PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak. Umumnya anak asma
datang mencari petugas kesehatan dalam keadaan serangan asma baik serangan ringan,
sedang, maupun berat. Penanganan serangan asma yang tidak akurat akan berdampak
yang tidak baik terhadap perkembangan anak selanjutnya.
Tujuan serangan asma adalah menghilangkan gejala sesegera mungkin dan
mengembalikan fungsi paru ke arah normal. Untuk mencapai tujuan di atas, cara yang terbaik
adalah dengan menggunakan terapi inhalasi karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu
langsung mencapai target, onset cepat, dosis kecil, dan efek samping minimal. Namun
demikian tata laksana terapi inhalasi masih mempunyai beberapa hambatan seperti persepsi
yang kurang tepat dari tenaga kesehatan, harga obat masih mahal, bahkan ketersediaan
obatnya belum merata.
Derajat serangan asma akut dibagi menjadi serangan ringan, sedang, dan berat,
dan ancaman henti napas. Sebagian besar serangan asma akut bersifat serangan ringan diikuti
serangan sedang dan berat. Dengan kemajuan tata laksana serangan asma dan meningkatnya
pengetahuan orangtua/keluarga tentang asma terdapat kecenderungan penurunan kejadian
asma serangan berat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
GINA mengeluarkan batasan asma yang lengkap, yang menggambarkan konsep
inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma sebagai berikut. Asma ialah gangguan
inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi
berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai
rangsangan.
Konsensus Nasional juga menggunakan batasan yang praktis untuk anak, yaitu
Mengi berulang dan/ atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin,
sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan.
Adapun definisi serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala
gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala
tersebut dengan ditandai obstruksi saluran napas. Terjadinya serangan asma menandakan
kegagalan dalam manajemen asma secara keseluruhan yaitu kurangnya pengetahuan
pasien terhadap penghindaran pencetus maupun gagalnya tata laksana jangka panjang.
B. PATOFISIOLOGI
Pada serangan asma akut tejadi obstruksi jalan napas secara luas yang
merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus (bronkokonstriksi), edem mukosa
karena inflamasi saluran napas, dan hipersekresi mukus, serta penebalan mukosa
karena proses remodeling. Keempat keadaan di atas menyebabnya penyempitan pada
saluran napas sehingga meningkatkan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara (air
trapping), dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Hal di atas akan menyebabkan tidak
padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga terjadi
peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk
ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit, dapat mempersempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks.
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan
kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan untuk
mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan
dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat akan terjadi
kelelahan otot napas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolikakibat hipoksia jaringan
dan produksi laktat oleh otot napas dan masukan kalori yang kurang.
Atelektasis dapat terjadi karena dua mekanisme yaitu pertama rusaknya sel alveoli
yang berakibat produksi surfaktan yang berkurang akibat adanya hipoksia dan
vasokonstriksi. Mekanisme kedua adalah akibat adanya hipersekresi mukus dapat
meyebabkan mucus plugyang dapat menyebabkan sumbatan saluran napas sehingga terjadi
atelektasis.
C. KLASIFIKASI
1. KLASIFIKASI PENYAKIT ASMA BERDASARKAN JUMLAH/ FREKUENSI
SERANGAN
Parameter klinis, Asma Asma Asma
kebutuhan obat, dan Episodik Jarang Episodik Sering Persisten
faal paru
Frekuensi serangan < 1 x / bulan > 1 x / bulan Sering
Lama Serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir
sepanjang tahun,
hampir tidak ada
remisi
Diantara Serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis di Normal (tidak Mungkin Tidak pernah
luar serangan ditemukan terganggu normal
kelainan) (ditemukan
kelainan)
Obat pengendali (anti Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu, steroid
inflamasi)
Uji faal paru (di luar PEF / FEV1 PEF / FEV1 60- PEF / FEV1
serangan) >80% 80% <60%
variabilitas 20-
30%
Variabilitas faal paru Variabilitas Variabilitas Variabilitas
(bila ada serangan) >15% >30% >50%
Penanganan di rumah
Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan terapi awal berupa inhalasi β2
agonis kerja pendek hingga 3x dalam satu jam. Kemudian pasien atau
keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan
yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya.
Pada awal serangan dapat diberikan bronkodilator saja. Apabila belum
membantu, dapat ditambahkan steroid oral. Bila hal ini juga tidak berhasil, bawa
segera ke klinik atau rumah sakit. Bila serangannya sedang, langsung berikan
bronkodilator dan steroid. Sedangkan jika serangannya
berat, langsung bawa ke rumah sakit..
Penanganan di IGD
Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian β2 agonis secara nebulisasi.
Garam fisiologis (NaCl 0,9%) dan/atau mukolitik dapat ditambahkan dalam
cairan nebulisasi. Penggunaan mukolitik masih dipertanyakan karena dengan
pemberian garam fisiologis saja sudah memadai. Nebulisasi serupa dapat diulang
dua kali lagi dengan selang 20 menit dan pada pemberian kedua dapat
ditambahkan prednison oral 1 mg/kg/kali dan O2. Pemberian O2 dan
prednison ini juga dapat diberikan segera bila penderita datang dalam serangan berat.
Pemberian prednison sistemik awal dapat mencegah penderita untuk dirawat di
rumah sakit. Dan pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik.
Jika menurut penilaian awal pasien jelas dalam serangan berat, maka langsung berikan
nebulisasi β2 agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan
serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan
refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi β2 agonis. Pasien
seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk
mendapat obat intravena (steroid dan aminofilin) selain diatasi masalah
dehidrasi dan asidosisnya.
Serangan Ringan
Pada serangan ringan pemberian β2 agonis saja sudah cukup. Pemberian
β2 agonis sebaiknya diberikan secara inhalasi (baik dengan MDI= Metered Dose
Inhaler atau DPI=Dry Powder Inhaler atau nebulisasi).
Pada pasien yang menunjukkan respons baik (complete response) setelah
pemberian nebulisasi awal, mempunyai arti bahwa derajat serangannya ringan.
Pasien diobservasi selama 1−2 jam, jika respons tersebut bertahan (klinis tetap
baik), pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat bronkodilator (hirupan
atau oral) yang diberikan tiap 4−6 jam. Pada pasien dengan serangan ringan
tidak memerlukan kortikosteroid oral kecuali jika pencetus serangannya adalah
infeksi virus, dan ada riwayat serangan asma berat. Kortikosteroid oral diberikan
jangka pendek (3−5 hari), dengan dosis 1−2 mg/kgBB/hari. Kortikosteroid oral
yang dianjurkan adalah golongan prednison dan prednisolon. Pemberian maksimum
12 kali (episode) pertahun tidak mengganggu pertumbuhan anak. Pasien dianjurkan
kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24−48 jam untuk re-evaluasi
tatalaksananya. Apabila dalam kurun waktu observasi gejala timbul kembali, maka
pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.
Serangan Sedang
Pasien diberikan oksigen, kemudian pasien diobservasi dan ditangani di
Ruang Rawat Sehari (RRS). Di RRS, nebulisasi dilanjutkan dengan β2 agonis +
antikolinergik tiap 2 jam. Bila responsnya baik, frekuensi nebulisasi dikurangi tiap
4 jam, kemudian tiap 6 jam. Jika dalam 12 -24 jam klinis tetap baik, maka pasien
dipulangkan dan dibekali obat seperti pas ien serangan ringan. Bila dalam 12 jam
responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap, dan
mendapat tatalaksana sebagai serangan berat.
Serangan Berat
Pemberian oksigen dilakukan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang
jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami
serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan β2 agonis dan
antikolinergik (ipratropium bromide), tidak perlu melakukan tahapan seperti di
atas(melalui serangan ringan lalu serangan sedang).
Obat-obat β2-agonis yang sering dipakai dalam tata laksana serangan asma
berat adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol. Dosis inhalasi salbutamol 0,1-0,15
mg/kg berat badan/kali, maksimal 5 mg/dosis, dapat diberikan 3 kali dengan interval
20 menit. Dosis inhalasi terbutalin 2,5 mg (1 respules)/kali. Dosis inhalasi fenoterol
0,1 mg/kg berat badan/kali. Pemberian β2-agonis secara intravena secara teori
berguna pada serangan asma berat yang tidak memberikan respon dengan pemberian
secara inhalasi. Tetapi pada beberapa penelitian tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada efek bronkodilatasi dari pasien-pasien yang diberi β2-agonis secara
intravena maupun inhalasi. Kombinasi antara inhalasi β2-agonis dan antikolinergik
(ipatropium bromida) akan memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Kombinasi ini sebaiknya diberikan terlebih dulu sebelum diberikan metil-xantin.
Dosis ipatropium bromida yang dianjurkan adalah 8-20 tetes (usia >6 tahun) dan 4-10
tetes (usia ≤6 tahun) larutan NaCL 0,025%. Metil-xantin (aminofilin) diberikan secara
intravena dengan dosis awal 4-6 mg/kg berat badan dilarutkan dalam dekstrosa 5%
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dan diberikan dalam 20-30 menit. Aminofilin
rumatan diberikan dengan dosis 0,5-1 mg/kg berat badan/jam. Pemberian
kortikosteroid sistemik akan mempercepat perbaikan dari serangan asma.
Kortikosteroid sistemik diberikan jika pada terapi awal serangan (dengan
menggunakan inhalasi b2-agonis) gagal mencapai perbaikan, tetap terjadi serangan
walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid oral, atau pada serangan asma
sebelumnya pasien telah menggunakan kortikosteroid oral. Kortikosteroid dapat
diberikan secara intravena. Metil prednisolon merupakan pilihan utama, dosis yang
dianjurkan 1 mg/kg berat badan tiap 4-6 jam. Hidrokortison 4 mg/kg berat badan tiap
4-6 jam. Deksametason 0,5-1 mg/kg berat badan bolus dilanjutkan dengan 1 mg/kg
berat badan/hari tiap 6-8 jam.
Pada pasien dengan gejala dan tanda Ancaman Henti Napas, pasien harus
langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Apabila fasilitas nebulisasi tidak
tersedia, maka penggunaan obat adrenalin sebagai alternatif dapat digunakan.
Adrenalin 1/1000 diberikan secara intra muskuler, dengan dosis 0,01
ml/kgBB/kali, dengan dosis maksimalnya 0,5 ml/kali. Sesuai dengan panduan
tatalaksana di IGD, adrenalin dapat diberikan 3 kali berturut dengan selang 20 menit.
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. P
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 8 Tahun 3 bulan
No. RM : 357466
Alamat : Seliling Rt. 02 / 05 Alian Kab. Kebumen
TANDA-TANDA VITAL
• Keadaan Umum : Tampak sakit berat,
• Kesadaran : Compos mentis, GCS=15 E4M6V5
• Tekanan Darah : - mmHg
• Nadi : 140 kali/menit, kuat angkat normal, reguler
• Pernapasan : 55 kali/menit, reguler, SpO2 : 90%
• Suhu : 360C
• Berat Badan : 36 Kg
• Tinggi Berat : 134 cm
• BB/ U : > 2 SD (Overweight)
• TB/ U : 1 SD (Normal)
• BB/ TB : 1,6 SD (Normal)
• Kesan : Status Gizi Normal
STATUS GENERALIS
Kepala
• Kepala : Normocephali, deformitas (-), napas cuping hidung (-)
• Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat/bulat,
isokor/isokor, mata cekung (-/-)
Leher
Jejas (-), pergeseran trakea (-), pembesaran KGB (-/-)
Toraks
• Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada dinding
dada yang tertinggal, retraksi substernal (+)
Palpasi : sterm fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler (+/+), suara tambahan : ronkhi
(-/-), Wheezing (+/+) seluruh lapang paru
• Jantung
Inspeksi :Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi :Batas Jantung normal
Auskultasi :Bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : Datar, jejas (-), sikatriks (-), pelebaran vena (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran
• Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Akral hangat, capiler refilling time <2 detik, edema tidak ada, sianosis(-), turgor kulit
normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (19/12/17)
Kesan :
• Leukositosis
•
RESUME
• Anamnesis:
Pasien laki-laki, usia 8 tahun 3 bulan
Keluhan utama: dispneu sejak 1 hari SMRS
Sesak dirasakan makin lama makin berat hingga hanya bisa istirahat
Berbicara kata per kata
Pasien sehari sebelumnya sempat berobat di IGD dan dinyatakan membaik
• Pemeriksaan fisik:
Tanda-tanda vital
• Keadaan Umum : Tampak sakit berat,
• Kesadaran : Compos mentis, GCS=15 E4M6V5
• Tekanan Darah : - mmHg
• Nadi : 140 kali/menit, kuat angkat normal, reguler
• Pernapasan : 35 kali/menit, reguler, SpO2 : 90%
• Suhu : 360C
• Berat Badan : 36 Kg
• Tinggi Berat : 134 cm
• BB/ U : > 2 SD (Overweight)
• TB/ U : 1 SD (Normal)
• BB/ TB : 1,6 SD (Normal)
• Kesan : Status Gizi Normal
Toraks
• Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi substernal (+)
Palpasi : Sterm Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler (+/+), Wheezing (+/+) seluruh lapang paru
Ekstremitas
• Akral hangat, capiler refilling time <2 detik, edema tidak ada, sianosis(-), turgor kulit
normal
• Pemeriksaan Penunjang:
• Leukositosis
DIAGNOSIS
• Diagnosis Kerja :
• Laki-laki 8 tahun 3 bulan dengan Obs. Dyspneu e.c. Asma Eksaserbasi Akut
• Impending gagal nafas
PENATALAKSANAAN
Penanganan IGD
• O2 nasal kanul 4 lpm
• Nebulizer Combivent : Flexotid = 1 : 1 (07.00)
• Nebulizer Ventolin : Flexotid = 1 : 1 (07.45)
• Nebulizer Ventolin 1 Fl + 3 cc NaCl (10.40)
• Inf KAEN 3B 16 tpm
PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
O2 3 lpm BLPL
P Inf KAEN 3B 16tpm (makro) P Dexamethasone Tab 3 x 1
Injeksi Dexamethasone 3 x 5 mg Lasal syr 3 x cth 11/2
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Teori Serangan berat Kasus
Sesak Nafas Berat Sesak Nafas makin memberat
Berbicara kata per kata Berbicara kata per kata
Istirahat sesak nafas walaupun istirahat masih sesak
Pemeriksaan Fisik
Teori serangan berat Kasus
sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop Wheezing seluruh lapang paru
retraksi dalam disertai napas cuping hidung retraksi substernal (+)
Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
SpO2 ≤ 90% SpO2 90%
Tatalaksanan Awal
Teori Kasus
Nebulizer pengulangan sampai 3x Nebulizer 3x tidak ada perbaikan
jika tidak ada perbaikan treatment ke
serangan berat
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di atas sudah sesuai
dengan teori untuk diagnosis status asmatikus/ serangan asma berat.
B. TATALAKSANA
Teori Kasus Pembahasan
Atasi asidosis dan dehidrasi Inf KAEN 3B 16 tpm pada pasien ini tidak ada
dehidrasi dan asidosis
sehingga inf KAEN 3B
sudah tepat
Pemberian O2 Nasal Canul O2 3-4 lpm Pada pasien ini memerlukan
GINA : anak saturasi dari SpO2 : 90% sehingga terapi O2
dipertahankan 94-98 % jadi 96%
Nebulisasi 3x selang Nebulizer Combivent Pada pasien ini memerlukan
20 menit, nebul : Flexotid = 1 : 1 terapi nebulisasi
terakhir + anti (07.00)
kolinergik Nebulizer Ventolin :
Jika serangan berat Flexotid = 1 : 1
nebulisasi 1x + (07.45)
antikolinergik Nebulizer Ventolin 1
Nebulisasi β2 agonis Fl + 3 cc NaCl
+ antikolinergik (10.40)
dengan oksigen Nebulizer Ventolin 1
dilanjutkan tiap 1-2 resp + 3 cc NaCl per
jam, jika dalam 4-6 4 jam
kali pemberian telah
terjadi perbaikan
klinis, jarak
pemberian dapat
diperlebar menjadi
tiap 4 -6 jam.
Bila telah terjadi
perbaikan klinis,
nebulisasi diteruskan
tiap 6 jam hingga 24
jam, dan steroid serta
aminofilin diganti
pemberian peroral.
GINA menyarankan
pemberian
ipratropium bromide
Bila pasien belum mendapat Loading Aminophilin Pada pasien ini memerlukan
aminofilin sebelumnya, 200 mg dalam 30 ml aminophilin dosis inisial
diberi aminofilin dosis awal NaCl habis dalam 30 sebesar 144 – 216 mg.
(inisial) sebesar 4-6 menit (11.00)
mg/kgBB dilarutkan dalam Maintenance
dekstrose atau garam Aminophilin 240 mg
fisiologis sebanyak 20 ml, dalam NaCl 48 ml
diberikan dalam 20-30 menit. Kecepatan 2 ml/ jam
Selanjutnya aminofilin dosis
rumatan diberikan sebesar
0,5-1 mg/kgBB/jam.
Jika pasien telah mendapat
aminofilin (kurang dari 6-8
jam), dosis awal aminofilin
diberikan 1/2nya.
Sebaiknya kadar aminofilin
diukur dan dipertahankan 10-
20 mcg/ml.
Bila telah terjadi perbaikan
klinis, nebulisasi diteruskan
tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
steroid serta aminofilin
diganti pemberian peroral.
GINA : -
Steroid 6-8 jam Injeksi Dexamethasone 3 x 5 Pada pasien ini memerlukan
GINA : Steroid oral / mg steroid
iv
Metil prednisolon
merupakan pilihan
utama, dosis yang
dianjurkan 1 mg/kg
berat badan tiap 4-6
jam. Hidrokortison 4
mg/kg berat badan
tiap 4-6 jam.
Deksametason 0,5-1
mg/kg berat badan
bolus dilanjutkan
dengan 1 mg/kg berat
badan/hari tiap 6-8
jam.
Foto thorak Rontgen Thorak Cito Pada pasien ini memerlukan
GINA : penilaian awal fungsi penilaian awal fungsi paru
paru
Rawat ruang intesif jika ada Rawat PICU pada pasien ini ada ancaman
ancaman gagal nafas gagal nafas sehingga
memerlukan perawatan
intensif
DAFTAR PUSTAKA
1. Ariz Pribadi, Darmawan BS, Serangan Asma Berat pada Asma Episodik Sering, Sari
Pediatri, Vol. 5, No. 4, Maret 2004: 171 – 177.
2. Depaertemen Anak FK UI, Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada
Anak, FK UI, 2013.
3. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 2012.
4. Global Strategy for Asthma Management and Prevention (GINA), 2016.
5. Konsensus Nasional Asma Anak, Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 – 66.
6. UKK Pulmonologi IDAI, Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004.