Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman
yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara
hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak
hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan
sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini
muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis
dan pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus


difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan
pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak
– anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan
dalam menunjang kesehatan kita.

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis,
Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada
anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu
penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi,
racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan
dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi
terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri
menurun dengan drastis.

1
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak
yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang
menyerang saluran pernafasan ini.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010
sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan
adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus
diantaranya terdapat 1 kematian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari difteri ?
2. Apa penyebab terjadinya difteri pada anak ?
3. Bagaimana patofisiologi pada penyakit difteri ?
4. Seperti apa manifestasi klinis pada difteri ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada difteri ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Yaitu, agar Mahasiswa/i memahami tentang penyakit difteri pada anak
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang definisi dari difteri
b) Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami penyebab difteri pada anak
c) Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami proses patofisiologi difteri
d) Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami manifestasi klinis
e) Mahasiswa mampu mengetahui dan memahamipenatalaksanaan pada difteri

2
BAB II
ISI & PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar
a. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi
secara local pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh
basil gram positif corynebacterium diphtheria, ditandai oleh eksudat yang
berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum
yang ditimbulkan oleh eksitoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Sudoyo Aru,
dkk, 2009)

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium


diphtheria yang berasal dari membrane mukosa hidung, nasofaring, kulit, dan lesi
lain dari orang yang terinfeksi. (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001)

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diptheriae.


(Rempengan dan Laurent, 1997)

Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh corynebacterium diptheriae.


(Behrman, 1996)
b. Cara penularan
Cara transmisi dengan kontak langsung dengan orang yang terinfeksi, carier atau
benda yang terkontaminasi. Periode inkubasi difteria biasanya 2-5 hari, mungkin
lebih lama. Masa penularan penyakit dapat bervariasi hingga basilus virulent tidak
ada lebih lama yang diidentifikasi dengan 3 kultur yang negative, biasanya selama
2-4 minggu.
Orang-orang yang beresiko terkena penyakit ini:
1. Tidak mendapat imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap
2. Immunocopromised, seperti: sosial ekonomi yang rendah, pemakai
obat imunosupresif, penderita HIV, diabetes militus, pecandu alcohol,
dan narkotika.

3
3. Tinggal pada tempat-tempat padat, seperti: rumah tahanan, tempat
penampungan.
4. Sedang melakukan perjalanan (travel) ke daerah-daerah yang
sebelumnya meruupakan daerah edemik defteri.
c. Etiologi
Disebabkan oleh corynebacterium diphtheriae, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora kebanyakan tidak bergerak bersifat polimor/pleomorfik, gram positif.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang terkontaminasi oleh bakteri. Sumbernya melalui
pengeluaran agen infeksi dari membrane mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan
lesi lainnya dari orang-orang yang terinfeksi. Tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu system
telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi,
dan bila direduksi oleh C.Diftheria membuat koloni menjadi abu-abu hitam.
Klasifikasi penyakit diphtheria secara klinis adalah menurut lokasinya:
1. Diftheri Nasal Anterior
Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik
toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin
dan terapi antibiotic.

2. Diftheri Nasal Posterior


Membran terbentuk pada daerah nasofaring (di belakang palatum),
sukar terlihat dari luar, sehingga sering luput dari pemeriksaan.
Jenis ini lebih berat dari pada difteri nasal anterior, kadang-kadang
menimbulkan keadaan yang serius seperti pada difteri fausial.

3. Diftheri Fausial (Faring)


Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Dengan
gejala sakit tenggorokan, demam sampai yang tidak terlalu tinggi
(38,50C), malaise, anoreksia, tampak lemah, dan napas berbau.
Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan
mungkin mati dalam jangka waktu 6-10 hari. Pada difteri jenis ini
4
juga akan tampak membrane berwarna putih keabu-abuan kotor
didaerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (
faring). Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai
terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior
bersama dengan limfadenopati.

4. Diftheri Laryngeal
Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk laring. Dengan
gejala tidak bisa bersuara, sesak, napas berbunyi, demam sangat
tinggi sampai 400C, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakkan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal
napas.

5. Diftheri Konjungtiva, telinga


Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membrane pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan secret purulent dan berbau.

6. Diftheri Kulit
Difteri kulit cukup umum didaerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membrane yang
jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lender dari
konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori
eksternal.

7. Diftheri Vulva/Vagina
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina
dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti
sariawan yang sangat nyeri, pada difteri luka yang terjadi
cenderung tidak apa-apa.

Menurut tingkat keparahannya:

5
1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrani hanya terdapat pada
mukosa hidung dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu
menelan.
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrani telah menyerang
sampai faring dan laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu
dan agak sesak.
3. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan napas yang berat dan
adanya gejala-gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti
miokarditis, paralisis, dan nefritis.

Ada 3 tipe C. diphtheria yang berbeda yang dibedakan oleh


tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia
yaitu:
a. Gravis : agak kasar, rata, berwarna abu-abu sampai hitam,
ukurannya juga paling besar. Bentuk pemukul dan bntuk halter,
granula metakromatik sedikit, pada area sel terwarnai dalam
perbedaan corak biru. Karakteristik koloni pada Mcleod’s
chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang
pleomorfik dengan sejumlah granula metakromatik, batasan sel
tersusun V dan W, mirip seperti karakter tulisan kuno. Penyakit
: ringan, karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada
kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan licin dengan pusat
berwarna hitam. Batang pendek, terwarnai dengan selang-
seling pita biru terang dan gelap, tidak adanya granula
metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu akan
membentuk endapan.

6
d. Epidemiologi

C.diphtheriae adalah penghuni tersendiri membrane mukosa dan kulit manusia.


Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes pernapasan atau kontak
langsung dengan sekresi pernapasan individu bergejala atau eksudat dari lesi kulit
yang terinfeksi. Infeksi kulit dan pengidap kulit merupakan reservoir difteria
diam-diam. Ketahanan hidup dalam debu dan pada benda berpori sampai 6 bulan
kurang berarti secara epidemiologis. Penularan melalui susu yang terkontaminasi
dan pengurus makanan yang terkontaminasi telah terbukti/dicurigai.

Dari tahun 1921-1924 difteri merupakan penyebab utama pada anak-anak Canada
pada umur 2-14 tahun. Insiden ini menurun secara mantap dengan penggunaan
toksoid difteri pada akhir tahun 1970 sejak saat tersebut hanya ada kasus 0-5 per
tahun dan tidak ada epidemic saluran pernapasan. Penurunan yang serupa
ditemukan dieropa insiden difteri yang bertahan rendah dan tingkat vaksinasi anak
tinggi menyebabkan para pakar menetapkan tujuan sasaran pelenyapan difteri
pada orang-orang 25 tahun. Bila difteri merupakan endemic, ia terutama mengenai
anak sebelum umur 15 tahun, tetapi epidemiologi sekarang telah bergeser
kedewasa yang kurang terpajan secara alamiah terhadap C.diphtheriae.

e. Patofisiologi
Corynebacterium diptheriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan
menempel di mukosa saluran napas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau
mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage
menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membrane sel, kemudian
penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman
mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan
untuk memindahkan asam aminoda RNA dengan memperpanjang rantai
polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan
dn membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian
meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,
perlengketan dan membentuk membrane yang berwarna dari abu-abu sampai
hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membrane
7
tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya
menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara
lain sesak napas sehingga menyebabkan pola napas tidak efektif, anoreksia
sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi aktifitas.

8
9
f. Patogenesis
Organisme C.diphtheriae tidak bertoksin dan bertoksin menyebabkan infeksi kulit
dan mukosa dan beberapa kasus infeksi jauh sesudah bakteremia. Organisme ini
biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan,
menginduksi radang local. Virulensi utama organisme terletak pada
kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang
menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan local. Dalam
beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, koagulum organisme nekrotik
tebal, sel epitel, vibrin, leukosit, dan bentuk eritrosit, berlanjut dan menjadi
pseudomembrane melekat abu-abu coklat. Pengambilan sukar dan menampakan
perdarahan edema submukosa. Paralisis palatum dan hipofaring merupakan
pengaruh toksin awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus
ginjal, trombositopenia, miokardiofati, dan demielinasi saraf. Karena dua
komplikasi terakhir dapat terjadi 2-10 minggu sesudah infeksi mukokutan,
mekanisme patofisiologi pada beberapa kasus mungkin diperantarai secara
imunologik.

g. Manifestasi Klinis
Difteri terjadi tergantung pada:
1. Lokasi infeksi
2. Imunitas penderitanya
3. Ada tau tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah
Secara hati-hati periksa hidung dan tenggorokan anak terlihat warna keabuan
pada selaputnya, yang sulit dilepaskan. Kehati-hatian perlu diperlukan untuk
pemeriksaan tenggorokan karena dapat mencetuskan obstruksi total saluran
napas. Pada anak dengan difteri faring terlihat jelas bengkak pada leher (bull
neck).
Secara klasik bermanifestasi pada anak berusia 1-9 tahun, tetapi dapat terjadi
pada orang dewasa yang tidak diimunisasi.
Terjadi tergantung pada lokasi, imunitas penderita, ada atau tidaknya toksin
difteri yang beredar dalam sirkulasi darah.

10
Masa inkubasi 6-10 hari (rata-rata 7 hari), sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat
berlangsung dalam 3 stadium:
1. Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala permulaan adalah:
a. Gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas, yaitu dengan
timbulnya rinore dengan lender yang cair dan jernih.
b. Infeksi konjungtiva, lakrimasi
c. Batuk dan panas yang ringan
d. Kongesti nasalis
e. Anoreksia
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti
droplet dan penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada
tahap ini kuman paling mudah diisolasi.
2. Stadium paroksismal/stadium spasmodic (2-4 minggu atau lebih)
Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop
(batuk yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita
menarik napas pada akhir serangan batuk.

Batuk paroksismal dapat berlangsung secara terus-menerus, selama


beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih
berat.

Selama serangan, muka penderita menjadi merah atau sianosis, mata


nampak menonjol, lidah menjulur ke luar dan gelisah. Pada akhir
serangan, penderita sering kali memuntahkan lendir kental. Batuk
mudah dibangkitkan oleh stress emosional (menangis, sedih, gembira)
dan aktivitas fisik.

Juga pada serangan batuk Nampak pelebaran pembuluh darah yang


jelas dikepala dan leher, bahkan sampai terjadi petekie diwajah
perdarahan subkonjungtiva dan sclera bahkan ulserasi frenulum lidah.

11
Walaupun batuknya khas, tetapi diluar serangan batuk, anak kelihatan
seperti biasa. Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin
meningkat hebat dan sering, kemudian menetap dan biasanya
berlangsung 1-3 minggu berangsur menurun sampai whoop dan
muntah menghilang.

3. Stadium konvalesens (1-2 minggu)


Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah, puncak serangan
paroksismal berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih
menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3
minggu. Pada beberapa penderita akan timbul serangan batuk
paroksismal kembali dengan gejala whoop dan muntah-muntah.
Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan bahkan bisa
sampai 1 atau 2 tahun, dan sering dihubungkan dengan infeksi napas
bagian atas yang berulang.

Tanda dan gejala:


1. Demam yang tidak tinggi 380C
2. Kerongkongan sakit dan suara parau
3. Perasaan tidak enak, mual, muntah, dan lesu
4. Sakit kepala
5. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah
6. Malaise
7. Infeksi telinga, mata dan saluran genital
8. Kebiruan (sianosis)
9. Sesak napas, batuk

h. Pemeriksaan penunjang
1. Bakteriologik. Reparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa
hidung dan tenggorokan (nasofaringeal swab)
2. Darah rutin: Hb, Leukosit, hitung jenis, Eritrosit, albumin
3. Urin lengkap: aspek, protein dan sedimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS.
5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
12
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari pertama perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali
bila ada indikasi biasanya dilakukan 2-3x seminggu
7. Pemeriksaan radiografi thorax untuk mengecek adanya hiperinflasi
8. Test schick

i. Penatalaksanaan
Tindakan umum:
1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Memperhatikan intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan
dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring atau
cair, bila perlu sonde lambung jika ada kesukarang menelan (terutama pada
paralisis palatum molle dan otot-otot faring).
3. Pastikan kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu
defekasi untuk mencegah mengejan berlebihan.
4. Bila anak gelisah derisedative berupa diazepam atau luminal.
5. Pemberian antitusif untuk mengurani batuk (difteri laring).
6. Aspirasi secret secara periodic terutama untuk difteri laring.
7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas segera berikan oksigen atau
trakeostomi.

Tindakan spesifik:
1. Serum Anti Difteria (SAD)
Dosis diberikan berdasarkan atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
Dosis 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membrane menutupi
sebagian atau seluruh tonsil secara unilateral/bilateral. Dosis 80.000 IU
untuk difteri berat, yakni luas membrane menutupi hingga melewati tonsil,
meluas ke uvula, palatum molle, dan dinding faring. Dosis 120.000 IU untuk
difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,
komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan status lanjut. SAD
diberikan dalam dosis tunggal melalui IF dengan cara melarutkannya dalam
200 cc Nacl 0,9%. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34
tetes/menit).

13
2. Antibiotic
Penicillin prokain diberikan 100.000 IU/KgBB selama 10 hari; maksimal 3
gr/hari. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/Kg BB secara oral 3-4x/hari
selama 10 hari

3. Kortikosteroid
Diindikasikan pada difteri berat dan sangat berat (membrane luas,
komplikasi bull neck). Dapat diberikan prednisone 2 Mg/KgBB/hari selama
3 minggu atau deksametason 0,5-1 Mg/KgBB/hari secara IV (terutama
untuk toksinia).

j. Komplikasi
1. Saluran pernapasan : obstruksi jalan napas dengan segala akibatnya,
bronkopneumonia atelectasis
2. Kardiovaskuler : miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman
penyakit ini
3. Urogenital : dapat terjadi nefritis
4. Susunan saraf : kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami
komplikasi yang mengenai system susunan saraf
terutama system motoric.

k. Masalah yang Lazim Muncul / Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan jalan napas b.d obstruksi jalan napas
2. Kurangnya volume cairan b.d intake cairan yang menurun
3. Resti penyebarluasan infeksi b.d organisme virulen.
4. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat

l. Discharge Planning
1. Vaksin DPT
2. Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan lingkungan
3. Tingkatkan imunitas tubuh dengan makanan mengandung nutrisi seimbang,
berolahraga dan cukup istirahat serta mengurangi stress
4. Mengetahui gejala dan bahaya yang disebabkan difteri.
14
m. Pencegahan
1. Umum
a) Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-
anak.
b) Pada umumnya setelah menderita penyakit diphtheria kekebalan
penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi
2. Khusus
Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar
anti toksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C.diphtheriae
merupakan satu-satunya cara pengendalian yang efektif. Walaupun imunisasi
tidak mengalami pengidap C.diphtheriae toksigenik saluran pernapasan atau
kulit, imunisasi mengurangi penyebaran jaringan local, mencegah komplikasi
toksik, menghilangkan penularan organisme, dan memberikan imunitas
kelompok bila sekurang-kurangnya 70-80% dari populasi diimunisasi. Kadar
antitoksin serum 0,01 IU /ml biasanya diterima sebagai kadar protektif
minimum dan 0,01 IUd/mL memberi kadar perlindungan tertentu.

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS DIFTERI

A. Pengkajian
1. Biodata
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia, lemah, sesak.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran
nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Riwayat kondisi lingkungan
7. Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c) Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d) Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan
nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia

8. Pemeriksaan Fisik
a) TTV
Nadi : meningkat
TD : menurun
RR : meningkat

16
Suhu : kurang dari 38°C
b) Inspeksi : lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c) Auskultasi : nafas cepat dan dangkal
9. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
b) Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko penyebarluasan infeksi b.d organisme virulen
2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan napas
3. Kurangnya volume cairan b.d intake cairan yang menurun
4. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat

C. Perencanaan
1. Resiko penyebarluasan infeksi b.d organisme virulen
Tujuan: penyebarluasan infeksi tidak terjadi
KH:
 Tanda-tanda infeksi tidak ada
 Temperature tubuh dalam batas normal
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital (suhu)
Rasional: untuk mengetahui keadaan umum klien.
2) Tempatkan anak pada ruangan khusus
Rasional: pemisahan anak ataupun perawatan yang terpisah dari kontak
dengan oranglain agar mencegah penyebaran organisme pathogen antara
anak, perawat, dan pengunjung.
3) Pertahankan isolasi yang ketat dirumah sakit
Rasional: mencegah pemindahsebaran organisme pathogen.
4) Gunakan prosedur perlindungan infeksi
Rasional: mencegah pemindahsebaran organisme pathogen saat kontak
antara anak dengan perawat selama masa perawatan.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotic

17
Rasional: antibiotic menghambat organisme patogen spesifik yang tidak
mengakibatkan resistensi organisme tersebut.
2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan napas
Tujuan: jalan napas kembali efektif
KH:
 Anak dapat bernapas dengan mudah
 Sesak berkurang
Intervensi:
1) Observasi irama dan bunyi pernapasan
Rasional: perubahan status pernapasan, irama, dan bunyi pernapasan
karena adanya batuk dan obstruksi jalan napas sehingga dapat muncul
takipnea.
2) Atur posisi kepala ekstensi
Rasional: posisi kepala ekstensi membuka jalan napas lebih efektif.
3) Lakukan fisioterapi dada
Rasional: fisioterapi dada termasuk perkusi manual, fibrasi dan tekanan
dada, batuk, kekuatan ekspirasi dan latihan napas dalam untuk
membersihkan mucus dari jalan napas.
4) Persiapkan anak untuk dilakukan trakheostomi jika direncanakan
Rasional: persiapan tindakan yang melibatkan anak akan mengurangi
ansietas.
5) Lakukan penghisapan lendir jika jalan napas tersumbat
Rasional: anak yang mengalami penurunan kemampuan batuk, mucus
akan tetap terproduksi. Pengeluaran mucus dibantu dengan alat penghisap
lendir.
6) Berikan oksigen sebalum dan sesudah dilakukan penghisapan lendir.
Rasional: menghindari penurunan oksigenasi dalam darah.
7) Lakukan pemeriksaan analisa gas darah
Rasional: pengukuran laboratorium analisa gas darah sebagai indicator
yang sensitive terhadap perubahan status pernapasan pada kondisi akut.
8) Lakukan inkubasi jika diindikasikan

18
Rasional: peningkatan usaha respirasi yang berlebihan atau tidak adekuat,
hipoksia progresif memerlukan bantuan ventilasi mekanik untuk
mempertahankan status rspirasi yang adekuat.
3. Kurangnya volume cairan b.d intake cairan yang menurun
Tujuan: volume cairan tubuh adekuat
KH:
 Turgor kulit baik
 Intake cairan bertambah melalui oral
 Temperature tubuh dalam batas normal
 Output urin 1-2 ml/kg/jam
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti: membrane mukosa kering, turgor kulit
kurang, produksi urine menurun, frekuensi denyut jantung dan pernapasan
meningkat, tekanan darah menurun, dan fontanel cekung
Rasional; mengidentifikasi sejauh mana kehilangan cairan dari tubuh anak
sehingga dapat menentukan langkah selanjutnya dalam memenuhi
kebutuhan cairan tersebut.
2) Monitor intake dan output cairan secara tepat, dan pertahankan intake
cairan dan elektrolit yang tepat
Rasional: informasi intake dan output cairan diperlukan untuk mengontrol
batasan atau penggantian cairan tubuh sesuai kebutuhan.
3) Jelaskan ke klien/keluarga pentingnya cairan bagi tubuh
Rasional: membantu mempermudah pemberian cairan pada klien
4) Kolaborasi pemberian cairan parenteral jika intake cairan peroral tidak
adekuat
Rasional: pemberian cairan parenteral memperbaiki atau mencegah
kekurangan cairan.
4. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat
Tujuan: kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi/adekuat
KH:
 Anak menghabiskan/mengkonsumsi makanan sedikitnya habis 80% setiap
kali makan

19
 Berat badan dapat dipertahankan atau ditingkatkan
Intervensi:
1) Kaji kemampuan anak makan
Rasional: anak mengalami anoreksia karena sakit pada tenggorokannya.
2) Kaji asupan makanan klien
Rasional: untuk mengukur intake makanan klien
3) Lakukan penilaian pada status nutrisi anak seperti berat badan, tinggi
badan, lingkar lengan, konjungtiva, indeks massa tubuh, dan laboratorium
darah.
Rasional: status nutrisi ditentukan dari pemeriksaan fisik dan laboratorium
darah sehingga kebutuhan kalori dapat ditentukan dan mengevaluasi
keadekuatan rencana pemenuhan nutrisi.
4) Sajikan makanan dalam keadaan hangat sesuai dengan diet
Rasional: untuk meningkatkan nafsu makan klien.
5) Lakukan pemasangan nasogastric tube
Rasional: pemberian nutrisi yang tidak dapat dilakukan peroral
diprogramkan melalui nasogastric tube agar asupan nutrisi tetap adekuat.
6) Jelaskan pentingnya makanan dalam proses penyembuhan
Rasional: dapat memotivasi klien dalam pemenuhan nutrisi.
7) Anjurkan pasien makan dalam porsi kecil
Rasional: dapat mengurangi mual dan muntah.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang adekuat.
Rasional: kebutuhan kalori didasarkan pada kebutuhan anak untuk
memberikan nutrisi maksimal dengan upaya penggunaan energi yang
minimal.
9) Kolaborasi pemberian nutrisi parenteral.
Rasional: pemberian nutrisi parenteral mengoptimalkan pemberian nutrisi
yang adekuat.

20
5. Cemas : b.d peningkatan kerja adrenalin
Tujuan : cemas pasien menurun
KH :
 Pasien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
 Ekspresi wajah menunjukkan berkurangnya kecemasan
 TTV normal
Intervensi:
1. Kaji tingkat kecemasan
Rasional : untuk mengentahui sampai sejauh mana tingkat kecemasan
klien sehingga memudahkan penanganan/pemberian askep selanjutnya
2. Beri kenyamanan dan ketentraman hati
Rasional : agar klien tidak terlalu memikirkan kondisinya
3. Berikan aktivitas yang dapat mengurangi kecemasan atau ketegangan
Rasional : agar pasien dengan senang hati melakukan aktivitas karena
sesuai dengan keinginannya dan tidak bertentangan dengan program
keperawatannya

D. Pelaksanaan
Perawat melakukan intervensi seperti yang tertera dalam perencanaan

E. Evaluasi
1. Masalah teratasi
2. Masalah teratasi sebagian
3. Masalah belum teratasi

21
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa
inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection
dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.

Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi 3 yaitu, difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa
penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularancarier
bisa sampai 6 bulan. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : Panas lebih dari 38 °C,
Adapsedomembrane bisa dipharynx, larynx atau tonsil.

Sakit waktu menelan. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini
dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.

Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu Isolasi penderita, Imunisasi, dengan
memberikan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar
Pencegahan dan kemudian mengobati karier difteria.

B. Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk
anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada
anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi.
Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun
sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan
dilkaukan uji schick.

22
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan
menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan
lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan
tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan
makanan 4 sehat 5 sempurna.

23
DAFTAR PUSTAKA

o Rampengan, SpA(K). Prof. Dr. T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak
edisi 2. Jakarta: EGC

o Astuti, S.Kep, Widya Ns. Harwina, Rahmat, S.Kep Saeful Ns. Angga. 2010.
Asuhan Keperawatan Anak dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Trans Info Media

o Huda Nurarif, S.Kep. Amin, Ns, Kusuma, S.Kep.,Ns Hardhi. 2015. Aplikasi
Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC.
Jogjakarta: Mediaction Publishing

24

Anda mungkin juga menyukai