Mohon pak ustadz menjelaskan air 2 qullah ini. Terima kasih sebelumnya
Mochamad Soleh
Jawaban
Istilah qullah adalah ukuran volume air, memang asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak
lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter,
meter kubik atau barrel.
Ukuran jumlah air 2 qullah sesungguhnya bersumber dari hadits nabawi berikut ini:
ْع
ن َ عبدْ وَ ْي عُ َم َْر بنْ للا َْ للاُ َرضْ ُعن ْه َ ل َْ قَا: ل
َْ ل قَا ْ وسلم عليه: يَحملْ لَمْ قُلَّت َينْ ال َمآ ُْء كَانَْ إذَا،ث
ُْ للاُ صلى للا رسو َ َلَفظْ وفي ال َخب: ْ لَم،يَن ُجس
ُ أَخ َر َج ْه،ُص َّح َح ْه ُ األَربَعَة
َ حبَّانَْ وابنُْ والحاك ُْم ُخزَ ي َم ْةَ ابنُْ َو.
Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Apabila jumlah air mencapai
2 qullah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya, Tidak membuat najis.
Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim dan Ibnu HIbban menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus
berjumlah 2 qullah bukan semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan
Rasulullah SAW sendiri lewat haditsnya.
Istilah qullah adalah ukuran volume air yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup.
Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi
menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan
dengan istilah kati. Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar, bahkan untuk beberapa negeri
Islam sendiri. Satu rithl air buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran satu rithl air buat
orang Mesir. Walhasil, ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qulah itu adalah 500 rithl Baghdad.
Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah
dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl. Lucunya, begitu orang-
orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga,
jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang
menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan
volume 1 rithl Syam.
Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di
masa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan
ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr.
Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu,
mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap
sudah musta`mal. Air itu suci secara pisik, tapi tidak bisa digunakan untukbersuci . Tapi bila
bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air
musta`mal.
Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta`mal di antara fuqoha mazhab
masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati
perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu
bisa sampai menjadi musta’mal:
a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat
hadats atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara
lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi
tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal
saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini
hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa
digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-
Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat
hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau
sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats .
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air
bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah
bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah
digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau
mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.
Keterangan ini bisa kita dapati manakala kita membukan kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-
Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal
26 dan sesudahnya.
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk
mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila
jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci
tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum
lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang
yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu
baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas/ menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk
mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. Silahkan lihat pada
kitab Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5.
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats
kecil atau hadats besar atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali
pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan
untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air
musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan
yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan
musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk
wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu`/ mandi lagi
dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga
mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya
kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Kaidah secara bahasa adalah dasar. Dalam terminologi hukum fiqih adalah hukum yang bersifat
global yang terkait dengan seluruh bagian atau mayoritas dari bagian itu untuk memahami hukum-
hukum darinya. Dalam ilmu fiqih, seluruh bab-bab dalam kitab fiqih pada dasarnya mendasarkan diri
pada kelima kaidah teresbut. Dari kelima kaidah ini terdapat cabang-cabang kaidah yang sesuai dengan
kaidah utama. Kaidah utama disebut juga dengan Kaidah Fiqih Kubro (Kaidah Fikih Besar) sedangkan
kaidah cabang disebut dengan Kaidah Fiqih Sughro (Kaidah Fiqih Kecil). Kaidah fiqih utama ada lima
kaidah yaitu:
DAFTAR ISI
Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: "Bahwasanya segala amal itu tergantung niat. Bagi seseorang itu
tergantung niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya pada Allah
dan Rasulnya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk mencari dunia atau perempuan yang akan dinikahi
maka hijrahnya adalah pada apa yang dituju."
Maksud dari hadits ini adalah bahwa perbuatan seorang muslim yang mukalaf dan berakal sehat baik
dari segi perkataan atau perbuatan berbeda hasil dan hukum syariahnya yang timbul darinya karena
perbedaan maksud dan tujuan orang tersebut di balik perbuatannya.
Sebagai contoh: Barangsiapa yang mengatakan pada yang lain "Ambillah uang ini", maka ia bisa saja
berniat sedekah maka itu menjadi pemberian; atau niat menghutangkan, maka wajib dikembalikan;
atau sebagai amanah, maka wajib menjaga dan mengembalikannya.
1. Yang dianggap dalam transaksi atau akad adalah dengan maksud dan maknanya; tidak dengan lafadz
dan makna ()والمباني باأللفاظ ال والمعاني بالمقاصد العقود في العبرة.
2. Niat itu mengumumkan perkara khusus, dan mengkhususkan hal yang umum ( تعمم النية،وتخصص الخاص
)العام.
3. Sumpah itu tergantung niat orang yang bersumpah ()الحالف نية على اليمين.
Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: La Darar wa La Dirar ""والضرار الضرر. Darar adalah menimbulkan
kerusakan pada orang lain secara mutlak. Sedangkan dirar adalah membalas kerusakan dengan
kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada orang lain bukan karena balas dendam yang
dibolehkan.
Yang dimaksud dengan tidak adanya dirar adalah membalas kerusakan (yang ditimpakan) dengan
kerusakan yang sama. Kaidah ini meniadakan ide balas dendam. Karena hal itu akan menambah
kerusakan dan memperluas cakupan dampaknya.
Contoh: Siapa yang merusak harta orang lain, maka bagi yang dirusak tidak boleh membalas dengan
merusak harta benda si perusak. Karena hal itu akan memperluas kerusakan tanpa ada manfaatnya.
Yang benar adalah si perusak mengganti barang atau harta benda yang dirusaknya.
Kaidah ini berasal dari teks (nash) Al-Quran. Kebiasaan (urf) dan tradisi (adat) mempunyai peran besar
dalam perubahan hukum berdasarkan pada perubahan keduanya. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah
2:228 "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf." Nabi bersabda: Tradisi dan cara yang berlaku di antara kalian itu boleh digunakan ()بينكم سنتكم
(Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, IV/338.
Tradisi atau adat menurut ulama fiqih adalah hal-hal yang terjadi berulang-ulang dan masuk akal
menurut akal sehat yang dilakukan oleh sejumlah individu
Adakah perbedaan antara uruf dan adat? Sebagian ulama berpendapat keduanya dua kata dengan satu
arti. Sebagian ulama yang lain menganggapnya berbeda. Adat adalah sesuatu yang meliputi kebiasaan
individu dan golongan. Sedangkan urf itu khusus untuk kebiasaan golongan saja.
1. Hujjah yang dipakai banyak orang wajib diamalkan ()بها العمل يجب حجة الناس استعمال.
2. Adat itu dianggap apabila dominan dan merata ()وغلبت اضطردت إذا العادة تعتبر إنما.
3. Yang dianggap adalah yang umum dan populer bukan yang jarang ()النادر ال الشائع للغالب العبرة.
4. Hakikat ditinggal karena dalil adat ()العادة بداللة تترك الحقيقة.
5. Kitab atau tulisan itu sama dengan ucapan ()كالخطاب الكتاب.
6. Isyarat yang difaham orang itu sama dengan penjelasan lisan ()باللسان كالبيان لآلخرين المعهودة اإلشارة.
7. Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat ()شرطاْ كالمشروط عرفاْ المعروف.
8. Menentukan dengan urf (kebiasaan) sama dengan menentukan dengan nash ()بالنص كالتعيين بالعرف التعيين.
9. Yang dikenal antara pedagang sama dengan syarat antara mereka ()بينهم كالمشروط التجار بين المعروف.
KAIDAH KEEMPAT: KESULITAN MENIMBULKAN KEMUDAHAN ()التيسير تجلب المشقة
Imam As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat I/231 menyatakan: "Dalil-dalil yang meniadakan dosa (dalam
situasi darurat) bagi umat mencapai tingkat pasti." Allah berfirman dalam QS An-Nisa' 4:28 "Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu ..." dan "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu" (QS Al-Baqarah 2:185).
Nabi bersabda dan hadits Sahih Bukhari no. 39 "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu
kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah)
dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam"
KAIDAH KELIMA: YAKIN TIDAK HILANG KARENA ADANYA KERAGUAN ()بالشك يزول ال اليقين
Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah menetapkan sesuatu
yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan
keraguan yang sering timbul dari was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan
adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan
terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya.
Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap hilang kecuali dengan dalil
yang pasti dan hukumnya tidak bisa berubah oleh keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak
adanya maka tetap dianggap tidak ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada
dan tiada). Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat merubah ada dan tidak
adanya sesuatu.
Dalil yang dipakai untuk kaidah keempat ini adalah berdasarkan pada hadits Nabi di mana seorang
lelaki bertanya pada Nabi bahwa dia berfikir apakah dia kentut apa tidak saat shalat. Nabi menjawab:
"Teruskan shalat kecuali apabila mendengar suara atau mencium bau (kentut)." (أو صوتا يسمع حتى الينصرف
)ريحا يجد
Kaidah ini masuk dalam mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah, uqubah (sanksi) dan
keputusan. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu
fiqih.
1. Yang asal itu tetapnya sesuatu seperti asalnya ( )كان ما على كان ما بقاء األصل.
2. Hukum asal adalah bebas dari tanggungan ()الذمة براءة األصل
3. Sesuatu yang ada dengan keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan (إال اليرتفع بيقين ثبت ما
)بيقين
4. Hukum asal dari sifat dan sesuatu yang baru adalah tidak ada ()عدمها العارضة واألمور الصفات في األصل
5. Hukum asal adalah menyandarkan hal baru pada waktu yang terdekat ()أوقاته أقرب إلى الحادث إضافة األصل
6. Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh menurut mayoritas ulama ()الجمهور عند اإلباحة األشياء في األصل
7. Hukum asal dari farji atau kemaluan adalah haram ()التحريم األبضاع في األصل.
8. Tidak dianggap dalil yang berlawanan dengan tashrih ()التصريح مقابلة في للداللة عبرة ال.
9. Sesuatu tidak dinisbatkan pada orang yang diam ()قول ساكت إلى ينسب ال
10. Praduga itu tidak dianggap ()بالتوهم عبرة ال.
11. Perkiraan tidak dianggap apabila sudah jelas kesalahannya ()خطؤه البين بالظن عبرة ال.
12. Orang yang tercegah secara adat, seperti tercegah secara hakikat ()حقيقة كالممتنع عادة الممتنع
13. Tidak ada argumen yang disertai kemungkinan yang timbul dari dalil (الدليل عن الناشئ االحتمال مع حجة ال
Perbedaan Mani, Madzi, Kencing, dan Wadi
Tambahan:
1. Mandi junub hanya diwajibkan saat ihtilam (mimpi jima’) ketika
ada cairan yang keluar. Adapun jika dia mimpi tapi tidak ada cairan
yang keluar maka dia tidak wajib mandi. Berdasarkan hadits Abu Said
Al-Khudri secara marfu’:
إِنَّ َما ْ
ال َما ُْء َْ ِم
ن ِْ ا ْل َم
اء
“Sesungguhnya air itu hanya ada dari air.” (HR. Muslim no. 343)
Maksudnya: Air (untuk mandi) itu hanya diwajibkan ketika keluarnya
air (mani).
2. Mayoritas ulama mempersyaratkan wajibnya mandi dengan
adanya syahwat ketika keluarnya mani -dalam keadaan terjaga.
Artinya jika mani keluar tanpa disertai dengan syahwat -misalnya
karena sakit atau cuaca yang terlampau dingin atau yang
semacamnya- maka mayoritas ulama tidak mewajibkan mandi junub
darinya. Berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm
yang keduanya mewajibkan mandi junub secara mutlak bagi yang
keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak. Wallahu a’lam.
Demikian sekilas hukum dalam masalah ini, insya Allah pembahasan
selengkapnya akan kami bawakan pada tempatnya.
slam Menerangkan Perbedaan Antara Wanita
dan Laki-Laki
Filed under: Ilmu Islam — 5 Komentar
6 Votes
Banyak wanita yang bilang bahwa susah menjadi wanita, lihat saja
aturan-aturan dibawah ini :
1. Wanita auratnya lebih susah dijaga dibanding lelaki.
2. Wanita perlu minta ijin dari suami apabila mau keluar rumah tetapi
tidak sebaliknya.
3. Wanita saksinya (apabila menjadi saksi) kurang berbanding lelaki.
4. Wanita menerima warisan lebih sedikit dari pada lelaki.
5. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak
6. Wanita wajib taat kepada suaminya, sementara suami tak perlu taat
pada istrinya.
7. Talak terletak di tangan suami dan bukan istri.
8. Wanita kurang nyaman dalam beribadat karena adanya masalah haid dan
nifas.
9. dan lain-lain.
Imam Ali As tidak berkata demikian bahwa kaum lelaki lebih tinggi dan
lebih unggul dari kaum perempuan baik dari sisi akal juga dari sisi perasaan.
Apa yang disebutkan oleh Imam Ali As tentang kurangnya akal perempuan.
Apabila penyandaran tuturan Baginda Ali As ini ada benarnya, maka hal itu
terkait dengan salah satu peristiwa khusus (perang Jamal) dan bukan
merupakan satu hukum universal ihwal seluruh kaum perempuan.
Sebagaimana pada sebagian perkara, sekelompok orang dari kaum lelaki
juga mendapatkan kritikan. Adanya orang-orang jenius dari kalangan
perempuan atau lebih berakal daripada lelaki pada masanya; seperti Hadhrat
Khadijah Khubra Sa, Hadhrat Fatimah Sa dan lain sebagianya merupakan
bukti yang baik bagi klaim ini.
Karena itu, Anda tidak boleh mengenal keduanya dari jenis kelamin
kelaki-lakiannya dan keperempuanannya, melainkan dari sisi
kemanusiaannya. Demikian juga, perempuan dalam pemikiran Qur’ani,
sepantaran dengan lelaki, memiliki potensi untuk meraih kesempurnaan.
Dalam pancaran pengenalan dan amalan, perempuan dapat mendaki dan
melewati tangga-tangga kesempurnaan. Al-Qur’an tatkala bertutur kata ihwal
pelbagai kesempurnaan dan nilai-nilai menjulang yang dicapai manusia,
memperlakukan kaum perempuan sama dan setara dengan kaum
lelaki.[3] Al-Qur’an tidak hanya menegaskan persamaan antara kaum
perempuan dan lelaki dalam hakikat kemanusiaan, bahkan pada asasnya
memandangnya sebagai salah satu tanda dan ayat Ilahi, dan kesamaan ini
yang menjadi benih untuk memperoleh ketenangan, harmoni dan cinta
kasih.[4]
3. Tidak satu pun riwayat atau khutbah dari Imam Ali As yang
menyebutkan bahwa kaum lelaki lebih tinggi dan unggul atas kaum
perempuan baik dari sisi akal atau pun perasaan.
Pada khutbah tiga puluh empat (34), Imam Ali As bersabda, “Celakalah
kalian (kaum lelaki)... Kalian tidak menggunakan akal kalian..”[8]
Pada khutbah sembilan puluh tujuh (97), Imam Ali As bersabda, “Wahai
orang-orang yang badan-badannya hadir namun akal-akal mereka gaib (tidak
memiliki akal)..”[9]
Dalam khutbah seratus tiga puluh satu (131) disebutkan, “Wahai (manusia
dengan) pikiran-pikiran yang berbeda dan hati yang terpecah, yang jasadnya
hadir, tetapi akalnya tidak...”[10]
Dalam beberapa hal ini, Imam Ali dengan jelas mencela sebagian lelaki
dan memperkenalkan mereka sebagai orang yang kurang akal dan ringan
pikirannya. Sementara terdapat banyak lelaki dan pria alim dari Kufah dan
Basrah serta mempersembahkan banyak ulama kepada dunia Islam.
Dengan kata lain, pelbagai kejadian dan peristiwa sejarah dalam satu
tingkatan tertentu tersedia ruang untuk dipuji dan pada tingkatan lainnya
tersedia ruang untuk mencela dan mengkritisinya.[11] Setelah berlalunya
waktu tidak lagi tersisa ruang untuk memuji juga untuk mencela dan
mengkritisi.[12] Karena itu, pelbagai celaan yang disebutkan dalam Nahj al-
Balâgha tentang perempuan atau lelaki Kufah dan Basrah sebenarnya
merupakan satu proposisi personal (qadhiyah syakhshiyah).[13]
Kedua, dalam suatu ungkapan dapat dikatakan bahwa akal terdiri dari dua
jenis:
Boleh jadi bahwa yang dimaksud oleh Imam Ali As terkait dengan
keunggulan akal kaum lelaki atas kaum perempuan pada akal kalkulatif bukan
akal valuatif. Dengan kata lain, keunggulan yang bersumber dari pelbagai
perbedaan yang terdapat pada pria dan wanita hanyalah pada akal kalkulatif.
Adapun akal valuatif yang menyebabkan kedekatan kepada Allah Swt dan
surga dapat diraiih melalui akal valuatif ini.[17] Karena itu, tidak terdapat
perbedaan antara pria dan wanita pada akal valuatif.[18]
Ketiga, apa pun yang kita ingkari namun kita tidak dapat mengingkari
hakikat ini bahwa antara dua jenis, baik dari sisi ragawi atau pun dari sisi
ruhaninya terdapat banyak perbedaan yang telah banyak dibahas dan diulas
pada banyak buku dan kita tidak akan mengulangnya di sini. Pendeknya dari
semua itu bahwa karena perempuan merupakan basis keberadaan dan
kemunculan manusia, perkembangannya juga berada dalam pangkuan
perempuan, lantaran secara ragawi, kondisi fisik perempuan lebih cocok dan
memang telah diciptakan untuk mengandung (hamil), membina dan mendidik
generasi umat manusia selanjutnya. Dari sisi ruhani, perempuan juga memiliki
saham yang lebih banyak pada hal-hal yang berkenaan dengan perasaan dan
afeksi.
Karena itu, kedudukan ibu, pendidikan anak dan pembagian kasih dan
cinta di antara anggota keluarga diserahkan kepada perempuan.[19] Dengan
kata lain, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pendahuluan bahwa tidak
terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam masalah identitas nilai-nilai
(values) kemanusian. Namun sesuai dengan tuntutan jenis kelamin mereka
beramal secara berbeda-beda. Allah Swt menciptakan pelbagai entitas
berdasarkan hikmah dan sesuai dengan situasi dan tanggung jawab yang
dipikulnya. Pria dan wanita juga tidak terkecualikan dari kaidah ini.
Pria dan wanita berbeda dari beberapa sisi antara satu dengan yang lain
seperti pada sisi jasmani, psikologi, perasaan dan afeksi. Kecintaan kaum
wanita kepada keluarga dan perhatian bawaannya terhadap institusi keluarga
lebih banyak daripada kaum pria.
[2]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 76.
[3]. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Ahzab [33]:35); “Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung
halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan di sisi Allah terdapat pahala yang baik.” (Qs. Ali
Imran [3]:195)
[4]. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Rum [30]:21)
[12]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 368-369.
[13]. Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Nahj al-Balâgha), Miadikha, Khutbah 13 & 14.
[17]. Ushûl al-Kâfi, jil. 1, Kitab al-‘Aql wa al-Jahl, bab 1, hadis 3, hal. 11.