Bagian penting dalam hubungan dokter pasien adalah kepercayaan. Untuk menerima
perawatan medis, seorang pasien harus membuka rahasia kepada dokter mengenai informasi
yang mungkin tidak ingin diketahui orang lain. Mereka memiliki alasan yang kuat mempercayai
dan mempercayakan dirinya pada dokter, hal ini terjadi karena dokter telah dinyatakan sebagai
seorang profesional.
Kepercayaan ini mengandalkan kompetensi dan kesedian dokter untuk memperdulikan
pasien, sehingga seorang pasien harus bisa dengan perasaan lega dan aman serta tidak khawatir
menaruh kepercayaan kepada dokternya, bahwa rahasia yang diceritakan kepada dokter tidak
akan diungkap lebih lanjut olehnya. Dengan demikian ia bebas dan sejujurnya mau menceritakan
segala sesuatu yang dirasakan kepada dokter.
Hak atas rahasia medis adalah hak pasien yang merupakan hak pasien untuk meminta
bahwa rahasia yang diceritakan kepada dokternya tidak diungkapkan lebih lanjut.Namun pasien
juga bisa mengizinkan sang dokter untuk mengungkapkan kepada pihak yang berkepentingan.
Pada kasus HIV kewajiban seorang dokter menyimpan kerhasiaan bertujuan bukan
hanya melindungi kerahasiaan orang seorang secara pribadi akan tetapi
juga menjaga
Tarigan
Dengan fasilitas dan spesialisasi dokter yang lengkap sehingga memberikan rasa
kepercayaan kepada masyarakat untuk berobat ke rumah sakit (Profil Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik, 2010). Pada kenyataannya di dalam masyarakat terdapat beraneka ragam
kepercayaan terhadap pelayanan yang diberikan oleh pihak penyelenggara kesehatan (Sudarmo,
2008).
Menurut Ramsey dan Sohi dalam Sunanti (2007), kepercayaan merupakan elemen
penting yang berpengaruh pada kualitas suatu hubungan. Kepercayaan konsumen terhadap
penyedia jasa akan meningkatkan nilai hubungan yang terjalin dengan penyedia jasa. Demikian
juga Morgan dan Hunt dalam Sunanti (2007) menyatakan bahwa tingginya kepercayaan akan
dapat berpengaruh terhadap menurunanya kemungkinan untuk melakukan perpindahan terhadap
penyedia jasa lainnya.
Menurut Supari (2008) bahwa rumah sakit di Indonesia harus membenahi diri masingmasing untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa layanan kesehatan
rumah sakit. Pola pikir bisnis seringkali mendominasi pola pikir para pelaku institusi rumah sakit
yang mengakibatkan terabaikannya fungsi sosial rumah sakit. Hal ini tercermin dari banyaknya
keluhan, tuntutan hukum, serta pengungkapan media massa terhadap pihak rumah sakit, seperti
keluhan lamanya pasien mendapatkan pelayanan dari dokter, kasus mal praktek yang dikeluhkan
pasien sehingga munculnya tuntutan hukum dari pasien kepada pihak rumah sakit. Oleh karena
itu, rumah sakit perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan memperhatikan hak-hak
keselamatan pasien.
Anderson (1995) dalam Notoatmodjo (2005) bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
pencarian pelayanan kesehatan dapat digolongkan ke dalam 3 bagian yaitu (a) faktor predisposisi
yang
menggambarkan
karakteristik
pasien
yang
mempunyai
kecenderungan
untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan terdiri dari demografi, struktur sosial, kepercayaan, (b)
faktor pemungkin (enabling factor) yang terdiri dari kualitas pelayanan kesehatan, jarak
pelayanan, status sosial ekonomi dan (c) kebutuhan pelayanan (need) yaitu keadaan status
kesehatan seseorang menimbulkan suatu kebutuhan yang dirasakan dan membuat seseorang
megambil keputusan untuk mencari pertolongan kesehatan dan keputusan untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan merupakan kombinasi dari kebutuhan normatif dengan kebutuhan yang
dirasakan, karena untuk konsumsi pelayanan kesehatan.
Kepercayaan Masyarakat
- Sikap terhadap pelayanan kesehatan
- Persepsi tentang pelayanan kesehatan
- Pengetahuan tentang pelayanan kesehatan
Tampubolon
Kepercayaan merupakan hal yang sangat penting untuk diciptakan di antara pasien
dengan dokter yang merupakan salah satu tenaga paramedis. Menurut Hanafiah (2009) setiap
pasien perlu untuk yakin pada dokternya dan yakin sembuh. Bila pasien tidak percaya lagi akan
kemampuan dokternya dalam menangani penyakitnya, maka sang pasien ataupun sang dokter
dapat memutuskan kontrak terapeutik yang ada di antara dokter-pasien. Tidak adanya
kepercayaan atau tingkat kepercayaan yang rendah akan mempersulit proses pengobatan yang
seharusnya dilakukan. Hal ini tentu merugikan semua pihak baik pasien maupun tenaga medis.
Thom (2011) menemukan bahwa pasien dengan tingkat kepercayaan yang rendah akan
lebih sulit mengikuti nasehat dokter dan mengalami derajat peningkatan kesehatan yang tidak
tinggi. Kao (1998) dalam penelitiannya di beberapa negara bagian Amerika Serikat menemukan
bahwa tingkat kepercayaan pasien terhadap dokter cukup tinggi. Kayaniyil (2009) menemukan
bahwa tingkat kepercayaan pasien tidak terlalu bergantung pada kompetensi dokter. Sedangkan
hasil penelitian Kurniasih (2010) di Semarang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan terhadap tingkat kepercayaan pasien terhadap pengobatan medis.
Kepercayaan (trust) merupakan kesediaan (willingness) individu untuk mengantungkan
dirinya pada pihak lain yang terlibat pertukaran karena individu mempunyai keyakinan
(confidence) terhadap pihak lain(Moorman,1993 dalam Darsono, 2008). Sedangkan Krech
(1962, dalam Sarwono, 1997) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan gambaran sikap untuk
menerima suatu pernyataan atau pendirian tanpa menunjukkan sikap pro atau kontra.
Kepercayaan lebih mudah untuk tumbuh di antara orang-orang yang memiliki kapentingan dan
tujuan yang sama, sehingga lebih mudah untuk mengubah kepercayaan individu daripada
mengubah kepercayaan suatu kelompok.
Kepercayaan merupakan bagian dari sikap. Sikap terdiri dari aspek kognitif, afektif dan
konasi. Kepercayaan adalah aspek yang dibentuk dalam kognitif (Azwar, 2007). Sikap itu sendiri
merupakan suatu perilaku pasif yang tidak kasat mata, namun tetap akan mempengaruhi perilaku
aktif yang kasat mata (Sarwono, 1997). Dengan adanya kepercayaan, seorang individu akan
bersedia mengambil risiko yang mungkin terjadi dalam hubungannya dengan pihak lain (Mayer,
1995). Ketergantungan pada pihak lain selalu terlibat dengan tingkat kepercayaan.
kepercayaan konsumen (pasien) dihubungkan secara langsung untuk memenuhi harapan, maka
kepuasan sepanjang waktu dapat memperkuat reliabilitas yang dirasakan (perceived reliability)
dari RSUD dan memberi kontribusi pada kepercayaan konsumen (pasien) dan masyarakat
(Ganesan, 1994 dalam Tax et al., 1998).
Kepercayaan, adalah kata-kata, janji-janji, pernyataan-pernyataan verbal maupun tertulis
yang dapat dipegang dan diandalkan oleh individu atau kelompok. Kepercayaan semakin besar
atau kuat jika RSUD menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan pengguna jasanya. Adapun
penilaian respon RSUD diwujudkan konsumen (pengguna jasa) dalam bentuk kepuasan terhadap
penanganan keluhan. Semakin cepat respon RSUD dalam menangani keluhan maka kepuasan
pengguna jasa semakin besar, dan kepercayaan semakin meningkat. Sebaliknya respon yang
lambat dalam menangani keluhan maka kepuasan pengguna jasa menurun, dan selanjutnya
kepercayaan juga menurun. Dengan demikian kepuasan terhadap penanganan keluhan dapat
berfungsi sebagai variabel pemoderasi yang dapat menguatkan atau melemahkan hubungan
antara ketiga dimensi keadilan dengan kepercayaan.
Semakin tinggi keadilan distributif yang dirasakan dan kepuasan terhadap penanganan
keluhan, maka semakin tinggi kepercayaan publik. Sebaliknya, semakin rendah keadilan
distributif yang dirasakan dan kepuasan terhadap penanganan keluhan, maka semakin rendah
kepercayaan publik.
Semakin tinggi keadilan prosedural yang dirasakan dan kepuasan terhadap penanganan
keluhan, maka semakin tinggi kepercayaan publik. Sebaliknya semakin rendah keadilan
prosedural yang dirasakan dan kepuasan terhadap penanganan keluhan, maka semakin rendah
kepercayaan publik.
Semakin tinggi keadilan interaksional yang dirasakan dan kepuasan terhadap
penanganan keluhan, maka semakin tinggi kepercayaan publik. Sebaliknya semakin rendah
keadilan interaksional yang dirasakan dan kepuasan terhadap penanganan keluhan, maka
semakin rendah kepercayaan publik.
Mulyana
Rumah sakit sebagai sebuah lembaga atau organisasi yang tujuan utamanya adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat sekitar, di mana pendapatan yang didapat oleh rumah sakit
diperoleh dari jumlah pasien yang mempercayakan rumah sakit untuk tempatnya memperoleh
layanan kesehatan. Sehingga penting bagi manajemen rumah sakit untuk mempertahankan
kepercayaan kepada pasien dan bahkan meningkatkannya menjadi lebih baik. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Supari (2008), bahwa rumah sakit di Indonesia harus membenahi diri masingmasing untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa layanan kesehatan
rumah sakit.
Pola pikir bisnis seringkali mendominasi para pelaku institusi rumah sakit yang
mengakibatkan terabaikannya fungsi sosial rumah sakit. Hal ini tercermin dari banyaknya
keluhan, tuntutan hukum, serta pengungkapan media massa terhadap pihak rumah sakit. Oleh
karena itu, rumah sakit perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan memperhatikan
hak-hak keselamatan pasien.
Menurut Jiun (2005), sudah menjadi tugas dari manajemen rumah sakit untuk bisa
meningkatkan jumlah pasien dan meningkatkan kepercayaan untuk berobat. Sehingga rumah
sakit akan mendapatkan profit untuk bisa bertahan dalam kondisi perekonomian yang selalu
berfluktuasi. Berdasarkan temuan Achmad Hardiman (2003), sistem pelayanan kesehatan di
Indonesia belum baik.
rumah sakit belum mampu menjamin mutu pelayanan kesehatan, misalnya dokter sering
terlambat datang, pasien harus menunggu lama untuk mendapat pelayanan, belum menyediakan
ruang tunggu yang nyaman, belum ada kontinuitas pelayanan, belum bisa menjamin waktu
penyerahan obat serta belum mampu membuat sistem peresepan on line lewat komputer. Masih
banyak rumah sakit yang belum consumer oriented, belum memberikan kemudahan akses
pelayanan bagi pasien. Hal tersebut membuktikan bahwa kepuasan hanya dapat dicapai jika
pihak rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien. Jika pasien merasa
puas maka akan meningkat pula kepercayaan mereka akan jasa kesehatan di Rumah Sakit
Ganesha.
Kepercayaan konsumen dapat terbentuk apabila penyedia jasa dapat dipercaya atau
diandalkan dalam memenuhi janjinya (Sideshmuhk dkk,2002:17). Menurut Bologlu (2002:50)
dimensi kepercayaan didefinisikan sebagai dimensi hubungan bisnis yang menentukan tingkat
dimana orang merasa dapat bergantung pada integritas janji yang ditawarkan oleh orang lain.
Akan tetapi membangun sebuah kepercayaan membutuhkan waktu yang lama dan hanya
berkembang setelah pertemuan yang berulang kali. Pihak rumah sakit harus mampu memberikan
pelayanan yang optimal secara berkelanjutan untuk menanamkan persepsi baik di benak pasien.
Hal ini menunjukkan bahwa membangun hubungan yang dapat dipercaya akan lebih mungkin
terjadi dalam sektor industri tertentu, terutama yang melibatkan pengambilan risiko oleh
pelanggan dalam jangka pendek atau jangka panjang (Barnes, 2003:149). memahami kebutuhan
dari konsumen sehingga pasien menaruh kepercayaan untuk melakukan jasa layananan
kesehatan. Salah satu faktor yang paling dominan adalah dokter sebagai pelaku aktif dan
pengambil keputusan medis dalam organisasi rumah sakit. Sehingga secara tidak langsung
kualitas dokter akan membentuk image suatu rumah sakit dimana dia bekerja.
Kepercayaan pasien yang tinggi terhadap layanan rumah sakit dan didukung pula oleh
kualitas pelayanan rumah sakit yang optimal, tentunya akan meningkatkan kepuasan pasien. Di
mana salah satu aspek kepuasan pasien adalah pasien memperoleh haknya dan diberi kesempatan
melaksanakan kewajibannya (Daldiyono, 2007). Dokter memiliki kewajiban untuk bertanggung
jawab terhadap penyelesaian masalah pasien (Karmaya, 2008). Hubungan antara dokter dan
pasien seperti ini disebut provider and consumer relationship. Hubungan ini membuat jarak
psikologis antara dokter dan pasien seolah menandatangani kontrak perjanjian dimana pasien
harus membayar dan dokter harus bekerja. Dengan demikian terasa unsur bisnis yang kental dari
hubungan antara dokter dan pasien (Daldiyono, 2007). Hal ini sangat terasa terjadi di rumah sakit
swasta dimana pihak manajemen harus mengejar profit sebesar-besarnya untuk kelangsungan
hidup perusahaan.
Dalam studi ini, sejalan dengan riset Costabile (2002) kepercayaan atau trust
didefinisikan sebagai persepsi akan keterandalan dari sudut pandang konsumen didasarkan pada
pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya
harapan akan kinerja produk dan kepuasan. Sedangkan Sideshmuhk dkk, (2002:17),
Kepercayaan konsumen juga didefenisikan bahwa penyedia jasa dapat dipercaya atau diandalkan
dalam memenuhi janjinya. Menurut Barnes (2003:149), beberapa elemen penting dari
kepercayaan adalah:
1) Kepercayaan merupakan perkembangan dari pengalaman dan tindakan masa lalu.
2) Watak yang diharapkan dari partner, seperti dapat dipercaya dan dapat diandalkan.
3) Kepercayaan melibatkan kesediaan untuk menempatkan diri dalam risiko.
4) Kepercayaan melibatkan perasaan aman dan yakin pada diri partner.
Menurut Ballestar et all (2001), dimensi kepercayaan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1) Fiability
Merek dapat membantu / memuaskan kebutuhan konsumen. Merek mempengaruhi keyakinan
individu untuk memenuhi janji dalam operasi produk.
2) Intentionality
Dimensi yang merefleksikan suatu perasaan aman yang membuat individu merasa ada jaminan
bahwa merek akan bertanggung jawab dan memperhatikan konsumen.
Sedangkan menurut Garbarino dan Johnson (1999), kepercayaan secara umum dipandang
sebagai unsur dasar kesuksesan hubungan dan juga menekankan bahwa kepercayaan sebagai
keyakinan pada kejujuran dan integritas pihak lain seperti tenaga penjual atay wiraniaga.
Variabel pengukuran kepercayaan terdiri atas :
1) Kualitas layanan yang ditawarkan (Quality of the services offered)
adalah kepercayaan pelangan akan konsistensi perusahaan dalam memberikan layanan yang
berkualitas dan selalu menghasilkan produk yang berkualitas.
2) Kehandalan layanan yang ditawarkan (Reliability of services offered) adalah kepercayaan
pelanggan akan kehandalan layanan yang diberikan perusahaan.
Kenyamanan yang terpenting dirasakan dari kinerja dan kualitas pelayanan yang
diberikan oleh staf rumah sakit. Kualitas layanan dan kinerja yang sesuai dengan harapan atau
lebih akan memberikan kepuasan bagi pasien, sebaliknya jika kualitas layanan dan kinerja yang
diberikan tidak sesuai dengan harapan maka pasien akan merasa tidak puas. Kepuasan pasien
secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa kepercayaan terhadap rumah sakit dan
menumbuhkan citra baik dalam benak pasien. Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Kotler
(2005:122-123) merumuskan model mutu yang terdiri atas lima dimensi kualitas jasa yang
diukur melalui: bukti fisik (tagibles), reliabilitas (reliability), daya tanggap (responsiveness),
jaminan (assurance), dan empati (empathy).
Kau and Loh (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepuasan
pelanggan dan kualitas pelayanan. serta kepuasan pelanggan dan kepercayaan. Kecenderungan
pasien seperti ini juga pernah diteliti sebelumnya oleh Kusmanto (2008), yang mengangkat
masalah mengenai kecenderungan orang untuk berobat keluar negeri ketimbang di RSUP
Sanglah Denpasar. Metode yang digunakan adalah path analysis untuk mengetahui pengaruh
kualitas jasa terhadap persepsi dan dampaknya terhadap pembelian ulang. Penelitian ini
dilakukan pada 107 anggota rotarian dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa variable
tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy berpengaruh positif dan signifikan
terhadap costumer perceived service quality sebesar 72,9 %. Sedangkan customer perceived
service quality berpengaruh positif dan significant terhadap repurchasing decision sebesar 33,7
%. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa kelima dimensi kualitas jasa mempengaruhi persepsi
konsumen dan niat untuk melakukan pembelian ulang.
Kualitas pelayanan berpengaruh terhadap kepuasan dan kepercayaan pasien juga diteliti
sebelumnya oleh Susanto (2009). Disertasi ini meneliti tentang lima variabel yang dapat
digunakan manajemen rumah sakit untuk mencapai kualitas pelayanan dan meningkatkan
kepercayaan pasien terhadap rumah sakit dengan jumlah sampel sebanyak 200 pasien di empat
RSUD tingkat kabupaten dan satu RSUD tingkat kota. Lima Variabel tersebut adalah kualitas
layanan, citra, kepuasan pasien, kepercayaan, dan loyalitas pasien. Kualitas pelayanan tersebut
dibentuk dengan beberapa indikator seperti pemahaman perawat terhadap pasien, kepercayaan
pasien dalam pengobatan, staf administrasi dan penanganan cepat oleh staf administrasi. Terkait
dengan citra, disertasi ini diukur dengan indikator kesediaan rumah sakit dalam memberikan
informasi dan karyawan yang terlatih, sehingga citra RSUD ini juga berpengaruh terhadap
kepuasan pasien. Jadi, semakin baik citra yang dibangun RSUD maka kepuasan pasien akan
semakin meningkat pula.
Manual komunikasi
Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak
bisa diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan,
kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan
terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan
lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan
memberi obat yang tepat bagi pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter
dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif
dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan
pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga
akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan
adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu
menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu
lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil
mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Atas dasar kebutuhan pasien, dokter
melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien. Komunikasi efektif
dokter-pasien adalah kondisi yang diharapkan dalam pemberian pelayanan medis namun disadari
bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan untuk melakukannya. Untuk itu
dirasakan perlunya memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan
berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting
dalam pengembangan komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam
hubungan dokter-pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter
dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif
dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan
pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga
akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan
adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu
menyelesaikan masalah kesehatannya. Berdasarkan hari penelitian, manfaat komunikasi efektif
dokter-pasien di antaranya: Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan
dasar hubungan dokter-pasien yang baik.
Hubungan antara dokter-pasien diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi
keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan
menyebabkan ketidakharmonisan dan kesimpangsiuran. Namun demikian hubungan antara
dokter dan pasien tetap berdasar pada kepercayaan terhadap kemampuan dokter untuk berupaya
semaksimal mungkin membantu menyelesaikan masalah kesehatan yang diderita pasien. Tanpa
adanya kepercayaan maka upaya penyembuhan dari dokter akan kurang efektif. Untuk itu dokter
dituntut melaksanakan hubungan yang setara dengan dasar kepercayaan sebagai kewajiban
profesinya Memahami perspektif pasien adalah sikap yang dianjurkan dalam komunikasi dokterpasien. Sikap tersebut akan mengantar pada pengembangan perilaku dokter yang menunjukkan
adanya penghargaan terhadap kepercayaan pasien yang berkaitan dengan penyakitnya (tidak
menyemooh atau melecehkan), melakukan penggalian (eksplorasi) terhadap keadaan pasien,
memahami kekhawatiran dan harapannya, berusaha memahami ungkapan emosi pasien, mampu
merespon secara verbal dan non-verbal dalam cara yang mudah dipahami pasien. Perhatian
terhadap
biopsikososiobudaya
dan
norma-norma
setempat
untuk
menetapkan
dan
Pasien dan keluarga akan menerima hasil usaha dari seorang dokter, kalau ia percaya
akan keahlian dokter itu dan kesungguhannya, sehingga mereka tidak menganggap menjadi
masalah bila usaha penyembuhn yang dilakukan gagal.
Keadaan psikis /mental pasien harus diperhatikan sehingga penjelasan tentang penyakit
pasien, harus dapat menimbulkan rasa percaya diri bahwa penyakitnya dapat sembuh atau gejala
penyakit dapat berkurang. Kepercayaan itu dapat berkurang bila uraian tentang penyakit
misalnya, keganasan, penyakit jantung, dan lain-lain tidak disertai uraian tentang
penyembuhannya.
Biasanya kalau seseorang sudah percaya pada seorang dokter maka dokter tersebut akan
dicari terus walaupun jauh dari rumahnya.
Menjaga kepercayaan pasien dilakukan dengan cara melakukan sesuatu dengan ramah,
sopan, penuh empati dan belas kasiah. Tentu saja tanpa melupakan sikap etis, bertindak sesuai
standar profesi dan tidak melakuakan tindakan yang tercela atau melanggar hukum.
JAM Vol 22 No 3
Jika supervisor rumah sakit dapat membumikan kepercayaan pada setiap perawat, maka perawat
tak ada alasan untuk tidak mempercayainya dan mendorong untuk semakin loyal seperti yang
dikemukakan Yukl (2010) bahwa dengan penampilan perilaku dan kinerja jauh di atas yang
diharapkan. Di antara faktor tersebut adalah kepercayaan personil pada setiap jajaran dan
tingkatan kepemimpinan. Adanya kepercayaan bawahan terhadap pimpinan seperti dikatakan
Barki dan Hartwick (2001) menjadi faktor kunci terjadinya kooperasi kegiatan organisasi.
Morgant dan Hunt (1994) juga mengatakan bahwa kepercayaan bawahan terhadap pimpinan
berhubungan secara positif dengan keunggulan kualitas kooperasi, koordinasi, konflik
fungsional, dan persetujuan yang bersifat positif.
CIV0608
Di Amerika Serikat, suatu survei yang dilakukan oleh Construction Industry Institute (CII) pada
proyek kemitraan menemukan bahwa partisipan melihat kepercayaan sebagai suatu faktor sukses
kunci proyek kemitraan
Kepercayaan adalah keyakinan dari semua pihak terhadap satu dengan yang lainnya yang dapat
diandalkan dalam memenuhi kewajiban dari hubungan timbal balik.
Menurut Swan et al [15] kepercayaan antar partisipan dapat disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Reputasi seseorang dalam suatu organisasi akan sangat menentukan dan mempunyai
dampak terhadap kepercayaan, dimana seseorang akan lebih melihat kepada individu
dibandingkan kepada perusahaan. Fokus faktor internal lebih mengarah kepada karakteristik
masing-masing individu yang terlibat, yang meliputi pengalaman di bidang konstruksi dan lama
bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Di lain pihak, faktor eksternal mengacu pada karakteristik perusahaan (seperti usia dan
kategori perusahaan, dan lama hubungan kemitraan), dan karakteristik proyek (seperti jenis dan
nilai proyek, serta jenis dan nilai proyek yang disubkontrakkan).
Integritas artinya jujur dalam perkataan dan konsisten dalam tindakan. Konsistensi
merupakan dasar dari integritas. Terdapat empat tipe konsistensi, yang harus dicermati untuk
memenangkan atau meraih kepercayaan orang lain, yaitu:
Sesuatu yang diungkapkan kepada orang lain mencerminkan apa yang diketahui
Perkataan harus sesuai dengan perilaku
Perilaku yang konsisten terhadap segala situasi
Perilaku yang konsisten dengan berjalannya waktu
Chapter ii
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana kita
memiliki keyakinan padanya. Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi
seseorang dan konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil suatu keputusan, ia akan lebih
memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang- orang yang lebih dapat ia percaya dari pada
yang kurang dipercayai (Moorman, 1993).
Menurut Rousseau et al (1998), kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan
perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang
lain. Kepercayaan konsumen didefinisikan sebagai kesediaan satu pihak untuk menerima resiko
dari tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa pihak lain akan melakukan tindakan penting
untuk pihak yang mempercayainya, terlepas dari kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan
tindakan pihak yang dipercaya (Mayer et al, 1995).
Menurut Ba dan Pavlou (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai penilaian hubungan seseorang
dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu sesuai dengan harapan dalam sebuah
lingkungan yang penuh ketidakpastian.
Kepercayaan terjadi ketika seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang yang
dipercaya (Morgan & Hunt, 1994).
Doney dan Canon (1997) bahwa penciptaan awal hubungan mitra dengan pelanggan
didasarkan atas kepercayaan. Hal yang senada juga dikemukakan oleh McKnight, Kacmar, dan
Choudry (dalam Bachmann & Zaheer, 2006), menyatakan bahwa kepercayaan dibangun sebelum
pihak-pihak tertentu saling mengenal satu sama lain melalui interaksi atau transaksi. Kepercayaan
secara online mengacu pada kepercayaan dalam lingkungan virtual.
Menurut Rosseau, Sitkin, dan Camere (1998), definisi kepercayaan dalam berbagai konteks
yaitu kesediaan seseorang untuk menerima resiko. Diadaptasi dari definisi tersebut, Lim et al
(2001) menyatakan kepercayaan konsumen dalam berbelanja internet sebagai kesediaan konsumen
untuk mengekspos dirinya terhadap kemungkinan rugi yang dialami selama transaksi berbelanja
melalui internet, didasarkan harapan bahwa penjual menjanjikan transaksi yang akan memuaskan
konsumen dan mampu untuk mengirim barang atau jasa yang telah dijanjikan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepercayaan konsumen adalah kesediaan satu pihak menerima
resiko dari pihak lain berdasarkan keyakinan dan harapan bahwa pihak lain akan melakukan tindakan
sesuai yang diharapkan, meskipun kedua belah pihak belum mengenal satu sama lain.
Menurut McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam Bachmann & Zaheer, 2006), kepercayaan
dibangun antara pihak-pihak yang belum saling mengenal baik dalam interaksi maupun
proses transkasi. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua dimensi kepercayaan
konsumen, yaitu:
a. Trusting Belief
Trusting belief adalah sejauh mana seseorang percaya dan merasa yakin terhadap orang lain dalam
suatu situasi. Trusting belief adalah persepsi pihak yang percaya (konsumen) terhadap pihak
yang dipercaya (penjual toko maya) yang mana penjual memiliki karakteristik yang akan
menguntungkan konsumen. McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada tiga elemen yang
membangun trusting belief, yaitu benevolence, integrity, competence.
i. Benevolence
Benevolence (niat baik) berarti seberapa besar seseorang percaya kepada penjual untuk berperilaku
baik kepada konsumen. Benevolence merupakan kesediaan penjual untuk melayani
kepentingan konsumen.
ii.Integrity
Integrity (integritas) adalah seberapa besar keyakinan seseorang terhadap kejujuran penjual untuk
menjaga dan memenuhi kesepakatan yang telah dibuat kepada konsumen.
iii. Competence
Competence (kompetensi) adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki penjual
untuk membantu konsumen dalam melakukan sesuatu sesuai dengan yang dibutuhkan
konsumen tersebut. Esensi dari kompetensi adalah seberapa besar keberhasilan penjual untuk
menghasilkan hal yang diinginkan oleh konsumen. Inti dari kompetensi adalah kemampuan
penjual untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
b. Trusting Intention
Trusting intention adalah suatu hal yang disengaja dimana seseorang siap bergantung pada orang
lain dalam suatu situasi, ini terjadi secara pribadi dan mengarah langsung kepada orang lain.
Trusting intention didasarkan pada kepercayaan kognitif seseorang kepada orang lain.
McKnight et al (2002a) menyatakan bahwa ada dua elemen yang membangun trusting
intention yaitu willingness to depend dan subjective probability of depending.
i. Willingness to depend
Willingness to depend adalah kesediaan konsumen untuk bergantung kepada penjual berupa
penerimaan resiko atau konsekuensi negatif yang mungkin terjadi.
ii.Subjective probability of depending
Subjective probability of depending adalah kesediaan konsumen secara subjektif berupa pemberian
informasi pribadi kepada penjual, melakukan transaksi, serta bersedia untuk mengikuti saran atau
permintaan dari penjual.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepercayaan seseorang. McKnight et al
(2002b) menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen
yaitu perceived web vendor reputation, dan perceived web site quality.
a. Perceived web vendor reputation
Reputasi merupakan suatu atribut yang diberikan kepada penjual berdasarkan pada
informasi dari orang atau sumber lain. Reputasi dapat menjadi penting untuk membangun
kepercayaan seorang konsumen terhadap penjual karena konsumen tidak memiliki pengalaman
pribadi dengan penjual, Reputasi dari mulut ke mulut yang juga dapat menjadi kunci ketertarikan
konsumen. Informasi positif yang didengar oleh konsumen tentang penjual dapat mengurangi
persepsi terhadap resiko dan ketidakamanan ketika bertransaksi dengan penjual. Hal ini dapat
membantu meningkatkan kepercayaan konsumen tentang kompetensi, benevolence, dan integritas
pada penjual.
b. Perceived web site quality
Perceived web site quality yaitu persepsi akan kualitas situs dari toko maya. Tampilan toko maya
dapat mempengaruhi kesan pertama yang terbentuk. Menurut Wing Field (dalam Chen & Phillon,
2003), menampilkan website secara professional mengindikasikan bahwa toko maya tersebut
berkompeten dalam menjalankan operasionalnya. Tampilan website yang professional memberikan
rasa
nyaman kepada pelanggan, dengan begitu pelanggan dapat lebih percaya dan nyaman dalam
melakukan pembelian.
II. A. 4. Cara Meningkatkan Kepercayaan Konsumen Pada Pembelian Melalui Media
internet
Proses yang paling penting dalam pembelian melalui media internet adal;ah dengan meningkatkan
kepercayaan dari konsumen, terutama konsumen yang baru pertama kali mengunjungi toko
maya. Adapun beberapa cara untuk meningktakan kepercayaan konsumen yaitu:
a. Hubungan Antarindividu
Menurut Luhman (1979), interaksi interpersonal dengan orang lain maupun organisasi haruslah
diperluas karena kepercayaan dapat dibangun dengan interaksi yang lebih jauh yang mampu
membuat individu memiliki harapan dengan orang lain atau pihak lain.
b. Penggunaan Media
Kurangnya hubungan antar individu saat berinteraksi secara online disebabkan karena mereka tidak
melihat satu sama lain (Shneiderman, 2000). Penggunaan media juga penting diperhatikan untuk
meningkatkan kepercayaan konsumen. Penggunaan media seperti video, foto, atau lainnya dapat
meningkatkan kepercayaan.
c. Desain Web
Fogg et al (2001) menyatakan bahwa desain toko maya dapat meningkatkan keinginan dan
ketertarikan pengguna internet. Hal ini juga dipertimbangkan untuk mengembangkan kepercayaan
konsumen terhadap toko maya yang memiliki desain yang baik (Egger, 2001).
339
Hal ini penting untuk tetap menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran.
Ketidakpercayaan terjadi apabila masyarakat menilai bahwa
profesi kedokteran gagal dalam mengatur anggota profesinya
untuk menjamin kompetensi, dan meletakkan kepentingannya
di atas kepentingan pasien, serta apabila masyarakat kedokteran
melindungi anggotanya yang tidak kompeten dan tidak
etis atas nama kolegialitas.4