Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

RETIKULOSIT:
PERAN DALAM DIAGNOSIS ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh:
Agus Hariyanto
G4A014011

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2015
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

RETIKULOSIT:
PERAN DALAM DIAGNOSIS ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh:

Agus Hariyanto
G4A014011

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik


SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Margono Soekarjo
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah disetujui oleh dosen pembimbing Referat


Pada tanggal Oktober 2015

Pembimbing,

dr. Qodri Santosa, M.Si., Sp.A.

ii
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. v
I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ...................................................................... 2
C. Manfaat Penulisan .................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
A. Eritropoiesis ............................................................................. 3
B. Peran Besi dalam Eritropoiesis ................................................ 12
C. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi ...................................... 15
D. Penanda Retikulosit Dalam Anemia Defisiensi Besi ............... 20
III. KESIMPULAN ................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 29

iii
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia dan mengenai

hampir seperempat populasi dunia. Sebagai defisiensi mikronutrien paling

banyak di dunia, defisiensi besi dapat mempengaruhi seluruh kelompok usia,

paling banyak usia 0-5 tahun. Pada tahun 2011, prevalensi anemia defisiensi

besi pada anak secara global mencapai mencapai 273 juta (Stevens et al,

2013).

Pada neonatus, kekurangan zat besi tidak jarang terjadi khususnya jika

ditemukan anemia pada ibu. Hal ini terjadi karena adanya mobilisasi

simpanan zat besi yang terakumulasi selama di dalam rahim. Kekurangan zat

besi ringan pada ibu dapat mengurangi simpanan zat besi pada janin sehingga

menyebabkan kondisi kekurangan zat besi setelah terjadi proses kelahiran

(neonatus). Kekurangan zat besi pada neonatus juga lebih besar pada bayi

lahir prematur atau dari ibu diabetes. Insidensi kedua kondisi tersebut

meningkat di seluruh dunia sehingga permasalahan kekurangan zat besi pada

anak akan menjadi perhatian yang besar di masa depan (Stevens et al, 2013).

Penanda anemia defisiensi besi yang sering digunakan adalah penanda

biokimia klasik seperti besi serum, saturasi transferin, dan feritin. Penanda-

penanda ini mungkin tidak informatif atau mungkin tidak berubah dengan

cukup cepat untuk mencerminkan adanya yang kekurangan zat besi yang

bersifat transien (defisiensi besi fungsional). Penggunaan penanda klasik

tersebut juga jarang bermakna pada beberapa kasus seperti anemia pada anak
2

usia dini, anemia karena penyakit kronis atau pada penggunaan terapi

eritropoietin rekombinan (Brugnara, 2003).

Pengetahuan tentang genetika eritropoiesis dan faktor-faktor lain yang

mengatur proses eritropoiesis membawa paradigma baru dalam penegakan

anemia defisiensi besi. Retikulosit yang merupakan eritrosit muda merupakan

penanda hematologi yang banyak diteliti dan dikembangkan dalam

penggunaan penegakan diagnosis anemia defisiensi besi. Dalam referat ini,

akan dibahas peran retikulosit dalam penegakan diagnosis defisiensi besi.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Mengetahui peran retikulosit dalam penegakan diagnosis anemia defisiensi

besi

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui proses eritropoiesis dan peran besi dalam eritropoiesis

b. Mengetahui penanda-penanda retikulosit yang berperan dalam

penegakan diagnosis anemia defisiensi besi.

C. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan referat ini adalah:

1. Memberikan ilmu pengetahuan tentang peran retikulosit dalam pengakan

diagnosis anemia defisiensi besi

2. Menambah refernsi pengetahuan dalam dunia kedokteran


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Eritropoiesis

Proses eritropoiesis tidak dapat dipisahkan dari hematopoiesis. Sistem

hematopoiesis sendiri memiliki karakteristik berupa pergantian sel yang

konstan dengan konsekuensi untuk mempertahankan populasi leukosit,

trombosit dan eritrosit. Sistem hematopoietik dibagi menjadi 3: 1) stem

cell (progenitor awal) yang menyokong hematopoiesis, 2) colony formating

unit (CFU) sebagai pelopor yang selanjutnya berkembang dan berdiferensiasi

dalam memproduksi sel; dan 3) faktor regulator yang mengatur agar sistem

berlangsung beraturan (Lubis, 2005).

Stem cell merupakan satu sel induk (klonal) yang mempunyai

kemampuan berdiferensiasi menjadi beberapa turunan, membelah diri dan

memperbaharui populasi stem cell sendiri di bawah pengaruh faktor

pertumbuhan hematopoietik. Hematopoietik membutuhkan perangsang untuk

pertumbuhan koloni granulosit dan makrofag yang disebut Colony Stimulating

Factor (CSF) yang merupakan suatu glikoprotein. Dalam proses selanjutnya

diketahui regulasi hematopoiesis sangat kompleks dan banyak faktor

pertumbuhan yang berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat untuk

memproduksi faktor-faktor tersebut, termasuk ogan hemoatopoitik (Lubis,

2005).

Perkembangan sistem vaskular dan hematopoiesis dimulai pada awal

kehidupan embrio dan berlangsung secara paralel sampai masa dewasa dan
4

mempunyai hubngan dengan lokasi anatomi yang menyokong hematopoiesis

tersebut (Lubis, 2005).

Gambar 2.1. Hematopoiesis prenatal dan postnatal (Rodak et al, 2007)

Secara garis besar perkembangan hematopoiesis dibagi dalam 3

periode:

1. Hematopoiesis yolk sac (mesoblastik atau primitif)

Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah

fertilisasi. Mula-mula terbentuk dalam blood island yang merupakan

pelopor dari sistem vaskuler dan hematopoiesis. Selanjutnya sel eritrosit

dan megakariosit dapat diidentifikasikan dalam yolk sac pada masa gestasi

16 hari. Sel induk primitif hematopoiesis berasal dari mesoderm

mempunyai respon terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoietin,

IL-3, IL-6 dan faktor stem cell. Sel induk hematopoiesis (blood borne
5

pluripotent hematopoetic progenitors) mulai berkelompok dalam hati

janin pada masa gestasi 5-6 minggu dan pada masa gestasi 8 minggu blood

island mengalami regresi.

2. Hematopoiesis hati (definitif)

Hematopoises hati berasal dari stem cell pluripoten yang berpindah

dari yolk sac. Perubahan tempat hematopoiesis dari yolk sac ke hati dan

kemudian sumsum tulang mempunyai hubungan dengan regulasi

perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi sitokin dan komponen

merangsang adhesi dari matriks ekstraseluler dan ekspresi pada reseptor.

Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoiesis sudah terbentuk dalam hati.

hematopoiesis dalam hati terutama adalah eritropoiesis, walaupun

ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoiesis hati

mencapai puncaknay pada masa gestasi 4-5 kehamilan kemudian

mengalami regresi perlahan-lahan. Pada masa pertengahan kehamilan,

tampak pelopor hematopoieteik terdapat di limpa, thimus, kelenjar limfe,

dan ginjal.

3. Hematopoiesis medular

Merupakan periodie terakhir pembentukan sistem hematopoeisis

dan dimulai sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam

tulang rawan dan tulang panjang dengan proses reabsorpsi. Pada masa

gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang diisi

jaringan hematopoeitik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel

darah. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah


6

diambil oleh sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat

sel darah lagi.

Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel

darah menjadi berkurang tetapi tetap ada pada sumsum tulang, hati, limpa,

kelenjar getah bening dan dinding usus, yang dikenal sebagai sistem

retikuloendotelial. Pada bayi dan anak, hematopoiesis yang aktif terutama

pada sumsum tulang termasuk bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda

dengan dewasa normal di mana hematopoiesis terbatas pada vertebra, tulang

iga, tulang dada, pelvis, skapula dan jarang berlokasi pada humerus dan femur

(Lubis, 2005).

Setiap hari sekitar 1012 eritrosit diproduksi melalui proses eritropoiesis

yang kompleks dan teratur dengan baik. Seperti sel darah lainnya, eritrosit

berasal dari pluripotential hematopoitic stem cell di bawah pengaruh

lingkungan mikro sumsum tulang dan beberapa jenis sitokin tertentu yang

bekerja pada fase awal dari hematopoiesis. Sel induk ini akan berkembang

menjadi stem cell yang committed untuk satu jenis sel darah. Pada proses

eritropoiesis sel ini disebut sebagai committed eritroid progenitor cell. Pada

fase ini sel ini belum bisa dibedakan dengan stem cell lainya dan – seperti juga

stem cell – sel induk eritroid ini beredar secara bebas di darah tepi. Pada

tingkat pula ini mulai akan diekspresikan reseptor sitokin khusus yaitu EpoR

(receptor for erythropoietin). Eritropoitin ini akan merangsang proses

proliferasi dan hyperplasia dari sel induk eritroid. Apabila eritropoitin ini tidak
7

ada maka sel induk eritroid akhirnya akan mati melalui proses apoptosis

(Suega 2010).

Committed eritroid progenitor cell secara berurutan terdiri dari

CFUGEMM (Colony-Forming Unit for Granulocyte, Eritroid, Monocyte,

Megacariocyte), BFUE (Burst-Forming Unit for Eritroid) dan CFUE (Colony-

Forming Unit for Erythroid). Progenitor eritroid ini akan berkembang menuju

prekursor eritrosit pertama yang dapat dikenali dalam sumsum tulang, yaitu

pronormoblas. Pronormobas merupakan sel besar dengan sitoplasma biru tua,

inti terletak sentral dengan anak inti dan kromatin yang sedikit menggumpal.

Pada tahap inilah pertama kali ditemukan adanya pembentukan hemoglobin.

Selanjutnya pronormoblas akan berkembang menjadi sejumlah normoblas

yang lebih kecil melalui sejumlah pembelahan sel yang secara berurutan

meliputi basophilic normoblast, polychromatophilic normoblast, dan

orthochromatophilic normoblast. Proses pembelahan dan perkembangan ini

juga diikuti hemoglobinisasi sehingga semakin lama normoblas makin banyak

mengandung hemoglobin (yang terpulas merah muda) dalam sitoplasmanya.

Normoblas juga mengalami pengurangan RNA dan persiapan sintesis protein

selain hemoglobin. Pengurangan RNA akan membuat normoblas akhir

terpulas biru pucat dalam sitoplasmanya sedangkan hasil sintesis protein

menjadikan kromatin inti menjadi lebih pekat (Hoffbrand & Moss, 2013).
8

Gambar 2.2. Eritropoiesis (Chang et al, 2004)

Pada tahap akhir, inti sel akan dikeluarkan dari normoblas di dalam

sumsum tulang dan menghasilkan stadium retikulosit yang masih mengandung

sedikit RNA ribosomal dan masih mampu menyintesis hemoglobin. Sel-sel

retikulosit ini sedikit lebih besar dari eritrosit matang, menghabiskan waktu 1-

2 hari dalam sumsum tulang dan beredar dalam darah tepi selama 1-2 hari

sebelum menjadi matang, yakni saat RNA hilang seluruhnya. Hasilnya adalah

eritrosit matang yang seluruhnya terpulas merah muda dengan bentuk cakram

bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya menurunkan 16 eritrosit

matang. Eritrosit berinti (normoblas) tidak ada dalam darah tepi manusia yang

normal. Normoblas muncul dalam darah jika eritropoiesis terjadi secara

ekstramedular dan juga pada beberapa penyakit sumsum tulang (Hoffbrand &

Moss, 2013).

Proses pematangan eritroid ini terjadi dalam beberapa hari dan ditandai

dengan: (1) penyempurnaan pembentukan hemoglobin dan protein lainya

seperti halnya eritrosit yang matang; (2) adanya perubahan bentuk dari besar
9

ke lebih kecil, unifom dan berbentuk biconcave discoid; dan (3) terjadinya

degradasi protein plasma dan organel internal serta residual protein lainnya.

Bersamaan dengan adanya perubahan intrinsik ini retikulosit akan bermigrasi

ke sirkulasi darah tepi. Namun demikian populasi retikulosit ini bukanlah

sesuatu yang homogen oleh karena adanya tingkatan maturasi yang berbeda

dari retikulosit tersebut. Dengan meningkatnya rangsangan eritropoisis seperti

misalnya adanya proses perdarahan atau hemolisis, jumlah dan proporsi dari

sel retikulosit muda akan meningkat baik di dalam sumsum tulang maupun di

darah tepi. Ada perbedaan masa hidup antara retikulosit normal dan retikulosit

muda (imatur) yaitu membran retikulosit imatur akan lebih kaku dan tidak

stabil, disamping itu retikulosit imatur ini masih mempunyai reseptor untuk

protein adesif sedangkan retikulosit normal telah kehilangan reseptor ini

begitu sel ini bermigrasi ke perifer. Suatu studi memperkirakan lama waktu

tinggal retikulosit disumsum tulang sebelum memasuki sirkulasi darah tepi

bervariasi antara 17 jam pada tikus normal sampai 6,5 jam pada tikus yang

menderita anemia (Suega, 2010).

Walaupun retikulosit baik di sumsum tulang maupun di darah tepi bisa

dipisahkan dari kontaminasi sel yang sama dari kompartemen yang berbeda

akan tetapi pemisahan ini tidak sempurna sekali sehingga metode untuk

membedakan masih perlu disempurnakan untuk mengetahui dengan tepat

fungsi fisiologis dan maturasi dari retikulosit. Diperkirakan waktu pematangan

retikulosit adalah berkisar antara 2 – 5 jam, tergantung metode yang dipakai,

spesies yang dipelajari dan juga tingkat stimulasi proses eritropoesis tersebut.
10

Faktor yang menentukan kapan retikulosit keluar dari sumsum tulang ke

sirkulasi masih belum jelas diketahui. Ada studi yang mendapatkan bahwa

perbedaan spesies dapat menentukan perbedaan jumlah retikulosit yang

beredar didarah tepi, dimana pada tikus dan babi didapatkan jumlah retikulosit

yang banyak sedang pada manusia, anjing dan kucing jumlahnya sedikit

bahkan pada kuda hampir tidak didapatkan atau sedikit sekali. Perbedaan yang

unik ini bisa dikenali dengan metode manual dengan pengecatan supravital

seperti metode biru metilen (Suega, 2010).

Retikulosit yang sangat muda (imatur) adalah retikulosit yang

dilepaskan ke darah tepi akibat adanya rangsangan akibat anemia dan hal ini

disebut stressed reticulocyte. Retikulosit jenis ini mempunyai masa hidup in

vivo yang lebih pendek apabila di tranfusikan kedalam resipien normal dan

secara umum dianggap sel ini tidak normal karena tidak melalui

perkembangan sel yang normal sampai ke divisi terminal dari perkembangan

retikulosit. Sebuah studi ingin meneliti masa hidup dari retikulosit normal dan

retikulosit stress ini baik pada pasien normal maupun pasien anemia.

Eksperimen ini mendapatkan data: (1) masa hidup retikulosit akan normal

kalau normal retikulosit diinjeksikan ke binatang yang non anemik; (2) oleh

karena gangguan intrinsik dari retikulosit stress, akan menyebabkan sel ini

lebih cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh resepien normal dengan kecepatan

yang lebih besar dibandingkan dengan resepien yang anemia; dan (3) baik

retikulosit normal maupun retikulosit yang stress akan disingkirkan dengan


11

kecepatan yang bertambah dengan berlalunya waktu pada penderita yang

anemia.

Secara keseluruhan data tersebut menunujukkan, pada saat proses

anemia berjalan akan terjadi proses adaptasi yang memungkinkan sel yang

diproduksi selama anemia tersebut akan beredar lebih lama pada binatang

yang dibuat anemi dibandingkan dengan binatang yang normal. Studi yang

lain juga mendukung hal ini dimana didapatkan bahwa peningkatan masa

hidup retikulosit pada binatang yang anemia bukan disebabkan oleh adanya

overload sistem retikoluendotelial akan tetapi hal ini diduga oleh adanya

proses adaptasi lien yang menurunkan aktifitas penghancurannya terhadap

retikulosit yang stress (Suega, 2010).

Gambar 2.3. Pematangan eritroid (Hilman & Ault, 2002).


12

B. Peran Besi dalam Eritropoiesis

Eritropoiesis adalah proses dinamis diatur oleh tekanan oksigen dan

diatur melalui mekanisme molekuler spesifik secara ketat. Mekanisme ini

mengakibatkan sel-sel eritroid tatap teratur dalam hal proliferasi sel,

apoptosis, dan proses maturasi pematangan. Meskipun banyak pertanyaan

masih belum terjawab tentang mekanisme molekuler yang mendasari, terdapat

mekanisme molekuler spesifik yang mengatur proses eritorpoiesis, yaitu

hemoestasis besi/heme selular, hipoksia, stres, faktor pertumbuhan, faktor

transkripsi dan mRNA. Metabolisme besi dan heme seluler adalah dua

regulator yang paling penting dalam eritropoiesis. Besi sepenuhnya diambil

dari plasma melalui interaksi kompleks besi-transferin dengan reseptor

transferin. Heme berasal dari plasma, berasal dari biosintesis protoporfirin IX

di dalam mitokondria menjadi besi-protoporfirin IX (heme) setelah

penggabungan besi dengan bantuan enzim ferrochelatase. Tidak terdapat besi

bebas dan heme di dalam intraselular. Keduanya terikat dengan protein ferritin

(protein untuk penyimpanan besi) dan hemoprotein (protein membawa heme)

(Tsiftsoglou et al, 2009).

Metabolisme besi, heme seluler dan eritropoiesis memiliki keterkaitan.

Sumber utama besi untuk prekursor eritrosit adalah besi plasma berupa besi-

transferin (Fe-Tf). Ketika pasokan besi ke sumsum tulang tidak memadai

karena kekurangan zat besi sistemik atau penyerapan zat besi, akan

mengakibatkan gangguan eritropoiesis yang disebut iron-restricted

erythropoiesis sampai terjadi anemia (Tsiftsoglou et al, 2009).


13

Homeostasis besi pada mamalia diatur pada tingkat penyerapan usus,

menggunakan suatu hormon peptida bernama hepcidin. Hepsidin terutama

diproduksi oleh hepatosit. Hepsidin merupakan regulator negatif masuknya ke

dalam plasma besi dengan mengikat diri kepada ferroportin (suatu transporter

besi pada sel-sel usus duodenum, makrofag, hepatosit, dan sel-sel plasenta).

Jumlah besi yang diserap sebanding dengan konsentrasi ferroportin pada

permukaan sel. Hilangnya ferroportin dari permukaan sel akibat pengikatan

dengan hepsidin mencegah masuknya besi ke dalam plasma., fakta

mengakibatkan rendah. Sebaliknya, penurunan ekspresi hepsidin

menyebabkan peningkatan ferroportin permukaan sel dan meningkatkan

penyerapan zat besi (Tsiftsoglou et al, 2009; Coyne, 2001).

Ekspresi dari gen penyandi hepsidin (hepcidin antimicrobial peptide;

HAMP) diatur pada tingkat transkripsi, sedangkan kadar hepcidin dalam

plasma dipengaruhi oleh rangsangan yang bermacam-macam, termasuk

sitokin (terutama IL-6), besi plasma, eritropoiesis/anemia, dan hipoksia.

Sintesis hepcidin dirangsang oleh peningkatan simpanan besi plasma dan besi

jaringan, dan hepcidin selanjutnya menurunkan pelepasan besi ke plasma, baik

dari makrofag dan dari enterosit serap di duodenum Regulasi hepcidin selama

aktivitas eritropoiesis disebabkan oleh hipoksia atau meningkatnya

eritropoietin, akan tetapi mekanisme ini masih sulit dipahami (De Domenico,

2007).

Heme seluler sangat penting dalam regulasi eritropoiesis. Heme selular

sebagian berasal dari ambilan plasma melalui hemopeksin dan sebagian dari
14

jalur biosintesis de novo di mitokondria. Biosintesis heme meningkat secara

drastis selama eritropoiesis di bawah pengaruh eritropoietin. Peningkatan

biosintesis heme ini penting untuk memenuhi permintaan tambahan besi

dalam kondisi hipoksia atau stres eritropoiesis sehingga produksi sel darah

merah terpenuhi. Sintesis heme diperlukan untuk produksi sejumlah besar

hemoprotein. Hemoprotein inilah yang kemudian akan terlibat dalam respirasi

sel, pensinyalan tekanan O2 dan metabolisme. Selain itu, heme diperlukan

untuk mengatur transkripsi dari gen globin dan nonglobin (Tsiftsoglou et al,

2009).

Dalam regulasi eriropoiesis, dikenal suatu faktor yang disebut HIF

(hypoxia-inducible factor) yang akan memicu pelepasan eritropoietin dari sel-

sel jukstaglomerular yang mengalami hipoksia. Selain itu, HIF

mempromosikan transportasi besi melalui regulasi transferin dan reseptor

transferin reseptor (Tf-R). Lebih lanjut, HIF mengatur hepcidin secara negatif

dengan menekan pelepasan hepsidin sehingga presentasi feroportin dalam sel

meningkat yang pada akhirnya terjadi peningkatan absorpsi besi. Regulasi

penting untuk meningkatkan ketersediaan besi sehingga dapat memenuhi

kebutuhan untuk eritropoiesis (Tsiftsoglou et al, 2009).


15

Gambar. Regulasi eritropoiesis melalui hepsidin (Coyne, 2011)

C. Etiologi dan Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi

Terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan oleh kemampuan

absorpsi besi, diit yang mengandung besi, kebuthan besi yang meningkat dan

jumlah besi yang hilang.

Kekurangan besi dapat disebabkan (Raspati et al, 2005):

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis

a. Pertumbuhan

Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan

masa remaja, kebutuhan besi akan meningkat sehingga pada periode

ini insiden anemia defisiensi besi meningkat. Bayi umr 1 tahun

beratnya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi


16

mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan

pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat

mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3

kali dibanding saat lahir.

b. Menstruasi

Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah

kehilangan darah melalui menstruasi.

2. Kurangnya besi yang diserap

a. Masukan besi dari makanan yag tidak adekuat

Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan

makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan dakan

menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5

mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang

mendapat ASI eksklusif jarang menderita kekeruangan besi pada 6

bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang terakandung di dalam ASI

lebih mudah diserap dibandingkan besi yang terkandung dalam susu

formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi bayi,

sedangkan besi dari PASI hanya 10% yang diabsorpsi.

b. Malabsorpsi besi

Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa

ususnya mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada

orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering

disertai anemia defisiensi besi meskipun penderita mendapatkan


17

asupan besi yang cukup. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah

asam lambung dan makanan lebih cepat melalyi bagian atas usus

halus, tempat utama penyerapan besi heme dan nonheme.

3. Perdarahan

Kehailangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting

terjadinya anemia defisiensi besi. Kehilangan darah akan mempengaruhi

keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan

kehilangan besi 0,5 mg sehingga kehilangan darah 3-5 ml/hari (kehilangan

1,5-2 mg besi) dapat menyebabkan keseimbangan negatif besi.

4. Transfusi feto-maternal

Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan

anemia defisiensi besi pada akhir masa fetus dan pada awal masa

neonatus.

5. Hemoglobinuria

Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung

buatan. Pada paroxismal nocturnal hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi

melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari.

6. Iatrogenic blood loss

Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan

laboratorium beresiko untuk menderita anemia defisiensi besi.

7. Idiopatic pulmonary hemosiderosis

Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru

yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang
18

timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga

1,5-3 g/dl dalam 25 jam.

8. Latihan yang berlebihan

Pada atlit yang berolahraga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar 40%

remaja permpuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10

µg/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia

yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir dari keseimbangan

negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang

negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang.

Terdapat tiga tahap proses perkembangan anemia defisiensi besi (Raspati et al,

2005):

1. Tahap pertama

Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency,

ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan

besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada

keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi nonheme. Feritin serum

menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya

kekurangan besi masih normal (Raspati et al, 2005).

2. Tahap kedua

Pada tingkat ini dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin

atau iron limited erythropoiesis, didaptakan suplai besi yang tidak cukup
19

untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium

diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun,

sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free

erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat (Raspati et al, 2005).

3. Tahap ketiga

Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan

ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup

sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi

didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini

telah tejadi perubahan eptiel terutama pada anemia defisiensi besi yang

lebih lanjut (Raspati et al, 2005).

Tabel 2.1. Tahapan kekurangan besi (Raspati et al, 2005)

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3


Hemoglobin
Normal Sedikit Menurun Menurun jelas
Cadangan besi (mg) < 100 0 0

Fe serum (μg/dl) Normal < 60 < 40

TIBC (μg/dl) 360-390 > 390 > 410

Saturasi transferin (%) 20-30 < 15 < 10

FEP (μg/dl SDM) >30 >100 >200

MCV Normal Normal Menurun

Sideroblas (%) 40-60 <10 <10


20

D. Penanda Retikulosit dalam Anemia Defisiensi Besi

Banyak tes dapat digunakan untuk evaluasi anemia, namun hingga saat

ini belum terdapat tes tunggal untuk mendiagnosis defisiensi besi dengan atau

tanpa anemia. Baku emas untuk identifikasi defisiensi besi adalah

pemeriksaan direk yaitu biopsi sumsum tulang dengan pengecatan Prussian

blue. Namun biopsi sumsum tulang merupakan suatu prosedur pemeriksaan

yang sangat invasif, sehingga pemeriksaan indirek lebih sering digunakan.

Defisiensi besi biasanya dideteksi dengan parameter hematologi dan biokimia

(Mast et al, 2008).

Parameter hematologi berdasarkan profil sel darah merah meliputi

hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct), hitung eritrosit, indeks eritrosit (terdiri

dari Mean Corpuscular Volume/MCV, Mean Corpuscular Hemoglobin/MCH,

Mean Corpuscular Hemoglobin/MCHC). Parameter biokimia berdasarkan

pada metabolisme besi meliputi Serum Iron (SI), Total Iron Binding Capacity

(TIBC), Serum Ferritin (SF), dan Saturasi Transferrin (%Sat). Tes hematologi

lebih praktis dibanding tes biokimia namun hanya mampu mendeteksi

defisiensi tahap lanjut sehingga kurang sensitif untuk skrining defisiensi besi.

Tes biokimia dapat mendeteksi defisiensi besi tahap awal sebelum terdapat

anemia, namun tes biokimia mahal dan ketersediaan tes ini di daerah terbatas.

Selain itu kadarnya juga dipengaruhi oleh absorbsi makanan, keadaan infeksi,

inflamasi dan terdapat variasi diurnal (Mast et al, 2008).

Indeks terpenting dalam diagnosis, klasifikasi, dan pemantauan pasien

anemia adalah jumlah retikulosit di darah perifer, yang merupakan tes


21

hematologi utama digunakan untuk mengevaluasi respon sumsum tulang

terhadap pengobatan untuk anemia. Retikulosit adalah sel darah merah yang

belum matang non-berinti dalam darah perifer, yang mengandung residual

RNA. Metode manual untuk menghitung retikulosit adalah yang paling umum

digunakan dalam laboratorium klinis, dan didasarkan pada pengamatan

mikroskopis RNA ribosom residual (Wollmann et al, 2014).

1. Reticulocyte Count

Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa retikulosit didasarkan

pada temuan adanya protein RNA pada sitoplasma dari retikulosit. Sejak

tahun 1940 sampai awal 1980 pemeriksaan retikulosit seluruhnya

ditentukan dengan pemeriksaan mikroskop pada hapusan darah tepi,

dimana retikulosit diwarnai dengan pewarna supravital, walaupun metode

ini relatif tidak akurat, lambat dan lebih merepotkan. Namun sejak tahun

80-an mulai dikembangkan pemeriksaan yang lebih canggih, lebih cepat,

lebih akurat yaitu flowcytometer yang menggunakan pewarna yang

berfloresensi spesifik dengan RNA. Alat ini dapat menilai tingkat maturasi

dari retikulosit dengan menghitung fraksi floresensi dari retikulosit pada

masing-masing regio baik pada floresensi rendah, floresensi sedang

maupun pada intensitas floresensi tinggi. Tinggat intensitas floresensi dari

retikulosit ini secara langsung berkorelasi dengan kuantitas RNA

intraseluler dan oleh karenanya dapat mencerminkan fungsi maturitas

seluler. Floresensi tinggi dari retikulosit dengan kandungan RNA yang

banyak yang disebut sebagai retikulosit imatur dipakai sebagai indikator


22

aktifitas eritropoietik pada beberapa kasus anemia dalam perawatan terapi

tertentu. Oleh karena indek eritrosit tidak bisa memberikan informasi

tentang perubahan yang cepat maka dibutuhkan marker yang lebih sensitif

untuk mendeteksi lebih awal kelainan anemia defsiensi besi atau

eritropoiesis pada penderita yang mendapatkan eritropoitin yang

rekombinan yaitu dengan melihat IRF (retikulosit imatur) (Suega, 2010).

Hitung retikulosit merupakan komponen esensial dari pemeriksaan

darah lengkap (CBC = Complete Blood Count) dan berperan penting

pada klasifikasi jenis anemia. Ada 2 cara untuk menghitung retikulosit di

darah tepi. Cara manual yaitu dengan menghitung retikulosit pada

gambaran darah tepi yang diwarnai dengan pewarna biru metilen. Pewarna

ini akan mengendapkan dan mewarnai RNA sehingga sel retikulosit dapat

dikenal diantara sel darah merah matang lainnya dan retikulosit dihitung

dengan membandingkan jumlah retikulosit dengan sekitar 1000 sel darah

merah. Hasil hitungan ini dinyatakan dalam persentase, yang harga

normalnya berkisar antara 1-2%. Sedang cara lainnya adalah dengan

memakai alat flowcytometer. Dengan cara ini disamping hitung retikulosit

juga dapat dikenal tingkat pematangan retikulosit yaitu dengan melihat

jumlah kandungan RNA dari sel tersebut. Makin banyak jumlah RNA

maka makin muda sel retikulosit itu (Suega, 2010).

Persentase hitung retikulosit normal adalah 0,5-2,5% dengan

hitung absolutnya 50-150 x 109/L. Hitung retikulosit seharusnya

meningkat pada anemia karena eritropoietin meningkat dan makin tinggi


23

sejalan dengan beratnya anemia. Ini khususnya terjadi jika terdapat jangka

waktu sampai terjadinya hiperplasia eritroid dalam sumsum tulang seperti

pada hemolisis kronik. Setelah perdarahan yang akut terdapat respon

eritropoietin dalam 6 jam, hitung retikulosit meningkat dalam 2-3 hari,

mencapai maksimum dalam 6-10 hari dan tetap tinggi sampai hemoglobin

kembali dalam keadaan normal. Jika hitung retikulosit tidak meningkat

pada pasien anemia, ini menunjukkan fungsi sumsum tulang yang

terganggu atau kurangnya rangsang eritropoietin. Beberapa faktor yang

dapat mengganggu respon retikulosit normal pada anemia adalah

(Hoffbrand & Moss, 2013):

a. Penyakit sumsum tulang, missal hipoplasia, infiltrasi oleh karsinoma,

limfoma, myeloma, leukemia akut, tuberculosis

b. Defisiensi besi, vitamin B12 atau folat

c. Kekurangan eritropoietin, misal penyakit ginjal

d. Penurunan konsumsi oksigen jaringan, misal miksedema, defisiensi

protein

e. Eritropoiesis inefektif, missal talasemia mayor, anemia megaloblastik,

mielodisplasia, mielofibrosis

f. Penyakit radang kronik atau keganasan.

2. Reticulocyte Hemoglobin Content (CHr)

Anemia defisiensi besi bisa dideteksi pada stadium sangat dini

dengan menurunnya secara progresif level CHr walaupun indikator dari


24

SDM masih normal namun persediaan besi sudah mulai berkurang

sehingga mempengaruhi proses eritropoisis dan akan menginduksi

produksi presentase retikulosit dengan kandungan hemoglobin yang

rendah. Beberapa studi terakhir menyimpulkan bahwa CHr merupakan

prediktor terkuat untuk anemia defisiensi besi pada anak dan dianggap

sebagai salah satu alternatif standar diagnosis untuk status kekurangan besi

(Mast et al, 2008).

Beberapa penelitian melaporkan penggunaan parameter hematologi

baru yaitu Content Hemoglobin Reticulocyte (CHr) sebagai indikator awal

defisiensi besi. Retikulosit merupakan eritrosit muda yang dilepas ke

sirkulasi dan hanya berada 1-2 hari di sirkulasi sehingga pengukuran

reticulocyte hemoglobin adalah penilaian langsung dari penggabungan

besi ke dalam hemoglobin di sumsum tulang dan dapat memperkirakan

secara langsung ketersediaan fungsional besi untuk eritropoiesis.

Hemoglobin dalam eritrosit menginformasikan kondisi hemoglobinisasi

sumsum tulang dalam 8-12 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan sesuai

umur rata-rata eritrosit di sirkulasi sedangkan kandungan hemoglobin

dalam retikulosit menginformasikan kondisi hemoglobinisasi sumsum

tulang dalam 24-48 jam sebelum diperiksa. Parameter CHr hanya tersedia

pada alat tertentu sehingga saat ini dikembangkan parameter baru yang

setara dengan CHr yaitu Reticulocyte Hemoglobin Equivalent (Ret-He)

dengan rentang nilai normal dari alat 28-35 pg. Pemeriksaan Ret–He juga
25

tersedia pada alat hematologi otomatis dengan penambahan software

(Mast el al, 2008., Brugnara et al., 2006).

CHr menggambarkan ketersediaan besi selama produksi

hemoglobin di dalam sumsum tulang. Cut off point dari CHr yang

menunjukkan defisiensi besi berkisar antara 26-32 pg. Nilai tersebut

sebanding dengan parameter lain (serum feritin < 100 µg/l dan saturasi

transferin < 20%). CHr dapat meningkat dalam 48 jam setelah pemberian

besi, mencapai puncak pada 96 jam dan tetap berada di atas baseline

selama 14 hari. Akan tetapi, peningkatan ini belum tentu diikuti dengan

peningkatan kadar Hb. (Kim et al, 2007)

3. Reticulocyte Hemoglobin Equivalent (Ret-HE)

Ret-HE merupakan parameter untuk menilai jumlah hemoglobin di

dalam retikulosit (Brugnara et al., 2006). Ret-HE menggambarkan nilai

rata-rata distribusi kandungan hemoglobin (hemoglobin content) di dalam

retikulosit dan dapat menggambarkan ketersediaan besi dalam proses

eritropoesis di sumsum tulang dalam beberapa hari terakhir.

Perkembangan teknik flowcytometri pada alat hematologi otomatis terbaru

dapat memperkirakan kandungan hemoglobin dalam retikulosit (Ret-HE)

sehingga dapat menggambarkan kondisi aktual eritropoiesis dan dapat

mendeteksi defisiensi besi tahap awal (Brugnara et al, 2006).

Pada penelitian Brugnara et al. (2006) dilaporkan bahwa kadar Ret-

HE pada cut off 27,2 pg memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
26

(93,3% dan 83,2%) untuk menilai defisiensi besi pada pasien yang

menjalani dialisis kronik. Hasil yang serupa pada subyek yang sama

didapatkan pada penelitian Garzia et al. (2006) dengan hasil bahwa Ret-

HE memiliki kesepakatan yang tinggi dengan CHr (93,6%) dan cut off

CHr 29 pg sebanding dengan Ret-HE 30,5 pg dengan sensitivitas dan

spesifisitas 98,4% dan 92,2%.

4. Reticulocyte Production Index

Untuk dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat

produksi sel darah merah oleh sumsum tulang maka hasil penghitungan

retikulosit tersebut harus dilakukan koreksi terhadap kadar hematokrit

pasien yang bersangkutan dan koreksi terhadap efek dari eritropoietin

terhadap proses pelepasan retikulosit muda dari sumsum tulang ke darah

tepi. Pada kebanyakan laboratorium biasanya secara otomatis dilakukan

koreksi dengan jumlah absolut sel darah merah sehingga didapatkan

jumlah absolut dari retikulosit, atau dengan mengalikan dengan fraksi

hematokrit pasien dengan hematokrit normal (45%) sehingga didapatkan

indek produksi retikulosit (RPI = Reticulocyte Production Index).

Perhitungan hitung retikulosit dengan koreksi untuk retikulosit imatur

disebut RPI. RPI adalah angka yang mencerminkan indek sebenarnya dari

produksi sel darah merah oleh sumsum tulang pada pasien yang menderita

anemia (Suega, 2010; Oehadian, 2012).


27

RPI dibawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum

tulang dalam prosuksi sel darah merah atau anemia hipopoliferatif. RPI 3

atau lebih merupakan indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau

respons yang adekuat terhadap anemia (Suega, 2010; Oehadian, 2012).

Peningkatan retikulosit imatur dalam darah individu dengan anemia

defisiensi besi merupakan respon terjadinya anemia, asalkan tersedianya

jaringan medula dan faktor yang sangat diperlukan untuk eritropoiesis

(Wollmann et al, 2014).

Pada anemia yang lebih berat, waktu pematangan retikulosit di

medula menurun, dan peningkatan jumlah retikulosit imatur dilepaskan ke

dalam darah perifer. Retikulosit ini akan menetap lebih dari 48 jam di

darah perifer sampai mereka berubah menjadi sel-sel darah merah. Oleh

karena itu, hitung retikulosit immature dalam darah perifer akan

meningkat. indeks retikulosit yang terkait dengan ketidakmatangan

retikulosit meningkat dengan adanya kondisi defisiensi besi, sehingga

menunjukkan kekurangan bahan baku untuk pembentukan Hb (Wollmann,

2014).
28

III. KESIMPULAN

1. Retikulosit memiliki peran dalam diagnosis anemia defisiensi besi.

2. Penanda retikulosit yang dapat digunakan adalah reticulocyte count,

reticulocyte hemoglobin content, reticulocyte hemoglobin equivalen dan

reticulocyte production index.

3. Reticulocyte count menggambarkan jumlah retikulosit yang beredar dalam

darah tepi sebagai respon eritropoiesis.

4. Reticulocyte hemoglobin content merupakan kandungan hemoglobin dalam

retikulosit menginformasikan kondisi hemoglobinisasi sumsum tulang dalam

24-48 jam.

5. Reticulocyte hemoglobin equivalen menggambarkan nilai rata-rata distribusi

kandungan hemoglobin (hemoglobin content) di dalam retikulosit dan dapat

menggambarkan ketersediaan besi dalam proses eritropoesis di sumsum tulang

dalam beberapa hari terakhir.

6. Reticulocyte production index mencerminkan indeks sebenarnya dari produksi

sel darah merah oleh sumsum tulang pada pasien yang menderita anemia.
29

DAFTAR PUSTAKA

Brugnara, C., Schiller B., Moran J. 2006. Reticulocyte Hemoglobin Equivalent


(Ret He) and Assessment of Iron Deficient State. Clin. Lab. Haem. Vol.
28: 303-308
Chang, K. H., Tam M., Stevenson M.M. 2004. Inappropriately low reticulocytosis
in severe malarial anemia correlates with suppression in the development
of late erythroid precursors. Blood. Vol 103: 3727-36.
Coyne DW. 2011. Hepcidin: clinical utility as a diagnostic tool and therapeutic
target. Kidney International. Vol 80, 240–244.
De Domenico I, Ward DM, Kaplan J. 2007. Hepcidin regulation: ironing out the
details. J. Clin. Invest. 117, 1755–1758.
Hilman, R. S., Ault, K. A. 2002. Clinical approach to anemia. Hematology in
clinical practice. 3ed. New York: McGraw-Hill. p.12-26.
Hoffbrand AV, Moss PAH. 2013. Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta:
EGC. Hal 14-18
Kim JM, Ihm CH, Kim HJ. 2007. Evaluation of reticulocyte haemoglobin content
as marker of iron deficiency and predictor of response to intravenous iron
in haemodialysis patients. Int. Jnl. Lab. Hem. Vol 30: 46–52.
Mast, A. E., Morey A., Dennis JD. 2008. Reticulocyte Hemoglobin Content. Am.
J. Hematol. Vol. 83: 307-310
Oehadian, Amaylia. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. CDK. Vol.
39: 407-412
Raspati H, Lelain R, Susanah S. 2005. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Poernomo
et al. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: IDAI. Hal 30-43
Stevens GA, Finucane MM, De-Regil LM, et al. 2013. Global, regional, and
national trends in haemoglobin concentration and prevalence of total and
severe anaemia in children and pregnant and non-pregnant women for
1995–2011: a systematic analysis of population-representative data. Lancet
Glob Health. Vol 1(1): e16–e25.
Suega, Ketut. 2010. Aplikasi Klinis Retikulosit. J. Peny Dalam. Vol. 11: 191-201
30

Tsiftsoglou AS, Vizirianakis IS, Strouboulis J. 2009. Erythropoiesis: Model


Systems, Molecular Regulators, and Developmental Programs. IUBMB
Life, 61(8): 800–830
Wollmann, M., Branca M., Vanessa S., Rafael WF., Guilherme OR. 2014.
Reticulocyte Maturity Indices in Iron Deficiency Anemia. Elsevier. Vol.
36: 25-28

Anda mungkin juga menyukai