DIFTERI
Disusun oleh :
20174011046
Diajukan kepada :
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
DIFTERI
Maret 2018
Oleh :
20174011046
Disetujui oleh :
KATA PENGANTAR
Penulis
iv
DAFTAR ISI
REFERAT ................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
BAB 1 ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
A. DEFINISI 3
B. EPIDEMIOLOGI 3
C. ETIOLOGI 4
D. PATOGENESIS 5
E. GEJALA DAN TANDA 7
F. DIAGNOSIS 11
G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 12
H. PENATALAKSANAAN 13
I. KOMPLIKASI 17
J. PROGNOSIS 19
K. PENCEGAHAN 20
BAB III ................................................................................................................. 21
KESIMPULAN ..................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23
DAFTAR GAMBAR
v
vi
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan
strain toksin.Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi,
terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.
Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui
alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan,
demam tidak tinggi (kurang dari 38,5o C), dan ditemui adanya pseudomembrane
serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan
faring.
Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak
nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck).
10%, (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017).
1
2
Angka kematian Difteri rata rata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20%
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak
7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota
WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia,
dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR),
selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total
kasus SEAR).
Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun
2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016
tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016
Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara
global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari 90%.
Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu
kedalam program Bulan Imunisasi. Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk
bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak
sekolah dasar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada
mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil Gram positif Cornybacterium
yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini (Setiati S, 2016)
B. EPIDEMIOLOGI
puluh persen kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian dalam
suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas
3
4
yang berada pada risiko tertular difteri meliputi: (Abdul Latief, 2013)
Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak
sehat
C. ETIOLOGI
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman tumbuh secara
aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada media yang
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak
5
tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang
pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C.
D. PATOGENESIS
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek
dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam
amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A
dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam
amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA,
akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon,
sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin
difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada
dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (FKUI, 2010)
7
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur,
penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya
datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam
jarang melebihi 38,90C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi
Malaise
Sakit kepala
(sekitar 50%)
Fokus infeksi primer yang sering yaitu terdapat pada tonsil atau
pharynx kemudian hidung dan larynx. Setelah 2-4 hari masa inkubasi, tanda
dan gejala lokal dari peradangan muncul. Infeksi dari nares anterior lebih
eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan
separuh dari pasien memiliki gejala demam, dan sebagian lagi mengeluhkan
disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan
2. Difteri Hidung
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
menyebabkan lecet pada nares dan bibis atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea.
bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
4. Difteri Laring
difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis
difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain,
seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
telinga merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit
berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
F. DIAGNOSIS
penderita difteri. Lalu pasien akan mengatakan keluhan suara serak, stridor,
bahkan ada tanda obstruksi jalan nafas. Keluhan demam yang tidak terlalu
Pada pemeriksaan fisik dari rongga mulut adanya infeksi pada tonsil,
faring, dan adanya rhinitis. Ditemukan juga adanya limfadenitis servikal dan
edema jaringan lunak leher (bullneck). Yang khas pada difteri adalah
2017)
G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
b. Common cold
c. Sinusitis
2. Difteri fausal
menimbulkan perdarahan
splenomegaly ada nya sel mononuclear yang abnormal pada daerah tepi
c. Kandidiasis mulut
3. Difteri laring
a. Laringotrakeobronkitis
b. Croup spasmodic/nonspasmodik
d. Abses retrofaringeal
H. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan Umum
a. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama
d. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
2. Perawatan Khusus
pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari
(IDAI, 2010)
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit
tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji
empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
berat badan pasien, berkisar antara 20.000 – 120.000 KI. Pemberian ADS
b. Antibiotik
dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari),
difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus
dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan
c. Kortikosteroid
bullneck)
d. Penatalaksanaan Komplikasi
e. Penatalaksanaan kontak
f. Penatalaksanaan Karier
I. KOMPLIKASI
obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan
ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain. (Abdul Latief, 2013)
18
oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
2. Dampak toksin
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan
bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6.
terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung.
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,
terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan
Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke -7 sebagai akibat
neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak
vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung. (Abdul Latief, 2013)
J. PROGNOSIS
difteria
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;
K. PENCEGAHAN
anjuran Inisiatif global Pertusis (dibentuk pada 2001) yaitu kelompok kerja
penyakit pada bayi, remaja, dan dewasa untuk difteri, pertusis dan tetanus.
Bentuk toksoid difteri ada 4 macam yaitu : DTaP, Tdap, DT, dan Td. Untuk
vaksinasi pada anak digunakan DTaP dan dewasa digunakan Tdap. Vaksin ini
dan vaksin tetanus. DTaP diberikan pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-
18 bulan, dan 4-6 tahun. DT adalah vaksin difteri dan tetanus diberikan anak-
anak remaja dan orang dewasa diberikan sebagai booster setiap 10 tahun atau
difteri (2,0-2,5 unit Lf), diberikan pada usia diatas 7 tahun. Td diberikan pada
Pada orang yang kontak erat dengan penderita difteri terutama yang
(Setiati S, 2016)
BAB III
KESIMPULAN
segera, oleh karena itu bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam
tempat di dunia tetapi masih terdapat beberapa kasus yang terkena pada anak yang
kadang dengan tanda dan gejala yang tidak khas. (Richard E. Behrman, 2015)
gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,90C. (Richard
E. Behrman, 2015)
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam
21
22
Abdul Latief, e. a. (2013). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Sagung
Seto.
IDAI. (2010). Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Badan
Penerbit.
Setiati S, A. I. (2016). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid VI. Jakarta.
23