Anda di halaman 1dari 18

3

III. TINJAUAN PUSTAKA

HELLP Syndrome

A. Definisi HELLP Syndrome


Sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme level, low platelet count)
adalah komplikasi pada kehamilan yang muncul dengan adanya hemolisis,
peningkatan enzim hati, dan trombositopenia. Sindrom HELLP terjadi pada 0,5-
0,9% kehamilan dan 10-20% terjadi pada kasus preeklamsia berat (Kjell, 2009).

B. Faktor Risiko
Berikut adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
sindrom HELLP (Rahman, 2002) :
1. Usia ibu lebih dari 34 tahun
2. Multiparitas
3. Ras putih
4. Riwayat obstetri yang jelek
C. Klasifikasi
Tabel 3.1. Klasifikasi Sindrom HELLP (Mississippi)

Parameter Kelas 1 (Berat) Kelas 2 (Sedang) Kelas 3 (Ringan)

Trombosit < 50.000 /µL 50.000 – 100.000 /µL 100.000 – 150.000 /µL

AST atau ALT > 70 IU/L > 70 IU/L > 40 IU/L

LDH > 600 IU/L > 600 IU/L > 600 IU/L

Perdarahan 13% 8% -

Klasifikasi Sindrom HELLP menurut Tennessee :


1. Complete sindrom HELLP
a. Trombosit < 100.000/ µL
b. AST atau ALT > 70 IU/L
c. LDH > 600 IU/L atau bilirubin >0,2 mg/dL
4

2. Partial sindrom HELLP


a. ELLP : peningkatan enzim hati, trombositopenia, tidak terdapat hemolisis
b. EL : peningkatan enzim hati, tidak terdapat trombositopenia, tidak terdapat
hemolisis
c. LP : trombositopenia, tidak terdapat hemolisis, tidak terdapat peningkatan
enzim hati
d. HEL : hemolisis, disfungsi hati, tidak terdapat trombositopenia

D. Patofisiologi
Dasar patofisiologi sindrom HELLP adalah adanya aktivasi endotel
pembuluh darah, trombosit, hemolisis dan kerusakan hati, hal tersebut berisiko
berkembang menjadi DIC. Dalam sebuah penelitian kohort retrospektif, 38%
wanita hamil dengan sindrom HELLP dapat berkembang menjadi DIC
(trombosit < 100.109/L, konsentrasi fibrinogen < 3g/L, degradasi fibrin > 40
mg/L). Pada DIC, rendahnya kadar antitrombin mungkin disebabkan karena
disfungsi hati, penurunan sintesis, dan peningkatan konsumsi. Paternoster et al.
melaporkan bahwa wanita dengan sindrom HELLP mempunyai konsentrasi
fibronektin dan D-dimer yang lebih tinggi, serta kadar antitrombin yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan kehamilan normal dan preeclampsia. Solusio
plasenta yang berhubungan dengan sindrom HELLP meningkatkan risiko DIC
serta risiko edema pulmo, gagal ginjal (oliguria, anuria, peningkatan kadar
kreatinin serum) dan membutuhkan transfusi darah. Faktor yang berkontribusi
terhadap gagal ginjal akut adalah mikroangiopati dan DIC. Gangguan visual,
termasuk ablasio retina, perdarahan corpus vitreus, dan kebutaan kortikal
merupakan komplikasi yang jarang terjadi dimana DIC juga memberikan
kontribusi.

E. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 0,9% dari semua
kehamilan dan 10 sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus
5

sindrom HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada


usia kehamilan 27-37 minggu, 10% terjadi sebelum usia kehamilan 27
minggu, dan 20% setelah 37 minggu. Rerata usia kehamilan pada wanita
dengan sindrom HELLP lebih tinggi pada wanita dengan preekalmpsia.
Kebanyakan wanita kulit putih dengan sindrom HELLP adalah multipara.
Sindrom HELLP postpartum biasanya terjadi pada 48 jam pertama pada
wanita dengan proteinuria dan hipertensi yang terjadi saat persalinan.
Walaupun bervariasi, namun kebanyakan kejadian sindrom HELLP biasanya
berkembang cepat. Wanita dengan sindrom HELLP biasanya disertai
hipertensi dan proteinuria, namun tidak terjadi pada 10-20% kasus. Sekitar
50% kasus sindrom HELLP diawali dengan edem anasarka (Baxter &
Weinstein, 2004).
Gejala klinis yang biasanya muncul adalah nyeri perut kuadran kanan atas
atau nyeri epigastrik, mual, dan muntah. Nyeri perut biasanya fluktuatif atau
nyeri kolik. Kebanyakan pasien melaporkan riwayat mual beberapa hari
sebelum gejala klinis yang lain. 30-60% mengeluhkan nyeri kepala, dan
sekitar 20% mengeluhkan gangguan penglihatan. Wanita dengan sindrom
HELLP juga dapat mengalami gejala yang tidak spesifik, atau gejala-gejala
mirip preeklamsia, atau gejala non spesifik lain yang menyerupai infeksi
virus. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung terus menerus, dan
intensitasnya dapat berubah dengan cepat. Karakteristik sindrom HELLP
adalah terjadi pada malam hari dan membaik pada siang hari (Kjell, dkk.,
2009).
Wanita dengan sindrom HELLP parsial mempunyai gejala lebih ringan
dan lebih rendah risikonya terkena komplikasi dibandingkan sindrom HELLP
total. Dapat terjadi perubahan dari parsial ke total maupun sebaliknya,
walaupun jarang terjadi (Kjell, dkk., 2009).
Pemeriksaan fisik pada pasien sindrom HELLP tidak khas. Yang paling
sering dijumpai adalah penambahan berat badan dan edema (60%). Hipertensi
dapat tidak dijumpai pada sekitar 20% kasus, hipertensi ringan pada sekitar
30%, dan hipertensi berat 50%. Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali,
6

kejang-kejang, jaundice, perdarahan gastrointestinal, dan perdarahan gusi.


Sangat jarang dijumpai koma, gangguan mental, dan penurunan visus. Edema
pulmo dan gagal ginjal akut biasanya dijumpai pada kasus sindrom HELLP
yang timbul post partum atau antepartum yang ditangani secara konservatif
(Yenicessu, dkk., 2009).
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang sindrom HELLP seperti yang kita ketahui
dari namanya, dapat kita temuka adanya hemolysis, elevated liver enzyme,
dan low platelet atau trombositopenia pada pemeriksaan darah. Hemolisis
adalah salah satu tanda sindrom HELLP, hal tersebut terjadi karena anemia
hemolitik mikroangiopati. Fragmentasi sel darah merah (SDM) disebabkan
kerusakan SDM yang melewati endotel pembuluh darah yang rusak dengan
kecepatan tinggi. Terjadi penyempitan pembuluh darah karena kerusakan
lapisan intima, disfungsi endotel, dan deposit fibrin. Adanya sel darah merah
berbentuk fragmentosit (skizosit) atau se burr pada pemeriksaan apusan
darah tepi menguatkan terjadinya hemolisis. Sel darah merah polikromatik
dapat juga ditemukan di apusan darah, dan peningkatan retikulosit
merupakan tanda kompensasi hemolisis yang terjadi. Destruksi sel darah
merah karena hemolisis meningkatkan konsentrasi lactate dehydrogenase
(LDH) dan menurunkan konsentrasi hemoglobin (Sibai, 2004).
Hemoglobinemia atau hemoglobinuria adalah gambaran mikroskopis
yang terjadi pada sekitar 10% wanita. Pemecahan hemoglobin dirubah
menjadi bilirubin tidak terkonjugasi di lien atau dapat diikat di plasma oleh
haptoglobin. Kompleks hemoglobin-haptoglobulin dibersihkan dengan cepat
di hepar, sehingga pada pemeriksaan darah ditemukan haptoglobulin rendah
atau tidak terdeteksi, walaupun terjadi hemolisis sedang. Konsentasi
haptoglobulin yang rendah (< 1gr/L) dapat digunakan untuk diagnosis
hemolisis dan menjadi marker hemolisis pilihan. Selain itu, diagnosis
hemolisis didukung dengan peningkatan konsentrasi LDH dan peningkatan
kadar bilirubin tidak terkonjugasi, namun adanya penurunan kadar
7

haptoglobulin atau tidak terdeteksinya haptoglobulin adalah indikator yang


lebih spesifik (Kjell, dkk., 2009).
Peningkatan enzim hepar adalah efek dari hemolisis yang menyebabkan
peningkatan aktivitas hepar. Hemolisis secara langsung berhubungan dengan
peningkatan LDH, sedangkan peningkatan kadar aspartat aminotransferase
(AST) dan alanine aminotransferase (ALT) berhubungan dengan kerusakan
hepar. Plasma glutathione S-transferase-a1 (α-GST atau GST-a1) adalah
indikator yang lebih spesifik terhadap kerusakan liver akut daripada AST dan
ALT. Namun α-GST belum digunakan secara luas dan belum menjadi
pemeriksaan rutin untuk prosedur diagnostic (Sibai, 2004).
Trombositopenia (trombosit < 150.109/L) pada kehamilan dapat terjadi
karena trombositopeni gestasional (59%), immune thrombocytopenic
purpura (ITP) (11%), preeklamsia (10%), dan sindrom HELLP (12%).
Trombosit < 100.109/L jarang terjadi pada preeklamsia dan trombositpeni
gestasional, namun sering terjadi pada ITP dan sindrom HELLP. Penurunan
trombosit pada sindrom HELLP berhubungan dengan peningkatan
konsumsi. Trombosit banyak digunakan karena banyakanya kerusakan sel
endotel pembuluh darah, sehingga berakibat meningkatnya pengeluaran
trombosit dengan masa hidup yang singkat (Parnas, dkk., 2009).
3. Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnosis dan klasifikasi HELLP dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu Tennessee Classification System, dan Missisipi. Tennessee
Classification System, Sibai menjelaskan kriteria sindrom HELLP total
seperti yang terlihat di tabel 1.1. Hemolisis intravaskuler didiagnosis dengan
ditemukannya sel-sel abnormal pada apusan darah tepi, peningkatan
bilirubin serum (≥ 20,5 μmol/L atau ≥ 1,2 mg/ 100 mL) dan peningkatan
LDH (> 600 U/L) (Barton & Sibai, 2004).
Berdasarkan sistem penggolongan Mississippi, klasifikasi sindrom
HELLP didasarkan pada jumlah trombosit terendah sepanjang perjalanan
penyakit. Kelas 1 dan kelas 2 berhubungan dengan hemolisis (LDH > 600
U/L) dan peningkatan AST (> 70 U/L), sedangkan kelas 3 hanya berdasarkan
8

LDH > 600 U/L dan AST ≥ 40 U/L dengan jumlah trombosit tertentu.
Sindrom HELLP kelas 3 berhubungan dengan tingginya risiko perburukan
kondisi pasien (Sibai, 2004).
Sindrom HELLP dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium,
namun beberapa penulis mengatakan bahwa sindrom HELLP ditegakkan
jika ada tanda-tanda PEB ditambah dengan hasil pemeriksaan laboratorium.
Penulis lain mengatakan bahwa adanya satu saja dari trias sindrom HELLP
dapat ditegakkan sebagai sindrom HELLP parsial. Pada beberapa kasus
sering ditemukan sindrom tanpa hemolisis yang disebut dengan sindrom
ELLP. Perbedaan penegakan diagnosis tersebut menyebabkan kesulitan
dalam perbandingan data dari penelitian yang telah dikumpulkan. Smulian
et al. mengatakan bahwa nilai ambang batas normal LDH mungkin < 600
U/L, tergantung metode pemeriksaan yang dilakukan. Visser dan
Wallenburg menggunakan batasan ALT 30 U/L untuk menjelaskan
abnormalitas (> 2 SD dari rerata di rumah sakit). Oleh karena itu, metode
analisis penting untuk menegakkan diagnosis dengan baik (Yenicesu,
2009).

E. Penatalaksanaan
Evaluasi awal terhadap wanita yang didiagnosa dengan sindrom HELLP
harus dilakukan seperti pada preeklamsia berat. Pasien harus dirawat di pusat
perawatan tersier. Penatalaksanaan awal harus mencakup penilaian maternal dan
fetal, pengendalian hipertensi berat, jika ada, inisiasi infus MgSO4, koreksi
koagulopati, jika ada, dan stabilisasi maternal. Komplikasi sindrom HELLP yang
berpotensi mengancam jiwa adalah sebuah hematoma hepar subkapsuler. Jika
terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap keberadaan hematoma hepar
subkapsuler yang tinggi, maka sebaiknya dilanjutkan dengan melakukan
computed tomography scan (Cunningham FG, 2014). Terapi dari sindrom
HELLP bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kondisi umum penderita minimal stabil.
2. Menghindari lebih jauh gangguan koagulasi darah.
9

3. Meningkatkan kesejahteraan janin dalam uterus.


4. Persalinan sebaiknya segera dilaksanakan:
a. Bergantung pada umur kehamilan.
b. Lakukan induksi persalinan.
c. Bila serviks tidak matang atau terdapat pertimbangan lainnya dapat
dilakukan seksio sesarea.
Persalinan dengan segera harus dilakukan jika usia kehamilan pasien > 34
minggu. Pada pasien kurang dari 34 minggu dan tanpa adanya bukti maturitas
paru-paru janin, maka sebaiknya diberikan glukokortikoid untuk kepentingan
janin dan persalinan direncanakan dalam waktu 48 jam, jika tidak ada
perburukan dalam status maternal dan fetal. Berbagai penelitian telah dilakukan
terhadap penggunaan steroid, volume expander, plasmaferesis, dan agen
antitrombotik terhadap pasien dengan HELLP untuk mencoba memperpanjang
usia gestasi. Penelitian-penelitian tersebut hanya menunjukkan hasil yang
marjinal. Terdapat beberapa bukti manfaat terapi steroid untuk perbaikan kondisi
maternal. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dkk.,
penggunaan glukokortikoid antepartum menunjukkan adanya perpanjangan
latensi yang tergantung-dosis, reduksi abnormalitas enzim hati, dan perbaikan
dalam hitung platelet pada pasien dengan sindromn HELLP. Penatalaksanaan
konservatif sindrom HELLP memiliki resiko yang signifikan, termasuk abruptio
plasenta, edema pulmoner, adult respiratory distress syndrome (ARDS), ruptur
hematoma hepar, gagal ginjal akut, disseminated intravascular coagulation
(DIC), eklamsia, hemoragia intraserebral, dan kematian ibu. Maka tidak
diperlukan penatalaksanaan lebih dari 48 jam setelah pemberian glukokortikoid
untuk kemungkinan manfaat bagi janin yang minimal ketika dibandingkan
dengan resiko maternal yang berat.
Dalam upaya meningkatkan kematangan paru janin, glukokortikoid
diberikan kepada wanita hamil yang jauh dari aterm dengan hipertensi berat.
Terapi ini tampaknya tidak memperparah hipertensi ibu, dan diklaim dapat
menurunkan insiden gawat napas dan memperbaiki kelangsungan hidup janin.
Thiagarajah dkk (1984) merupakan orang-orang pertama yang menyatakan
10

bahwa glukokortikoid juga mungkin berperan dalam pengobatan kelainan


laboratorium pada sindrom HELLP. Tompkins dan Thiagarajah (1999) baru-
baru ini melaporkan bahwa glukokortikoid menimbulkan perbaikan yang
signifikan namun transien pada kelainan hematologis pada sindrom HELLP
yang didiagnosis pada 52 wanita dengan usia kehamilan antara 24 dan 34
minggu. Walaupun hitung trombosit meningkat dengan rata-rata 23.000/ul, efek
ini berlangsung singkat dan hitung trombosit menurun dengan rata-rata sebesar
46.000/ul dalam 48 jam setelah selesainya pemberian regimen glukokortikoid.
Yang utama, hanya sebagian kecil wanita yang diteliti ini yang memperlihatkan
hitung trombosit kurang dari 100.000/ul sebelum terapi glukokortikoid sehingga
efektivitas terapi ini belum diuji secara luas pada wanita dengan kelainan
hematologis yang lebih parah.
Salah satu interpretasi adalah bahwa pemberian glukokortikoid secara
spesifik untuk kelainan hematologis akibat preeklamsia berat tidak akan secara
bermakna menunda keharusan untuk melahirkan janin. Hampir dapat dipastikan
bahwa dari laporan-laporan ini tidak dapat disimpulkan bahwa pemberian
glukokortikoid dapat secara bermakna menunda persalinan pada wanita dengan
kelainan laboratorium yang berat.
Pasien dengan serviks yang baik dan memiliki diagnosis sindrom HELLP
sebaiknya menjalani persalinan percobaan (trial of labor), terutama jika mereka
tiba dalam keadaan inpartu. Sindrom HELLP tidak secara otomatis
mengharuskan dilakukannya seksio sesarea. Sebuah persalinan operatif dalam
beberapa keadaan bahkan dapat berbahaya. Semua pasien dengan serviks yang
baik, tanpa memandang usia gestasi, sebaiknya menjalani induksi persalinan
baik dengan oksitosin atau prostaglandin. Seksio sesarea elektif harus
dipertimbangkan pada pasien dengan usia gestasi sangat rendah dan memiliki
serviks yang tidak baik. Paradigma penatalaksanaan akan disajikan pada tabel
dibawah untuk pasien yang menjalani seksio sesarea (Cunningham FG, 2014).
Penatalaksanaan nyeri pada pasien dengan sindrom HELLP selama
persalinan harus didiskusikan antara ahli obstetri dan ahli anestesi. Ahli anestesi
harus mengetahui keadaan pasien karena adanya kemungkinan edema laringeal
11

dan kesulitan melakukan intubasi atau ekstubasi. Biasanya keputusan untuk


menggunakan anestesia epidural atau tidak adalah hak ahli anestesi. Anestesia
regional sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan hitung
platelet yang cukup rendah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh O’Brien dkk.
mendukung penggunaan glukokortikoid untuk memperbaiki hitung platelet dan
agar dapat lebih leluasa menggunakan anestesia regional pada pasien dengan
sindrom HELLP. Ahli anestesi harus selalu diberi kabar mengenai tren hitung
platelet pada pasien dengan HELLP. Narkotika intravena dapat diberikan agar
dapat mencapai analgesia. Infiltrasi lokal dapat digunakan tanpa pertimbangan
selama persalinan per vaginam dan perbaikan perineum. Blok pudendal harus
dihindari karena adanya potensi perdarahan yang tidak diketahui di daerah ini.
Jika pasien dengan sindrom HELLP memerlukan persalinan per
abdominam, harus dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalisir efek
samping yang mungkin terjadi. Transfusi platelet setidaknya 5 hingga 10 unit
harus dilakukan dalam perjalanan menuju ruang operasi pada pasien dnegan
trombositopenia. Konsumsi platelet adalah cepat pada transfusi platelet, dan
efeknya sementara atau temporer. Pertimbangan intraoperatif harus mencakup
penempatan drain, baik subfasial, subkutaneus, atau keduanya, karena
kemungkinan terjadinya oozing. Pemilihan insisi kulit harus dilakukan
sepenuhnya berdasarkan penilaian klinis terbaik dokter yang melakukan
pembedahan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Briggs dkk., pasien
dengan sindrom HELLP yang menjalani seksio sesarea dievaluasi terhadap
adanya komplikasi luka. Tidak ditemukan adanya perbedaan secara statistik
antara insisi midline versus Pfannenstiel, baik dengan penutupan primer atau
tertunda.
Dalam melakukan persiapan tindakan operasi persalinan pada sindrom
HELLP harus memperhatikan bahwa tendensi perdarahan selalu mengancam
sehingga pemeriksaan tentang profil darah khususnya trombosit (Cunningham
FG, 2014).:
1. Persiapan sebelum operasi.
12

a. Lakukan transfusi trombosit sebelum dan sesudah operasi bila trombosit


kurang dari 10.000/mm.
b. Transfusi 6-10 unit trombosit bila jumlah trombosit kurang dari
50.000/mm.
2. Untuk menghindari hematoma-rembesan perdarahan.
a. Pemasangan drainase sehingga darah dapat keluar melalui drain.
b. Perawatan luka terbuka, untuk menghindari hematoma.
3. Pengawasan pasca operasi.
a. Intensif unit care, untuk melakukan evaluasi organ dan gejala vital.
b. Sekitar 30 % sindrom HELLP terjadi post partum operasi.
c. Umumnya gejala akan berkurang setelah 72 jam sehingga pengobatan
masih perlu dalam waktu 24 jam pascapartum.
4. Komplikasi yang sering terjadi:
a. Edema pulmonum.
b. Dekompensasio kordis.
c. Kegagalan ginjal.
Dengan demikian observasi yang ketat perlu dilakukan sehingga gejala utama yang
makin memburuk segera dapat diketahui, untuk persiapan tindakan lebih lanjut.
Tabel 3.2. Penatalaksanaan perioperatif pasien dengan sindrom HELLP yang
memerlukan seksio sesarea.
1. Pengendalian hipertensi berat
2. Inisiasi infus magnesium sulfat intravena
3. Glukokortikoid untuk 24 – 48 jam untuk
manfaat janin jika usia kehamilan <34 minggu
4. Anestesia umum untuk hitung platelet <
75.000/mm3
5. Platelet 5 – 10 unit sebelum pembedahan jika
hitung platelet < 50.000/mm3
6. Membiarkan peritoneum vesikouterina terbuka
7. Drainase subfasia
13

8. Penutupan sekunder terhadap insisi kulit atau


drainase subkutaneus
9. Transfusi postoperatif sesuai keperluan
10. Pengawasan intensif selama setidaknya 48 jam
postpartum

Komplikasi sindrom HELLP lainnya yang berpotensi mengancam nyawa


adalah hematoma hepar subkapsuler. Temuan klinis konsisten dengan hematoma
subkapsuler termasuk pemeriksaan fisik dengan iritasi peritoneal dan
hepatomegali dan nyeri alih dari nervus frenikus. Nyeri pada perikardium,
peritoneum, pleura, bahu, kandung empedu, esofagus merupakan konsisten
dengan nyeri alih dari nervus frenikus. Konfirmasi diagnosis dapat dilakukan
dengan menggunakan computed tomography, ultrasonografi, atau magnetic
resonance imaging. Penatalaksanaan konservatif pada pasien yang stabil secara
hemodinamis dengan hematoma subkapsuler yang tidak ruptur merupakan
rencana yang tepat, dengan syarat dilakukan pengawasan hemodinamik yang
ketat, evaluasi serial profil koagulasi, dan evaluasi serial status hematoma
dengan cara pemeriksaan radiologis. Jika pada pasien terjadi dekompensasi
hemodinamis, harus dipertimbangkan diagnosis ruptur hematoma subkapsuler.
Jika dicurigai adanya ruptur dari hematoma hepar subkapsuler, diperlukan
intervensi dengan segera. Ruptur hematoma hepar dengan syok hemodinamik
merupakan kegawat daruratan bedah yang mengancam nyawa. Perawatan dari
titik ini adalah pendekatan multidisipliner dan harus melibatkan ahli bedah
umum dan ahli bedah vaskuler untuk melakukan laparotomi. Terlebih lagi,
koreksi koagulopati dan transfusi produk darah secara masif adalah esensial.
Ruptur tersebut biasanya melibatkan lobus kanan hepar. Mortalitas maternal dan
fetal adalah lebih dari 50% dengan intervensi yang segera. Rekomendasi yang
terdapat dalam literatur untuk hematoma hepar subkapsuler dalam kehamilan
adalah packing dan drainase. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk,
tingkat keselamatan secara keseluruhan adalah 82% dengan menggunakan
metode ini.
14

Penatalaksanaan postpartum terhadap pasien dengan HELLP sebaiknya


mencakup pengawasan hemodinamik yang ketat selama setidaknya 48 jam.
Evaluasi laboratoris serial harus dilakukan untuk memonitor perburukan
abnormalitas. Kebanyakan pasien akan menunjukkan pembalikan yang lebih
cepat dalam abnormalitas laboratoris dengan melakukan pertukaran plasma dan
steroid postpartum.
15

Tabel 3.3. Penunjukkan tatalaksana sindrom HELLP antepartum.

TENTUKAN DAN STABILKAN KONDISI ANTEPARTUM


• Bila terjadi DIC koreksi kelainan koagulasinya
• Berikan serangan mendadak dengan memberikan MgSO4
• obati hipertensinya yang berat
• Lakukan referral ketempat yang dapat mengatasinya
• Lakukan USG atau CT scan bila dicurigai hematoma liver
EVALUASI KESEJAHTERAAN JANINNYA
• Lakukan NST (Nonstress Test)
• Lakukan profil biofisiknya
• USG biometri
EVALUASI KEMATANGAN PARU BILA UMUR HAMIL< 35 MINGGU
• Bila mature terminasi hamilnya
• Bila belum berikan steroid diikuti persalinan
MgSO4 = magnesium sulfat

F. Komplikasi HELLP Syndrom


Jenis komplikasi sindrom HELLP antara lain:
1. Solusio plasentae
2. Gagal ginjal
3. Asites
4. Kemungkinan ruptura dari liver
Komplikasi yang terlambat didiagnosis dan terlambat mencapai tingkat
pelayanan lanjut dapat menimbulkan kematian. Kematian perinatal dapat
disebabkan oleh :
1. Solusio plasentae.
2. Asfiksia intrauterine yang berat.
3. Intrauterine growth retardation.
4. Persalinan prematuritas.
16

Menurut Sibai, pada keluaran maternal dari penderita preeklamsia dapat


ditemukan juga solusio plasenta (1–4%), disseminated coagulopathy/HELLP
syndrome (10–20%), edema paru / aspirasi (2–5%), gagal ginjal akut (1–5%),
eklamsia (<1%), kegagalan fungsi hepar (<1%). Sibai juga mengemukakan
beberapa hal yang sering ditemukan pada luaran perinatal dari persalinan
dengan preeklamsia antara lain kelahiran premature (12-67%), pertumbuhan
janin yang terhambat (10-25%), cidera hipoksianeurologik (<1%), kematian
perinatal (1-2%), dan morbiditas jangka panjang penyakit kardiovaskular yang
berhubungan dengan BBLR.
Menurut Cunningham terjadinya kecil masa kehamilan (KMK) pada
preeklamsia oleh karena terjadinya iskemia uteroplasenta pada kehamilan
trimester kedua sehingga terjadipertumbuhan janin terhambat. Keadaan ini
terjadi sebelum munculnya sindroma HELLP. Sofoewan (2001) melaporkan
pada kelompok PEB didapati perkembangan janin terhambat 1,1 %, kematian
janin intra uterin 7,4% dan gawat janin 5,6%. Dan pada kelompok SHP didapati
perkembangan janin terhambat 72,7 %, kematian janin intra uterin 36,4% dan
gawat janin 27,3 %. Sedangkan pada SHM didapatinya perkembangan janin
terhambat 100 %, kematian janin intra uterin 33,3 % dan gawat janin 66,7% .
Morikawa dkk(2001) pada penelitiannya mendapatkan perkembangan janin
terhambat 23,8 %, luaran bayi yang jelek ( kematian janin dan gawat janin yang
berat) 2,4% pada kelompok PEB. Dan pada kelompok SHP didapatinya
perkembangan janin terhambat 65,4 %, luaran bayi yang jelek 7,7%. Sedangkan
pada SHM didapatinya perkembangan janin terhambat 50,0 %, luaran bayi yang
jelek 16,7%.
Martin JN(1999) akibat dari terjadinya trombositopenia akan
mengakibatkan perubahan yang jelek pada seluruh sistim organ tubuh secara
bermakna, yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian ibu. Mereka
menetapkan bahawa kadar trombosit < 100.000/mm 3 meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas ibu. Romero dkk(1989) Dikutip dari Roberts (1994)
melaporkan bahwa trombositopenia merupakan indikator yang paling baik
terhadap luaranibu dan bayi. Tetapi trombositopenia bukan merupakan alasan
17

untuk melakukan terminasi segera selain alasan usia kehamilan sudah aterm.
Menurut Visser dkk (1995) menunda terminasi kehamilan lebih aman untuk ibu
dan bayi apabila usia kehamilan belum aterm. Pengawasan yang ketat terhadap
hemodinamik ibu dan penanganan yang tepat sangat diperlukan agar luaran ibu
dan bayi lebih baik. Adanya kematian janin intra uterin ditemukan berhubungan
dengan terjadinya kematian pada ibu. Kematian janin (IUFD) mungkin
mencerminkan kerusakan organ target yang sudah berat yang berhubungan
dengan proses penyakit yang sudah lanjut dan proses patologik seperti solusio
plasenta atau koagulopati (Small,2005).

G. Prognosis
Pasien dengan sindrom HELLP memiliki kemungkinan 2-27% untuk
mengalami sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya. Mortalitas ibu bekisar
antara 1-3%. Morbiditas pada ibu yang paling sering terjadi adalah DIC (20%),
abrupsio plasenta (16%), gagal ginjal akut (7%), edem pulmo (6%) (Barton,
2004). Morbiditas dan mortalitas janin antara 9-24% disebabkan oleh abrupsio
plasenta, asfiksia intrauterin, atau prematuritas (Rath, 2000).
18

DAFTAR PUSTAKA

Barton, J. R., B. M. Sibai. 2004. Diagnosis and management of hemolysis,


elevated liver enzymes, and low platelets syndrome. Clinics in
Perinatology, 31:807-33.

Baxter, J. K., L. Weinstein. 2004. HELLP syndrome : the state of the art. Obstet
Gynecol Surv, 59: 838-45.

Churchill, D., Beever G., dan Meher S. 2007. Diuretics for preventing
preeclamsia. Cochrane Database Syst Rev 1 : CD004451.

Cunningham F., Kenneth J., Steven L., Catherine Y., Jodi S., Barbara L., et al.
2014. Williams Obstetrics 24th Edition. McGraw Hill Education.

Cunningham, F. G., K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, D. J. Rouse, and C.


Y. Spong. 2014. Pregnancy Hypertension. In : Williams Obstetrics. 24th
Edition. USA : The McGraw-Hil Companies.

Davidge S, de Groot C, Taylor RN. 2014. Endothelial cell dysfunction and


oxidative stress. In Taylor RN, Roberts JM, Cunningham FG (eds):
Chesley’s Hypertensive Disorders in Pregnancy, 4th ed. Amsterdam,
Academic Press.

De-Regil, L., Palacios C., dan Ansary, A. 2012. Vitamin D supplementation for
during pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2 : CF008873.

Fisher SJ, McMaster M, Roberts JM. 2009. The Placenta in normal pregnancy
and preeclampsia. In Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG (eds)
: Chelsey’s Hypertensive Disorders of Pregnancy. 3rd edition. New York,
ELseviier, In Press, p 73.

Goodnight SH, Hathaway WE. 2001. Disorders of Hemostasis and Thrombosis:


A Clinical Guide. 2nd ed. New York: McGraw-Hill : 234
John JH, Ziebland S, Yudkin P, et al. 2002. Low relaxin concentrations on
plasma antioxidant concentrations and blood pressure. A randomized
clinical trial. Lancet 359 : 1969.

Karumanchi SA, Srillman IE, Lindheimer MD. 2009. Angiogenesis and


preeclampsia. In Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG (eds) :
Chelsey’s Hypertensive Disorders of Pregnancy. 3rd edition. New York,
ELseviier, In Press, p87.

Kjell Haram, Einar Svendsen, dan Ulrich Abildgaard. 2009. The HELLP
syndrome: Clinical issue and management. A Review. BMC Pregnancy
and Chilbirth 2009, 9:8
19

Martin JN, May WL, Magann EF, etal. 1999. Early risk assesment of severe
preeclampsia: admission baterry of symptom and laboratory test to predict
likelihood of subsequent significant maternal morbidity. AmJ Obstet
Gynecol ; 180 : 1407 –14.

Morikawa H, Umikage H, Yamasaki M. 2001. Clinical Difference Between


HELLP Syndrome and Partial HELLP Syndrome. Dalam: AUFOG
Accredited Ultrasound and Workshop. Bandung.

Parnas, M., E. Sheiner, I. Shoham-Vardi, E. Burstein, T. Yermiahu, I. Levi, et


al. 2006. Moderate to severe thrombocytopenia during pregnancy. Eur J
Obstet Gynecol Reprod Biol, 128: 163-8.

POGI, 2016. Diagnosis dan Tatalaksana pada Preeklamsia. Perkumpulan


Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan Kedokteran Feto Maternal
POGI; Semarang.

Redmant CWG , Sargent IL. 2008. Circulating microparticels in normal


pregnancy and preeclampsia. Placenta 22 (Suppl A): S73.

Roberts WE, Perry KG, Woods JB, etal. (1994). The Intrapartum Trombosit
Count in Patient with HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low
trombosit counts) Syndrome: Is It Predictive of Later Hemorrhagic
Complication ?. AmJ Obstet Gynecol ; 171 : 799 – 804.

Scott JR, Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF. Danforth’s Obstetrics and
Gynecology. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007:
22

Sibai, B. M. 2004. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low


Platelet Count. The American College of Obstetricians and Gynecologists,
103(5) : 981-91.

Small MJ, Kershaw T, Frederic R, Blanc C, Neale D, Copel J, Williams KP.


2005. Characteristics of preeclampsia- and eclampsia-related maternal
death in rural Haiti. The Journal of maternal-fetal and neonatal medicine;
18(5): 343-816.

Sofoewan S. 2001. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeclampsia


With and Without HELLP Syndrome. Dalam: AUFOG Accredited
Ultrasound and Workshop. Bandung

Staff AC, Braekke K, Johnsen GM. 2007. Circulating concentration of soluble


endoglin (CD 105) in fetal and maternal serum and in amniotic fluids in
preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 197 (2): 176.
20

Villar J, Hany AA, Merialdi M, et al. 2006. World Health Organization


randomized trial of calcium supplementation among low calcium intake
pregnant women. Am J Obstet Gynecologi 194: 639.

Visser , Wallenburg HC. 1995. Temporising Management of Severe


Preeclampsia With and Without the HELLP Syndrome. BJOG : 102 : 111
–17.

Ward K, Lindheimer MD, 2009. Genetic factors in the etiology of preeclampsia/


Eclampsia. In Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG (eds) :
Chelsey’s Hypertensive Disorders of Pregnancy. 3rd edition. New York,
ELseviier, In Press, p 51.

Weinstein L. 1982. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low


Trombosit counts : A Severe Consequence of Hypertension in Pregnancy.
AmJ Obstet Gynecol ; 142 : 159 –67.

Wibowo B, Rachimhadhi T. Pre-eklamsia dan Eklamsia. Dalam: Wiknjosastro


H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002: 295-298

Worley LC, Hnat MD, Cunningham FG. 2008. Advanced extrauterine


pregnancy: Diagnostic and Therapeutic Challenges. Am J Obstet Gynecol
198 (3): 297.

Yenicesu, G. I., I. O. Kol, C. Yenicesu, and A. Cetin. 2009. HELLP (hemolysis,


elevated liver enzymes, and low platelets) syndrome. Cumhuriyet Med J,
31: 182-8.

Zhang C, Williams MA, King IB, et al. 2002. Vitamin C and the risk
preeclampsia-results from dietary questionnaire and plasma assay.
Epidemiology 13 : 382.

Anda mungkin juga menyukai