Motivasi dan Pengukurannya:
Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wulandari, D., H. (2015). Analisis Faktor–Faktor yang
Berhubungan dengan Kepatuhan Pasien Tuberkulosis
Paru Tahap Lanjutan untuk Minum Obat di RS Rumah
Sehat Terpadu tahun 2015. Jurnal ARSI, Vol.2, No.1,
hal. 17-28.
Wulandari, R., D. & Ulum, M., M. (2017). Faktor yang
mempengaruhi Kepatuhan Pendokumentasian
Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori Kepatuhan
Milgram. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia,
Vol.1, No.1, hal. 252-262.

Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan| 159


160 | Psikologi Klinis dalam Konteks Pemasyarakatan
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai