Anda di halaman 1dari 21

Pedoman Berbasis Bukti mengenai Pengobatan Status Epileptikus Konvulsif pada Anak

dan Dewasa: Laporan dari Guideline American Epilepsy Society

KONTEKS: Pengobatan farmakologis optimal untuk status epileptikus konvulsif dini masih
belum jelas. TUJUAN: Untuk menganalisis efektivitas, toleransi dan keamanan pengobatan
antikonvulsif pada anak dan orang dewasa dengan status epileptikus konvulsif dan untuk
mengembangkan algoritma pengobatan berbasis bukti. SUMBER DATA: Tinjauan literatur
terstruktur dengan menggunakan MEDLINE, Embase, Current Contents, dan Cochrane library
ditambah dengan daftar referensi artikel. PENELITIAN YANG DIPILIH : Percobaan acak
terkontrol mengenai pengobatan antikonvulsan untuk kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit.
EKSTRAKSI DATA: Penelitian dinilai menggunakan kriteria yang telah ditentukan dan hasil ini
digunakan untuk membentuk rekomendasi, kesimpulan, dan algoritma pengobatan berbasis bukti.
HASIL: Sebanyak 38 uji coba terkontrol acak diidentifikasi dan dinilai. Hanya empat percobaan
yang dianggap memiliki bukti keberhasilan kelas I. Dua penelitian berada dalam kelas II dan
sisanya 32 dinilai berada dalam kelas III. Pada orang dewasa dengan status epileptikus konvulsif,
midazolam intramuskular, lorazepam intravena, diazepam intravena dan fenobarbital intravena
ditetapkan efektif sebagai terapi awal (Level A). Midazolam intramuscular lebih efektif
dibandingkan dengan lorazepam intravena pada orang dewasa dengan status epileptikus konvulsif
tanpa akses intravena yang baik (Level A). Pada anak-anak, lorazepam intravena dan diazepam
intravena efektif untuk menghentikan kejang yang berlangsung minimal 5 menit (Level A)
sementara diazepam suppositoria, midazolam intramuskular, intranasal midazolam, dan
midazolam bukal mungkin efektif (Level B). Tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitas
yang telah ditunjukkan antara lorazepam intravena dan diazepam intravena pada orang dewasa
atau anak-anak dengan status epileptikus konvulsif (Level A). Gejala pernafasan dan jantung
adalah efek samping yang paling sering ditemui dan timbul terkait dengan pemberian obat
antikonvulsan intravena pada orang dewasa dengan status epileptikus konvulsif (Level A).
Presentase depresi saluran pernafasan pada pasien dengan status epileptikus konvulsif yang diobati
dengan benzodiazepin lebih rendah daripada pasien yang diobati dengan plasebo yang
menunjukkan bahwa masalah pernafasan merupakan komplikasi penting pada pasien yang tidak
diobati pada status epileptikus konvulsif (Level A). Bila keduanya tersedia, fosphenytoin lebih
disukai daripada fenitoin berdasarkan tolerabilitas, namun fenitoin adalah alternatif yang masih
dapat diterima (Level A). Pada orang dewasa, dibandingkan dengan terapi pertama, terapi kedua
kurang efektif sedangkan terapi ketiga secara substansial kurang efektif (Level A). Pada anak-
anak, terapi kedua tampak kurang efektif dan tidak ada data tentang efikasi terapi ketiga (Level
C). Bukti disintesis menjadi algoritma pengobatan. KESIMPULAN: Meskipun demikian
kurangnya uji coba terkontrol acak yang dirancang dengan baik, kesimpulan praktis dan algoritma
pengobatan terpadu untuk pengobatan status epileptikus konvulsif di seluruh spektrum usia (bayi
hingga orang dewasa) dapat disusun. Upaya secara multisenter, multinasional diperlukan untuk
merancang, melakukan dan menganalisa uji coba terkontrol acak tambahan yang bisa menjawab
banyak pertanyaan klinis yang relevan yang diidentifikasi dalam pedoman ini.
Pendahuluan
Kejang singkat didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung kurang dari 5 menit, sementara
kejang berkepanjangan berlangsung antara 5 dan 30 menit; status epileptikus didefinisikan sebagai
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit baik 1) aktivitas kejang yang berlangsung secara
kontinyu ATAU 2) adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa disertai pemulihan kesadaran
diantara kejang (1). Waktu patokan 30 menit dipilih didasarkan pada durasi status epileptikus
konvulsif yang dapat menyebabkan cedera neuron permanen (2). Karena sebagian besar kejangnya
singkat, dan sekali kejang berlangsung lebih dari 5 menit ada kemungkinan menjadi
berkepanjangan (3), protokol penanganan yang digunakan menggunakan waktu 5 menit untuk
meminimalkan risiko kejang dapat mencapai 30 menit dan hasil buruk terkait dengan intervensi
sia-sia pada kejang yang singkat dan dapat berhenti tanpa pengobatan (2,4). Pedoman ini
mengikuti konvensi dan, untuk tujuan pengobatan, menggunakan istilah status epilepticus untuk
mewakili penelitian yang melibatkan kejang berkepanjangan dan secara tradisional didefinisikan
sebagai status epilepticus.
Status epileptikus disajikan dalam beberapa bentuk: 1) status epileptikus konvulsif yang terdiri
dari kejang umum tonik-klonik berulang (GTC) dengan depresi postictal fungsi neurologi secara
terus menerus diantara kejang; 2) status epileptikus nonkonvulsif dimana kejang menghasilkan
keadaan “epileptic twilight” yang kontinyu atau berfluktuasi; dan 3) kejang parsial berulang yang
dimanifestasikan sebagai gejala motorik fokal, gejala sensorik fokal, atau gangguan fungsi fokal
(misalnya, afasia) tidak dikaitkan dengan perubahan kesadaran (epilepsi partialis continua).
Antara 50.000 dan 150.000 orang Amerika setiap tahunnya mengalami status epileptikus (5-7),
dengan angka kematian diperkirakan kurang dari 3% pada anak-anak tetapi mencapai 30% pada
orang dewasa (5, 6, 8). Tujuan dari pemberian terapi adalah penghentian baik gejala klinis maupun
aktivitas elektrikal kejang, sejak terapi status epileptikus yang sesuai dan tepat waktu dapat
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas (9). Pada akhirnya, prognosis paling kuat dikaitkan
dengan etiologi, durasi status epileptikus, dan usia pasien (10-12). Prinsip perawatan dasar keadaan
kritis dan darurat seperti terjaganya saluran pernafasan, tekanan darah, mendapatkan akses
intravena (IV), dan mengidentifikasi dan mengobati penyebab yang mendasari telah mencapai
penerimaan luas dan secara rutin diimplementasikan oleh ahli saraf dan nonneurologis. Terlepas
dari pengakuan akan kebutuhan untuk mengatasi status epileptikus sebagai keadaan darurat
perawatan kritis, tujuan terapi dan pendekatan pengobatan farmakologis status epileptikus terus
berubah drastis. Sayangnya, pasien masih mendapat perawatan yang tidak memadai karena
berbagai alas an termasuk, terapi ditujukan untuk mengurangi bukan menghentikan kejang,
penggunaan terapi yang tidak efisien seperti obat sedative dan paralitik, dan pemberian
antikonvulasi yang tidak adekuat.
Pada tahun 1993, Yayasan Epilepsi Amerika menanyakan pada dewan penasihat profesional untuk
membentuk kelompok ahli untuk mengembangkan protokol pengobatan dan pendidikan yang
menggambarkan manajemen medis terbaik saat ini untuk status epileptikus konvulsif. Konsensus
berikutnya berisi pendekatan rasional dan konsisten dari dokter (2). Selama 2 dekade terakhir,
terapi medis baru dan data percobaan klinis baru telah muncul terkait secara langsung untuk
perawatan jenis aktivitas kejang yang paling ditakuti ini. Ditambah dengan penerimaan pedoman
berbasis bukti bukan pedoman berbasis konsensus, Yayasan Epilepsi pada tahun 2004 dan
American Epilepsy Society pada tahun 2012 memulai proses evaluasi ulang literatur medis dan
pengembangan yang ada sebuah pedoman baru. Tim penulisan ini memulai aktivitasnya atas nama
Yayasan Epilepsi dan menyelesaikan tugas mereka dengan dukungan American Epilepsy Society.
Tujuan dibuatnya Pedoman dan Definisi dari beberapa istilah
Tujuan dari pedoman ini adalah untuk menyediakan jawaban berbasis bukti dari pertanyaan
efektivitas, keamanan, dan toleransi pengobatan status epileptikus konvulsif dan untuk merubah
jawaban ini menjadi algoritma pengobatan. Pedoman ini berfokus pada status epileptikus konvulsif
karena merupakan jenis status epileptikus yang paling sering ditemukan dan berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. "Efikasi antikonvulsan" adalah kemampuan obat untuk
menghentikan status epileptikus konvulsif, "Tolerabilitas" adalah "kejadian, tingkat keparahan dan
dampak" dari efek samping yang muncul terkait dengan antikonvulsan (13, 14), "keefektifan"
meliputi efikasi dan tolerabilitas antikonvulsan, dan "keamanan" mengacu pada kejadian buruk
yang mengancam jiwa.
Rekomendasi panduan ini bertujuan untuk membantu dokter diseluruh dunia memahami bukti
pengobatan pasien dengan status epilepticus yang ada. Pedomannya ditujukan untuk digunakan
oleh dokter yang praktek dirumah , rumah sakit, otoritas kesehatan, dan penyedia layanan. Kami
menyadari bahwa pedoman ini akan memerlukan pemeriksaan dan penyesuaian lokal untuk
membuatnya relevan dengan lingkungan sosial dan ekonomi dimana pedoman ini akan digunakan.
Proses ini perlu disesuaikan, yang akan penting untuk efektivitas implementasi dan akan mengarah
pada perbaikan dalam hasil klinis untuk pasien dengan status kejang konvulsif.
Lingkup Pedoman Ini
Pedoman ini akan membahas bukti mengenai pengobatan status epileptikus konvulsif. Untuk
keperluan ini, pedoman ini mempertimbangkan penggunaan penelitian yang mendaftarkan subjek
yang mengalami kejang dengan durasi minimal 5 menit. Analisis pedoman itu disajikan menurut
umur subjek (subjek dewasa, subjek anak), karena penelitian berfokus baik pada subjek dewasa
atau anak. Algoritma pengobatan ini tidak spesifik digunakan pada usia tertentu sejak 1)
patofisiologi kejang berkepanjangan dan status epileptikus dan 2) efek obat antikonvulsan pada
reseptor neuron sama saja antara bayi dan orang dewasa, sehingga memungkinkan pendekatan
terpadu untuk semua pasien yang lebih tua daripada neonatus Isu berikut tidak diteliti dalam
pedoman ini : berbagai definisi status epilepticus, pengobatan status epileptikus refrakter,
pengobatan status epileptikus pada neonatus, penggunaan antikonvulsan secara kronis, terapi
spesifik etiologi (mis., untuk malaria serebral), peran berbagai tes diagnostik (mis., EEG, CT,
MRI) untuk pasien dengan status epileptikus, peran pembedahan pada epilepsi, neurostimulasi,
atau diet ketogenik dalam pengobatan pasien dengan status epilepticus. Ada parameter praktik
klinik Neurologi pada evaluasi diagnostic anak dengan status epileptikus (15). Variabilitas biaya
antikonvulsan membuatnya pedoman ini sulit untuk memasukkan isu-isu hemat biaya dan analisis
ekonomi terkait. Namun, kami begitu menyadari bahwa ketersediaan biaya dan parameter
formularium praktis yang memodifikasi pemilihan terapi antikonvulsan awal. Pedoman ini tidak
boleh dianggap kaku. Sebaliknya, pilihan terapi pada akhirnya harus mencakup pertimbangan dari
data klinis pasien masing-masing bersama dengan ketersediaan local dan kelayakan biaya dari
berbagai pilihan pengobatan.
Metode
Metodologi yang digunakan untuk membangun guideline berbasis bukti dari pedoman ini
didasarkan pada unsur pengembangan pedoman yang digunakan oleh American Academy of
Neurology (http://www.aan.com/Guidelines/) dan Internasional League Against Epilepsi.
Metodologi ini ditentukan sebelum pencarian dilakukan. Pencarian literature dilakukan, termasuk
MEDLINE dan Current Contents, untuk artikel yang relevan yang diterbitkan antara Januari 1940
hingga September 2014 (inklusif). Selain itu, Cochrane Library (Database of Systematic Reviews,
Central Register of Controlled Study, Daftar Metodologi, Database Abstrak, Tinjauan tentang
Efek, Health Technology Assessment Database, dan Database Evaluasi Ekonomi NHS) digulirkan
secara serial (terakhir pada bulan April 2015). Studi dianggap berpotensi relevan jika mereka
mengandung istilah "status epilepticus," memeriksa efikasi anticonvulsant, keamanan,
tolerabilitas, atau cara penggunaan, dan merupakan uji coba acak terkontrol (RCT), penelitian
kohort, penelitian case control, studi observasional, seri kasus, meta-analisis, atau tinjauan
sistematis Semua bahasa disertakan. Tidak ada jenis kelamin atau batas usia diberlakukan, tapi
pencarian terbatas pada subjek manusia. Tidak ada penelitian yang diterbitkan hanya karena
abstrak disertakan. Artikel dieksklusi dari analisis lebih lanjut jika terkait dengan penggunaan
antikonvulsan pada kasus non-epilepsi atau difokuskan pada mekanisme dasar antikonvulsan.
Setiap penelitian yang berpotensi relevan yang ditemukan melalui penelusuran ini dilakukan
ekstraksi untuk data spesifik, yaitu ditempatkan di meja bukti untuk analisis lebih lanjut. Panel
yang mereview terdiri dari sekelompok ahli saraf, perawat neurologi, dokter pengobatan darurat,
apoteker klinis, metodologi, dan dokter perawatan neurokrit dengan pengalaman dalam status
epileptikus dan antikonvulsan. Penelitian yang relevan dievaluasi untuk mengklasifikasi tingkat
bukti mereka menggunakan kriteria yang dirinci dalam Tabel 1. Kesimpulan dan rekomendasi
pedoman didasarkan pada kriteria yang diuraikan dalam Tabel 2. Tabel ini merupakan integrasi
dari Badan Kesehatan Amerika Serikat (16) dan Akademi Sistem penilaian neurologis (17).
Namun, dua modifikasi besar kesistem penilaian dibuat karena masalah etis dan logistik dalam
melakukan percobaan status epilepticus konvulsif :
1) Batas 10% noninferioritas antara obat uji dan komparator dianggap tepat secara klinis untuk
analisis noninferioritas dan studi superioritas yang gagal (Tabel 1).
2) Lebih sedikit penelitian level I atau II yang dibutuhkan untuk mencapai Level A atau B daripada
kondisi neurologis lainnya karena tantangan dalam melakukan penelitian randomized, controlled,
double blind, status epilepticus (Tabel 2).
Analisis tersebut membahas lima pertanyaan yang melibatkan orang dewasa/anak-anak dengan
kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit:
Q1. Antikonvulsan mana yang efektif untuk terapi awal dan terapi lanjutan?
Q2. Kejadian buruk apa yang muncul terkait dengan pemberian anticonvulsan?
Q3. Manakah golongan benzodiazepin yang paling efektif?
Q4. Apakah fosphenytoin IV lebih efektif daripada fenitoin IV?
Q5. Kapan efektivitas anticonvulsan turun secara signifikan (yaitu, setelah berapa banyak
antikonvulsan yang berbeda diberikan statusn epilepticus menjadi refrakter)?
Pedoman dan algoritma berbasis bukti yang lengkap telah ditinjau dan disetujui oleh Komite
Epilepsi Amerika. Komite Umum (anggota yang bukan bagian dari kelompok penulisan). Ini juga
ditinjau dan dikomentari oleh Dewan Kegiatan Klinis, yang komentarnya digabungkan dan
kemudian disetujui. Setelah persetujuan komite dan dewan komisaris diajukan ke Dewan Epilepsi
Amerika; dan setelah ditinjau, dikomentari, dan direvisi, maka keputusan tersebut disetujui
sebelum diajukan untuk dipublikasikan.
Hasil
Identifikasi Artikel dan Meta-Analisis/Review Sistematik
Empat strategi pencarian menghasilkan hasil berikut (semua pencarian dilakukan untuk jangka
waktu 1 Januari, 1940 sampai 30 September 2014). Untuk Pubmed, digunakan istilah berikut ini :
1) Pencarian : status epileptikus, Batasan-manusia (n = 6,953 artikel);
2) Pencarian : Status epileptikus, Batasan-manusia, percobaan klinis, uji coba terkontrol secara
acak (n = 210 artikel);
3) Pencarian : Status epileptikus DAN ((klinis [Judul / Abstrak] DAN uji coba [Judul / Abstrak])
ATAU uji klinis [Persyaratan MeSH] ATAU percobaan klinis [Tipe Publikasi] ATAU acak *
[Judul / Abstrak] ATAU alokasi acak [Ketentuan MeSH] ATAU terapeutik [MeSH Subheading]);
Batasan-manusia (n = 3.101 artikel);
4) Pencarian : Status epileptikus dan sistematis [sb]; Batasan-manusia (n = 159 artikel).
Pencarian serupa dilakukan di database lain.
Penelusuran terkomputerisasi ini terakhir dilakukan pada 9 Oktober 2014. Hasil penelitian ditinjau
untuk relevansi. Daftar referensi semua studi yang disertakan telah ditinjau untuk mengidentifikasi
studi tambahan yang relevan yang tidak diidentifikasi oleh pencarian di atas .Secara keseluruhan,
ada 38 penelitian RCT yang relevan untuk diidentifikasi. Pencarian dari Cochrane Library
menghasilkan empat penelitian meta-analisis tambahan yang lengkap dan relevan (18-21).
Perusahaan farmasi diminta mengenai data tambahan pada tiga penelitian RCT.
Q1. Anticonvulsants mana yang efektif untuk terapi awal dan terapi lanjutan?
Penelitian pada subjek pasien Dewasa
Sembilan penelitain RCT (tiga penelitian kelas I [22-24], satu penelitian kelas II [25], dan lima
penelitian kelas III [26-30]) membahas efektivitas terapi awal. Penelitian thun 1998 mengenai
status epileptikus bersifat acak multisenter membandingan empat perawatan IV yang berbeda:
lorazepam (0,1 mg/kg), diazepam (0,15 mg/kg) dilanjutkan pemberian fenitoin (18 mg/kg),
fenobarbital (18 mg/kg), dan fenitoin saja (18 mg/kg) pada orang dewasa dengan status epileptikus
overt atau subtle (22). Status epileptikus overt didefinisikan sebagai kejang GTC yang berlangsung
terus menerus selama 10 menit atau lebih, atau dua atau lebih kejang GTC tanpa pemulihan
kesadaran penuh. Pengobatan dinyatakan berhasil jika status epileptikus berhenti dalam waktu 20
menit setelah pemberian oabt dimulai tanpa kekambuhan dalam waktu 60 menit. Secara
keseluruhan, 570 pasien secara acak mendapat lorazepam (n = 146), diazepam ditambah fenitoin
(n = 146), fenobarbital (n = 133), atau fenitoin (n = 145). Perbedaan efektivitas anticonvulsan
ditemukan pada status bebas epileptikus dimana keempat pengobatan memiliki perbedaan secara
keseluruhan (p = 0,02) untuk variabel hasil primer. Hanya satu perbandingan yang memenuhi
signifikansi statistic : lorazepam lebih tinggi keberhasilannya dari fenitoin (p = 0,001). Tidak ada
perbedaan dalam analisis intent to treat (ITT) (22).
Penelitian kedua yang berada dalam kelas I pada orang dewasa (lebih dari 18 tahun) dengan status
epileptikus dimulai di luar rumah sakit oleh paramedis (23). Dalam penelitian tahun 2001 ini,
pasien diacak untuk menerima 2 mg IV lorazepam atau 5 mg IV diazepam atau IV plasebo di
ambulans. Protokol tersebut mengizinkan pengulangan dosis jika kejang berlanjut setelah 4 menit
(dosis maksimal Lorazepam s 4 mg dan diazepam 10 mg). Untuk penelitian ini, status epileptikus
didefinisikan sebagai kejang kontinyu atau kejang berulang selama> 5 menit tanpa pemulihan
kesadaran. Secara keseluruhan, 205 pasien diacak (lorazepam, n = 66; diazepam, n = 68; plasebo,
n = 71). Pengobatan dianggap berhasil jika status epileptikus telah berhenti pada saat sampai di
IGD. Baik lorazepam dan diazepam lebih tinggi keberhasilannya dari plasebo: lorazepam
(59,1%)> plasebo (21,1%) (OR, 4,8; 95% CI: 1,9-13,0) dan diazepam (42,6%)> plasebo (21,1%)
(OR, 2.3; 95% CI: 1.0-5.9) (23).
Penelitian ketiga kelas I, percobaan RAMPART 2012, adalah sebuah percobaan multisenter,
membandingan noninferioritas acak ganda midazolam intramuskular (IM) (obat uji) dengan IV
lorazepam (komparator) pada orang dewasa dan anak-anak dengan status epilepticus (24). Dosis
distandarisasi sampai 10 mg (5 mg pada anak-anak dengan berat 13-40 kg) IM midazolam atau 4
mg (2 mg pada anak-anak dengan berat 13-40 kg) IV lorazepam. Status epilepticus didefinisikan
sebagai konvulsi yang berlangsung lebih dari 5 menit yang masih tetap terjadi setelah kedatangan
paramedis. Keberhasilan terapi diartikan sebagai tidak adanya kejang tanpa terapi tambahan pada
saat kedatangan di unit gawat darurat, dengan margin noninferiority prespecified sebesar 10%.
Sebanyak 893 subjek (n = 748, berusia 21 tahun atau lebih) diacak kedalam kelompok midazolam
IM (n = 448) atau IV lorazepam (n = 445). Hasil akhir primer tercapai pada 73% subjek pada
kelompok midazolam IM dibandingkan dengan 63% pada kelompok lorazepam IV, menghasilkan
perbedaan absolut antar kelompok 10% (95% CI: 4,0-16,1), tidak hanya memenuhi persyaratan
noninferiority prespecified tetapi juga menunjukkan superioritas midazolam untuk kedua analisis
per protokol dan ITT pada pasien tanpa akses IV yang baik (24).
Sebuah penelitian kelas II pada tahun 1983 membandingkan IV lorazepam 4 mg dan IV diazepam
10 mg pada orang dewasa dengan status epileptikus konvulsif (didefinisikan sebagai kejang ≥3
GTC dalam 1 jam atau ≥ 2 berturut-turut), tidak ada status epileptikus, atau status epileptikum
parsial kompleks (25). Pasien dapat menerima dosis kedua jika kejang berlanjut setelah 10 menit.
Untuk semua pasien, fenitoin diberikan setelah 30 menit. Sebanyak 70 pasien diacak kedalam
kelompok lorazepam (n = 37) atau diazepam (n = 33) (25). Lorazepam berhasil mencapai
keberhasilan 78% setelah satu dosis dan 89% setelah dua dosis; diazepam berhasil mencapai
keberhasilan 58% subjek setelah satu dosis dan 76% setelah dua dosis. Penelitian ini menemukan
tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara lorazepam dan diazepam dalam
penghentian pengobatan setelah satu atau dua kali pemberian obat.
Lima penelitian RCT terbuka kelas III menguji efikasi asam valproat IV (n = 2) (26, 27), fenitoin
IV (n = 2) (26, 27), fenobarbital IV (n = 1) (29), IV diazepam plus fenitoin (n = 1) (29), IV
levetiracetam (n = 1) (30), diazepam suppositoria (n = 1) (28), dan IV lorazepam (n = 1) (30) pada
penelitian kohort berkisar antara 9 sampai 41 pasien. Asam valproat memiliki efektivitas yang
lebih tinggi daripada fenitoin dalam satu penelitian (asam valproat, 66%, vs fenitoin, 42%; p =
0,046) (27) dan serupa dengan fenitoin di penelitian lain (asam valproat, 87,8%, vs fenitoin, 88%)
(26).
Dua penelitian RCT, keduanya kelas III (31, 32), berbicara tentang efektivitas terapi kedua pada
orang dewasa setelah kegagalan terapi awal dengan benzodiazepin. Efektivitas asam valproat
intravena serupa dengan IV fenitoin (88% vs 84%) dalam satu penelitian (31) dan serupa dengan
diazepam lanjutan (56% vs 50%) pada penelitian kedua (32).
Setiap penelitian Veterans Affairs epilepticus memiliki pengobatan “ blind” kedua jika terapi awal
yang dilakukan tidak berhasil (22). Secara khusus, terapi lorazepam awal diikuti oleh fenitoin IV;
Fenobarbital diikuti oleh phenytoin; fenitoin diikuti oleh lorazepam; dan diazepam plus fenitoin
diikuti oleh lorazepam (22). Tidak ada perbedaan efikasi antara keempat pengobatan tersebut saat
terapi awal dan kedua yang diperiksa bersamaan (33).
Ditarik kesimpulan berikut. Pada orang dewasa, IM midazolam, IV lorazepam, IV diazepam
(dengan atau tanpa fenitoin), dan fenobarbital IV ditetapkan sebagai terapi yang efektif untuk
menghentikan kejang yang berlangsung minimal 5 menit (level A). Midazolam intramuskular
memiliki efektivitas yang lebih superior dibandingkan dengan lorazepam IV pada orang dewasa
dengan status epileptikus konvulsif tanpa akses IV yang memadai (level A). Intravena lorazepam
lebih efektif daripada fenitoin IV dalam menghentikan kejang yang berlangsung minimal 10 menit
(level A). Tak ada beda efektivitas antara IV lorazepam dilanjutkan dengan fenitoin IV, IV
diazepam ditambah fenitoin dilanjutkan dengan IV lorazepam, dan fenobarbital IV dilanjutkan
fenitoin IV (level A). Asam valproat intravena memiliki efektivitas yang hampir sama dengan IV
fenitoin atau IV diazepam lanjutan sebagai terapi kedua setelah kegagalan terapi awal
benzodiazepin (level C). Data yang tidak memadai pada orang dewasa tentang efektivitas
levetiracetam sebagai terapi awal atau terapi kedua (level U).
Studi pada Pediatrik
Secara keseluruhan, 26 penelitian RCT (dua penelitian kelasI [24, 34] dan 24 penelitian kelas III
[27,30, 35-56]) meneliti efektivitas terapi awal. Dari 25 penelitian RCT ini, golongan
benzodiazepin adalah obat yang digunakan dalam penelitian (dua penelitian kelas I dan 23
penelitian kelas III). Pada satu percobaan kelas I (34), 273 anak (umur 3 bulan sampai 18 tahun)
didaftarkan dan diacak untuk diberi terapi diazepam 0,2 mg/kg (dosis maksimal 8 mg) atau
lorazepam 0,1 mg / kg (maksimum/dosis 4 mg). Jika kejang berlanjut setelah 5 menit lagi, lalu
setengah dari dosis obat awal bisa diulang. Jika kejang berlanjut lagi lebih dari 7 menit, lalu
fosphenytoin diberikan. Tidak ada perbedaan antara diazepam IV (101/140, 72,1%) dan IV
lorazepam (97/133, 72,9%) pada hasil primer mengenai efektivitas penghentian status epileptikus
hingga 10 menit tanpa kemunculan kembali dalam waktu 30 menit (perbedaan absolut 0,8%, 95%
CI: -11,4-9,8%). Penelitian menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung hipotesis
bahwa lorazepam lebih unggul dari diazepam sebagai terapi awal untuk status epileptikus anak.
Penelitian kedua kelas I, percobaan RAMPART (24), termasuk 120 anak yang diacak untuk
mendapatkan terapi midazolam IM (n = 60) atau IV lorazepam (n = 60). Tidak ada perbedaan
statistik dalam efektivitas yang ditemukan antara midazolam IM (68,3%) dan IV lorazepam
(71,7%), namun karena sedikitnya peserta penelitian maka menghasilkan rentang interval
kepercayaan yang luas sehingga kesimpulan yang ada sulit untuk ditarik (57).
Penelitian kelas III benzodiazepine RCT melibatkan diazepam (n = 20), midazolam (n = 16), dan
lorazepam (n = 6). Rute pemberian meliputi IV (n = 13), rektal (n = 10), intranasal (n = 9), bukal
(n = 6), IM (n = 3), dan sublingual (n = 1). Ukuran penelitian berkisar antara 24 pasien sampai 436
pasien. Meski semua penelitian dilakuakn dnegan metode prospektif dan acak, penelitian tersebut
masih termasuk penelitian tingkat III karena dokter yang merawat mengetahui tentang pengobatan.
Satu penelitian kelas III membandingkan lorazepam (0,05-0,1 mg/kg) untuk diazepam (0,3-0,4
mg/kg) diberikan IV atau rektal untuk anak-anak yang datang ke IGD dengan kejang yang masih
berlangsung. Tidak ada perbedaan antara perawatan pada saat kejang (presentasi) agar berhenti
setelah administrasi antikonvulsan atau secara total jumlah kejang dalam 24 jam pertama. Namun,
lebih sedikit pasien lorazepam yang membutuhkan beberapa dosis tambahan untuk menghentikan
kejang (lorazepam 8/33 vs diazepam 25/53; p <0,05) atau tambahan antikonvulsan untuk
menghentikan kejang (lorazepam 1/33 vs diazepam 17/53; p <0,01) (35).
Satu penelitian kelas III membandingkan IV lorazepam (0,1 m /kg) dikombinasi dengan IV
diazepam (0,2 mg/kg) dan fenitoin IV (18 mg/kg) pada 178 anak yang mengalami status
epileptikus konvulsif di IGD. Efektivitas dalam menghentikan aktivitas kejang dalam waktu 10
menit tanpa kekambuhan selama periode 18 jam setelah kontrol kejang adalah 100% untuk kedua
kelompok. Tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditunjukkan antar kelompok perlakuan baik
waktu untuk penghentian atau untuk dosis tambahan obat untuk menghentikan status epilepticus
konvulsif (49).
Intranasl Lorazepam diperiksa dalam dua penelitian. Sebuah penelitian pada anak-anak usia 6
sampai 14 tahun dengan kejang yang berlangsung hingga di unit gawat darurat dibandingkan
dengan IV lorazepam dengan lorazepam intanasal (keduanya dengan dosis 0,1 mg/kg/dosis, dosis
maksimum 4 mg) (52). Tidak ada perbedaan yang terdeteksi antara IV lorazepam (56/70, 80%)
dan intranasal lorazepam (59/71, 83,1%) berdasarkan remisi kejang klinis dalam waktu 10 menit
setelah pemberian obat. Penulis menyimpulkan bahwa intranasal lorazepam tidak kalah dengan IV
lorazepam (52). Penelitian kelas III lainnya membandingkan intranasal lorazepam (0,1 mg/kg)
dengan IM paraldehyde (0,2 mL/kg) pada 160 pasien anak yang datang ke IGD dengan status
epilepticus konvulsif. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik yang ditemukan antara
lorazepam intranasal dan paraldehida IM untuk efektivitas obat dalam menghentikan aktivitas
kejang 10 menit setelah pemberian (intranasal lorazepam, 75%; IM paraldehyde, 61%; p = 0,06)
atau waktu untuk menghentikan kejang atau berulangnya kejang dalam waktu 24 jam setelah
pemberian. Penelitian menemukan bahwa subyek yang diobati dengan paraldehid lebih mungkin
memerlukan dua atau lebih dosis tambahan anticonvulsan (intranasal lorazepam, 10%; IM
paraldehyde, 26%; p = 0,007) (44).
Sublingual lorazepam (0,1 mg/kg) dibandingkan dengan diazepam rectal (0,5 mg/kg) pada anak 5
bulan sampai 10 tahun dengan kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit (54). Penelitian RCT
ini berada dalam kelas III dilakukan di sembilan rumah sakit di Sub-Sahara Afrika dan melibatkan
436 anak. Efektivitas lorazepam sublingual (131/234, 56%) secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan diazepam rectal (160/202, 79%; p <0,001) untuk menghentikan kejang
dalam waktu 10 menit setelah pemberian obat (54).
Enam belas penelitian kelas III membandingkan midazolam dengan diazepam. Dalam lima
penelitian, midazolam bukal dibandingkan dengan diazepam rectal (40-42, 47, 50). Dalam sebuah
penelitian, pada 177 anak-anak yang mengalami 219 kejang yang terpisah, midazolam bukal lebih
efektif daripada diazepam rektal dalam menghentikan kejang (56% vs 27%)(42). Penelitian
terbesar terhadap 330 anak di Uganda menemukan tingkat kegagalan pengobatan yang lebih
rendah (kejang yang berlangsung lebih dari 10 menit setelah pemberian obat atau kekambuhan
dalam 1 jam) untuk midazolam bukal dibandingkan dengan diazepam rectal (30,3% vs 43%; p =
0,016). Keunggulan ini terbatas pada subkelompok pasien tanpa malaria, dengan midazolam bukal
lebih superior dibandingkan diazepam rectal dilihat dari kegagalan pengobatan (26,2% vs 55,9%;
p = 0,002) (47). Dalam penelitian RCT dari 98 anak (umur 3 bulan sampai 12 tahun), midazolam
bukal lebih unggul dari diazepam rectal untuk menghentikan kejang dalam 5 menit setelah
pemberian (49/49, 100%, vs 40/49, 82%; p <0,001), waktu inisiasi pengobatan (median 2 vs 3
menit; p <0,001), dan waktu efek obat (median 4 vs 5 menit; p <0,001) (50). Dalam dua penelitian
yang lebih kecil (n = 79 dan n = 43), tidak ada perbedaan efikasi antara midazolam bukal dan
diazepam rectal (40, 41).
Midazolam intranasal dibandingkan dengan diazepam IV dalam empat penelitian kelas III pada
anak-anak (38, 39, 46, 53). Dalam sebuah penelitian melibatkan anak-anak dengan kejang demam
berkepanjangan, waktu pemberian obat midazolam intranasal lebih cepat (p <0,001) namun jangka
waktu antara pemberian obat dan penghentian kejang lebih pendek untuk diazepam IV (p <0,001)
(38). Penelitian kedua menemukan bahwa waktu rata-rata untuk mencapai control kejang lebih
cepat untuk diazepam IV dibandingkan dengan intranasal midazolam (p <0,007) (39). Studi ketiga
menemukan midazolam intranasal secara signifikan lebih cepat untuk diberikan daripada
diazepam IV, dengan waktu yang lebih lambat untuk menghentikan kejang setelah pemberian
midazolam intranasal dibandingkan dengan IV diazepam, tapi waktu yang lebih cepat untuk
penghentian kejang setelah sampai di rumah sakit dengan midazolam intranasal (p <0,001 untuk
semua perbandingan) (46). Terakhir, sebuah penelitian RCT dari 60 anak (umur 2 bulan sampai
15 tahun tahun), dibagi rata antara midazolam intranasal (0,2 mg /kg) dan IV diazepam (0,3
mg/kg), menemukan bahwa waktu untuk menghentikan kejang lebih pendek menggunakan
midazolam intranasal dibandingkan dengan diazepam IV (3,16 ± 1,24 menit vs 6,42 ± 2,59 menit;
p <0,001) bila waktu yang dibutuhkan untuk membuat akses IV dimasukkan (53).
Tiga uji coba menguji efikasi midazolam intranasal dibandingkan dengan diazepam rectal (37, 45,
51). Midazolam intranasal (0,2 mg/kg, dosis maksimum, 10 mg) dibandingkan dengan diazepam
rectal (0,3 sampai 0,5 mg/kg, dosis maksimum, 20 mg) untuk kejang pra-rumah sakit yang
berlangsung lebih dari 5 menit. Secara keseluruhan, 92 anak mendapat pengobatan dalam
penelitian, dan tidak ada beda total waktu kejang setelah pemberian obat antar terapi (51).
Percobaan lain yang melibatkan 46 anak yang mengalami kejang sebanyak 188 kali
membandingkan efikasi midazolam intranasal 0,3 mg/kg (92 episode) dan diazepam rectal 0,2
mg/kg (96 episode) untuk mengakhiri kejang dalam 10 menit pemberian obat. Waktu penghentian
kejang secara signifikan lebih cepat untuk midazolam intranasal (116,7± 126,9 detik vs 178,6 ±
179,5 detik; p = 0,005), dengan tren menuju tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dengan
midazolam intranasal (89/92, 96,7%) dibandingkan dengan diazepam rectal (85/96, 88,5%; p =
0,060) (45). Percobaan ketiga yang lebih kecil (n = 45) ditemukan bahwa intranasal midazolam
lebih efektif daripada diazepam rectal (87% vs 60%; p <0,05) (37). Midazolam intramuskular
dibandingkan dengan diazepam IV dalam tiga studi kelas III (36, 43, 55). Dalam ketiga penelitian
tersebut, midazolam IM memiliki interval yang lebih pendek untuk menghentikan kejang, tapi
tidak ada perbedaan signifikan dalam keberhasilan keseluruhan penghentian kejang (36, 43, 55).
Satu penelitian membandingkan midazolam bukal 0,2 mg/kg dengan IV diazepam 0,3 mg/kg, tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan dalam efektivitas keseluruhan (didefinisikan sebagai
penghentian kejang 5 menit setelah pemberian terapi ) (48). Waktu untuk penghentian kejang sejak
identifikasi di unit gawat darurat secara signifikan lebih pendek untuk midazolam bukal
dibandingkan dengan diazepam IV (2,39 menit vs 2,98 menit, masing-masing), dengan sebagian
besar perbedaannya didorong oleh waktu yang lebih cepat untuk memulai pengobatan (48).
Lorazepam intravena (0,1 mg/kg diatas 2-4 menit) dibandingkan dengan levetiracetam IV (20
mg/kg lebih dari 15 menit) pada penelitina RCT kelas III melibatkan anak-anak dengan status
epileptikus konvulsif atau subtle (30). Sebagai terapi pertama, tingkat keberhasilan lorazepam
(29/38, 76,3%) serupa dengan forlevetiracetam (31/41, 75,6%) (30).
Dalam satu penelitian RCT, anak-anak dengan kejang konvulsif pada menerima asam valproat IV
(20 mg/ kg) dengan diazepam (0,3 mg/kg) (n = 16) atau IV fenitoin (20 mg / kg) dengan dosis 2,2
mg/kg) (n = 17) (56). Tidak ada perbedaan hasil keduanya (56).
Satu-satunya penelitian RCT t kelas III pediatrik yang tidak melibatkan golongan benzodiazepin,
membandingkan fenitoin IV (n = 33) dan IV asam valproate (n = 35). Secara keseluruhan, asam
valproat memiliki efikasi yang lebih tinggi daripada fenitoin (asam valproat, 66%, vs fenitoin,
42%; p = 0,046), namun hanya 23% dan 12% peserta yang berusia 15 tahun atau kurang, tanpa
penyesuaian statistik untuk proporsi yang berbeda ini ( 27).
Dua penelitian RCT (satu kelas II [58] dan satu kelas III [31]) meneliti efikasi terapi pada anak-
anak setelah kegagalan terapi benzodiazepin. Studi kelas II membandingkan asam valproat (20
mg/kg, n = 30) dengan fenobarbital IV (20mg/kg, n = 30) pada anak usia 3 sampai 16 tahun yang
kejangnya tidak berespon dengan IV diazepam (0,2 mg / kg) dalam waktu 5 menit. Tidak ada
perbedaan signifikan pada efektivitas antara asam valproat dan fenobarbital (27/30, 90%, vs 23/30,
77%; p = 0,198) untuk mengakhiri kejang dalam 20 menit, namun kelompok asam valproate
memperlihatkan efek samping yang secara signifikan lebih sedikit (24% vs 74%; p <0,001) (58).
Penelitian kedua melibatkan orang dewasa dan anak-anak dan menemukan bahwa efikasi asam
valproat IV serupa dengan fenitoin IV (88% vs84%) pada pasien yang kejangnya tidak merespon
dengan 0,2 mg/kg IV diazepam (31). Ditarik kesimpulan berikut. Pada anak-anak, IV lorazepam
dan IV diazepam ditetapkan sangat efektif pada saat menghentikan kejang yang berlangsung dalam
waktu minimal 5 menit (level A). Diazepam rektal, midazolam IM, midazolam intranasal, dan
midazolam bukal mungkin efektif untuk menghentikan kejang minimal dalam waktu 5 menit (level
B). Data tidak mencukupi pada anak tentang efektivitas lorazepam intranasal, lorazepam
sublingual, lorazepam rektal, asam valproat, levetiracetam, fenobarbital, dan fenitoin sebagai
terapi awal (level U). Asam valproat intravena memiliki efektivitas yang sama namun toleransi
yang lebih baik daripada fenobarbital IV (level B) sebagai terapi kedua setelah kegagalan terapi
benzodiazepin. Data tidak mencukupi pada anak berkenaan dengan efektivitas fenitoin atau
levetiracetam sebagai terapi kedua setelah kegagalan terapi benzodiazepine (level U).
Q2. Efek samping apa yang timbul terkait dengan pemberian antikonvulsan ?
Penelitian pada subjek Dewasa
Tiga penelitian kelas I (22-24) dan satu penelitian tingat II (25) menyampaikan bukti terbaik
tentang efek pengobatan merugikan berhubungan dengan terapi lorazepam IV dan diazepam. Pada
tahun 1998 penelitian kelas I Veteran affair epileptikus study, memperlihatkan tidak ada perbedaan
signifikan dalam tingkat efek samping yang muncul antara lorazepam, diazepam, fenobarbital, dan
fenitoin (22). Efek samping yang muncul yang berhubungan dengan perawatan terkait dengan
pemberian lorazepam pada 97 pasien dengan status epileptikus overt adalah hipoventilasi, 10,3%;
hipotensi, 25,8%; dan gangguan irama jantung, 7,2%. Hal ini serupa dengan terlihat pada terapi
diazepam IV pada 95 pasien dengan status epileptikus overt: hipoventilasi, 16,8%; hipotensi,
31,6%; dan gangguan irama jantung, 2,1%. Spektrum komplikasi serupa pada system
kardiorespirasi juga erlihat pada pengunnaan fenobarbital (hipoventilasi, 13,2%; hipotensi, 34,1%;
gangguan irama jantung, 3,3%) dan fenitoin (hipoventilasi, 9,9%; hipotensi, 27,0%; gangguan
ritme jantung, 6,9%) (22).
Pada tahun 2001 penelitian RCT tentan status epilepticus pada pre-hospital,10,6% pasien yang
menerima IV lorazepam mengalami efek samping (hipotensi, disritmia jantung, membutuhkan
intervensi pernafasan). Demikian pula, 10,3% pasien yang menerima IV diazepam mengalami
hipotensi, disritmia jantung, atau membutuhkan intervensi pernafasan. Presentase kedua efek
samping obat tersebut lebih rendah (p = 0,08) dari pada 22,5% yang terlihat pada pasien dengan
status epilepticus yang menerima IV plasebo (23).
Pada percobaan tahun 2012 RAMPART, bukti kelas I, dengan membandingkan midazolam IM
dan IV lorazepam (24), efek samping pengobatan teridentifikasi pada 26,7% subjek dengan terapi
midazolam IM dibandingkan dengan 30,6% subyek dalam lorazepam IV. Efek samping
pengobatan yang paling umum terjadi - penurunan kesadaran (IM midazolam, 9,5%, vs IV
lorazepam, 8,8%) dan depresi pernafasan (IM midazolam, 6,4%, vs IV lorazepam, 10%),
sedangkan hipotensi hanya terjadi dalam 1,2% subyek secara keseluruhan (24).
Penelitian kelas II tahun 1983 membandingkan lorazepam 4 mg dan diazepam 10 mg pada orang
dewasa dengan status konvulsif epilepticus (didefinisikan sebagai kejang ≥3 GTC dalam 1 jam
atau ≥ 2 berturut-turut cepat), absence status epileptikus, atau status epilepticus parsial kompleks
(25). Pasien diijinkan untuk menerima dosis obat kedua jika kejang berlanjut setelah 10 menit
terapi. Untuk semua pasien, fenitoin diberikan setelah 30 menit. Sejumlah 70 pasien diacak ke
dalam kelompok lorazepam (n = 37) atau diazepam (n = 33). Dalam uji coba komparatif ini, 12%
pasien dalam kelompok lorazepam dan 13% pasien dlam kelompok diazepam mengalami efek
samping pengobatan-emergensi termasuk depresi pernafasan, henti nafas, hipotensi, dan sedasi;
Tiga efek samping yang pertama ini hanya terjadi pada orang-orang dengan masalah medis yang
signifikan (25).
Ditarik kesimpulan berikut. Gejala pernapasan dan jantung adalah efek samping yang paling sering
ditemui terkait dengan pemberian antikonvulsan IV pada orang dewasa dengan status epilepticus
(level A). Presentase depresi pernafasan pada pasien dengan status epilepticus yang diobati dengan
benzodiazepin lebih rendah daripada pasien dengan status epilepticus yang diobati dengan plasebo
(level A), menunjukkan bahwa masalah pernapasan adalah konsekuensi penting dari status
epileptikus yang tidak diobati. Tidak ada perbedaan substansial antara benzodiazepin dan
fenobarbital dalam terjadinya efek smaping kardiorespirasi pada orang dewasa dengan status
epileptikus (level A).
Penelitian pada Pediatrik
Satu penelitian kelas I yang murni dari pediatrik (34) menyediakan bukti efek samping terbaik
tentang IV lorazepam dan IV diazepam pada anak dengan status epilepticus konvulsif. Tidak ada
perbedaan antara kedua kelompok dalam presntase subjek penelitian yang membutuhkan bantuan
ventilasi (lorazepam, 17,6%, versus diazepam, 16,0%; perbedaan risiko absolut, 1,6%; 95% CI: -
9,9-6,8%) atau pneumonia aspirasi (dua subjek pada masing-masing kelompok). Kejadian sedasi
lebih tinggi pada kelompok lorazepam (99/148, 66,9%) dibandingkan dengan diazepam (81/162,
50%; perbedaan risiko absolut, 16,9%; 95% CI: 6,1-27,7%) (34).
Uji coba kelas III mengidentifikasi depresi pernafasan dengan penggunaan benzodiazepin IV (35,
49, 55). Satu percobaan kelas III melaporkan 21% pasien yang menerima IV diazepam dan 4%
pasien yang menerima lorazepam IV dilaporkan mengalami depresi pernafasan yang buruk seperti
usaha pernafasan yang buruk, penurunan jumlah nafas, atau memerlukan pemberian oksigen
dengan face mask (35). Dalam penelitian kelas t III yang lain, depresi pernafasn dilaporkan pada
4,4% anak yang menerima IV lorazepam dan 5,6% anak yang menerima IV diazepam dan fenitoin,
namun tidak ada subjek pada kelompok yang memerlukan ventilasi mekanik (49).
Depresi pernapasan setelah pemberian diazepam rectal pada anak dilaporkan dalam lima uji coba
kelas III, berkisar antara 1,2 persen sampai 6,4 persen (35, 41, 42, 45,47), sementara dua uji coba
kelas III (37, 40) dan dua uji coba kelas I pada pasien kejang berulang yang akut (59, 60)
melaporkan tidak ada kejadian depresi pernapasan dengan penggunaan diazepam rectal pada anak.
Tidak ada depresi pernapasan yang dilaporkan dalam satu penelitian terhadap enam anak yang
diobati dengan rektal lorazepam (35). Seperti yang disebutkan di atas, kantuk adalah efek samping
yang paling umum dilaporkan pada dua percobaan kelas I dari diazepam rectal dalam penelitain
dengan subjek campuran dewasa dan pediatrik (59, 60).
Dua penelitian kelas t III melaporkan depresi pernafasan dengan penggunaan midazolam bukal
pada anak-anak (42, 47) Berbeda dengan dua penelitian kelas III yang melaporkan tidak ada
depresi pernafasan terkait dengan penggunaan midazolam bukal pada populasi anak (40, 41).
Depresi pernapasan, didefinisikan sebagai perlunya bantuan ventilasi karena penurunan saturasi
oksigen atau pengurangan laju atau usaha pernafasan, dilaporkan terjadi pada 1,2% dan 4,6%
pasien dalam penelitian ini (42, 47). Dua penelitian tingkat II mengenai midazolam IM atau
intranasal melaporkan depresi pernapasan yang signifikan (36-39, 43, 45, 46, 53). Seorang anak
dalam setiap penelitian (6,25% dan 2%) pada kelompok midazolam IM mengalami kegagalan
pernafasan sehingga membutuhkan ventilasi buatan (51, 55).
Dua penelitian kelas III melibatkan lorazepam intranasal. Satu penelitian melibatkan 80 anak,
terjadi penurunan ≥5 mmHg dalam tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik yang tercatat
pada 15 (18,8%) dan 12 (15%) anak-anak, sementara hanya dua (2,5%) yang mengalami
penurunan hingga saturasi oksigen dibawah 92% (44). Dalam penelitian kedua dari 71 anak, tidak
ada yang mengalami hipotensi bermakna dan hanya satu (1,4%) yang memerlukan ventilasi
bantuan (52).
Dapat ditarik kesimpulan berikut. Depresi pernapasan adalah efek samping yang paling sering
ditemukan yang secara klinis signifikan sebagai akibat pengunaan antikonvulsan dalam status
epileptikus pada anak (level A). Tidak ada perbedaan substansial pada pemberian midazolam,
lorazepam, dan diazepam melalui rute apapun pada anak sehubungan dengan tingkat depresi
pernapasan (level B). Efek samping, termasuk depresi pernafasan dengan pemberian
benzodiazepin untuk status epileptikus jarang dilaporkan pada anak-anak dibandingkan orang
dewasa (level B).
Q3. Benzodiazepin Mana yang Paling Efektif?
Penelitian pada Dewasa
Dalam sebuah penelitian kelas I pra-rumah sakit (23), persentase pasien dengan status epileptikus
yang dapat dihentikan menggunakan lorazepam lebih tinggi tapi tidak berbeda nyata dengan
diazepam (rasio odds [OR], 1,9; 95% CI: 0.8-4.4). Namun, ukuran sampel penelitian yang dipilih
untuk bisa mendeteksi perbedaan antara obat aktif dan plasebo, tidak mendeteksi perbedaan antar
dua obat aktif (23). Sebuah penelitian kelas II membandingkan lorazepam-diazepam (25), tidak
ada perbedaan antara kedua obat dalam persentase pasien yang memiliki kontrol kejang setelah
dilakukan satu injeksi (lorazepam, 78%; diazepam, 58%; tidak signifikan [NS]) atau dua injeksi
(lorazepam, 89%; diazepam, 76%; NS). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok tindakan (rata-rata lorazepam, 3 menit; diazepam, 2 menit; NS) (25).
Uji coba kelas I RAMPART (24) melaporkan kejang menghilang pada 73% subjek pada kelompok
midazolam IM dibandingkan dengan 63% pada kelompok lorazepam IV, menghasilkan perbedaan
absolut 10% (95% CI: 4.0-16,1; p <0,001) yang memenuhi persyaratan noninferioritas yang telah
ditentukan ditambah superioritas tambahan untuk kedua analisis per protokol dan ITT. Waktu dari
pengobatan aktif sampai penghentian kejang lebih pendek untuk IV lorazepam (1,6 menit)
dibandingkan dengan midazolam IM (3,3 menit), yang diimbangi dengan pemberian midazolam
IM yang lebih cepat (lorazepam 4, 4,8 menit, vs midazolam intranasal, 1,2 menit) (24).
Tidak ada beda presentase efek samping antara lorazepam dan diazepam pada tiga penelitian pada
dewasa mengenai status epileptikus kelas I dan II (22, 23, 25). Tidak ada perbedaan dalam profil
efek samping yang ditemukan antara midazolam IM dan IV lorazepam (24). Ada bukti
farmakokinetik yang memperlihatkan durasi kerja yang lebih lama (tapi tidak lagi paruh waktu)
untuk lorazepam dibandingkan dengan diazepam (61).
Ditarik kesimpulan berikut. Pada orang dewasa dengan status epileptikus tanpa akses IV yang
memadai, midazolam IM ditetapkan lebih efektif dibandingkan dengan lorazepam IV (level A).
Tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitasnya antara lorazepam dan diazepam pada orang
dewasa dengan status epileptikus (level A).
Studi Pediatrik
Seperti yang dijelaskan secara rinci pada Pertanyaan 1, satu percobaan kelas I mendaftarkan dan
mengacak 273 anak dalam kelompok IV diazepam atau IV lorazepam (34). Efektivitasnya serupa
antara diazepam IV (101/140, 72,1%) dan IV lorazepam (97/133, 72,9%). Sebagai dijelaskan
secara rinci pada Pertanyaan 2, profil efek samping kedua perlakuan serupa (34).
Sebuah meta-analisis terhadap enam studi pediatrik kelas III (36, 38-40, 42, 47) menemukan
midazolam non-IV (IM / intranasal /buccal) lebih efektif daripada diazepam (IV / rektal) untuk
menghentikan kejang (risiko relatif [RR] = 1,52, 95% CI: 1,27-1,82) dengan komplikasi
pernafasan serupa (RR = 1,49; 95% CI: 0,25-8,72) (62). Waktu penghentian kejang lebih pendek
untuk midazolam intranasal dibandingkan dengan diazepam IV pada dua penelitian (38, 46) dan
lebih lama dalam satu penelitian (39). Perbandingan midazolam intranasal dan diazepam rectal,
intranasal midazolam lebih efektif dalam menghentikan kejang (37) dan menunjukkan waktu yang
lebih singkat untuk penghentian kejang (45). Membandingkan IM midazolam dengan IV
diazepam, interval yang lebih pendek untuk penghentian kejang ditemukan untuk midazolam IM
pada kedua penelitian (36, 43). Hanya satu penelitian yang menemukan secara signifikan waktu
penghentian kejang yang lebih cepat untuk midazolam bukal dibandingkan dengan diazepam rectal
(42)
Sebuah penelitian yang membandingkan lorazepam dengan diazepam menemukan tidak ada
perbedaan waktu sejak kejang awal (presentasi) hingga berhenti setelah pemberian antikonvulsan
namun menemukan lebih sedikit pasien lorazepam yang memerlukan dosis multiple (lorazepam,
8/33, vs diazepam, 25/53; p < 0,05) atau aanticonvulsant tambahan (lorazepam, 1/33, vs diazepam,
17/53; p <0,01) untuk penghentian kejang (35).
Ditarik kesimpulan berikut. Pada anak-anak dengan riwayat epilepsi, tidak ada perbedaan
signifikan dalam efektivitas yang telah ditemukan antara IV lorazepam dan IV diazepam (level A).
Pada anak dengan status epilepticus, midazolam non-IV (IM / intranasal / bukal) mungkin lebih
efektif daripada diazepam (IV/rektal) (level B) .
Q4. Apakah Fosphenytoin IV Lebih Efektif daripada Fenitoin IV?
Tiga penelitian RCT kelas III meneliti tolerabilitas komparatif dari fosfitoin dan fenitoin IV (63).
Penelitian mengenai dosis tunggal, acak, double blind, kelas III pada pasien yang membutuhkan
infus fenitoin dibandingkan fosfenytoin (n = 39,12,7 mg/kg, 82 mg fenitoin ekivalen [PE] / min
[kisaran, 40-103 mg PE / min]) dan fenitoin (n = 13, 11,3 mg / kg, 42,4 mg / menit). Berbeda
dengan fenitoin, tidak ada aritmia jantung bermakna pada fosphenytoin, mengubah detak jantung,
respirasi rate atau tekanan darah (63). Studi kedua melibatkan pasien yang memerlukan loading
dose fenitoin dan terapi maintenance 3 sampai 14 hari. Penelitian secara acak, double blind, kelas
III ini dilakukan pada pasien yang membutuhkan infus dan maintenance fenitoin dibandingkan
fosphenytoin (n = 88, 15,3 mg / kg, 37 mg PE / menit) dibanding fenitoin (n = 28,15,0 mg / kg, 33
mg / menit) dan menemukan rasa nyeri di tempat pmasangan infus lebih banyak untuk fenitoin
daripada fosfenitoin (17% vs 2%) (63). Penelitian ketiga adalah dosis tunggal, acak, double blind,
kelas III mengenai tolerabilitas fosfenytoin pada 150 mg PE / menit (n = 90) vs fenitoin pada 50
mg / menit (n = 22) (63). Infus diperlambat atau dihentikan lebih sering dengan fenitoin IV
dibandingkan dengan fosphenytoin IV; 63,6% pasien fenitoin mengalami nyeri ditempat
pemasangan infus; 48,6% pasien fosphenytoin mengalami pruritus; dan tekanan darah rata-rata
menurn dengan fosphenytoin adalah 13,7 mmHg dibandingkan dengan 5,9 mmHg dengan fenitoin.
Ditarik kesimpulan berikut. Data tidak mencukupi tentang perbandingan efektivitas fenitoin dan
fosphenytoin (level U). Fosfitoin ditoleransi secara lebih baik dibandingkan dengan fenitoin (level
B). Bila keduanya tersedia, fosphenytoin lebih disukai berdasarkan tolerabilitas, namun fenitoin
adalah alternatif yang dapat diterima (level B).
Q5. Kapan Efektivitas Antikonvulsan Turun Secara Signifikan (yaitu, Setelah Berapa
Banyak Antikonvulsan yang Berbeda diberikan sehingga Status Epilepticus Menjadi
Refrakter)?
Hanya satu penelitian RCT kelas I (percobaan status Veterans Affairs epilepticus) (22)
memberikan data yang jelas untuk menjawab pertanyaan ini. Keberhasilan pengobatan diartikan
sebagai status epileptikus yang berhenti dalam waktu 20 menit setelah infus dimulai tanpa
kekambuhan sebelum 60 menit setelah dimulainya infus. Di dalam penelitain RCT double-blind,
untuk menjaga “blind” penelitian jika antikonvulsan yang diberikan pertama tidak berhasil,
kemudian pasien diacak ke kelompok pengobatan lain; Jika antikonvulsan kedua tidak berhasil,
maka pasien diacak ke kelompok pengobatan lain. Pada orang dewasa dengan status epileptikus
overt, tingkat keberhasilan keseluruhan terapi pemberian pertama adalah 55,5%. Jika obat
penelitian pertama tidak berhasil, obat penelitian kedua mampu menghentikan status epileptikus
untuk tambahan 7,0% dari total populasi; obat ketiga hanya membantu tambahan 2,3% pasien.
Membutuhkan terapi intensif "non-studi" untuk menghentikan status epileptikus pada 23,2%
populasi pasien awal, dan kegagaln terapi dalam 12 jam terjadi pada 11,7%. Dalam penelitian ini,
jika pasien tidak berespon dengan terapi lorazepam atau fenitoin, tingkat respon terhadap
fenobarbital adalah 2,1% (D. Treiman, verbal komunikasi).
Tiga penelitian RCT lainnya (31, 32, 58), melaporkan tingkat efikasi terapi yang lebih tinggi pada
orang dewasa dan anak-anak setelah kegagalan terapi benzodiazepin diawal. Namun, dalam
penelitian ini, terapi awal bukanlah bagian dari penelitian RCT atau tidak dalam metode “blind”.
Untuk terapi kedua, RCT kelas II melaporkan kesuksesannya berkisar antara 77 persen sampai 90
persen, sedangkan pada kedua penelitian RCT kelas III melaporkan keberhasilan mulai dari 50
persen sampai 88 persen.
Ditarik kesimpulan berikut. Pada orang dewasa, pemberian antikonvulsan kedua kurang efektif
dibandingkan dengan antikonvulsan "standar"pertama, sedangkan antikonvulsan ketiga secara
substansial kurang efektif daripada antikonvulsan "standar" pertama (level A). Pada anak-anak,
antikonvulsan kedua tampak kurang efektif, dan tidak ada data tentang efektivitas antikonvulsan
ketiga (level C).
Rekomendasi dan Algoritma
Berdasarkan jawaban berdasarkan bukti atas pertanyaan di atas, Algoritma pengobatan diusulkan
untuk status epileptikus konvulsif (Gambar 1). Seperti yang dinyatakan sebelumnya, uji klinis
tersebut hanya berfokus pada orang dewasa atau anak-anak, dan hanya ada tiga percobaan (24,27,
30) yang memasukkan kedua subjek tersebut. Algoritma pengobatan tidak spesifik pada usia
tertentu karena patofisiologi kejang yang berkepanjangan/status epileptikus dan efek
antikonvulsan pada reseptor neuron sama saja antara bayi dengan dewasa, memungkinkan
pendekatan terpadu untuk semua pasien yang berusia diatas neonatus
Algoritma dimulai dengan fase stabilisasi (0-5 menit), yang mencakup pertolongan pertama yang
baku untuk kejang. Tahap terapi awal harus dimulai saat masa kejang mencapai 5 menit dan harus
diketahui respon terhadap terapi awal dalam 20 menit harus jelas. Golongan benzodiazepin
(terutama midazolam IM, IV lorazepam, atau IV diazepam) direkomendasikan sebagai terapi awal
pilihan, karena efektivitas yang ditunjukkan, keamanan, dan tolerabilitas (levelA, empat [enelitian
RCT kelas I). Meskipun Fenobarbital IV efektif dan dapat ditoleransi dengan baik sebagai terapi
awal (level A, 1 kelas I RCT), kecepatan pemberiannya lambat dibandingkan dengan golongan
benzodiazepin lainnya yang direkomdasikan diatas, sehingga memposisikannya sebagai alternatif
terapi awal bukan obat pilihan pertama. Pada situasi seperti pre-hospital atau di mana tiga pilihan
benzodiazepine lini pertama tidak tersedia, diazepam rektal, midazolam intranasal, dan midazolam
bukal adalah alternatif terapi awal yang masuk akal (level B). Terapi awal harus diberikan sebagai
dosis tunggal yang adekuat daripada dibagi menjadi beberapa dosis kecil. Terapi awal tidak boleh
diberikan dua kali kecuali untuk IV lorazepam dan diazepam dapat diulang seperti dosis awal
(level A, dua penelitian kelas I, satu penelitian kelas II RCT). Daftar dosis yang digunakan pada
fae terapi initial berasal dari percobaan tingkat I. Perhatikan bahwa beberapa panduan konsensus
mencantumkan sedikit perbedaan; Sebagai contoh, fenobarbital sering direkomendasikan pada
dosis 20 mg / kg (2).
Tahap terapi kedua harus dimulai saat durasi kejang mencapai 20 menit dan respon terapi dalam
40 menit (atau kurangnya tanggapan) terhadap terapi kedua harus terlihat. Pilihan yang wajar
meliputi fosphenytoin (level U), asam valproat (level B, satu penelitian kelas II) dan levetiracetam
(level U). Tidak ada bukti yang jelas bahwa salah satu pilihan terapi lebih baik daripada pilihan
yang lainnya. Penelitian ESETT yang sedang berjalan harus memberikan jawabannya di tahun-
tahun depan (64). Karena efek samping, fenobarbitalis IV merupakan alternatif terapi kedua yang
masuk akal (level B, satu studi kelas II) jika tidak satu pun dari ketiga terapi yang
direkomendasikan tersedia.
Fase terapi ketiga harus dimulai saat kejang mencapai 40 menit. Tidak ada bukti jelas terapi pada
fase ini (level U). Dibandingkan dengan terapi awal, terapi kedua seringkali kurang efektif (orang
dewasa, satu penelitian kelas I RCT; C anak-anak, dua penelitian RCT kelas III), dan terapi ketiga
secara substansial kurang efektif (orang dewasa level A, satu penelitian tingkat I RCT; pada anak-
anak berada dalam level U) daripada terapi awal. Jadi, jika terapi kedua gagal menghentikan
kejang, pengobatan harus mencakup pengulangan terapi lini kedua atau pemebrian dosis anestesi
thiopental, midazolam, pentobarbital, atau propofol (semua dengan pemantauan EEG terus
menerus). Bergantung pada etiologi atau tingkat keparahan kejang, pasien bisa melewati fase lebih
cepat atau bahkan melompati tahap kedua dan bergerak cepat ke tahap ketiga, terutama pada pasien
unit perawatan intensif atau sakit. Pengobatan status epileptikus refrakter di luar lingkup pedoman
ini, meskipun ada masalah yang dibahas (65).
Arah masa depan
Bukti tambahan untuk lebih menentukan peran antikonvulsan yang lain yang diberikan secara IV
sangat penting untuk pengobatan di masa depan pada status epileptikus konvulsif. Uji coba kelas
III memberikan data mengenai efektivitas dan keamanan asam valproat sebagai terapi lini pertama
(26,27), terapi lini kedua (31, 32), dan terapi refrakter (66). Bukti penggunaan levetiracetam dan
lacosamide terbatas pada studi retrospektif (67-72). Mengingat karakteristik farmakokinetik dan
profil efek samping yang menguntungkan untuk obat ini dibandingkan dengan fosphenytoin dan
fenobarbital, percobaan komparatif obat-obatan ini sebagai terapi lini kedua akan memberikan
bukti penting untuk memperbaiki pengobatan masa depan status epileptikus konvulsif. Sekarang
percobaan National Institute of Neurological Disorders and Stroke yang didanai ESETT
membandingkan fosphenytoin IV, levetiracetam, dan valproate pada anak-anak dan orang dewasa
dengan status epilepticus yang tidak berespon terhadap terapi benzodiazepin awal. ESETT
dirancang untuk menjadi penelitian RCT kelas I yang akan mengidentifikasi terapi kedua yang
optimal untuk status tepileptikus yang resisten dengan benzodiazepine (64).
TABEL 1. Peringkat Artikel
Kelas I: Uji coba klinis prospektif, acak, terkontrol dengan penilaian hasil pada populasi yang
representatif. Berikut ini juga diperlukan:
a. Tidak lebih dari dua hasil utama yang telah ditentukan
b. Alokasi tertutup
c. Kriteria eksklusi / inklusi didefinisikan dengan jelas
d. Karakteristik dasar yang relevan disajikan dan secara substansial setara antar kelompok
perlakuan, atau sesuai penyesuaian statistik untuk perbedaan
e. Perhitungan yang memadai untuk subjek drop-out (dengan setidaknya 80% dari subyek yang
terdaftar menyelesaikan studi ini) dengan jumlah yang cukup rendah dalam potensi bias minimal
f. Keunggulan dalam desain penelitian dengan superioritas atau noninferioritas menggunakan
margin 10% pada desain noninferioritas
Kelas II: Uji coba klinis prospektif acak dan dengan penilaian hasil yang tidak memiliki satu atau
dua kriteria a-e (lihat kelas I) atau studi kelompok kohort prospektif pada populasi yang
representatif yang memenuhi kriteria a-e
Kelas III: Semua percobaan terkontrol lainnya pada populasi yang representatif, di mana hasilnya
dinilai secara independen, atau berasal dari pengukuran hasil objektif
Kelas IV: Bukti dari studi yang tidak terkontrol, seri kasus, laporan kasus, atau pendapat ahli
TABEL 2. Terjemahan Rating artikel untuk Kesimpulan dan Rekomendasi
Terjemahan Bukti Rekomendasi Kesimpulan dan Rekomendasi
Level A :
Satu atau lebih penelitian kelas I atau dua atau lebih penelitian kelas II yang konsisten
Kesimpulan, level A:
Diartikan sebagai efektif, tidak efektif, atau berbahaya bagi kondisi yang diberikan pada populasi
yang ditentukan
Rekomendasi: Harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan
Level B:
Satu atau lebih penelitian kelas II atau tiga atau lebih penelitian kelas III yang konsisten
Kesimpulan, tingkat B:
Diartikan mungkin efektif, tidak efektif, atau berbahaya bagi kondisi yang diberikan pada populasi
tertentu
Rekomendasi: Harus dipertimbangkan atau tidak boleh dipertimbangkan
Level C :
Dua atau lebih studi kelas III yang konsisten
Kesimpulan, level C: Mungkin efektif, tidak efektif, atau berbahaya bagi kondisi yang diberikan
pada populasi tertentu
Rekomendasi: Bisa dipertimbangkan atau mungkin tidak dipertimbangkan
Tingkat U: Kurangnya penelitian yang memenuhi kriteria A, B, atau C
Kesimpulan, tingkat U: Data tidak memadai atau tidak mencukupi. Dengan pengetahuan terkini,
pengobatannya belum terbukti
Rekomendasi: Tidak ada rekomendasi

GAMBAR 1. Usulan algoritma pengobatan untuk status epilepticus.


Algoritma / pedoman klinis ini dirancang untuk membantu klinisi dengan menyediakan kerangka
analisis untuk mengevaluasi dan merawat pasien dengan status epileptikus. Algoritma ini tidak
dimaksudkan untuk menetapkan standar perawatan masyarakat, menggantikan penilaian medis
dokter, atau membuat protokol untuk semua pasien. Kondisi klinis yang dipikirkan algoritma /
pedoman tidak akan sesuai atau sama untuk semua pasien.
.

Anda mungkin juga menyukai