Anda di halaman 1dari 15

Makalah Kebutuhan

Oksigenisasi Difteri

Di susun oleh

Kelompok 2

Diah Ayu Ramadhani


Dian Tri Vita Sari
Meliana Susanti
Nazarudin
Nur Intifadah
Ratih Parastari
Weni Ayu Tifani
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyanyang, kami
panjatkan puja dan puji syukur padaNya yang telah melimpahkan rahmat, hidayat, dan inayah
nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Difteri beserta Asuhan
Keperawatan pada Difteri.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancara pembuatan makalah ini. Untuk kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini

Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhiri kata kami berharap semoga makalah tentang Difteri dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Jakarta, 8 Oktober 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Umum dan Khusus

BAB II ISI

A. Pengertian Difteri
B. Etiologi
C. Patofisiologi
D. Manifestasi Klinis
E. Komplikasi
F. Penatalaksanaan
G. Cara penularan
H. Asuhan Keperawatan Difteri

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit
ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung
dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat,
udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10% kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan
pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-
anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam
menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang
dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system
kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian difteria ?
2. Apa etiologi difteria ?
3. Bagaimana patofisiologi difteria ?
4. Apa manifestasi klinis difteria ?
5. Apa komplikasi difteria ?
6. Bagaimana penatalaksanaan difteria ?
7. Bagaimana cara penularan difteria ?
8. Bagaimana ASKEP difteria ?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Untuk memenuhi tugas Mata Ajar Oksigenasi dengan Difteri
b. Membuat Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian difteria
b. Untuk megetahui etiologi difteria
c. Untuk memahami patofisiologi difteria
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis difteria
e. Untuk mengetahui komplikasi difteria
f. Untuk memahami penatalaksanaan difteria
g. Untuk memahami cara penularan difteria
h. Untuk memahami ASKEP difteria
BAB II

ISI

A. Pengertian Difteria

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diptheriae yang
berasal dari membrane mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan lesi lain dari orang yang
terinfeksi. (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diptheriae. (Rampengan
dan Laurent, 1997).

Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh corynebacterium diptheriae.


(Berhrman dkk, 1996).

Difteria adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diptheriae
yang berasal dari membrane mukosa hidung dan nasofarung, kulit, dan lesi lainnya dari
orang-orang yang terinfeksi bersifat toksikoinfeksi

B. Etiologi

Agen yang menyebabkan difteria adalah corynebacterium diptheriae. Spesies


corynebacterium diptheriae merupakan basil aerob yang tidak berkapsul, tidak membentuk
spora, kebanyakan tidak bergerak, pleomorfik, gram negatif. Sumbernya melalui
pengeluaran agen infeksi dari membran mukosa hidung dan nasofaring, kulit dan lesi
lainnya dari orang-orang yang terinfeksi.

C. Patofisiologi
1. Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit,
mata walaupun jarang terjadi.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudo membrane
timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah
bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan
timbul mralisis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudo membrane pada laring dan
trakea clan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

D. Manifestasi Klinis
1. Menurut lokasi anatomi pseudomembran bervariasi.
2. Hidung: mirip dengan common cold, pelepasan serosan guenious mukopurulen hidung
tanpa sifat dasar gejala-gejala mungkin langsung epistaksis.
3. Tonsilar/faringeal: malaise, anoreksia, sakit tenggorokan, demam dengan derajat
rendah, nadi meningkat diatas suhu yang diperkirakan dalam 24 jam, diikuti membrane
putih atau abu-abu, limfadenitis mungkin berat (bull’s neck) dalam kasus yang berat,
toksemia, syok septik dan kematian 6-10 hari.
4. Laringeal: demam, serak, batuk, mungkin obstruksi jalan napas, ketakutan, retraksi,
dyspnea, sianosisi.
5. Infeksi di tempat lain: telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta, dan
ulseratif), dan saluran genital (vulvovaginitis purulenta dan ulseratif).

E. Komplikasi
1. Miokarditis
Biasanya timbul akhir minggu ke-2 atau awal minggu ke-3 perjalanan penyakit.
Pemeriksaan fisik: irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup,
2. Neuritis (kelumpuhan saraf)
Menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam
waktu 3-7 minggu)
3. Nefritis (kerusakan ginjal)
4. Bronkopneumonia
5. Paralisis

F. Penataklasanaan
1. Isolasi.
2. Antitoksin 5000-30000 unti (biasanya melalui intravena) didahului dengan tes kulit
atau tes konjungtival hingga menghindari kemungkinan akan sensitivitas.
Pemberian antitoksin pengobatan difteri.

Dasar dosis Dosis antitoksin (u)


Hanya lesi kulit 20.000 – 40.000
Penyakit faring/laring selama <48 jam 20.000 – 40.000
Lesi nasofaring 40.000 – 60.000
Penyakit meluas selama >72 jam 80.000 – 100.000
Pembengkakan leher difus 80.0 – 100.000
3. Antibiotik seperti penisilin atau eritromisin. Penisilin diberikan 250 mg tiap 4 jam.
Eritromisin digunakan untuk pengobatan carier, diberikan secara oral atau parenteral
(40-50 mg/kg/24 jam, maksimum 2g/24 jam).
4. Bedrest total untuk mencegah miokarditis.
5. Trakheostomi dibutuhkan segera untuk obstruksi jalan nafas.
6. Pengobatan terhadap kontak infeksi dan carier.
7. Imunisasi sebagai upaya pencegahan, meskipun imunisasi tidak menghalangi menderita
Corynebacterium diphteriae toksigenik saluran pernapasan atau kulit, namun imunisasi
organisme dan memberikan imunisasi kelompok sekurang-kurangnya 70–80% dari
populasi yang diimunisasi. Kadar antitoksin serum 0,01 IU/ml yang memberikan kadar
perlindungan tertentu.
8. Pemberian oksigen

G. Cara Penularan
Cara transmisi dengan kontak langsung orang yang terinfeksi, carier atau benda yang
terkontaminasi. Periode inkubasi difteria biasanya 2-5 hari, mungkin lebih lama. Masa
penularan penyakit dapat bervariasi hingga basilus virulent tidak ada lebih lama yang
diidentifikasi dengan 3 kultur yang negatif, biasanya selama 2-4 minggu.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
a. Riwayat keperawatan: status imunisasi, riwayat penyakit infeksi
b. Kaji tanda-tanda yang muncul

2. Diagnose keperawatan
a. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen
b. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
c. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake cairan yang menurun,
peningkatan metabolisme
d. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
suhu tubuh

3. Perencanaan
a. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen
Tujuan : Penyebarluasan infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
1) Tanda-tanda infeksi tidak ada.
2) Temperatur tubuh dalam batas normal

Intervensi Rasional
Intervensi Keperawatan Mandiri Pemisahan anak atau perawatan yang
 Tempatkan anak pada ruangan terpisah dari kontak dengan orang
khusus lain agar mencegah penyebaran
organisme pathogen antara anak,
perawat, dan pengunjung

 Pertahankan iolasi yang ketat di Mencegah pemindah sebaran


rumah sakit. organisme pathogen

 Gunakan prosedur perlindungan Mecegah pemindah sebaran


infeksi. organisme pathogen saat kontak
antara anak dengan perawat delama
masa perawatan.

Intervensi keperawatan kolaborasi : Antibiotik menghambat organisme


 Berikan antibiotic sesuai order. pathogen spesifik yang tidak
mengakibatkan resustensi organisme
tersebut.
b. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
Tujuan : jalan napas kembali efektif
Kriteria evaluasi :
1) Anak dapat bernapas dengan mudah
2) Sesak berkurang

Intervensi Rasional
Intervensi keperawatan mandiri: Rasional : perubahan status
 Kaji status pernapasan, pernapasan, irama, dan bunyi
observasi irama dan bunyi pernapasan karena adanya batuk dan
pernapasan. obstrukdi jalan napas sehingga dapat
muncul tacipneu.

 Atur posisi kepala ekstensi Rasional : posisi kepala ekstensi


membuka jalan napas lebih efektif

 Lakukan fisioterapi Rasional : fisioterapi dada termasuk


perkusi manual, fibrasi, dan tekanan
dada, batuk, kekuatan ekspirasi, dan
latihan napas dalam untuk
membersihkan mucus dari jalan napas.

 Persiapkan anak untuk Rasional : persiapan tindakan yang


dilakukan trakheostomi jika melibatkan anak akan mengurangi
direncanakan ansietas
Intervensi keperawatan kolaborasi : Anak yang mengalami penurunan
 Lakukan persiapan lendir jalan kemampuan batuk, mucus akan tetap
napas tersumbat terproduksi. Pengeluaran mucus dibantu
dengan alat penghisap lendir agar jalan
napas bersih.

 Berikan oksigen sebelum dan Menghindari penurunan oksigen dalam


sesudah dilakukan penghisapan darah.
lendir.

 Lakukan pemeriksaan gas darah Pengukuran laboratorium analisa gas


darah sebagai indicator yang sensitive
pada perubahan status pernapasan pada
konsi akut.
 Lakukan intubasi jika di peningkatan usaha respirasi yang
indikasikan berlebihan atau tidak adekuat , hipoksia
progresif memerlukan bantuan ventilasi
mekanik untuk mempertahankan status
resprirasi yang adekuat
c. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake cairan yang menurun ,
peningkatan metabolisme .
Tujuan : volume cairan tubuh anak adekuat
Kriteria evaluasi :
1) Turgor kulit baik
2) Intake cairan bertambah melalui oral
3) Temperature tubuh dalam batas normaloutput urine 1-2 ml/kg/jam

Intervensi Rasional
Intervensi Keperawatan Mandiri :
 Kaji tanda tanda dehidrasi Identifikasi sejauh mana kehilangan
seperti : membran mukosa cairan dari tubuh anak sehingga dapan
kering, turgor kulit terang , menentukan langkah selanjut nya
produksi urine menurun , dalam memenuhi kebutuhan cairan
frekuensi denyut jantung dan tersebut .
pernapasan meningkat , tekanan
darah menurun dan fontanel
cekung.

 Monitor intake dan output Informasi intake dan output cairan


cairan secara tepat , dan diperlukan untuk mengontrol batasan
pertahankan intake cairan dan atau penggantian caran tubuh sesuai
elektrolit yang tepat. kebutuhan

Intervensi keperawatan kolaborasi : Pemberian cairan parenteral


 Kolaborasi pemberian cairan memperbaiki atau mencegah
parenteral jika intake caiaran kekurangan cairan.
peroral tidak adekuat.
d. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme.
Tujuan : status nutrisi yang adekuat dapat dipertahankan.
Kriteria evaluasi :
1) Anak mengonsumsi makanan sedikitnya habis 80% setiap kali makan.
2) Berat badan dapat dipertahankan atau ditingkatkan
3) Temperature tubuh dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Intervensi keperawatan mandiri :
 Kaji kemampuan anak makan Anak mengalami anoreksia karena
sakit pada tenggorokannya
 Lakukan penilaian pada status Status nutrisi di tentukan dari
nutrisi anak seperti berat badan, pemeriksaan fisik dan laboratorium
tinggi badan, lingkar lengan, darah sehingga kebutuhan kalori
konjungtiva, indeks massa dapat ditentukan dan mengevaluasi
tubuh, laboratorium darah. keadekuatan rencana pemenuhan
nutrisi.
Intervensi keperawatan kolaborasi :
 Lakukan pemasangan Pemberian nutrisi yang tidak dapat di
nasogastric tube lakukan peroral di programkan
melalui nasogastrictube agar asupan
nutrisi tetap adekuat
 Kolaborasikan pemberian diet Kebutuhan kalori didasarkan pada
yang adekuat. kebutuhan anak untuk memberikan
nutrisi maksimal dengan upaya
penggunaan energy yang minimal
 Kolaborasi pemberian nutrisi Pemberian nutrisi parenteral
parenteral. mengoptimalkan pemberian nutrisi
yang adekuat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun
juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan psudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri, dan bahan lainnya, didekat tonsil dan bagian
faring yang lain. Membrane ini tidak mudah robek dan bewarna keabu-abuan. Jika
membran ini dilepaskan secara paksa maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara secara tiba-tiba bisa terlepas dan
menyumbat saluran udara sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukanya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di faring dan dibuatkan biakan dilaboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG. Penularan difteri dapat melalui kontak langsung seperti
berbicara dengan penderita, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang
akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Tetapi sejak diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang
dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system
kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
B. Saran

Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-
anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan
menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan
lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat
5 sempurna.

Sedangkan untuk perawat, penderita dengan difteri harus diberikan isolasi dan baru dapat
dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi
diphtheria 2x berturut-turut. Gunakan prosedur terlindungi infeksi jika melakukan kontak
langsung dengan anak (APD)

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai