Anda di halaman 1dari 15

Pengertian

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
Salmonella thypii ( Arief Mansjoer, 2000).

Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella thypii, yang ditularkan melalui makanan, mulut atau minuman
yang terkontaminasi oleh kuman Salmonella thypii (Hidayat, 2006).

Menurut Nursalam et al. (2008), demam tipoid adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, Typhoid adalah suatu
penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh Salmonella thypii dengan gejala demam
yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran yang
ditularkan melalui makanan, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman
Salmonella thypii.

Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella
(Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC). Tifoid
adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
Thypi (Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media
Aesculapius.).

B. Etiologi

Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber
penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier.
Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi
salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
2.Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005) penyebab utama dari penyakit ini adalah kuman Salmonella
typhosa, Salmonella typhi, A, B, dan C. Kuman ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia,
dan makanan atau minuman yang terkena kuman yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya
sumber utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti
virus yang dapat beterbangan di udara, bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti
lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higienis.
Salmonella typosa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak
berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu antigen O, antigen
somatik yang tidak menyebar, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida, antigen Vi (kapsul)
yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis dan antigen H
(flagella). Ketiga jenis antigen tersebut dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukkan tiga macam antibody yang biasa disebut agglutinin (Arif Mansjoer, 2000).

3. Patofisiologi

Menurut (Suriadi, 2001) :


a. Kuman masuk melalui mulut, sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lagi
masuk ke usus halus (terutama di ileum bagian distal), ke jaringan limfoid dan berkembang biak
menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke peredaran darah (bakterimia primer), dan
mencapai sel-sel retikula endotelial, hati, limpa dan organ-organ lainnnya.
b. Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikula endotelial melepaskan
kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya
kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandung empedu.
c. Pada minggu pertama sakit, terjadi hyperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus
halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada
minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat
menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar
mesentrial dan limpa membesar.
d. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelainan pada usus halus.
PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2)
banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi,
pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau
antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih
hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya
di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus
halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi
mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe,
kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk.
2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa,
sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.
Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau
penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin
dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa,
folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo,
Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).
4. Manifestasi Klinik
Menurut Corwin (2000) proses bekerjanya bakteri ini ke dalam tubuh manusia cukup cepat, yaitu 24-
72 jam setelah masuk, meski belum menimbulkan gejala, tetapi bakteri telah mencapai organ-organ
hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang, dan ginjal. Rentang waktu antara masuknya kuman
sampai dengan timbulnya gejala penyakit, sekitar 7 hari. Gejalanya sendiri baru muncul setelah 3
sampai 60 hari. Pada masa-masa itulah kuman akan menyebar dan berkembang biak.
Soedarto (2007) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang umum ditemui pada penderita
demam typhoid biasanya disebut febris remitter atau demam yang bertahap naiknya dan berubah-
ubah sesuai dengan keadaan lingkungan dengan perincian :
1. Minggu pertama, demam lebih dari 40°C, nadi yang lemah bersifat dikrotik, dengan denyut nadi
80-100 per menit.
2. Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak kering mengkilat,
denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa dapat diraba.
3. Minggu ketiga,
a. Jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan keluhan berkurang.
b. Jika keadaan memburuk : penderita mengalami delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi
inkontinensia alvi dan urine. Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut
meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal dunia akibat
terjadinya degenerasi mikardial toksik.
4. Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami penyembuhan meskipun
pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

D. MANIFESTASI KLINIK

1. Pada minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi
atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik
hanya didapatkan pemeriksaan suhu tubuh.
2. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia, lidah
kotor, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma
(Rampengan, 1993).
3. Menurut Ngastiyah (2005), gejala prodromal ditemukan seperti perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan berkurang.
Gambaran klinis yang biasa ditemukan ialah :
1. Demam. Biasanya berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten, dan suhu tidak
tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam.
Pada minggu ketiga, suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut nafas berbau tidak sedap, bibir
kering dan pecah-pecah, lidah kotor, perut kembung, hati dan limpa membesar
disertai nyeri pada perabaan, dapat disertai konstipasi atau diare.
3. Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam
yaitu apatis sampai somnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali
penyakitnya berat). Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan
roseola (bintik-bintik kemerahan).

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan kasus febris typhoid menurut Corwin (2000) antara lain
:
a. Pemeriksaan Leukosit
Pada febris typhoid terhadap ileumopenia dan limfobrastis relatif tetap kenyataan leukopenia
tidaklah sering dijumpai. Pada kasus febris typhoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi pada
berada dalam batas normal, walaupun kadang-kadang terikat leukositanis tidak ada komplikasi
berguna untuk febris typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Sering kali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya febris typhoid, kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
c. Kenaikan Darah
Gerakan darah (+) memastikan febris typhoid tetapi biakan (-) tidak menyingkirkan febris typhoid.
Hal ini karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, yaitu :
1) Tekhnik pemeriksaan laboratorium.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
3) Laksinasi di masa lampau.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
d. Uji Widal
Suatu uji dimana antara antigen dan antibodi yang spesifik terhadap saluran monolle typhi dalam
serum pasien dengan febris typhoid juga pada orang yang pernah terkena salmonella typhi dan pada
orang yang pernah divaksinasi terhadap febris typhoid dengan tujuan untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita febris typhoid. Hasil pemeriksaan widal,
titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai ≥ 1/200 atau peningkatan ≥ 4 kali antara masa akut
dan konvalesens mengarah pada demam typhoid, meskipun dapat terjadi positif ataupun negatif
palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella.
Diagnosis mikrobiologis merupakan metode diagnosis yang paling spesifik. Kultur darah dan sum-
sum tulang positif pada minggu pertama dan kedua, sedang minggu ketiga dan keempat kultur tinja
dan kultur urin positif (Wong, 2003).

E. KOMPLIKASI

Pada usus halus. Umumnya jarang terjadi tetapi bila terjadi sering fatal.

1. Perdarahan usus. Bila sedikit, hanya dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena, dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda
renjatan.
2. Perforasi usus. Biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan
bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
3. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang.

Komplikasi di luar usus. Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia),
yaitu meningitis, koleosistisis, ensefalopati. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia.

1. F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Menurut FKUI (2005) untuk memastikan diagnosis perlu dikerjakan pemeriksaan


laboratorium sebagai berikut :

1. Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis


1. Pemeriksaan darah tepi

Terdapat gambaran leukopeni, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit.
Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.

1. Pemeriksaan sumsum tulang

Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif (retikuloendotelial system) RES dengan
adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granolupoesis dan trombopoesis
berkurang.

2. Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis

1. Biakan empedu
Basil salmonella typosa dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu
pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses dan mungkin akan
tetap positif untuk waktu yang lama. Jika pada pemeriksaan selama dua kali berturut-turut
tidak didapatkan basil salmonella typosa pada urin dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-
betul sembuh.

1. Pemeriksaan widal

Pada permulaan terjadi penyakit, widal akan positif dan dalam perkembangan selanjutnya,
misal 1 – 2 minggu kemudian akan semakin meningkat meski demam typhoid telah diobati.

Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap O. Titer yang bernilai
1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat
diagnosis.

Menurut NN (2006) dikatakan meningkat dila titernya lebih dari 1/400 atau didapatkan
kenaikan titer 2 kali lipat dari titer sebelumnya dalam waktu satu minggu.

Hasil widal akan bertahan positif cukup lama (berbulan-bulan) sehingga meski sembuh dari
penyakit demam typhoid, widal masih mungkin positif. Tetapi tidak selalu pemeriksaan widal
positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita typhus abdominalis sebagaimana
terbukti pada autopsi setelah penderita meninggal dunia.

Titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut :

1. Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil coli
patogen dalam usus.
2. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
3. Terdapat infeksi silang dengan ricketsia (werl felix).
4. Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan
infeksi subklinis.

1. G. PENATALAKSANAAN

Pasien yang dirawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus dianggap dan
diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis dan diberikan pengobatan sebagai
berikut :

1. Isolasi pasien, desinfeksi pakaian dan ekskreta.


2. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama,
lemah, anoreksia, dan lain-lain.
1. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal kembali
(istirahat total), kemudian boleh duduk ; jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian
berjalan di ruangan.
2. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan
makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak
menimbulkan gas. Susu 2 gelas sehari. Bila kesadaran pasien menurun diberikan
makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan anak baik
dapat juga diberikan makanan lunak.
3. Obat pilihan ialah kloramfenikol, kecuali jika pasien tidak cocok dapat diberikan obat
lainnya seperti kortikoksazol. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100
mg/kg BB/hari (maksimum 2 gram per hari), diberikan 4 kali sehari per oral atau
intavena. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi tersebut mempersingkat
waktu perawatan dan mencegah relaps. Efek negatifnya adalah mungkin pembentukan
zat anti kurang karena basil terlalu cepat dimusnahkan.
4. Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi
dehidrasi dan asidosis diberikan cairan secara intravena dan sebagainya.

Pembedahan

Pembedahan kurang diperlukan bila penggunaan obat-obatan dan dekompresi usus gagal
mengatasi perdarahan saluran cerna yang berat. Tindakan tersebut juga dibutuhkan bila
terjadi perforasi usus.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. A. PENGKAJIAN
Pada pengkajian anak dengan typhoid seperti ditemukan timbulnya demam yang khas yang
berlangsung selama kurang lebih 3 minggu dan menurun pada pagi hari serta meningkat pada
sore dan malam hari, nafsu makan menurun, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor ujung
dan tepinya kemerahan, adanya meteorismus, terjadi pembesaran hati dan limfa, adanya
konstipasi dan bahkan bisa terjadi gangguan kesadaran seperti apatis sampai somnolen,
adanya bradikardia, kemungkinan terjadi komplikasi seperti pendarahan pada usus halus,
adanya perforasi usus, peritonitis, peradangan pada meningen, bronkhopneumonia, dan lain-
lain. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukopenia dengan limfositosis relatif,
pada kultur empedu ditemukan kuman pada darah, urin, feses, dan uji serologis widal
menunjukkan kenaikan pada titer antibodi O lebih besar atau sama dengan 1/200 dan H
1/200.

1. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi).


2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dari intake yang tidak
adekuat.
3. Resiko cedera berhubungan dengan gangguan kesadaran.
4. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah.

1. C. RENCANA KEPERAWATAN

Dx. I

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan suhu tubuh dalam batas yang
normal (36 – 37 o C).

NOC : Termoregulasi

Kriteria Hasil :

 Suhu tubuh dalam batas normal


 Nadi dan respirasi dalam batas normal
 Tidak ada perubahan warna kulit
 Tidak ada pusing

Indikator Skala :

1. : ekstrem

2 : berat
3 : sedang

4 : ringan

5 : tidak ada gangguan

NIC : Regulasi suhu

Intervensi :

1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam.


2. Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi.
3. Monitor warna kulit dan suhu.
4. Monitor hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran mukosa).
5. Kolaborasi dengan pemberian antibiotik, yaitu kloramfenikol.

Dx. II

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nutrisi pasien adekuat.

NOC : Status nutrisi

Kriteria Hasil :

 Tidak terjadi penurunan berat badan.


 Asupan nutrisi adekuat.
 Tidak terjadi tanda-tanda malnutrisi.

Indikator Skala :

1. : Tidak adekuat

2. : Ringan

3. : Sedang

4. : Kuat

5. : Adekuat total

NIC : Manajemen nutrisi


Intervensi :

1. Kaji status nutrisi pasien.


2. Ketahui makanan kesukaan pasien.
3. Timbang berat badan pada interval yang tepat.
4. Anjurkan makanan sedikit tapi sering.
5. Sajikan makanan selagi hangat dan dalam bentuk yang menarik.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet yang tepat.
7. Berikan informasi kepada keluarga tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana untuk
memenuhinya.

Dx. III

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan cedera tidak terjadi.

NOC : Menjadi orang tua : Keamanan sosial

Kriteria Hasil :

 Keluarga akan mempersiapkan lingkungan yang aman.


 Keluarga akan mengenali resiko untuk menghindari cedera fisik.

Indikator Skala :

1 : tidak pernah menunjukan

2 : jarang menunjukkan

3 : kadang menunjukkan

4 : sering menunjukkan

5 : selalu menunjukkan

NIC : Pencegahan jatuh

Intervensi :

1. Kaji status neurologis (GCS)


2. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari tindakan pengamanan.
3. Jaga keamanan lingkungan pasien.
4. Libatkan keluarga untuk mencegah bahaya jatuh.
5. Observasi tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital.
6. Dampingi pasien.
7. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk meminimalisis efek samping dari
medikasi / pengobatan yang menyebabkan jatuh.
Dx. IV

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri berkurang / hilang.

NOC : Kontrol nyeri

Kriteria Hasil :

 Nyeri berkurang / hilang.


 Ekspresi wajah tidak tegang.
 Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif.
 Mengenali faktor penyebab nyeri.

Indikator Skala :

1. : ekstrem
2. : berat
3. : sedang
4. : ringan
5. : tidak ada gangguan

NIC : Manajemen nyeri

Intervensi :

1. Kaji skala nyeri yang komprehensif, meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
2. Gunakan teknik non farmakologi, misalnya teknik relaksasi.
3. Observasi isyarat ketidaknyamanan non verbal.
4. Berikan analgetik sesuai kebutuhan.
5. Kondisikan lingkungan yang nyaman dengan membatasi pengunjung.

Dx. V

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tidak terjadi kekurangan


volume cairan.

NOC : Keseimbangan cairan

Kriteria Hasil :

 Intake dan output seimbang.


 Tidak ada tanda-tanda dehidrasi.
 Tanda-tanda vital dalam batas normal

Indikator Skala :
1. : Berat

2. : Substansial

3. : Sedang

4. : Ringan

5. : Tidak ada gangguan

NIC : Pengelolaan cairan

Intervensi :

1. Monitor mual dan muntah.


2. Observasi tanda-tanda dehidrasi.
3. Anjurkan untuk minum yang banyak.
4. Monitor dan catat asupan dan haluaran cairan.
5. Monitor tanda-tanda vital.
6. Kolaborasi pemberian cairan parenteral.
7. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

1. D. EVALUASI

Dx. I

 Suhu tubuh dalam batas normal 4


 Nadi dan respirasi dalam batas normal 4
 Tidak ada perubahan warna kulit 4
 Tidak ada pusing 4

Dx. II

 Tidak terjadi penurunan berat badan. 4


 Asupan nutrisi adekuat. 4
 Tidak terjadi tanda-tanda malnutrisi. 4

Dx. III

 Keluarga akan mempersiapkan lingkungan yang aman. 4


 Keluarga akan mengenali resiko untuk menghindari cedera fisik. 4
Dx. IV

 Nyeri berkurang / hilang. 4


 Ekspresi wajah tidak tegang. 4
 Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif. 4
 Mengenali faktor penyebab nyeri. 4

Dx. V

 Intake dan output seimbang. 4


 Tidak ada tanda-tanda dehidrasi. 4
 Tanda-tanda vital dalam batas normal 4

DAFTAR PUSTAKA

Behirman, Richard E. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 12. Jakarta : EGC.

Betz, Cecily L. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta : EGC.

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.


Suriadi dan Yulaini, Rita. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 1. Jakarta : PT Fajar
Intan Pratama.

Anda mungkin juga menyukai