Anda di halaman 1dari 24

Pak ustaz, seringkali kita mendengar tentang air 2 qullah.

Sebenarnya yang dimaksud qullah itu


apakah kolam atau apa? Dan adakah hadits ayat Al-Quran yang membicarakan air 2 qullah ini,
ataukah hanya ijtihd pada ulama saja.

Mohon pak ustadz menjelaskan air 2 qullah ini. Terima kasih sebelumnya

Mochamad Soleh

Jawaban

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Istilah qullah adalah ukuran volume air, memang asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak
lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter,
meter kubik atau barrel.

2 Qullah Adalah Ketetapan Hadits Nabawi

Ukuran jumlah air 2 qullah sesungguhnya bersumber dari hadits nabawi berikut ini:

ْ‫ع‬
‫ن‬ َ ‫عبدْ و‬َ ْ‫ي عُ َم َْر بنْ للا‬ َْ ‫للاُ َرض‬ْ ُ‫عن ْه‬ َ ‫ل‬ َْ ‫قَا‬: ‫ل‬
َْ ‫ل قَا‬ ْ ‫وسلم عليه‬: ‫ يَحملْ لَمْ قُلَّت َينْ ال َمآ ُْء كَانَْ إذَا‬،‫ث‬
ُْ ‫للاُ صلى للا رسو‬ َ َ‫لَفظْ وفي ال َخب‬: ْ‫ لَم‬،‫يَن ُجس‬
ُ‫ أَخ َر َج ْه‬،ُ‫ص َّح َح ْه ُ األَربَعَة‬
َ ‫حبَّانَْ وابنُْ والحاك ُْم ُخزَ ي َم ْةَ ابنُْ َو‬.

Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Apabila jumlah air mencapai
2 qullah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya, Tidak membuat najis.

Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim dan Ibnu HIbban menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus
berjumlah 2 qullah bukan semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan
Rasulullah SAW sendiri lewat haditsnya.

Berapakah Ukuran 2 Qullah?

Istilah qullah adalah ukuran volume air yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup.
Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi
menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan
dengan istilah kati. Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar, bahkan untuk beberapa negeri
Islam sendiri. Satu rithl air buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran satu rithl air buat
orang Mesir. Walhasil, ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.

Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qulah itu adalah 500 rithl Baghdad.
Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah
dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl. Lucunya, begitu orang-
orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga,
jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang
menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan
volume 1 rithl Syam.

Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international di
masa sekarang ini?

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan
ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr.
Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.

Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu,
mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap
sudah musta`mal. Air itu suci secara pisik, tapi tidak bisa digunakan untukbersuci . Tapi bila
bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air
musta`mal.

Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta`mal di antara fuqoha mazhab
masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati
perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu
bisa sampai menjadi musta’mal:

a. Ulama Al-Hanafiyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat
hadats atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara
lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi
tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal
saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.

Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini
hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa
digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.

Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-
Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.

b. Ulama Al-Malikiyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat
hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau
sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats .
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air
bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah
bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah
digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau
mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.

Keterangan ini bisa kita dapati manakala kita membukan kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-
Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal
26 dan sesudahnya.

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk
mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila
jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci
tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum
lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang
yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu
baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas/ menetes dari tubuh.

Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk
mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. Silahkan lihat pada
kitab Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5.

d. Ulama Al-Hanabilah

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats
kecil atau hadats besar atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali
pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.

Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan
untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air
musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan
yang bukan dalam kaitan wudhu`.

Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan
musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk
wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu`/ mandi lagi
dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga
mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya
kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Kaidah secara bahasa adalah dasar. Dalam terminologi hukum fiqih adalah hukum yang bersifat
global yang terkait dengan seluruh bagian atau mayoritas dari bagian itu untuk memahami hukum-
hukum darinya. Dalam ilmu fiqih, seluruh bab-bab dalam kitab fiqih pada dasarnya mendasarkan diri
pada kelima kaidah teresbut. Dari kelima kaidah ini terdapat cabang-cabang kaidah yang sesuai dengan
kaidah utama. Kaidah utama disebut juga dengan Kaidah Fiqih Kubro (Kaidah Fikih Besar) sedangkan
kaidah cabang disebut dengan Kaidah Fiqih Sughro (Kaidah Fiqih Kecil). Kaidah fiqih utama ada lima
kaidah yaitu:

DAFTAR ISI

1. Kaidah pertama: Segala sesuatu tergantung tujuan (‫)بمقاصدها األمور‬.


2. Kaidah kedua: Kemudaratan itu dapat hilang (‫)يزال الضرر‬.
3. Kaidah ketiga: Tradisi itu dapat menjadi hukum (‫)محكمة العادة‬
4. Kaidah keempat: Kesulitan menimbulkan kemudahan (‫)التيسير تجلب المشقة‬
5. Kaidah kelima: Yakin tidak hilang karena adanya keraguan (‫ )بالشك يزول ال اليقين‬.

KAIDAH PERTAMA: SEGALA SESUATU TERGANTUNG TUJUAN (‫)بمقاصدها األمور‬

Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: "Bahwasanya segala amal itu tergantung niat. Bagi seseorang itu
tergantung niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya pada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya pada Allah
dan Rasulnya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk mencari dunia atau perempuan yang akan dinikahi
maka hijrahnya adalah pada apa yang dituju."

Maksud dari hadits ini adalah bahwa perbuatan seorang muslim yang mukalaf dan berakal sehat baik
dari segi perkataan atau perbuatan berbeda hasil dan hukum syariahnya yang timbul darinya karena
perbedaan maksud dan tujuan orang tersebut di balik perbuatannya.

Sebagai contoh: Barangsiapa yang mengatakan pada yang lain "Ambillah uang ini", maka ia bisa saja
berniat sedekah maka itu menjadi pemberian; atau niat menghutangkan, maka wajib dikembalikan;
atau sebagai amanah, maka wajib menjaga dan mengembalikannya.

Kaidah cabang dari kaidah pertama ini ada tiga yaitu:

1. Yang dianggap dalam transaksi atau akad adalah dengan maksud dan maknanya; tidak dengan lafadz
dan makna (‫)والمباني باأللفاظ ال والمعاني بالمقاصد العقود في العبرة‬.
2. Niat itu mengumumkan perkara khusus, dan mengkhususkan hal yang umum (‫ تعمم النية‬،‫وتخصص الخاص‬
‫)العام‬.
3. Sumpah itu tergantung niat orang yang bersumpah (‫)الحالف نية على اليمين‬.

KAIDAH KEDUA: KEMUDARATAN ITU DAPAT HILANG (‫)يزال الضرر‬

Asal dari kaidah ini adalah hadits Nabi: La Darar wa La Dirar "‫"والضرار الضرر‬. Darar adalah menimbulkan
kerusakan pada orang lain secara mutlak. Sedangkan dirar adalah membalas kerusakan dengan
kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada orang lain bukan karena balas dendam yang
dibolehkan.

Yang dimaksud dengan tidak adanya dirar adalah membalas kerusakan (yang ditimpakan) dengan
kerusakan yang sama. Kaidah ini meniadakan ide balas dendam. Karena hal itu akan menambah
kerusakan dan memperluas cakupan dampaknya.

Contoh: Siapa yang merusak harta orang lain, maka bagi yang dirusak tidak boleh membalas dengan
merusak harta benda si perusak. Karena hal itu akan memperluas kerusakan tanpa ada manfaatnya.
Yang benar adalah si perusak mengganti barang atau harta benda yang dirusaknya.

Adapun cabang dari kaidah ini ada 5 yaitu:

1. Kerusakan ditolak sebisa mungkin (‫)اإلمكان بقدر يدفع الضرر‬.


2. Kerusakan dapat dihilangkan (‫يزال الضرر‬.)
3. Kerusakan yang parah dihilangkan dengan kerusakan yang lebih ringan (‫)األخف بالضرر يزال األشد الضرر‬.
4. Kerusakan yang khusus ditangguhkan untuk menolak kerusakan yang umum (‫الضرر لدفع الخاص الضرر يتحمل‬
‫)العام‬.
5. Menolak kerusakan lebih utama daripada menarik kebaikan (‫)المصالح جلب من أولى المفاسد درء‬.

KAIDAH KETIGA: TRADISI ITU DAPAT MENJADI HUKUM (‫)محكمة العادة‬

Kaidah ini berasal dari teks (nash) Al-Quran. Kebiasaan (urf) dan tradisi (adat) mempunyai peran besar
dalam perubahan hukum berdasarkan pada perubahan keduanya. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah
2:228 "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf." Nabi bersabda: Tradisi dan cara yang berlaku di antara kalian itu boleh digunakan (‫)بينكم سنتكم‬
(Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, IV/338.

Tradisi atau adat menurut ulama fiqih adalah hal-hal yang terjadi berulang-ulang dan masuk akal
menurut akal sehat yang dilakukan oleh sejumlah individu

Adakah perbedaan antara uruf dan adat? Sebagian ulama berpendapat keduanya dua kata dengan satu
arti. Sebagian ulama yang lain menganggapnya berbeda. Adat adalah sesuatu yang meliputi kebiasaan
individu dan golongan. Sedangkan urf itu khusus untuk kebiasaan golongan saja.

Adapun kaidah cabangnya ada 9 (sembilan) sebagai berikut:

1. Hujjah yang dipakai banyak orang wajib diamalkan (‫)بها العمل يجب حجة الناس استعمال‬.
2. Adat itu dianggap apabila dominan dan merata (‫)وغلبت اضطردت إذا العادة تعتبر إنما‬.
3. Yang dianggap adalah yang umum dan populer bukan yang jarang (‫)النادر ال الشائع للغالب العبرة‬.
4. Hakikat ditinggal karena dalil adat (‫)العادة بداللة تترك الحقيقة‬.
5. Kitab atau tulisan itu sama dengan ucapan (‫)كالخطاب الكتاب‬.
6. Isyarat yang difaham orang itu sama dengan penjelasan lisan (‫)باللسان كالبيان لآلخرين المعهودة اإلشارة‬.
7. Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat (‫)شرطاْ كالمشروط عرفاْ المعروف‬.
8. Menentukan dengan urf (kebiasaan) sama dengan menentukan dengan nash (‫)بالنص كالتعيين بالعرف التعيين‬.
9. Yang dikenal antara pedagang sama dengan syarat antara mereka (‫)بينهم كالمشروط التجار بين المعروف‬.
KAIDAH KEEMPAT: KESULITAN MENIMBULKAN KEMUDAHAN (‫)التيسير تجلب المشقة‬

Imam As-Syatibi dalam Al-Muwafaqat I/231 menyatakan: "Dalil-dalil yang meniadakan dosa (dalam
situasi darurat) bagi umat mencapai tingkat pasti." Allah berfirman dalam QS An-Nisa' 4:28 "Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu ..." dan "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu" (QS Al-Baqarah 2:185).

Nabi bersabda dan hadits Sahih Bukhari no. 39 "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang
mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu
kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah)
dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam"

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum yang


menimbulkan kesulitan dalam mengamalkannya bagi diri seorang mukalaf atau hartanya, maka syariah
meringankan hukum itu sesuai kemampuannya tanpa kesulitan atau dosa.

Ada delapan cabang dari kaidah ini yaitu:

1. Apabila sempit, maka ia menjadi luas (‫)اتسع األمر ضاق إذا‬.


2. Apabila luas, maka ia menjadi sempit (‫)ضاق األمر اتسع إذا‬
3. Darurat menghalalkan perkara haram (‫)المحظورات تبيح الضرورات‬
4. Sesuatu yang dibolehkan karena darurat, maka dibolehkan sekadarnya (‫)بقدرها يقدر للضرورة أبيح ما‬
5. Sesuatu yang boleh karena udzur, maka batal karena hilangnya udzur (‫)بزواله بطل لعذر جاز ما‬.
6. Kebutuhan yang umum termasuk darurat (‫)الضرورة منزلة تنزل العامة الحاجة‬.
7. Darurat tidak membatalkan hak orang lain (‫)الغير حق يبطل ال االضطرار‬
8. Apabila udzur pada yang asal, maka dialihkan pada pengganti (‫)البدل إلى يصار األصل تعذر إذا‬.

KAIDAH KELIMA: YAKIN TIDAK HILANG KARENA ADANYA KERAGUAN (‫)بالشك يزول ال اليقين‬

Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah menetapkan sesuatu
yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan
keraguan yang sering timbul dari was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan
adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan
terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya.

Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap hilang kecuali dengan dalil
yang pasti dan hukumnya tidak bisa berubah oleh keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak
adanya maka tetap dianggap tidak ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada
dan tiada). Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat merubah ada dan tidak
adanya sesuatu.

Dalil yang dipakai untuk kaidah keempat ini adalah berdasarkan pada hadits Nabi di mana seorang
lelaki bertanya pada Nabi bahwa dia berfikir apakah dia kentut apa tidak saat shalat. Nabi menjawab:
"Teruskan shalat kecuali apabila mendengar suara atau mencium bau (kentut)." (‫أو صوتا يسمع حتى الينصرف‬
‫)ريحا يجد‬

Kaidah ini masuk dalam mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah, uqubah (sanksi) dan
keputusan. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu
fiqih.

Kaidah cabang dari kaidah ini ada 13 sebagai berikut:

1. Yang asal itu tetapnya sesuatu seperti asalnya ( ‫)كان ما على كان ما بقاء األصل‬.
2. Hukum asal adalah bebas dari tanggungan (‫)الذمة براءة األصل‬
3. Sesuatu yang ada dengan keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan (‫إال اليرتفع بيقين ثبت ما‬
‫)بيقين‬
4. Hukum asal dari sifat dan sesuatu yang baru adalah tidak ada (‫)عدمها العارضة واألمور الصفات في األصل‬
5. Hukum asal adalah menyandarkan hal baru pada waktu yang terdekat (‫)أوقاته أقرب إلى الحادث إضافة األصل‬
6. Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh menurut mayoritas ulama (‫)الجمهور عند اإلباحة األشياء في األصل‬
7. Hukum asal dari farji atau kemaluan adalah haram (‫)التحريم األبضاع في األصل‬.
8. Tidak dianggap dalil yang berlawanan dengan tashrih (‫)التصريح مقابلة في للداللة عبرة ال‬.
9. Sesuatu tidak dinisbatkan pada orang yang diam (‫)قول ساكت إلى ينسب ال‬
10. Praduga itu tidak dianggap (‫)بالتوهم عبرة ال‬.
11. Perkiraan tidak dianggap apabila sudah jelas kesalahannya (‫)خطؤه البين بالظن عبرة ال‬.
12. Orang yang tercegah secara adat, seperti tercegah secara hakikat (‫)حقيقة كالممتنع عادة الممتنع‬
13. Tidak ada argumen yang disertai kemungkinan yang timbul dari dalil (‫الدليل عن الناشئ االحتمال مع حجة ال‬
Perbedaan Mani, Madzi, Kencing, dan Wadi

Tahukan anda apa perbedaan antara keempat perkara di atas?


Mengetahui hal ini adalah hal yang sangat penting, khususnya
perbedaan antara mani dan madzi, karena masih banyak di kalangan
kaum muslimin yang belum bisa membedakan antara keduanya. Yang
karena ketidaktahuan mereka akan perbedaannya menyebabkan
mereka ditimpa oleh fitnah was-was dan dipermainkan oleh setan.
Sehingga tidaklah ada cairan yang keluar dari kemaluannya (kecuali
kencing dan wadi) yang membuatnya ragu-ragu kecuali dia langsung
mandi, padahal boleh jadi dia hanyalah madzi dan bukan mani. Sudah
dimaklumi bahwa yang menyebabkan mandi hanyalah mani,
sementara madzi cukup dicuci lalu berwudhu dan tidak perlu mandi
untuk menghilangkan hadatsnya.

Karenanya berikut definisi dari keempat cairan di atas, yang dari


definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaan di antara mereka:
1. Kencing: Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis
berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’.
2. Wadi: Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing
atau setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, misalnya
berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para
ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan pembatal
wudhu sebagaimana kencing dan madzi.
3. Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya
syahwat, baik ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan
sebelum jima’, atau melihat dan mengkhayal sesuatu yang mengarah
kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar dan tubuh tidak menjadi lelah
setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Dia juga
najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Ali
yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.
4. Mani: Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung, keluar
dengan terpancar sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau
ihtilam (mimpi jima’) atau onani -wal ‘iyadzu billah-, dan tubuh akan
terasa lelah setelah mengeluarkannya.

Berhubung kencing dan wadi sudah jelas kapan waktu keluarnya


sehingga mudah dikenali, maka berikut kesimpulan perbedaan antara
mani dan madzi:
a. Madzi adalah najis berdasarkan ijma’, sementara mani adalah suci
menurut pendapat yang paling kuat.
b. Madzi adalah hadats ashghar yang cukup dihilangkan dengan
wudhu, sementara mani adalah hadats akbar yang hanya bisa
dihilangkan dengan mandi junub.
c. Cairan madzi lebih tipis dibandingkan mani.
d. Mani berbau, sementara madzi tidak (yakni baunya normal).
e. Mani keluarnya terpancar, berbeda halnya dengan madzi. Allah
Ta’ala berfirman tentang manusia, “Dia diciptakan dari air yang
terpencar.” (QS. Ath-Thariq: 6)
f. Mani terasa keluarnya, sementara keluarnya madzi kadang terasa
dan kadang tidak terasa.
g. Waktu keluar antara keduanyapun berbeda sebagaimana di atas.
h. Tubuh akan melemah atau lelah setelah keluarnya mani, dan
tidak demikian jika yang keluar adalah madzi.
Karenanya jika seseorang bangun di pagi hari dalam keadaan
mendapatkan ada cairan di celananya, maka hendaknya dia
perhatikan ciri-ciri cairan tersebut, berdasarkan keterangan di atas.
Jika dia mani maka silakan dia mandi, tapi jika hanya madzi maka
hendaknya dia cukup mencuci kemaluannya dan berwudhu.
Berdasarkan hadits Ali -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -alaihishshalatu
wassalam- bersabda tentang orang yang mengeluarkan madzi:
ِ ‫اِ ْغ‬
‫س ْْل‬ َْ‫ذَك ََرك‬ ْ ‫َوت َ َوضَّْأ‬
“Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah kamu.” (HR. Al-Bukhari no.
269 dan Muslim no. 303)

[Update: Anas bin Malik -radhiallahu anhu- berkata:


َ ُ
َّْ‫سليْمْ أ َّْم أن‬ َ َ َّ
ُ ْْ‫سألتْْ أنهَا َح َّدثت‬َ َ َ َ ‫ي‬ َ
َّْ ‫ّللا ن ِب‬
َِّْ ‫صلى‬ َّ َ ُ‫ّللا‬ َّْ ‫عل ْي ِْه‬ َ َ ‫سل َْم‬ َّ َ ‫َن َو‬ َ ْ
ْْ ‫امهَا فِي ت َ َرى ال َم ْرأ ِْة ع‬ َ
ِ ‫الر ُج ُْل يَ َرى َما َمن‬, َّ ‫فَقَا َْل‬
‫سو ُْل‬ َِّْ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َّْ ‫علَ ْي ِْه‬ َ ‫سلَّ َْم‬ َ ‫ك َرأَتْْ إِ َذا‬
َ ‫و‬: ِْ ‫س ْْل ا ْل َم ْرأ َْةُ ذَ ِل‬ ِ َ ‫فَ ْلتَ ْغت‬. ْْ‫سلَيْمْ أُمْ فَقَالَت‬ ُ : ُْ‫ستَحْ يَيْت‬ ْ ‫ن َوا‬ ْْ ‫ذَ ِلكَْ ِم‬. ْْ‫قَالَت‬: ‫َو َه ْْل‬
ُْ‫ّللا نَ ِبيْ فَقَا َْل َهذَا؟ يَكُون‬ َِّْ ‫ص َّلى‬ َّْ ‫علَ ْي ِْه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َْم‬َ ‫و‬: َ ‫نَعَ ْْم‬, ‫ن‬ ْْ ‫ْن فَ ِم‬ َْ ‫شبَهُ؟ يَكُونُْ أَي‬ َّ ‫الر ُج ِْل َما َْء إِنَّْ !ال‬
َّ ْ‫غ ِليظ‬ َ ‫ض‬ ُْ َ‫َو َما َْء أ َ ْبي‬
‫ا ْل َم ْرأ َِْة‬ ْ‫َر ِقيق‬ ْ َ‫أ‬
‫صفَ ُْر‬ ْْ ‫فَ ِم‬
‫ن‬ ‫أ َ ِي ِه َما‬ َْ ‫ع‬
‫َل‬ ‫أ َ ْْو‬ َْ‫س َبق‬
َ ُْ‫َيكُون‬ ُ‫ِم ْن ْه‬ ُْ‫ش َبه‬ َّ ‫ال‬
“Bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi
(bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan
tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi." Ummu Sulaim
berkata, "Maka aku menjadi malu karenanya". Ummu Sulaim kembali
bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?"
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar
mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak
dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna
putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning.
Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi
atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya." (HR. Muslim no.
469)
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/222), "Hadits ini
merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan
sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam
keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan
sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit
demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat
dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan
lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu
seperti bau adunan tepung.
Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya:
Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung
testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau
karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah
merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah
darah.”]

Tambahan:
1. Mandi junub hanya diwajibkan saat ihtilam (mimpi jima’) ketika
ada cairan yang keluar. Adapun jika dia mimpi tapi tidak ada cairan
yang keluar maka dia tidak wajib mandi. Berdasarkan hadits Abu Said
Al-Khudri secara marfu’:
‫إِنَّ َما‬ ْ
‫ال َما ُْء‬ َْ ‫ِم‬
‫ن‬ ِْ ‫ا ْل َم‬
‫اء‬
“Sesungguhnya air itu hanya ada dari air.” (HR. Muslim no. 343)
Maksudnya: Air (untuk mandi) itu hanya diwajibkan ketika keluarnya
air (mani).
2. Mayoritas ulama mempersyaratkan wajibnya mandi dengan
adanya syahwat ketika keluarnya mani -dalam keadaan terjaga.
Artinya jika mani keluar tanpa disertai dengan syahwat -misalnya
karena sakit atau cuaca yang terlampau dingin atau yang
semacamnya- maka mayoritas ulama tidak mewajibkan mandi junub
darinya. Berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm
yang keduanya mewajibkan mandi junub secara mutlak bagi yang
keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak. Wallahu a’lam.
Demikian sekilas hukum dalam masalah ini, insya Allah pembahasan
selengkapnya akan kami bawakan pada tempatnya.
slam Menerangkan Perbedaan Antara Wanita
dan Laki-Laki
Filed under: Ilmu Islam — 5 Komentar

Agustus 24, 2012

6 Votes

Banyak wanita yang bilang bahwa susah menjadi wanita, lihat saja
aturan-aturan dibawah ini :
1. Wanita auratnya lebih susah dijaga dibanding lelaki.
2. Wanita perlu minta ijin dari suami apabila mau keluar rumah tetapi
tidak sebaliknya.
3. Wanita saksinya (apabila menjadi saksi) kurang berbanding lelaki.
4. Wanita menerima warisan lebih sedikit dari pada lelaki.
5. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak
6. Wanita wajib taat kepada suaminya, sementara suami tak perlu taat
pada istrinya.
7. Talak terletak di tangan suami dan bukan istri.
8. Wanita kurang nyaman dalam beribadat karena adanya masalah haid dan
nifas.
9. dan lain-lain.

Tetapi. PERNAHKAH KITA LIHAT KENYATAANNYA ?


1. Benda yang mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta disimpan
ditempat yang teraman dan terbaik. Sudah pasti itulah intan permata
bandingannya dengan seorang wanita.
2. Wanita perlu taat kepada suami, tetapi tahukah lelaki wajib taat
kepada Ibunya 3 kali lebih utama daripada kepada Bapaknya ?
3. Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki, tetapi
tahukah bahwa harta itu akan menjadi miliknya dan tidak perlu
diserahkan kepada suami? Sementara suami apabila menerima warisan ia
wajib juga menggunakan hartanya untuk istri dan anak-anaknya ?
4. Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak, tetapi
tahukah bahwa setiap saat dia didoakan oleh segala mahluk, malaikat dan
seluruh mahluk Allah dimuka bumi ini, dan tahukah jika ia meninggal
karena melahirkan adalah syahid dan surga menantinya. Diakherat kelak,
seorang lelaki akan dipertanggungjawabk an terhadap 4 wanita, yaitu :
Istrinya, Ibunya, Anak Perempuannya dan Saudara Perempuannya. Artinya,
bagi seorang wanita tanggung jawab terhadapnya ditanggung oleh 4 orang
lelaki, yaitu: suaminya, ayahnya, anak lelakinya dan saudara lelakinya.
5. Seorang Wanita boleh memasuki pintu Syurga melalui pintu mana saja
yang disukainya cukup dengan 4 Syarat saja, yaitu : Sholat 5 waktu,
Puasa di bulan Ramadhan, taat kepada Suaminya dan menjaga
Kehormatannya.
6. Seorang lelaki wajib berjihad di jalan Allah, sementara bagi wanita
jika taat kepada suami serta menunaikan tanggung jawabnya kepada ALLAH
SWT, maka ia akan turut menerima pahala setara seperti pahala orang
pergi berjihad di jalan Allah tanpa perlu mengangkat senjata.
Masya ALLAH! demikian sayangnya ALLAH SWT kepada wanita…
Yakinlah bahwa sebagai Zat yang Maha Pencipta sudah pasti ALLAH Maha Tahu akan segala yang
diciptakan-Nya sehingga peraturan-Nya adalah yang terbaik bagi manusia.
Ada perbedaan sifat alami yang mendasar, yang membedakan antara pria dan wanita. Khususnya
akan lebih jelas terlihat saat usia memasuki tahap dewasa.
Pada usia anak-anak dan remaja perbedaan ini tidak terlalu terlihat karena mereka memang dalam
masa pertumbuhan.
Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan struktur otak antara pria dan wanita. Perbedaan
struktur otak ini mengakibatkan perbedaan pula cara memproses informasi yang masuk kedalam
otak, dan mengakibatkan pula perbedaan prioritas, tingkah laku, persepsi dan pengertian pada pria
dan wanita.
Berikut ini adalah beberapa perbedaan mendasar:
Jangkauan Sudut Pandang:
Jika diukur dari hidung, maka wanita mempunyai jangakauan sudut pandang yang relatif lebih
besar.Menurut penelitian, jangakauan sudut pandang wanita berkisar antara 45 derajat sampai
dengan 180 derajat, diukur dari hidung kearah kanan kiri atas bawah.
Jadi kaum wanita, dengan jangkauan sudut pandang yang luas itu bisa melihat isi lemari tanpa
menggerakkan kepalanya, hanya dengan modal plirak-plirik saja mereka bisa menemukan barang
yang dicari.
Ini berbeda dengan kaum pria yang mempunyai sudut pandang yang relatif lebih kecil. Pria jika
memandang sesuatu maka otak akan memproses pandangannya itu ibarat teropong bajak laut Jack
Sparrow. Jauh dan lebih fokus, dan juga akan mencari KATA yang tertulis diotak tentang benda yang
dicari atau ingin dilihat.
Contohnya begini:
Seorang pria hendak mencari susu DENKO yang berbentuk kotak dalam lemari es. Setelah dibuka
pintunya, dan dilihat kedalam lemari es, ia tidak menemukan kotak susu bertulisan DENKO di dalam
lemari es tersebut.
Kemudian datang wanita melihat kedalam lemari es tersebut, dan dalam sekejap ia menemukan
kotak susu DENKO tersebut.
Hal ini bisa terjadi karena perbedaan sudut pandang tadi dan perbedaan cara otak memproses
informasi yang diteruskan oleh mata ke dalam otak.
Penelitian mengungkapkan bahwa otak pria mencari kata DENKO di dalam lemari es. Jika posisi
kotak DENKO tadi terbalik, atau arahnya tidak mengarah bagian depan yang ada tulisannya, maka
otak pria akan menyimpulkan barangnya tidak ada atau tidak kelihatan.
Struktur Otak
Dalam struktur otak wanita, kemampuan untuk berbicara terutama ada dibagian depan otak kiri dan
sebagian kecil di otak sebelah kanan.Sementara untuk pria, kemampuan berbicara dan bahasa itu
bukan kemampuan otak yang penting. Adanyapun cuma di bagian otak kiri dan tidak ada area yang
spesifik. Otak pria itu terkotak-kotak dan mampu memilah-milah informasi yang masuk.
Jadi jangan heran kalau wanita lebih senang berbicara dan banyak pula yang dibicarakan, karena
kedua belah otaknya mampu bekerja sekaligus.
Di malam hari, setelah seharian penuh beraktivitas, pria bisa menyimpan semuanya diotaknya.
Sementara otak wanita tidak bekerja seperti itu.
Informasi atau masalah yang diterimanya akan terus berputar-putar dalam otaknya. Dan ini tidak
akan berhenti sampai dia bisa mencurahkan habis isi otaknya alias curhat.
Oleh sebab itu, kalo wanita bicara, tujuannya adalah untuk mengeluarkan unek-uneknya, bukan
untuk mencari kesimpulan atau solusi seperti yang dilakukan kaum pria.
Membangun Hubungan Lewat Percakapan
Rata-rata wanita bisa bicara 20 ribu kata dalam sehari. Sementara pria hanya sekitar 7 ribu kata
sehari atau bahkan lebih sedikit dari itu.
Pria jika sudah menghabiskan 7 ribu kata, maka dia tidak akan berminat untuk bicara lebih
lanjut.Persediaan si wanita tergantung dari apa yang sudah ia lakukan sepanjang hari. Kalau dia
sudah banyak berbicara dengan orang lain hari itu, dia pun akan sedikit berbicara.
Kalau dia tinggal sendirian di rumah saja, mungkin ia sudah menggunakan 5 ribuan kata. Jadi masih
ada 15 ribu lagi!
Multitasking
Dari penelitian, pria cuma bisa melakukan satu hal pada suatu waktu. Semua penelitian yang ada
menemukan bahwa otak pria lebih terspesialiasi, terbagi-bagi. Otak pria berkembang sedemikian
sehingga mereka hanya dapat berkonsentrasi pada satu hal yang spesifik pada suatu saat, sehingga
sering mereka bilang mereka bisa mengerjakan
semuanya tapi ‘satu-satu donk!!’.Kalo pria menepikan mobil untuk membaca peta, biasanya dia juga
akan
mengecilkan suara radio atau tape.
Banyak wanita yang bingung kenapa. Kan bisa saja baca peta sambil dengar radio dan bicara?
Atau kadang wanita suka bingung: “Kalo dia lagi baca koran, kok dia
tidak bisa dengar tadi saya bilang apa?”
Jawabannya adalah karena sedikit sekali jaringan yang menghubungkan
otak kiri dan kanan pria, sehingga kalo pria yang lagi baca koran atau
nonton TV di-scan otaknya, kita bakal tau bahwa dia seketika itu juga jadi budeg..
Sementara otak wanita punya konstruksi yang memungkinkan wanita melakukan banyak hal
sekaligus atau kerennya multitasking job.
Wanita bisa melakukan banyak hal yang sama sekali tidak berhubungan pada waktu bersamaan, dan
otaknya tidak pernah putus, selalu aktif.
Wanita bisa bicara di telpon, pada saat yang sama masak di dapur dan nonton TV. Atau dia bisa
nyetir, dandan, mendengarkan radio dan bicara lewat hands-free, juga sambil nge-blog
Tapi karena wanita bisa pakai 2 sisi otaknya secara bersamaan, banyak
yang bingung membedakan kanan dari kiri pada saat tertentu. Sekitar 50% wanita tidak bisa secara
langsung nunjuk mana kanan dan mana kiri kalau ditanya. Tapi pria bisa secara langsung
mengidentifikasi kanan dari kiri.
Coba saja sewaktu ikut wanita yang menyetir mobil terus kita bilang “belok kanan” atau “belok kiri”
TANPA menunjuk arah pakai tangan atau menggerakkan tubuh yang lain, kemungkinan besar wanita
akan bertanya lagi nunjuk kiri kanan tanpa seketika tahu mana kanan atau kiri.
Indirect Speech
Wanita kalau berbicara biasanya menggunakan indirect speech alias memberikan isyarat tentang apa
yang sebenarnya dia inginkan.
Tujuannya adalah untuk menghindari konflik atau konfrontasi sehingga bisa terjalin hubungan yang
harmonis satu sama lain.
Indirect speech biasanya menggunakan kata-kata seperti: ‘kayaknya’, ‘sepertinya’dan
sebagainya.Ketika wanita bicara menggunakan indirect speech ke wanita lain, tidak pernah ada
masalah.
Wanita lain cukup sensitif untuk mengerti maksud sebenarnya.
Tapi, bila dipakai untuk bicara dengan pria, bisa berakibat fatal!
Kebanyakan pria menggunakan bahasa langsung atau direct speech dan mereka mengambil makna
sebenarnya dari apa yang orang lain katakan.
Contohnya:
Pada suatu hari pasangan Budi dan Wati akan pergi menghadiri undangan perkawinan tetangganya.
Wati baru beli baju baru untuk kondangan. Ditangannya ada 2 pasang baju, satu berwarna putih dan
satu lagi berwarna hijau. Lalu Wati bertanya kepada Budi.
“Mas, yang mana yang mesti Wati pakai untuk kondangan nanti?” Tanya Wati.
Mencoba jawaban diplomatis si Budi menjawab: ” Yang mana saja deh, semua sama bagusnya..”
Wati: ” Ayo dong mas, yang mana yang kelihatan lebih bagus, yang putih apa yang ijo?”
Budi: “Yang warna putih..”
Wati: “Memangnya yang ijo kenapa? Kamu memang dari dulu gak suka sama yang ijo, padahal aku
beli mahal-mahal dan kamu gak suka kan..!”
Budi (dalam hatinya): “Kalau tidak mau dengar pendapatku kok tadi maksa nanya!!
Dari contoh diatas, Budi pikir dia tadi disuruh memecahkan atau mencari solusi dari masalah
pemilihan baju. Tapi ketika masalahnya sudah dia pecahkan si Wati malah kesal. Wati sebenarnya
sedang menggunakan bahasa tipe cewek banget atau istilahnya tadi itu indirect speech.
Wati sebenarnya sudah memutuskan untuk memakai baju yang warna apa dan TIDAK sedang
meminta pendapat atau mencari solusi, yang Wati inginkan adalah konfirmasi bahwa ia terlihat
menarik atau cantik dengan memakai baju warna hijau tadi.
Demikianlah Rasulullah pernah mengatakan:
“Wanita itu bengkok seperti tulang rusuk, apabila kamu berusaha meluruskannya maka ia akan
patah. Namun bila kamu membiarkannya tetap bengkok maka kamu hanya ingin bersenang-senang
dalam kebengkokannya”
Kesimpulannya
“Memperlakukan perempuan itu seperti saat kita bernafas, saat kitamenghirup udara tulang rusuk
akan meregang sempit, bila kita menghembuskan napas maka ia akan mengembang mengikuti
bentuk aslinya dan memberikan kelegaan.
Ada kalanya kita harus membimbing perempuan yang kita sayangi sesuai pada norma-norma yang
ada agar hidup kita dan dia kelak dapat menghirup keselamatan tapi kadang perlu juga kita
memberikan kelapangan jalan agar ia mengikuti kodrat dan nalurinya sebagai perempuan yang ingin
dicintai dan disayang
Akal kaum laki-laki dan akal kaum wanita menurut Ali as

Imam Ali As tidak berkata demikian bahwa kaum lelaki lebih tinggi dan
lebih unggul dari kaum perempuan baik dari sisi akal juga dari sisi perasaan.
Apa yang disebutkan oleh Imam Ali As tentang kurangnya akal perempuan.
Apabila penyandaran tuturan Baginda Ali As ini ada benarnya, maka hal itu
terkait dengan salah satu peristiwa khusus (perang Jamal) dan bukan
merupakan satu hukum universal ihwal seluruh kaum perempuan.
Sebagaimana pada sebagian perkara, sekelompok orang dari kaum lelaki
juga mendapatkan kritikan. Adanya orang-orang jenius dari kalangan
perempuan atau lebih berakal daripada lelaki pada masanya; seperti Hadhrat
Khadijah Khubra Sa, Hadhrat Fatimah Sa dan lain sebagianya merupakan
bukti yang baik bagi klaim ini.

Namun terdapat beberapa kemungkinan lainnya sehubungan dengan


ucapan Baginda Ali As ini. Misalnya bahwa yang dimaksud Imam Ali As di sini
adalah akal kalkulatif atau akal sosial, bukan akal valuatif yang mendekatkan
manusia kepada Allah Swt dan meraih pelbagai makam spiritual. Dalam akal
valuatif ini, tidak terdapat perbedaan antara perempuan dan lelaki. Atau
kemungkinan lainnya adalah bahwa Imam Ali As ingin menyatakan bahwa
dari sisi tipologi kejiwaan, perasaan-perasaan perempuan lebih mendominasi
atas akalnya sehingga apabila tidak demikian adanya maka perempuan tidak
dapat menunaikan tugas-tugas materialnya dan karena itulah kaum lelaki
berada pada sisi berlawanan di hadapan kaum perempuan. Artinya akal lelaki
lebih mendominasi daripada perasaannya. Dan hal ini merupakan perbedaan-
perbedaan pada sistem penciptaan (takwini) yang sesuai dengan hikmah dan
kebijaksanaan Ilahi. Adanya perbedaan-perbeaan ini merupakan suatu hal
yang mesti ada. Karena itu, Baginda Ali As tidak berada pada tataran ingin
memberikan kredit poin dan lebih memilih salah satunya atas yang lain,
melainkan pada konteks ingin memberikan laporan sebuah reportase faktual
penciptaan (takwini).

Sebelum menjawab inti pertanyaan ada baiknya kita memperhatikan


beberapa poin berikut ini:

1. Peran tak terbantahkan dan determinan kaum perempuan dalam


mendidik dan membina manusia dalam masyarakat sebagai ibu atau istri dan
mitra kehidupan baik dalam suka atau pun dalam duka merupakan sebuah
persoalan yang tidak dapat diingkari begitu saja. Sedemikian sehingga al-
Qur’an menempatkan ketaatan kepada orang tua setelah ketaatan kepada
Allah Swt tanpa membedakan antara pria dan wanita (ayah dan ibu).
Rasulullah Saw juga sangat menaruh hormat kepada Hadhrat Khadijah Sa
dan Hadhrat Fatimah Sa. Hal ini merupakan sebuah hakikat yang dijelaskan
dan ditegaskan oleh Imam Khomeini, bapak pendiri Republik Islam Iran,
“Sejarah Islam adalah bukti atas pelbagai penghormatan yang tidak terkira
Rasulullah Saw kepada Hadhrat Fatimah untuk menunjukkan bahwa
perempuan merupakan sosok besar dan spesial di tengah masyarakat yang
perannya sebanding dengan peran kaum lelaki.[1]

2. Pemikiran sebanding dan sederajatnya kuiditas (esensi) perempuan


dan lelaki merupakan pemikiran Qur’ani yang dapat disimpulkan dari ayat-
ayat Ilahi. Perempuan dalam pandangan al-Qur’an, pada dimensi spritiual dan
fisikal diciptakan dari esensi yang sama dengan esensi lelaki. Keduanya
berasal dari jenis esensi dan kuiditas yang sama.

Al-Qur’an menyatakan, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada


Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Qs. Al-Nisa
[4]:1) dan pada ayat lainnya, “Dia-lah Yang menciptakan kamu dari diri yang
satu.” (Qs. Al-A’raf [7]:189) Pada kedua ayat al-Qur’an ini, perempuan dari
sudut pandang nilai kemanusiaan sama, setara dan ekual dengan lelaki. Oleh
itu, lelaki sama sekali tidak memiliki keunggulan atas perempuan dalam hal
ini. Ruh manusia yang membentuk hakikat kediriannya bukan badannya.
Kemanusiaan manusia dicetak oleh jiwanya. Bukan raga juga bukan
rangkapan raga dan jiwanya.[2]

Karena itu, Anda tidak boleh mengenal keduanya dari jenis kelamin
kelaki-lakiannya dan keperempuanannya, melainkan dari sisi
kemanusiaannya. Demikian juga, perempuan dalam pemikiran Qur’ani,
sepantaran dengan lelaki, memiliki potensi untuk meraih kesempurnaan.
Dalam pancaran pengenalan dan amalan, perempuan dapat mendaki dan
melewati tangga-tangga kesempurnaan. Al-Qur’an tatkala bertutur kata ihwal
pelbagai kesempurnaan dan nilai-nilai menjulang yang dicapai manusia,
memperlakukan kaum perempuan sama dan setara dengan kaum
lelaki.[3] Al-Qur’an tidak hanya menegaskan persamaan antara kaum
perempuan dan lelaki dalam hakikat kemanusiaan, bahkan pada asasnya
memandangnya sebagai salah satu tanda dan ayat Ilahi, dan kesamaan ini
yang menjadi benih untuk memperoleh ketenangan, harmoni dan cinta
kasih.[4]

Berdasarkan paradigma inilah Imam Khomeini Ra, bapak pendiri Republik


Islam Iran, meyakini persamaan hak-hak azasi manusia antara perempuan
dan lelaki. Beliau dalam hal ini berujar, “Dari sudut pandang hak-hak
kemanusiaan, tidak terdapat perbedaan antara perempuan dan lelaki; karena
keduanya adalah manusia. Perempuan juga memilik hak untuk menentukan
nasibnya sebagaimana lelaki, bahkan pada sebagian perkara terdapat
perbedaan antara perempuan dan lelaki yang tidak ada kaitannya dengan
nilai kemanusiaan mereka.”[5]

3. Tidak satu pun riwayat atau khutbah dari Imam Ali As yang
menyebutkan bahwa kaum lelaki lebih tinggi dan unggul atas kaum
perempuan baik dari sisi akal atau pun perasaan.

Apa yang disandarkan kepada Imam Ali As adalah bahwa kaum


perempuan lebih tinggi dan unggul atas kaum lelaki dari sudut pandang
perasaan, emosi dan afeksi.

Adapun yang disampaikan Imam Ali As pada khutbah kedelapan puluh


(87) Nahj al-Balâgha, terkait dengan kurangnya akal perempuan dapat dikaji
dan ditelusuri dari beberapa sisi:

Pertama, dengan asumsi bahwa penyandaran riwayat kepada Imam Ali


As ini ada benarnya maka harus harus dikatakan bahwa hal ini bukan
merupakan satu hukum universal dan mencakup seluruh kaum perempuan.
Dari dokumen-dokumen sejarah dapat disimpulkan bahwa khutbah ini
berkaitan dengan peristiwa pasca perang Jamal dan dalam perang ini, Aisyah
adalah salah seorang yang berpengaruh di tengah masyarakat. Sejatinya
Thalha dan Zubair memanfaatkan status sosial Aisyah sebagai istri Rasulullah
Saw dan mengusung peperangan melawan pemerintahan sah Baginda Ali As
di Basrah.

Imam Ali pasca kekalahan musuh dan akhir peperangan, menyampaikan


khutbah yang dimaksud dalam mengkritisi perempuan.[6] Karena itu, dengan
memperhatikan beberapa indikasi dan bukti-bukti penting yang menyatakan
bahwa Imam Ali As di sini tidak mengisahkan sebagian khusus perempuan
bukan seluruh kaum perempuan di alam semesta; karena tanpa ragu terdapat
perempuan-perempuan teladan dan jenius serta lebih berakal dari kaum lelaki
pada masanya. Siapa yang dapat mengingkari akal dan taktik kaum
perempuan seperti Hadhrat Khadijah Sa, Hadhrat Fatimah As, Hadhrat
Zainab Sa dan para perempuan besar sejarah dalam memajukan Islam dan
perlawanan mereka di samping kaum lelaki dalam memajukan dan
meninggikan kalimat tauhid. Karena itu, bagaimana dapat dikatakan bahwa
maksud Imam Ali As dari khutbah semacam ini adalah mengkritik dan
mencela seluruh kaum perempuan (jenis perempuan)?
Di samping itu, Baginda Ali As dalam sebagian masalah mengeluhkan
kelemahan akal kaum lelaki Kufah dan Basrah. Beliau menyampaikan
beberapa hal dalam mencela dan menyalahkan mereka. Sebagai contoh,
Baginda Ali As dalam khutbah empat belas (14) Nahj al-Balâgha bersabda,
“Akal kalian telah ringan dan pikiran-pikiran kalian konyol.”[7]

Pada khutbah tiga puluh empat (34), Imam Ali As bersabda, “Celakalah
kalian (kaum lelaki)... Kalian tidak menggunakan akal kalian..”[8]

Pada khutbah sembilan puluh tujuh (97), Imam Ali As bersabda, “Wahai
orang-orang yang badan-badannya hadir namun akal-akal mereka gaib (tidak
memiliki akal)..”[9]

Dalam khutbah seratus tiga puluh satu (131) disebutkan, “Wahai (manusia
dengan) pikiran-pikiran yang berbeda dan hati yang terpecah, yang jasadnya
hadir, tetapi akalnya tidak...”[10]

Dalam beberapa hal ini, Imam Ali dengan jelas mencela sebagian lelaki
dan memperkenalkan mereka sebagai orang yang kurang akal dan ringan
pikirannya. Sementara terdapat banyak lelaki dan pria alim dari Kufah dan
Basrah serta mempersembahkan banyak ulama kepada dunia Islam.

Dengan kata lain, pelbagai kejadian dan peristiwa sejarah dalam satu
tingkatan tertentu tersedia ruang untuk dipuji dan pada tingkatan lainnya
tersedia ruang untuk mencela dan mengkritisinya.[11] Setelah berlalunya
waktu tidak lagi tersisa ruang untuk memuji juga untuk mencela dan
mengkritisi.[12] Karena itu, pelbagai celaan yang disebutkan dalam Nahj al-
Balâgha tentang perempuan atau lelaki Kufah dan Basrah sebenarnya
merupakan satu proposisi personal (qadhiyah syakhshiyah).[13]

Bukti lainnya terdapat riwayat yang disandarkan kepada Imam As terkait


dengan kurangnya akal kebanyakan manusia. Dalam sebuah tuturan,
Baginda Ali As bersabda, “Rasa takjub manusia (ego sentris) kepada dirinya
merupakan pertanda lemah dan kurangnya akalnya.”[14] Dalam hadis ini dan
hadis-hadis lainnya,[15] hal-hal seperti ego sentris, syahwat, mengikut hawa
nafsu dan sebagainya dipandang sebagai faktor penyebab kurangnya akal.
Karena itu, mungkin saja penyandaran kurangnya akal perempuan juga
bersumber dari faktor ini. Dan yang dimaksud di sini adalah adanya beberapa
faktor yang menyebabkan kurangnya akal mereka khususnya pada masa
tersebut. Faktor-faktor seperti ini karena tidak bersifat esensial dan bukan
merupakan tabiat wanita maka hal itu dapat dihilangkan dengan pendidikan
dan pengelokan jiwa.
Sejatinya celaan-celaan perempuan seperti ini, tidak berpulang pada inti
esensi dan kuiditas perempuan, sebagaimana pelbagai celaan kepada lelaki
tidak berkaitan dengan inti esensi dan kuiditas mereka. Di samping itu,
riwayat-riwayat seperti ini, pada umumnya memiliki sisi edukatif (pendidikan)
dan premonitif (peringatan). Artinya peringatan kepada kaum lelaki untuk tidak
berkepala besar di hadapan pelbagai instruksi dan keinginan warna-warni
perempuan lantaran boleh jadi akan membuat mereka terjerembab dalam
pelbagai kerugian dan konsekuensi buruk lainnya serta mengandung pesan
hingga batasan tertentu bahwa kaum lelaki harus menjaga mental mandirinya.
Terutama pada kondisi-kondisi tertentu, seperti perang dan pelbagai
ketidaknyamanan lantaran mengikuti pikiran dan hawa nafsu akan
menyebabkan terjungkal dan lemahnya mereka. Hal ini sesuai dengan
kondisi-kondisi zaman Amirul Mukminin Ali As.[16]

Kedua, dalam suatu ungkapan dapat dikatakan bahwa akal terdiri dari dua
jenis:

1. Akal kalkulatif atau akal sosial.

2. Akal valuatif (nilai).

Boleh jadi bahwa yang dimaksud oleh Imam Ali As terkait dengan
keunggulan akal kaum lelaki atas kaum perempuan pada akal kalkulatif bukan
akal valuatif. Dengan kata lain, keunggulan yang bersumber dari pelbagai
perbedaan yang terdapat pada pria dan wanita hanyalah pada akal kalkulatif.
Adapun akal valuatif yang menyebabkan kedekatan kepada Allah Swt dan
surga dapat diraiih melalui akal valuatif ini.[17] Karena itu, tidak terdapat
perbedaan antara pria dan wanita pada akal valuatif.[18]

Ketiga, apa pun yang kita ingkari namun kita tidak dapat mengingkari
hakikat ini bahwa antara dua jenis, baik dari sisi ragawi atau pun dari sisi
ruhaninya terdapat banyak perbedaan yang telah banyak dibahas dan diulas
pada banyak buku dan kita tidak akan mengulangnya di sini. Pendeknya dari
semua itu bahwa karena perempuan merupakan basis keberadaan dan
kemunculan manusia, perkembangannya juga berada dalam pangkuan
perempuan, lantaran secara ragawi, kondisi fisik perempuan lebih cocok dan
memang telah diciptakan untuk mengandung (hamil), membina dan mendidik
generasi umat manusia selanjutnya. Dari sisi ruhani, perempuan juga memiliki
saham yang lebih banyak pada hal-hal yang berkenaan dengan perasaan dan
afeksi.
Karena itu, kedudukan ibu, pendidikan anak dan pembagian kasih dan
cinta di antara anggota keluarga diserahkan kepada perempuan.[19] Dengan
kata lain, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pendahuluan bahwa tidak
terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam masalah identitas nilai-nilai
(values) kemanusian. Namun sesuai dengan tuntutan jenis kelamin mereka
beramal secara berbeda-beda. Allah Swt menciptakan pelbagai entitas
berdasarkan hikmah dan sesuai dengan situasi dan tanggung jawab yang
dipikulnya. Pria dan wanita juga tidak terkecualikan dari kaidah ini.

Pria dan wanita berbeda dari beberapa sisi antara satu dengan yang lain
seperti pada sisi jasmani, psikologi, perasaan dan afeksi. Kecintaan kaum
wanita kepada keluarga dan perhatian bawaannya terhadap institusi keluarga
lebih banyak daripada kaum pria.

Perempuan hatinya lebih lembut ketimbang laki-laki. Sabda Amirul


Mukminin Ali bin Abi Thalib As berbicara tentang perbedaan-perbedaan
kejiwaan dan ragawi antara pria dan wanita. Sejatinya Imam Ali ingin
menyampaikan bahwa perasaan-perasaan perempuan lebih mendominasi
ketimbang akalnya yang apabila bukan karena dominasi perasaan ini maka ia
tidak dapat menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu dan dari sisi ini pria
berada pada titik berlawanan wanita. Akal pria lebih mendominasi atas
perasaannya dan perbedaan-perbedaan pada penciptaan berdasarkan
hikmah Ilahi. Adanya pelbagai perbedaan ini adalah suatu hal yang mesti.
Karena itu, Baginda Ali As tidak berada pada tataran memberikan kredit poin
kepada salah satunya, melainkan pada konteks memberikan reportase
sebuah fakta penciptaan bahwa perasaan-perasaan dan afeksi-afeksi kendati
pada tempatnya merupakan sesuatu yang ideal namun pada pelbagai
pengambilan keputusan yang menentukan keduanya tidak boleh didengarkan.
[IQuest]

[1]. Shahife-ye Nûr, jil. 14, hal. 200.

[2]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 76.

[3]. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Ahzab [33]:35); “Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung
halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan di sisi Allah terdapat pahala yang baik.” (Qs. Ali
Imran [3]:195)

[4]. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Rum [30]:21)

[5]. Shahife-ye Nûr, jil. 3, hal. 49.

[6]. Khursyid bi Ghurub (terjemahan Nahj al-Balâgha), Miadikha, Khutbah 79.

[7]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 14.

."...‫"خفّت عقولكم و سفهت حلومكم‬


[8]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 34.

."...‫ فأنتم ال تعقلون‬...‫"اف لكم‬


ّ
[9]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 97.

"...‫"أيها القوم الشاهدة أبدانهم الغائبة عنهم عقولهم‬


[10]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 131.

‫"أيتها النفوس المختلفة و القلوب المتشتته الشاهدة أبدانهم و الغائبة عنهم‬


"...‫عقولهم‬
[11]. Artinya pujian-pujian dan celaan-celaan menjadi sebab kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa
tertentu pada sebagian perkara.

[12]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 368-369.

[13]. Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Nahj al-Balâgha), Miadikha, Khutbah 13 & 14.

[14]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 27, hadis 1, Kitab al-‘Aql wa al-Jahl.

"‫"اعجاب المرء بنفسه دليل علي ضعف عقله‬


[15]. Syarh Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam, jil. 1, hal. 311.
"‫المرء بنفسه حمق‬
ِ ‫"اعجاب‬
[16]. Lihat, Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl

[17]. Ushûl al-Kâfi, jil. 1, Kitab al-‘Aql wa al-Jahl, bab 1, hadis 3, hal. 11.

."‫"العقل ما عبد به الرحمن و الکتب به الجنان‬


[18]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, hal. 268 dan 369.

[19]. Silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 164.

Anda mungkin juga menyukai