Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perilaku Kekerasan

1. Definisi

Menurut Deden (2018) perilaku kekerasan adalah suatu

bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara

fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku

kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat

terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku

kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan.

Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang

bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun

psikologis. Berdasarkan definisi ini, perilaku kekerasan dapat

dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain,

dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua

bentuk, yaitu perilaku kekerasan saat sedang berlangsung atau

perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan) (Keliat

2014).

Menurut Keliat, (2011), perilaku kekerasan adalah suatu

bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara

fisik maupun psikologis. Herdman (2012) mengatakan bahwa

9
10

risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang

diperlihatkan oleh individu. Bentuk ancaman bisa fisik, emosional

atau seksual yang ditujukan kepada orang lain.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan

merupakan :

a. Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap

kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai

ancaman (diejek/dihina).

b. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak

menyenangkan (kecewa, keinginan tidak tercapai,

tidak puas).

c. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal,

diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan.

2. Respon perilaku

Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai bagian dari

rentang respons marah yang paling maladaptif, yaitu amuk. Marah

merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap

ansietas (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai

ancaman Stuart & Laraia, 2005, dalam Sutejo 2017). Amuk

merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang

ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan

merupakan bentuk perilaku destruktif yang tidak dapat dikontrol

(Yosep, 2009, dalam Sutejo 2017). Hal ini disertai dengan


11

hilangnya kontrol di mana individu dapat merusak diri sendiri,

orang lain, atau lingkungan. Berikut merupakan beberapa istilah

perilaku kekerasan :

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Gambar 2.1 Rentan Respon Perilaku Kekerasan

Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa

meyakiti orang lain

Frustasi : Kegagalan mencapi tujuan kerena tidak

realitas atau terhambat

Pasif : Respons lanjut klien tidak mampu

ungkapkan perasaan

Agresif : Perilaku dkstruksi masih terkontrol

Amuk : Perilaku destruksif dan tidak terkontrol


12

3. Etiologi

Perilaku kekerasan mengacu pada dua bentuk, yaitu perilaku

kekerasan saat sedang berlangsung atau perilaku kekerasan

terdahulu (riwayat perilaku kekerasan)

a. Faktor predisposisi

Menurut Stuart (2013), masalah perilaku kekerasan

dapat disebabkan oleh adanya faktor predisposisi (faktor

yang (melatarbelakangi) munculnya masalah dan faktor

presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah)).

Di dalam faktor predisposisi, terdapat bebarapa

faktor yang menyebabkan terjadinya masalah perilaku

kekerasan, seperti faktor biologis, psikologis, dan

sosiokultural

1) Faktor biologis

a) Teori dorongan naluri (Instinctual

drive theory)

Teori ini menyatakan bahwa perilaku

kekerasan disebabkan oleh suatu

dorongan kebutuhan dasar yang kuat.

b) Teori psikomatik (psycomatic

theory)

Pengalaman marah dapat diakibatkan

oleh respons psikologi terhadap

stimulus eksternal maupun internal.


13

Sehingga, sistem limbik memiliki

peran sebagai pusat untuk

mengekspresikan maupun

menghambat rasa marah

2) Faktor Psikologis

a) Teori ageresif frustasi (Frustation

aggresion theory)

Teori ini menerjemahkan

perilaku kekerasan terjadi sebagai

hasil akumulasi frustasi. Hal ini

dapat terjadi apabila keinginan

individu untuk mecapai ssesuatu

gagal atau terhambat. Keadaan

frustasi dapat mendorong individu

untuk berperilaku agresif kerena

perasaan frustasi akan kurang

melalui perilaku kekerasan.

b) Teori perilaku (behaviororal tehrapy)

Kemarahan merupakan

bagian dari proses belajar. Hal ini

dapat dicapai apabila tersedia

fasilitas atau situasi yang

mendukung. Reinforcement yang

diterima saat melakukan kekerasan


14

sering menimbulkan kekerasan di

dalam maupun di luar rumah.

c) Teori eksistensi (Existential theory)

Salah satu kebutuhan dasar

manusia adalah bertindak sesuai

perilaku. Apabila kebutuhan tersebut

tipenuhi melalui perilaku konstruktif,

maka individu akan memenuhi

kebtuhannya melalui perilaku

destruktif

b. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi ini berhubungan dengan pengaruh

stresor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap

individu. Stresor dapat disebabkan dari luar maupun dari

dalam. Stresor yang berasal dari luar dapat berupa serangan

fisik, kehilangan, kematian dan lain –lain. Stresor yang

berasal dari dalam dapat berupa, kehilangan keluarga atau

sahabat yang dicintai, ketakukan terhadap penyakit fisik,

penyakit dalam, dan lain-lain. Selain itu, lingkungan yang

kurang kondusif, seperti penuh penghinaan, tindak

kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.


15

c. Faktor Risiko

NANDA (2016) menyatakn faktor-faktor risiko dari

risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk

for self-directed violence) dan risiko perilaku

kekerasan terhadap orang lain (risk for other-

directed violence)

1) Risiko perilaku kekerasan terhada diri

sendiri (risk for self-directed violence)

a) Usia kuran lebih 45 tahun

b) Usia 15-19 tahun

c) Isyarat tingkah laku (menulis catatan

cinta yang sedih, menyatakan pesan

bernada kemarahan kepada orang

tertentu yang telah menolak individu

tersebut,dll)

d) Konflik mengenai orientasi seksual

e) Konflik dalam hubungan

interpersonal

f) Pengangguran atau kehilangan

pekerjaan (masalah pekerjaan)

g) Terlibat dalam tindakan seksual

autoerotik

h) Sumber daya personal yang tidak

memadai
16

i) Status perkawinan (sendiri,

menjanda, bercerai)

j) Isu kesehatan mental (depresi,

psikosis, gangguan kepribadian ,

penyalahgunaan zat)

k) Pola kesulitan dalam keluarga

(riwayat bunuh diri, sesuatu yang

bersifat kekerasan atau konfliktual)

l) Isu kesehatan fisik

m) Gangguan psikologis

n) Isolasi sosial

o) Ide bunuh diri

p) Rencana bunuh diri

q) Isyarat verbal (membicarakan

kematian , menanyakan tentang dosis

mematikan suatu obat, dll)

2) Risiko perilaku kekerasan terhadap orang

lain (risk for other- directed violence)

a) Akses atau ketersediaan senjata

b) Alterasi (gangguan ) fungsi kognitif

c) Perlakuan kejam terhadap binatang

d) Riwayat kekerasan masa kecil, baik

secara fisik, psikologis, maupun

seksual
17

e) Riwayat penyalahgunaan zat

f) Riwayat menyaksikan kekerasan

dalam kekeluargaan

g) Bahasa atubuh negatif (seperti,

kelakuan, mengepalkan

tinju/pukulan, hiperaktivitas, dll)

h) Gangguan neurologis (trauma kepala,

gangguan serangan, kejang,dll)

i) Riwayat melakukan kekerasan tidak

langsung (menyobek objek di

dinding melempar barang,

memecahkan kaca, membanting

barang,dll)

j) Pola perilaku kekerasan terhadap

orang lain (menendang,

memukul,menggigit, mencakar,

pemerkosaan, pelecehan seksual,dll)

k) Pola ancaman kekerasan (ancaman

secara verbal terhadap objek atau

orang lain, menyumpah serapah,

gestur atau catatan

mengancam,ancaman seksual,dll)

l) Opola perilaku kekerasan antisosial

(mencuri, meminjam dengan


18

memaksa, penolakan terhadap

medikasi,dll)

m) Perilaku bunuh diri

4. Tanda dan Gejala

Menurut Sutejo (2017) Tanda dan gejal perilaku kekerasan dapat

dinilai dari ungkapan pasien dan didukung dengan hasil observasi

a. Data subjektif

1) Ungkapan berupa ancaman

2) Ungkapan kata-kata kasar

3) Ungkapan ingin memukul/melukai

b. Data objektif

1) wajah memerah dan tegang

2) pandangan tajam

3) mengatupkan raham dengan kuat

4) mengepalkan tangan

5) bicara kasar

6) suara tinggi, menjerit atau berteriak

7) mondar mandir

8) melempar atau memukul benda/orang lain


19

5. Mekanisme koping

Perawat perlu mempelajari mekanisme koping untuk

membantu klien mengembangkan mekanisme koping

yangkonstruktif delam mengekspresikan marahnya. Mekanisme

koping yang sering digunkana adalah mekanisme pertahanan ego

seperti:

a. Sublimasi

Suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya di

mata masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami

hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya

seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya

pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju

tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk

mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah

Damaiyanti, 2012).

b. Proyeksi

Menyalahkan orang lain kesukarannya atau

keinginannya yang tidak baik,misalnya seorang wanita

muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan

seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh

bahwa temannya tersebut mencoba merayu,

mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti,2012).
20

c. Represi

Mencegah pikiran yang menyakitkan atau

bahayakan masuk kedalam sadar. Misalnya seorang anak

yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.

Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya

sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang

tidak baik dan dikutukoleh tuhan. Sehingga perasaan benci

itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya

(Mukhripah Damaiyanti, 2012).

d. Reaksi formasi

Mencegah keinginan yang berbahaya bila di

ekspresikan dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku

yang berlawanan dan menggunakan sebagai rintangan

misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,

akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat

(Mukhripah Damaiyanti, 2012).

e. Deplacement

Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya

bermusuhan pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti

yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu

,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja


21

mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar di

dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan

dengan temannya (Mukhripah Damaiyanti, 2012).

6. Penatalaksanaan

a. Medis

Menurut Yosep ( 2007 ) obat-obatan yang biasa diberikan

pada pasien dengan marah atau perilaku kekerasan adalah :

1) Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini

dapat mengendalikan agitasi yang akut.

Benzodiazepine seperti Lorazepam dan

Clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan

psikiatrik untuk 10 menenangkan perlawanan klien.

Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk

penggunaan dalam waktu lama karena dapat

menyebabkan kebingungan dan ketergantungan,

juga bisa memperburuk simptom depresi.

2) Buspirone obat antianxiety, efektif dalam

mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan

dengan kecemasan dan depresi.

3) Antidepressants, penggunaan obat ini mampu

mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang

berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline

dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang


22

berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan

mental organik.

4) Lithium efektif untuk agresif karena manik.

5) Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan

perilaku kekerasan

b. Keperawatan

Menurut Yosep ( 2007 ) perawat dapat

mengimplementasikan berbagai cara untuk mencegah dan

mengelola perilaku agresif melaui rentang intervensi

keperawatan.

strategi preventif strategi antisipatif strateg pengurungan

Komunikasi Managemen krisis


Kesadaran diri
Pendidikan klien Perubahan lingkungan Seclusion
Latihan asertif
Tindakan perilaku Restrains

Psikofarmakologi

Tabel 2.1 Rentang Intervensi Keperawatan


23

Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa

1) Strategi preventif

a) Kesadaran diri

Perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran

dirinya dan melakukan supervisi dengan memisahkan

antara masalah pribadi dan masalah klien.

b) Pendidikan klien

Pendidikan yang diberikan mengenai cara

berkomunikasi dan cara mengekspresikan marah yang

tepat.

c) Latihan asertif Kemampuan dasar interpersonal yang

harus dimiliki meliputi :

- Berkomunikasi secara langsung dengan

setiap orang.

- Mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak

beralasan.

- Sanggup melakukan komplain.

- Mengekspresikan penghargaan dengan tepat.

2) Strategi antisipatif

a) Komunikasi

Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif :

bersikap tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan

cara mengahakimi, bicara netral dan dengan cara


24

konkrit, tunjukkan rasa hormat, hindari intensitas

kontak mata langsung, demonstrasikan cara mengontrol

situasi, fasilitasi pembicaraan klien dan dengarkan

klien, jangan terburu-buru menginterpretasikan dan

jangan buat janji yang tidak bisa ditepati.

b) Perubahan lingkungan

Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai

aktivitas seperti : membaca, grup program yang dapat

mengurangi perilaku klien yang tidak sesuai dan

meningkatkan adaptasi sosialnya.

c) Tindakan perilaku

Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien

mengenai perilaku yang dapat diterina dan tidak dapat

diterima serta konsekuensi yang didapat bila kontrak

dilanggar.

3) Strategi pengurungan

a) Managemen krisis

b) Seclusion merupakan tindakan keperawatan yang

terakhir dengan menempatkan klien dalam suatu

ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas

kemauannya sendiri dan dipisahkan dengan pasien lain.


25

c) Restrains adalah pengekangan fisik dengan

menggunakan alat manual untuk membatasi gerakan

fisik pasien menggunakan manset, sprei pengekang

B. Konsep Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

1. Definisi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

Teori REBT dikembangkan oleh Albert Ellis pertama

kalinya pada tahun 1955 yang mulanya dikenal sebagai Terapi

Rasional lalu ia mengubahnya menjadi rational emotive therapy

(RET). Terapi ini memberikan penekanan terhadap hubungan

antara kognisi, emosi dan tingkah laku yang ketiganya saling

mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, terapi ini juga

mengaitkan antara pemikiran tidak rasional dengan permasalahan

emosi manusia, serta mengetengahkan pendapat bahwa manusia

mempunyai pilihan untuk terus menyumbang kepada permasalahan

yang dihadapi atau mengambil langkah untuk menghentikan proses

permasalahan itu (Aina Razlin, 2014).

Pada 1993, Ellis mengubah nama rational emotive therapy

(RET) menjadi Rational Emotive Behavior Therapy (REBT).

Rasional disini memiliki maksud kognisi yang efektif dalam

membantu diri daripada kognisi yang sekedar valid secara empiris

maupun logis. Kata kognitif yang ia gunakan sejak awal banyak

orang membatasi secara sempit kata rasional yang mengandung

maksud intelektual atau logis-empiris (dalam Richar Nelson,


26

2011). Terapi REBT sering digunakan oleh para konselor di

Amerika Serikat dalam mengatasi masalah individu. Sejalan

dengan hal itu, studi lain yang dilakukan oleh Albert Ellis sebagai

penggagas pendekatan ini menunjukkan keberhasilan dalam

mengatasi masalahmasalah yang dialalmi oleh konselinya.

2. Konsep Teori Kepribadian dalam Pendekatan Rational Emotive

Behaviour Therapy (REBT)

Untuk memahami dinamika kepribadian dalam pandangan

terapi rasional emotif perlu memahami konsep-konsep dasar yang

dikemukakan Ellis (1994), ada tiga hal yang terkait dengan

perilaku, yaitu Activating Event (A), Belief (B), dan Consequence

(C), yang kemudian dikenal dengan konsep A-B-C. Setelah A-B-C

menyusul Disputing (D) dan Effective new philosophy of life (E)

untuk memasukkan perubahan dan hasil yang diharapkan dari

perubahan. Selain itu, huruf Goal (G) dapat diletakkan terlebih

dahulu untuk memberikan konteks bagi ABC seseorang (dalam

Richar Nelson, 2011)

a. Antecedent Event (A) merupakan segenap peristiwa luar

yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu

yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku,atau sikap orang

lain. Pada terapi REBT therapist mendorong konseli untuk

berasumsi bahwa critical A adalah benar meskipun

kenyataannya dengan itu konseli menderita. Kondisi ini


27

dimaksudkan agar therapist dapat mengidentifikasi

penyebab dari konseli memiliki critical A dan mendorong

konseli untuk merasa ada masalah dengan pikirannya itu

sehingga pemaknaan kembali terhadap situasi A dapat

dilakukan.

b. Belief (B) adalah keyakinan, pandangan, nilai, atau

verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa.

Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang

rasional(rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak

rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan rasional

merupakan cara berfikir atau sistem yang tepat, masuk akal,

bijaksana, dan produktif. Sedangkan keyakinan yang

irasional merupakan cara berfikir atau sistem yang salah,

tidak masuk akal, emosional dan karena itu tidak produktif.

c. Emotional Consequenee (C) adalah konsekuensi atau reaksi

emosional seseorang sebagai akibat atau reaksi individu

dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam

hubungannya dengan (A). Konsekuensi emosional ini

bukan akibat langsung dari (A) tapi disebabkan oleh

keyakinan individu (B) baik yang rasional atau yang

irasional. Setelah ABC menyusul Desputing (D) merupakan

penerapan prinsip-prinsip ilmiah untuk menentang pikiran

yang cenderung mengalahkan diri sendiri dan mengalahkan

nilai-nilai irasional yang tidak bisa dibuktikan (Latipun,


28

2005). Hasil akhir dariproses A-B-CD berupa Effect (E)

perilaku kognitif dan emotif. Bilamana A-B-C-D

berlangsung dalam proses berpikir yang rasional maka hasil

akhirnya berupa perilaku positif, sebaliknya jika proses

berpikir yang irasional maka hasil akhirnya berupa tingkah

laku negatif.

Ellis juga menambahkan bahwa setelah konsep

ABC maka menyusul desputing yang merupakan penerapan

metode ilmiah untuk membantu konseli menantang

keyakinan keyakinan irasionalnya. Desputing merupakan

implementasi dari proses terapi yang dijalankan oleh

konselor dan konseli melalui proses belajar mengajar,

dimana konselor menunjukkan berbagai prinsip prinsip

logika dan dapat diuji kebenarannya untuk menyanggah

keyakinan irrasional konseli.(Namora, 2013).

3. Tujuan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)

Menurut Natawidjaya (2009) Tujuan rational emotive

behavior therapy menurut Ellis, membantu klien untuk

memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik yang berarti

menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri

mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-

gangguan emosional yang dialami oleh mereka. Sedangkn Tujuan


29

dari Rational Emotive Behavior Therapy menurut Mohammad

Surya sebagai berikut:

a. Memperbaiki dan mengubah segala perilaku dan

pola fikir yang irasional dan tidak logis menjadi

rasional dan lebih logis agar klien dapat

mengembangkan dirinya.

b. Menghilangkan gangguan emosional yang merusak.

c. Untuk membangun Self Interest, Self Direction,

Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel,

Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan

Self Acceptance Klien.

Dengan demikian tujuan rational emotive

behaviour therapy adalah menghilangkan gangguan

emosional yang dapat merusak diri (seperti benci,

rasa bersalah, cemas, dan marah) serta mendidik

klien agar mengahadapi kenyataan hidup secara

rasional.

4. Langkah-langkah Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)

Untuk mencapai tujuan Rational Emotive Behavior

Therapy (REBT) konselor melakukan langkah-langkah konseling

antara lainnya :

a. Langkah pertama

Menunjukkan pada klien bahwa masalah yang dihadapinya

berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya,


30

bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai sikapnya yang

menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah

memasukkan banyak keharusan, sebaiknya dan semestinya

klien harus belajar memisahkan keyakinankeyakinannya

yang rasional dan keyakinan irasional, agar klien mencapai

kesadaran.

b. Langkah kedua

Membawa klien ketahapan kesadaran dengan menunjukan

bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan

emosionalnya untuk tetap aktif dengan terus menerus

berfikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang

dengan kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan

mengabadikan masa kanak-kanak, terapi tidak cukup hanya

menunjukkan pada klien bahwa klien memiliki proses-

proses yang tidak logis.

c. Langkah ketiga

Berusaha agar klien memperbaiki pikiran-pikirannya dan

meninggalkan gagasan-gagasan irasional. Maksudnya

adalah agar klien dapat berubah fikiran yang jelek atau

negatif dan tidak masuk akal menjadi yang masuk akal.

d. Langkah keempat Adalah menantang klien untuk

mengembangkan filosofis kehidupanya yang rasional, dan

menolak kehidupan yang irasional. Maksudnya adalah


31

mencoba menolak fikiran-fikiran yang tidak logis untuk

masuk dalam dirinya.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan dengan Rational

Emotive Behaviour Therapy (REBT)

1. Pengkajian

Menurut Fitria ( 2009 ) data yang perlu dikaji pada pasien

dengan perilaku kekerasan yaitu pada data subyektif klien

mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, mengatakan

dendam dan jengkel. Klien juga menyalahkan dan menuntut.

Sedangkan pada data obyektif klien menunjukkan tanda-tanda

mata melotot dan pandangan tajam, tangan mengepal, rahang

mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku dan

suara keras.
32

2. Pohon masalah

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan


lingkungan

Risiko perilaku
kekerasan

Perilaku kekerasan

Gambar 2.2 Pohon masalah perilaku kekerasan

(Sumber : Sutejo, 2017)

3. Diagnosa

Diagnosa keperawatan ditetapkan sesuai dengan data yang

didapat,walaupun saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan

tetapi pernah melakukan atau mempunyai riwayat perilaku

kekerasan dan belum mempunyai kemampuan

mencegah/mengontrol perilaku kekerasan tersebut.


33

4. Rencana tindakan keperawatan perilaku kekerasan dengan Rational

Emotive Behaviour Therapy (REBT)

Rencana Tindakan Menurut Putri (2010) yang dapat mengatasi

masalah-masalah yang diaalami pasien oleh pasien perilaku

kekerasaan dengan Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT).

Fase dan sesi aplikasi Rational Emotive Behaviour Therapy

(REBT)

1) Fase I

a) Sesi 1 : Persiapan Kognitif : Bina

Hubungan Dan Harapan Harapan

Tujuan : klien dapat membina hubungan saling

percaya dengan terapis

Tindakan :

- Bina hubungan saling percaya

- Mendiskusikan dan mentermometer

perasaan

- Menilai kejadian yang menimbulkan

perasaan

b) Sesi 2 : Persiapan Kognitif : Memahami

Perasaan Tujuan : klien mampu

memahami rentang perasaan

Tindalan :
34

- Memahami, mengidentifikasi dan

menghubungkan perasaan dengan

pikiran

- Melabel dan mengelompokkan

perasaan yang membahayakan dan

perasaan yang pernah dialami

- Mendiskusikan situasi yang dialami

dan menyesuaikan dengan

thermometer perasaan sesuai dengan

reaksi emosinya

c) Sesi 3 : Persiapan Kognitif : Fakta Lawan

Opini

Tujuan : Klien mampu membedakan antara

kenyataan dengan opini/persepsi

Tindakan :

Belajar membedakan antara kenyataan

dengan opini/persepsi melalui pemberian

stimulus berupa kalimat-kalimat pernyataan

2) Fase II

Sesi 4: Belajar model Kognitif : ACBs

Tujuan : Klien mampu mempelajari komponen dari

strategi kognitif dan perilaku


35

Tindakan :

a) Mendiskusikan dan

mengajarkan individu tentang

Rational Self Analysis yang

terdiri atas :

- A (Activating Event) :

Mengidentifikasi kejadian yang

sedang terjadi

- C (Consequence) : Bagaimana

individu bereaksi terhadap kejadian

- B (Belief system) : Evaluasi

pemikiran terhadap kejadian

- E (new Effect) : Bagaimana

saya seharusnya merasakan dan

berperilaku

- D (Disputing) : Keyakinan rasional

yang baru untuk menolong

menghadapi reaksi terhadap

peristiwa

- F (Further action) : Apa yang akan

dilakukan untuk menghindari

berulangnya pikiran irrasional yang

sama
36

3) Fase III

Sesi 5: Latihan Model Kognitif : ACBs

Tujuan : Klien mampu menerapkan keterampilan

yang diperoleh

Tindakan :

- Mendemontrasikan keterampilan

yang dilatih dalam

mengidentifikasikan kejadian

(A), Konsekuensi(C) dan (B)

keyakinan.

- Mengaplikasikan kemampuan

dan berpartisipasi dalam

mengidentifikasi kejadian (A),

Konsekuensi(C) dan (B)

keyakinan.

Tujuan utama dari setiap sesi adalah untuk

memahami keterampilan yang diajarkan karena

prasyarat untuk sesi berikutnya dan akan lebih

baik individu diberi kesempatan untuk

mendemontrasikan setiap sesi yang sudah

dipelajari sebelum masuk ke sesi berikutnya.

Dalam beberapa kasus terapis dapat


37

memodifikasi REBT agar lebih dapat dipahami

oleh partisipan. Latihan strategi kognitif dapat

dikenalkan sebagai tugas di rumah (PR).

5. Evaluasi

Menurut kusumawati (2010) evaluasi dilakukan untuk

mengukur tujuan dan kriteria yang sudah dicapai dan yang belum

sehingga dapat menentukan intervensi lebih lanjut, bentuk

intervensi yang positif adalah sebagai berikut :

a) Identifikasi situasi yang dapat

membangkitkan kemarahan

b) Bagaimana keadaan klien saat marah dan

benci pada orang tersebut

c) Sudahkan klien menyadari akibat dari marah

dan pengaruhnya pada orang lain

d) Buatlah komentar yang kritikal

e) Apakah klien sudah mampu

mengekspresikan sesuatu yang berbeda

f) Klien mampu menggunakan aktivitas secara

fisikuntuk mengurangi perasaan marahnya

g) Konsep diri klien berpikir sudah meningkat

h) Kemandirian berpikir dan beraktivitas

meningkat
38

Dengan pemberian Rational Emotive Behaviour Therapy

(REBT) diharapkan pasien mampu mengubah perilaku irrasional

menjadi perilaku rasional yang positif sehingga mampu

mengendalikan emosi untuk mengurangi perilaku kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai