Anda di halaman 1dari 12

Pemahaman Tentang Citra/Gambaran Diri pada Individu dengan Autism Spectrum

Disorders (ASD): Tinjauan Literatur

Bila sistem citra atau gambaran tentang diri mereka sendiri dieksplorasi pada individu dengan
Autism Spectrum Disorders (ASDs), penting untuk mengukur persepsi penderita mengenai
diri mereka sendiri dan pemahaman mereka tentang persepsi orang lain terhadap mereka pada
tingkat multidimensional. Makalah ini mengulas penelitian dengan menggunakan pendekatan
tiga dimensi. Peneliti telah menemukan bahwa gangguan pada sistem gambaran diri sendiri
biasanya berkorelasi dengan tingkat fungsi sosial dan kognitif individu ini: individu ASD
dengan hasil test fungsi yang tinggi dan memiliki IQ yang lebih tinggi ditemukan memiliki
kesadaran yang lebih baik akan keterbatasan mereka dalam domain sosial dan komunikasi
dibandingkan dengan IQ rendah. Banyak peneliti percaya bahwa ada gangguan psikologis
(tapi tidak fisik) pada individu dengan ASD, seperti teori defisit pikiran karena gangguan
sosial dan komunikasi. Di sisi lain, beberapa peneliti berpendapat bahwa individu dengan
ASD lebih tepat dikatakan menderita gangguan selektif daripada gangguan global. Dengan
kata lain, gangguan tersebut biasanya terletak pada aspek spesifik fungsi tertentu pada
individu dengan ASD. Wawasan dari review yang ada tentang topik ini mungkin bisa
memberi beberapa pencerahan pada pengembangan program intervensi yang efektif untuk
memperbaiki defisit komunikasi sosial pada populasi ini.

PENDAHULUAN

Citra/Konsep Diri

Sistem citra atau konsep diri sendiri adalah konstruksi multi dimensi dimana citra/ gambaran
diri menjadi komponen penting (Peterson et al., 1984). Citra diri (disebut juga konsep diri
dalam beberapa literatur) didefinisikan sebagai pengalaman dan gagasan seseorang tentang
diri mereka sendiri dalam berbagai aspek kehidupan (Coombs, 1981; Peterson et al., 1984).
Pandangan orang lain yang penting dan pengalaman seseorang tentang perspektif ini
cenderung mempengaruhi citra diri atau gambaran diri seseorang (Rosenberg, 1979). Offer et
al. (1981) percaya sebuah fungsi individu dalam berbagai konteks sosial (mis., sekolah,
keluarga, dan teman sebaya) dan psikologis (mis., kontrol impuls, kesehatan mental,
kemudahan dalam situasi baru) adalah domain utama dalam citra diri. Dengan demikian,
mereka mengusulkan agar pemeiksaan yang lengkap dari seseorang mengenai citra/konsep
diri harus bersifat multidimensi.

Untuk menilai total konsep diri, penting untuk dinlai pemahaman seseorang tentang persepsi
seseorang dan persepsi orang lain tentang mereka, serta konteks sosial dan psikologis yang
berbeda dimana persepsi orang lain juga dilibatkan (Williams, 2010; Zahavi, 2010). Menurut
teori sosioekologis (Germain dan Bloom, 1999), baik lingkungan sosial dan fisik berperan
penting dalam pembentukan perilaku manusia sebagaimana diketahui bahwa perilaku dapat
dipelajari. Berdasarkan teori ini, kita terus membentuk hubungan dengan orang dan
lingkungan sekitar kita melalui interaksi timbal balik. Selama proses ini, perilaku kita
mungkin dapat dipengaruhi, dibentuk, dan bahkan berubah. Kami amati dan pelajari perilaku
orang lain dan mengatur perilaku sendiri. Dengan demikian, manusia membentuk citra diri
melalui interaksi baik dengan orang maupun lingkungan sekitar mereka. (Wehmeyer dan
Shogren, 2008).

Kesadaran Diri pada Individu dengan ASD

Kesadaran diri adalah terminologi penting dalam konsep diri. Kesadaran diri berarti bahwa
menjadi sadar akan "objek yang membutuhkan perhatian diri kita sendiri, "termasuk" keadaan
mental mereka sendiri (misalnya, persepsi, sensasi, sikap, niat, emosi), aspek diri pada publik
(mis., perilaku [termasuk tindakan-Knoblich dan Flach, 2003], dan penampilan fisik secara
umum) "(Morin, 2004, hal 198). Morin (2006) mengemukakan ada empat tingkat kesadaran
diri: unconsciousness, consciousness, self-awareness and meta-selfawareness. Kesadaran diri
telah dipelajari diantara berbagai kelompok klinis termasuk individu dengan Gangguan
Spektrum Autisme (ASD). Individu dengan ASD terutama dicirikan memiliki gangguan
dalam (1) bahasa dan komunikasi, (2) interaksi sosial, dan (3) perilaku berulang, terpaku pada
suatu secara intens dan disfungsi sensorik (American Psychiatric Asosiasi, 1994). Karena
sifat heterogennya, kesadaran diri bisa menjadi pengalaman unik tersendiri bagi masing-
masing orang dengan ASD (Elmose, 2016).

Elmose (2016) menggambarkan kerangka konseptual untuk memahami karakteristik


kesadaran diri pada individu dengan ASD. Mengingat karakteristik ASD, contohnya
mengenai kesadaran diri pada individu dengan ASD meliputi: (1) mereka tidak tahu apa yang
mereka tidak ketahui, jadi sulit bagi mereka untuk menilai kapan dan bagaimana untuk
mengetahui sesuatu lebih lanjut; (2) mereka mengalami kesulitan untuk membedakan antara
preferensi dan emosi mereka sendiri atau orang lain dalam konteks sosial; (3) mereka
mengalami kesulitan dalam menghubungkan perilaku mereka sendiri dan situasi sosial dan
lingkungan; (4) mereka mengalami kesulitan memahami pikiran dan perasaan diri sendiri dan
orang lain dan sebagainya. Dia merangkum berbagai teori dalam ulasannya dan disimpulkan
bahwa ada perbedaan dalam tingkat kesadaran diri (kecuali pada tingkat unconcious), tapi
perbedaan ini terutama terjadi pada domian psikologis (tapi tidak fisik).

KARAKTERISTIK UTAMA ASD DAN DAMPAKNYA PADA KONSEP DIRI

Kanner (1943) menerbitkan makalah penelitian pertama tentang autisme. Beberapa tahun
kemudian, Hans Asperger melaporkan beberapa kasus dengan fungsi yang lebih baik dengan
gejala yang sama. Istilah asli autisme berasal dari kata Yunani, yang berarti "diri" (Elmose,
2016). Pada kedua deskripsi Kanner dan Asperger tentang kasus ASD awal mereka,
keduanya membahas perbedaan dalam konsep diri dalam kasus aslinya (Elmose, 2016).
Penelitian selanjutnya dari berbagai sumber (termasuk deskripsi klinis, otobiografi, laporan
sendiri, dan laporan orang tua) juga menyarankan bahwa perbedaan kesadaran diri mungkin
dikaitkan dengan muncunya kesulitan individu ASD sehai-hari. Bagian berikut menjelaskan
masalah utama individu dengan ASD yang biasanya dihadapi dan bagaimana masalah inni
mempengaruhi diri penderita ASD.
Kesulitan dengan Transisi/Perubahan

Individu dengan ASD biasanya tidak merespon dengan baik transisi/perubahan (American
Psychiatric Association, 1994). Individu dengan ASD tumbuh seperti remaja biasa lainnya
(TD), menghadapi perubahan signifikan dalam sekolah. Perubahan lokasi, sekolah, konteks
sosial, teman sebaya, dan interaksi keluarga mungkin memiliki efek negatif pada fungsi
harian individu dengan ASD, atau pada sikap mereka terhadap situasi tertentu. Terkadang
perubahan ini bahkan bisa menjadi isu beresiko (Schreiber, 2011). Misalnya, pada masa
remaja, lingkungan fisik memiliki pengaruh yang lebih besar dan lebih kompleks (mis.,
ukuran bangunan dan pilihan kelas bila dibandingkan dengan sekolah dasar) dan hubungan
sosial yang lebih kompleks. Karena memiliki gangguan domain sosial dan komunikasi,
mereka akan kesulitan menangani masalah sosial (mis., sulit dalam berteman dan
mempertahnkan huubungan pertemanan) lebih jelas dalam kelompok ini selama masa remaja
daripada masa kanak-kanak. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa tekanan emosional
(mis., kesepian, kegelisahan, dan depresi) berhubungan dengan penyesuaian sosial dan atau
isolasi sosial pada remaja dengan ASD (Attwood, 1998; Gillott et al., 2001; Bauminger dkk ,
2003). Tidak dapat dipungkiri, masalah emosional ini berdampak negatif terhadap citra diri
mereka (Peterson et al., 1984).

Defisit Gabungan Perhatian, Bahasa, dan teori deficit Pikiran

Defisit gabungan dari perhatian, bahasa, dan kemampuan komunikasi sosial merupakan
tantangan yang dihadapi oleh individu dengan ASD yang dapat menyebabkan kesulitan
dalam hubungan sosial dan hubungan dengan sesama. Umumnya, individu dengan ASD tidak
mahir dalam menggunakan bahasa sebagai alat saat memperlihatkan perilaku dan emosi
(Rubin and Lennon, 2004), yang dapat menyebabkan situasi sosial yang tidak nyaman dan
nyaman saat berinteraksi. dengan orang lain, dan secara signifikan menyebabkan komunikasi
sosial yang tidak efektif dalam populasi ini. Selain itu, individu dengan ASD mengalami
kesulitan dalam keadaan emosional dan mempertimbangkan penyebab penyebabnya,
memulai dan mempertahankan pertukaran percakapan, memahami kepentingan orang lain
dan pengetahuan sebelumnya yang ada (Rubin dan Lennon, 2004), yang mungkin
menimbulkan dugaan tentang orang lain. Lebih jauh lagi, keterampilan mengatasi masalah
sosial yang buruk menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengenali dan memperbaiki
perubahan ini (Rubin dan Lennon, 2004), atau secara tidak tepat merasakan reaksi emosional
orang lain (yaitu, teori defisit pikiran terjadi kegagalan memahami perspektif orang lain
dalam interaksi situasional sehari-hari; Baron-Cohen, 1995; Schreiber,2011).

Perlu dicatat bahwa individu dengan ASD juga berjuang dengan mengekspresikan dan
mengkomunikasikan pemikiran dan emosi mereka sendiri (Dritschel et al., 2010). Teman,
keluarga, dan pegawai sekolah mungkin tidak secara jelas memahami pesan mereka, yang
mungkin berakibat pada respon yang tidak memuaskan, dan akhirnya diikuti oleh isolasi
sosial. Offer et al. (1981) percaya fungsi seseorang dalam berbagai domain sosial dan
psikologis mencerminkan citra diri seseorang, sehingga isolasi sosial bisa mencerminkan
citra diri negatif dalam populasi ini. Kurangnya permainan yang sesuai usia dan defisit dalam
komunikasi sosial (Baron-Cohen, 1997) dapat menyebabkan rekan-rekan mereka memandang
individu-individu ini sebagai individu tidak cerdas, penyendiri, atau aneh (Craig dan Baron-
Cohen, 1999). Selain itu, peneliti telah menemukan bahwa mediasi verbal (yaitu, ucapan
dalam hati) pada individu dengan ASD bersifat atipikal dibandingkan dengan rekan-rekanya
yang memiliki pekembangan normal (Lidstone et al., 2009; Williams dan Jarrold, 2010;
Williams et al., 2012). Menurut teori pengaruh di tahun 1913/1987 oleh Vygotsky,
kemampuan seseorang untuk "memikirkan apa yang dibicarakan" (yaitu, ucapan dalam hati,
atau internal self-talk) adalah hal yang penting untuk mengatur tingkah lakunya sendiri, tanpa
kehadiran individu lainnya (Morin, 2005; Williams et al., 2012). Peneliti percaya
perkembangan atipikal “inner speech atau ucapan dalam hati” pada individu dengan ASD
mencegah mereka mengatur perilaku mereka sendiri dibawah berbagai konteks sosial
(Williams et al., 2012). Kesimpulan, defisit dalam domain yang disebutkan di atas mungkin
memiliki dampak negatif mengenai persepsi diri pada populasi ini.

Penalaran Abstrak

Solomon et al. (2011) menemukan bahwa individu dengan ASD juga menunjukkan kesulitan
dengan penalaran abstrak. Penalaran abstrak didefinisikan sebagai "elemen fungsi eksekutif
yang membutuhkan pertimbangan dan manipulasi informasi tentang kejadian, objek, dan
konsep yang tidak ada dilingkungan mereka "(Solomon et al., 2011, hal 32). Penalaran
abstrak termasuk identifikasi konsep dan formasi. Individu yang kesulitan dalam penalaran
abstrak juga cenderung mengalami kesulitan dalam memahami maksud dari tindakan yang
mereka amati. Karena interaksi sosial sering dibentuk dengan cara meniru dan menirukan
orang lain, jika mereka gagal menunjukkan atau terlibat secara tepat, kualitas hubungan
interpersonal mereks tidak mungkin untuk berkembang (Solomon et al., 2011). Defisit dalam
aspek pragmatis bahasa juga ditemukan terkait dengan kesulitan dalam penalaran abstrak
dalam populasi ini (Solomon et al., 2011). Singkatnya, defisit penalaran abstrak memiliki
dampak negatif pada fungsi sosial pada individu dengan ASD. Fungsi individu dalam
berbagai sosial dan psikologis domain mencerminkan kesadaran diri seseorang (Offer et al.,
1981), gangguan penlaran abstrak mungkin memiliki dampak negatif pada kesadaran diri
individu dengan ASD.

Pemahaman mengenai Persahabatan

Persahabatan sangat penting bagi perkembangan manusia. Hal ini merupakan variabel
penting dalam pertumbuhan moral, sosial, dan emosional. Persahabatan, keakraban-
kepercayaan, dan kasih sayang adalah tiga fungsi dasar persahabatan, yang juga memisahkan
teman dari bukan teman pada anak dan remaja (Parker dan Gottman, 1989; Buhrmester,
1990). Kualitas persahabatan berhubungan langsung dengan perasaa individu: persahabatan
sehat juga berfungsi sebagai fakto pelindung dari berkembangnya psikopatologi (Solomon et
al., 2011).

Individu dengan ASD cenderung mengalami kesulitan dalam mengkonseptualisasi atau


mlakuan verbalisasi pemahaman mereka tentang apa yang dimaksud dengan teman atau
masalah yang berkaitan dengan persahabatan (Carrington et al., 2003). Ini penting untuk
dicatat bahwa para pemuda dengan ASD cenderung terlibat dalam persahabatan yang berbeda
dalam durasi, frekuensi pertemuan, dan jenis kegiatan yang mereka nikmati bersama
dibandingkan dengan rekan-rekannya yang dapat berkembang dengan normal (Bauminger
dkk.,2008). Solomon et al. (2011) menemukan bahwa ada berbagai tingkatan defisit fungsi
sosial pada individu dengan ASD membatasi hubungan mereka, akibatnya dapat membatasi
interaksi sosial yang sehat dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan masalah emosional
seperti kecemasan sosial, depresi, kesepian (Attwood, 1998; Gillott et al., 2001) dan isolasi
sosial (Bauminger et al., 2004). Masalah sosial dan emosional dapat berdampak negatif
terhadap kesehatan mental dan rasa percaya diri pada individu dengan ASD.

Defisit dalam Komunikasi Timbal Balik Sosial

Karena kurangnya pengalaman sosial dan teori mengenai defisit dalam berpikir yang
disebutkan sebelumnya, individu dengan ASD cenderung memiliki kesulitan besar dalam
memahami kompleksitas komunikasi timbal balik sosial. Hal ini dapat menyebabkan
kesalahpahaman sikap orang lain terhadap diri mereka sendiri pada individu dengan ASD.
Misalnya, biasanya, ketika seseorang menyadari bahwa orang lain memiliki sikap negatif
terhadap diri sendiri, ini akan berdampak negatif pada konsep diri seseorang; Namun, jika
seseorang tidak sadar atau bahkan mengetahui hal itu sebagai sikap positif, ini bisa
membatasi motivasi seseorang untuk melakukan perbaikan diri secara signifikan (Dritschelet
al., 2010).

Singkatnya, kesadaran diri adalah pengalaman individu sehingga akan berbeda pada semua
orang. Pemahaman konsep diri dapat sangat banyak pada individu dengan ASD karena sifat
heterogen dari kondisi tersebut. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tingkat perilaku kognitif dan
perilaku adaptif mereka.

Review Literatur Tentang Konsep Diri Pada Individu Dengan ASD

Sejumlah penelitian yang telah berfokus pada perkembangan konsep diri pada anak atau
remaja dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Namun, penelitian tentang topik yang sama
melibatkan individu denga kelainan tertentu masih terbatas. Secara khusus, penelitian tentang
sistem konsep diri yang melibatkan anak-anak atau remaja denganASD masih jarang.

Kriteria Inklusi

Penelitian yang dipilih untuk ulasan ini mencakup artikel dan buku jurnal (atau bab buku)
bahwa: (a) penelitian kualitatif atau skala besar yang mengeksplorasi studi kuantitatif yang
melibatkan individu dengan ASD dan sistem konsep diri; (b) Rivew dari literatur yang
melibatkan individu dengan ASD dan sistem konsep diri; (c) diterbitkan antara tahun 1980
sampai 2017 dijurnal atau buku yang diulas sejawat di bidang ASD (mis., Autisme, Fokus
pada Autisme dan Kelainan Perkembangan Lainnya, dan Journal of Autism and
Developmental Disorders, dll.), psikologi (misalnya, Perkembangan Anak dan Jurnal
Amerika Utara) Psikologi dan Jurnal Psikologi Anak dan Psikiatri), dan psikiatri (mis.,
Pengembangan dan Psikopatologi dan British Journal of Psychiatry), atau bidang terkait
kelainan lainnya (misalnya Journal of Developmental and Physical Disabilities and Jurnal
Penyandang Cacat).
Prosedur

Artikel dan buku ditemukan dengan mencari serangkaian database online (PsycINFO, ERIC,
InfoTrac, ProQuest, PubMed, dan google scholar, dll) dengan menggunakan ASD atau
Asperger syndromes (AS) dan salah satu kata kunci berikut masing-masing: diri, citra diri,
pemahaman diri, harga diri, kesadaran diri, atau self-efficacy, dll. Setelah artikel ditemukan,
penulis akan mengambil sebuah langkah awal untuk menentukan apakah relevan dan sesuai
untuk topik ini sebelum dipilih untuk digunakan dalam tinjauan.

Tiga Dimensi Sistem Konsep Diri

Sistem konsep diri adalah konsep kompleks yang melibatkan "banyak pengertian diri
"(Zahavi, 2010, hal 548). Saat menyelidiki "karakter multifaset diri," seseorang harus bisa
memberi tahu perbedaan antara "jenis kesadaran diri," dan mengerti "Bagaimana mereka
berhubungan satu sama lain" (Zahavi, 2010, hal 549). Secara umum, penelitian saat ini di
lapangan terutama mengeksplorasi individu dengan ASD dari salah satu dari tiga dimensi
berikut: dimensi experiential, dimensi interpersonal dan dimensi naratif (Zahavi, 2010).

Penelitian awal bertujuan untuk mengidentifikasi kelainan umum mengenai pengalaman dan
pemahaman konsep diri pada individu dengan ASD. Dalam kerangka kerja ini, mekanisme
yang mengakses pikirannya sendiri sama seperti mekanisme untuk memahami keadaan
mental orang lain, teori mediasi yang sama berlaku untuk diri sendiri dan orang lainnya
(Carruthers dan Smith, 1996; Frith and Happé, 1999). Misalnya, peserta dengan diagnosis
ASD diminta melengkapi protokol standar untuk memeriksa kinerjanya pada tugas tertentu,
maka perbandingan akan dilakukan dengan membandingkan dengan rekan kerja lainnya yang
diberi tugas yang sama untuk melihat bagaimana kedua kelompok tersebut tampil berbeda.
Namun, pendekatan ini telah dikritik baru-baru ini karena temuan penelitian yang
bertentangan (Zahavi, 2010). Misalnya, dalam publikasi Baron-Cohen (1989) sebelumnya,
dia percaya bahwa anak autis buta akan pikirannya dan hanya memilki sedikit kesadaran akan
keadaan mental mereka sendiri; Tapi kemudian di kemudian hari dia bekerja, dan bahwa
anak-anak dengan autisme klasik sangat fokus pada diri sendiri (Baron-Cohen, 2005).

Penelitian yang lebih baru, di sisi lain, mengambil alih metode dimensi interpersonal yang
menargetkan defisit spesifik yang terkait kosep diri (Zahavi, 2010). Secara teknis, ini
mengacu pada dimensi diri yang pada dasarnya tercermin atau dimediasi melalui perspektif
orang lain. Dengan kata lain, ini berfokus pada "kapasitas untuk memahami dan mengadopsi
perspektif evaluatif dari orang lain pada diri sendiri, "dan" sejauh itu, gangguan pada
keterlibatan interpersonal akan memiliki konsekuensi untuk perkembangan selanjutnya dari
berbagai aspek diri "(Zahavi, 2010, hal. 550). Misalnya, seperti yang disebutkan sebelumnya,
bila individu dengan ASD menunjukkan penurunan dalam mengenali orang lain. Ekspresi
wajah (yaitu, keadaan emosional), dia tidak akan tahu bagaimana merespon secara tepat agar
sesuai dengan situasi sosial, yang mana dapat mengakibatkan penolakan dari teman
sebayanya (Bauminger et al., 2003). Kegagalan sosial yang berulang dikaitkan dengan
masalah emosional seperti kecemasan atau depresi (Bauminger et al., 2003). Ini pasti
memiliki dampak negatif terhadap perkembangan diri pada individu dengan ASD
Pendekatan ketiga difokuskan pada dimensi naratif dari konsep diri. Pada dasarnya, menurut
pendekatan naratif, informasi tentang diri dikumpulkan melalui narasi diri, dari mana kita
bisa mensintesis "aspek kehidupan yang beragam dan heterogen" dan mengkoordinasikan
"dimensi temporal yang berbeda," serta menetapkan "jaringan hubungan semantik yang
menghubungkan kejadian masa lalu, sekarang dan masa depan menjadi bermakna "; Konsep
Diri secara naratif mencakup pendapat dari orang lain, seperti "kisah hidup setiap individu
selalu terjalin dengan cerita orang lain "(Zahavi, 2010, hal 551). Bila pendekatan ini
digunakan untuk mengeksplorasi diri pada individu dengan ASD, suara mereka sendiri bisa
terdengar lebih baik.

Singkatnya, ketiga dimensi itu adalah pendekatan yang bisa dilakukan untuk menganalisa
berbagai aspek sistem diri pada individu dengan ASD dari perspektif filosofis. Mereka saling
terkait, dan individu dengan ASD dapat mengalami gangguan selektif. Bagian berikut
memberikan ulasan singkat tentang literatur yang ada mengenai berbagai aspek diri yang
melibatkan individu dengan ASD menggunakan tiga pendekatan di atas.

Pendekatan Dimensi Experiential

Capps dkk. (1995) melibatkan studi komparatif pertama yang meneliti hubungan antara
kompetensi diri yang dirasakan (yaitu persepsi diri terhadap nilai dan kehebatan pribadi),
kemampuan kognitif, pemahaman tentang keadaan emosional, dan laporan orang tua tentang
adaptasi sosial pada 18 remaja dan remaja dengan autisme yang berfungsi penuh (HFA) dan
20 rekan perbandingan. Para peserta diminta untuk melengkapi Kompetensi yang Diperoleh
untuk Anak-anak (SPPC, Harter, 1985) dan untuk mengidentifikasi keadaan emosional yang
disajikan kepada mereka. Selain itu, orang tua anak-anak dengan HFA diminta untuk
melengkapi Skala Adaptif Behaviour Vineland (Sparrow dan Cicchetti, 1989) untuk
mengetahui kompetensi sosial dan adaptif anak mereka dalam empat hal berikut: komunikasi,
keterampilan hidup sehari-hari, sosialisasi, dan keterampilan motorik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan peserta dengan HFA menganggap
diri mereka kurang kompeten dibandingkan rekan sebanding mereka kecuali domain kognitif.
Ketika berkorelasi dengan IQ, hasil menunjukkan bahwa, pada kelompok HFA, peserta
dengan IQ scores yang lebih tinggi tampaknya menganggap diri mereka kurang kompeten
dalam domain sosial daripada mereka yang memiliki nilai IQ lebih rendah, namun memiliki
pemahaman yang lebih baik mengenai emosi pada diri sendiri dan orang lain. Namun, dalam
kelompok perbandingan, IQ ditemukan berkorelasi positif dengan kompetensi kognitif namun
tidak untuk domain sosial mereka. Laporan dari orang tua menunjukkan bahwa pada
kelompok HFA, peserta dengan IQ yang lebih tinggi memperlihtkn bahwa kurangnya
kompetensi sosial tidak berpengaruh pada tekanan emosional, seperti kesedihan atau
ketakutan, daripada orang yang memiliki IQ lebih rendah namun merasakan kompetensi
sosial yang lebih besar. Peneliti menyimpulkan bahwa peserta HFA dengan IQ lebih tinggi
yang lebih mampu memahami emosi mungkin memiliki kesadaran diri yang lebih besar yang
memungkinkan mereka melihat perbedaannya (mis., keterbatsan sosial) antara mereka dan
teman sebayanya.
Penelitian selanjutnya yang berusaha untuk meniru penelitian di atas menemukan hasil
sedikit berbeda. Vickerstaff dkk. (2007) juga menggunakan SPPC untuk menyelidiki persepsi
diri mereka tentang keterbatasan sosial dan hubungan antara defisit sosial yang dirasakan
sendiri dan depresi pada 22 anak dan remaja dengan HFA. Hasilnya juga dikonfirmasi Capps
dkk. (1995) menemukan bahwa semakin tinggi IQ peserta, mereka aka merasakan tingkat
kompetesi sosial yang lebih rendah, dan begitu pula sebaliknya. Namun, ada perbedaan
penting yang muncul pada peserta dengan IQ yang lebih tinggi yang merasakan kompetisi
sosial yang lebih rendah dirasakan sebenarnya melaporkan tingkat gejala depresi yang lebih
tinggi, berbeda dengan penelitian awal yang dilaporkan oleh orang tua dimana gejala depresi
lebih sedikit pada peserta HFA dengan IQ lebih tinggi (Capps et al, 1995). Para peneliti
beralasan bahwa sebuah kenaikan dalam kesadaran akan defisit komunikasi sosial mereka
sendiri (mis., tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia sosial rekan mereka) dan
ketidakmampuan mereka untuk memperbaiki situasi sosial ini dapat berkontribusi pada
berkembangnya gangguan emosional seperti itu termasuk gejala depresi dan kecemasan.
Vickerstaff dkk. (2007) juga menekankan bahwa kompetensi sosial yang dirasakan anak
sendiri yang berhubungan dengan depresi, bukan tingkat aktual kompetensi sosial mereka
yang dinilai oleh orang tua dan guru mereka.

Untuk memeriksa pemahaman tentang keadaan mental pada remaja dengan AS, Dritschel al.
(2010) membandingkan 22 peserta dengan AS dan jumlah yang sama teman sebaya mereka .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja dengan AS memiliki lebih banyak kesulitan
dalam aspek fungsi sosial ini daripada teman sebaya atau orang dewasa dengan AS. Secara
khusus, karena keterbatasan keterampilan dan kesulitan mereka dalam memahami diri
sendiri, remaja dengan AS cenderung "melebih-lebihkan kompetensi sosial masyarakat "(hal
517). Misalnya, remaja dengan AS akan berkonsultasi "membandingan orang untuk tahu
lebih banyak tentang keadaan mental batin mereka sendiri dari pada diri mereka sendiri
"(halaman 515), menunjukkan "identitas diri mereka dengan kesulitan sosial "(halaman 517),
dan dapat menyebabkan masalah emosional seperti depresi dan kecemasan. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang ada (Attwood, 1998; Gillott et al., 2001; Bauminger dkk., 2003).

Sebuah studi Jepang baru-baru ini (Yoshimura dan Toichi, 2014) menghasilkan temuan
serupa. Mereka memeriksa kesadaran diri (sejenis kesadaran diri) pada 18 remaja dengan AS,
19 dengan PDD-NOS dan 19 peserta dengan perkembangan tipikal sebagai kelompok kontrol
dengan menggunakan tugas memori (yaitu, efek referensi diri). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keduanya pada kelompok PDD-NOS dan kelompok kontrol melakukannya dengan
sangat baik, namun kelompok AS tidak. Para peneliti menemukan bahwa kedua kelompok
ASD (yaitu, PDDNOS dan AS) menunjukkan pola hubungan atipikal antara kinerja memori
dan IQ. Berdasarkan hasilnya, para periset percaya bahwa tidak seperti individu dengan AS,
individu dengan PDDNOS mungkin memiliki tingkat kesadaran diri yang sama dengn teman
sebaya mereka dengan perkembangan tipkal. Namun, mungkin karena proses kognitif unik
mereka (mis., sadar dari apa yang terjadi di sekitar mereka tapi tidak dapat mengatur
perilaku sendiri), cara menjadi sadar diri dalam kelompok ini tampak bersifat atipikal, yang
menyebabkan gangguan sosial serupa yang dialami oleh kelompok AS. Para peneliti juga
melihat hubungan antara gangguan kejiwaan dan tingka kesadaran diri pada ASD. Seperti
diketahui pada umumnya (misalnya, Mazurek dan Kanne, 2010), IQ yang lebih tinggi dari
seseorang dengan ASD akan memiliki semakin banyak wawasan dan kesadaran diri akan
defisit dalam tiga hal area inti (yaitu domain sosial, komunikasi, dan perilaku), yang bisa
menyebabkan kecemasan / depresi. Jadi, tidak mengejutkan bahwa individu dengan ASD
yang memiliki nilai fungsi tinggi akan banyak menderita gejala kecemasan/depresi yang lebih
banyak dibanding mereka dengan nilai fungsi yang lebih rendah.

Demikian pula, Elmose dan Happé (2014) memeriksa keakuratannya dengan menilai kinerja
memori sendiri sebagai respon terhadap rangsangan sosial vs nonsosial pada sekelompok
anak dengan ASD dibandingkan dengan kelompok anak dengan perkembangan typical (atau
TD). Hasilnya menunjukkan tingkat dan pola akurasi yang sebanding pada ASD dan TD,
dengan kelompok ASD lebih akurat dalam menilai memori dirinya sendiri untuk rangsangan
non-sosial daripada rangsangan sosial, dan sebaliknya untuk kelompok TD.

Schriber dkk. (2014) meneliti kepribadian dan wawasan diri pada individu dengan ASD.
Mereka membandingkan Self Report Lima karakter kepribadian besar pada orang dewasa
dengan ASD dan TD pada anak-anak/remaja. Hasil menunjukkan bahwa perbedaan
kepribadian antara individu ASD dan TD (1) terbukti pada anak-anak/remaja dan dewasa; (2)
serupa untuk pria dan wanita; (3) ditemukan melalui laporan dari diri mereka sendiri dan
orang tua. Dibandingkan dengan mereka yang berusia sama dengan TD, individu dengan
ASD cenderung lebih bersifat pencemas dan kurang berfokus pada orang lain,
menyenangkan, teliti dan terbuka akan pengalaman. Peneliti juga menemukan bahwa jalur
genetik ini memprediksi diagnosis ASD dengan baik. Para peneliti juga menilai tingkat
wawasan diri pada kedua kelompok ini dengan memeriksa perbedaan dalam kesepakatan self-
agreement dan self-enhancement (vs self-enhishment) (dalam protokol kepribadian yang
disebutkan di atas) dengan membandingkan data yang dikumpulkan melalui laporan sendiri
dan laporan orang tua mereka. Penelitian ini gagal menemukan perbedaan yang signifikan
dalam self insight. Hasil menunjukkan bahwa walaupun individu dengan ASD memiliki
tingkat pemahaman yang sama terhadap self-other agreement dengan kelompok kontrol TD,
individu dengan ASD memiliki kecenderungan untuk meningkatkan daya Tarik dirinya
sendiri, sementara individu TD cenderung menguranginya.

Pendekatan Dimensi Interpersonal

Dalam sebuah penelitian yang meneliti hubungan antara penerimaan sosial, masalah perilaku
internalisasi dan eksternalisasi, keterampilan sosial dan persahabatan yang dirasakan, Viecili
dkk. (2010) mengumpulkan data dari 40 anak-anak dan remaja autis melalui laporan sendiri,
dimana orang tua diwawancarai atas jumlah teman yang mereka miliki. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerimaan sosial secara positif berkorelasi dengan keterampilan sosial
dan jumlah teman di sekolah dan berkorelasi negatif dengan masalah perilaku internal
termasuk kegelisahan, depresi, atau rendahnya harga diri. Konsisten dengan penelitian
sebelumnya, temuan ini menunjukkan bahwa penerimaan sosial yang lebih besar juga
memiliki dampak positif pada penderita dengan gangguan perkembangan termasuk autisme
(Weisset al., 2003).
Penelitian lain bertujuan untuk mengukur persepsi masalah sosial dan perilaku adaptif pada
anak-anak dan remaja dengan autism dimana temuan terbilang agak berbeda. Barnhill dkk
(2000) menggunakan Behavior Assessment System for Children (BASC, Reynolds dan
Kamphaus, 1992) untuk menyelidiki perbedaan persepsi antar orang tua (parent rating scale),
guru (skala penilaian guru), dan siswa sendiri (self-report of personality). 20 individu dengan
AS berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasilnya mengungkapkan bahwa ada perbedaan
persepsi yang signifikan antara orang tua dan guru di sebagian besar sub-domain. Secara
umum, orang tua melaporkan masalah mental, emosional, dan perilaku yang berat pada anak
mereka. Guru melaporkan serupa tapi gejalanya jauh lebih berat. Hasilini juga menunjukkan
persepsi individu dengan AS berbeda antara orang tua dan guru '. Siswa sendiri tidak sadar
mengalami masalah ini (mis., mereka menganggap diri mereka demikian mirip dengan rekan
kerja, atau tanggapan mereka berada dalam kisaran rata-rata) dan masih merasa positif
tentang kemampuan sosial mereka secara umum. Peneliti menyimpulkan bahwa anak-anak /
remaja dengan AS kurang memiliki kesadaran diri atau menolak terhadap kecacatan mereka.
Mazefsky dkk. (2011) mengemukakan meskipun hal tersebut dilaporkan sendiri oleh individu
dengan ASD namun mampu memberikan informasi berharga sampai batas tertentu, pekerja
profesional yang memeriksa populasi ini seharusnya tidak terlalu mengandalkan instrumen
pemeriksaan yang berdasarkan laporan sendiri untuk pengambilan keputusan, lebih baik
digabungkan dengan pendekatan pengumpulan data lainnya seperti observasi atau laporan
orang tuu dan atau laporan guru, untuk mendapatkan pandangan yang lebih obyektif.

Pendekatan self-narrative

Bagian ini mengulas beberapa penelitian dengan menggunakan pendekatan self-narrative


untuk memeriksa individu dengan ASD. Lee dan Hobson (1998) menggunakan Damon dan
Harter's Self-Understanding Interview (atau SUI, 1988) untuk mengukur konsep social diri
pada anak-anak dan remaja dengan autisme dan kecacatan intelektual (ID). Hasil dari SUI
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan teman sebayanya, partisipan dengan autisme
cenderung tidak banyak membicarakan pengalaman sosial mereka; bagaimanapun, mereka
mampu menggambarkan diri mereka secara sempurna secara fisik, aktif, dan bahkan istilah
psikologis sekalipun. Peneliti berhipotesis bahwa individu tampaknya kurang peduli dengan
isu-isu hubungan sosial dan interaksi dengan orang lain. Ini ditunjukkan dari beberapa
individu dengan ASD mungkin memiliki gangguan selektif psikologis atau interpersonal,
yang juga disebut defisit pikiran yang mencegahnya memahami defisit sosial mereka sendiri
(Baron-Cohen, 1995). Williams (2010) percaya individu dengan ASD akan menerapkan
sebuah alternatif, mekanisme kompensasi untuk membantu diri mereka sendiri memahami
keadaan mental mereka sendiri atau orang lain saat mereka memiliki sebuah teori defisit
selektif, misalnya, dengan menghafal aturan sosial atau perilaku.

Farley dkk. (2010) mereplikasi penelitian di atas. Mereka memodifikasi Damon dan Harter's
interview (1988) dan fokus pada narasi dari 16 remaja dengan HFA atau AS dan kelompok
pembanding dengan perkembangan tipikal, yang bertujuan untuk menguji kemampuan
mereka untuk mengkonseptualisasikan diri melalui persepsi yang lain. Para peserta diminta
untuk mengkonseptualisasikan diri mereka dari perspektif orang lain. Hasil menunjukkan
meski tidak ada perbedaan kemampuan yang signifikan untuk mengkonseptualisasikan diri
dalam kategori continuity dan distinctiveness, kelompok ASD mengalami lebih banyak
kesulitan dalam konseptualisasi dibidang agency, yang didefinisikan sebagai " informasi,
pengaruh, dan kontrol diri "(Farley et al.,2010, hal. 526). Para peneliti berpendapat bahwa
hanya aspek-aspek tertentu saja pada individu dengan ASD terganggu, dan seharusnya
diperiksa secara terpisah untuk memahami kekuatan dan kebutuhan individu dengan ASD.

Dalam sebuah peneltian terbaru yang meneliti kemampuan self presentation anak dan remaja
yang memiliki fungsi tinggi dengan ASD (Scheerenet al., 2010), para peserta diminta untuk
menggambarkan diri mereka sendiri dua kali, pertama tanpa arah dari penonton (dalam kasus
ini, penontonnya adalah para peneliti) sebagai kondisi dasar saat itu dengan preferensi dan
tuntutan penonton sebagai panduan arah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta
dengan ASD dan kelompok pembanding cenderung memberikan gambaran yang lebih positif
tentang diri mereka di bawah kondisi terarah. Namun, kelompok ASD nampaknya kurang
terampil dalam merespons arahan penonton, dibandingkan dengan kelompok pembanding.
Para peneliti beralasan bahwa ini mungkin akibat dari teori defisit pikiran mereka atau
kecenderungan mereka untuk secara kaku mematuhi peraturan moral dan sosial.

KESIMPULAN

Kesimpulannya, tinjauan literatur di atas telah menunjukkan dengan jelas bahwa terlepas dari
temuan penelitian yang berbeda, ada konsensus di antara kedua peneliti bahwa ada gangguan
pada diri psikologis individu dengan ASD. Beberapa peneliti percaya karena adanya
gangguan sosial dan gangguan komunikasi serta teori deficit pikiran, individu dengan ASD
umumnya memiliki kesadaran yang terbatas tentang diri mereka sendiri dan orang lain.
Peneliti lain berpendapat bahwa mereka memiliki gangguan selektif daripada gangguan
global dalam diri mereka (Zahavi, 2010). Dengan kata lain, mereka percaya bahwa
gangguannya biasanya terletak pada aspek fungsi tertentu pada individu dengan HFA atau
AS. Misalnya, bila dibandingkan dengan rekan mereka yang memiliki perkembangan
selektif, remaja dengan HFA atau AS relatif lemah dalam kemampuan mereka untuk secara
akurat terlibat dalam persepsi diri didomain sosial-emosional (Farley et al., 2010). Mereka
juga memiliki kesulitan untuk memahami keadaan diri sendiri dan orang lain, dan cenderung
merasa positif tentang diri mereka sendiri (misalnya Barnhill et al., 2000; Scheeren et al.,
2010). Contoh lainnya adalah ketika memeriksa kemampuan konseptualisasi diri mereka,
individu dengan ASD memiliki kesulitan mengkonseptualisasikan hubungan pribadi, dan
tidak dapat memahami konsep sosial dan interpersonal tertentu seperti persahabatan
(Bauminger et al., 2004).

Penelitian juga menemukan bahwa banyak individu ASD dengan fungsi tinggi yang memiliki
IQ lebih tinggi mungkin menyadari defisit sosial mereka, namun tidak dapat mengatasinya
dengan tepat (Cappset al., 1995; Vickerstaff et al., 2007; Supplementary Table 1).
Karakteristik dan mekanisme diri sendiri pada individu dengan ASD akan memungkinkan
tersedianya layanan intervensi untuk membantu populasi ini mengatasi tantangan dalam
hidup (Elmose, 2016). Misalnya, wawasan dari penelitian dalam topik ini mungkin dapat
menyoroti perkembangan program intervensi yang efektif untuk memperbaiki defisit
komunikasi sosial dalam populasi ini. Pelatihan keterampilan sosial sistematis yang
menargetkan sesuatu yang spesifik dapat ditawarkan kepada individu-individu dengan ASD
untuk meningkatkan kompetensi diri mereka dan pada akhirnya pada kualitas hidup. Selain
itu, individu dengan ASD harus memiliki lebih banyak kesempatan untuk berlatih dibidang
keterampilan sosial (mis., melalui pemodelan dan permainan peran) dalam berbagai konteks
social dan ditawari umpan balik tentang perilaku mereka, dimana manusia biasanya
memperoleh kesadaran dan pengetahuan tentang diri sendiri dengan berinteraksi dengan
lingkungan mereka (Wehmeyer dan Shogren, 2008; Wehmeyer et al., 2010; Duff and
Flattery, 2014).

Anda mungkin juga menyukai