Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

DIFTERI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :

Asri Auliana Anggraeni

20174011046

Diajukan kepada :

dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.Kes

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
ii

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

DIFTERI

Telah dipresentasikan pada tanggal :

Maret 2018

Oleh :

Asri Auliana Anggraeni

20174011046

Disetujui oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo

dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.Kes


iii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.


Segala puji syukur bagi Alllah SWT, atas karunia dan nikmat-Nya yang
telah diberikan. Alhamdulilah, dengan penuh mengucap rasa syukur, penulis dapat
menyelesaikan Referat “Difteri” ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.Pd., M.Kes selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam sekaligus pembimbing Referat di
RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan memberikan
bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya penulisan
Referat ini.
2. dr. Suprapto, Sp.Pd. dan dr. Widhi P. S., Sp.Pd selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD KRT
Setjonegoro yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan
bimbingan dari awal sampai selesainya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
3. Seluruh perawat, tenaga medis lainnya dan staf di Bangsal Cempaka,
Flamboyan dan Poli Penyakit Dalam yang telah berkenan membantu
berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Semoga pengalaman dalam membuat Referat ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan Referat ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan
berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan Referat selanjutnya.

Wonosobo, Maret 2018

Penulis
iv

DAFTAR ISI

REFERAT ................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
BAB 1 ..................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
A. DEFINISI 3
B. EPIDEMIOLOGI 3
C. ETIOLOGI 4
D. PATOGENESIS 5
E. GEJALA DAN TANDA 7
F. DIAGNOSIS 11
G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 12
H. PENATALAKSANAAN 13
I. KOMPLIKASI 17
J. PROGNOSIS 19
K. PENCEGAHAN 20
BAB III ................................................................................................................. 21
KESIMPULAN ..................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Membrane berwarna putih kelabu yang menutupi dinding tonsil 9


Gambar 2. Pseudomembrans dan Bull Neck 10

v
vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit 15

Tabel 2. Pengobatan terhadap kontak difteria 17


BAB 1

PENDAHULUAN

Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan

imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae

strain toksin.Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi,

terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.

Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae.

Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui

alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan,

demam tidak tinggi (kurang dari 38,5o C), dan ditemui adanya pseudomembrane

putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas,

serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan

faring.

Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak

nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck).

Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot

jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.

Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka

kematian adalah sekitar 50 %, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar

10%, (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017).

1
2

Angka kematian Difteri rata rata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20%

pada dewasa (diatas 40 tahun) (CDC Atlanta, 2016).

Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak

7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota

WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia,

dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR),

selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total

kasus SEAR).

Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika

dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun

2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016

mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada

tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016

menjadi 100 Kabupaten/ Kota.

Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara

global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari 90%.

Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu

pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan. Selanjutnya Imunisasi lanjutan DT dimasukkan

kedalam program Bulan Imunisasi. Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk

semakin meningkatkan perlindungan terhadap penyakit Difteri, imunisasi lanjutan

DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia 18

bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak

sekolah dasar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada

mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil Gram positif Cornybacterium

diphtheria dan Cornybacterium ulcerans yang ditandai oleh terbentuknya

eksudat berberbentuk membrane padatempat infeksi dan diikuti gejala umum

yang ditimbulkan eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini (Setiati S, 2016)

B. EPIDEMIOLOGI

Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara

nyata setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria.

Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan

puluh persen kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian dalam

suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas

populasi setempat. (Richard E. Behrman, 2015)

Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan

Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa

dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara

berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah. Faktor sosial

ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas

3
4

kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Orang-orang

yang berada pada risiko tertular difteri meliputi: (Abdul Latief, 2013)

 Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru

 Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak

sehat

 Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan

 Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri

C. ETIOLOGI

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif,

tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada

pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan pewarnaan,

kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan

kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman tumbuh secara

aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada media yang

mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia

Corynebacterium diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman

diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk

membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi

glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa. (Abdul Latief, 2013)

Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis,

intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya

basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak
5

tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang

pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C.

diphtheria adalah kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in

vitro. (Abdul Latief, 2013)

D. PATOGENESIS

Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,

melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian

atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya

menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek

toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein

dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam

amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A

dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam

amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA,

diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan

transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi

ini memerlukan enzim translokase yang aktif. (FKUI, 2010)

Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi

enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak berjalan

sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel

akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon,

terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik,


6

membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin

semakin banyak, daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat

fibrin.Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu

kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa

melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan

terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (Fajriyah, 2014)

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder

dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan atau

sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang

trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan

kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin

difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada

sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke

dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang

bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi

dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 - 7

minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan

degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung

tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan sistem

konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis

interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada

selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-kadang

tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (FKUI, 2010)
7

E. GEJALA DAN TANDA

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa

bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan/penyakit yang hipertoksik serta

fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,

virulensi serta toksigenitas C. diphtheria (kemampuan kuman membentuk

toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur,

penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada

sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya

datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam

jarang melebihi 38,90C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi

penyakit difteria. (Fajriyah, 2014)

Pasien dengan difteri pada umunya datang dengan keluhan-keluhan

berikut : (Setiati S, 2016)

 Demam (jarang > 39⁰ celcius) (50-85%) dan kadang-kadang menggigil

 Malaise

 Sakit tenggorokan (85-90%)

 Sakit kepala

 Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan pseudomembran

(sekitar 50%)

 Suara serak, disfagia (26-40%)

 Dyspnea, stridor pernapasan, mengi, batuk


8

1. Difteri Tractus Respiratorius

Fokus infeksi primer yang sering yaitu terdapat pada tonsil atau

pharynx kemudian hidung dan larynx. Setelah 2-4 hari masa inkubasi, tanda

dan gejala lokal dari peradangan muncul. Infeksi dari nares anterior lebih

sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis, purulen dan

rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares

eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan

pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul,

separuh dari pasien memiliki gejala demam, dan sebagian lagi mengeluhkan

disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan

diikuti dengan pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral

yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi

oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area

glotis. (Buescher, 2011)

2. Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan

gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung

berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,

menyebabkan lecet pada nares dan bibis atas. Pada pemeriksaan tampak

membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan

gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

(Abdul Latief, 2013)


9

3. Difteri Tonsil Faring

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam

ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang

melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring,

meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea.

Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi

limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi

bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck.

Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas

membran. (Abdul Latief, 2013)

Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.

Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai

kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi

dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi

berangsung-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada

kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi

penyembuhan sempurna. (Abdul Latief, 2013)

Gambar 1. Membrane berwarna putih kelabu yang menutupi dinding tonsil


10

Gambar 2. Pseudomembrans dan Bull Neck

4. Difteri Laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada

difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring

mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring

sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis

difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain,

seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.

Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal

dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan

nafas bisa terjadi kematian mendadak. (Richard E. Behrman, 2015)

5. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga

Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan difteria

telinga merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit

berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.

Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada

konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva


11

palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan

berbau. (Richard E. Behrman, 2015)

F. DIAGNOSIS

Dari anamnesis dapat kita tanyakan adanya kontak pasien dengan

penderita difteri. Lalu pasien akan mengatakan keluhan suara serak, stridor,

bahkan ada tanda obstruksi jalan nafas. Keluhan demam yang tidak terlalu

tinggi biasanya terjadi. (Indah, 2017)

Pada pemeriksaan fisik dari rongga mulut adanya infeksi pada tonsil,

faring, dan adanya rhinitis. Ditemukan juga adanya limfadenitis servikal dan

edema jaringan lunak leher (bullneck). Yang khas pada difteri adalah

ditemukan membrane pada tempat infeksi yang berwarna putih keabu-abuan

dan mudah berdarah ketika diangkat. Pemeriksaan laboratorium, hitung

leukosit darah tepi akan meningkat. Terkadang ditemukannya anemia. (Indah,

2017)

Untuk menegakan diagnosis infeksi C. diphtheria, adlah dengan

mengisolasi C.diphtheriae baik dalammedia kultur atau mengidentifikasi

toksinnya. Diagnosa awal cepat (presumtive diagnosis) dapat dilakukan

dengan pewarnaan gram dimana akan ditemukan bakteri untuk identifikasi

cepat. Diagnosa definitif dan identifikasi basil C. diphtheria dengan kultur

melaluimedia tellurite atau Loeffler dengan sampel yang diambil dari

pseudomembran di orofaring hidung, tonsil kriptus, atau ulserasi, di rongga

mulut. Pemeriksaan toksin bertujuan untuk menentukan adanya produksi

toksin oleh C. diphtheria (Setiati S, 2016)


12

G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

1. Difteria nasal anterior

a. Korpus alienum pada hidung

b. Common cold

c. Sinusitis

2. Difteri fausal

a. Tonsilofaringitis : ditemukan demam yang tinggi dan keluhan nyeri

menelan, pembesaran tonsil,membrane mudah lepasdan tidak

menimbulkan perdarahan

b. Mononucleosis infeksiosa : ditemukan limfadenopati generalisata,

splenomegaly ada nya sel mononuclear yang abnormal pada daerah tepi

c. Kandidiasis mulut

d. Herpes zoster pada palatum

3. Difteri laring

a. Laringotrakeobronkitis

b. Croup spasmodic/nonspasmodik

c. Aspirasi benda asing

d. Abses retrofaringeal

e. Papilloma laring (Setiati S, 2016)


13

H. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin

yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit

yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan

serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. (IDAI, 2010)

1. Perawatan Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2 - 3 minggu. (FKUI, 2010)

a. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama

bila terjadi miokrditis

b. Oksigen bila sesak nafas

c. Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna

dengan kalori tinggi

d. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga

kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.

e. Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat

f. Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus

berat selama 14 hari.

2. Perawatan Khusus

a. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)


14

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis

difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian

pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari

ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

(IDAI, 2010)

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata

terlebih dahulu, oleh karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi

anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam

semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dakam

larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam

20 menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan

meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata

yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit

tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji

kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi

(Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus

diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara

empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada

berat badan pasien, berkisar antara 20.000 – 120.000 KI. Pemberian ADS

intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam

1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat / reaksi

sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam

berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi

hipersensitivitas lambat (serum sickness). (IDAI, 2010)


15

Tabel 1. Dosis ADS menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit


Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuskular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuskular atau
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuskular atau
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuskular atau
Intravena
Kombinasi Lokasi di atas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, 80.000 – 120.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat (> 72 80.000 – 120.000 Intravena
jam), lokasi di mana saja

b. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,

melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin.

Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari,

dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari),

Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin G

(100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM),

atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap

12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan

difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus

dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan

tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai.


16

Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C.

diphteriae. (Buescher, 2011)

c. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini

pada difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria

yang disertai gejala.

- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak

bullneck)

- Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk

mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian

diturunkan dosisnya bertahap. (IDAI, 2010)

d. Penatalaksanaan Komplikasi

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar

hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin

umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta

gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan

trakeostomi. (Buescher, 2011)

e. Penatalaksanaan kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai

tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta

gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,

pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat

imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria (IDAI, 2010)


17

f. Penatalaksanaan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,

mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam

nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100

mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama

satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi /

adenoidektomi. (Widia, 2017)

Tabel 2. Pengobatan terhadap kontak difteria

Biakan Uji Schick Tindakan


(-) (-) Bebas isolasi: anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier: penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi

I. KOMPLIKASI

Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau

akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam

obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan

ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain. (Abdul Latief, 2013)
18

1. Obtruksi jalan nafas

Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria atau

oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.

(Abdul Latief, 2013)

2. Dampak toksin

Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa

miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan

biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan

antitoksin. (Abdul Latief, 2013)

Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2, tetapi

bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6.

Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup,

terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung.

Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,

perpanjangan interval PR, dan heart block. (Abdul Latief, 2013)

Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,

terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi

kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,

terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya

terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan

ke-7. (Abdul Latief, 2013)

Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya

deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal.


19

Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke -7 sebagai akibat

neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak

dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat

vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung. (Abdul Latief, 2013)

3. Infeksi sekunder bakteri

Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder

bakteri sudah sangat jarang terjadi. (Abdul Latief, 2013)

J. PROGNOSIS

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik

daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain. Di

Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih

dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. (FKUI-RSCM, 2014)

Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena:

(Fadlyana Eddy, 2013)

 obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana

difteria

 adanya miokarditis dan gagal jantung

 paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai

penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;

walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

(Julitasari Sundoro, 2014)


20

K. PENCEGAHAN

Pencegahan yang paling baik adalah dengan vaksinasi sesuai dengan

anjuran Inisiatif global Pertusis (dibentuk pada 2001) yaitu kelompok kerja

yang mempunyai tugas menjalankan imunisasi global dan pencegahan

penyakit pada bayi, remaja, dan dewasa untuk difteri, pertusis dan tetanus.

Bentuk toksoid difteri ada 4 macam yaitu : DTaP, Tdap, DT, dan Td. Untuk

vaksinasi pada anak digunakan DTaP dan dewasa digunakan Tdap. Vaksin ini

merupakan difteri dalam bentuk toksoid yang dikombinasikan dengan pertusis

dan vaksin tetanus. DTaP diberikan pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-

18 bulan, dan 4-6 tahun. DT adalah vaksin difteri dan tetanus diberikan anak-

anak remaja dan orang dewasa diberikan sebagai booster setiap 10 tahun atau

ketika telah terjadi paparan. D huruf kecil menunjukkan kekuatan toksoid

difteri (2,0-2,5 unit Lf), diberikan pada usia diatas 7 tahun. Td diberikan pada

remaja berusia 11 atau 12 tahun. (Setiati S, 2016)

Pada orang yang kontak erat dengan penderita difteri terutama yang

tidak pernah tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, dianjurkan pemberian

booster dan melengkapi pemberian vaksin. Selanjutnya diberi kemoprofilaksis

berupa penisilin procain 600.000 unit intramuskuler/hari atau Eritromicin 40

mg/kg/BBhari selama 7-10 hari. Bila pengawasan tidak bisa dilakukan,

diberikan antitoksin 10.000 unit intramuskular, kemudian 2 minggu setelah

pengobatan, dilakukan kultur untuk memastikan eradikasi C dyphtheriae.

(Setiati S, 2016)
BAB III

KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan

segera, oleh karena itu bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam

mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai

tempat di dunia tetapi masih terdapat beberapa kasus yang terkena pada anak yang

kadang dengan tanda dan gejala yang tidak khas. (Richard E. Behrman, 2015)

Penyebab dari penyakit difteri adalah C diphtheriae yang merupakan kuman

gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan

memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman 2-5 hari,

dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,90C. (Richard

E. Behrman, 2015)

Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,

difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri

konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri

tonsil faring. (Abdul Latief, 2013)

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian

antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit

ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam

(kultur). (Abdul Latief, 2013)

Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.

diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif

untuk kebanyakan strain C. diphtheriae. (FKUI, 2010)

21
22

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan

penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis,

dan perawatan umum. (Fadlyana Eddy, 2013)


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, e. a. (2013). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Sagung
Seto.

Buescher, E. (2011). Nelson Textbook of Pediatrics 19 th Edition. Philadelphia:


Elsevier Saunders.

Fadlyana Eddy, e. a. (2013). Imunogenisitas dan Keamanan vaksin Tetanus Difteri


(Td) pada Remaja sebagai salah satu upaya mencegah Reemerging Disease
di Indonesia. Sari Pedatri, 15.

Fajriyah, I. (2014). Hubungan Pengetahuan Ibu Dan Dukungan Keluarga Dengan


Status Imunisasi TD Pada Sub Pin Difteri. Jurnal Berkala Epidemiologi.

FKUI. (2010). Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FKUI.

FKUI-RSCM, D. I. (2014). Current Evidences in Pediatric Emergencies


Management. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas.

IDAI. (2010). Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Badan
Penerbit.

Indah, P. (2017). Difteri Pada Anak. Palu: Fakultas Kedokteran Universitas


Tadulako.

Julitasari Sundoro, e. a. (2014). Protektivitas, Reaksi Lokal, dan Reaksi Sistemik


setelah Imunisasi dengan Vaksin Td pada Anak Sekolah Dasar. 46.

Richard E. Behrman, e. a. (2015). Ilmu Kesehatan Anak Edisi 6. Jakarta: Elsevier.

Setiati S, A. I. (2016). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid VI. Jakarta.

Widia, C. (2017). Difteri. 17-19.

23

Anda mungkin juga menyukai