Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH AKHIR

ETIKA SOSIAL D

PERSPEKTIF ROBERT NOZICK: TERHADAP KEBEBASAN

DALAM MEMILIH LINGKUP PERTEMANAN ANTAR MAHASISWA

UKSW

Mario Pakpahan 712019236

A. Pendahuluan

Pada isi Prospektus tentunya penulis ingin memberikan tulisan dengan judul

“Perspektif Robert Nozick : Terhadap Kebebasan Dalam Memilih Lingkup Pertemanan Antar

Mahasiswa UKSW”. Ketika hal tersebut terjadi memang menjalin suatu hubungan yang

interpersonal tentu sangat penting. Terutama ketika menyadari bahwa sesungguhnya manusia

tidak dapat hidup sendiri melainkan hidup sosial. Dalam hal ini latar belakang yang ingin

disinggung tentu bagaimana mahasiswa UKSW memahami lebih dalam dengan kriteria

pertemanan yang mereka lakukan, apakah hal tersebut memberikan efek positif maupun

sebaliknya memberikan efek negatif terhadap kedua belah pihak atau lebih. Dapat dipahami

secara gamblang layaknya ketika melakukan suatu acara bersama seperti: Nongkrong,

kegiatan kemahasiswaan bersama, kegiatan gotong royong lingkup kos dan lain-lain. Hal ini

dapat dipahami karena banyaknya mahasiswa UKSW yang berbeda-beda suku maupun

budaya. Hal tersebutlah yang membedakan karakter setiap individu dalam berbagai

mahasiswa. Maka dari itulah Robert Nozick menegaskan tentang kebebasan dalam hidup
setiap manusia untuk memilih apakah hal tersebut layak untuk dijadikan teman atau sahabat

maupun tidak sama sekali.

Sebuah kualitas pertemanan juga bisa diidentifikasikan melewati berbagai macam,

seperti bagaimana letak penyusunan dalam kamarnya tersebut di dalam kos, bagaimana

kebiasaan mereka ketika kita bersamanya, bagaimana tingkah laku terhadap sosialnya, dan

bagaimana penerimaan mereka terhadap orang baru di sekitarnya. Hal inilah yang

menegaskan sang Penulis bahwa tidak semena-mena diri kita layak bisa bersama dengan

orang yang menurut kita tidak masuk dalam kriteria atau kualitas letak pertemanan yang kita

pahami terhadap orang lain maupun terhadap sosial lainnya. Maka dari itu penulis merasa

bahwa kebebasan dalam memilih sebuah lingkup pertemanan terkhusus saat berkuliah

sangatlah penting, karena hal tersebut dapat memberikan semacam kebahagiaan ketika

lingkup pertemanan tersebut memiliki kemiripan dengan diri kita.

Menurut Nozick, individu atau subjek memiliki hak-hak dasar yang mesti

dipertimbangkan sebelum membuat subjek menjadi bukan dirinya sendiri. Artinya, Nozick

menempatkan subjek sebagai yang otonom. Subjek mesti dipandang secara utuh berdasarkan

hak-hak dasar atau asasi yang dimilikinya. Di samping itu, moralitas dapat digunakan dalam

masyarakat sosial. Karena hal ini bertujuan bahwa moralitas berperan ketika kita

mempertimbangkan interaksi kita dengan orang lain. Karenanya, realitas orang lain

menciptakan batasan pada tindakan kita. Namun menurut Nozick, batasan tersebut tidak sama

dengan batas yang ditentukan oleh fisika. Moralitas di sini dipahami sebagai “aturan main”

dalam berinteraksi dengan orang lain. Singkatnya, seseorang bisa dan bebas melakukan

sesuatu tetapi akan salah dilakukan ketika bersinggungan dengan orang lain.1

1 YesayaSandang dan Eko Wijayanto, Konstruksi Konsep Hak Robert Nozick dan John Rawls (Sebuah
Komparasi Pemikiran) Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, Vol. IV, No. 1, Januari-Juni 2017, 13.
Pada akhirnya, Nozick mengungkapkan bahwa kita dapat mendasarkan sifat tidak

dapat diganggu gugat orang dalam kapasitas manusia untuk mengarahkan diri sendiri.

“Seseorang membentuk hidupnya sesuai dengan beberapa rencana keseluruhan adalah

caranya memberi makna pada hidupnya; hanya makhluk dengan kapasitas untuk membentuk

hidupnya dapat memiliki atau berjuang untuk sesuatu yang bermakna hidup. Jadi kemampuan

kita untuk merumuskan rencana hidup dan menindaklanjutinya bahwa kendala sisi moral

melindungi. Inilah sebabnya mengapa mengenali realitas orang lain menyiratkan

ketidakbolehan menggunakan mereka sebagai sarana untuk orang lain berakhir. Minimal, kita

masing-masing akan melihat ini sebagai menyiratkan tidak dapat diganggu gugat kita sendiri,

dan hanya dibutuhkan sedikit kedewasaan untuk melihat mengapa hal ini harus meluas ke

orang lain.2

Dengan demikian, pemikiran Nozick tentang hak asasi dan konsep kebebasan

manusia akan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis kebebasan mahasiswa

dalam memilih pergaulan dan pertemanan dalam konteks UKSW (Universitas Kristen Satya

Wacana). Karena itu, penelitian ini akan banyak tertuju pada konsep kebebasan subjek oleh

Nozick untuk menganalisis kebebasan mahasiswa UKSW dalam memilih pergaulan.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Saifuddin, metode

pendekatan kualitatif merupakan metode pendekatan yang sifatnya formal dan argumentatif. 3

Tujuan daripada metode pendekatan ini adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu

pertanyaan penelitian dengan tidak berdasarkan argumentasi angka-angka, melainkan

berdasarkan argumentasi yang sifatnya kualitatif. Mengenai teknik pengumpulan data, maka

2 Saifuddin, Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011), hlm. 5.
3 Gorys, Keraf, Komposisi, (Nusa Tenggara Indah: Nusa Indah, 1979), hlm.162.
penulis akan menggunakan dua teknik pengumpulan data: wawancara dan studi kepustakaan.

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai objek penelitian

yang dapat ditempuh melalui penyusunan daftar kuesioner yang tepat atau menyusun suatu

desain penelitian yang cermat.4 Sedangkan studi kepustakaan digunakan untuk teknik

pengumpulan data dengan tinjauan pustaka ke perpustakaan dan pengumpulan buku-buku,

bahan-bahan tertulis serta referensi-referensi yang relevan dengan penelitian yang sedang

dilakukan.5 Karena itu, responden wawancara terdiri dari 4 sumber mahasiswa UKSW.

Melalui hal ini, tujuannya menilai suatu hal tersebut dari perilaku yang dilakukan di kampus

maupun di dalam kos masing-masing. Di samping itu, juga menelaah tentang apa saja yang

harus dikoreksi dari penelitian tersebut lalu dicatat pada bagian yang menurut penulis sangat

penting dengan kriteria yang berbeda-beda.

C. Hasil Penelitian

1. Apa dan Bagaimana Mahasiswa Bagi Responden

Menurut responden 1, memahami bahwa mahasiswa adalah seorang pelajar yang

berbeda dengan siswa-siswi dalam lingkup sekolah. Baginya, mahasiswa adalah pelajar tahap

akhir yang tidak hanya mampu menghafalkan pelajaran serta norma-norma masyarakat, tetapi

juga mahasiswa mampu menelaah setiap pelajaran dengan baik serta mempraktekkannya

demi kebutuhan masyarakat. Artinya, sebagai mahasiswa mesti tertuju pada pengabdian

masyarakat sebagai nilai yang luhur. Menurut responden 2, mahasiswa merupakan manusia

yang mampu mengimplementasikan pelajaran di dalam kelas ke dalam masyarakat. Menurut

penulis, jawaban responden 2 tentu tidak jauh berbeda dengan jawaban responden 1. Namun

menurut responden 3, mahasiswa merupakan jati diri sebuah pendidikan. Artinya, mampu

menemukan masalah secara kritis, memahami masalah tersebut, serta mencari solusi yang

4 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), hlm. 83.
5 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Penerbit Utama Gramedia Utama, 1994), 21.
tepat terhadap permasalah yang ditemukan. Artinya, mahasiswa sebagai penyedia solusi di

lingkungan akademik maupun lingkungan sosial. Menurut responden 4, mahasiswa adalah

orang penuh dengan kesadaran dalam melihat dan memahami situasi yang baik bagi dirinya

dan orang lain berdasarkan pelajaran yang telah didapatkan.

2. Tingkah Laku Sebagai Mahasiswa: Lingkup Akademis dan Sosial UKSW

Menurut responden 1, mahasiswa dalam berperilaku harus sesuai dengan karakter

sebagai mahasiswa dan keadaan sosial-budaya di dalam kampus maupun masyarakat.

Misalnya, dalam lingkup UKSW, mesti memahami kondisi plural budaya maupun norma dari

berbagai mahasiswa yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut responden 2,

tingkah laku mahasiswa sebagai mahasiswa UKSW, harus mencerminkan tanggung jawab

dan sopan santun. Sehingga menurut responden 2, lingkungan akademis menjadi tempat

belajar secara baik dan masyarakat sebagai tempat implementasi perilaku yang sopan dan

bertanggung jawab. Menurut responden 3, perilaku mahasiswa mesti mencerminkan hasil

pendidikan yang tidak hanya kemampuan kognitif saja, melainkan juga kemampuan psikis

dan motorik. Sehingga dalam bertingkah laku, mahasiswa dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Menurut responden 4, tingkah laku mahasiswa dalam lingkup UKSW harus mencerminkan

karakter pendidikan UKSW itu sendiri. Menurutnya, mahasiswa tidak hanya melakukan apa

yang baik bagi dirinya, melainkan juga memperhatikan apa yang baik bagi orang lain.

3. Kebebasan Memilih Teman dalam Lingkup UKSW bagi Responden

Menurut responden 1, memilih pertemanan dalam lingkup UKSW mesti

memperhatikan kondisi kampus dan masyarakat. Dalam lingkup kampus, mahasiswa

semestinya memilih teman yang dapat menunjang proses belajar sebagai mahasiswa.
Kebebasan memilih teman diperlukan agar mahasiswa tidak terjebak dengan ajakan-ajakan

yang tidak berguna. Menurut responden 2, memilih teman dalam lingkup UKSW mesti

berdasarkan kehendak dan karakter mahasiswa itu sendiri. Tentunya, juga mesti berlandaskan

pada moral dan norma-norma yang berlaku. Menurut responden 3, memilih teman dalam

lingkup UKSW harus dilakukan secara kritis agar tidak tersesat dalam pergaulan yang tidak

menyenangkan, negatif serta tidak bermanfaat. Menurut responden 4, memilih teman dalam

lingkup UKSW mesti secara sadar dan atas pilihan sendiri serta berdasarkan pada norma-

norma masyarakat sehingga menghasilkan pergaulan yang positif.

D. Pembahasan

1. Pemikiran Nozick Tentang Hak

Apa dan bagaimana landasan hak yang dimiliki individu sebagai subjek hak? Menurut

Nozick, hak merupakan bagian dasar yang dimiliki oleh setiap individu berdasarkan pada

konsep kehendak bebas (free will). Individu atau manusia merupakan subjek hak yang berdiri

sendiri (otonom) memiliki pengetahuan atas diri yang membuat dirinya berfungsi

berdasarkan kehendak serta pilihan-pilihan yang dibuatnya. Pada pemikiran Nozick, hadirnya

pengetahuan ini dapat menentukan berbagai kemungkinan yang baru. Pengetahuan tersebut

memungkinkan manusia sebagai subjek serta dapat menguasai sistem sebab-akibat yang

mengarahkannya untuk berfungsi sehingga berdampak pada fungsi tersebut hendak menelaah

keputusan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman tersebut..

Bagi Nozick, satu syarat yang dibutuhkan untuk mendapatkan hal yang baik bagi

manusia, atau untuk menentukan hal yang terbaik, karena itu subjek sebagai penyeimbang.

Kriteria yang penting lainnya dan berguna bagi organisme sebagai subjek apapun yaitu

memaksimalkan tingkatan kesatuan organik. Karena itu, kesatuaan ini berfungsi sebagai
sarana keseimbangan terhadap persoalan yang menghadirkan kekuatan dan dorongan energi

energi yang berkaitan dengan hal-hal yang etis sehingga subjek dapat mempertimbangkan

serta memahami kemampuannya berfungsi sebagai penyeimbang. Dengan begitu, manusia

sebagai subjek yang utuh dapat memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Kondisi ini

dimaksudkan untuk menghasilkan pemahaman yang memiliki konsep imperatif kategoris

dalam pengertian Immanuel Kant, namun pengertiannya sedikit berbeda. Karena setiap

individu adalah aku pengejar nilai (maksudnya, setiap individu ingin mengejar hal terbaik

dengan bertindak dalam penyeimbang), maka prinsip etis mendasarnya adalah: perlakukan

orang lain (yaitu aku pengejar nilai) sebagai aku pengejar nilai.6

Menurut Nozick, karena manusia memiliki dirinya sendiri, maka segala hal terkait

dirinya dan segala hal yang dihasilkan dirinya juga merupakan miliknya. Sebagai contoh,

misalnya seorang pemain sepak bola dari Argentina yang bernama Lionel Messi memiliki

segudang prestasi dan bakat yang ada di dalam dirinya. Karena itu, bakat dan kemampuan

tersebut itulah yang menjadi dasar bagi kehadiran dirinya sebagai subjek. Dengan demikian,

bakat dan kemampuan permainan bola tersebut, seluruh uang dan kekayaan yang dihasilkan

dari bakat dan kemampuan bermain bola itu juga miliknya. Dengan begitu, bagi siapapun

tidak dapat memiliki maupun mengambil kekayaannya tersebut tidak dengan melalui

persetujuan dari Messi. Oleh sebab itu, ketika terjadi tanpa sepengetahuan Messi maka dapat

dijelaskan orang itu telah mengambil yang bukan miliknya dan karenanya dapat dihukum

berdasarkan peraturan hukum yang berlaku dalam sebuah negara.7

Karena itu, berdasarkan keadaan di atas maka pertanyaannya adalah apakah setiap

transaksi di dalam pasar yang serba bebas benar hanya melibatkan uang dan kekayaan yang

dihasilkan oleh diri orang yang yang bertransaksi tersebut? Sebagai contoh lagi, orang yang

telah membeli atau menjual sebuah rumah. Pertanyaannya adalah bagaimana rumah yang
6 Aeon J. Scoble, Robert Nozick: The Essential, Fraser Institute, 2020, 30.
7 Ibid, 8.
didapatkan dari proses jual-beli secara natural dihasilkan oleh orang yang menjual properti

tersebut? Dalam kondisi ini, si penjual rumah atau si pemilik rumah tersebut pada dasarnya

memiliki rumah itu seutuhnya. Akan tetapi, muncul pertanyaan lagi bahwa tanah tempat

rumah itu dibuat serta pondasi dan batu yang dari konstruksi rumah itu dihasilkan oleh

pemiliknya sendiri secara natural? Karena itu, tidak ada dasar yang lain bagi si pemilik rumah

untuk mengklaim seluruh perihal di atas sebagai miliknya secara natural.8

Dalam perkembangan teori haknya, Nozick mengemukakan bahwa status

kepemilikan tersebut sebagai yang adil. Akan tetapi hal ini hadir melalui proses yang

didalamnya terlibat manusia-manusia lain. Dengan begitu, Nozick pada akhirnya

berpandangan bahwa hal ini dapat menjadi landasan sebagai yang disebut dengan keadilan

distributif. Konsep keadilan ini sebenarnya memperlihatkan bahwa ada ketidakadilan dalam

subjek-subjek sebagai yang otonom.

2. Konsep Kebebasan dalam Pemikiran Nozick

Dengan menanggapi pemikiran Sartre tentang kebebasan, maka kita dapat

menjelaskan konsep kebebasan dalam pemikiran Nozick. Bagi Nozick. dalam etika haknya,

maka subjek atau manusia disebut dengan “pengejar nilai”.9 Artinya, manusia atau subjek

merupakan makhluk yang pada dasarnya adalah “sang pemilih” atau memilih sendiri.

Karena itu, Nozick menanggapi model pemikiran Sartre yang menjelaskan bahwa manusia

bebas menentukan pilihan, bahkan tidak menentukan suatu pilihan adalah pilihan itu sendiri.

Pada kondisi ini, Nozick juga setuju bahwa manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari

8 Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (Oxford: Blackwell, 1974), 160.
9 Iqbal Hasanuddin, Hak Atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan: Sebuah Upaya Pendasaran
Filosofis , SOCIETAS DEI Vol. 4, No. 1, April 2017, 115.
kebebasan, bahkan mencoba melepaskan diri kebebasan merupakan wujud lain dari hadirnya

kebebasan itu sendiri.

Pada akhirnya, Nozick berargumen bahwa kita dapat mendasarkan sifat tidak dapat

diganggu gugat orang dalam kapasitas manusia untuk mengarahkan diri sendiri. “Seseorang

membentuk hidupnya sesuai dengan beberapa rencana keseluruhan adalah caranya memberi

makna pada hidupnya; hanya makhluk dengan kapasitas untuk membentuk hidupnya dapat

memiliki atau berjuang untuk sesuatu yang bermakna hidup”. Jadi itu adalah kemampuan kita

untuk merumuskan rencana hidup dan menindaklanjutinya bahwa kendala sisi moral

melindungi. Inilah sebabnya mengapa mengenali realitas orang lain menyiratkan

ketidakbolehan menggunakan mereka sebagai sarana untuk orang lain berakhir. Minimal, kita

masing-masing akan melihat ini sebagai menyiratkan tidak dapat diganggu gugat kita sendiri,

dan hanya dibutuhkan sedikit kedewasaan untuk melihat mengapa hal ini harus meluas ke

orang lain.10

Nozick menyatakan bahwa Individu memiliki hak, dan ada hal-hal yang tidak seorang

atau kelompok pun bisa mencampurinya (tanpa melanggar hak-haknya). Menurut Nozick,

masyarakat harus menghormati hak-hak ini, karena penghormatan atas hak-hak ini

merefleksikan prinsip Kantian yang menyatakan bahwa setiap individu senantiasa merupakan

tujuan, bukan sarana; individu-individu tidak boleh dikorbankan atau dimanfaatkan untuk

mencapai tujuan-tujuan lain tanpa persetujuannya. Karena itu, hak individu dalam pemikiran

Nozick ditempatkan sebagai hak yang bersifat subjektif. Artinya, hak merupakan suatu

keadaan yang hadir dalam diri subjek itu sendiri.11

10 Schmidt Th, Robert Nozick. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 35


11 Aeon J. Scoble, Robert Nozick: The Essential, Fraser Institute, 2020, 25.
3. Etiket dan Pergaulan Mahasiswa

Dalam pandangan beberapa tokoh, etiket merupakan suatu kumpulan tata cara dan

sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pandangan lainnya menganggap

bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan

menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik

dan menyenangkan. Menurut K. Bertens, yaitu selain ada persamaannya, dan juga ada empat

perbedaan antara etika dan etiket, yaitu secara umumnya sebagai berikut:

Pertama, etika merupakan niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak

sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket berkaitan dengan

menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan. Kedua,

Etika adalah nurani (batiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya

timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya

penuh dengan sopan santun dan kebaikan. Ketiga, Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat

ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat

sanksi. Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan

daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah lainnya. Kelima, Etika berlakunya, tidak

tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir. Etiket hanya berlaku, jika ada orang

lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku.12

Dalam pergaulan mahasiswa, semestinya mahasiswa punya kebebasan dalam memilih

pergaulan yang sesuai dengan karakter dan minatnya. Namun tentu keadaan ini tidak

merepresentasikan fenomena mahasiswa yang terkotak-kotak. Akan tetapi, di lingkungan

12 Ibid, 27.
kampus mahasiswa dapat memilih dengan bebas pergaulan yang hendak menunjang

pertumbuhan jati dirinya sebagai mahasiswa. Oleh sebab itu, kondisi pergaulan yang positif

merupakan dambaan seluruh mahasiswa. Artinya, tidak ada mahasiswa yang berkehendak

mencari dan menemukan pergaulan yang dapat menghancurkan dirinya secara sadar. Dengan

demikian, dalam kondisi kesadaran mahasiswa terus menuntut dirinya sendiri dalam mencari

dan menemukan pergaulan yang sesuai dengan minat, karakter, maupun pengetahuannya

sehingga dapat membuatnya bahagia dan dihargai.

Jika disandingkan antara etika, etiket dan kehendak pergaulan yang baik oleh

mahasiswa, maka peran etika dan etiket menjadi penting. Melalui etika, mahasiswa dalam

pergaulannya dapat memahami kondisi umum sebuah peraturan dari masyarakat. Karena itu,

memahami norma-norma umum dalam masyarakat juga merupakan suatu landasan dalam

pergaulan seorang mahasiswa. Akan tetapi, dengan memahami norma-norma yang berlaku

universal dalam masyarakat tidak cukup untuk implementasi suatu perilaku dalam pergaulan.

Sebab dengan juga memahami kondisi-kondisi parsial keadaan suatu masyarakat tertentu

merupakan keadaan yang penting. Dengan begitu, melalui etiket, mahasiswa dalam

kebebasan mencari dan menemukan sebuah pergaulan yang baik bagi dirinya, mesti

memahami dan mampu mengimplementasikan perilaku yang tidak sekedar umum di

masyarakat, melainkan juga tentang kondisi-kondisi khusus. Dengan demikian, kebebasan itu

menjadi bermanfaat dan menghasilkan kebijaksanaan.

4. Kebebasan Memilih Teman Lingkup UKSW: Perspektif Robert Nozick

Bagi Nozick hak yang dimiliki setiap individu berpijak pada konsep kehendak bebas

(free will). Individu sebagai subjek hak yang otonom mempunyai pemahaman diri yang

membuat dirinya berperan berdasarkan kehendak serta pilihan-pilihan yang dibuatnya. Jika
landasan hak menurut Nozick disandingkan dengan hasil wawancara dengan responden,

maka beberapa responden terlihat memiliki kehendak bebas dalam memilih tingkah laku dan

pertemanan sebagai seorang mahasiswa di lingkup UKSW. Beberapa responden cenderung

memiliki pandangan yang sama bahwa kebebasan dalam menentukan pergaulan semestinya

menjadi landasan. Faktor ini disebabkan karena upaya mahasiswa sebagai subjek yang kritis,

mampu memahami serta mengimplementasikan tingkah lakunya dalam masyarakat. Kondisi

ini juga bersesuaian dengan pandangan Nozick terhadap subjek, bahwa subjek adalah

manusia yang otonom dalam kehendak untuk memilih.

Sebagai seorang mahasiswa, responden berpandangan bahwa adalah pelajar tahap

akhir yang tidak hanya mampu menghafalkan pelajaran serta norma-norma masyarakat, tetapi

juga mahasiswa mampu menelaah setiap pelajaran dengan baik serta mempraktekkannya

demi kebutuhan masyarakat. Di samping itu, mahasiswa juga mahasiswa merupakan jati diri

sebuah pendidikan. Artinya, mampu menemukan masalah secara kritis, memahami masalah

tersebut, serta mencari solusi yang tepat terhadap permasalah yang ditemukan. Artinya,

mahasiswa sebagai penyedia solusi di lingkungan akademik maupun lingkungan sosial.

Dalam pemikiran Nozick, tindakan manusia juga adalah sebagai penyeimbang. Dengan kata

lain, keseimbangan dan pemikiran tentang energi dorong serta energi tarik etis yang

memperhitungkan keahlian manusia berperan dalam penyeimbang, untuk menjadi makhluk

yang dapat memilih sendiri. Dengan melihat pandangan responden, maka terlihat bahwa

responden sebagai mahasiswa dalam pemikiran, perilaku dan kewajibannya merupakan salah

satu keahlian manusia yang dapat menjadi penyeimbang serta mampu memilih sendiri

keadaannya secara kritis.

Dalam menentukan pergaulan sebagai seorang mahasiswa. tentu memiliki kebebasan

dalam memilih pergaulan yang sesuai dengan karakter dan minatnya. Pandangan ini sejalan

dengan pandangan beberapa responden bahwa dalam mencari dan menemukan sebuah
pertemanan dalam lingkup UKSW, semestinya sesuai dengan karakter serta minat dari subjek

sehingga dapat membuatnya bahagia dan dihargai. Kendati beberapa responden

menempatkan pencarian dan penemuan pertemanan ini juga dalam kerangka bersesuaian

dengan norma dan etika masyarakat, akan tetapi menurut Nozick bahwa subjek memiliki hak

dan karenanya kelompok masyarakat dapat mencampuri hal tersebut tanpa melanggar hak-

hak subjek. Dengan kata lain, masyarakat juga mesti mampu memandang subjek sebagai

tujuan dan bukan sekedar sebagai sarana dan wadah dari norma-norma yang telah ditentukan

oleh masyarakat. Karena itu, menurut Nozick, masyarakat mesti menghargai dan

menghormati pilihan-pilihan subjek dan oleh sebab itu penghormatan atas hak-hak ini

merefleksikan prinsip bahwa subjek bersifat otonom.

Menurut Nozick, individu atau subjek memiliki hak-hak dasar yang mesti

dipertimbangkan sebelum membuat subjek menjadi bukan dirinya sendiri. Artinya, Nozick

menempatkan subjek sebagai yang otonom. Subjek mesti dipandang secara utuh berdasarkan

hak-hak dasar atau asasi yang dimilikinya. Berkaitan dengan pandangan responden, maka

pilihan untuk memilih pergaulan berdasarkan pola pikir mahasiswa itu sendiri. Karena itu,

mahasiswa dengan kemampuannya dalam memahami persoalan dalam dunia dunia sosial,

semestinya juga mampu mengatur dirinya sebagai subjek yang otonom. Dalam memilih

pergaulan yang sesuai dengan dirinya agar tidak tersesat dalam pergaulan yang tidak

diinginkan oleh mahasiswa itu sendiri. Namun beberapa responden juga memberikan

pandangan bahwa sebagai subjek yang otonom pentingnya moralitas yang baik sebagai

sarana dalam berinteraksi dengan orang lain. Hal inilah yang juga ditekankan oleh Nozick

dalam pandangannya bahwa moralitas ditujukan sebagai bahan pertimbangan dalam interaksi

dengan orang lain.

Dengan begitu, menurut Nozick, moralitas dapat digunakan dalam masyarakat sosial.

Karena hal ini bertujuan bahwa moralitas berperan ketika kita mempertimbangkan interaksi
kita dengan orang lain. Karenanya, realitas orang lain menciptakan batasan pada tindakan

kita. Namun menurut Nozick, batasan tersebut tidak sama dengan batas yang ditentukan oleh

fisika. Moralitas di sini dipahami sebagai “aturan main” dalam berinteraksi dengan orang

lain. Singkatnya, seseorang bisa dan bebas melakukan sesuatu tetapi akan salah dilakukan

ketika bersinggungan dengan orang lain.

E. Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, mahasiswa memilih

pertemanan atau pergaulan dalam konteks UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana)

mempertimbangkan dirinya sebagai mahasiswa, kehendak bebas yang kreatif, landasan

moralitas serta norma-norma masyarakat. Melalui hal ini mahasiswa merefleksikan dirinya

sesuai dengan ungkapan Nozick bahwa subjek sebagai manusia yang bersifat otonom dalam

menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Selain itu, subjek menyesuaikan dirinya sesuai dengan

tingkat kemampuannya dalam dapat diwujudkan sebagai penyeimbang dirinya dengan orang

dalam berinteraksi. Namun di samping itu, subjek juga membutuhkan moralitas sebagai

sarana dalam berinteraksi dengan orang lain agar kebebasan yang dimiliki subjek tidak

bertentangan dengan kebebasan subjek yang lain.

Kedua, melalui hak asasi dalam pemikiran Nozick, mahasiswa dapat memperoleh

kesadaran bahwa ada hak yang tidak bisa direnggut darinya, yakni hak untuk memilih atau

menentukan pilihan. Karena itu, masyarakat semestinya menyadari bahwa hak dan kebebasan

subjek dapat dipengaruhi tanpa melanggar kebebasan subjek itu sendiri. Dengan demikian,

moralitas dan kehendak bebas merupakan sarana bagi subjek, yang dalam hal ini adalah

mahasiswa yang dapat bertingkah laku dan menentukan pilihan dalam pergaulan,

memperhatikan moralitas dan kehendak bebas secara kreatif.


Daftar Pustaka

Aeon J. Scoble. Robert Nozick: The Essential, Fraser Institute, 2020, 30.

K. Bertens. Etika. Jakarta: Penerbit Utama Gramedia Utama, 1994. 21.

Yesaya Sandang dan Eko Wijayanto, Konstruksi Konsep Hak Robert Nozick dan John
Rawls (Sebuah Komparasi Pemikiran) Jurnal Humaniora Yayasan Bina Darma, Vol. IV, No.
1, Januari-Juni 2017.

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, 2005. hlm. 83.

Gorys, Keraf,. Komposisi. Nusa Tenggara Indah: Nusa Indah, 1979. 162.

Saifuddin, Azwar. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011. 5.

Hasanudin, Iqbal. (2017). Hak Atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan: Sebuah Upay


Pendasaran Filosofis..

Schmidt Th (2002) Robert Nozick. Cambridge: Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai