Anda di halaman 1dari 81

KEBERHASILAN PENGGUNAAN PLASMAPHERESIS

UNTUK TERAPI PENDERITA KRISIS TIROID

DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM

Disusun oleh :

FAKHRI WICAKSONO

1102011095

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Mencapai Gelar Dokter Muslim
Pada

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI


Jakarta
Januari 2015
ABSTRAK

KEBERHASILAN PENGGUNAAN PLASMAPHERESIS


UNTUK TERAPI PENDERITA KRISIS TIROID
DITINJAU DARI KEDOKTERAN DAN ISLAM

Krisis tiroid atau thyroid storm adalah kondisi abnormal, yang ditandai dengan meningkatnya
hormon tiroid pada darah secara hebat yang menyebabkan gangguan fungsi organ. Terapi krisis
tiroid dapat berupa pengobatan konvensional seperti antitiroid dan lainnya, tetapi pada beberapa
kasus terapi konvensional tersebut gagal sehingga digunakan plasmapheresis.
Tujuan umum penyusunan skripsi ini adalah untuk menjelaskan keberhasilan penggunaan
plasmapheresis untuk terapi penderita krisis tiroid ditinjau dari kedokteran dan Islam. Sedangkan
secara khusus untuk menjelaskan penyebab gagalnya terapi konvensional pada pasien krisis tiroid,
keberhasilan penggunaan plasmapheresis untuk terapi krisis tiroid, serta bagaimana pandangan
Islam mengenai terapi tersebut.
Berdasarkan hasil pustaka plasmapheresis adalah teknik terapi dengan cara membuang plasma dari
darah yang dikeluarkan dan memasukkan kembali darah yang sudah disaring serta diberikan
infus/transfusi. Terapi ini dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk krisis tiroid.
Menurut pandangan Islam terapi plasmapheresis dikiyaskan dengan pengobatan menggunakan
darah yang diharamkan. Tetapi diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat dan sesuai dengan
tujuan syariat Islam yaitu Hifz Annafs atau memelihara diri.
Krisis tiroid dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan cepat yang dapat
diakibatkan kegagalan multi-organ dan lainnya sehingga terapi plasmapheresis diperbolehkan
bahkan dapat dihukumi menjadi wajib.
Kegagalan terapi konvensional dapat disebabkan karena panjangnya waktu paruh hormon tiroid.
Terapi plasmapheresis terbukti berhasil menghilangkan substansi yang bersifat patologis pada
krisis tiroid. Oleh karena terapi plasmapheresis sudah terbukti berhasil, maka Islam mewajibkan
penggunaan terapi ini apabila pengobatan konvensional gagal.
Disarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek yang lebih
banyak dan kepada pemerintah untuk dapat menyediakan fasilitas untuk terapi plasmapheresis.
Kepada para ulama untuk menyebarkan agama Islam agar masyarakat mengerti pengobatan yang
diperbolehkan dan diharamkan.

ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah kami setujui untuk dipertahankan di hadapan komisi

penguji skripsi Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS YARSI

Jakarta, Januari 2015

Pembimbing Medik Pembimbing Agama

(Dr. Faizal Drissa Hasibuan, Sp.PD) (DR. Zuhroni, M.Ag)

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT karena atas berkat, rahmat, serta karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Serta tak lupa shalawat dan salam penulis panjatkan

kepada Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para

pengikutnya.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk mendapatkan gelar Dokter Muslim pada Fakultas Kedokteran Universitas

YARSI. Pada kesempatan ini penulis memilih judul “Keberhasilan Penggunaan

Plasmapheresis Untuk Terapi Penderita Krisis Tiroid Ditinjau dari Kedokteran

dan Islam”.

Dengan ini penulis ingin menyampai ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. DR. dr. H. Artha Budi Susila Duarsa, M.Kes selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas YARSI.

2. Dr. Elita Donanti, M.Biomed selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran

Universitas YARSI.

3. Drh. Titiek Djannatun selaku Komisi Skripsi Fakultas Kedokteran

Universitas YARSI

iv
4. Dr. Faizal Drissa Hasibuan, SpPD selaku dosen Pembimbing Medis yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan

materi medis, sehingga skripsi ini tersusun baik.

5. DR. H. Zuhroni, MAg selaku dosen Pembimbing Agama yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta mengarahkan materi

agama sehingga skripsi ini selesai.

6. Kepala dan Staf Perpustakaan Universitas YARSI yang telah bersedia

dan mengizinkan penulis untuk menggunakan ruang referensi serta

meminjam buku-bukunya untuk pembuatan skripsi ini.

7. Ayahanda (Sukarnowo) dan Ibunda (Ellya Umar) tercinta yang telah

memberikan dukungan baik moral maupun materil, kasih sayang, semangat,

nasihat dan doa tiada henti yang selalu mengiringi tiap langkah penulis

sehingga skripsi ini dapat selesai.

8. Jid (Umar Abdullah) dan Jiddah (Faridah) yang juga telah sangat

meemberikan doa dan dukungan kepada penulis.

9. Paman (Nazmi Umar), Kakak (Ega Arya Irianto), Adik (Hasbi Yusron)

yang telah memberikan nasihat, semangat, dukungan, dan juga turut

membantu dan mengarahkan penulis dalam bidang agama dan lainnya

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga keluarga lainnya yang

turut memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

10. Nano, Adroew, Neby, Adeprita, Hoiriyah, Kafia, Icha sebagai sahabat yang

dapat diandalkan, membantu dalam pelajaran dan selalu membangkitkan

semangat dari awal perkuliahan sampai sekarang.

v
11. Rumpis dan Blackdog sebagai sahabat dan teman main yang selalu

menceriakan hari-hari penulis serta membantu dan memberikan semangat

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

12. Sandy dan Angga yang telah penulis kenal semenjak kelas VII SMPN 49

Jakarta, sebagai sahabat sampai saat ini yang selalu memberikan semangat,

nasihat, dan doa kepada penulis.

13. Dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

mendukung saya selama ini.

Penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu

penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dan berterima kasih apabila

terdapat saran dan kritikan yang membangun.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan

mahasiswa, serta masyarakat lain pada umumnya. Amien.

Jakarta, Januari 2015

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


ABSTRAK….................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN................................................................... iii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iv
DAFTAR ISI..................................................................................................... vii

BAB I. PENDAHULUAN................................................................... 1
I.1. Latar Belakang........................................................................... 1
I.2. Perumusan Masalah................................................................... 2
I.3. Tujuan........................................................................................ 3
I.3.1. Tujuan Umum................................................................ 3
I.3.2. Tujuan Khusus............................................................... 3
I.4. Manfaat...................................................................................... 3

BAB II. KEBERHASILAN PENGGUNAAN PLASMAPHERESIS


UNTUK TERAPI PENDERITA KRISIS TIROID
DITINJAU DARI KEDOKTERAN........................................ 5

II.1. Krisis Tiroid............................................................................... 5

II.1.1. Definisi.......................................................................... 5

II.1.2. Klasifikasi...................................................................... 5

II.1.3. Etiologi.......................................................................... 6

II.1.4. Mekanisme Fisiologis Hormon Tiroid.......................... 8

II.1.5. Patofisiologi................................................................... 12

II.1.6. Manifestasi Klinis.......................................................... 14

II.1.7. Diagnosis....................................................................... 18

vii
II.1.8. Penatalaksanaan............................................................. 21

II.1.9. Komplikasi dan Prognosis............................................. 29

II.2. Plasmapheresis........................................................................... 30

II.2.1. Definisi.......................................................................... 30

II.2.2. Indikasi.......................................................................... 30

II.2.3. Kontra Indikasi.............................................................. 32

II.2.4. Mekanisme..................................................................... 32

II.2.5. Teknik Pelaksanaan....................................................... 32

II.2.6. Medikasi........................................................................ 35

II.2.7. Efek Samping dan Komplikasi...................................... 37

II.3. Penggunaan Plasmapheresis Untuk Krisis Tiroid...................... 37

BAB III. KEBERHASILAN PENGGUNAAN PLASMAPHERESIS

UNTUK TERAPI PENDERITA KRISIS TIROID

DITINJAU DARI AGAMA ISLAM....................................... 42

III.1. Pandangan Islam Tentang Keberhasilan Penggunaan

Plasmapheresis............................................................................ 42

III.2. Pandangan Islam Tentang Terapi Penderita Krisis Tiroid......... 52

III.3. Keberhasilan Penggunaan Plasmapheresis Untuk Terapi

Penderita Krisis Tiroid Menurut Pandangan Islam..................... 57

viii
BAB IV. KAITAN PANDANGAN ANTARA KEDOKTERAN

DAN ISLAM TENTANG KEBERHASILAN

PENGGUNAAN PLASMAPHERESIS UNTUK TERAPI

PENDERITA KRISIS TIROID............................................. 60

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN.................................................... 62

V.1. Simpulan................................................................................... 62

V.2. Saran.......................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 65

LAMPIRAN...................................................................................................... 71

ix
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Krisis tiroid atau thyroid storm adalah kondisi abnormal, yang ditandai

dengan meningkatnya hormon tiroid pada darah secara hebat yang menyebabkan

terlibatnya banyak sistem dengan gejala yang khas pada setiap organ (Muller et

al., 2011).

Krisis tiroid jarang terjadi, pada penelitian lain tercatat atara 1%-2% dari

pasien tirotoksikosis yang di rawat. Pada survey di Jepang, pada 5 tahun

penelitian didapatkan 1283 kasus krisis tiroid, yang sama berarti dengan insidensi

0.2%/100.000 populasi di Jepang setiap tahunnya. Dan kondisi ini terjadi pada

0,22% dari semua pasien dengan tirotoksik dan 5,4 % dari pasien tirotoksik yang

di rumah sakit. Kasus ini lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria, dengan

perbandingan 3:1 (Akamizu et al., 2012). Dengan angka kejadian yang rendah

tetapi krisis tiroid memiliki angka kematian yang cukup tinggi yaitu 10-20%

(Caroll dan Matfin, 2010). Penyebabnya biasanya adalah karena penyakit Grave,

tetapi bisa karena komplikasi yang menyebabkan tirotoksikosis lainnya yaitu

penyakit nodul tiroid, penggunaan iodine eksogen dengan jumlah besar (kontras

iodine atau amiodarone) (Caroll dan Matfin, 2010).

Pengobatannya pada kasus krisis tiroid antara lain dengan pemberian beta

blockers, tirostatik, iodine lugol, glukokortikoid, lithium karbonat (Papi et al,

2014). Namun, pada beberapa kasus terapi kovensional diatas tidak dapat

1
menyembuhkan dan memperburuk keadaan pasien, sehingga digunakan terapi

plasmapheresis sebagai pengobatan altenatif untuk krisis tiroid (Jha et al., 2012).

Berdasarkan pandangan Islam, terapi menggunakan plasmapheresis perlu

dipelajari. Karena selain dari adanya perintah untuk berobat, tetapi juga ada

larangan untuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan. Pada pengobatan

menggunakan plasmapheresis ini menggunakan darah yang mana terdapat

larangan untuk meminumnya. Sedangkan dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang

membolehkan menggunakan sesuatu yang haram dalam keadaan darurat. Proses

plasmapheresis diperlukan untuk melukai kulit pasien, karena itu perlu diketahui

hukum dari melukai kulit untuk pengobatan. Oleh karena beberapa masalah ini

maka hukum penggunaan plasmapheresis dalam pandangan Islam perlu untuk

dikaji lebih dalam lagi.

Atas dasar latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangkat

masalah tersebut dalam penulisan skripsi berjudul “Keberhasilan penggunaan

plasmapheresis untuk terapi penderita krisis tiroid ditinjau dari kedokteran dan

Islam”.

I.2. Perumusan Masalah

1.2.1. Mengapa terjadi kegagalan pada terapi konvensional untuk krisis tiroid?

1.2.2. Bagaimana keberhasilan penggunaan plasmapheresis untuk terapi

penderita krisis tiroid?

1.2.3. Bagaimana pandangan Islam mengenai keberhasilan penggunaan

plasmapheresis untuk terapi penderita krisis tiroid?

2
I.3. Tujuan

1.3.1 Umum

Menjelaskan keberhasilan penggunaan plasmapheresis untuk terapi

penderita krisis tiroid ditinjau dari Kedokteran dan Islam

1.3.2 Khusus

a. Menjelaskan mengenai penyebab kegagalan terapi konvensional pada

krisis tiroid

b. Menjelaskan keberhasilan penggunaan plasmapheresis untuk terapi

penderita krisis tiroid

c. Menjelaskan keberhasilan penggunaan plasmapheresis untuk terapi

penderita krisis tiroid ditinjau dari Islam

I.4 Manfaat

1.4.1. Bagi Penulis

Skripsi ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai penggunaan

plasmapheresis sebagai terapi untuk krisis tiroid serta masalah-masalah

agama yang terkait dengannya. Skripsi ini juga dapat menambah

pengetahuan tentang bagaimana cara penulisan karya ilmiah yang baik dan

benar.

1.4.2. Bagi Universitas YARSI

Diharapkan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi

seluruh Civitas Akademika Universitas YARSI, terutama bagi mahasiswa,

agar dapat menambah pengetahuan dan juga mengetahui cara penulisan

3
skripsi yang baik dan benar. Skripsi ini juga dapat memperkaya

pembendaharaan karya tulis di Universitas YARSI.

1.4.3. Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat membantu masyarakat agar mengetahui plasmapheresis

sebagai terapi untuk krisis tiroid ditinjau dari kedokteran dan Islam.

4
BAB II

KEBERHASILAN PENGGUNAAN PLASMAPHERESIS

UNTUK TERAPI PENDERITA KRISIS TIROID

DITINJAU DARI KEDOKTERAN

II.1. Krisis Tiroid

II.1.1. Definisi

Krisis tiroid adalah kondisi mengancam nyawa yang jarang terjadi,

ditandai dengan demam dan perubahan status mental yang di cetuskan oleh

kejadian kritis seperti sakit atau cedera, mengkonsumsi iodine akut, bedah

pada tiroid atau non-tiroid (Jha et al., 2012). Kondisi ini mengancam nyawa

yang memerlukan penanganan kegawat-daruratan segera (Akamizu et al.,

2012). Krisis tiroid merupakan manifestasi ekstrim dari tirotoksikosis. Kondisi

ini tergolong jarang, tetapi memiliki komplikasi yang sangat serius

(Szczepiorkowski et al., 2010).

II.1.2. Klasifikasi

Menurut Akamizu et al. (2012), krisis tiroid dapat dibagi menjadi 2

kriteria, yaitu TS1 dan TS2. TS1 adalah pasien yang sudah pasti terkena krisis

tiroid, sedangkan TS2 berarti adalah pasien yang dicurigai (suspek) terkena

krisis tiroid. Pada penelitian Akamizu et al. (2012) di Jepang, TS1 terjadi

5
sekitar 165 kasus dan TS2 43 kasus per tahunnya. Tingkat mortalitas pada

TS1 adalah 11% dan 9,5% pada TS2.

II.1.3. Etiologi

Krisis tiroid disebabkan oleh hormon tiroid yang meningkat ekstrim

(Szczepiorkowski et al., 2010), yang berarti tingginya kadar FT4 dan FT3.

Tetapi pada penelitian (Akamizu et al., 2012) ditemukan kadar FT4 dan FT3

pada pasien hipertiroid dengan krisis tiroid dan hipertiroid tanpa krisis tiroid

sama tingginya, sehingga penyebab terjadinya hal ini masih menjadi

perdebatan (Papi et al.,2014). Penyebab tirotoksikosis paling sering pada

kasus tiroid adalah karena penyakit Grave. Pada penelitian, krisis tiroid yang

terjadi pada penyakit Grave terjadi 98,9% pada TS1, dan 97,3% pada TS2, dan

juga 95,2% pada literatur-literatur lain (baik TS1 ataupun TS2) (Akamizu et

al., 2012). Selain itu penyebab paling sering adalah adenoma solitary toksik

atau goiter multinoduler toksik. Selain itu, krisis tiroid dapat terjadi karena

karsinoma hipersekresi tiroid, thyrotropin-secreting pituitary adenoma

(Adenoma hipofisis), struma ovarii/teratoma, mola hydatidosa, penggunaan

interferon alfa, interleukin 2 (Nayak dan Burman, 2006).

Pada hampir semua kasus, untuk dapat terjadinya krisis tiroid selain

karena adanya tirotoksikosis tetapi juga karena adanya pencetus yang dapat

menimbulkan krisis tiroid (Tabel 1). Pencetus yang paling sering

menyebabkan krisis tiroid adalah infeksi (Caroll dan Matfin, 2010).

Sedangkan menurut penelitian Akamizu (2012) adalah pemakaian tidak teratur

6
atau penghentian antitiroid. Selain itu krisis tiroid bisa dicetuskan oleh karena

trauma, operasi, infark miokard, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru,

kehamilan, melahirkan, administrasi iodine eksogen dalam jumlah yang

banyak, terapi radioiodine, penghentian mendadak terapi thionamide (obat

antitiroid), pengobatan menggunakan interleukin 2, interferon alfa,

pseudoefedrin, salisilat. (Goldberg dan Inzucchi, 2003; Pimental dan Hansen,

2005; Caroll dan Matfin, 2010). Selain itu faktor pencetus lainnya adalah

stroke dan preeklamsi (Williams dan Wilkins, 2009). Penyebab karena

penggunaan amiodarone lebih sering pada daerah dengan defisiensi iodine

(Szczepiorkowski et al, 2010).

Kasus Kasus
Pencetus Pencetus
(n=304) (n=304)
Pemakaian tidak teratur
Kehamilan 5
atau
122
penghentian obat Penyakit
3
antitiroid cerebrovaskular
Infeksi 87 Olahraga berat 2
Penyakit jantung
Ketoasidosis diabetikum 12 1
iskemik
Insufisiensi
Stress emosional berat 12 1
adrenocortical
Penggunaan kontras
Trauma 12 1
iodine
Bedah nontiroid 8 Pencabutan gigi 1

Terapi radioiodine 6 Lainnya 31

Tabel 1. Pencetus terjadinya krisis tiroid (Akamizu et al., 2012)

Pada kehamilan dan post-partum, memiliki resiko yang tinggi untuk

terjadinya krisis tiroid (Papi et al., 2014). Dan juga terjadinya peningkatan

7
kadar T3 dan T4 total oleh karena pengaruh hormon estrogen dan juga adanya

peningkatan sementara fT4 pada trimester awal oleh pengaruh hCG (human

chorionic gonadotrophin) yang akan menyebabkan tirotoksikosis (Sabih dan

Inayatullah, 2013).

II.1.4. Mekanisme Fisiologis Hormon Tiroid

Hormon tiroid mengandung 59-65% yodium. Dalam biosintesis hormon

tiroid dapat dilihat dalam beberapa tahap, sebagian besar distimulasi oleh

TSH, yaitu tahap a). trapping; b). oksidasi; c). coupling; d). penimbunan atau

storage; e). deiyodinasi; f) proteolisis; g). pengeluaran hormon dari kelenjar

tiroid (Sudoyo, 2009) (Lihat lampiran Gambar 1).

Yodida bersama dengan Na diserap oleh transporter yang terletak di

membran plasma basal sel folikel. Protein transporter ini disebut sodium

iodide symporter (NIS), berada di membran basal, dan kegiatannya tergantung

adanya energi, membutuhkan oksigen yang didapat dari ATP. Proses ini

distimulir oleh TSH. Tiroglobulin (Tg) disintesis di retikulum endoplasmik

tiroid dan glikosilasinya diselesaikan di aparatus Golgi. Hanya molekul Tg

tertentu yang mencapai membran apikal. Setelah itu, yodida dioksidasi oleh

H202 dan TPO (tiroperoksidase) yang selanjutnya akan menempel pada residu

tirosil yang berada pada rantai peptida Tg, membentuk 3-monoiodotirosin

(MIT) atau 3,5-diidotirossin (DIT). Selanjutnya dua molekul DIT atau

molekul DIT dengan MIT bergabung dan membentuk T4 atau T3. Setelah

pembentukan hormon selesai, Tg disimpan di ekstrasel yaitu di lumen folikel

8
tiroid. Umumnya sepertiga yodium disimpan dalam bentuk T4 dan T3 sisanya

dalam MIT dan DIT. Dan akan dikeluarkan apabila dibutuhkan (Sudoyo,

2009).

Pengeluaran hormon dimulai dengan terbentuknya vesikel endositik di

ujung vili (atas pengaruh TSH berubah menjadi tetes kiloid) dan Tg akan di

digesti oleh enzim endosom dan lisosom. Hasil akhirnya adalah dilepaskan T4

dan T3 bebas ke sirkulasi, sedangkan Tg-MIT dan TG-DIT tidak dikeluarkan

tetapi mengalami deiodinasi oleh yodotirosin deyodinase, dan iodidanya

masuk kembali ke simpanan yodium intratiroid (Sudoyo, 2009). Setelah

dikeluarkan ke dalam darah, sebagian besar T3 dan T4 diangkut oleh suatu

protein plasma yaitu thyroxine-binding globulin (TBG). Kurang dari 0,1% T4

dan kurang dari 1% T3 tetap berada dalam bentuk bebas. Hanya bentuk bebas

ini yang dapat ke reseptor sel sasaran dan menimbulkan efek (Sherwood,

2009).

Waktu paruh T4 di dalam plasma adalah ± 1 minggu, sedangkan T3

<24jam (Larsen, 2012). Berdasarkan Sudoyo (2009), waktu paruh T4 adalah 6

hari dan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi

menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas dalam konversi ini adalah

jaringan hati, ginjal, jantung, dan hipofisis. Dalam proses konversi ini

terbentuk juga rt3 (reversed T3, 3,3,5’ triiodotironin) yang secara metabolik

tidak aktif. Deyodinasi T4 menjadi rt3 ini digunakan untuk mengatur

metabolisme pada tingkat selular. Karena hormon yang aktif pada

metabolisme adalah T3, maka harus ada konversi dari T4 menjadi T3 agar

9
dapat berfungsi. Konversi tersebut terjadi dengan adanya enzim deiodinases,

hormon aktif dapat dipertahankan guna mendukung kebutuhan manusia.

Terdapat 3 macam deyodinase utama yaitu D1, D2, D3 yang masing-masing

memiliki fungsi khusus. Deyodinasi tipe 1: mengkonversi T4 menjadi T3 di

perifer, dan tidak berubah pada waktu hamil. D1 ini sensitif terhadap

pylthiouracil untuk inhibisi. Deyodinasi tipe 2: mengkonversi (mengubah) T4

menjadi T3 secara lokal (di plasenta, otak serta SSP) mekanisme ini penting

untuk mempertahankan kadar T3 lokal. Deyodinasi tipe 3: Mengubah T3

menjadi rT3 dan T3 menjadi T2. Normalnya, deyodinasi dari T4 menjadi T3

hanya mencakup 20-30% dari jumlah total T3 (yang sisanya dari sekresi

langsung hormon tiroid), tetapi pada kasus tirotoksikosis konversi ini bisa

menghasilkan lebih dari 50% dari total T3. (Bianco dan Larsen, 2005; Nayak

dan Burman, 2006; Sudoyo, 2009).

Setelah T4 dikonversi menjadi T3, maka T3 akan masuk ke nukelus dan

terikat pada reseptor hormon tiroid atau elemen responsif dari hormon tiroid,

lalu akan menginduksi aktifasi gen dan transkripsi (Burch dan Wartofsky,

1993; Motomura dan Brent, 1998; Nayak dan Burman, 2006). Hormon tiroid

akan menimbulkan efek melalui genomic dan nongenomic. Efek dari

nongenomic (seperti mitokondria) biasa terjadi cepat, dan efek dari genomic

membutuhkan waktu yang lebih lama, setidaknya beberapa jam. Hormon

tiroid memiliki efek yang spesifik pada setiap jaringan. Pada hipofisis, T3

akan menyebabkan penghambatan tirotropin (TSH) apabila terjadi

tirotoksikosis. Hormon tiroid juga akan menstimulasi lipogenesis dan lipolisis

10
dengan menginduksi beberapa enzim yaitu enzim malic, G6PD, fatty acid

synthetase. T3 juga akan mempercepat transkripsi 3-hydroxy-3-methylglutaryl

coenzyme A reduktase. Dan juga meningkatkan produksi kolesterol, ekskresi

kolesterol pada empedu, pada umumnya akan menyebabkan berkurangnya

kolesterol total. Hormon tiroid juga akan mempercepat remodelling

(pertumbuhan/perbaikan) pada tulang dengan menstimulasi osteogenesis dan

osteolysis (Motomura dan Brent, 1998; Nayak dan Burman, 2006).

Efek Pada Laju Metabolisme dan Produksi Panas

Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh.

Hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O2 dan pengeluaran

energi tubuh pada keadaan istirahat. Efek metabolik hormon tiroid berkaitan

erat dengan efek kalorigenik (“penghasil panas”). Peningkatan aktivitas

metabolik menyebabkan peningkatan produksi panas (Sherwood, 2009).

Efek Pada Metabolisme Antara

Selain meningkatkan laju metabolik secara keseluruhan, hormon tiroid

juga memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang berperan dalam

metabolisme bahan bakar. Hormon ini mempengaruhi pembentukan dan

penguraian karbohidrat, lemak, dan protein. Hormon tiroid dalam jumlah

sedikit dengan banyak dapat menimbulkan efek kebalikannnya (Sherwood,

2009).

Efek Simpatomimetik

Hormon tiroid meningkatkan responsivitas sel sasaran terhadap

katekolamin (neurotransmitter simpatis) dengan cara menyebabkan proliferasi

11
reseptor sel sasaran spesifik katekolamin (Sherwood, 2009).

Efek Pada Sistem Kardiovaskular

Melalui efek meningkatkan kepekaan jantung terhadap katekolamin

dalam darah. Hormon tiroid meningkatkan kecepatan jantung, kekuatan

kontraksi miokard, tonus diastolik sehingga curah jantung meningkat

(Sherwood, 2009; Sudoyo, 2009). Hormon tiroid juga dapat mengurangi

resistensi pembuluh darah dan meningkatkan volume darah (Klein dan Ojama,

2001; Nayak dan Burman, 2006).

II.1.5. Patofisiologi

Berdasarkan Nayak dan Burman (2006), patofisiologi dari krisis tiroid

belum sepenuhnya dimengerti. Salah satu teori yang menjelaskan terjadi krisis

tiroid adalah karena meningkatnya kadar hormon tiroid bebas (fT3 dan fT4).

Kadar tirotropin (TSH) pada serum tidak akan terdeteksi karena meningkatnya

kadar T3 dan T4 akan menghambat sekresinya, kecuali pada beberapa kasus

(misalnya adenoma hipofisis). Dalam studi Brooks dan Waldstein (1980)

didapatkan bahwa nilai rata-rata kadar fT4 pada pasien dengan krisis tiroid

lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis saja. Teori lain adalah

karena meningkatnya reseptor beta-adrenergik atau modifikasi post-reseptor

pada jalur pensinyalan (Silva dan Landsberg, 1991; Burch dan Wartofsky,

1993; Sarlis dan Gourgiotis, 2003; Nayak dan Burman, 2006).

Menurut Papi et al. (2014), teori patofisiologi terjadinya krisis tiroid

yang paling bisa diterima adalah adanya hubungan antara hormon tiroid dan

12
katekolamin. Dikarenakan banyaknya reseptor adrenergik yang tersedia dan

berkurangnya hormon tiroid yang terikat dengan TBG (thyroid hormone

binding globulin), dan juga terjadinya kebocoran katekolamin oleh karena

kejadian akut/stress (faktor pencetus) maka itu menyebabkan krisis tiroid

(Waldstein dan Brooks, 1966) (Diagram 1).

Diagram 1. Patofisiologi Krisis Tiroid

Berkurangnya hormon tiroid yang terikat dengan TBG dapat disebabkan

karena adanya inhibitor untuk mencegah pengikatan T4 dengan TBG yang

terjadi pada penyakit sistemik (contohnya sitokin) (Caroll dan Matfin, 2010).

Menurut Wang et al. (2013) Katekolamin terbukti meningkat pada keadaan

13
stress, yaitu pada saat terjadi stress akan terjadi peningkatan aktivitas pada

sistem saraf simpatik-adrenal yang akan menyebabkan peningkatan

pengeluaran katekolamin dari sel kromaffin pada medula adrenal (Cherrington

et al., 1984; Mathar et al., 2010). Katekolamin dapat terikat pada reseptor beta

adrenergik yang banyak terdapat di jantung, yang mana pada keadaan krisis

tiroid, terjadinya peningkatan jumlah dan densitas reseptor beta adrenergik

(Ligett et al., 1989; Szczepiorkowski et al., 2010; Papi,2014). Pengikatan ini

menyebabkan manifestasi pada jantung diantaranya adalah menuningkatnya

cardiac output (Ranabir dan Reetu, 2011) dan takiaritmia (Al-Bannay et al.,

2012).

II.1.6. Manifestasi Klinis

Krisis tiroid diartikan sebagai peningkatan ekstrim dari hormon tiroid

dimana dapat terjadi dekompensasi (penurunan) dari fungsi organ. Sehingga

dapat terlihat gejala klasik dari tiroksikosis (Caroll dan Matfin, 2010). Gejala

pada krisis tiroid berupa demam (>38˚C), takikardia (>130 kali/menit), gagal

jantung kongestif, gejala gastrointestinal, gejala hati, gejala sistem saraf pusat

(Grafik 1) (Tabel 2) (Akamizu et al., 2012).

Gejala Umum

Gejala yang paling sering didapatkan pada pasien tirotoksikosis adalah

turunnya berat badan, meskipun memperoleh asupan kalori yang banyak.

Keadaan hipermetabolik (peningkatan laju metabolik basal) menyebabkan

tidak seimbangnya banyaknya energi yang diproduksi dengan energi yang

14
digunakan, yang akan menyebabkan meningkatnya produksi panas dan

penggunaan bahan bakar tubuh jauh lebih cepat (Dabon-Almirante dan Surks,

1998; Nayak dan Burman, 2006; Sherwood, 2009). Produksi panas pada tubuh

ini yang akhirnya akan menimbulkan demam (>39˚C) yang akan

mengakibatkan keluarnya keringat berlebihan dan akan menyebabkan

keluarnya air yang banyak dan elektrolit yang akhirnya dapat terjadi dehidrasi

(Caroll dan Matfin, 2010). Gejala pokok yang sering terjadi pada pasien

tirotoksikosis adalah tubuh terasa lemah dan kelelahan (Dabon-Almirante dan

Surks, 1998; Nayak dan Burman, 2006). Tubuh lemah ini disebabkan oleh

berkurangnya protein otot karena keadaan hipermetabolik yang akan

menyebabkan terjadinya penguraian netto simpanan karbohidrat, lemak, dan

protein (Sherwood, 2009).

Tabel 2. Karakteristik dan manifestasi pasien krisis tiroid dan tirotoksikosis

tanpa krisis tiroid (Akamizu et al., 2012)

15
Neuropsikiatri

Gejala neuropsikiatri berdasarkan Akamizu et al., (2012) dari 356 pasien

tirotoksikosis terdapat kegelisahan (30,9%), delirium (9,8%), psikosis (5,6%),

kejang (3,9%), letargi (13,8%), koma (7,9%). Pada studi Angell et al. (2014),

18 dari 25 orang mengalami perubahan mental, 6 orang (33%) mengalami

agitasi ringan, 4 orang (22,2%) mengalami letargi yang ekstrim, 3 orang

(16,7%) mengalami delirium, dan 3 orang (16,7%) tidak merespon, 2 orang

(11,1%) mengalami psikosis. Pada studi lain, didapatkan lemahnya ingatan

dan konsentrasi pada pasien dengan tirotoksikosis (Dabon-Almirante dan

Surks, 1998; Nayak dan Burman, 2006).

Grafik 1. Perbandingan manifestasi klinik krisis tiroid dengan tirotoksikosis

(Angell et al., 2014)

Gastrointestinal/Gejala Hepatik

Gejala gastrointestinal meliputi peningkatan frekuensi pergerakan usus

dikarenakan meningkatnya kontraksi pada usus halus (Nayak dan Burman,

16
2006). Disfungsi liver, terjadi langsung karena pengaruh hormon tiroid, atau

sekunder karena adanya gagal jantung dengan kongesti hepar atau hipoperfusi.

Dan dapat diketahui dengan fungsi hati yang abnormal. Bisa didapatkan

ikterik, sakit perut dengan nausea, muntah, dan diare (Caroll dan Matfin,

2010). Pada penelitian Akamizu (2012), dari 243 pasien didapatkan nausea

(25,8%), muntah (18,3%), Diare (35,7%), ikterik (20,5%), GI/gejala hepatik

(57,3%).

Cardiorespiratory

Gejala cardiorespiratory meliputi palpitasi dan dispnea. Nafas pendek

dapat terjadi karena banyak faktor seperti berkurangnya lung compliance,

membesarnya kapiler pulmonal, atau kegagalan ventrikel kiri. Pasien dengan

tirotoksikosis juga dapat mengalami sakit pada dada yang mirip dengan angina

pektoris, yang bisa dikarenakan spasme pada arteri koronaria dan kekurangan

oksigen karena meningkatnya kebutuhan oksigen pada miokard. (Dabon-

Almirante dan Surks, 1998; Nayak dan Burman, 2006). Dekompensasi jantung

biasanya berhubungan dengan gagal jantung dengan tingginya cardiac output,

dan akan memperlihatkan gejala seperti edema perifer atau kongesti pulmonal

dengan gejala pada nafas apabila sudah parah. Takiaritmia umumnya sering

terjadi dan biasanya pada atrium, kecuali adanya predisposisi pada ventrikular

aritmia sekunder karena penyakit jantung primer (Caroll dan Matfin, 2010).

Krisis tiroid yang terjadi pada orangtua sering terlihat dengan gejala

yang tidak khas. Biasanya didapatkan gejala apati, stupor, gagal jantung,

koma, dan tanda yang sedikit dari tirotoksikosis (Caroll dan Matfin, 2010).

17
Pada penelitian Akamizu et al. (2012), pada 45% kasus, durasi dari

terdiagnosis penyakit tiroid (penyakit Grave) sampai timbulnya onset krisis

tiroid baik TS1 maupun TS2 kurang dari 1 tahun, dan sekitar 20%

berkembang menjadi TS1 atau TS2 sebelum mendapatkan terapi antitiroid

(Grafik 2) (Akamizu et al., 2012).

Grafik 2. Durasi sampai timbulnya onset krisis tiroid (Akamizu et al., 2012)

II.1.7. Diagnosis

Cara mendiagnosis krisis tiroid berdasarkan kecurigaan terhadap

masifestasi klinis yang ada pada pasien. Apabila pasien sudah di diagnosis

kuat kemungkinan terkena krisis tiroid maka apabila menunggu hasil test

hanya akan menunda untuk pemberian life-saving treatment (Caroll dan

18
Matfin, 2010). Terdapat 2 cara kriteria untuk mendiagnosis krisis tiroid, yaitu

kriteria diagnosis Burch dan Wartofsky dan kriteria diagnosis Akamizu et al.

(Tabel 5) (Angell et al.,2014).

Grade Combinations
Requirements for diagnosis
of TS of features
First Thyrotoxicosis and at least one CNS manifestation
TS1
combination and fever or tachycardia,
or CHF or GI/hepatic manifestations
Alternate Thyrotoxicosis and at least three combinations of
TS1
combination fever, or tachycardia,
or CHF or GI/hepatic manifestations
First Thyrotoxicosis and a combination of two of the
TS2
combination following: fever or tachycardia
or CHF or GI/hepatic manifestations
Alternate Patients who meet the diagnostic criteria for TS1
TS2
Combination except that serum FT3
or FT4 values are not available but whose data before
or after the episode suggest that they are thyrotoxic at
the time of TS.
Tabel 3. Kriteria Diagnosis Krisis Tiroid (Akamizu et al., 2012)

Cara mendiagnosis krisis tiroid menggunakan sistem skor yang di buat

oleh Burch dan Wartofsky (1993). Parameternya berupa suhu tubuh, gejala

pada sistem saraf pusat, disfungsi gastrointestinal-hepatik, denyut nadi, ada

atau tidaknya gagal jantung kongesti dan juga fibrilasi atrium. Keparahan

gejala dihitung menggunakan poin angka dengan total skor 140. Apabila skor

25-44 maka dikategorikan beresiko tinggi terkena krisis tiroid dalam waktu

dekat (impending storm), ≥ 45 maka di diagnosis sebagai krisis tiroid (Tabel

4) (Szczepiorkowski et al., 2010). <25 tidak terlihat seperti krisis tiroid

(unlikely storm) (Papi et al., 2014).

19
Tabel 4. Skala
diagnosis Burch dan
Wartofsky (1993)
(Kusumo et al.,
2012)

Akamizu et al. (2012), membuat cara baru untuk mendiagnosis krisis

tiroid selain menggunakan kriteria dari Burch dan Watofsky (1993).

Perbedaannya pada kriteria Akamizu, tidak menggunakan cara kuantitatif,

20
melainkan mengkategorikan pasien berdasarkan seluruh gejalanya (Tabel 3).

Tetapi, kriteria diagnosis Akamizu ini belum digunakan pada studi secara luas

(Angell et al., 2014).

Burch dan
Kriteria Akamizu et al.
Wartofsky
Tirotoksikosis Tidak termasuk Prasyarat
Sistem skor Termasuk Tidak termasuk
Demam ≥37.2˚ ≥38˚
Denyut nadi ≥90 denyut/menit ≥130denyut/menit
Fibrilasi atrial Termasuk Tidak termasuk

Edema kaki Klasifikas NYHA


Gagal jantung sampai edema kelas IV atau
pulmonal klasifikasi Kilip ≥III
Konsentrasi serum
Tidak termasuk >3mg/dL
bilirubin
Tabel 5. Perbedaan kriteria diagnostik krisis tiroid antara Burch dan
Wartofsky dan Akamizu (Papi et al., 2014)

II.1.8. Penatalaksanaan

Pada keadaan akut sebaiknya pasien dengan krisis tiroid dirawat pada

ruang ICU (Intensive Care Unit). Seperti pada keadaan akut pada umumnya,

manajemennya dengan ABCDE (Caroll dan Matfin, 2010). Resusitasi sangat

penting dilakukan pada pasien dengan krisis tiroid. Karena beresiko tinggi

terjadinya hipoksemia yang berat dan iskemia jaringan pada pasien.

Kebanyakan dari pasien krisis tiroid membutuhkan intubasi dan penggunaan

ventilasi mekanik. Selanjutnya, diberikan infus cairan dan memperbaiki

elektrolit secepatnya (Papi et al., 2014)

21
Pengobatan spesifik untuk krisis tiroid adalah terapi yang digunakan

untuk mengurangi kadar tiroid pada darah (baik dengan cara mengurangi

sintesis atau mencegah pelepasan hormon tiroid) dan mengurangi efek pada

bagian perifer (Papi et al., 2014; Nayak dan Burman dan Burman, 2006).

Menurut Papi et al. (2014), berdasarkan urutan pentingnya, pengobatan

spesifiknya antara lain (Diagram 2): (Migneco et al., 2005; Han dan Sun,

2002; Thomas et al., 2006)

Diagram 2. Penatalaksanaan krisis tiroid (Papi et al., 2014)

1. Beta-Blocker: Propanolol 1-2 mg intravena atau 40-80 mg per oral dan

diberikan setiap 8 jam (Papi et al., 2014).

22
Farmakokinetik

Propanolol merupakan beta-blocker yang mudah larut dalam lemak

dan diabsorpsi dengan baik (> 90%) di saluran cerna, tetapi

bioavailabilitasnya rendah (≤ 50%) karena mengalami metabolisme lintas

pertama yang ekstensif di hati. Eliminasinya melalui metabolisme sangat

ekstensif sehingga obat utuh yang diekskresi melalui ginjal sangat sedikit

(< 10%). Propanolol memiliki waktu paruh yang pendek yaitu berkisar

antara 3-8 jam (Gunawan, 2011).

Farmakodinamik

Propanolol merupakan drug of choise karena berefek mengurangi

pengikatan katekolamin ke reseptor beta-adrenergik dan juga mengurangi

konversi (deyodinasi) T4 menjadi T3 (Papi et al., 2014).

Selain itu, propanolol juga dapat mengontrol manifestasi

cardiovaskular (karena banyaknya reseptor beta-adrenergik di jantung)

dengan cara mengurangi denyut dan kontraktilitas jantung sehingga dapat

menurunkan takikardi dan curah jantung (Sudoyo, 2009; Szczepiorkowski

et al., 2010; Gunawan, 2011).

Efek Samping

Efek samping yang dapat terjadi adalah gagal jantung pada pasien

dengan gangguan fungsi miokard (kardiomegali, infark miokard, gagal

jantung terkompensasi), bradiaritmia, bronkospasme, gangguan sirkulasi

perifer, hipoglikemia, gangguan saluran cerna, gangguan fungsi seksual,

alopesia, miopati, artropati, penurunan kadar kolesterol dan peningkatan

23
trigliserida, reaksi alergi, leukopenia, trombositopenia dan agranulositosis.

Dapat juga terjadi gejala putus obat, pada hipertiroid apabila obat

dihentikan mendadak dapat menimbulkan serangan yang hebat (Gunawan,

2011).

2. Tirostatik: Terdapat 2 jenis obat yang digunakan yaitu metimazol dan

propiltiourasil (PTU) (Papi et al., 2014). Metimazol 15-20 mg setiap 6 jam

atau propiltiourasil (PTU) dengan dosis awal 500-1000 mg dilanjutkan

dengan 250 mg setiap 4 jam (Klubo-Gwiezdzinska dan Wartofsky, 2012;

Hampton, 2013; Papi et al., 2014). Metimazol dapat diberikan secara

parenteral apabila pasien tidak dapat menelan. Metimazol dan PTU juga

dapat diberikan secara rektal dengan dosis 400-600 mg setiap 6 jam dan 20-

40 mg setiap 8-6 jam (Papi et al., 2014).

Farmakokinetik

Tiourasil didistribusikan ke seluruh tubuh dan diekskresi melalui urin

dan ASI, tetapi tidak melalui tinja. Pada dosis 100 mg PTU mempunyai

masa kerja 6-8 jam, sedangkan metimazol pada dosis 30-40 mg bekerja

selama kira-kira 24 jam (Gunawan, 2011). Data farmakokinetik dijelaskan

dalam tabel 6.

Farmakodinamik

Obat tirostatik ini berfungsi untuk menghentikan sintesis dari hormon

tiroid (Szczepiorkowski et al., 2010). PTU lebih dipilih karena mengurangi

konversi (deyodinasi) T4 menjadi T3 dan juga menurut Caroll (2010) PTU

menimbulkan efek terapi yang lebih cepat.

24
Efek Samping

PTU dan metimazol jarang sekali menimbulkan efek samping, bila

timbul biasanya memiliki gambaran yang sama. Frekuensi terjadinya kira-

kira 3% pada PTU dan 7% pada metimazol. Efek samping yang terjadi

antara lain adalah agranulositosis yaitu 0,44% pada propiltiourasil dan

0,12% pada metimazol, purpura dan papular rash, nyeri dan kaku sendi.

Pada penggunaan PTU dosis tinggi dapat terjadi demam, hepatitis dan

nefritis (Gunawan, 2011).

Farmakokinetik PTU Metimazol


Ikatan protein plasma 75% -
T½ 75 menit 4-6 jam
Volume distribusi 20 L 40 L
Metabolisme pada
Normal Menurun
gangguan hati
Metabolisme pada
Normal Normal
gangguan ginjal
Dosis 1-4 kali/hari 1-2 kali/hari
Daya tembus sawar
Rendah Rendah
plasenta

Jumlah yang diekskresikan


Sedikit Sedikit
dalam ASI
Tabel 6. Farmakokinetik antitiroid (Gunawan, 2011)

3. Idonine (Yodida) dalam jumlah besar: Cairan lugol diberikan (3x1 hari 10

tetes) atau cairan kalium iodide jenuh (3x1 hari 5 tetes) per oral atau juga

natrium iodide 500-1000 mg per hari secara intravena. Iodine harus di

berikan >1 jam setelah pemberian obat anti tiroid (Papi et al., 2014).

25
Yodida biasanya tidak diberikan sendiri tetapi dikombinasi dengan

antitiroid (Gunawan, 2011).

Farmakodinamik

Iodine berfungsi untuk menghentikan pelepasan tiroid

(Szczepiorkowski et al., 2010). Walaupun yodium diperlukan untuk

biosintesis hormon tiroid, bila jumlah yodium cukup banyak maka dapat

menghambat terjadinya sintesis yodotironin dan yodotirosin (Gunawan,

2011).

Efek Samping

Efek samping yang dapat terjadi adalah hipersensitivitas. Intoksikasi

kronik yodida atau yodisme ditandai dengan rasa logam dan terbakar dalam

mulut dan faring serta rangsangan selaput lendir. Dapat juga terjadi radang

faring, laring dan tonsil serta kelainan kulit ringan sampai akneform berat

atau kadang-kadang gejala erupsi yang fatal disebut yoderma. Sedangkan

gejala saluran cerna biasaya iritasi disertai pendarahan (Gunawan, 2011).

4. Glukokortikoid: Hidrokortison 100mg intravena setiap 6-8 jam (Papi et al.,

2014).

Farmakokinetik

Glukokortikoid dapat diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral.

Untuk mencapai kadar tinggi secara cepat dalam tubuh maka diberikan

secara IV. Untuk mendapat efek yang lama maka diberikan melalui IM.

Glukokortikoid juga dapat di absrobsi melalui kulit, sakus konjungtiva,

ruang sinovial. 90% steroid akan terikat pada 2 jenis protein plasma yaitu

26
globulin dan albumin. Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar

hati (Gunawan, 2011).

Setelah penyuntikan steroid sebagian besar dalam waktu 72 jam akan

diekskresi dalam urin, sedangkan pada feses dan empedu hampir tidak ada.

Masa paruh eliminasi steroid sekitar 1,5 jam (Gunawan, 2011).

Farmakodinamik

Mekanisme kerja steroid yang berhubungan dengan krisis tiroid

adalah steroid dapat mengurangi konversi T4 menjadi T3 (Papi et al.,

2014).

5. Lithium Karbonat: Lithium dapat menghambat pelepasan hormon tiroid

dari kelenjar tiroid, dan juga dapat mengurangi iodinasi dari sisa-sisa tirosin

(Caroll dan Matfin, 2010). Penggunaannya sebanyak 300 mg setiap 6-8 jam

(Papi et al., 2014). Lithium dapat digunakan sebagai terapi alternatif

apabila first line therapy gagal (Nayak dan Burman, 2006).

Penggunaan dari terapi ini adalah dengan cara mengkombinasi obat-obat

yaitu first line apabila gagal atau tidak bisa digunakan karena adanya toksisitas

maka dapat diganti dengan second line, dan di tambah dengan pengobatan

suportif (Nayak dan Burman, 2006; Deng, 2012; Papi et al, 2014).

Berdasarkan Nayak dan Burman (2006) iodine dikombinasikan sebagai first

line therapy.

Selain dari pengobatan diatas, dapat diberikan plasmapheresis atau terapi

plasma sebagai alat tambahan untuk mengurangi kadar tiroksin (T4) pada

sirkulasi pada pasien yang tidak merespon secara cepat pada terapi

27
konvensional standar (Koball et al., 2010). Lalu, dapat juga diberikan

pengobatan suportif seperti pemberian cairan, antipiretik (seperti

paracetamol), fenobarbital (sebagai sedatif dan mengurangi konsentrasi FT4

dan FT3 dengan cara meningkatkan metabolisme hormon tiroid). L-Carnitine,

juga dapat berguna, karena menghambat uptake pada hormon tiroid, dapat

mengembalikan atau mencegah gejala dari hipertiroid, dan terbukti efektif

pada kasus krisis tiroid yang berhubungan dengan penggunaan metimazol

dosis rendah (Benvenga et al., 2001; Papi et al., 2014).

Jika terdapat adanya gagal jantung kongestif, maka pemberian cairan

harus diberikan secara hati-hati, dan dibutuhkan diuretik dalam jumlah besar

(furosemide i.v.) yang berhubungan dengan terapi suportif untuk jantung (Ngo

dan Lung-Tan, 2006; Papi et al., 2014). Diperlukan juga ACE-inhibitor

apabila terjadi gagal jantung dan takikardia (Papi et al., 2014). Pada atrial

fibrilasi, dapat diberikan antikoagulasi seperti heparin atau warfarin. Tetapi

karena terjadi perubahan pada pasien krisis tiroid dapat menyebabkan resisten

dan keadaan prokoagulasi (Boppidi dan Daram, 2009; Martin, 2009;

Belchikov dan Marotta, 2010; Papi et al., 2014; Caroll dan Matfin, 2010).

Pada saat demam, dapat diberikan obat penurun panas dan juga

penggunaan matras yang pendingin. Obat penurun panas dapat diberikan

seperti paracetamol. Chlorpromazine 50-100 mg oral atau I.M juga dapat

berguna sebagai penurun panas melalui efek pada termoregulasi sentral

(Caroll dan Matfin, 2010; Papi et al., 2014). Apabila terdapat tanda infeksi,

28
setelah spesimen dari darah dan urin di kultur, maka perlu diberikan antibotik

broadspektrum sebelum menunggu hasil kultur (Papi et al., 2014).

Apabila pasien datang dengan keadaan agitasi yang mengganggu, dapat

diberikan sedatif seperti haloperidol atau benzodiazepine. Perlu juga dimonitor

kadar glukosa karena habisnya cadangan glikogen pada hati saat terjadi krisis

tiroid (Caroll dan Matfin, 2010).

Setelah keadaan pasien stabil, maka perlu dilakukan investigasi untuk

mengetahui penyakit tiroid yang menyebabkan krisi tiroid ini (Papi et al.,

2014).

II.1.9. Komplikasi dan Prognosis

Seperti telah diketahui, tingkat kematian krisis tiroid adalah 10-20%

(Caroll dan Matfin, 2010). Tetapi, apabila terjadi penundaan dari terapi tingkat

kematiannya dapat meningkat hingga 75% (Karger dan Führer, 2008). Pada

penelitian Akamizu et al. (2012), dari 38 orang, komplikasi yang

menyebabkan kematian pada krisis tiroid dan merupaka faktor yang

berpengaruh pada keparahan prognosis adalah kegagalan multi-organ (24%),

gagal jantung kongestif (21%), gagal nafas (8%), aritmia (8%), DIC (5%),

perforasi pada GI (5%), hipoksia otak (3%), sepsis (3%), tidak diketahui

(23%).

Menurut Akamizu et al. (2012) tingginya GCS (Glasgow Coma Scale)

dan BUN (Blood Urea Nitrogen) (>3 mg/dL) juga sebagai salah satu faktor

yang berpengaruh pada terjadi defisit permanen/irreversible seperti kerusakan

29
otak, disuse atrofi, penyakit cerebrovaskular, insufisiensi renal, psikosis

(Akamizu et al., 2012).

II.2. Plasmapheresis

II.2.1. Definisi

Plasmapheresis berasal dari kata plasma dan apheresis yang berarti

membuang plasma dari darah yang dikeluarkan, dengan transfusi ulang

elemen-elemen darah yang terbentuk ke dalam donor. Prosedur ini dapat

dilakukan dengan maksud untuk mengumpulkan komponen-komponen plasma

atau untuk tujuan terapeutik (Dorland, 2007).

II.2.2. Indikasi

Terapi plasmapheresis ini diindikasikan untuk beberapa penyakit

sistemik (Szczepiorkowski et al., 2010). Indikasi dilakukan plasmapheresis

berdasarkan American Society for Apheresis (ASFA) (2010) dibagi menjadi

empat kategori (Szczepiorkowski et al., 2010):

1. Kategori I adalah diindikasikan sebagai terapi pertama (first line therapy),

baik sendiri atau digabungkan dengan pengobatan lainnya. Contohnya

adalah terapi plasmapheresis pada sindrom Guillain-barre sebagai terapi

pertama yang digunakan sendiri, pada myastenia gravis sebagai terapi

pertama yang dikombinasi dengan immunosupressan dan inhibisi

colinesterase.

30
2. Kategori II adalah diindikasikan sebagai terapi kedua (second-line

therapy), baik sendiri atau digabungkan dengan pengobatan lainnya.

Contohnya adalah plasmapheresis pada acute disseminated

encephalomyelitis sebagai terapi pertama yang digunakan sendiri.

3. Kategori III adalah peran optimal terapi masih belum mapan. Keputusan

untuk penggunaannya tergantung pada individual masing-masing.

Contohnya adalah plasmapheresis pada pasien dengan sepsis dan

kegagalan multiorgan.

4. Kategori IV adalah penggunaan plasmapheresis dengan diketahui bahwa

penggunaannya tidak efektif atau berbahaya. Contohnya adalah

plasmapheresis pada rheumatoid arthritis aktif.

Tabel 7. Tingkatan rekomendasi Guyatt et al. (2006)(Szczepiorkowski et al.,

2010)

31
Terdapat grade (tingkatan) rekomendasi untuk penggunaan

plasmapheresis sebagai terapi, yang disusun berdasarkan kualitas dari bukti

ilmiah oleh Guyatt et al. (2006) (Tabel 7) (Szczepiorkowski et al., 2010).

II.2.3. Kontra Indikasi

Kontra indikasi untuk terapi plasmapheresis adalah apabila pasien tidak

dapat mentoleransi pemasangan kateter vena sentral, dalam keadaan sepsis

atau tidak stabil, alergi terhadap fresh frozen plasma (FFP) atau albumin.

Pemberian heparin terhadap pasien yang alergi juga harus dihindari dan juga

pemberian sitrat pada pasien dengan hipokalemia (Stieglitz, 2013).

II.2.4. Mekanisme

Mekanisme plasmapheresis atau therapeutic plasma exchange adalah

dengan mengeluarkan molekul-molekul besar dari plasma darah seperti

autoantibodi, kompleks antigen-antibodi, alloantibodi, myeloma light chain,

endotoksin, eksotoksin, cryoglobulin, lipoprotein melalui membran

semipermeabel (Gambar 2 lihat lampiran) (Hernández et al., 2011; Ward,

2011). Tujuan dilakukannya terapi plasmapheresis umumnya adalah untuk

mengeluarkan antibodi yang berkaitan dengan patogenesis suatu penyakit

autoimun (Ward, 2011).

II.2.5. Teknik Pelaksanaan

Pada awalnya, prosedur pelaksanaan terapi plasmapheresis meggunakan

32
teknik manual. Teknik manual dilakukan dengan cara mengambil darah dan

melakukan sentrifugasi ex vivo (diluar tubuh) lalu memasukkan darah kembali

secara manual ke pasien. Namun, saat ini sudah lebih banyak menggunakan

mesin-mesin modern (Ward, 2011).

Prosedur pada terapi plasmapheresis dapat menggunakan sentifugasi

atau juga filtrasi/membran semipermeabel (Kaplan, 2009). Teknik sentrifugasi

memiliki kelebihan yaitu dapat memisahkan produk sesuai dengan sifat

gravitasinya, produk ini antara lain adalah sel darah merah, sel darah putih,

trombosit, plasma. Teknik filtrasi dapat memisahkan berdasarkan besarnya

partikel komponen darah (Stieglitz, 2013) . Saat ini yang lebih banyak dipakai

adalah menggunakan filtrasi karena lebih mudah dan murah (Kaplan, 2009).

Pada teknik ini, selain plasma diambil juga dilakukan transfusi fresh frozen

plasma (Hernández et al., 2011).

Plasmapheresis pada teknik sentrifugasi dapat menggunakan Cobe

Spectra, Fenwal Aurora, Fresenius COM. Sedangkan pada teknik filtrasi dapat

menggunakan alat membran semipermeabel dengan kombinasi peralatan

dilakukan mesin hemodialis (contoh: mesin hemodialisis 4008S). Terdapat

dua teknologi pada teknik filtrasi ini yaitu hollow fiber dan parallel plate.

Contoh mesin pada hollow fiber adalah Asahi Plasma-Fo dan parallel plate

adalah Cobe TPE (Stieglitz, 2013).

Terapi plasmapheresis biasanya dilakukan untuk mengeluarkan plasma

sebanyak 1-1,5 kali TPV (Total Plasma Volume). Pada penggunaan filtrasi,

33
dengan kisaran itu maka dapat menyaring 30-35% plasma darah (Ward, 2011).

Setiap tindakan memakan waktu sekitar 2,5-3 jam (Koball et al., 2010).

Prosedur tindakan plasmapheresis dengan menggunakan teknik filtrasi

yaitu mesin hemodialisis 4800 (Ward, 2011; Sinha et al., 2012)(Gambar 3,

lihat lampiran):

1. Pemasangan kateter double-lumen pada vena femoralis atau jugularis

interna (kateter vena sentral)

2. Darah akan difiltrasi melalui membran filtrasi polysulfone dengan

area permukaan 0,3-0,6 m2. Rata-rata kecepatan darah adalah 80-120

mL/menit dan tekanan transmembran 100 mmHg. Diberikan juga

heparin 50U/kg BB diikuti dengan bolus 25U/kg/jam.

3. Plasma yang sudah terpisah akan di masukkan pada tabung silinder

4. Setelah itu dapat diberikan cairan pengganti untuk mengganti plasma

yang hilang dengan FFP (ditambah dengan difenhidramin dan

paracetamol), albumin 5% atau saline 0,9%

Kehilangan cairan pada plasma dapat diganti dengan fresh frozen plasma

(FFP), atau albumin 5% atau larutan koloid yang mirip lainnya, atau juga

dapat dengan menggunakan plasma pasien itu sendiri setelah dilakukan

penyaringan sekunder terlebih dahulu (Ward, 2011). Menurut Koball et al.

(2010), plasma dapat juga diganti menggunakan larutan ringer laktat dengan

human albumin 4%. Menurut Ward (2011), apabila diberikan albumin 5%

sejak awal, maka nilai albumin dalam serum dapat melebihi normal sewaktu

selesai melakukan plasmapheresis. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan

34
larutan saline 0.9% pada seperempat pertama lalu selanjutnya dapat diberikan

albumin 5% sampai selesai. Banyak dari studi lain yang menghindari

penggunaan FFP sebagai cairan pengganti karena terbukti beresiko dapat

terjadinya reaksi alergi dan infeksi. Insiden dari kejadian alergi ini dapat

dikurangi dengan pemberian antihistamin (difenhidramin) dan antipiretik

(paracetamol) (Ward, 2011).

II.2.6. Medikasi

Terdapat beberapa obat/medikasi yang dapat diberikan kepada pasien

yang menjalani terapi plasmapheresis antara lain adalah (Stieglitz, 2013):

1. Antikoagulan

Pada terapi plasmapheresis, pasien juga diberikan antikoagulan, yaitu

biasanya heparin apabila menggunakan metode membran filtrasi, dan sitrat

pada metode sentrifugasi (Ward, 2011). Untuk mencegah terjadinya

penggumpalan selama tindakan (Stieglitz, 2013).

2. Antihistamin (Difenhidramin)

Difenhidramin digunakan untuk reaksi alergi yang disebabkan oleh

lepasnya histamin yang dapat terjadi karena transfusi, khususnya FFP

(Stieglitz, 2013).

3. Kortikosteroid (Hidrokortison)

Hidrokortison dapat digunakan untuk menurunkan permeabilitas

kapiler dan menghambat migrasi PMN. Dapat diberikan ketika terjadi

reaksi alergi (Stieglitz, 2013).

35
4. Agonis Beta1/beta2 Adrenergik (Epinefrine)

Epinefrine dapat berguna untuk meningkatkan resistensi vaskular dan

menurunkan permbealitas vaskular. Dapat diberikan ketika terjadi reaksi

alergi (anafilaksis atau gangguan pernafasan) karena FFP (Stieglitz, 2013).

5. Analgesik (Acetaminophen)

6. Garam Kalsium (Kalsium sitrat, kalsium karbonat, kalsium kloride)

Garam kalsium dapat digunakan untuk mengatasi komplikasi

hipokalsemia dikarenakan sitrat (Stieglitz, 2013). Dapat juga diberikan

kalsium glukonat (Hernández et al., 2011).

7. Suplemen Elektrolit (Kalium Kloride)

8. Kristaloid Isotonik (Normal Saline)

Normal saline dapat mengembalikan volume intersisial dan

intravaskular. Digunakan pada awal resusitasi cairan. Selain untuk

pengganti cairan, normal saline digunakan juga apabila terjadi hipotensi

(Stieglitz, 2013).

9. Garam Magnesium (Magnesium Oxide, Magnesium Glukonat)

Garam magnesium dapat digunakan untuk mengatasi komplikasi

hipomagnesemia (Stieglitz, 2013).

10. Lainnya

Pada terapi plasmapheresis dapat juga diberikan suplementasi IVIG

setelah tindakan karena banyaknya immunoglobulin yang terbuang (Ward,

2011).

36
II.2.7. Efek Samping dan Komplikasi

Terapi plasmapheresis memiliki beberapa efek samping yang mungkin

terjadi setelah terapi plasmapheresis adalah demam, kekakukan, reaksi alergi

(urtikaria), nausea atau hipotensi transien (Krishnan dan Coulthard, 2007;

Sinha et al., 2012). Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi adalah

hipokalemia, hipotensi, sakit perut, infeksi karena kateter, trombosis (Sinha et

al., 2012), hipomagnesemia (Albaramki, 2009), hipotermi. Dapat juga terjadi

trombositopenia dan hipofibrinogenemia yang dapat menyebabkan pendarahan.

(Stieglitz, 2013).

II. 3. Penggunaan Plasmapheresis Untuk Krisis Tiroid

Plasmapheresis atau therapeutic plasma exchange (TPE) telah diketahui

sebagai salah satu terapi alternatif untuk pengobatan hipertiroid, khususnya

krisis tiroid sejak tahun 1970an apapun etiologinya (Ashkar et al., 1970;

Muller et al., 2011). Pada beberapa studi, terapi menggunakan plasmapheresis

berhasil mengatasi krisis tiroid dan menurunkan kadar hormon tiroid (Muller

et al., 2011; Jha et al., 2012; Sasaki et al., 2011). Plasmapheresis terbukti

bermanfaat mengobati krisis tiroid yang disebabkan oleh penyakit Grave, yang

merupakan penyebab utama hipertiroid. Selain untuk penyakit Grave,

plasmapheresis juga dapat digunakan pada hipertiroid yang diinduksi oleh

amiodarone, Hashimoto ensefalopati (Boers dan Colebatch, 2001), hipertiroid

karena mola hidatidosa (Adali et al., 2009), Grave oftalmopati (Yamamoto et

al., 1982), persiapan untuk bedah kegawat-daruratan pada penyakit berat (Ezer

37
et al., 2009). Terapi plasmapheresis merupakan salah satu metode tercepat

untuk memperbaiki kondisi klinis pada pasien krisis tiorid. Teknik ini tidak

diindikasikan pada hipertiroid yang dapat ditoleransi (Muller et al., 2011).

Plasmapheresis berguna untuk menghilangkan substansi yang berpotensi

menyebabkan patologis pada krisis tiroid diantaranya adalah hormon,

autoantibodi (pada penyakit Grave), katekolamin, sitokin (memediasi

inflamasi), toksin, dan lainnya. Dikarenakan 99,5% dari T3 dan T4 terikat

dengan protein plasma (TBG 80%, albumin 10% T4 dan 20% T3, dan

transthyretin) maka secara teori, plasmapheresis dapat mengurangi hormon

tiroid yang terikat dengan plasma (Szczepiorkowski et al., 2010; Muller et al.,

2011). Teknik ini mengurangi efek dari hormon tiroid dengan cara

mengeluarkan hormon tiroid bebas, mengganti protein yang berikatan dengan

tiroid dengan protein yang belum terikat, mengeluarkan 5’-monodesiodase

yang berfungsi untuk mengkonversi T4 ke T3. Selain menurunkan kadar

tiroid, plasmapheresis juga dapat menkontrol gejala gangguan jantung

(takikardia dan aritmia). Pada kasus krisis tiroid yang diinduksi oleh

amiodarone, plasmapheresis juga dapat mengeluarkan amiodarone dari

sirkulasi, karena amiodarone sangat banyak yang terikat dengan protein.

Tetapi, pada terapi plasmapheresis harus juga di gabungkan dengan

pengobatan yang menghentikan sintesis dari hormon tiroid (Muller et al.,

2011).

Penggunaan plasmapheresis untuk kasus krisis tiroid dilakukan ketika

terapi obat-obatan (konvensional) gagal atau tidak dapat digunakan karena

38
efek sampingnya. Gagalnya terapi konvensional ini dapat disebabkan karena

panjangnya waktu paruh hormon tiroid, sehingga semakin meningkatnya

kadar hormon dan memburuknya kondisi klinis pasien (Jha et al., 2012).

Baiknya, kombinasi obat yang bervariasi harus digunakan terlebih dahulu baru

dilakukan plasmapheresis (Szczepiorkowski et al., 2010). Pada penelitian Jha

at al. (2012), terapi plasmapheresis dilakukan pada hari ketiga setelah di

diagnosis krisis tiroid ketika kondisi pasien bertambah parah (kejang)

walaupun sudah diberikan terapi standar (propanolol, steroid, neomercazole,

cairan lugol). Pada peneletian Muller et al. (2011), TPE dilakukan pada hari ke

16 setelah pasien masuk ke RS ketika kondisinya tidak membaik (termasuk

artimia berat) walaupun sudah diberikan terapi konvensional (carbimazole,

propanolol, kortikosteroid, potassium perkolarate). Pada penelitian Sasaki et

al. (2011), TPE dilakukan pada hari ketujuh dikarenakan sulitnya mengontrol

tirotoksikosis hanya dengan terapi konvensional.

Penggunaan plasmapheresis pada krisis tiorid berdasarkan ASFA

(American Society of Apheresis) direkomendasikan pada grade IIc (weak

recommendation, low-quality evidence) dan dikategorikan pada kategori III

(Szczepiorkowski et al., 2010). Berdasarkan Muller et al. (2011), terapi

plasmapheresis untuk krisis tiroid dilakukan ketika: sakit berat/gejala yang

parah (seperti cardiotirotoksikosis, gangguan neurologis, penurunan

kesadaran, miopati berat), perburukan keadaan klinik cepat, kontraindikasi

pada terapi lainnya (agranulositosis, insufisiensi renal, asma, gagal jantung,

dan lainnya), dan kegagalan dalam penggunaan terapi konvensional (obat-

39
obatan). Terapi plasmapheresis segera dilakukan ketika skor > 45 (skor Burch

dan Wartofsky) sebelum terjadinya kegawat-daruratan karena gangguan

jantung atau gangguan neurologis. Tetapi apabila dibawah 45 dapat dicoba

dengan terapi konvensional terlebih dahulu (Muller et al., 2011).

Terapi dengan plasmapheresis untuk krisis tiroid dapat digunakan setiap

hari atau 2-3 hari sekali dengan volume plasma yang diterapi 1-1,5 TPV (total

plasma volume) dan pemberian cairan pengganti 40-50mL/kg. Cairan

penggantinya dapat menggunakan albumin atau plasma. Albumin dan plasma

selain sebagai cairan pengganti dapat bermanfaat juga meningkatkan

konsentrasi tiroglobulin untuk mengikat hormon tiroid bebas

(Szczepiorkowski et al., 2010). Plasmapheresis perlu dilakukan beberapa kali

karena hanya 20% dari T4 dan lebih sedikit pada T3 yang dapat dikeluarkan

pada setiap sesi terapi (Caroll dan Matfin, 2010). Terapi ini dilakukan sampai

terjadi perbaikan klinis (Szczepiorkowski et al., 2010). Kadar FT4 dan FT3

juga harus terus dipantau ketika sebelum dan sesudah melakukan terapi

(Muller et al., 2011).

Waktu penyembuhan terapi plasmpaheresis tergantung dari jumlah

hormon tiroid dan gejalanya yang berbeda-beda pada setiap pasien (Muller et

al., 2011). Pada studi Muller et al. (2011) plasmapheresis dapat menurunkan

konsentrasi tiroid dan memperbaiki gejala gangguan jantung dalam waktu

beberapa hari. Tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki

gangguan neurologis. Dimana pada studinya, pasien koma dapat sadar kembali

dalam waktu 3 minggu. Ini mungkin dikarenakan adanya blood-brain barrier

40
yang mencegah pembersihan hormon pada intraserebral. Pada penelitian lain

(Patte et al., 1983) mengatakan perbaikannya setelah 6 bulan.

Efek samping penggunaan terapi plasmapheresis sangat jarang.

Diantaranya adalah reaksi transfusi, nausea dan muntah karena sitrat,

vasovagal atau reaksi hipotensi, respiratory distress (gawat nafas), tetany dan

kejang (Muller et al., 2011). Selain itu juga bisa terjadi reaksi anafilaksis dan

infeksi karena efek immunosupresan dari terapi ini. Kejang pada dapat

disebakan karena hipokalsemia yang dapat terjadi pada pasien yang di terapi

plasmapheresis (Jha et al., 2012).

Pada beberapa studi yang disebutkan oleh Muller et al. (2011), bahwa

dapat terjadi kegagalan dalam penggunaan plasmapheresis untuk beberapa

kasus. Kasus pertama adalah Henderson et al. (1994) Plasmapheresis

dilaporkan tidak efisien karena hanya menghilangkan 7% dari dosis tiroksin

yang di telan, pada Samaras dan Marel (1996) kegagalan terapi

plasmapheresis dapat dipengaruhi oleh melemahnya ginjal dan hati, pada

kasus Kuzuya dan Degroot (1982) eksoftalmos sudah berkembang terlalu

parah, pada Patte et al. (1983) TPE di hentikan karena tidak stabilnya jantung

ketika dilakukan terapi, dan pada beberapa kasus lainnya mengatakan karena

sudah terlalu parahnya gejala penyakit ketika terdiagnosis Oleh karena itu,

plasmapheresis harus segera dilakukan agar dapat efisien (Muller et al., 2011).

41
BAB III

KEBERHASILAN PENGGUNAAN PLASMAPHERESIS

UNTUK TERAPI PENDERITA KRISIS TIROID

DITINJAU DARI AGAMA ISLAM

III.1. Pandangan Islam Tentang Keberhasilan Penggunaan

Plasmapheresis

Plasmapheresis berasal dari kata plasma dan apheresis yang berarti

membuang plasma dari darah yang dikeluarkan, dengan transfusi ulang

elemen-elemen yang terbentuk ke dalam donor (Dorland, 2007). Di dalam

tekniknya terdapat melukai kulit untuk memasang kateter vena sentral,

pengeluaran darah, mentransfusi darah (Sinha et al, 2012).

Para ulama sepakat bahwa darah, baik darah hewan atau darah manusia,

haram dikonsumsi. Dasar dalilnya, antara lain, tercakupan dalam batasan

umum darah yang disebutkan dalam sejumlah ayat Al-Qur’an, antara lain:

‫اﻧ � َﻤﺎ َﺣ �ﺮ َم �َﻠَ ۡﯿڪُ ُﻢ ٱٱﻟۡ َﻤ ۡﯿ َﺘ َﺔ َوٱٱ�� َم َوﻟَ ۡﺤ َﻢ ٱٱﻟۡ ِ� ِﲋ� ِﺮ َو َﻣآ ٓ �آ ِﻫ �ﻞ ِﺑ ِﻪۦ ِﻟﻐ ۡ َِﲑ آٱ � ِ�ۖ ﻓَ َﻤ ِﻦ‬

‫ٱٱﺿۡ ُﻄ �ﺮ �َ ۡ َﲑ َ� ۬غٍ َو َﻻ �َﺎ ٍ۬د ﻓَ َ�ٓ ا ۡ َﰒ �َﻠَ ۡﯿ ِ ۚﻪ ا �ن ٱٱ � َ� ﻏَ ُﻔ ۬ ٌﻮر �ر ِﺣ ٌﲓ‬
� �
Artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),
sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah (02):173).

42
Dan juga larangan-larangan yang sama mengenai larangan mengkonsumsi

darah pada surat An-Nahl (16):115, Al-Maidah (5):3, Al-An’am (6):145

(Zuhroni, 2012).

Dalam Tafsir Al-Manar, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935),

ulama dari Mesir, sebagaimana dikutip oleh Zuhroni (2012) menyebutkan

hikmah diharamkannya darah karena berbahaya dan menjijikkan, sebagaimana

bangkai. Darah menjijikkan berdasarkan perasaan umum. Membahayakan

karena banyak zat-zat yang dapat membahayakan tubuh. Dimungkinkan juga

di dalam darah itu mengandung virus atau bakteri yang dapat menular kepada

orang yang mengkonsumsinya. Ulama lain, yaitu Ibnu Taimiyah, sebagaimana

dikutip oleh Zuhroni (2012) mengatakan satu diantara hikmah dilarangnya

mengkonsumsi darah agar terhindar dari pengaruh psikologis yang cenderung

agresif, labil, tempramental, dan efek buruk lainnya (Zuhroni, 2012).

Untuk kenajisan darah, tidak ada dalil dalam Al-Qur’an dan Hadis yang

tegas menyatakan bahwa darah manusia hukumnya najis, kecuali darah haid.

Sebagaimana hadis Nabi SAW:

ِ
ْ َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـ َﻘﺎﻟ‬
‫ﺖ‬ ‫ت ْاﻣَﺮأَةٌ اﻟﻨِ ﱠ‬
َ ‫ﱠﱯ‬ ْ َ‫ﺖ َﺟﺎء‬ ْ َ‫َﲰَﺎءَ ﻗَﺎﻟ‬ْ ‫َﻋ ْﻦ أ‬
ِ ‫ﻴﺾ ِﰲ اﻟﺜـﱠﻮ‬ َِ ‫أَرأَﻳﺖ إِﺣ َﺪاﻧَﺎ‬
ُ‫ﺻﻪ‬
ُ ‫ﺎل َﲢُﺘﱡﻪُ ﰒُﱠ ﺗَـ ْﻘُﺮ‬َ َ‫ﺼﻨَ ُﻊ ﻗ‬
ْ َ‫ﻒ ﺗ‬َ ‫ب َﻛْﻴ‬ ْ ُ ‫ﲢ‬ ْ َ َْ
‫ﺼﻠﱢﻲ ﻓِ ِﻴﻪ‬ ‫ﺗ‬‫و‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺤ‬ ‫ﻀ‬ ‫ﻨ‬
ْ ‫ـ‬‫ﺗ‬‫و‬ ِ ‫ﺑِﺎﻟْﻤ‬
‫ﺎء‬
ُ
َ َ ُُ َ َ َ َ

Artinya :

43
Dari Asma Binti Abi bakr r.a. menceritakan, “seorang wanita pernah
bertanya kepada Rasulullah SAW, ya Rasulullah bagaimana pendapat anda
bila salah seorang dari kami kainnya terkena darah haid, apa yang harus
diperbuat? Nabi menjawab: Jika salah seorang di antara kamu terkena darah
haid, maka kikislah lalu cucilah dengan air, kemudian shalatlah dengan
mengenakan pakaian itu.” (HR. Al-Bukhari)

Ulama berbeda pendapat mengenai najisnya darah selain darah haid.

Rincian perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai berikut (Zuhroni, 2012;

Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, 2006).:

1. Sebagian besar fukaha menyatakan najisnya darah. Alasannya, antara

lain:

Darah haram dimakan. Mereka menyebutkan empat alasan

diharamkannya mengkonsumsi sesuatu, jika termasuk satu atau lebih

‘illat (sebab), yaitu:

1. Terhormatnya sesuatu itu.

2. Membahayakan kesehatan.

3. Menjijikkan, dan

4. Najis.

Menurut mereka, keharaman darah karena unsur kenajisannya.

Sebagaimana dalam kitab al-Mauhibah, kalau sesuatu diharamkan

dikonsumsi bukan karena kehormatannya, bukan karena dipandang

menjijikkan dan bukan karena membahayakan, maka itu

menunjukkan bahwa sesuatu diharamkan karena kenajisannya

(Zuhroni, 2012). Menurut Ibnul Arabi dalam kitab Ahkam Al Qur’an,

sebagaimana dikutip oleh Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim

(2006) berkata, “Para ulama sepakat bahwa darah hukumnya haram

44
dan najis jika dimakan dan diambil manfaatnya, dan Allah telah

menetapkan ini secara mutlak, juga telah menetapkannya pada surat

Al An’am yang berkaitan dengan darah yang mengalir. Para ulama

membawa nash mutlak dengan nash muqayyad.” Menurut An-

Nawawi dalam Al Majmu’ berkata, “Dalil-dalil atas hukum najisnya

darah telah jelas, dan aku tidak melihat ada perbedaan pendapat dari

kalangan kaum muslimin, melainkan apa yang dikisahkan dalam kitab

Al Hawi tentang sebagian golongan dari ulama kalam, bahwasanya

mereka berkata bahwa darah adalah suci, akan tetapi pendapat dari

golongan itu tidak dianggap sebagai ijma’, atau hanya sebuah

perbedaan pendapat belaka” (Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim,

2006).

2. Hanya sedikit ulama yang menyatakan bahwa darah tidak najis. Mereka

mengemukakan tiga alasan, yaitu:

1. Bahwa tiap sesuatu yang pada asalnya adalah suci kecuali ada dalil

tegas yang menajiskannya. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang

menajiskan darah kecuali untuk darah haid (Zuhroni, 2012).

2. Tidak selalu yang haram dimakan adalah najis hukumnya, tetapi tiap

yang najis haram dikonsumsi (Zuhroni, 2012).

3. Dalil yang menajiskan darah haid bersifat khusus, tidak dapat

digunakan untuk menajiskan darah manusia selain haid (Zuhroni,

2012).

45
4. Umat Islam tetap melaksanakan shalat, padahal dibadan mereka

masih ada luka yang mengeluarkan darah, yang tidak sampai pada hal

yang dimaafkan. Juga tidak ada riwayat Nabi SAW yang

memerintahkan untuk mencucinya, serta tidak ada riwayat

bahwasanya mereka sangat berhati-hati dalam masalah itu (Abu

Malik Kamal bin As-Sayid Salim, 2006). Sebagaimana yang terdapat

riwayat dari sahabat:

‫ َﻣﺎ َزا َل اﳌ ُ ْﺴ ِﻠ ُﻤ ْﻮ َن ﯾُ َﺼﻠ � ْﻮ َن ِ ْﰲ ِﺟ َﺮا َ�ﺎﲥِ ِ ْﻢ‬: ‫َوﻗَﺎ َل اﳊ ََﺴ ُﻦ‬


Al Hasan berkata, “Kita dapati umat Islam tetap melaksanakan
shalat walaupun mereka masih dalam keadaan terluka” (HR. Al
Bukhari).

Dalam riwayat lain mengenai shalat dalam keadaan berdarah yaitu

peristiwa pada seorang sahabat Al Anshari pada saat melaksanakan

shalat malam

‫ ِا ْﺣتَﺪَ َم َﻋﻀَ ﺪَ ُﻩ‬،‫ﺎﲢ ِﺔ اﻟ ِﻜتَ ِﺎب ُﺳ َﻮ ٌر ِﻣ َﻦ اﻟ ُﻘ ْﺮآ ٓ ِن‬ ٌ ِ َ‫َوِا ْذ ﻫ َُﻮ ﻗ‬


َ ِ َ‫ﺎﰂ ﯾ َ ْﻘ َﺮ �أ ﺑ َ ْﻌﺪَ ﻓ‬
‫َﺳﻬْ ٌﻢ ﻓَ َ َﲋ�َ ُﻪ َوا ْﺳ� َﺘ َﻤ َﺮ ِ ْﰲ َﺻ َﻼ ِﺗ ِﻪ ُ �ﰒ َر َﻣﺎ ُﻩ اﳌُﻬ َِﺎﺟ ُﻢ ِ ْﰲ َﻇ َﻼ ِم الﻠ � ْﯿ ِﻞ � َِﺴﻬْ ٍﻢ‬
ُ ُ ‫ َو َﲭَﺪَ ُ �ﰒ ﻗَﺎ َم ِﻣ ْﻦ‬،‫َ� ٍن نَ َﺰ�َ ُﻪ َو �أﳖْ َ�ﻰ ِﺗ َﻼ َوﺗَ ُﻪ ُ �ﰒ َر َﻛ َﻊ‬
‫ﲭ ْﻮ ِد ِﻩ َوﺗ ََﻼ‬
‫ َو �أ َ �ﰎ َﺻ َﻼﺗَ ُﻪ‬.. َ‫اﻟت�ﺸَ ﻬ�ﺪ‬
Dan ketika dia berdiri membaca surat-surat pendek dia pun dipanah
kemudian dia mencabutnya dan melanjutkan shalatnya. Kemudian
sang pemanah memanahnya untuk kedua kalinya dalam kegelapan
malam, maka ia mencabutnya kembali dan menyelesaikan bacaannya
kemudian dia ruku’ dan sujud kemudian ia bangun dari sujud dan
membaca Tasyahud, lalu menyelesaikan shalatnya (HR. Al Bukhari)
(Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, 2006).

46
Oleh karena itu, menurut Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim (2006)

pendapat yang paling kuat adalah mengatakan bahwa darah adalah najis, hal

itu disebabkan adanya ijma’. Al-Qurthubi menyatakan, berdasarkan dalil Q.S.

Al-An’am (6): 145, ulama sepakat bahwa mengkonsumsi darah hukumnya

haram dan najis, tidak boleh dimakan dan juga tidak boleh dimanfaatkan

(contohnya berobat) (Zuhroni, 2006).

Pada plasmapheresis terdapat pengobatan dengan melukai dan

mengeluarkan darah. Hukum asal dari melukai kulit adalah diharamkan,

sesusai dengan firman Allah SWT (Al-Baydhoni, 2011):

َ ‫و َﻻ ﺗَ ْﻘ ُتﻠُ ْﻮا �أﻧْ ُﻔ َﺴ ُ ْﲂ ا �ن‬...


‫ﷲ َﰷ َن ِ� ُ ْﲂ َر ِﺣ ْي ًﻤﺎ‬ َ

Artinya:
“...Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, karena sesungguhnya
Allah menyayangi kalian” (Q.S. An-Nisa (4):29).

Dan juga hadis Nabi SAW mengenai membunuh diri sendiri:

‫ﻣﻦ ﻗَتَ َﻞ ﻧ َ ْﻔ َﺴ ُﻪ ِ َﲝ ِﺪﯾﺪَ ٍة ﻓَ َ� ِﺪﯾﺪَ ﺗُ ُﻪ ِﰲ ﯾ َ ِﺪ ِﻩ ﯾ َ َﺘ َﻮ ��أ� ﲠِ َﺎ ِﰲ ﺑَﻄ ِﻨ ِﻪ ِﰲ �َ ِر َ َ� � ِﲌ � ِ ًَﺎ�ا‬


‫ ﻓَ َﻘتَ َﻞ ﻧ ََﻔﺴ ُﻪ ﻓَﻬ َُﻮ ﯾ َ َﺘ َﺤ �ﺴﺎ ُﻩ ِﰲ �َ ِر َ َ� � َﲌ‬، ‫ﴍ ِب َ ّﲰ ًﺎ‬ ِ َ ‫ َو َﻣﻦ‬،‫ُﻣ� ِ ّ ًَ�ا ِﻓﳱَﺎ �أﺑَﺪً ا‬
‫ َو َﻣﻦ �َ َﺮد�ى ِﻣﻦ َﺟ َب ٍﻞ ﻓَ َﻘتَ َﻞ ﻧ ََﻔﺴ ُﻪ ﻓَﻬ َُﻮ ﯾ َ َ َﱰد�ى ِﰲ �َ ِر‬، ‫�َﺎ ِ ً�ا ُﻣ� ِ ّ ًَ�ا ِﻓﳱَﺎ �أﺑَﺪً ا‬
‫َ َ� ِ ّ َﲌ � ِ ًَﺎ�ا ُﻣ� ِ ّ ًَ�ا ِﻓﳱَﺎ �أﺑَﺪ ًا‬
Artinya:
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebatang besi, maka besi itu
kelak akan mendidih di dalam perutnya nanti di neraka Jahannam dan dia
akan kekal berada di dalamnya, dan barangsiapa yang meminum racun dan
itu membuatnya terbunuh, maka kelak dia akan tetap merasakan racun itu di
neraka Jahannam dan dia akan kekal berada di dalamnya, dan barangsiapa
yang menjatuhkan dirinya dari gunung dan membuat dirinya terbunuh maka

47
kelak dia akan tetap menjatuhkankan dirinya di neraka Jahannam dan dia
akan kekal berada di dalamnya” (HR. Muslim).

Berdasarkan surat dan hadis tersebut, Syaikh Abdul Muhsin Al Ubaikan,

sebagaimana di kutip oleh Al-Baydhoni (2011) berpendapat, “tidak

diperbolehkan mempergunakan apapun yg bisa menyakiti diri dan juga tidak

diperbolehkan menyiksa diri karena barangsiapa yang membunuh dirinya

dengan sesuatu maka kelak di hari kiamat dia akan disiksa dengan sesuatu

tersebut. Sebagaimana Rasul SAW telah menyatakan bahwa perkara ini

diharamkan secara syariat bagaimanapun sebabnya, dan dalil-dalil sudah jelas

menerangkan bahwa barangsiapa yg melakukan hal tersebut maka dia akan

berdosa dan juga karena diri dan jiwa kita adalah milik Allah ta'ala”.

Melukai kulit dan mengeluarkan darah sebagai pengobatan sudah pernah

ditemukan pada zaman Nabi SAW, yaitu pada saat praktik berbekam sehingga

ulama mengkisyaskan pengobatan dengan mengeluarkan darah dengan praktik

berbekam. Sebagaimana terdapat dalam beberapa hadis Nabi SAW, antara lain

(Zuhroni, 2012):

‫ﷲ �َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ � َﲅ َو‬
ُ ‫ﷲ َﻋ ْﳯُ َﻤﺎ ﻗَﺎ َل ا ْﺣتَ َﺠ َﻢ اﻟﻨ� ِ �ﱯ َﺻ �ﲆ‬
ُ ‫ﴈ‬ َ ِ ‫َﻋ ِﻦ ا ْ� ِﻦ َﻋ �ﺒ ٍﺎس َر‬

...‫�أﻋ َْﻄﻰ اﻟْ َﺤ ��ﺎ َم �أ ْﺟ َﺮ ُﻩ‬
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. dia berkata, “Nabi SAW pernah melakukan bekam dan
kemudian memberikan upah kepada tukang bekam itu...” (HR. Al-Bukhari).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi SAW pernah berbekam di

kepalanya, yaitu:

48
‫ا� �َﻠَ ْﯿ ِﻪ َو َﺳ � َﲅ ْاﺣتَ َﺠ َﻢ‬ ِ � ‫ا� َﻋ ْﳯُ َﻤﺎ �أ �ن َر ُﺳﻮ َل‬
ُ � ‫ا� َﺻ �ﲆ‬ َ ِ ‫َﻋ ْﻦ ا ْ� ِﻦ َﻋ �ﺒ ٍﺎس َر‬
ُ� ‫ﴈ‬
‫ِﰲ َر �أ ِﺳ ِﻪ‬
Dari Ibnu ‘Abbas r.a., “Nabi SAW pernah berbekam di kepalanya” (HR. Al-
Bukhari).

Menurut ulama fikih, yang dimaksud dengan berbekam adalah

mengeluarkan atau menghisap darah dari bagian-bagian anggota tubuh,

misalnya dari kuduk, darah dikeluarkan agar mendapatkan darah baru lagi

(Zuhroni, 2012). Dalam proses berbekam juga dilakukan dengan menyayat

kulit tubuh. Maka oleh karena itu, bekam dikategorikan sebagai asal

diperbolehkannya menyayat atau melukai tubuh dan juga mengeluarkan darah

dengan bertujuan untuk mengeluarkan sesuatu yang rusak dari dalamnya

(Mukhtar, 1994).

Transfusi darah adalah proses memasukkan darah lengkap atau

komponen-komponen darah secara langsung ke dalam aliran darah (Dorland,

2007). Terapi ini merupakan isu baru, belum dikenal pada masa ulama klasik.

Tidak diragukan tentang manfaat dan pengaruhnya pada pasien yang

membutuhkan (Zuhroni, 2012). Pada plasmapheresis, pasien dapat di transfusi

menggunakan fresh frozen plasma atau juga albumin yang berasal dari

komponen darah manusia baik darah pasien itu sendiri ataupun orang lain

(Koball et al., 2010; Ward, 2011). Terdapat perbedaan pendapat diantara para

ulama, tetapi mayoritas ulama membolehkan karena alasan rukshah (Zuhroni,

2012).

49
1. Alasan ulama yang mengaharamkan, antara lain (Zuhroni, 2012):

a. Kesepakatan ulama bahwa pada prinsipnya memanfaatkan organ

manusia adalah haram.

b. Berdasarkan Q.S. Al-Maidah (5):3 seperti diatas, darah yang dimaksud

bersifat umum, dan darah manusia lebih haram dari yang lain.

c. Dikhawatirkan transfusi darah justru akan berakibat buruk kepada

pihak pertama.

d. Larangan Nabi secara khusus, seperti yang diriwayatkan oleh Abu

Nu’aim dari Salim Abi Hind al-Hujjam, ia berkata,

ِ َ ‫ ﻓَﻠ � �ﻤﺎ ﻓَ َﺮ ْﻏ ُﺖ‬، ‫ﷲ ﺻﲆ ﷲ �ﻠﯿﻪ وﺳﲅ‬


، ‫ﴍﺑْ ُﺘ ُﻪ‬ ِ ‫َﺣ َﺠ ْﻤ ُﺖ َر ُﺳ ْﻮ َل‬
‫ �أ �ﻣﺎ �َ ِﻠ ْﻤ َﺖ �أ �ن‬، ‫ َو ْ َﳛ َﻚ َ� َﺳﺎ ِﻟﻢ‬: ‫ ﻓَ َﻘﺎ َل‬. ‫ﴍﺑْ ُﺘ ُﻪ‬ ِ ‫ َ� َر ُﺳﻮ َل‬: ‫ﻓَ ُﻘﻠْ ُﺖ‬
َِ ‫ﷲ‬
‫ا�� َم َﺣ َﺮا ٌم ! ﻻ ﺗَ ُﻌﺪ‬
“Aku pernah membekam Rasulullah SAW, setelah selesai segera aku
meminum darah bekam itu, dan aku bilang, Ya Rasulullah aku telah
meminumnya, Kata Nabi: Celaka engkau Salim, tidakkah engkau tau
bahwa darah itu haram, jangan engkau ulangi” (HR. Abu Nu’aim).

e. Kadang-kadang darah seseorang mengandung bakteri atau berpotensi

menularkan penyakit tertentu.

f. Berdasarkan hadis Nabi bahwa segala penyakit ada obatnya itu, yang

dimaksudkan adalah yang halal, tidak termasuk yang haram.

g. Darah tidak termasuk pada keadaan darurat yang diperbolehkan

sebagaimana anggota tubuh manusian lainnya.

Sejalan dengan itu, secara umum, Ulama di antaranya adalah Al-

Qurthubi, menyatakan bahwa para ulama sepakat darah adalah haram dan

50
najis, tidak boleh dimakan dan tidak boleh memanfaatkannya (Zuhroni,

2012).

2. Alasan ulama yang membolehkan transfusi darah, antara lain:

a. Ditinjau dari segi dalil tentang hukum donor darah, tidak ada nash

sharih yang secara eksplisit melarangnya, maka berdasarkan kaidah

hukum Islam, hukumnya boleh, sesuai dengan kadiah hukum Islam

(Zuhroni, 2012):

‫َا َﻻ ْﺻ ُﻞ ِﰲ ْا َﻻا ْﺷ� َﯿﺎ ِء َو ْا َﻻﻓْ َﻌ ِﺎل ْا ِﻻ َ� َ� ُﺔ َﺣ �ﱴ ﯾَﺪُ �ل ا�� ا ِﻟ ْﯿ ُﻞ �َ َﲆ َ ْﲢ ِﺮﯾْ ُﻤﻬَﺎ‬
“Pada dasarnya segala sesuatu dan perbuatan adalah mubah, kecuali
ada dalil menunjukkan keharamannya.”

Dan juga kaidah yang lain tentang manfaat:

‫ا �� ْﺻ ُﻞ ِﰲ اﳌَﻨَﺎ ِﻓﻊ ِ اﻻ َ� َ� ُﺔ‬



“(Hukum) asal atas sesuatu yang bermanfaat adalah boleh (Ibahah).”

Atau kaidah tentang manfaat dan mudharat:

ُ‫ﺎﺣﺔ‬‫ﺑ‬ ِ
‫ﻹ‬ ‫ا‬ ‫ﻊ‬
ِ ِ‫اﻷَﺻﻞ ِﰲ اﳌﻀﺎ ِراﳌْﻨﻊ و ِﰲ اﳌﻨﺎﻓ‬
َ َ
ََ َ َ ُ َ َ ُْ
“(Hukum) asal atas sesuatu yang membahayakan adalah dilarang
dan yang bermanfaat boleh (ibahah).”

b. Dilihat dari segi manfaatnya, menolong orang lain yang sangat

memerlukan, menolong jiwa sesama dan jika diniati untuk mencari

ridha Allah, maka termasuk ibadah (Zuhroni, 2012).

51
c. Transfusi darah dapat dikategorikan dalam keadaan darurat atau

kebutuhan mendesak (al-hajat). Hal ini sesuai dengan batasan keadaan

darurat dalam ayat-ayat Al-Qur’an (Zuhroni, 2012):

‫�ﲂ �ﻣﺎ َﺣ �ﺮ َم‬ ۡ ُ َ‫ا� �َﻠَ ۡﯿ ِﻪ َوﻗَﺪۡ ﻓَ �ﺼ َﻞ ﻟ‬ ِ ّ ٰ ‫اﰟ‬ُ ۡ ‫�ﲂ َا �ﻻ �َ ۡ ُ ُﳇ ۡﻮا ِﻣ �ﻤﺎ ُذ ِﻛ َﺮ‬ ۡ ُ َ ‫َو َﻣﺎ ﻟ‬
‫�َﻠَ ۡﯿ ُ ۡﲂ ِا �ﻻ َﻣﺎ اﺿۡ ُﻄ ِﺮ ۡر ُ ۡﰎ ِاﻟَ ۡﯿ ِؕﻪ َوا �ِن َﻛ ِﺜ ۡ ًﲑا ﻟ � ُﯿ ِﻀﻠ � ۡﻮ َن ِ َ�ﻫ َۡﻮا ٓ ِ� ۡﻢ ِﺑﻐ ۡ َِﲑ ِ� ۡ ٍﲅ ؕ◌ ِا �ن‬

‫َرﺑ � َﻚ ﻫ َُﻮ َا ۡ� َ ُﲅ ِ�ﻟۡ ُﻤ ۡﻌ َﺘ ِﺪ ۡ� َﻦ‬

Artinya:
“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal)
yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar
benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka
tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas” (Q.S. Al-An’am
(6):119).

َ � ‫ﻓَ َﻤ ِﻦ اﺿْ ُﻄ �ﺮ ﰲ َﻣ ْﺨ َﻤ َﺼ ٍﺔ �َ ْ َﲑ ُﻣتَ�ﺎ ِﻧ ٍﻒ ِﻻ ْ ٍﰒ ﻓَﺎ �ن‬...


‫ا� ﻏَ ُﻔ ٌﻮر َرﺣ ٌﲓ‬
� �
Artinya:
“... maka barang siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (Q.S. Al-Maidah (5):3).

‫ا� َﰷ َن ِ� ُ ْﲂ َر ِﺣﳰًﺎ‬
َ � ‫و َﻻ ﺗَ ْﻘ ُتﻠُﻮا �أﻧْ ُﻔ َﺴ ُ ْﲂ ا �ن‬...
َ

Artinya:
“... dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa’ (4):29).

52
Kesimpulannya menurut Zuhroni (2012), bahwa Islam adalah agama

penuh rahmat dan tidak menginginkan umatnya celaka, karena itu, jika mereka

dalam keadaan terpaksa, kesulitan, dan terjepit, karena di antara tujuan syariah

adalah hifzhun nafs (memelihara kelangsungan hidup dengan baik), maka

dalam konteks ini berlaku hukum rukhsah (dispensasi) yang memberikan

kelonggaran dan keringanan bagi orang sakit gawat dengan ketentuan:

1. Benar-benar dalam kondisi gawat darurat bila tidak mengkonsumsi yang

haram tersebut

2. Tidak ada obat alternatif yang halal sebagai pengganti obat yang haram

tersebut

3. Menurut rekomendasi para ahli atau petunjuk dokter yang kompeten dan

kredibel.

4. Benar-benar terbukti telah mujarab secara pengalaman empiris yang

membuktikan bahwa sesuatu yang haram tersebut benar-benar dapat

menyembuhkan dan tidak menimbulkan efek membahayakan.

III.2. Pandangan Islam Tentang Terapi Penderita Krisis Tiroid

Krisis tiroid adalah kondisi mengancam nyawa yang jarang terjadi,

ditandai dengan demam dan perubahan status mental yang di cetuskan oleh

kejadian kritis seperti sakit atau cedera (Jha et al., 2012). Krisis tiroid

merupakan kondisi gawat darurat yang dapat berakibat fatal yaitu gangguan

jantung, gangguan otak permanen, kegagalan multi-organ, dan yang lainnya

yang apabila dibiarkan dapat terjadi kematian. Oleh karena itu diperlukannya

53
terapi segera untuk menghindari dari komplikasi tersebut (Akamizu et al.,

2012).

Islam mengajurkan orang yang sakit untuk berobat, sesuai dengan

berbagai riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW berobat untuk dirinya

sendiri, serta menyuruh keluarga serta sahabatnya agar berobat ketika sakit. Di

antara teknik pengobatan yang dilakukan Nabi adalah menggunakan cara-cara

tertentu sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Sebagaimana hadis Nabi

SAW, bahwa pengobatan ada 3 cara (Zuhroni, 2000):

ّ ِ َ ‫ﴍﺑ َ ُﺔ ُﻣ ْﺤ َﺠ ٍﻢ َو ُﻛ �ﯿ ُﻪ �َ ٍر َو �أﳖْ ِ يﻰ �أ ّﻣ ِﱴ َﻋ ِﻦ‬


‫اﻟﲄ‬ ْ ُ ‫ﴍﺑ َ ُﺔ ﻋ ََﺴ ٍﻞ َو‬ َ َ ‫اﻟﺸ َﻔﺎ ُء ِﰲ‬
ْ ُ :‫ﺛﻼ ٍث‬ ِّ
“Pengobatan ada 3 cara, meminum madu, berbekam, dan mencasnya dengan
api, dan aku melarang mencas dengan api”(HR. Bukhari).

Pada riwayat lain yaitu adanya perintah untuk berobat, Dalilnya adalah hadits

Usamah bin Syarik ra. dia berkata: Para orang Arab baduwi berkata: Wahai

Rasulullah, tidakkah kami ini harus berobat (jika sakit)?” Beliau menjawab

(Ali, 2012):

‫ا� ﻟَ ْﻢ ﯾَﻀَ ْﻊ دَا ًء ا �ﻻ َوﺿَ َﻊ َ ُ� ِﺷ َﻔ ًﺎء �أ ْو ﻗَﺎ َل د ََو ًاء‬ ِ � ‫ﻧ َ َﻌ ْﻢ َ� ِﻋ َﺒﺎ َد‬
َ � ‫ا� ﺗَﺪَ َاو ْوا ﻓَﺎ �ن‬
� �
ْ َ َ ِ
‫ا �ﻻ د ًَاء َوا ِ�ﺪً ا ﻗَﺎﻟُﻮا َ� َر ُﺳﻮل �ا� َو َﻣﺎ ﻫ َُﻮ ﻗﺎل اﻟﻬ ََﺮ ُم‬
َ

“Ya, wahai sekalian hamba Allah, berobatlah kalian. Karena sesungguhnya
Allah tidak menciptakan suatu penyakit melainkan menciptakan juga obat
untuknya kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya, “Penyakit apakah itu
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu penyakit tua (pikun)” (HR.
Abu Daud).

Dalam pandangan Islam ulama sepakat mengenai hukum berobat yaitu

diperbolehkan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum berobat yaitu

antara lain (Ali, 2012):

54
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib, dengan

alasan adanya perintah Rosululloh SAW untuk berobat dan asal hukum

perintah adalah wajib, ini adalah salah satu pendapat madzhab Malikiyah,

Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab Hanabilah (Ali, 2012).

2. Pendapat kedua mengatakan sunnah/mustahab, sebab perintah Nabi SAW

untuk berobat dan dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang

lain Rosululloh SAW memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab

Syafi’iyah (Ali, 2012).

3. Pendapat ketiga mengatakan mubah/boleh secara mutlak, karena terdapat

keterangan dalil-dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan

sebagian lagi boleh memilih, ini adalah madzhab Hanafiyah dan salah

satu pendapat madzhab Malikiyah (Ali, 2012).

4. Pendapat keempat mengatakan makruh, alasannya para sahabat bersabar

dengan sakitnya, Imam Qurtubi rahimahullah mengatakan bahwa ini

adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Darda r.a., dan sebagian para Tabi’in

(Ali, 2012).

5. Pendapat kelima mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat

tawakkalnya dan lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya,

perincian ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah (Ali, 2012).

Pendapat yang paling kuat adalah berdasarkan Syaikh Sholih Al-

Munajjid dalam kitab fatawa Syaikh Sholih Al-Munajjid, sebagaimana di

kutip oleh Tuasikal (2013) yang mana hukum berobat adalah fleksibel yaitu:

55
1. Berobat jadi wajib jika tidak berobat dapat membinasakan diri orang yang

sakit

2. Berobat disunnahkan jika tidak berobat dapat melemahkan badan, namun

keadaannya tidak seperti yang pertama

3. Berobat dihukumi mubah (boleh) jika tidak menimpa pada dirinya dua

keadaan pertama

4. Berobat dihukumi makruh jika malah dengan berobat mendapatkan

penyakit yang lebih parah.

Krisis tiroid juga dapat menyebabkan gangguan kejiwaan berupa

perasaan gelisah, kebingungan dan lainnya (Akamizu et al., 2012). Di dalam

ajaran Islam, kegelisahan, kekhawatiran, dan kesedihan dapat diobati dengan

berdoa kepada Allah SWT. Diantaranya adalah doa yang tertera dalam hadis

Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW bersabda, “jika seseorang sedang mengalami

suatu kegelisahan dan kesedihan, lalu ia membaca:

‫الﻠ�ﻬ �ُﻢ ا ِ ّﱐ َﻋ ْﺒﺪُ كَ َوا ْ� ُﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪكَ َوا ْ� ُﻦ �أ َﻣ ِت َﻚ �َ ِﺻ َﯿ ِﱵ ِﺑ َﯿ ِﺪكَ َﻣ ٍﺎض ِ �ﰲ ُﺣ ْﳬُ َﻚ �َ ْﺪ ٌل‬

ْ
‫اﰟ ﻫ َُﻮ َ َ� َ �ﲰ ْﯿ َﺖ ِﺑ ِﻪ ﻧ َ ْﻔ َﺴ َﻚ �أ ْو �أ ْن َﺰﻟ َﺘ ُﻪ ِﰲ ِﻛ َﺘﺎﺑ َِﻚ �أ ْو‬ ٍْ ‫ﲁ‬ ِّ ُ �ِ �َ ُ �‫ِ �ﰲ ﻗَﻀَ ﺎ ُؤكَ �أ ْﺳأ‬
‫�َﻠ � ْﻤ َﺘ ُﻪ �آ َ�ﺪً ا ِﻣ ْﻦ َ�ﻠْ ِﻘ َﻚ �آ ْو ا ْﺳ� َﺘآ�� َْﺮ َت ِﺑ ِﻪ ِﰲ ِ� ْ ِﲅ اﻟْ َﻐ ْﯿ ِﺐ ِﻋ ْﻨﺪَ كَ �آ ْن َ ْﲡ َﻌ َﻞ اﻟْ ُﻘ ْﺮآ ٓ َن‬
‫َﺎب َ ِّﳘﻲ ﻏَ� ِّﻤ ْﻲ‬ َ ‫َرﺑِﯿ َﻊ ﻗَﻠْ ِﱯ َوﻧ َُﻮر َﺻ ْﺪ ِري َو ِ� َﻼ َء ُﺣ ْﺰ ِﱐ َو َذﻫ‬
"Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu,
dan anak hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu.
Hukum-Mu berlaku pada diriku. Ketetapan-Mu adil atas diriku. Aku
memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang
Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu,
atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang
Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, agar Engkau
jadikan Al-Qur'an sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku dan pelipur
kesedihanku serta pelenyap bagi kegelisahanku."

56
Allah pasti akan menghilangkan kekhawatiran dan kesedihannya serta

menggantikan dengan kebahagiaan” (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan lainnya)

(Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin, 2008).

Obat untuk kegelisahan dan kebingungan lainnya adalah dengan

berzikir kepada Allah SWT dalam segala kondisi. Zikir memiliki pengaruh

dalam meringankan hati. Allah berfirman (Abdullah bin Abdur Rahman Al-

Jibrin, 2008):

ُ ُ‫ا� ﺗ َْﻄ َﻤ ِ �ﱧ اﻟْ ُﻘﻠ‬


‫ﻮب‬ ِ � ‫ �أ َﻻ ِﺑ ِﺬ ْﻛ ِﺮ‬...
Artinya:
“...Ingatlah, hanya dengan berzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram”
(Q.S. Ar-Ra’d(13): 28).

III.3. Keberhasilan Penggunaan Plasmapheresis Untuk Terapi

Penderita Krisis Tiroid Menurut Pandangan Islam

Krisis tiroid atau thyroid storm adalah kondisi abnormal, yang ditandai

dengan meningkatnya hormon tiroid pada serum darah secara hebat yang

menyebabkan terlibatnya banyak sistem dengan gejala yang khas pada setiap

organ (Muller et al., 2011). Apabila tidak ditangani dengan cepat maka dapat

menimbulkan kematian (Akamizu et al., 2012).

Pengobatan pada kasus krisis tiroid antara lain dengan pemberian beta

blockers, tirostatik, iodine lugol, glukokortikoid, lithium karbonat (Papi et al,

2014). Namun terkadang dibutuhkan penggunaan plasmapheresis (Jha et al.,

2012). Pada teknik pelaksanaan terapi ini terdapat prosedur melukai kulit,

57
pengeluaran darah, mentransfusi darah (Sinha et al, 2012). Hukum Islam

mengenai melukai kulit dan mengeluarkan darah diperboleh karena sudah

pernah ditemukan pada zaman Nabi SAW yaitu ketika Nabi SAW berbekam

(Zuhroni, 2012). Namun, pengobatan menggunakan darah tidak diperbolehkan

dalam Islam sebagaimana telah dibahas bahwa hukum mengkonsumsi dan

berobat dengan darah adalah haram, meskipun banyak perbedaan pendapat

diantara kalangan ulama. Sehingga pengobatan menggunakan plasmapheresis

diharamkan (Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim 2006, Zuhroni, 2012).

Berdasarkan Q.S. Al-An’am (6):119 yang membolehkan memakan

barang yang haram apabila terpaksa (Zuhroni, 2012) dan juga berdasarkan

kaidah usul fikih (Tuasikal, 2014):

‫اﻟﴬ ْو َر ُات ﺗُ ِب ْي ُﺢ ا ْﶈ ُﻈ ْﻮ َرات‬


ُ�
“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang.”

Maka tindakan dokter dalam memberikan terapi plasmapheresis diperbolehkan

apabila dalam keadaan darurat (Zuhroni, 2012).

Jadi, pengobatan menggunakan plasmapheresis untuk terapi penderita

krisis tiroid diperbolehkan dan hukumnya wajib dikarenakan keadaan

darurat/terpaksa yang membutuhkan terapi ini. Dimana apabila tidak di terapi

menggunakan plasmapheresis dapat menimbulkan kematian baik karena

kegagalan multi-organ, gagal jantung atau yang lainnya. Pengobatan ini juga

sesuai dengan tujuan syariat Islam yaitu Hifz Annafs atau memelihara diri.

Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu harus benar-benar dalam

kondisi gawat apabila tidak menggunakan obat itu, tidak tersedia pengobatan

58
halal lainnya, berdasarkan indikasi dari dokter dan juga pengobatan ini sudah

terbukti kalau benar-benar berhasil.

59
BAB IV

KAITAN PANDANGAN ANTARA KEDOKTERAN DAN

ISLAM TENTANG KEBERHASILAN PENGGUNAAN

PLASMAPHERESIS UNTUK TERAPI PENDERITA

KRISIS TIROID

Seperti yang sudah dibahas, krisis tiroid merupakan keadaan kegawat-

daruratan yang mana membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat. Apabila

ditangani secara terlambat, resiko kematian dapat meningkat hingga 75%.

Plasmapheresis telah diketahui sebagai salah satu alternatif pengobatan pada kasus

krisis tiroid dan sudah terbukti keberhasilannya karena dapat mengeluarkan

hormon tiroid pada plasma darah. Terapi ini merupakan terapi yang cukup aman

dengan efek samping yang sedikit dan dapat di toleransi. Terapi plasmapheresis

dilakukan ketika sakit berat/gejala yang parah, perburukan keadaan klinik cepat,

kontraindikasi pada terapi lainnya, dan kegagalan dalam penggunaan terapi

konvensional. Terapi plasmapheresis tidak dianjurkan untuk dilakukan apabila

keadaan tidak darurat dan masih bisa diberikan pengobatan lainnya. Salah satu

alasannya karena terapi ini memerlukan biaya yang cukup mahal.

Berdasarkan pandangan agama Islam, pada awalnya pengobatan

menggunakan plasmapheresis diharamkan karena berobat menggunakan darah.

Tetapi apabila dalam kondisi darurat maka pengobatan menggunakan

60
plasmapheresis diperbolehkan karena sesuai dengan kaidah Islam yaitu dalam

keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang.

Oleh karena itu, krisis tiroid merupakan keadaan gawat darurat yang apabila

tidak ditangani dengan cepat dapat menyebabkan kematian dikarenakan kegagalan

multi-organ, gagal jantung kongestif dan yang lainnya. Maka pengobatan

menggunakan plasmapheresis diperbolehkan dan hukumnya wajib apabila terapi

konvensional sudah gagal. Dengan syarat tidak ada pengobatan lainnya yang halal

dan juga telah direkomendasikan oleh dokter yang kompeten dan kredibel.

61
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

V.1. Simpulan

1. Gagalnya terapi konvensional (thionamide, beta blocker, hidrokortison,

iodine, lithium karbonat) untuk mengobati krisis tiroid dapat disebabkan

karena panjangnya waktu paruh hormon tiroid di dalam darah.

2. Terapi plasmapheresis terbukti berhasil dalam mengatasi krisis tiroid dengan

cara menghilangkan substansi yang berpotensi menyebabkan patologis pada

krisis tiroid diantaranya adalah hormon, autoantibodi (pada penyakit Grave),

katekolamine, sitokin (memediasi inflamasi), toksin, dan lainnya. Terapi ini

merupakan salah satu metode alternatif untuk memperbaiki kondisi klinis

pada pasien krisis tiroid namun masih dalam kasus yang terbatas.

3. Dalam pandangan Islam, karena terapi plasmapheresis pada krisis tiroid

sudah terbukti berhasil maka terapi ini sudah memenuhi salah satu kriteria

dibolehkannya menggunakan pengobatan yang haram. Namun, diperlukan

penelitian lebih lanjut untuk lebih meyakinkan keberhasilan terapi

plasmapheresis pada krisis tiroid. Oleh karena itu, sesuai dengan hadis

Rasulullah SAW yang memerintahkan umatnya untuk berobat maka terapi

menggunakan plasmapheresis diperbolehkan dan hukumnya wajib dengan

alasan keadaan darurat/terpaksa yaitu apabila tidak ditangani dengan cepat

dapat menyebabkan kematian.

62
V.1. Saran

1. Kepada Dokter

Disarankan kepada dokter untuk membekali dan menambah pengetahuan

tentang penyakit krisis tiroid, terutama yang membutuhkan penggobatan

segera sehingga dokter dapat memilih terapi mana yang paling baik. Dokter

juga diharapkan dapat memberikan edukasi yang baik mengenai aspek medis

dan agama kepada keluarga pasien agar dapat mengambil keputusan yang baik

untuk terapi plasmapheresis.

2. Kepada Masyarakat

Diharapkan agar masyarakat dapat mengetahui tanda-tanda dari krisis tiroid

sehingga dapat mencegah terlambatnya pengobatan dan memperbaiki kondisi

kesehatan di Indonesia.

3. Kepada Peneliti

Disarankan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut

dengan subjek yang lebih banyak dan lebih tepat, karena masih kurangnya

data dan jumlah penelitian yang ada pada terapi plasmapheresis pada krisis

tiroid sehingga kedepannya hasil penelitian itu dapat menjadi dasar yang baik

untuk dilakukannya pengobatan.

4. Kepada Pemerintah

Diharapkan pemerintah dapat menunjang penelitian dan terapi pada krisis

tiorid baik secara fasilitas (peralatan) maupun biaya. Terutama pada terapi

plasmapheresis yang ketersediaan alatnya masih sedikit dan harganya yang

mahal.

63
5. Kepada Ulama

Diharapkan ulama dapat menyebarkan dakwah agama Islam dan juga hukum

mengenai darah dan lainnya kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat

mengerti pengobatan yang dibolehkan dan diharamkan.

64
DAFTAR PUSTAKA

Dewan Penerjemah Al-Qur’an. (1413H). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah :


Komplek Percetakan Al-Qur’an Raja fahd

Adali, E., Yildizhan, R., Kolusari, A. (2009). The Use of Plasmapheresis for
Rapid Hormonal Control in Severe Hyperthyroidism Caused by a Partial
Molar Pregnancy. Arch Gynecol Obstet 279: 569–71.

Akamizu, T., Satoh, T., Isozaki, O., Suzuku, A., Wakino, S., Iburi, T., et al.
(2012). Diagnostic Criteria, Clinical Features, and Incidence of Thyroid
Storm Based on Nationwide Surveys. Thyroid 22:661–79.
DOI:10.1089/thy.2011.0334

Al-Baidhoni, M. Laa Yajuuuz Idzaaun Nafs Biayyi Halin Minal Ahwal. Http://al-
madina.com/node/284730. Diakses pada: 27 Januari 2015

Al-Bannay, R., Husain, A., Khalaf, S. (2012). Complete Heart Block in


Thyrotoxicosis, Is It a Manifestation of Thyroid Storm? A Case Report and
Riview of the Literature. Case Rep Endocrinol 2012:318398. DOI:
10.1155/2012/318398

Albaramki, J.H., Teo, J., Alexander, S.I. (2009). Rituximab Therapy in Two
Children with Autoimmune Thrombotic Thrombocytopenic Purpura. Pediatr
Nephrol 24:1749-1752. DOI: 10.1007/s00467-009-1186-x

Ali, M. 2012. Berobat Dalam Islam. Http://maktabahabiyahya.wordpress.com/


2012/05/30/berobat-dalam-islam. Diakses pada: 8 Januari 2015 (16:08)

Angell, T.E., Lechner, M.G., Nguyen, C.T., et al. (2014). Clinical Features and
Hospital Outcomes in Thyroid Storm: A Retrospective Cohort Study. J Clin
Endocrinol Metab DOI: 10.1210/jc.2014-2850

Ashkar, P.S., Katims R.B., Smoak W.M., Gilson A.J. (1970). Thyroid Storm
Treatment With Blood Exchange and Plasmapheresis. JAMA 214:1275–9

Belchikov, Y.G. & Marotta, S.E. (2010). Heparin Management in a Patient with
Thyroid Storm. Pharmacotherapy 30:134e–8e. DOI:10.1592/phco.30.4.421

Benvenga, S., Ruggeri, R.M., Russo, A., Lapa, D., Campenni, A., Trimarchi, F.
(2001). Usefulness of L-Carnitine, A Naturally Occurring Peripheral
Antagonist of Thyroid Hormone Action, In Iatrogenic Hyperthyroidism: A
Randomized, Double-blind, Placebo-controlled Clinical Trial. J Clin
Endocrinol Metab 86:3579–94. DOI:10.1210/jcem.86.8.7747

65
Bianco, A.C. & Larsen, P.R. (2005). Intracellular Pathways of Iodothyronine
Metabolism. In: Braverman L.E., Utiger R.D., editors. Werner’s & Ingbar’s
The thyroid. 9th edition. Philadelphia: Lipincott, Williams & Wilkins; 2005.
p. 109–33

Boers, P.M. & Colebatch, J.G. (2001). Hashimoto’s Encephalopathy Responding


to Plasmapheresis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 70:132–41

Boppidi, H. & Daram, S.R. (2009). Thyroid Dysfunction and The Coagulation
System: The Often Ignored Link. SouthMedJ 102:132.
DOI:10.1097/SMJ.0b013e318186be48

Brooks, M.H. & Waldstein, S.S. (1980). Free Thyroxine Concentrations in


Thyroid Storm. Ann Intern Med 93(5):694–7

Burch, H.B. & Wartofsky, L. (1993). Life-threatening Thyrotoxicosis. Thyroid


Storm. Endocrinol Metab Clin North Am 22:263–77

Caroll, R. & Matfin, G. (2010). Endocrine and Metabolic Emergencies: Thyroid


Storm. Ther Adv Endocrinol Metab 1(3): 139-145. DOI:
10.1177/2042018810382481

Cherrington, A.D., Fuchs, H., Stevenson, R.W., Williams, P.E., Alberti, K.G.,
Steiner, K.E. (1984). Effect of Epinephrine on Glycogenolysis and
Gluconeogenesis in Conscious Overnight-fasted Dogs. Am J Physiol
247:E137–E144.

Dabon-Almirante & C.L., Surks, M. (1998). Clinical and Laboratory Diagnosis of


Thyrotoxicosis. Endocrinol Metab Clin North Am 27(1):25–35

Deng, Y., Zheng, W., Zhu, J. (2012). Successful Treatment of Thyroid Crisis
Accompanied by Hypoglycemia, Lactic Acidosis, and Multiple Organ
Failure. American Journal of Emergency Medicine 30, 2094.e5–2094.e6

Dorland, W.A.N. (2007). Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 31st ed. Pte
Ltd: Singapore. Terjemahan R.N. Elseria. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi
31. Jakarta: EGC

Ezer, A., Caliskan, K., Parlakgumus, A., Belli, S., Kozanoglu, I., Yildirim, S.
(2009). Preoperative Therapeutic Plasma Exchange in Patients with
Thyrotoxicosis. J Clin Apher 24(3):111–114.

Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Elysabeth. (eds). (2011). Farmakologi dan Terapi.
Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

66
Goldberg, P.A. & Inzucchi, S.E. (2003). Critical Issues in Endocrinology. Clin
Chest Med 24: 583–606.

Hampton J. Thyroid Gland Disorder Emergencies: Thyroid Storm and Myxedema


Coma. AACN Adv Crit Care 24:325–32.
DOI:10.1097/NCI.0b013e31829bb8c3

Han, Y.Y. & Sun, W.Z. (2002). An Evidence-based Review on the Use of
Corticosteroids in Peri-operative and Critical Care. Act a Anaesthesiol Sin
40:71–9

Henderson, A., Hickman, P., Ward, G., Pond, S.M. (1994). Lack of Efficacy of
Plasmapheresis in a Patient Overdosed with Thyroxine. Anaesth Intensive
Care 22:463–4

Hernández, M.R., Cabrera B.E., Sosa, D.Á., Rebollo, G., Cabrera, M.L., Marrero,
D.H., et al. (2011). Patients Treated with Plasmapheresis: A Case Review
from University Hospital of the Canary Islands. Nefrologia 31(4):415-34

Jha, S., Waghdhare, S., Reddi R., Bhattacharya, P. (2012). Thyroid Storm Due to
Inappropriate Administration of a Compounded Thyroid Hormone
Preparation Successfully Treated with Plasmapheresis. Thyroid 22(12).
DOI: 10.1089/thy.2011.0353

Jibrin, A.B.A.R.A. (2008). Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fil Masa’ili At-Thibbiyyah.


Terjemahan A. Syarif. Biar Sakit, Ibadah Tetap Fit. Solo: Aqwamedika

Kaplan, A.A. (2009). Why Nephrologists Should Perform Therapeutic Plasma


Exchange. Dialysis and Transplantation 38(2): 65-70

Kardas, F., Cetin, A., Solmaz, M., et al. (2011). Successful Treatment of
Homozygous Familial Hypercholeterolemia Using Cascade Filtration
Plasmapheresis. Turk J Hematol 29: 334-341. DOI: 10.5152/tjh.2011.20

Karger, S. & Führer, D. (2008). Thyroid Storm - Thyrotoxic Crisis: An Update.


Dtsch med Wochenschr 133(10): 479-484. DOI: 10.1055/s-2008-1046737

Klein, I. & Ojama, K. (2001). Thyroid Hormone and the Cardiovascular System.
N Engl J Med 344(7):501–8

Klubo-Gwiezdzinska, J. & Wartofsky, L. (2012). Thyroid Emergencies.


MedClinNorthAm 96:385–403. DOI:10.1016/j.mcna.2012.01.015

Koball, S., Hickstein, H., Gloger, M., Hinz, M., Henschel, J., Stange, J., et al.
(2010). Treatment of Thyrotoxic Crisis With Plasmapheresis and Single
Pass Albumin Dialysis: A Case Report. Artificial Organs 34(2):E55–E58

67
Krishnan, R. G. & Coulthard, M.G. (2007). Minimising Changes in Plasma
Calcium and Magnesium Concentrations During Plasmapheresis. Pediatr
Nephrol 22:1763-1766. DOI: 10.1007/s00467-007-0549-4

Kusumo, S., Tjou, K., Suharto, Alamsyah, Sugiman, T. (2012). Krisis Tiroid.
Majalah Kedokteran Terapi Intensif 2(4): 220-224

Kuzuya N. & Degroot L.J. (1982). Effect of Plasmapheresis and Steroid


Treatment on Thyrotropin Binding Inhibitory Immunoglobulins in a Patient
With Exophthalmos and a Patient With Pretibial Myxedema. J Endocrinol
Invest 5:373–8

Liggett, S.B., Shah, S.D., Cryer, P.E. (1989). Increased Fat and Skeletal
Muscle β- Adrenergic Receptor but Unaltered Metabolic and Hemodynamic
Sensitivity to Epinephrine In Vivo in Experimental Human Thyrotoxicosis. J.
Clin. Invest. 83: 803-809

Martin, D. (2009). Disseminated Intravascular Coagulation Precipitated by


Thyroid Storm. South Med J (2009) 102:193–5. DOI:
10.1097/SMJ.0b013e318183f929

Mathar, I., Meissner, M., Vennekens, R., Kees, F., Van Der Mieren, G., Camacho
Londono, J.E., et al. (2010) Increased Catecholamine Secretion Contributes
to Hypertension in TRPM4-deficient Mice. J Clin Invest 120:3267–3279.

Migneco, A., Ojetti, V., Testa, A., De Lorenzo, A., Gentiloni Silveri, N.G. (2005).
Management of Thyrotoxic Crisis. Eur Rev Med Pharmacol Sci 9:69–74

Motomura, K. & Brent, G. (1998). Mechanisms of Thyroid Hormone Action.


Endocrinol Metab Clin North Am 27:1–23

Muller, C., Perrin, P., Faller, B., Richter, S., Chantrel, F. (2011). Role of Plasma
Exchange in the Thyroid Storm. Therapeutic Apheresis and Dialysis
15(6):522–531

Nayak, B. & Burman, K. (2006). Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinol


Metab Clin N Am 35:663-686

Ngo, A.S. & Lung Tan, D.C. (2006) Thyrotoxic Heart Disease. Resuscitation
70:287–90. DOI:10.1016/j.resuscitation.2006.01.009

Papi, G., Corsello, S.M., Pontecorvi, A. (2014). Clinical Consepts on Thyroid


Emergencies. (2014). Frontiers in Endocrinology 5(102) DOI:
10.3389/fendo.2014.00102

68
Patte D., Läger F.A., Savoie J.C., et al. (1983). Thyrotoxicosis, Then
Hypothyroidism Caused by Iodine Overload Associated With Neuropathy.
Failure of Plasma Exchange. Ann Med Interne (Paris) 134:31–4

Pimental L & Hansen K. Thyroid Disease in the Emergency Department: A


Clinical and Laboratory Eeview. J Emerg Med 28:201–9.

Ranabir, S. & Reetu, K. (2011). Stress and Hormones. Indian J Endocrinol Metab.
15(1): 18-22

Sabih, D.E. & Inayatullah, M. (2013). Managing Thyroid Dysfunction in Selected


Special Situations. Thyroid Research 6:2. DOI: 10.1186/1756-6614-6-2

Salim, A.M.K.B.A.S. (2006). Shahih Fiqh As-Sunnah Wa Adillatuhu wa Taudhih


Madzahib Al-A’immah. Terjemahan B.S.A. Wibowo dan M. Huda. Shahih
Fikih Sunnah. Edisi 1. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Azzam

Samaras, K. & Marel, G.M. (1996). Failure of Plasmapheresis, Corticosteroids


and Thionamides to Ameliorate A Case of Protracted Amiodarone-induced
Thyroiditis. Clin Endocrinol 45: 365–8

Sarlis, N.J. & Gourgiotis, L. (2003). Thyroid emergencies. Rev Endocr Metab
Disord 4:129–36

Sasaki, K., Yoshida, A., Nakata, Y., Mizote, I., Sakata, Y., Komuro, I. (2011). A
Case of Thyroid Storm with Multiple Organ Failure Effectively Treated with
Plasma Exchange. Intern Med 50: 2801-2805. DOI:
10.2169/internalmedicine.50.6078)

Sherwood, L. (2007). Human Physiology: From Cells to Systems. Cengange


Learning Asia Pte Ltd. Singapore. Terjemahan Brahm U. P. (2011).
Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Cetakan 2012. Jakarta: EGC

Silva, J.E. & Landsberg, L. (1991). Catecholamines and the Sympathoadrenal


System in Thyrotoxicosis. In: Braverman LE, Utiger RD, editors. Werner’s
and Ingbar’s The Thyroid. 6th edition. Philadelphia: Lipincott, Williams &
Wilkins

Sinha, A., Tiwari, A.N., Chanchlani, R. (2012). Therapeutic Plasmapheresis


using Membrane Plasma Separation. Indian J Pediatr 79(8):1084-1086

Stieglitz, E. (2013). Plasmapheresis. Http://emedicine.medscape.com/article/1


895577-overview. Diakses pada: 23 Desember 2014 (23:55)

69
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata K., M. Setiati, S. (eds).
(2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid 3. Jakarta:
Interna Publishing

Syinqity, M.A. (1994). Ahkaam Al Jaraahah Ath Thibbiyyah wa Al Aatsaar Al


Mutarottibah Alaiha. Jeddah, Saudi Arabia: Maktabah Ash Shohabah

Szczepiorkowski, Z.M., Winters, J.L., Bandarenko, N. (2010). Guidelines on the


Use of Therapeutic Apheresis in Clinical Practice—Evidence-Based
Approach from the Apheresis Applications Committee of the American
Society for Apheresis. Journal of Clinical Apheresis 25:83-177

Thomas, D.J., Hardy, J., Sarwar, R., Banner, N.R., Mumani, S., Lemon, K., et al.
(2006). Thyroid Storm Treated With Intravenous Metimazol in Patients With
Gastrointestinal Dysfunction. Br J Hosp Med (Lond) 67:492–3.

Tausikal, M.A. (2013). Memilih Berobat atau Sabar dan Tawakkal?.


http://rumaysho.com/umum/memilih-berobat-atau-sabar-dan-tawakkal-5136
Diakses pada: 8 Januari 2015 (16:08)

Tuasikal, M.A. (2014). Menerjang Yang Haram Dalam Kondisi Darurat.


http://muslim.or.id/kaidah-fiqih/menerjang-yang-haram-dalam-kondisi-
darurat.html. Diakses pada: 8 Januari 2015 (16:08)

Wang, Q., Wang, M., Whim, M.D. (2013). Neuropeptide Y Gates a Stress-
Induced, Long-Lasting Plasticity in the Sympathetic Nervous System. The
Journal of Neuroscience 33(31):12705-12717

Ward, D.M. (2011). Conventional Apheresis Therapies: A Review. Journal of


Clinical Apheresis 26: 230-238. DOI: 10.1002/jca.20302

Williams, L. & Wilkins. (2009). Pathophysiology Made in Incredibly Easy!. 4th ed

Yamamoto, K., Saito, K., Takai, T., Yoshida, S. (1982). Treatment of Graves’
Ophthalmopathy by Steroid Therapy, Orbital Radiation Therapy,
Plasmapheresis and Thyroxine Replacement. Endocrinol Jpn 29:495–501

Zuhroni. (2000). Hukum Berobat Dalam Perspektif Hukum Islam. Kumpulan


Makalah Agama Islam 1998-2011. Jakarta: Universitas YARSI

Zuhroni. (2012). Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah Kedokteran dan


Kesehatan Kontemporer. Jakarta: Kharisma Globalindo

70
LAMPIRAN

Gambar 1. Fisiologi Hormon tiroid (Sherwood, 2009)

71
Gambar 2. Ilustrasi membran filtrasi (Kaplan, 2009)

Gambar 3. Skema prosedur plasmpaheresis dengan teknik filtrasi (Kardas,2011)

72

Anda mungkin juga menyukai