Anda di halaman 1dari 22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Agresi

1. Pengertian Perilaku Agresi

Dalam kamus psikologi, perilaku agresi adalah kebutuhan untuk menyerang,

memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, mengganggu,

membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara jahat,

menghukum berat, atau melakukan tindakan sadistik lainnnya (Muray dalam Chaplin, 2005).

Menurut Taylor (2009) mendefenisikan perilaku agresi sebagai setiap tindakan yang

dimaksudkan untuk menyakiti orang lain. Baron (Dayakisni & Hudaniah, 2009) menyatakan

bahwa perilaku agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau

mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan perilaku tersebut.

Menurut Atkinson, Atkinson dan Hilgard (1996) perilaku agresi merupakan perilaku

yang dimaksudkan untuk melukai orang lain (secara fisik atau verbal) atau merusak harta

benda. Kata kunci dalam defenisi perilaku agresi adalah maksud. Unsur penting dari agresi

yang harus ada, yakni adanya tujuan atau kesengajaan dalam melakukannya (Dayakisni &

Hudaniah, 2009).

Menurut Buss (Dayakisni & Hudaniah, 2009) perilaku agresi verbal adalah suatu

perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu

atau objek-objek yang menjadi sasaran tersebut secara verbal atau melalui kata-kata dan

langsung ataupun tidak langsung, seperti memaki, menolak berbicara, menyebar fitnah, tidak

memberi dukungan. Berkowitz (2003) mendefinisikan perilaku agresi verbal sebagai suatu
bentuk perilaku atau aksi agresif yang diungkapkan untuk menyakiti orang lain, perilaku

agresi verbal dapat berbentuk umpatan, celaan atau makian, ejekan, fitnahan, dan ancaman

melalui kata-kata.

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku

agresif cara yang digunakan individu untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun

mental yang dapat merugikan orang lain. Perilaku agresi fisik adalah kebutuhan seseorang

untuk menyakiti atau menyerang orang lain secara fisik. Sedangkan, perilaku agresi verbal

adalah kemauan seseorang untuk menyakiti orang lain secara verbal yakni dalam bentuk

perkataan-perkataan yang kotor, dan menyinggung orang lain.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Agresi

Bryne (2005) membedakan bentuk perilaku agresi menjadi dua yaitu perilaku agresi

fisik yang dilakukan dengan cara melukai atau menyakiti fisik dan perilaku agresi verbal

yaitu agresi yang dilakukan dengan mengucapkan kata-kata kotor atau kasar. Buss

mengklasifikasikan agresivitas yaitu agresivitas secara fisik dan verbal, secara aktif maupun

pasif, secara langsung maupun tidak langsung. Tiga klasifikasi tersebut masing-masing saling

berinteraksi, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk agresivitas. Menurut Buss (Dayakinishi

dan Hudainah, 2003) menyatakan ada beberapa perilaku agresi

a. Jenis-jenis perilaku agresi fisik

1. Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menusuk,

memukul, mencubit.

2. Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menjebak

untuk mencelakakn orang lain.


3. Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara langsung misalnya memberikan jalan

untuk orang lain.

4. Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menolak

melakukan sesuatu.

b. Jenis-jenis perilaku agresi verbal

1. Agresivitas verbal aktif secara langsung misalnya mencaci maki orang lain

menusuk, memukul.

2. Agresivitas verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya

menyebarkan gosip yang tidak benar kepada orang lain.

3. Agresivitas verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalnya tidak mau

berbicara pada orang lain.

4. Agresivitas verbal pasif fisik aktif yang dilakukan secar tidak langsung misalnya

diam saja meskipun tidak setuju.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku agresi terbagi menjadi

dua jenis yakni perilaku agresi fisik dan perilaku agresi verbal yang dilakukan secara langung

ataupun tidak langsung dengan intensitas secara aktif maupun pasif.

3. Teori-Teori Tentang Perilaku Agresi

Beberapa teori yang menjelaskan tentang perilaku agresi diantaranya adalah:

a. Perilaku agresif sebagai perilaku bawaan.

Menurut teori ini perilaku agresi merupakan insting makhluk hidup. Teori ini terbagi

dalam tiga kelompok, yaitu teori psikoanalisis, teori etologi, dan teori sosiobiologi.
1. Teori Psikoanalisis

Sigmund Freud, seorang tokoh psikoanalisis mengklasifikasikan insting individu ke

dalam dua bagian, yaitu insting kehidupan dan insting kematian. Insting kehidupan

mengandung energi konstruktif dan seksual, sedangkan insting kematian mengandung

energi destruktif. Pengungkapan hasrat terhadap kematian dapat berupa agresi diri atau

tindakan menyakiti diri sendiri sehingga bunuh diri. Meskipun demikian, karena pada diri

manusia juga terdapat insting hidup maka hasrat terhadap kematian tidak serta merta

diungkapkan secara langasung oleh individu.

Pengungkapan lain hasrat terhadap kematian adalah ditujukan keluar dirinya, yaitu

berujung pada perilaku agresif terhadap orang lain, baik itu berupa kecenderungan yang

mengarah kepada tindakan atau perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, melukai, merusak,

dan tindakan lain yang merusak, yang membawa efek negatif bagi dirinya sendiri ataupun

orang lain.

2. Teori Etologi

Lorenz, sebagai tokoh etologi berpendapat bahwa perilaku agresi adalah insting

berkelahi yang dimiliki oleh makhluk hidup yang ditujukan pada spesies yang sama.

Perkelahian diantara anggota spesies tidaklah merupakan kejahatan, karena fungsinya untuk

menyelamatkan kehidupan salah satu spesies terhadap gangguan atau ancaman dari spesies

yang lain.

3. Teori Sosiobiologi

Dalam pandangan teori sosiobiologi, dalam hal ini Barash (Ibid, 1938) menyatakan

bahwa perilaku sosial sama halnya dengan struktur fisik dipengaruhi oleh evolusi. Menurut

teori ini, makhluk hidup dari berbagai spesies cenderung menunjukan pola-pola perilaku

sosial tertentu demi kelangsungan hidupnya. Makhluk melakukan tindakan agresi karena

fungsi tindakan tersebut sebagai usaha untuk penyesuaian dirinya.


b. Perilaku agresifsebagai ekspresi frustasi.

Dollard dan koleganya (1939) frustasi selalu menimbulkan perilaku agresi dan agresi

semata-mata adalah hasil dari frustasi. Oleh karena itu bila frustasi meningkat, maka

perilaku agresi meningkat pula. Intensitas frustasi bergantung pada beberapa faktor, antara

lain seberapa besar kemauan seseorang mencapai tujuan, seberapa besar penghalang yang

ditemui, dan seberapa banyak frustasi yang dialami.

Menurut Watson (1984) pada tahun 1941 Miller merevisi teorinya dengan menyatakan,

bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan

perilaku agresi.

c. Perilaku agresif sebagai akibat belajar sosial

Menurut Bandura dan Wilters (Koeswara, 1988) bahwa agresivitas dapat dipelajari

melalui dua metode yaitu pembelajaran instrumental yaitu terjadi jika sesuatu perilaku di

beri penguat atau diberi hadiah (reward), maka perilaku tersebut cenderung akan diulang

pada waktu yang lain dan pembelajaran observasional yaitu terjadi jika seseorang belajar

perilaku yang baru melalui observasi atau pengamatan kepada orang lain yang disebut

model.

d. Perilaku agresi sebagai hasil proses kognitif.

Dodge dan Crick (1990) menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara fungsi

kognitif dan perilaku agresi yang dilakukan oleh seorang anak. Perilaku Agresi terjadi

akibat ketidakmampuan anak dalam memproses informasi sosial.

4. Aspek-Aspek Perilaku Agresi

Bush dan Denny (1992) mengklasifikasikan perilaku agresi dalam empat aspek, yaitu:
a. Agresi fisik (Physical Agression) ialah bentuk perilaku agresif yang dilakukan dengan

menyerang secara fisik dengan tujuan untuk melukai atau membahayakan seseorang.

Perilaku agresif ini ditandai dengan terjadinya kontak fisik antara agresor dan korbannya.

b. Agresi verbal (Verbal Agression) ialah agresivitas dengan kata-kata. Agresi verbal dapat

berupa umpatan, sindiran, fitnah, dan sarkasme.

c. Kemarahan (Anger) ialah suatu bentuk indirect agression atau agresi tidak langsung

berupa perasaan benci kepada orang lain maupun sesuatu hal atau karena seseorang tidak

dapat mencapai tujuannya.

d. Permusuhan (Hostility), merupakan komponen kognitif dalam agresivitas yang terdiri

atas perasaan ingin menyakiti dan ketidakadilan. Agersi verbal yaitu agresi yang

dilakukan denga mengucapkan kata-kata kotor maupun kata-kata kasar, contohnya

menghina, mengumpat memfitnah dan sebagainya.

Menurut Sadli (Adji, 2002) ada bebeapa aspek-aspek perilaku agresi yaitu :

a. Pertahanan diri yaitu individu mempertahankan dirinya dengan cara menunjukkan

permusuhan, pemberontakan, dan pengrusakan.

b. Perlawanan disiplin yaitu individu melakukan hal-hal yang menyenagkan tetapi

melanggar aturan.

c. Egosentris, yaitu individu mengutamakan kepentingan pribadi seperti yang

ditunjukkan dengan kekuasaan dan kepemilikan. Individu ingin menguasai suatu

daerah atau memiliki suatu benda sehingga menyerang orang lain untuk mencapai

tujuannya tersebut, misalnya bergabung dalam kelompok tertentu.


d. Superioritas, yaitu individu merasa lebih baik daripada yang lainnya sehingga

individu tidak mau diremehkan, dianggap rendah oleh orang dan merasa dirinya

selalu benar sehingga akan melakukan apa saja walaupun dengan menyerang atau

menyakiti orang lain.

e. Prasangka, yaitu memnadang orang lain dengan tidak rasional.

f. Otoriter, yaitu seseorang yang cenderung kaku dalam memegang keyakinan,

cenderung memegang nilai-nilai konvensional, tidak bisa toleran terhadap

kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya sendiri atau orang lain dan selalu

curiga.

Menurut Schneiders (Aman, 2004) aspek-aspek perilaku agresif yaitu :

a. Otoriter yaitu orang memiliki ciri kepribadian kaku dalam memegang nilai-nilai

konvensional dan tidak bisa toleransi terhadap kelemahan- kelemahan yang ada

dalam diri sendiri maupun orang lain.

b. Superior yaitu individu merasa yang paling baik di banding dengan individu lain.

c. Egosentris yaitu individu mengutamakan keperluan pribadi tanpa memperhatikan

kepentingan diri sendiri seperti yang ditunjukan dengan kekuasaan dan

kepemilikan.

d. keinginan untuk menyerang baik terhadap, benda maupun manusia, yaitu

mempunyai kecenderungan untuk melampiaskan keinginannnya dan perasaanya

yang tidak nyaman ataupun tidak puas pada lingkungan disekitarnya dengan

melakukan penyerangan terhadap individu ataupun benda lain disekitarnya.


Menurut Allport dan Adorno (Koeswara, 1988) perilaku agresif dibedakan menjadi

dua aspek :

a. Prasangka (Thinking ill others) definisi ini mengimplikasikan bahwa dengan

prasangka individu atau kelompok menganggap buruk atau memandang negatif

secara tidak rasional. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana individu berprasangka

terhadap segala sesuatu yang dihadapinya.

b. Otoriter yaitu orang-orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang cenderung kaku

dalam memegang keyakinannya, cenderung memegang nilai-nilai konvesional,

tidak bisa tolirensi terhadap kelemahanyang ada dalam dirinya sendirimaupun

dalam diri orang lain, cenderung bersifat menghukum, selau curiga dan sangat

menaruh hormat dan pengabdian pada otoritas secara tidak wajar.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

perilaku agresi terdiri dari beberapa hal yakni pertahanan diri, perlawanan disiplin,

egosentris, superior, keinginan untuk menyerang dan otoriter.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Agresi

a. Stres

Menurut Crider, Goethals, Kavanough, dan Solomon (1983) bahwa stres merupakan

reaksi terhadap ketidakmampuan untuk mengatasi gangguan fisik terhadap ketidak mampuan

untuk mengatasi gangguan fisik dan psikis. Menurut Roediger, Rushton, Capaldi, dan Paris

(1984) menyatakan bahwa stres muncul karena adanya ancaman terhadap kesejahteraan fisik

dan psikis dan adanya perasaan bahwa individu tidak mampu mengatasinya. Munculnya stres

selain tergantung pada kondisi eksternalnya. Jadi, tingkat stress seseorang dapat berbeda

tergantung pada kondisi mental orang tersebut.


b. Deindividuasi

Menurut Koeswara (1988) menyatakan bahwa deindividuasi bisa menagrahkan individu

pada kekuasaan, dan perilaku agresi yang dilakukan menjadi lebih intens. Deindividuasi

memiliki efek memperbesar keleluasaan individu untuk melakukan agresi, karena

deindividuasi menyingkirkan ataumengurangi peranan beberapa aspek yang terdapat pada

individu, yakni identitas diri atau personalitas individu perilaku maupun identitas diri korban

agresi, serta keterlibatan emosional individu perilaku agresi terhadap korban.

c. Kekuasaan

Menurut Weber (Koeswara, 1988) kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau

kelompok orang untuk merealisasikan keinginan-keinginannya dalam tindakan komunal

bahkan meskipun harus berhadapan dengan perlawanan dari seseorang atau kelompok orang

lainnya yang berpartisipasi dalam tindakan komunikasi itu. Peranan kekuasaan sebagai

pengarah kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek menunjang

kekuasaan itu, yakni pengabdian dan kepatuhan (compliance).

d. Alkohol dan Obat-Obat

Menurut Mayor (1971) bahwa alkohol akan mempertinggi potensi perilaku agresi karena

menekan mekanisme syaraf pusat yang biasanya menghambat emosi untuk melakukan agresi.

Jadi alkohol dan obatobatan psikoaktif akan melemahkan kendali diri dari pemakaianya.

g. Kondisi Lingkungan

Eksperimen Donnerstein dan Wison ( )menunjukan bahwa dalam keadaan bising,

ternyata individu memberikan kejutan listrik yang lebih banyak daripada dalam kondisi suara

rendah atau tanpa suara. Penelitian Griffit (1971) menemukan bahwa dalam waktu antra

tahun 1967 dan 1971 hura-hura lebih sering terjadi di musim panas di saat udara panas
menyengat daripada di musim gugur, musim dingin atau musim semi. Dengan demikian ada

kaitan yang erat antara suhu udara dan peningkatan tidak kekerasan.

1. Kemiskinan

Menurut Byod McCandless (Davidoff, 1991) Bila seorang anak dibesarkan dalam

lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami

penguatan.

2. Anonimitas

Kota-kota besar cenderung menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam

informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha

untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang

berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia

menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling

mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung

menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia

cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan

norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.

3. Suhu udara yang panas

Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas,

rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat

dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Sarlito, 1992).

4. Jenis Kelamin

Telah banyak dikemukakan oleh para ahli, misalnya Lips dan Colwill (1978) yang

menyatakan bahwa dalam berbagai segi psikologis ternyata terdapat perbedaan antara laki-

laki dan perempuan. Menurut Shaffer (1985) perilaku agresi bagi laki-laki biasanya stabil
dari masa remaja sampai dewasa muda, tetapi tidak demikian pada perempuan, karena

perilaku agresi laki-laki lebih ditolerir masyarakat daripada perilaku agresi perempuan.

Perempuan dituntut lebih halus oleh budaya, sehingga agresivitasnya tidak terlalu tampak.

5. Kondisi Fisik

Eksperimen yang dilakukan oleh Dollard dengan cara melarang subyek tidur semalam

suntuk, tidak boleh merokok, membaca, berbicara, bermain dan lain-lain. Dalam waktu

yang cukup lama semua obyek hanya boleh duduk saja sehingga mereka memendam

penderitaan dan frustasi yang menghasilkan agresi terhadap peneliti, tetapi agresi itu tidak

dapat diekspresikan secara langsung karena situasi sosialnya. Agresivitas yang ditampilkan

subyek tampak ketika salah satu subyek menggambar luka yang mengerikan pada tubuh

manusia. Ketika ditanya siapa manusia dalam gambar tersebut, maka subyek mengatakan

bahwa itu adalah gambar para psikolog. Dan teman-temannya yang senasib itu semua

terhibur.

6. Media Massa

Media massa merupakan media informasi yang memberikan informasi kepada masyarakat.

Namun demikian, media massa baik cetak maupun elektronik juga banyak menyajikan hal-

hal yang bersifat agresif. Tayangan film dan iklan-iklan yang mempertontonkan adegann

kekerasan secara tidak langsung maupun langsung dapat mempengaruhi penontonnya,

bahkan menirukan dan mempraktekkan adegan yang pernah dilihatnya.

7. Penyimpangan Pemikiran

Menurut (Burns, 1988) Kemarahan terjadi karena individu mengalami penyimpangan

pemikiran terhadap realitas, sehingga ia membuat kesimpulan yang tidak masuk akal,

sehubungan dengan kemampuannya menghadapi lingkungan. Hasil penelitian Nasby,


Hayden, dan Depaulo (1979) menemukan bahwa bias atribusi positif-submisif (lawan dari

bias atribusi permusuhan) berhubungan dengan menurunnya agresi. Bias atribusi negatif-

dominan (bias atribusi permusuhan) berhubungan dengan meningkatnya agresi. Dengan

demikian apabila terjadi penyimpangan pemikiran pada individu maka akan

mengarahkannya pada emosi yang tidak menyinangkan dan akan menimbulkan perilaku

agresif.

A. Tingkat Pendidikan

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik”

(mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan

kecerdasan pikiran.

Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara

Menurut Ki Hajar Dewantara( Hasbullah, 2006 ). pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup

tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan

kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota

masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya

Pendidikan menurut Soegarda Poebakawatja (1982:15) adalah : Pendidikan mencakup

segala hal/usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalaman,
pengetahuan, kecakapan, serta keterampilan kepada generasi muda, untuk memungkinkan

generasi muda melakukan fungsi hidup dalam pergaulan bersama dengan sebaik-baiknya.

Ihsan ( 2008 ) pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan

kepribadiannya dengan jalan membantu potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa,

rasa, cipta, dan budi nurani). Pendidikan juga berarti lembaga yang bertanggung jawab

menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem, dan organisasi pendidikan.

Mashuri (1979:15), mengemukakan pendidikan adalah sebagai berikut : pendidikan

adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar demi pernbinaan kepribadian dan

pengembangan kemampuan manusia Indonesia baik jasmani maupun rohani di dalam

keluarga, sekolah dan masyarakat, dalam rangka meningkatkan pembangunan dan persatuan

bangsa Indonesia untuk mencapai masyarakat adil makmur dan sejahrcra berdasarkan

pancasila.

Sedangkan Menurut S.P.Siagian (1984) pendidikan adalah: Merupakan keseluruhan

proses, teknik dan metode belajar dalam rangka mengalihkan sesuatu pengetahuan seseorang

kepada orang lain sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut H. Fuad Ihsan (2005: 1) menjelaskan bahwa dalam pengertian yang sederhana

dan umum makna pendidikan sebagai “Usaha manusia untuk menumbuhkan dan

mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan

nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan”. Usaha-usaha yang dilakukan

untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut serta mewariskan kepada generasi

berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses

pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.


Disamping itu Jhon Dewey (2003: 69) menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah proses

pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah

alam dan sesama manusia”.

Sedangkan menurut J.J. Rousseau (2003: 69) menjelaskan bahawa “Pendidikan

merupakan memberikan kita pembekalan yang tidak ada pada masa kanakkanak, akan tetapi

kita membutuhkanya pada masa dewasa”.

Dilain pihak Oemar Hamalik (2001: 79) menjelaskan bahwa “Pendidikan adalah suatu

proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin

terhadap lingkungan dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang

memungkinkannya untuk berfungsi secara kuat dalam kehidupan masyarakat”.

Menurut Feni (2014: 13) “Pendidikan merupakan bimbingan atau pertolongan yang

diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaanya

dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan

bantuan orang lain”

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk memberikan bimbingan atau pertolongan dalam mengembangkan potensi

jasmani dan rohani yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak untuk mencapai

kedewasaanya serta mencapai tujuan agar anak mampu melaksanakan tugas hidupnya secara

mandiri.

Jenis dan Tingkat Pendidikan

Menurut Coombs, jenis pendidikan dapat dibedakan dalam tiga bagian, yakni : Pendidikan

formal, Pendidikan informal dan pendidikan non formal (A. Muri y., 1982 : 61)
Pengertian dari tiga jenis pendidikan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan formal merupakan pendidikan terstruktur dan memiliki jenjang tingkatan yang

berlangsung dari pendidikan dasar, menengah dan sampai perguruan tinggi.

2. Pendidikan in formal merupakan pendidikan yang berlangsung seumur hidup, di mana

pendidikan in formal diperoleh melalui pengalaman sehari-hari dan pengaruh dari lingkungan

sosial dari kehidupan seseorang.

3. Pendidikan non formal adalah pendidikan di luar sekolah yang menggantikan potensi dari

pendidikan formal yang sekaligus membantu pendidikan formal, contohnya kursus

keterampilan

Menurut (Ihsan, 2011).Tingkat pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan

menengah, dan pendidikan tinggi.

1. Pendidikan Dasar Pendidikan dasar yaitu pendidikan yang memberikan pengetahuan dan

ketrampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam masyarakat, serta

mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar pada

prinsipnya merupakan pendidikan yang memberikan bekal dasar kehidupan, baik untuk

pribadi maupun untuk masyarakat. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya

sembilan tahun yang diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar (SD) dan tiga

tahun di 15 jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau satuan pendidikan yang

sederajat.

2. Pendidikan Menengah Pendidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan

timbal-balik dengan lingkungan sosial-budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan
kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah

merupakan pendidikan yang lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar dan

diselenggarakan di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau satuan pendidikan yang sederajat.

3. Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah

yang diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang

memiliki kemampuan akademik dan profesional serta dapat menerapkan, mengembangkan

dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Oleh karena itu bagi anak-anak

yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) terbuka

kesempatan untuk melakukan pembentukan diri secara berkelanjutan melalui lembaga

pendidikan yang disebut Perguruan Tinggi. Di lingkungan lembaga tersebut generasi muda

mengalami proses belajar untuk membentuk kemampuan melakukan penalaran secara ilmiah

dengan mengembangkan cara berfikir kritis dan obyektif. 16 Berdasarkan pengertian di atas

maka

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan format ini

mempunyai tingkatan-tingkatan yang biasanya sering kita sebut dengan tingkat pendidikan.

Jadi tingkat pendidikan ini menrpakan jenjang pendidikan terakhir yang dicapai seseorang

melalui bangku sekolah.

Fungsi Pendidikan

6 fungsi pendidikan (Depdiknas 2004: 4), yaitu:

• Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.

• Mengenalkan anak pada dunia sekitarnya.

• Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.


• Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.

• Mengembang ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak.

• Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.

Komponen keberhasilan pendidikan

Untuk memperoleh keberhasilan di dalam pendidikan tersebut diperlukan kesatuan

dari tiga komponen keberhasilan pendidikan. Keberhasilan kesatuan dari tiga komponen itu

menyangkut beberapa faktor.

1. Komponen pendidik: Syarat utama pendidik adalah mampu sebagai sosok tauladan.

Konsep pendidik yang sekaligus pemimpin seperti yang diungkapkan oleh Ki Hadjar

Dewantara di atas, yakni ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri

handayani yang semaksimal mungkin harus dipenuhi komponen pendidik. Jika konsep ini

dipenuhi, maka dalam diri pendidik tersebut akan memancarkan “aura” yang menyebabkan

wibawa pada dirinya. Di samping itu pendidik sebagai sosok yang digugu lan ditiru (diikuti

dan ditiru) akan menjadi bukti kebenarannya. Tidak kalah pentingnya dalam usaha

memperoleh keberhasilan ini adalah sikap pendidik yang ikhlas.

2. Komponen Peserta Didik Manusian sebagai peserta didik adalah salah satu komponen

penentu keberhasilan pendidikan. Jika manusia sebagai peserta didik itu pasif, apatis, dan

masa bodoh, maka mustahil pendidikan akan memperoleh keberhasilan. Oleh karena itu,

peserta didik dituntut berperan aktif di dalam proses pendidikan. Peran aktif ini diwujudkan
dalam sikap taat pada pendidik, yaitu taat pada perintah maupun larangan pendidik. Taat pada

pendidikan ini dilakukan ada maupun tidak ada pendidik. Ada atau tidak adanya orang tua

maupun guru, ia akan tetap taat.

3. Komponen Pelaksanaan Di dalam pelaksanaan pendidikan, manusia baik pendidik maupun

peserta didik harus dalam kondisi yang “bebas-demokratis”. Dalam suasana gembira dan

saling memahami. Pendidik didasari dengan niat yang tulus dan ikhlas memberikan ilmunya

kepada peserta didik. Demikian pula peserta didik juga selalu dalam niat yang ikhlas untuk

mencari dan menerima ilmu. Jika keduanya telah terjalin dalam hubungan yang harmonis

sama-sama ikhlas dan sama-sama dalam kondisi “bener tur pener” (benar dalam kebenaran)

maka ilmu yang didapat akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Indikator keberhasilan proses

pendidikan ini adalah adanya perubahan nilai secara positif, dari tidak tahu menjadi tahu, dari

“tidak” menjadi “ya”, dari “buta” menjadi “melek” dari “faham” menjadi “mahir” dan

seterusnya.

B. Fanatisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia fanatisme sebenarnya berasal dari kata fanatik

yang artinya adalah teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik,

agama,dsb).

JP Chaplin (Kamus Lengkap Psikologi, 2008) fanatik yaitu satu sikap yang penuh

semangat yang berlebihan terhadap satu segi pandangan atau satu sebab. Menurut EYD, kata

fanatisme sendiri berakhiran –isme yang berarti faham. Fanatik berbeda dengan fanatisme,

fanatik merupakan sifat yang timbul saat seseorang menganut fanatisme (faham fanatik),

sehingga fanatisme itu adalah sebab dan fanatik merupakan akibat.


Orever (dalam Budi, 2004) fanatik adalah antusiasme yang berlebihan dan tidak

rasional terhadap sesuatu hal yang ada, atau pengabdian terhadap suatu teori, keyakinan,

ataupun garis tindakan yang menentukan sikap yang sangat emosional dan misinya praktis

tak mengenal batas-batas.

Menurut Giulianotti, (2006:71) dengan rasa cinta itu manusia semakin lekat dengan

sebuah kasih sayang dan semangat untuk selalu bertahan, sebaliknya dengan cinta pula

manusia berubah menjadi sadis, ambisius, anarkis, dan mematikan

Gelano ( dalam pintani , 2010 : 6 )yang berpendapat bahwa “fanatik is the person who

is never alone, is always on the side of angry people, and has harsh tools “ yaitu fanatik

adalah seseorang yang jarang sendirian dan selalu berada di sisi dari kemarahan orang dan

memiliki sesuatu yang kasar. Berdasarkan pengertian ini, Gelano mengatakan bahwa di

dalam fanatik terdapat suatu keramaian dan memiliki potensi yang kuat untuk bertindak

kasar.\

Fanatisme menurut Kamus Sosiologi menyebutkan bahwa Fanatism (Fanatisme) adalah

antusiasme yang berlebihan dan tidak rasional untuk, atau pengabdian kepada, suatu teori,

keyakinan, atau garis tindakan, yang menentukan sikap yang sangat emosional, dan

kefanatikan misi, dan praktis tidak mengenal batas-batas (Ahmadi, 1990: 108).

Fanatisme didefinisikan sebagai pengabdian yang luar biasa untuk sebuah objek, di

mana "pengabdian" terdiri dari gairah, keintiman, dan dedikasi, dan "luar biasa" berarti

melampaui, rata-rata biasa yang biasa, atau tingkat. objek dapat mengacu pada sebuah merek,

produk, orang (misalnya selebriti), acara televisi, atau kegiatan konsumsi lainnya. Fanatik

cenderung bersikeras terhadap ide-ide mereka yang menganggap diri sendiri atau kelompok

mereka benar dan mengabaikan semua fakta atau argumen yang mungkin bertentangan

dengan pikiran atau keyakinan (Chung, Beverland, Farrelly, dan kawan-kawan, 2008:333).
Jadi dapat disimpulkan bahwa fanatisme penggemar adalah suatu kepercayaan,

keyakinan dan antusiasme berlebihan terhadap sesuatu yang digemari, dalam hal ini adalah

artis idola. Fanatisme akan melahirkan perilaku fanatik yang tercermin dalam tindakan para

penggemarnya. Perilaku fanatik tersebut dapat kita lihat dari konsumsi penggemar, aktivitas

penggemar dan bagaimana pemujaan penggemar terhadap artis idola.

Faktor Penyebab Fanatisme

Menurut Septiyan (dalam Andar,2008) faktor-faktor yang menyebabkan fanatisme adalah

1. Antusiasme berlebihan Maksudnya adalah seseorang yang mempunyai semangat yang

berlebihan yang tidak berdasar pada akal sehat tetapi berdasar pada emosi yang tidak

terkendali. Ketiadaan akal sehat itu mudah membuat orang yang fanatik melakukan hal-hal

yang tidak proporsional, sehingga melakukanhal-hal yang tidak waras yang cenderung

merugikan diri sendiri dan orang lain.

2. Pendidikan Seseorang yang berpendidikan dan berwawasan luas dapat menimbulkan

benih-benih sikap yang solider atau fanatisme yang positif, begitu juga sebaliknya

indoktrinasi yang kerdil dapat mengakibatkan benih-benih fanatisme yang cenderung ke arah

fanatisme negatif. Maksudnya adalah ketika seseorang memiliki pendidikan yang tinggi dan

wawasan yang luas terhadap pengetahuan yang ada, maka rasa solidaritas yang muncul dalam

diri orang tersebut karena dapat mengerti dan memahami serta dapat menempatkan suatu hal

pada tempatnya. Berbeda dengan orang yang diberi doktrin secara terus menerus karena tidak

diimbangi dengan wawasanya yang luas, sehingga bukan pengembangan diri berdasarkan

wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki tetapi pembentukan diri yang

dipaksakan berdasarkan doktrin yang diberikan secara terus menerus akan menimbulkan bibit

fanatisme dalam dirinya.


d. Hubungan antara fanatisme dengan perilaku agresi dan tingkat pendidikan

Perilaku agresi menurut Krahe (2005), yaitu tingka laku yang dimaksudkan untuk

melukai orang, secara fisik, verbal maupun merusak harta benda. Sedangkan, menurut

Berkowitz (Sobur, 2013), perilaku agresi adalah segala bentuk perilaku yang

dimaksudkan menyakiti orang lain secara fisik dan mental. Perilaku agresi memiliki dua

sisi, yakni positif dan negatif, dimana keudanya dimaksudkan untuk memperkuat

kesadaran diri. Sisi positifnya kerap disebut “pernyataan diri” (Asertiveness), yakni

memperkuat kesadaran diri tanpa merugikan atau melukai diri orang lain. Sedangkan, sisi

negatifnya dinamakan tindak kekerasan (violence), yang lebih berpusat pada perampasan

hak-hak atau kesadaran diri orang lain (Palinoan, 2015).

Berdasarkan teori-teori diatas

Anda mungkin juga menyukai