Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

BIOPSIKOSOSIAL SINDROM HELLP

Oleh:
Witono Gunawan
Pembimbing:
dr. Rudy B. Leonardy, Sp.OG(K)

Pendamping:
dr. Ajardiana Idrus, Sp.OG(K)
dr. Suzanna S. Pakasi, Sp.OG(K)

DIVISI OBSTETRI DAN GINEKOLOGI SOSIAL


DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II ASPEK BIOPSIKOSOSIAL Sindrom HELLP 4
1. Aspek Biologis Sindrom HELLP 5
2. Aspek Psikologis Sindrom HELLP 6
3. Aspek Sosial Sindrom HELLP 7
BAB III KAJIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI SOSIAL 8
1. Epidemiologi, Evidenced Based 9
2. Manajemen Rumah Sakit 10
3. Manajemen Kesehatan 11
4. Pendidikan dan Pelatihan 12
5. Holistik 13
6. Bioetika dan Medikolegal 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHUKUAN

Sindrom HELLP merupakan suatu istilah yang diperkenalkan pada tahun 1982
oleh Weinstein et al. Istilah sindrom HELLP merupakan singkatan dari yang
menyebabkan hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan jumlah platelet
(hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count). Sindrom HELLP
merupakan variasi dari preeklampsia yang mampu menyebabkan morbiditas maternal
dan perinatal yang cukup tinggi. Etiologi terjadinya sindrome HELLP belum
diketahui secara pasti. Oleh sebab itu, sindrom HELLP membutuhkan penanganan
yang agresif yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi ibu dan bayi agar tidak
terjadi morbiditas maternal dan neonatal berkelanjutan.1,2
Sindrom HELLP dapat terjadi pada 0,5 – 0,9% dari semua kehamilan dan
sebanyak 10 – 20% pada kehamilan dengan preeklampsia berat. Sebanyak 70% kasus
sindrom HELLP terjadi sebelum terjadi persalinan dengan frekeunsi tersering terjadi
pada usia kehamilan 27 minggu hingga 37 minggu. Sebanyak 10% kasus sindrom
HELLP terjadi sebelum usia kehamilan 27 minggu, dan sebesar 20% terjadi setelah
usia kehamilan 37 minggu. Perempuan hamil dengan sindrom HELLP pada
umumnya memiliki usia yang lebih tua jika dibandingkan dengan penderita
preeklampsia. Sebagian besar penderita sindrom HELLP merupakan multipara.3
Sebagian besar penderita sindrom HELLP tidak menderita hipertensi dan
proteinuria (10 – 20% kasus). Peningkatan berat badan yang berlebihan dan edema
anasarka biasanya mendahului terjadinya sindrom HELLP pada >50% kasus.
Sindrom HELL pada umumnya memiliki manifestasi klinis berupa nyeri perut kanan
atas, mual, dan muntah. Nyeri perut yang dirasakan biasanya hilang timbul serupa
dengan nyeri kolik. Sebanyak 30 – 60% penderita sindrom HELLP akan mengalami
keluhan berupa nyeri kepala dan sebanyak 20% akan mengalami keluhan berupa
gangguan visual.3
Sindrom HELLP tidak hanya dapat memberikan dampak klinis bagi perempuan
yang mengalaminya, namun juga dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan
pada aspek psikologis, sosial, keluarga, dan etika. Hal tersebut bisa saja terjadi pada
saat kehamilan, persalinan, nifas, bahkan jauh hingga penderita sindrom HELLP
menjalani hidupnya. Pengetahuan yang komprehensif mengenai berbagai aspek klinis
maupun non klinis pada penderita sindrom HELLP diharapkan dapat menjadi dasar
bagi dilakukannya berbagai intervensi untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas yang terjadi akibat sindrom HELLP.
BAB II
ASPEK BIOPSIKOSIAL SINDROM HELLP

1. Aspek Biologis Sindrom HELLP


Sindrom HELLP seperti telah dijelakan sebelumnya merupakan suatu sindrom
yang terjadi pada saat kehamilan atau pasca persalinan yang memiliki karakteristik
berupa apusan darah mikroangiopatik, peningkatan enzim hati, dan kadar platelet
yang menurun. Sindrom HELLP memiliki hubungan yang erat dengan preeklampsia
dan dipertimbangkan sebagai varian dari preeklampsia. Persalinan merupakan jalan
utama untuk tercapainya resolusi tanda dan gejala klinis pada penderita sindrom
HELLP. Komplikasi maternal yang paling sering terjadi pada penderita sindrom
HELLP adalah perdarahan (termasuk perdarahan hepatik). Komplikasi neonatal yang
paling sering terjadi ialah persalinan preterm.4,5
Riwayat preeklampsia atau sindrom HELLP pada kehamilan sebelumnya
merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya preklampsia. Variasi genetik
sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sindrom HELLP
telah dididentifikasi dalam beberapa penelitan, namun hal tersebut belum
memberikan dampak pada penanganan yang diberikan pada penderita sindrom
HELLP. Sindrom HELLP pada umumnya terjadi pada multipara. Hal tersebut
berbeda dengan preeklampsia dimana nullipara merupakan salah satu faktor
risikonya.6,7
Patogenesis sindrom HELLP sampai saat ini belum jelas. Sindrom HELLP bisa
saja merupakan manifestasi berat pada preeklampsia, disisi lain sindrom HELLP juga
bisa saja merupakan entitas yang berbeda dengan preeklampsia, namun bermula dari
patologi yang serupa. Hal tersebut lalu berkembang menjadi patomekanisme yang
berbeda hingga terjadi inflamasi hepar yang lebih berat dan aktivasi sistem koagulasi
yang lebih cepat jika dibandingkan dengan penderita preeklampsia. Mikroangiopati
dan aktivasi dari kaskade koagulasi intravaskuler dapat diamati dari parameter
laboratorium pada sindrom HELLP. Histologi hepar dapat menunjukkan adanya
deposisi fibrin mikrovaskuler, infiltrar neutrofilik, infiltrasi lemak, nekrosis lobulus
hepar, dan perdaraha periportal. Disfungsi mikrovaskuler bisa saja terjadi pada ginjal
dan menyebabkan peningkatan risiko terjadinya iskemia, meskipun hal tersebut
bukan merupakan kriteria diagnostik dari sindrom HELLP.6,8,9
Sindrom HELLP memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dengan
perlangsungan yang cepat (rapid onset) dan memburuk secara progresif. Nyeri
abdomen seperti kolik merupakan keluhan utama yang dirasakan oleh sebagian besar
penderita. Nyeri yang dirasakan cenderung dirasakan pada regio epigastrium dan
kanan atas. Sebagian besar penderita mengalami keluhan berupa mual, muntah, lemas
yang mungkin diduga sebagai sebagai suatu infeksi virus. Gejala lain yang juga
dirasakan oleh penderita sindrom HELLP dengan intensitas yang lebih jarang adalah
nyeri kepala, gangguan penglihatan, ikterus, dan ascites.10,11
Pemeriksaan fisik pada penderita sindrom HELLP pada umumnya akan
menunjukkan adanya hipertensi dan proteinuria pada 85% kasus, namun perlu diingat
bahwa kedua hal tersebut bisa saja tidak ditemukan pada penderita sindrom HELLP.
Komplikasi maternal yang berat biasanya cepat terjadi pada sindrom HELLP.
Komplikasi yang umum terjadi diantaranya koagulasi intravaskular diseminata
(disseminated intravascular dissemination), solutio placenta, acute kidney injury,
edema paru, hematoma subkapsuler atau intraparenkimal hepar, dan ablatio retina.
Perdarahan yang terjadi akibat trombositopenia (mukosa, hematuria, petechiae,
ekimosis) sebaliknya jarang ditemukan pada sindrom HELLP.10, 11
Sindrom HELLP biasanya terjadi pada usia kehamilan 28 – 36 minggu, namun
juga dapat terjadi pada akhir trimester dua atau post partum. Sebanyak 30% kasus
yang terjadi post partum didiagnosis dalam 48 jam post partum, namun hal tersebut
dapat ditemukan dalam 7 hari post partum. Sebanyak 80% kasus yang terjadi pada
post partum didahului oleh preeklampsia saat kehamilan. Mekanisme terjadinya
sindrom HELLP dan preeklampsia pada masa post partum sampai saat ini belum
diketahui, sebab terlepasnya plasenta dianggap merupakan awal terjadinya resolusi
penyakit tersebut.11
Diagnosis sindrom HELLP didasarkan pada adanya kelainan pada parameter
laboratorium (hemolisis dengan sel darah merah yang terfragmentasi, i.e., schistosit,
burr cell; peningkatan enzim hati; dan penurunan kadar trombosit pada perempuan
hamil atau post partum. Perempuan yang hanya memiliki kelainan pada satu atau dua
paramter bisa saja mengalami sindrom HELLP parsial dan memburuk menjadi
sindrom HELLP sesungguhnya. Sindrom HELLP dapat didiagnosis dengan
menggunakan dua kriteria, yaitu kriteria Tennessee dan Mississippi.12,13
Kriteri Tennessee untuk mendiagnosis sindrom HELLP, yaitu:12
1. Hemolisis, didiagnosis dengan adanya minimal dua dari kriteri berikut:
 Apusan darah perifer yang menunjukkan schistocytes dan burr cell
 Kadar billirubin > 1,2 mg/dl
 Kadar haptoglobin < 25 mg/dl atau terdapat peningkatan kadar LDH lebih
dari dua kali batas atas nilai normalnya
 Anemia yang terjadi bukan karena kehilangan darah
2. Peningkatan enzim aspartate aminotransferas (AST) atau alanin
aminotransferase (ALT) > 2 kali batas atas nilai normalnya
3. Jumlah trombosit < 100.000 sel/mikroliter.
Kriteria Mississippi untuk mendiagnosis sindrom HELLP yaitu:13
1. Kelas I – Kadar trombosit < 50.000 sel/mikroliter, LDH > 600 IU/L, dan
AST atau ALT > 70 IU/L
2. Kelas II – Kadar trombosit > 50.000 sel/mikroliter – < 100.000 sel/mikroliter
, LDH > 600 IU/L, dan AST atau ALT > 70 IU/L
3. Kelas III – Kadar trombosit > 100.000 sel/mikroliter - < 150.000
sel/mikroliter, LDH > 600 IU/L, dan AST atau ALT > 70 IU/L
Tatalaksana utama bagi penderita sindrom HELLP selama kehamilan adalah
dengan melakukan persalinan segera yang merupakan satu – satunya terapi yang
cukup efektif. Konsensus para ahli menunjukkan bahwa persalinan segera
diindikasikan setelah kondisi ibu stabil pada keadaan :10
1. Kehamilan > 34 minggu atau kehamilan yang previabel
2. Kematian janin dalam rahim
3. Solutio plasenta
Tatalaksana sindrom HELLP yang terjadi pada bukan tiga kondisi dan tidak
disertai dengan perdarahan hepatik, DIC, edema paru, acute kidney injury, gawat
janin dapat dilakukan secara konservatif. Persalinan per vaginam merupakan pilihan
metode persalinan pada penderita sindrom HELLP. Seksio sesarea biasanya hanya
dilakukan bila ada indikasi obstetri (kegawatn ibu atau bayi, usia kehamilan kurang
dari 32 minggu, dan pertumbuhan janin terhambat).10,14
Parameter laboratorium pada penderita sindrom HELLP biasanya akan
mengalami perburukan dalam 48 jam pertama paca persalinan. Oleh sebab itu
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan
pemeriksaan laboratorium tiap 12 jam pasca persalinan. Jumlah trombosit akan
mengalami peningkatan dan kadar LDH akan mengalami penurunan pada hari
keempat pasca persalinan bila tidak terjadi komplikasi yang berat.13
Penderita sindrom HELLP dengan kondisi kritis dan mengalami komplikasi
berat memerlukan perawatn intensif. Indikasi dilakukannya perawatan intensif pada
sindrom HELLP adalah ruptur hepar imminens atau gagal hati fulminan, DIC, acute
kidney injury, transfusi masif yang memerlukan proteksi airway, transfusion –
related acute lung injury, dan kardiomiopati.10,13,14
Penderita sindrom HELLP pada umumnya memiliki prognosis yang baik,
namun komplikasi serius bisa saja terjadi. Suatu penelitian terhadap 437 penderita
sindrom HELLP menunjukkan bahwa sebanyak 55% mengalami perdarahan yang
membutuhkan transfusi, 21% mengalami DIC, 16% mengalami solutio placenta, 8%
mengalami gagal ginjal akut, 6% mengalami edema paru, 1% mengalami hematoma
hepar subkapsuler, 1% mengalami ablatio reteina, dan 1% meninggal dunia. Sebagian
besar komplikasi yang terjadi bersifat interdependen (Contohnya, solutio plasenta
merupakan penyebab terjadinya DIC, yang pada akhirnya akan menyebabkan acute
kidney injury dan edema paru). Morbiditas yang terjadi berbanding lurus dengan
beratnya gejala dan kelainan pada parameter laboratoriu. Sindrom HELLP dengan
atau tanpa disertai acute kidney injury tidak memiliki hubungan jangka panjang
terhadap fungsi ginjal kedepannya.11,15
Suatu studi analisis pada tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 512 penderita
sindrom HELLP yang kembali hamil, sindrom HELLP hanya rekuren pada 7% kasus,
18% kasus menderita preeklampsia, dan 18% kasus menderita hipertensi gestational.
Sindrom HELLP sampai saat ini belum dapat dicegah. Sindrom HELLP sebagai
varian dari preeklampsia berat mungkin dapat dicegah dengan pemberian aspirin
dosis rendah untuk mencegah terjadinya preeklampsia.(16)
Parameter laboratorium dan klinis pada sindrom HELLP tidak mempengaruhi
luaran neonatal dan tidak berpotensi untuk memprediksi terjadinya kematian janin
dalam rahim. Progonsis neonatal secara umum bergantung pada usia kehamilan dan
berat janin saat persalinan. Mortalitas perinatal pada kasus sindrom HELLP pada
umumnya berkisar pada angka 7 – 20%. Kematian perinatal pada umumnya
disebabkan oleh partus preterm, pertumbuhan janin terhambat dan solutio
placenta.17,18

2. Aspek Psikologi Sindrom HELLP


Sindrom HELLP tidak hanya berpotensi menyebabkan konsekuensi klinis bagi
orang yang mengalaminya, sebaliknya ada konsekuensi psikologis yang akan dialami
penderita sindrom HELLP. Hal tersebut utamanya akan tampak bila terjadi
morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal. Sampai saat ini, belum banyak
literatur yang membahas mengenai intervensi psikologis yang dapat digunakan
sebagai penanganan pada penderita sindrom HELLP. 19
Hipertensi pada kehamilan khususnya pada kasus – kasus dengan sindrom
HELLP dapat menyebabkan suatu perubahan mendadak yang dapat mempengaruhi
kesejahteraan seorang ibu. Perubahan mendadak tersebut dapat terjadi sebagai akibat
dari transisi dari seorang ibu yang sehat secara tiba – tiba membutuhkan perawatan di
rumah sakit, memerlukan banyak obat – obatan, memerlukan tindakan segera seperti
seksio sesarea, perawatan intensif (intensive care unit admission), dan rasa tidak
aman terhadap masa depan bayi yang dikandungnya. Hal tersebut berpotensi menjadi
cikal bakal terjadinya trauma psikologis bagi seorang ibu bahkan keluarganya.19
Gejala – gejala fisik dapat terus dirasakan pada penderita preeklampsia dan
sindrom HELLP hingga enam bulan pasca persalinan. Hal tersebut dialami pada 62%
kasus preeklampsia dan sindrom HELLP. Selain itu, sindrom HELLP merupakan
suatu kasus near miss dimana wanita yang mengalaminya cenderung untuk
terpisahkan dengan bayi yang dilahirkannya dalam jangka waktu yang cukup lama.
Hal tersebut terjadi karena perempuan dengan sindrom HELLP cendrung untuk
dirawat di perawatan intensif, sedangkan bayi yang dilahirkannya cenderung untuk
dilahirkan prematur dan dirawat di ruang intensif neonatal. Keadaan tersebut
berpotensi untuk menimbulkan efek psikologis jangka panjang bagi wanita yang
mengalami sindrom HELLP.(24)
Gejala – gejala psikologis yang kemungkinan besar dialamddi oleh perempuan
yang mengalami sindrom HELLP diantaranya anxietas, isolasi, dan trauma atas
kejadian yang meninmpanya. Hal tersebut tentunya akan memberikan dampak negatif
bagi kesejahteraan ibu, bayi, dan keluarga. Selain itu, kehamilan near miss
cenderung memberikan dampak negatif pada pemberian ASI.24
Perempuan – perempuan dengan kasus – kasus near miss (dalam hal ini
sindrom HELLP) cenderung untuk merasa sulit untuk kembali bersosialisasi atau
berinteraksi dengan keluarga, teman, dan komunitasnya. Mereka cenderung untuk
merasa terisolasi secara fisik dan emosional. Terisolasi secara fisik disebabkan oleh
ketidakmampuan mereka untuk merasa cukup sehat untuk bertemu dengan orang –
orang dan ketidakmampuan untuk mendapatkan pelayanan pasca persalinan seperti
yang dapat dijalani oleh wanita – wanita dengan kehamilan dan persalinan normal
tanpa komplikasi. Terisolasi secara emosional biasanya tampak ketika mereka merasa
orang lain tidak memahami kondisi yang dialaminya dan berapa lama proses
pemulihan yang dapat mereka jalani. Selain itu, perempuan dengan kehamilan dan
persalinan near miss juga merasa terisolasi dari ibu – ibu lain yang baru melahirkan
karena mereka menjalani proses kehamilan dan persalinan yang penuh dengan
komplikasi. 24
Wanita - wanita yang menjalani kehamilan dan persalinan dengan komplikasi,
khususnya pada kasus near miss, memiliki pengalaman – pengalaman fisik yang
bervariasi. Hal tersebut terjadi karena luasanya cakupan dan beratnya penyakit yang
diderita dan berapa lama mereka menjalani perawatan di rumah sakit. Beberapa orang
menjalani operasi mayor (sebagai contoh, histerektomi) dan perawatan intensif yang
berkepanjangan. Wanita kadang merasa lemah secara fisik dan cenderung untuk
immobilisasi pada saat dipulangkan. Wanita – wanita yang menjalani operasi
cenderung untuk merasa sakit dan hilang dalam waktu yang cukup lama. 24
Komplikasi kehamilan dan persalinan utamanya pada kasus near miss
seringkali menyulitkan wanita secara emosional. Efek traumatik yang ditimbulkan
pun cukup bervariasi. Beberapa wanita menyebutkan bahwa komplikasi kehamilan
tidak memengaruhi mental mereka, namun beberap menunjukkan adanya anxietas,
serangan panik, flashback, dan post traumatic stress disorder. Pasangan mereka juga
dapat merasakan hal yang serupa.24
Komplikasi yang terjadi pada kehamilan utamanya sindrom HELLP dapat
memengaruhi psikologi pasien perihal kehamilan berikutnya. Wanita yang
mengalami trauma akibat tersebut cenderung untuk memiliki rasa takut bila harus
kembali hamil terlebih bila dikatakan bahwa tingkat rekurensi sindrom HELLP
tentunya akan lebih tinggi pada orang yang pernah mengalami sindrom HELLP
sebelumnya. 24

3. Aspek Sosial Sindrom HELLP


Penderita sindrom HELLP tentunya akan sangat mempengaruhi kehidupan
sosial yang mereka jalani baik terhadap pasangan, keluarga, dan komunitas
sekitarnya. Situasi yang dialami pada penderita sindrom HELLP bisa saja
mendekatkan hubungan dalam keluarga karena harus saling menguatkan dalam
menghadapai situasi sulit tersebut. Disisi lain, situasi tersebut juga dapat
merenggangkan hubungan yang ada dalam keluarga karena efek traumatik yang
dialami bisa saja memengaruhi kesehatan mental penderitanya dan hal tersebut belum
tentu dapat diterima dengan baik oleh anggota keluarganya. 24
Wanita yang mengalami kehamilan dan persalinan near miss merasakan
pengalaman yang berbeda terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan.
Ada wanita yang menyampaikan bahwa mereka mendapatkan pelayanan yang sangat
baik dari pelayanan kesehatan yang diberikan, sedangkan disisi lain ada wanita yang
mengeluhkan pelayanan yang mereka dapatkan yang kurang baik dan cenderung
bersifat traumatik. Pelayanan medik yang baik yang diberikan kepada wanita –
wanita yang mengalami kasus near miss tentunya sangat membantu mereka untuk
pulihs secara emosional dan sosial. 24
Beberapa wanita dengan kasus near miss masih merasakan tidak adanya
komunikasi yang baik antara pihak rumah sakit dengan petugas yang melayaninya,
bahkan beberapa diantaranya tidak mengerti tentang kondisinya secara baik. Hal
tersebut menimbulkan suatu kondisi dimana wanita tersebut tidak merasakan adanya
dukungan yang mereka peroleh dari pihak rumah sakit setelah mereka dipulangkan.24
BAB III
KAJIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI SOSIAL

1. Epidemiology, Evidenced Based Sindrom HELLP


Sindrom HELLP merupakan suatu kondisi yang terjadi pada 0,1% - 0,6% dari
seluruh kehamilan dan 4% - 12% pasien dengan preeklampsia. Sindrom HELLP
cenderung terjaid setelah usia kehamilan 27 minggu dan persalinan, atau segera
setelah persalinan pada 15% - 30% kasus. Insiden sindrom HELLP jauh lebih tinggi
pada perempuan kulit putih dan cenderung terjadi pada usia maternal yang lebih tua,
dengan rata -rata usia terjadinya adalah 25 tahun. Sebaliknya, sindrom HELLP
cenderung terjadi pada usia maternal yang lebih muda yaitu rata – rata 19 tahun.
Medscape
Sebagian besar pasien dengan sindrom HELLP akan kembali stabil setelah 24 –
48 jam pertama. Pasien dengan jumlah trombosit yang sangat rendah cenderung
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengalami pemulihan. Tingkat rekurensi
sindrom HELLP pada kehamilan selanjutnya dapat mencapai 2% - 27%. Selain itu,
penderita sindrom HELLP akan berisiko untuk mengalami preeklampsia berat,
persalinan preterm, pertumbuhan janin terhambat, dan solutio placenta di kehamilan
berikutnya. Penderita sindrom HELLP juga cenderung mengalami peningkatan risiko
untuk mengalami hipertensi dan penyakit kardiovaskuler di waktu yang akan datang.
Medscape
Mortalitas maternal bervariasi antara 1% - 3% dan mortalitas perinatal dapat
mencapai 35%. Sindrom HELLP komplit akan meningkatkan risiko terjadinya
morbiditas dan mortalitas perinatal. 60% kasus kematian yang terjadi pada sindrom
HELLP terjadi pada pasiend dengan sindrom HELLP komplit. Perdarahan serebral
merupakan temuan yang paling sering ditemukan pada otopsi sebagai penyebab
kematian pada sindrom HELLP. Komplikasi – komplikasi yang dapat terjadi pada
sindrom HELLP seperti disseminated intravascular coagulation (DIC) (20%), solutio
placenta (16%), gagal ginjal akut (7%), dan edema paru (6%). Medscape
2. Manajemen Rumah Sakit
Maternal near miss adalah situasi dimana perempuan mengalami kejadian
hampir meninggal tetapi dapat selamat yang terjadi selama kehamilan atau dalam 42
hari setelah persalinan. Praktisnya, seorang ibu dianggap near miss jika dia selamat
dari suatu kondisi yang mengancam jiwanya (misalnya disfungsi organ). Komplikasi
maternal berat (severe maternal complications) merupakan kondisi – kondisi yang
mengancam jiwa (life-threatening conditions). Kategori ini meliputi banyak diagnosis
termasuk penyakit – penyakit yang dapat mengancam jiwa ibu hamil selama
kehamilan, persalinan, dan nifas. Luran maternal berat (severe maternal outcomes)
merupakan kasus – kasus dengan maternal near miss dan missed (kematian
maternal).28
Tata kelola klinik merupakan suatu kerangka kerja dimana suatu organisasi
dapat menjadi akuntabel untuk secara terus – menerus mempertahankan dan
meningkatkan kualitas pelayanannya dengan standar setinggi – tingginya dengan
selalu menciptakan lingkungan yang baik bagi terselenggaranya pelayanan yang
berkualitas. Pelaksanaan tata kelola klinik yang baik membutuhkan adanya fondasi
yang baik. Fondasi yang baik dapat dibangun pada sistem manejemen dan kultur yang
ada. Kultur yang baik bagi tata kelola klinik dapat dikembangkan melalui strategic
leadership dan learning organization. Kedua konsep tersebut yang mendasari
terbentuknya lingkungan organissasi yang mendukung tata kelola klinik yang baik
yang menjamin tersedianya pelayanan kesehatan yang berkualitas. Beberapa konsep
yang terkandung dalam tata kelola klinik yaitu adanya peningkatan kualitas dalam
efektivitas dan kualitas klinis (getting it right), keterlibatan masyarakat dan pasien
(listening to people), staf training dan akreditasi (able to do the job well), dan
manjemen risiko serta keluhan pelanggan (able to learn).28
Audit merupakan suatu mekanisme untuk membantu tenaga kesehatan
profesional untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan serta
pelayanan terbaik yang dapat disediakan pada pasien. Audit merupakan upaya
analisis kritikal dan sistematis dari kaulitas pelayanan secara luas, dimana pada audit
dilakukan evaluasi dari dampak prosedur diagnosis dan tatalaksana terhadap outcome.
Audit pada prinsipnya bertujuan untuk membandingkan antara prosedur yang
dikerjakan dengan standar yang ada. Audit medik merupakan suati proses internal di
fasilitas kesehatan yang mengacu pada beberapa hipotesis dari perjalanan klinis
(clinical pathway). Audit medik dilakukan dengan tujuan memudahkan tim maternal
untuk menurunkan case fatality rate, mememnuhi kebutuhan ibu dengan lebih baik,
dan meningkatkan pemanfaatan pelayanan.28
Audit merupakan suatu proses sistematik yang dapat diliha sebagai suatu siklus.
Siklus tersebut terdiri dari beberapa langkah yaitu menetapkan standar dan praktik
terbaik (best practice), membandingkan praktek sehari – hari dengan standar,
mengambil tindakan untuk meningkatkan pelayanan, melakukan pemantauan untuk
mepertahankan upaya peningkatan kualitas. Proses audit yang baik sebaiknya
menganut prinsip – prinsip berupa :28
 Upaya peningkatan kualitas pelaynaan berdasarkan hasil audit
 Adanya basis bukti (evidence based) ketika menetapkan standar.
 Tidak menyalahkan dalam prosesnya (no blame)
 Menjunjung tinggi konfidensialitas (no name)
 Bukan merupakan formalitas
Kajian suatu kasus berbasis fasilitas kesehatan merupakan sebuah kajian
kualitatif yang mendalam terhadap berbagai penyebab dan kejadian seputar near
miss/kematian yang terjadi di fasilitas kesehatan. Kajian ini berfokus pada
penelusuran rangkaian kejadian baik di dalam sistem pelayanan kesehatan maupun di
dalam fasilitas kesehatan dengan tujuan mengidentifikasi faktor – faktor yang dapat
dihindari atau dapat diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pelayanan maternal
kedepannya. Informasi yang ada akan sangat baik bila dilengkapi dengan dara di
komunitas. Fasilitas kesehatan hendaknya melakukan kajian terhadap semua kasus
kematian ibu yang terjadi di tempatnya, bila memungkinkan dalam kurun waktu 1 x
24 jam setelah terjadi kejadian.28
Kajian terhadap kasus – kasus near miss diharapkan memberi kontribusi bagi
penentuan kebijakan kesehatan maternal khususnya di rumah sakit. Keterlibatan
semua pihak khususnya profesional sangat penting untuk mendorong terciptanya
suatu proses pengembangan pendekatan multidisiplin dalam dalam tatalaksana kasus
– kasus yang kompleks dan kritis, serta tersusunya protokol yang berbasis bukti dan
meningkatnya kerjasama tim. Keuntungan kajian near miss diantaranya:28
 Meningkatkan kualitas praktik profesional (present practice to best
practice): Kajian kasus membantu profesional untuk mengidentifikasi
langkah – langkah yang substandar. Setelah identifikasi maka dapat diambil
langkah – langkah agar kasus – kasus selanjutnya dapat ditatalaksana dengan
kualitas yang lebih baik.
 Meningkatkan kualitas pelatihan: rekomendasi yang dihasilkan dapat
mempengaruhi kurikulum/modul pelatihan sehingga sesuai dengan
kebutuhan, termasuk memberi masukan bagi metode pelatihan yang lebih
baik, metode supervisi yang lebih baik.
 Meningkatkan sumber daya dengan menyediakan bukti kepada manajemen
yang dapat menjadi dasar bagi pemenuhan sarana, prasarana, dan bahkan
tenaga.
 Advokasi: hasil kajian kasus ini dapat menjadi umpan balik bagi berbagai
pihak baik komunitas maupun dinas kesehatan, organisasi profesi, organisasi
masyarakat, dan lain – lain.
 Cost – effectiveness: kajian kasus near miss yang dikerjakan di fasilitas
kesehatan biasanya biasanya tidak memerlukan biaya yang besar jika
dibandingkan dengan audit maternal di wilayah.

Kekurangan diadakan kajian pada kasus near miss diantaranya:28


 Tidak tersedianya dara dari keseluruhan populasi yang mana data populasi
ini akan menjadi sangat penting jika kematian lebih banyak terjadi di
komunitas.
 Data terkait kontributor komunitas pada kasus near miss di fasilitas
kesehatan tidak tersedia, kecuali jika memang secara khusus dikumpulkan.
 Hasilnya kurang komprehensif dibandingkan dengan audit klinik
 Tidak terlalu sistematis sebagaimana audtik klinik sehingga informasi yang
dihasilkan harus diterjemahkan secara hati – hati.
 Kajian di puskesmas sering menghadapi tantangan dengan tidak selalu
tersedianya narasumber ahli.

3. Manajemen Kesehatan
Ibu hamil dapat mengalami morbiditas berat yang bersifat akut selama
kehamilan dengan banyak faktor patologis maunpun non patologis yang dapat
memengaruhi kondisinya. Morbiditas yang terjadi tersebut dapat menyebabkan
kematian pada beberapa kasus, namun juga terdapat beberapa kasus yang selamat dari
kematian. Hal tersebut menjadi dasar untuk mengevaluasi kasus – kasus dengan
luaran maternal berat (severe maternal outcomes) (baik near miss maupun kematian
maternal) sehingga membentuk suatu model yang dapat meningkatkan kualitas
pelayanan maternal kedepannya.
World Health Organization (WHO) membentuk suatuk pendekatan near miss
untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pelayanan yang dapat diberikan di
fasilitas kesehatan. Pendekatan near miss WHO sebaiknya dilaksanakan dalam tiga
tahap yaitu penilaian awal, analisis situasi, dan intervensi untuk meningkatkan
kualitas pelayanan.Implementasi dari pendekatan ini diharapkan mampu:
 Menentukan frekuensi komplikasi maternal berat, kasus maternal near miss,
dan kematian maternal
 Mengevaluasi fasilitas kesehatan atau performa sistem kesehatan untuk
menurunkan angka luaran maternal berat.
 Menentukan frekuensi intervensi utama yang dilakukan untuk mencegah dan
menangani komplikasi berat yang berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan.
 Meningkatkan kesadaran dan promosi mengenai kualitas pelayanan yang
baik untuk meningkatkan pelaynaan kesehatan maternal.

Penilaian awal

Kriteria near miss Wanita dengan near miss,


berdasarkan audit klinis penilaian provider

Analisis situasi

Identifikasi hambatan dan


kesulitan dalam meningkatkan
kualitas pelayanan
Kriteria near miss
berdasarkan audit klinis

Intervensi untuk meningkatkan kualitas pelayanan

Pendapat ahli dan Penggunaan dan


Audit dan feedback
early adpoters pengembangan
protokol lokal

Identifikasi kasus
Kegiatan – kegiatan
prospektif
edukasional

Penggunaan checklist
berbasis bukti

Gambar 1. Kerangka konsep pendekatan near miss

4. Pendidikan dan Pelatihan


Setiap ibu hamil sebaiknya mengenal kondisi yang disebut sebagai sindrom
HELLP. Ibu hamil hendaknya mengetahui bahwa sindrom HELLP merupakan suatu
kondisi yang identik dengan peningkatan tekanan darah saat hamil dan biasanya
terjadi pada tiga bulan terakhir masa kehamilan. Meski demikian, setiap ibu hamil
hendaknya mengetahui bahwa kondisi tersebut juga dapat terjadi lebih dini pada
kehamilan atau dalam 1 – 2 hari pasca persalinan. Ibu hamil juga perlu mengetahui
bahwa sindrom HELLP biasanya memiliki manifestasi klinis non spesifik. Namun
sebagian besar manifestasi klinis yang dapat dirasakan berupa nyeri perut utamanya
pada bagian kanan atas, mual, dan muntah. Sindrom HELLP merupakan suatu
kondisi yang dapat mengancam nyawa ibu dan bayi yang dikandungnya. Uptodate
Sindrome HELLP merupakan komplikasi yang mampu meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Oleh sebab itu, diperlukan suatu
upaya pelatihan klinik bagi para provider agar dapat memberikan pelayanan terbaik
dan berkualitas pada kasus – kasus near miss secara khusus sindrom HELLP.
Pelatihan klinik merupakan pelatihan yang diselenggarakan untuk membantu para
profesional kesehatan memperoleh kinerja yang diinginkan untuk memberikan
pelayanan yang aman dan berkualitas di bidang kesehatan reproduksi. Pelatihan
berkaitan erat dengan upaya untuk mendapatkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tindakan/rposedur yang spesifik.
Pelatihan klinik yang efektif dirancang dan diselenggarakan sesuai dengan prinsip –
prinsip belajar orang dewasa yang bersifat partisipatif, relevan, dan praktis.
Pembelajaran untuk mendapatkan suatu keterampilan terjadi dalam tiga
tahapan. Tahapan pertama adalah keterampilan awal (skill acquisition) dimana
peserta pelatihan melihat orang lain memperagakan suatu prosedur dan mendapatkan
gambaran mental dari langkah – langkah yang diperlukan. Setelah itu, peserta
pelatihan diharapkan mampu untuk melakukan keterampilan tersebut (skill
competency) dan merasa percaya diri untuk mengerjakan prosedur tersebut. Tahap
akhir, yaitu tingkat mahir (skill proficiency) yang hanya akan tercapai melalui praktek
klinik berulangkali dari waktu ke waktu.
Kajian near miss merupakan suatu kegiatan yang dapat dilakukan melalui
proses pembelajaran dan pelatihan. Setiap kajian near miss seringkali terjadi bukan
hanya akibat adanya masalah standar prosedur medik yang memerlukan tetapi juga
standar – standar penunjang seperti misalnya berapa lama response time bagi
pemeriksaan laboratorium, kurangnya kerjasama antar petugas; serta standar prosedur
medik yang harus disepakati antar dua keilmuan yang berbeda di rumah sakit,
misalnya penanganan kejang pada eklampsia di bagian kebidanan berbeda dengan
penanganan kejang di bagian neurologi. Komite medik berperan dalam
mengkoordinir kegiatan ini bersama dengan SMF terkait serta komite keperawatan
dan bidang pelayanan medik.
Peserta kajian harus berasal dari berbagai latar belakang seperti tenaga
kesehatan medis /paramedis dan tenaga kesehatan non medis.perwakilan manajemen.
Jumlah peserta sebaiknya tidak lebih dari 20 orang. Peserta kajian near miss
diharapkan mampu memiliki pemahaman dasar dari proses kajian near miss,
pemahaman dan komitmen terhadap rekomendasi yang dihasilkan, ketertarikan dan
komitmen untuk melakukan investigasi dari kajian near miss.
Kajian kasus dimulai dengan presentasi kasus, mengumpulkan semua data dan
informasi, merangkum dan mempresentasikan pada waktu kajian kasus. Informasi
yang diperoleh dapat lebih luas dan tidak hanya berasal dari rekam medis. Langkah
berikutnya adalah dengan membuat standar klinis yairu kualitas pelayanan minimal
yang dapat diterima. Standar ini menggambarkan “cara terbaik” dalam memberikan
pelayanan bagi setiap kasus menurut standar yang berbasis bukti ilmiah, pendapat
ahli dan dengan mempertimbangkan konteks lokal serta sumber daya yang tersedia.
Standar ini akam memudahkan dalam menilai dan mencapai konsensus terhadap
pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan.
Pengkajian kasus lalu diikuti dengan sesi pembelajaran. Sesi pembelajaran
merupakan mata rantai penting dalam kegiatan audit/pengkajian kasus. Hal ini
merupakan umpan balik kepada pelayanan dalam hal ini petugas yang memberikan
pelayanan dan sistem yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan tersebut sesuai
dengan azas – azas yang dianut dalam kegiatan audit atau pengkajian kasus, yaitu: no
naming, no shaming, dan pro justicia. Pembelajaran secara garis membesar memiliki
sasaran pada kelompok petugas kesehatan yang terlibat langsung, kelompok
komunitas pelayanan di fasilitas kesehatan yang bersangkutan, dan kelompok
komunitas pelayanan yang lebih luas.
Sesi pembelajaran dapat terbagi menjadi sesi pembelajaran individual, sesi
pembelajaran kelompok terfokus, dan sesi pembelajaran massal. Sesi pembelajran
individual bertujuan untuk memberikan umpan balik kepada petugas kesehatan yang
terlibat langsung dalam penanganan suatu kasus. Bentuk dan hasil pembelajaran
tersebut dapat berupa surat rekomendasi, informasi tentang standar yang harus
dicapai oleh petugas, hal spesifik yang ingin diperbaiki dari petugas kesehatan. Sesi
pembelajaran kelompok terfokus bertujuan untuk memberikan umpan balik kepada
petugas kesehatan yang tidak terlibat langsung dalam penanganan kasus akan tetapi
dengna memahami kajian terhadap kasus yang terjadi maka kelompok ini dapat
meninjau kembali dukungannya dan meningkatkan kualitas perannya apabila kasus
serupa terjadi dikemudian hari. Bentuk dan hasil pembelajaran pada kelompok
terfokus dapat berupa updatei teknis maupun update klinis dengan melibatkan
narasumber setempat/lokal atau jika memang dibutuhkan dapat melibatkan
narasumber regional yang memang telah merupakan jejaring fasilitas tersebut atau
bahkan nasional, serta revisi terhadap prosedur tetap jika memang diperlukan. Sesi
pembelajaran massal bertujuan untuk memberikan umpan balik kepada kelompok
yang terdiri dari petugas kesehatan, pembuat kebijakan kesehatan, pemerintah daerah
diluar bidang kesehatan dan masyarakat. Bentuk pembelajaran masalah sangat
beragam dan disesuaikan dengan kondisi setempat. Bentuk pembelajaran dapat
berupa poster – poster promosi kesehatan untuk komunitas pneunjang rumah sakit,
brosur, website yang isi serta bahasa yang digunakan sesuai dengan audiens yang
dituju. Penyelenggaraan dikoordinasikan dengan PKMRS (Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat di Rumah Sakit) dan jika dirasakan perlu untuk memberikan
pembelajaran yang lebih luas dapat dikoordinasikan dengan forum – forum
masyarakat yang peduli dengan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Bagi kelompok
petuga kesehatan, hal ini akan berkaitan erat dengan rujukan, dapat berupa forum
diskusi/update teknis/update klinis bagi petugas kesehatan yang terkait dengan
peningkatan kemampuan penanganan kasus – kasus tertentu. Penyelenggaraannya
memerlukan kerjasama dan koordinasi dengan Dinas Kesehatan agar berdampak bagi
peningkatan kualitas rujukan.
5. Holistik
6. Bioetika dan Etikomedikolegal
Medikolegal merupakan suatu cabang ilmu yang melibatkan dua aspek yaitu
medico yang berarti ilmu kedokteran dan -legal yang berarti ilmu hukum.
Medikolegal memiliki fokus pada standar pelayanan medis dan standar pelayanan
operasional dalam bidang kedokteran dan hukum – hukum yang berlaku pada
umumnya dan hukum – hukum yang bersifat khusus. Pendekatan secara
etikomedikolegal berbeda dengan pendekatan hukum pada umumnya karena
melibatkan dua ilmu yaitu ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Hakikat dari pendekatan
etikometdikolegal ini berawal dari hak ataw perawatan kesehatan, yaitu hak untuk
menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi. Aspek – aspek yang harus terpenuhi
dalam medikolegal diantaranya:
1. Hak dan kewajiban pasien
2. Hak dan kewajiban provider
3. Jaminan bahwa pelayanan yang diberikan dengan cara dan mutu yang dapat
dipertanggungjawabkan
4. Sistem dan prosedur menjamin hak dan kewajiban serta menjamin tindakan
yang dilaksanakan di rumah sakit dapat dilakukan evaluasinya
5. Hak kewajiban pemilik dan pengelola
Aspek medikolegal sesudah diterbitkannya dalam Undang – Undang Praktik
Kedokteran No.29 tahun 2004 (UU Praktek Kedokteran) norma disiplin menjadi hal
baru yang perlu diperhatikan dan dikaji karena di dalam Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI) ada lembaga yan disebut sebagai Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) dengan tujuan menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran hubungan dokter dengan pasien yang berupa
1. Hubungan kebutuhan
2. Hubungan kepercayaan
3. Hubungan keprofesian
4. Hubungan hukum
Hubungan antara dokter dengan pasien dalam transaksi “terapeutik” didasari
oleh dua macam hak asasi manusia yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Perjanjian terepeutik antara dokter dan
pasien menimbulkan hak dan kewajiban pada masing – masing pihak. Kasus dengan
maternal near miss merupakan suatu keadaan yang membutuhkan intervensi segera.
Intervensi atau tindakan yang dilakukan pada kasus tersebut tidak dapat dijatuhkan
sanksi pidana bila:
1. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkret tertentu
2. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran
3. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu.
Bagian terpenting dari perjanjian terapeutik adalah adanya informasi dari kedua
belah pihak yang merupakan hak dan kewajiban masing – masing sebagai landasan
untuk melaksanakan tindakan medis. Dasar hukum perjanjian terapeutik ada pada
Pasal 1233 KUHPer. Dasar hukum hubungan dokter dengan pasien dibagi menjadi
dua yaitu karena kontrak dan Undang -Undang.

Anda mungkin juga menyukai