Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN MATERNIRAS PADA Ny U


G2P1A1 DENGAN KEHAMILAN INDIKASI HELLP SYNDROME
DI RUANG PONEK RUMAH SAKIT DAERAH MOEWARDI SURAKARTA

Disusun Guna Memenuhi Tugas PKK Lanjut


Di RS Daerah Moewardi Surakarta

Disusun oleh :
Rosita Anjani
20018

AKADEMI KEPERAWATAN YAPPI SRAGEN


JAWA TENGAH
2023
A. PENGERTIAN
HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan gejala yang
mencakup hemolisis, peningkatan enzim liver, dan jumlah platelet yang kurang dari
batas bawah. Bersama dengan preeklampsia, sindroma HELLP adalah penyebab
morbiditas dan mortalitas tertinggi pada ibu hamil di dunia. HELLP biasanya
berkembang secara tiba-tiba dalam kehamilan (Usia Kehamilan/UK 27-37 minggu)
atau pada masa puerperium. Sebagai salah satu bentuk kriteria dari preeklampsia
berat, HELLP memiliki onset yang juga mengawali proses gangguan pada
perkembangan dan fungsi plasenta, dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang
secara akumulatif akan mengganggu endothelium melalui aktivasi platelet,
vasokonstriktor, dan menyebabkan terganggunya kehamilan normal yang ditunjukkan
dengan abnormalitas relaksasi vaskular. Sindrom HELLP (hemolysis, elevated
liver enzyme level, low platelet count) adalah komplikasi pada kehamilan yang
muncul dengan adanya hemolisis, peningkatan enzim hati ,dan trombositopenia.
Sindrom HELLP terjadi pada 0,5-0,9% kehamilan dan 10-20% terjadipada kasus
preeklamsia berat (Kjell, 2018).
Sindrom HELLP merupakan suatu variasi preeklampsia berat yang disertai
trombositopenia (jumlah trombosit 600 IU/L), dan peningkatan kadar enzim hati
(aspartate aminotransferase/AST >70 IU/L). Sindrom HELLP Parsial yaitu bila
dijumpainya satu atau duadari ketiga parameter sindrom HELLP. Lebih jauh lagi
sindrom HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H),
Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis +
elevated liver enzymes (H+EL).Berdasarkan jumlah trombosit penderita sindrom
HELLP dibagi dalam 3 kelas, yaitu:kelas I jumlah trombosit ≤50.000/mm3,kelas II
jumlah trombosit >50.000-100.000/mm3, kelas III jumlah trombosit >100.000-
150.000/mm3 (Perveen, 2017).
B. ETIOLOGI
Penyebab sindrom HELLP belum diketahui secara pasti. Namun, ada dugaan bahwa
sindrom HELLP dipicu oleh preeklamsia atau eklamsia. Pemicu lainnya adalah
sindrom antifosfolipid, yaitu kondisi yang menyebabkan penggumpalan darah.
Penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui. Kenaikan tekanan darah dan
tanda-tanda maternal lainnya hanya gambaran sekunder yang merupakan refleksi dari
suatu masalah intra uterin. Dengan demikian tanda-tanda preeklamsia harus
dipandang sebagai konsekuensi dari suatu proses patologis yang lebih fundamental
pada sistem target maternal yang spesifik yaitu sistem arteri, hepar, ginjal dan sistem
koagulasi. Tiga kelainan sistem target maternal yang sering terjadi bersamaan pada
kasus preeklampsia dan eklampsia yaitu kelainan laboratorium berupa hemolisis
intravaskuler, peninggian kadar enzim-enzim hepar dan jumlah trombosit yang rendah
(Dinkes Sumbar, 2017). Sejumlah faktor berikut ini juga dapat meningkatkan risiko
ibu hamil untuk menderita sindrom HELLP:
1. Menderita hipertensi
2. Berusia di atas 35 tahun
3. Mengalami obesitas
4. Memiliki riwayat preeklamsia atau eklamsia pada kehamilan sebelumnya
5. Menderita diabetes
6. Menderita penyakit ginjal
C. PATOFISIOLOGI
Dasar patofisiologi sindrom HELLP adalah adanya aktivasi endotel pembuluh
darah,trombosit, hemolisis dan kerusakan hati, hal tersebut berisiko berkembang
menjadi DIC. Dalam sebuah penelitian kohort retrospektif, 38% wanita hamil
dengan sindrom HELLP dapat berkembang menjadi DIC (trombosit <
100.109/L, konsentrasi fibrinogen < 3g/L,degradasi fibrin > 40 mg/L). Pada DIC,
rendahnya kadar antitrombin mungkin disebabkan karena disfungsi hati,
penurunan sintesis, dan peningkatan konsumsi. Sindrom HELLP mempunyai
konsentrasi fibronektin dan D-dimer yang lebih tinggi, serta kadar antitrombin
yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kehamilan normal dan
preeclampsia.
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi Sindrom HELLP menurut Tennessee :
1. Complete sindrom HELLP
a. Trombosit < 100.000/ µL
b. AST atau ALT > 70 IU/L
c. LDH > 600 IU/L atau bilirubin >0,2 mg/Dl
2. Partial sindrom HELLP
a. ELLP : peningkatan enzim hati, trombositopenia, tidak terdapat hemolisis
b. EL : peningkatan enzim hati, tidak terdapat trombositopenia, tidak terdapat
hemolisis
c. LP : trombositopenia, tidak terdapat hemolisis, tidak terdapat peningkatan
enzim hati
d. HEL : hemolisis, disfungsi hati, tidak terdapat trombositopenia
E. FAKTOR RISIKO
Berikut adalah beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
sindrom HELLP :
1. Usia ibu lebih dari 34 tahun
2. Multiparitas
3. Ras putih
4. Riwayat obstetri yang jelek
F. TANDA GEJALA
Tanda dan gejala yang umum terjadi pada sindrom HELLP meliputi:
1. Nyeri di perut bagian kanan atas
2. Kelelahan
3. Pembengkakan di bagian wajah atau lengan
4. Sakit kepala
5. Mual dan muntah
6. Mimisan
G. PATHWAY

H. KOMPLIKASI
Jenis komplikasi sindrom HELLP antara lain :
1. Solusio plasentae
2. Gagal ginjal
3. Asites
4. Kemungkinan ruptura dari liver
Komplikasi yang terlambat didiagnosis dan terlambat mencapai tingkat pelayanan
lanjutdapat menimbulkan kematian. Kematian perinatal dapat disebabkan oleh
1. Solusio plasentae
2. Asfiksia intrauterine yang berat
3. Intrauterine growth retardation
4. Persalinan prematuritas
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Tanda vital yang diukur 2 kali dengan interval 6 jam.
b) Laboratorium : proteinuri dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkathingga 0,3 gr/lt atau + 1 sampai + 2 pada skala kualitatif), kadar
hematokritmenurun, berat jenis urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric
acid > 7mg/100 ml.
c) USG : untuk medeteksi keadaan kehamilan, dan plasenta.
d) NST :untuk menilai kesejahteraan janin
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal harus mencakup penilaian maternal dan fetal,
pengendalian hipertensiberat, jika ada, inisiasi infus MgSO4, koreksi koagulopati, jika
ada, dan stabilisasi maternal .Komplikasi sindrom HELLP yang berpotensi
mengancam jiwa adalah sebuah hematomahepar subkapsuler. Jika terdapat
kecurigaan yang tinggi terhadap keberadaan hematoma heparsubkapsuler yang
tinggi, maka sebaiknya dilanjutkan dengan melakukan computedtomography
scan (Cunningham FG, 2014). Terapi dari sindrom HELLP bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kondisi umum penderita minimal stabil.
2. Menghindari lebih jauh gangguan koagulasi darah.
3. Meningkatkan kesejahteraan janin dalam uterus.
4. Persalinan sebaiknya segera dilaksanakan:
a. Bergantung pada umur kehamilan.
b. Lakukan induksi persalinan.
c. Bila serviks tidak matang atau terdapat pertimbangan lainnya dapat dilakukan
seksiosesarea.
Persalinan dengan segera harus dilakukan jika usia kehamilan pasien > 34
minggu. Padapasien kurang dari 34 minggu dan tanpa adanya bukti
maturitas paru-paru janin, makasebaiknya diberikan glukokortikoid untuk
kepentingan janin dan persalinan direncanakan dalam waktu 48 jam, jika tidak
ada perburukan dalam status maternal dan fetal. Berbagai penelitian telah dilakukan
terhadap penggunaan steroid, volume expander, plasmaferesis, danagen
antitrombotik terhadap pasien dengan HELLP untuk mencoba
memperpanjang usiagestasi. Penelitian-penelitian tersebut hanya menunjukkan
hasil yang marjinal. Terdapatbeberapa bukti manfaat terapi steroid untuk
perbaikan kondisi maternal. Dalam sebuahpenelitian yang dilakukan oleh
O’Brien dkk., penggunaan glukokortikoid antepartum menunjukkan adanya
perpanjangan latensi yang tergantung-dosis, reduksi abnormalitas enzimhati, dan
perbaikan dalam hitung platelet pada pasien dengan sindromn HELLP.
Penatalaksanaan konservatif sindrom HELLP memiliki resiko yang
signifikan, termasukabruptio plasenta, edema pulmoner, adult respiratory
distress syndrome (ARDS), rupturhematoma hepar, gagal ginjal akut, disseminated
intravascular coagulation (DIC), eklamsia,hemoragia intraserebral, dan kematian ibu.
Maka tidak diperlukan penatalaksanaan lebih dari48 jam setelah pemberian
glukokortikoid untuk kemungkinan manfaat bagi janin yangminimal ketika
dibandingkan dengan resiko maternal yang berat.
Dalam melakukan persiapan tindakan operasi persalinan pada sindrom
HELLP harus memperhatikan bahwa tendensi perdarahan selalu mengancam sehingga
pemeriksaan tentang profil darah khususnya trombosit (Cunningham FG, 2014).:
1. Persiapan sebelum operasi.
a. Lakukan transfusi trombosit sebelum dan sesudah operasi bila trombosit
kurang dari 10.000/mm.
b. Transfusi 6-10 unit trombosit bila jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm.
2. Untuk menghindari hematoma-rembesan perdarahan.
a. Pemasangan drainase sehingga darah dapat keluar melalui drain.
b. Perawatan luka terbuka, untuk menghindari hematoma.
3. Pengawasan pasca operasi.
a. Intensif unit care, untuk melakukan evaluasi organ dan gejala vital.
b. Sekitar 30 % sindrom HELLP terjadi post partum operasi.
c. Umumnya gejala akan berkurang setelah 72 jam sehingga pengobatan masih
perlu dalam waktu 24 jam pascapartum.
4. Komplikasi yang sering terjadi:
a. Edema pulmonum.
b. Dekompensasio kordis.
c. Kegagalan ginjal.
Dengan demikian observasi yang ketat perlu dilakukan sehingga gejala
utama yang makin memburuk segera dapat diketahui, untuk persiapan tindakan
lebih lanjut.
K. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Anamnesa :
a) Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, berapa kali
nikah,dan berapa lama.
b) Riwayat kehamilan sekarang : kehamilan yang ke berapa, sudah
pernahmelakukan ANC, terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri
epigastrium,mual muntah, dan penglihatan kabur.
c) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit jantung, ginjal, HT, paru.
d) Riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : adakah hipertensi
ataupreeklampsi.
e) Riwayat kesehatan keluarga : adakah keluarga yang menderita penyakit
jantung,ginjal, HT, dan gemmeli.
f) Pola pemenuhan nutrisi.
g) Pola istirahat.
h) Psiko-sosial- spiritual : emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan
kecemasan.
Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : oedema, yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi oedema dengan
menekanbagian tertentu dari tubuh.
c) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress,
kelainanjantung, dan paru pada ibu.
d) Perkusi : untuk mengetahui reflek patela sebagai syarat pemberian Mg SO4
2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (D.0003).
2) Nyeri akut b.d adgen pencedera fisiologis (D.0077).
3) Gangguan eliminasi urine b.d penurunan kapasitas kandung kemih (D.0040).
4) Resiko infeksi d.d efek prosedur invasif (D.0142).
5) Menyusui tidak efektif b.d payudara bengkak (D.0029).
3. Intervensi Keperawatan
Berikut Intervensi yang dapat dilakukan sesuai standar intervensi keperawatan
Indonesia (Tim Pokja Siki DPP PPNI, 2018).
1) Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (D.0003).
a. Tujuan umum : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama waktu
tertentu diharapkan pertukaran gas meningkat
b. Kriteria hasil :
- Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang.
- Tidak terdenga bunyi nafas tambahan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal
c. Intervensi ( Dukungan Ventilasi ) :
Observasi
(1) Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas.
(2) Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status pernafasan.
(3) Monitor status respirasi dan oksigenisasi.
Terapeutik
(1) Pertahankan kepatenan jalan nafas.
(2) Berikan posisi semi fowler atau fowler.
(3) Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin.
(4) Berikan oksigenisasi sesuai kebutuhan.
Edukasi
(1) Ajarkan melakukan tehnik relaksasi nafas dalam
(2) Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
2) Nyeri akut b.d adgen pencedera fisiologis (D.0077).
a. Tujuan umum : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama waktu
tertentu diharapkan tingkat nyeri berkurang.
b. Kriteria hasil :
a) Pasien melaporkan keluhan nyeri berkurang
b) Keluhan nyeri meringis menurun
c) Pasien menunjukkan sikap protektif menurun.
d) Pasien tidak tampak gelisah.
c. Intervensi ( Manajemen Nyari ) :
Observasi
(1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, intensitas nyeri.
(2) Identifikasi skala nyeri.
(3) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
(4) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
(5) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.
Terapeutik
(1) Berikan tehnik norfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(2) Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
(1) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
(2) Jelaskan strategi meredakan nyeri
(3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
(4) Ajarkan tehnik nonfarmakologis untuk mengutangi nyeri.
Kolaborasi Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
3) Gangguan eliminasi urine b.d penurunan kapasitas kandung kemih (D.0040).
a. Tujuan Umum : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama waktu
tertentu diharapkan eliminasi urine pasien membaik.
b. Kriteria Hasil :
a) Pasien melaporkan sensasi berkemihnya meningkat.
b) Pasien melaporkan dapat berkemih dengan tuntas.
c) Tidak ada tandan – tanda distensi kadnung kemih.
c. Intervensi ( Manajemen Eliminasi Urine) :
Observasi
(1) Monitor eliminasi urine (Frekuensi, konsistensi, volume dan warna)
Terapeutik
(2) Catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
(3) Ambil sampe urine tenga ( Midstream ).
Edukasi
(1) Identifikasi tanda dan gejala infeksi saluran kemih.
(2) Ajarkan mengambil spesimen urine midstream.
4) Resiko infeksi d.d efek prosedur invasif (D.0142).
a. Tujuan Umum : Setelah dilakukan intrevensi keperawatan selama waktu
tertentu diharapkan tingkat infeksi menurun.
b. Kriteria Hasil
a) Tidak ada tandan –tanda infeksi ( Demam, Nyeri, Kemerahan dan
Bengkak).
b) Kadar sel darah putih membaik.
c. Intervensi ( Pencegahan Infeksi)
Observasi
(1) Monitor tanda dan gejalan infeksi lokal dan sistemik.
Terapeutik
(1) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien.
(2) Pertahankan tehnik aseptik pada psien beresiko tinggi.
Edukasi
(1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
(2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
(3) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka post operasi.
(4) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
5) Menyusui tidak efektif b.d payudara bengkak (D.0029).
a. Tujuan Umum : Setelah dilakuan intervensi keperawatan selama waktu
tertentu diharapkan status menyusui membaik.
b. Kriteria Hasil :
a) Perlekatan bayi pada payudara ibu meningkat.
b) Kemampuan ibu memposisikan bayi dengan benar meningkat.
c) Pancaran ASI meningkat
d) Suplai ASI adekuat meningkat.
e) Pasien melaporkan payudara tidak bengkak
c. Intervensi ( Konseling Laktasi ) :
Observasi
(1) Identifikasi permasalahan yang ibu alami selama proses menyusui.
(2) Identifikasi keinginan dan tujuan menyusui.
(3) Identifikasi keadaan emosional ibu saat akan dilakukan konseling
menyusui.
Terapeutik
(1) Gunakan tehnik mendengar aktif.
(2) Berikan pujian terhadap perilaku ibu yang benar.
Edukasi Ajarkan tehnik menyusui yang tepat sesuai kebutuhan ibu.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Potter & Perry, 2016). Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi
pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah
pelaksaan tindakan, serta menilai data yang baru.
5. Evaluasi Keperawatan
Pada tahap ini, hal yang dilakukan adalah membandingkan tingkah laku
klien sebelum dan sesudah implementasi. Hal ini terkait kemampuan klien
dengan preeklampsia primigravida dalam beradaptasi dan mencegah timbulnya
kembali masalah yang pernah dialami. Pada klien preeklampsia multigravida
dapat mengevaluasi kemampuan masalah adaptasi yang pernah dialami,
kemampuan adaptasi ini meliputi seluruh aspek baik psiko maupun social
(Hidayati, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, et al. 2014. Obstetri WilliamsEdisi 23. Jakarta: EGC.


Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat (2017). Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Barat
Tahun. Padang
Hidayati, R. (2014). Aplikasi Teori Adaptasi Dalam Asuhan Keperawatan. Retrieved from
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-3/20391269-SPRahma Hidayati.pdf
Kjell et.al (2018). The HELLP syndrome: Clinical issues and management. Journal : BMC
Pregnancy Childbirth.
Perveen S, Altaf W, Vohra N, et al (2017). Effect of gestational age on cord blood plasma
copper, zinc, magnesium and albumin. Ear hum dev. ;69(1):15-23.
Purba, M. A. (2019). Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.
https://doi.org/https://doi.org/10.31227/osf.io/pz42
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Tim Pokja Siki DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai