Anda di halaman 1dari 16

ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM

Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-
alat tersebut adalah:

1. Kapak Genggam

Kapak Genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper" (alat
penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak
bertangkai dan cara menggunakannya dengan cara digenggam. Pembuatan kapak genggam
dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai tajam dan sisi lainnya dibiarkan
apa adanya sebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi,
memotong, dan menguliti binatang.

Fungsi

Kapak genggam digunakan untuk menumbuk biji-bijian, membuat serat-serat dari pepohonan,
membunuh binatang buruan, dan sebagai senjata menyerang lawannya.[2]

Penyebaran

Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa kapak jenis ini berasal dari lapisan Trinil, yaitu pada
masa Pleistosen Tengah, sehingga disimpulkan bahwa pendukung kebudayaan kapak genggam
adalah manusia Pithecanthropus erectus.[2] Daerah penemuan kapak genggam selain di Punung
Pacitan Jawa Timur, juga ditemukan di daerah Jampang Kulon, Parigi Jawa Timur, Tambang
Sawah, Lahat, dan Kal iAnda Sumatra, Awangbangkal Kalimantan, Cabenge Sulawesi,
Sembiran dan Terunyan Bali.[2] Selain di Indonesia kapak genggam juga ditemukan di Peking
Tiongkok pada goa-goa di Choukoutien, serta sejumlah fosil yang mirip Pithecanthropus erectus,
yang disebut dengan Sinanthropus pekine (Manusia Peking).[2]

2. Kapak Perimbas
Kapak Perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia
kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa
Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), Lahat, (Sumatra Selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing).
Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, sehingga oleh Ralp Von Koenigswald
disebut kebudayan Pacitan.

Keadaan Manusia Pendukungnya

Kehidupan zaman batu ini telah berlangsung sejak 600.000 tahun yang lalu. Selama kurun waktu
tersebut manusia hanya menggunakan alat-alat yang paling dekat dengan lingkungan kehidupan
mereka, seperti kayu, bambu, dan batu. Mereka menggunakan batu-batu tersebut untuk berburu
maupun untuk membersihkan makanan. Batu-batu tersebut juga mereka gunakan sebagai kapak
yang digenggam untuk memotong kayu atau membunuh binatang buruan.

Kehidupan manusia pendukung zaman ini masih nomaden atau berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain. Kepindahan mereka bergantung dari tersedianya bahan-bahan makanan
terutama binatang buruan. Jadi, inti kegiatan hidup harian manusia pendukung kebudayaan
kapak perimbas (zaman Paleolitikum) adalah mengumpulkan bahan makanan untuk dikonsumsi
saat itu. Kegiatan seperti itu disebut peradaban food gathering atau pengumpul makanan.

Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman
Paleolitikum adalah Pithecanthropus erectus, Homo wajakensis, Meganthropus paleojavanicus,
dan Homo soloensis. Fosil ini ditemukan di aliran Sungai Bengawan Solo.

3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa

Alat dari tulang atau tanduk rusa


Salah satu alat peninggalan zaman Paleolitikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat dari
tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat
penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan
keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap
ikan.
4. Flakes

Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk
mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari
tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan,
mengumpulkan ubi dan buah-buahan

Perkembangan Alat Serpih di Indonesia

Di Indonesia alat serpih ditemukan pada tingkat yang lebih tua, yaitu pada akhir plestosen tengah
atau permulaan plestosen atas. Tempat penemuan yang sangat penting di Indonesia mengenai
alat serpih adalah Punung, Sangiran, dan Ngandong di Jawa; Cabbenge di Sulawesi Selatan;
Mengeruda di Flores, serta Gassi Liu dan Sagadat di Timor. Selain itu alat ini ditemukan di
Lahat (Sumatra Selatan), Gombong (Jawa Tengah) dan beberapa tempat di Timor sebagai unsur
minor dalam satu konteks dengan kapak-kapak perimbas.

Tradisi alat serpih mehasilkan pekakas-pekakas yang berbentuk sederhana dengan


memperlihatkan kerucut pukul yang jelas. Bahan batuan yang umum digunakan untuk membuat
alat ini adalah beberapa jenis batuan tufa dan gamping kersikan serta batuan endap.

Alat serpih yang ditemukan bersama-sama pekakas masif dilembah kali Baksoko, Gede,
Sunglon, dan Sirikan di dekat Punung merupakan unsur yang penting pula dari Budaya Pacitan.
Terbukti dari kehadiran jenis perkakas ini yang melebihi separuh dari jumlah alat-alat batu yang
ditemukan. Alat serpih dan bilah berukuran kecil dan besar (antara 4-10 cm), dan rata-rata
menunjukan kerucut pukul yang jelas.

Sesuai dengan bentuk-bentuknya, alat-alat tersebut digunakan sebagai penggaruk atau serut,
gurdi, penusuk, dan pisau. Sebagian alat dan bilah menunjukan teknik pembuatan yang telah
maju. Penyiapan bentuk-bentuk alat secara teliti dilakukan sebelum melepaskan batu intinya.
Sehingga pada sejumlah alat tampak faset-faset dari dataran pukulnya (teknik pseudo Levallois).
Di dalam konteks tradisi alat serpih tingkat Plestosen di Indonesia, sebagian alat serpih-bilah dari
Punung ini tergolong maju.

Kondisi Sosial Masyarakat


Berdasarkan alat-alat yang ditemukan, masa berburu dan mengumpulkan makanan, alat serpih
termasuk pada masa palaeolithikum atau zaman batu tua. Ciri utama dari zaman ini, adalah alat-
alat dibuat sangat sederhana, kasar dan tidak halus karena belum banyak mengenal penghalusan
atau pengasahan. Jenis manusia pendukung masa palaeolithukum adalah jenis pithecantrhopus.

Manusia pada masa ini sangat tergantung pada sumber daya alam. Kebutuhan hidup mereka ada
pada alam. Agar dapat bertahan hidup, manusia pada masa ini harus berburu dan mengumpulkan
makanan. Untuk itu tidak mengherankan jika kehidupan mereka berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lainnya untuk mecari sumber makanan.

Binatang buruan mereka, antara lain; babi, rusa, dan burung atau menangkap ikan di sungai,
danau dan pantai. Wilayah perburuan mereka di hutan-hutan, di sekitar tempat tinggal. Binatang
yang berhasil ditangkap biasanya mereka bakar sebelum dimakan. Dengan demikian pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan, manusia pada masa ini sudah mengenal api. Selain
berburu, mereka juga mengumpulkan umbi-umbian atau tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan.

Guna menghadapi tantangan alam yang begitu keras, terutama dari serangan binatang buas
mereka perlu bekerja sama. Tidak mengherankan jika hidup mereka pada masa ini berkelompok.
Dengan berkelompok akan memudahkan mereka untuk menaklukkan binatang buas atau
binatang buruan. Hidup berkelompok memudahkan perburuan dan keamanan.

JAMAN MEGALITHIKUM

Megalit adalah batu besar (neologi dari bahasa Yunani: μέγας (megas) berarti besar, dan λίθος
(lithos) berarti batu) yang digunakan untuk membangun struktur atau monumen. Megalit
menjadi tanda utama keberadaan tradisi megalitik, tradisi yang muncul di beberapa tempat di
bumi. Batu yang digunakan dapat berupa satu batu tunggal (monolit), tumpukan batu besar
maupun kecil, atau susunan batu yang diatur dalam bentuk tertentu. Megalit seringkali dipotong
atau dipahat terlebih dahulu dan dibuat terkait dengan ritual religius atau upacara-upacara
tertentu, seperti kematian atau masa tanam[1][2][3].

Bentuk-bentuk megalit yang umum ditemukan di berbagai tempat adalah menhir (tugu batu,
dapat ditatah atau diukir membentuk figur tertentu), dolmen (meja batu), kubur batu, dan
sarkofagus (peti mati dari batu). Dalam tradisi megalit Indonesia, berkembang bentuk-bentuk
khas, seperti waruga, arca mayat, dan batu kenong. Di Eropa dibuat pula monumen megalit
struktural seperti henge.

Perlu disampaikan bahwa tradisi megalit tidak hanya terkait dengan benda-benda batu besar,
tetapi juga struktur ruang semacam batu lingkar (batu kandang), punden berundak, kubur lorong,
marae, dan bukitan (seperti Hügelgraber). Selain itu, ritual/upacara dan kepercayaan terhadap
suatu kekuatan tertentu menjadi bagian tak wujud dari tradisi megalit, sehingga bersama temuan
megalit sering pula terdapat benda-benda logam, kayu, maupun gerabah (misalnya tempayan)
terkait upacara.

PENINGGALAN JAMAN MEGALITHIKUM ATAU HASIL KEBUDAYAANNYA

1. Menhir

Menhir adalah tugu atau batu yang tegak, yang sengaja di tempatkan di
suatu tempat untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Batu tegak ini berupa media
penghormatan dan sekaligus lambang bagi orang-orang yang sudah meninggal tersebut.

Menhir adalah batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari periode
Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan Italia. Batu-batu
ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya. Mega dalam bahasa Yunani
artinya besar dan lith berarti batu. Para arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk
tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang.

YANG LAINNYA

1. Menhir
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh
nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok
serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak. Lokasi
tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah
dan Kalimantan. Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir,

Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk
saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Lokasi
tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah
dan Kalimantan. Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir, maka simaklah gambar-gambar
berikut ini.

Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk
saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain
menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden
berundak-undak.
2. Punden berundak

Punden berundak merupakan bangunan yang di susun secara bertingkat-


tingkat yang di maksudkan untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang, bangunan
ini kemudian menjadi konsep dasar bangunan candi pada masa hindu-buddha.

Struktur dasar punden berundak ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode kebudayaan
Megalit-Neolitikum pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun ternyata juga dipakai
pada bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai periode Islam masuk di
Nusantara. Persebarannya tercatat di kawasan Nusantara sampai Polinesia, meskipun di kawasan
Polinesia tidak selalu berupa undakan, dalam struktur yang dikenal sebagai marae oleh orang
Maori. Masuknya agama-agama dari luar sempat melunturkan praktik pembuatan punden
berundak pada beberapa tempat di Nusantara, tetapi terdapat petunjuk adanya adopsi unsur asli
ini pada bangunan-bangunan dari periode sejarah berikutnya, seperti terlihat pada Candi
Borobudur, Candi Ceto, dan Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri.

YANG LAINNYA

2. Punden Berundak-undak

Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya
sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal.
Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya
adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur, sedangkan
mengenai bentuk dari punden berundak dapat Anda amati gambar-gambar berikut ini.
3. Kubur batu

Bentuknya mirip seperti bangunan kuburan seperti yang dapat kita lihat
saat ini, umumnya tersusun dari batu yang terdiri dari dua sisi panjang dan dua sisi lebar.
Sebagian besar kubur batu yang di temukan terletak membujur dari arah timur ke barat.

Pada masa prasejarah ketika kebudayaan Megalitikum berkembang bahwa kubur batu
merupakan salah satu dari jenis peninggalan batu-batu besar (megalit). Sedangkan sesuai dengan
namanya fungsi dari kubur batu sendiri sebagai tempat penguburan (stonecists) bagi orang-orang
yang dihormati di lingkungan masyarakat yang hidup pada masa megalit. Kubur batu ini sudah
dilakukan pengamanan dengan cara diberi pagar keliling yang terbuat dari kayu dengan ukuran
panjang 5,50 meter dan lebar 5 meter. Sedang bagian atas di beri cungkup seng dengan tiang
penyangga dari kayu dan pondasi semen.

YANG LAINNYA

5.Peti kubur

Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari
lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang dilengkapi dengan
alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu.

Daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari
(Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan rangka
manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta manik-manik. Dari penjelasan
tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui persamaan antara peti kubur dengan
sarkofagus, dimana keduanya merupakan tempat menyimpan mayat yang disertai bekal
kuburnya.
4. Sarkofagus

Sejenis kubur batu tetapi memiliki tutup di atasnya, biasanya antara


wadah dan tutup berukuran sama. Pada dinding muka sarkofagus biasanya diberi ukiran manusia
atau binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis.

Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir, dihias dan
dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah
makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di
ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus merupakan lapisan perlindungan bagi mumi
keluarga kerajaan dan kadang-kadang dipahat dengan alabaster

YANG LAINNYA

4.Sarkofagus

Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai
lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya
terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari
perunggu serta besi.
Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus
memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal
masyarakat Bali sejak zaman logam.
5. Dolmen

Dolmen merupakan bangunan megalithik yang memiliki banyak bentuk


dan fungsi, sebagai pelinggih roh atau tempat sesaji pada saat upacara. Dolmen biasanya di
letakan di tempat-tempat yang dianggap keramat, atau di tempat pelaksanaan upacara yang ada
hubungannya dengan pemujaan kepada roh leluhur.

Dolmen adalah sebuah meja yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan
saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar
mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai
mayat tertutup rapat oleh batu. Hal ini menunjukan kalau masyarakat pada masa itu meyakini
akan adanya sebuah hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup, mereka
percaya bahwa apabila terjadi hubungan yang baik akan menghasilkan keharmonisan dan
keselarasan bagi kedua belah pihak.

YANG LAINNYA

3.Dolmen
Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk
pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut
tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup
rapat oleh batu.
Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan
kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan / Jawa Barat, Bondowoso /
Jawa Timur, Merawan, Jember / Jatim, Pasemah / Sumatera, dan NTT.

Bagi masyarakat Jawa Timur, dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat
menyimpan mayat lebih dikenal dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
6. Arca batu

Arca batu banyak di temukan di beberapa tempat di wilayah indonesia,


diantaranya pasemah, Sumatra Selatan dan Sulawesi Tenggara. Bentuknya dapat menyerupai
binatang atau manusia dengan ciri Negrito. Di Pasemah ditemukan arca yang dinamakan Batu
Gajah, yaitu sebongkah batu besar berbentuk bulat diatasnya terdapat pahatan wajah manusia
yang mungkin merupakan perwujudan dari nenek moyang yang menjadi objek pemujaan.

Dalam agama Hindu, arca adalah sama dengan Murti (Dewanagari: मममममम), atau murthi,
yang merujuk kepada citra yang menggambarkan Roh atau Jiwa Ketuhanan (murta). Berarti
“penubuhan”, murti adalah perwujudan aspek ketuhanan (dewa-dewi), biasanya terbuat dari
batu, kayu, atau logam, yang berfungsi sebagai sarana dan sasaran konsentrasi kepada Tuhan
dalam pemujaan. Menurut kepercayaan Hindu, murti pantas dipuja sebagai fokus pemujaan
kepada Tuhan setelah roh suci dipanggil dan bersemayam didalamnya dengan tujuan
memberikan persembahan atau sesaji. Perwujudan dewa atau dewi, baik sikap tubuh, atribut,
atau proporsinya harus mengacu kepada tradisi keagamaan yang bersangkutan.

YANG LAINNYA

6.Arca batu

Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang
digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca manusia yang
ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis
seperti arca batu gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang
binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Daerah-
daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa T.
muri
7. Waruga

Waruga adalah kubur batu yang tidak memiliki tutup, waruga banyak
ditemukan di situs Gilimanuk, Bali.

Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari
dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk
kotak yang bagian tengahnya ada ruang.

YANG LAINNYA

7.Waruga

Waruga adalah peti kubur peninggalan budaya Minahasa pada zaman megalitikum. Didalam peti
pubur batu ini akan ditemukan berbagai macam jenis benda antara lain berupa tulang- tulang
manusia, gigi manuisa, periuk tanah liat, benda- benda logam, pedang, tombak, manik- manik,
gelang perunggu, piring dan lain- lain. Dari jumlah gigi yang pernah ditemukan didalam waruga,
diduga peti kubur ini adalah merupakan wadah kubur untuk beberapa individu juga atau waruga
bisa juga dijadikan kubur keluarga (common tombs) atau kubur komunal. Benda- benda periuk,
perunggu, piring, manik- manik serta benda lain sengaja disertakan sebagai bekal kubur bagi
orang yang akan
meninggal. - See more at: http://uuzi21.blogspot.com/2013/08/7-hasil-kebudayaan-zaman-
megalitikum.html#sthash.mswePym3.dpuf

JAMAN MESOLITHIKUM
Setelah pleistosen berganti dengan holosen, kebudayaan paleolithikum tidak begitu saja lenyap
melainkan mengalami perkembangan selanjutnya. Di Indonesia, kebudayaan paleolithikum itu
mendapat pengaruh baru dengan mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia ygna
membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum.
Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa ,
Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui
bahwa jaman itu manusia masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering).
Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah
bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan. Bekas-bekas tempat
tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai (Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (Abris
Sous Roche). Disitulah pula banyak didapatkan bekas-bekas kebudayaannya.
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata
berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di
dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan
sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada
zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana
cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.

A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM


1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)

a. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)

Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken
artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya
adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau
tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah
membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur
Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut
menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun
1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan
hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper
(kapak genggam Palaeolithikum).

b. Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)


Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang
ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak
genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau
Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang
dipecah-pecah.

c. Hachecourt (kapak pendek)


Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis
kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan
hachecourt/kapak pendek.

d. Pipisan

Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan
(batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan
untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah.
Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan
untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.

2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)


Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo -
Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan
flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu
dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang,
sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.

3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)

 Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)

Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba
pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan
binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van
Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung
panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman
Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan
yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para
arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung.
Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan
inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di
Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga
banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang
Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi
dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz
Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai
keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan
Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut
merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000
SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di
daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler
yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.

B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH

Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam,
Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa
batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di
bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna
merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka
yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini
banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh
5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan
bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada
dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:

1. Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
2. Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.

Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung
kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran
pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide.
Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari
pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak
ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di
pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari
daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA

Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade.
Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon,
jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua
dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-
kenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung.
Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari
yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung.
Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan
Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.

Anda mungkin juga menyukai