Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

ANALISIS LANSKAP TERPADU


“Studi Kasus Bencana yang Terjadi di Malang
dan Deskripsi Kondisi Landskap di Bojonegoro “

Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Clara Emanuela P. (155040201111120)
2. Nugraha Alam (155040201111201)
3. Nadya Awaliah (155040201111216)
4. Siti Khodijah (155040201111225)
5. Muhamad Yuda P. (155040201111240)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2018
Negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan gunung berapi
terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah gunung berapi
yang masih aktif dan sepanjang 700 km mulai dari Aceh sampai Nusa Tenggara dengan
luas daerah yang terancam terkena dampak letusan sekitar 16.670 km2 (Zamroni,
2011). Penyebaran gunung berapi di Indonesia merata membentuk suatu sabuk gunung
berapi. Peningkatan status 21 gunung berapi di Indonesia saat ini sedang dalam kondisi
yang membahayakan. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 3 gunung
dalam status siaga dan 22 gunung dalam status waspada. Gunung berapi di Indonesia
paling banyak terletak di Pulau Jawa dengan jumlah 35 gunung berapi (Gambar 1).

Gambar 1. Peta persebaran gunung api di Indonesia


(Sumber: USGS, 2001 dalamVolcano Discovery, 2015)
Salah satu daerah di Pulau Jawa yang dikelilingi oleh gunung berapi adalah
Malang. Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya
dan terletak ±90 km dari Surabaya. Kota Malang berdiri sejak tanggal 1 April 1914.
Luas wilayah Kota Malang ± 110,06 km2 dengan ketinggian 440-667m diatas
permukaan laut. Kota Malang dikelilingi oleh tiga sungai besar, yaitu Sungai Brantas,
Sungai Amprong dan Sungai Bango. Kota Malang juga dikelilingi oleh 4 gunung. Di
utara terdapat Gunung Arjuno, di timur terdapat Gunung Semeru, di selatan terdapat
Gunung Kelud dan di barat terdapat Gunung Kawi dan Gunung Panderman (BPS,
2014).
Banyaknya gunung berapi di Indonesia adalah karena Secara geologis, wilayah
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-
Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di
bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga
Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan
gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction)
Lempeng IndoAustralia yang bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang
bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif
sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (ring of fire) sejajar
dengan jalur penunjaman kedua lempeng. Di samping itu jalur gempa bumi juga terjadi
sejajar dengan jalur penunjaman, maupun pada jalur patahan regional seperti Patahan
Sumatera/Semangko. Indonesia merupakan bagian dari dua buah rangkaian
pegunungan besar di dunia, yaitu rangkaian Pengunungan Mediteran dan rangkaian
Pegunungan Sirkum Pasifik. Negara Indonesia terletak pada tiga daerah dangkalan,
yaitu Dangkalan Sunda, Dangkalan Sahul dan Daerah Laut pertengahan Australia Asia.
Letak geologis inilah yang menyebabkan wilayah Indonesia terutama pulau Jawa
banyak dijumpai gunung berapi (Anggraeni, 2013).
Lempeng-lempeng litosfer ini menumpang di atas astenosfer. Lempeng tersebut
bergerak relatif satu dengan yang lainnya di batas-batas lempeng, baik divergen
(menjauh), konvergen (bertumbukan), ataupun transform (menyamping/bergeser).
Divergen, bila lempeng-lempeng bergerak saling menjauh, sehingga membentuk celah,
mengakibatkan material lelehan dari astenosfer terinjeksi naik ke atas, mendingin, lalu
membentuk lantai samudra baru yang berupa pematang tengah samudra, seperti yang
terjadi di Samudra Atlantik. Kecepatan lempeng yang saling menjauh ini bergerak
antara 2-10 cm per tahun. Konvergen, bila lempeng bertemu yang menyebabkan salah
satu lempeng menekuk melengkung masuk ke lempeng yang lain. Pada kesempatan
inilah ada lempeng yang dihancurkan di dalam astenosfer, sehingga lempeng yang
padat dan kaku itu menjadi lebur di dalam astenosfer yang sangat panas. Ini merupakan
salah satu hukum keseimbangan, ada lempeng yang saling menjauh dengan menambah
lebarnya samudra Atlantik, misalnya, maka harus ada bagian lain dari kelebihan itu
yang harus dihancurkan. Bila dua lempeng benua dan lempengan samudra saling
bertemu, saling menekan, mendorong, pada umumnya lempeng samudra akan
menekuk ke dalam astenosfer, kemudian meleleh. Bahan lelehan terus ditekan kembali
ke atas dengan kekuatan yang luar biasa, sehingga ada bagian yang mencapai
permukaan, dan terbentuklah gunung api (Zakaria, 2004).
Selain itu, fenomena tektonik lempeng memberikan sumber kekayaan dan
potensi alam yang dapat bermanfaat untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat, mulai
dari sumberdaya mineral, air, batubara, minyak bumi dan gas, sumber energi panas
bumi, sampai pada potensi keindahan alam. Secara teoritis, masyarakat seharusnya
menjauhi area sekitar gunung berapi, terutama yang masih aktif karena bahaya yang
dapat ditimbulkannya sewaktu-waktu. Namun yang terjadi malah sebaliknya, banyak
orang yang berdatangan dan bermukim disekitar area gunung berapi dikarenakan tanah
di kawasan ini sangat subur dan cocok untuk digunakan sebagai area lahan pertanian
yang produktif. Akibatnya adalah banyaknya bencana yang terjadi pada wilayah
Malang yang lebih lanjutnya akan dibahas pada studi kasus dibawah ini.
Studi Kasus 1: Kerusakan Hutan Jadi Pemicu Banjir dan Longsor di Desa
Pujiharjo, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang.
A. Permasalahan
Bencana alam berupa banjir yang melanda Desa Pujiharjo, Kecamatan
Tirtoyudo, Kabupaten Malang, pada Kamis (15/9/2016) sekitar pukul 21.00 WIB
menyebabkan kerusakan pada beberapa rumah warga. Data kerusakan rumah yaitu satu
rumah hanyut, satu rumah rusak parah, delapan rumah rusak sedang, dan 43 rumah
rusak ringan. Sementara 64 keluarga masih mengungsi. Pantauan TNI dan Dinas
terkait, kerusakan hutan di arena hulu Desa Pujiharjo yang memicu banjir bandang
yang memporak-porandakan desa ini. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Malang, Hafi Lutfi mengungkapkan, banjir tidak hanya merusak
rumah penduduk. Banjir juga menghancurkan jalan dan jembatan. Lutfi juga
membenarkan perihal kerusakan hutan tangkapan di hulu Kali Tundo. Di area hutan
tersebut juga terlihat longsor selebar satu meter, dengan panjang hingga dua kilometer.
Selain itu ada area yang seharusnya ditanami pohon-pohon umur panjang, namun
diganti tanaman musiman. Akibatnya kemampuan menangkap air hujan menurun dan
memicu banjir hingga tanah longsor (Yohanes, 2016).

Gambar 2. Banjir di Desa Pujiharjo


(Sumber: Suryamalang.com)
Banjir yang terjadi tersebut bukanlah yang terjadi untuk pertama kalinya,
sebelumnya juga pernah terjadi banjir bandang dan longsor melanda Kecamatan
Tirtoyudo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Rabu (20/7/2016). Akibatnya yang
ditimbulkan berupa rusaknya ratusan rumah dan sejumlah fasilitas umum.
Banjir tersebut juga diakibatkan oleh curah hujan yang cukup tinggi yang
menimpa dua desa yaitu Desa Pujiharjo dan Purwodadi. Akibat banjir bandang dan
longsor tersebut, 106 rumah di Desa Pujiharjo rusak. Terdiri dari sembilan rumah rusak
berat, 13 rumah rusak sebagian dan 84 rumah rusak ringan. Sedangkan di Desa
Purwodadi hanya ada lima rumah yang rusak. Total 111 rumah rumah mengalami
kerusakan. Tidak ada korban jiwa dalam banjir bandang dan longsor tersebut. Hanya
saja, warga yang terdampak diungsikan ke rumah kerabatnya. Sejumlah fasilitas umum
juga mengalami kerusakan akibat banjir dan longsor tersebut. Di antaranya jalan desa
sepanjang 400 meter dan tanggul sepanjang 600 meter di Desa Pujiharjo. Selain itu,
kerusakan juga terjadi pada plengsengan di empat lokasi, tiga titik saluran irigasi dan
jembatan penghunung antar dusun di Desa Purwodadi. Total kerugian diperkirakan
mencapai Rp 940 juta.
B. Analisis Permasalahan
Tanah longsor merupakan salah satu bentuk hasil gerakan massa (mass
movement) di sepanjang bidang luncurnya (bidang longsornya) kritis. Gerakan massa
adalah perpindahan massa batuan, regolit dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat
yang rendah karena pengaruh gaya gravitasi (Tim Bejis Project, 2005). Kejadian
bahaya longsor (gerakan massa tanah) sering terjadi di daerah-daerah lereng curam /
terjal. Terbentuknya tanah longsor adalah akibat perpindahan material pembentuk
lereng seperti batuan, bahan rombakan, tanah yang bergerak dari lereng bagian atas
meluncur ke bawah. Secara prinsip tanah longsor terjadi jika gaya pendorong pada
lereng bagian atas lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya pendorong dipengaruhi
oleh intensitas hujan yang tinggi, keterjalan lereng, beban serta adanya lapisan kedap
air, ketebalan solum tanah, dan berat jenis tanah. Pada hal gaya penahan tersebut
umumnya dipengaruhi oleh ketahanan geser tanah, kerapatan dan kekuatan akar
tanaman serta kekuatan batuan (Sidle dan Dhakal, 2003). Faktor-faktor penyebab
longsor tersebut juga menjadi faktor penyebab terjadinya longsor dan banjir pada
kecamatan Tirtoyudo.
Kecamatan Tirtoyudo adalah salah satu dari 33 kecamatan di Kabupaten
Malang yang mempunyai karaterikstik tersendiri yang jarang dimiliki oleh kecamatan
lain. Kecamatan Tirtoyudo memanjang dari arah selatan ke utara dari ujung selatan
daerah pantai terletak di sebelah tenggara Kota Malang dengan jarak kurang lebih 48
km dengan batas-batas wilayah adalah pada sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Wajak, timur berbatasan dengan Kecamatan Ampelgading, selatan
berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Dampit dan Sumbermanjing Wetan. Secara topografi kecamatan Tirtoyudo
berada pada kawasan pesisir pantai dan Kawasan dengan kontur perbukitan yang terjal
dengan kelerengan mencapai > 40%. Berdasarkan posisi geografis, fisiografis,
demografis, dan geologis wilayah kecamatan Tirtoyudo tergolong rawan bencana alam
berupa banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api karena selain
berada di dekat samudra Indonesia, Tirtoyudo sangat dekat dengan gunung Semeru,
kurang lebih 15 km dari kaki semeru dan yang paling khas adalah muntahan abu dari
aktivitas gunung semeru yang akan diterima oleh penduduk hampir setiap hari (RPJMD
Kab. Malang, 2016).

Gambar 3. Kecamatan Tirtoyudo (Sumber: Google Citra Satelit)

Dilihat dari analisis landskap kelerengan menjadi salah satu faktor penting
penyebab terjadinya banjir yang berakibat longsor pada kecamatan Tirtoyudo, selain
itu informasi yang bersumber dari berita yang didapat bahwa penyebabnya adalah
kerusakan hutan pada lereng atas. Didukung dengan pernyataan Paimin dkk., (2009)
yang mengatakan bahwa Tanah longsor (landslide) adalah bentuk erosi (pemindahan
massa tanah) yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat
secara tiba-tiba dalam volume yang besar (sekaligus). Tanah longsor terjadi jika
dipenuhi 3 (tiga) keadaan, yaitu: (1) lereng cukup curam, (2) terdapat bidang peluncur
yang kedap air dibawah permukaan tanah, dan (3) terdapat cukup air dalam tanah di
atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air. Dapat dikatakan bahwa
penyebab bencana alam yang terjadi merupakan akibat dari bukan hanya hutan yang
gundul namun juga faktor geomorfologi wilayah dari Kecamatan Tirtoyudo seperti
kelerengan. Verstappen (1983) menyebutkan bahwa geomorfologi dapat didefinisikan
sebagai ilmu tentang bentuklahan (landform) yang membentuk permukaan bumi, baik
diatas maupun di bawah permukaan laut, genesis dan perkembangannya yang akan
datang, sejalan dengan konteks lingkungannya. Berdasarkan definisi bentuklahan
tersebut dapat diketahui bahwa bentuklahan adalah konfigurasi permukaan bumi yang
mempunyai relief khas, karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan bekerjanya
proses alam pada batuan penyusunnya di dalam ruang dan waktu tertentu. Cooke dan
Doornkamp (1994), menjelaskan konstribusi geomorfologi terhadap penilaian kejadian
gerakan massa, bahwa ada beberapa faktor yang perlu diketahui untuk menilai kejadian
gerakan massa/longsor tanah, yaitu: lereng, drainase, batuan dasar, tanah, bekas-bekas
longsor sebelumnya, iklim dan pengaruh aktivitas manusia. Mengacu pada berbagai
konsep tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan erat antara kondisi
geomorfologi suatu wilayah dengan karakteristik kejadian longsor tanah, karena faktor-
faktor penyusun bentuk lahan juga akan berpengaruh terhadap karakteristik longsor
tanah (Priyono, 2014).

C. Teknik Pengendalian Bencana Banjir dan Longsor


Mengatasi permasalahan banjir dan longsor pada Kecamatan Tirtoyudo perlu
diketahui bahwa proses tanah longsor bisa dipilah dalam tiga tingkatan yakni: (1)
Massa tanah sebagian terbesar telah meluncur ke bawah (longsor), (2) massa tanah
bergeser sehingga menimbulkan rekahan/retak (rayapan), dan (3) massa tanah belum
bergerak tetapi memiliki potensi longsor tinggi (potensial longsor). Beberapa hal yang
perlu diperhatikan pada daerah longsor maupun rawan longsor adalah sebagai berikut:
1. Slope reshaping lereng terjal yang merupakan pembentukan lereng lahan
menjadi lebih landai pada daerah yang potensial longsor.
2. Penguatan lereng terjal dengan bronjong kawat pada kaki lereng.
3. Penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera karena pada musim penghujan
rekahan bisa diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga
menjenuhi tanah di atas lapisan kedap.
4. Bangunan rumah dari konstruksi kayu (semi permanen) lebih tahan terhadap
retakan tanah dibanding dengan bangunan pasangan batu/bata pada lahan yang
masih akan bergerak.
Teknik pengendalian tanah longsor metode vegetatif harus dipilahkan antara
bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada
kaki lereng, baik dengan tanaman (vegetatif) maupun bangunan. Persyaratan vegetasi
untuk pengendalian tanah longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran
dalam (mencapai batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot
biomassanya ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara
bagian kaki lereng (paling rapat = standar kerapatan tanaman), tengah (agak jarang =
½ standar) dan atas (jarang = ¼ standar). Kerapatan yang jarang diisi dengan tanaman
rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase baik, seperti pola
agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan perbaikan sistim drainase
(internal dan eksternal) yang baik sehingga air yang masuk ke dalam tanah tidak terlalu
besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah yang berada di atas lapisan kedap (bidang
gelincir) bisa dikurangi bebannya. Upaya pengendalian tanah longsor metode teknik
sipil antara lain berupa pengurugan/penutupan rekahan, reshaping lereng, bronjong
kawat, perbaikan drainase, baik drainase permukaan seperti saluran pembuangan air
(waterway) maupun drainase bawah tanah. Untuk mengurangi aliran air (drainase)
bawah tanah dilakukan dengan cara mengalirkan air secara horizontal melalui
terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa perforasi) (Paimin, dkk.,
2009).
Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi
permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan
agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa menjenuhi ruang antara
lapisan kedap air dan lapisan tanah, sedangkan pada pengendalian erosi permukaan air
hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi
pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat
diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati
apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill
and inter rill erosion). Pengendalian erosi permukaan mengupayakan agar air hujan
dimasukkan ke dalam tanah sebanyak mungkin, sebaliknya pengendalian tanah longsor
dilakukan dengan memperkecil air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak
menjenuhi lapisan tanah yang berada di atas batuan kedap air (Karnawati, 2005).
Sedangkan untuk pengendalian banjir Teknik pengendalian banjir harus
dilakukan secara komprehensip pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah
pemasok air banjir. Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis
dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat
tidak melimpah keluar dari palung sungai. Manajemen yang bisa dilakukan adalah
dengan membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air
untuk mengurangi banjir puncak. Untuk memenuhi kapasitas tampung palung sungai,
upaya lain yang bisa dilakukan seperti menambah saluran pembuangan air dengan
saluran sudetan (banjir kanal atau floodway). Disamping itu, pengetatan larangan
penggunaan lahan di bantaran sungai untuk bangunan, apalagi di badan sungai juga
diperlukan, serta larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase.
Sedangkan teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan air bertumpu pada
prinsip penurunan koefisien limpasan melalui teknik konservasi tanah dan air, yakni :
(1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah, (2) dan
mengendalikan limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Bentuk teknik
yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil, vegetatif, kimiawi, maupun kombinasi
dari ketiganya, sesuai dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site)
setempat. Semua upaya tersebut sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam
mengendalikan air hujan untuk bisa masuk ke dalam bumi, termasuk vegetasi/hutan
yang ada di atasnya. Jenis tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas
lapisan tanah tebal dan satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak
yang berbeda dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir (Hardiyatmo,
2006).
Studi Kasus II: Sedimentasi pada Waduk Sutami Karangkates Kabupaten
Malang, Jawa Timur
A. Permasalahan
Sedimen (sediment transport) yang terbawa oleh aliran sungai dalam kaitannya
dengan debit sungai, yang mempunyai arti penting dalam pengembangan sumberdaya
air. Laju sedimentasi di waduk Sutami, Karangkates Kabupaten Malang
mengkhawatirkan. Sedimentasi meningkat sejak pembabatan hutan pada 1998,
dampaknya longsoran tanah memenuhi waduk.
Waduk dibangun sejak 1972, direncanakan umur waduk sampai 100 tahun.
Jika laju sedimentasi tak dihambat umur waduk semakin pendek. Sedangkan waduk
selain digunakan menampung air untuk kebutuhan irigasi juga sebagai pembangkit
listrik tenaga air. Untuk itu, sebuah kapal keruk dikerahkan untuk mengangkat
sedimen di dasar waduk. Namun, antara laju sedimentasi dengan pengerukan tak
sebanding.

Gambar 4. Waduk Sutami


Untuk itu, PJT 1 menggiatkan penghijauan di kawasan hulu sungai Brantas.
Selama setahun ditanam sebanyak 1,8 juta bibit bekerjasama dengan kelompok tani
setempat. Tujuannya, untuk mengendalikan sedimentasi serta melestarikan sumber
mata air di aliran Brantas."Tanaman dicek rutin,", Upaya penghijauan mulai
menampakkan hasil. Sejak lima tahun terakhir laju sedimentasi sekitar empat
milimeter per tahun. Laju sedimentasi dapat dibendung separuh dari kondisi awal.
Selain itu, sedimentasi dikendalikan melalui waduk Sengguruh Kabupaten
Malang. Sehingga, sedimen yang mengalir ke waduk Sutami berkurang. Sampah
yang mengalir ke waduk Sengguruh Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang setiap
hari mencapai 30 meter kubik per hari. Bahkan saat musim hujan meningkat menjadi
200 meter kubik per hari."Konservasi lahan hutan secara besar-besaran untuk
keperluan industrialisasi," kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Ony
Mahardika. Hutan konservasi berfungsi menyimpan cadangan air. Sedangkan lahan
hutan di kawasan hulu Brantas Kota Batu Jawa Timur berubah menjadi lahan
pertanian sayuran. Dampaknya, sumber air mati yang menyebabkan debit sungai
Brantas anjlok.Total luas hutan di Batu mencapai 11 ribu hektare. Terdiri dari 4 ribu
hektare hutan konservasi, 5 ribu hektare hutan industri dan 3 ribu hektare hutan
rakyat. Sebanyak 5 ribu an hektare hutan berubah menjadi lahan pertanian (Widianto,
2013).

Gambar 5. Sedimentasi Waduk Sutami


Perusahaan Umum Jasa Tirta 1 (PJT1) terus berupaya menghambat laju
sedimentasi di waduk Sutami, Karangkates, Kabupaten Malang.Satu upaya yang
dilakukan PJT1, yaitu, dengan cara melakukan pengerukan sidementasi di waduk.
Direktur Pengelolaan PJT 1, Syamsul Bachri, mengatakan, saat ini, laju sedimentasi di
waduk Sutami, mencapai 4 milimeter per tahun. Tingkat sedimentasi itu sudah
menurun 50 persen dari sebelumnya. "Sekarang, tingkat sedimentasi di waduk Sutami
sudah sesuai rencana, yakni 4 milimeter per tahun. Kami terus berupaya menekannya,"
kata Syamsul. Dikatakannya, PJT 1 menyiapkan satu unit kapal keruk yang dipinjam
dari Blitar di lokasi waduk. Alat tersebut untuk mengeruk sedimentasi di dasar waduk.
"Kami juga gencar melakukan penghijauan di sekitar hulu sungai Brantas. Setiap tahun,
kami menanam 1,8 juta bibit pohon di lokasi," ajarnya. Menurutnya, sedimentasi di
waduk Sutami terjadi 1998 lalu. Ketika itu terjadi pembalakan hutan di sekitar hulu
sungai Brantas. Akibatnya, terjadi tanah longsor di lokasi waduk. Longsoran tanah
tersebut memenuhi waduk. "Fungsi waduk Sutami sampai 100 tahun. Jika laju
sedimentasi tak dihambat umur waduk bisa semakin pendek, tingkat sedimentasi di
Waduk juga dikendalikan melalui waduk Sengguruh, Kepanjen, Kabupaten Malang.
Sampah yang mengalir ke waduk Sengguruh mencapai 30 meter kubik per hari.
Bahkan saat musim hujan meningkat menjadi 200 meter kubik per hari. Dengan begitu
sampah yang masuk di waduk Sutami berkurang,. Berdasarkan data dari Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi), mencatat sumber air di hulu Brantas, terus mengalami
penyusutan. Pada 2005 ditemukan sebanyak 215 sumber mata air di hulu Brantas.
Namun, angka itu menurun menjadi 111 sumber mata air pada 2010. Pada 2012 angka
itu terus menurun menjadi 13 sumber mata air.
B. Analisis Permasalahan
Waduk merupakan tempat menampungnya air untuk mengalirkan pasokan air
dalam kebutuhan irigasi dan penampungan air ketika musim kemarau, juga kebutuhan
air lainnya. Dalam hal ini waduk ditampung melalui aliran air yang mengalir dari
sumber mata air hingga ditampung pada daerah khususnya lahan pertanian.
Sedimentasi adalah proses pengendapan material yang ditransportasi oleh air,
es, angin pada suatu cekungan. Sedimentasi mengakibatkan hambatan aliran pada air
dan menurut Kimwaga et al., (2007) bahwa permasalahan yang berkaitan dengan
sedimentasi adalah mengenai kualitas air yang mengangkut bahan negatf seperti logam
berat, pestisida dan yang lain sebagainya.
Kasus yang terkait dengan hal ini adalah sedimentasi pada waduk diakibatkan
oleh adanya longsor yang terjadi sehingga dampak dari longsor tersebut menyebabkan
pengendapan yang menghambat aliran air untuk pertanian khususnya. Sesuai dengan
pernyataan dari Kuwandari et al., (2012) yaitu bahwa sedimentasi yang terjadi secara
tidak langsung maupun secara langsung berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Dari segi pertanian adanya sedimentasi akan berpengaruh pada faktor alam
seperti topografi, kesuburan tanah dan aktivitas manusia (Jun Du, 2011). Selain
permasalahan menganai terhambatnya aliran air yang mengalir pada lahan pertanian
sedimentasi juga berdampak pada kesuburan tanah yang ada dan membentuk gejala
kerusakan lahan secara topografi.
C. Teknik Pengendalian Sedimentasi
Menurut Fauzi Bachtiar (2006), beberapa cara untuk menanggulangi bahaya
sedimen antara lain:
1. Mengurangi terjadinya erosi permukaan
Usaha yang dilakukan dalam penanggulangan erosi adalah usaha penghijauan
lahan (reboisasi), pembuatan penghalang sedimen dari vegetasi, pembuatan pagar
hidup dan gebalan rumput, mencegah terjadinya kebakaran hutan, yang dapat merusak
kesuburan tanah dan hilangnya humus-humus di permukaan tanah, mencegah adanya
peladangan yang berpindah-pindah, yang dapat merusak hutan, mencegah adanya
penebangan pohon secara liar dan tidak boleh terjadinya tebang habis pada DAS, yang
dapat menyebabkan rusakan hutan, hilangnya humus dan akan menyebabkan
terjadinya kepadatan permukaan tanah.
2. Pengendalian Angkutan Sedimen
Angkutan sedimen sangat berpengaruh terhadap perubahan morfologi sungai,
pada prinsipnya pengendalian angkutan sedimen adalah mengusahakan agar sedimen
dapat terbawa aliran sampai ketempat tertentu yang tidak merugikan. Dalam rangka
pengendalian angkutan sedimen dialur-alur sungai mungkin dengan cara membuat
bangunan-bangunan seperti Bottom control structure untuk mengatur kemiringan dasar
sungai sedemikian rupa sehingga aliran masih mampu membawa sedimen tanpa
mengikis alur sungai, pembuatan dam penahan sedimen, pembuatan ground sill,
pembuatan sabo dam, pembuatan kantong-kantong lumpur dan sebagainya.
3. Pengendalian Sedimentasi
Pengendalian sedimentasi pada alur sungai dimaksudkan untuk mengusahakan
terjadinya pengendapan pada tempat-tempat yang dikehendaki. Usaha yang dilakukan
di alur sungai lalah dengan membuat fasilitas bangunan seperti dam pengendali
sedimen di alur anak sungai di daerah hulu, kantong lumpur di waduk (reservoir),
penyediaan tempat-tempat khusus di tepi sungai untuk pengendapan sedimen pada saat
tertentu aliran sungai membawa muatan sedimen banyak, penambangan bahan galian
golongan C, serta pengerukan pada muara sungai.
Bentuk Lahan dan Geomorfologi Kabupaten Bojonegoro
A. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro adalah salah satu kabupaten yang berada di Jawa Timur
yang memiliki luas wilayah sejumlah 2.307,06 km². Luas Wilayah Kabupaten
Bojonegoro terbagi dalam : 28 Kecamatan 11 Kelurahan dan 419 Desa. Kabupaten
Bojonegoro terletak pada posisi 112º25’ - 112º09’ Bujur Timur dan 6º59’ - 7º37’
Lintang Selatan. Dari wilayah seluas 2.307,06 km² , sebanyak 40,15 persen merupakan
hutan negara, sedangkan yang digunakan untuk sawah tercatat sekitar 32,58 persen.
Topografi Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa di sepanjang daerah aliran
sungai Bengawan Solo merupakan daerah dataran rendah, sedangkan di bagian Selatan
merupakan dataran tinggi disepanjang kawasan Gunung Pandan, Kramat dan Gajah.
Sebagai daerah yang beriklim tropis, Kabupaten Bojonegoro hanya mengenal dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan.
Batas wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro di sebelah
selatan yaitu berbatasan dengan Kabupaten Madiun, Nganjuk dan Ngawi, disebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Lamongan. Sedangkan Kabupaten Tuban
merupakan kabupaten tetangga yang berbatasan dari sisi utara dan sebelah barat
berhadapan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah tepatnya dengan Kabupaten Ngawi
dan Blora.
Tipe iklim di wilayah Kabupaten Bojonegoro adalah beriklim tropis, dengan
suhu rata-rata 27,8 C suhu udara berkisar antara 24,2 C – 31,4 C dan hanya mengenal
dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan, curah hujan baik langsung
maupun tak langsung akan mempengaruhi jenis dan pola tanam serta pola identitas
penggunaan tanah dan tersedianya air pengairan.
Bengawan Solo mengalir dari selatan, menjadi batas alam dari Provinsi Jawa
Tengah, kemudian mengalir ke arah timur, di sepanjang wilayah utara Kabupaten
Bojonegoro. Bagian utara merupakan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo yang
cukup subur dengan pertanian yang ekstensif. Kawasan pertanian umumnya ditanami
padi pada musim penghujan, dan tembakau pada musim kemarau. Bagian selatan
adalah pegunungan kapur, bagian dari rangkaian Pegunungan Kendeng. Bagian barat
laut (berbatasan dengan Jawa Tengah) adalah bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur
Utara.

Gambar 6. Kawasan Wilayah Bojonegoro


B. Proses Geomorfologi Kabupaten Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, memiliki enam sataun
geomorfologi, yaitu Satuan Punggungan Sinklin, Satuan Dataran Lipatan Terdenudasi,
Satuan Perbukitan Lipatan, Satuan Perbukitan Patahan, Satuan Danau, dan Satuan
Aluvial.

Gambar 7. Bukit Bojonegoro dengan Satuan Pegunungan Sinklin


Sejarah geologi Kabupaten Bojonegoro dimulai pada Kala Miosen Akhir
dengan diendapkannya satuan napal sampai pada Pliosen Awal di lingkungan batial
atasneritik luar. Regresi yang terus terjadi di daerah tesebut menghasilkan pengendapan
berturut-turut dan selaras batugamping dan batupasir-batulempung.

Gambar 8. Bentukan batial atasneritik


Sementara itu di utara, pada Plestosen diendapkan satuan batulempung pada
lingkungan litoral. Lalu, tektonik Plio-Plestosen (rezim kompresi utara-selatan)
menyebabkan daerah penelitian teranjakkan dan terlipatkan secara intensif sehingga
menjadikannya lingkungan darat. Sesar anjakan ini yang menyebabkan posisi satuan
batuan Zona Kendeng (secara penampang) berposisi di atas satuan batulempung (Zona
Randublatung).

Gambar 9. Batuan Zona Kendeng (secara penampang) berposisi


di atas satuan batulempung (Zona Randublatung).
Proses tektonik kompresi yang terus berjalan, memberikan efek terbentuknya
beberapa sesar sobekan (tear fault) yang memotong sesar-sesar dan lipatan-lipatan
yang sudah terbentuk sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Fauzi Bachtiar. 2006. Kajian Pengendalian Sedimentasi Waduk Panglima
Besar Soedirman Dengan Teknologi Sabo. Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Malang dalam Angka. Malang: Badan Pusat
Stastistik Kabupaten Malang.
Bappeda Provinsi Jatim. 2013. Kabupaten Bojonegoro. Jawa Timur: Bappeda.
Hardiyatmo, H. C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Hasyim, Irianto dan Syaiful. 2016. Geologi Daerah Papringan dan Sekitarnya
Kecamatan Tamayang Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Bogor : Universitas
Pakuan.
Jun, Du. et al.(2011). Impacts of socio-economic factors on sediment yield in the Upper
Yangtze River. Journal of Geograpical Sciences, 21 (2). 359-371
Karnawati, D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya
Penanggulangannya. Yogyakarta: Jur. Geologi Fakultas Teknik, Universitas
Gadjah Mada.
Kimwaga, R.J. et al (2007). Modelling the impact of land use changes on sediment
loading into lake victoria using swat model: a case of simiyu catchment tanzania.
The Open Enveronmental Engineering Journal, 5 (1). 66-76.
Kuwandari, Septian Agusning. et al. (2012). Mobilitas sosial nelayan pasca
sedimentasi daerah aliran sungai (DAS). Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6 (3).
Paimin, Sukresno, dan I. B. Pramono. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah
Longsor. Bogor: Tropenbos International Indonesia Programme.
Priyono. 2014. Hubungan Klasifikasi Longsor, Klasifikasi Tanah Rawan Longsor dan
Klasifikasi Tanah Pertanian Rawan Longsor. J. GEMA. Vol. 27 (49): 1602 –
1617.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang. 2016.
http://sipd.bangda.kemendagri.go.id/ Diakses pada 10 Februari 2018.
Sidle R.C., and Dhakal, A.S. 2003. Recent Advances in The Spatial and Temporal
Modeling of Shallow Landslies. http://www.mssanZ.org.au/MOD
SIM03/Volumeˍ02/A11/08ˍsidle.pdf
Tim Bejis Project. 2005. Identifikasi Potensi Longsor dan Upaya Mencegah Bahaya
Longsor. Laporan Bejis Project Ausaid. Proyek Kerjasama Universitas
Brawijaya - Bappedal Prov.Jatim-Pemkab Malang-Australian Manage
Contractor.

Anda mungkin juga menyukai