Anda di halaman 1dari 15

Dexmedetomidine Sebagai Terapi Pencegahan Delirium Pada Pasien Lansia Setelah

Operasi Non-Kardiak: Penelitian Acak, Double-Blind, Terkontrol Dengan Plasebo

Ringkasan
Latar belakang Delirium adalah komplikasi pasca operasi yang sering terjadi pada pasien dengan
usia diatas 65 tahun, dan merupakan pertanda hasil klinis yang merugikan. Kami menyelidiki
apakah profilaksis dexmedetomidine dosis rendah dapat dengan aman menurunkan kejadian
delirium pada pasien lanjut usia setelah operasi non-kardiak.

Metode Kami melakukan percobaan acak, double-blind, terkontrol dengan plasebo didua rumah
sakit tersier di Beijing, Cina. Kami mendaftarkan pasien berusia 65 tahun atau lebih, yang dirawat
di unit perawatan intensif setelah operasi non-kardiak, dengan memberikan informed consent.
Kami menggunakan urutan pengacakan yang dihasilkan komputer (dalam rasio 1: 1) secara acak
untuk membagi pasien dalam kelompok yang mendapatkan dexmedetomidine intravena (0·1 μg
/kg per jam, dari unit perawatan intensif pada hari operasi sampai jam 08.00 pagi pada hari ke-1
pasca operasi), atau plasebo (normal saline intravena). Peserta, perawat dan pemeriksa tidak
mengetahui pembagian kelompok. Hasil akhir primer adalah kejadian delirium, dinilai dua kali
sehari dengan Confusion assessment methode untuk unit perawatan intensif selama 7 hari pertama
pasca operasi. Analisis dilakukan untuk menilai populasi intention-to-treat dan keamanan obat.
Studi ini terdaftar dengan Registry Uji Klinis Cina, www.chictr.org.cn, nomor ChiCTR-TRC-
10000802.
Temuan Antara 17 Agustus 2011 hingga 20 November 2013, dari 2016 pasien yang diperiksa,
700 pasien secara acak dibagi untuk menerima plasebo (n = 350) atau dexmedetomidine (n = 350).
Insiden delirium pasca operasi secara signifikan lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine
(32 [9%] dari 350 pasien) dibandingkan pada kelompok plasebo (79 [23%] dari 350 pasien; rasio
[OR] 0 · 35, 95% CI 0 · 22–0 · 54; p <0 · 0001). Mengenai keamanan, kejadian hipertensi lebih
tinggi pada plasebo (62 [18%] dari 350 pasien) dibandingkan dengan dexmedetomidine (34 [10%]
dari 350 pasien; 0 · 50, 0 · 32–0 · 78; p = 0 · 002). Takikardia juga lebih tinggi pada pasien yang
diberi plasebo (48 [14%] dari 350 pasien) dibandingkan pada pasien yang diberikan
dexmedetomidine (23 [7%] dari 350 pasien; 0 · 44, 0 · 26–0 · 75; p = 0 · 002). Terjadinya hipotensi
dan bradikardi tidak berbeda antar kelompok.
Interpretasi Untuk pasien berusia di atas 65 tahun yang dirawat di unit perawatan intensif setelah
operasi non-kardiak, profilaksis dosis rendah dexmedetomidine secara signifikan menurunkan
kejadian delirium selama 7 hari pertama setelah operasi. Terapi ini dinyatakan aman.
Pendahuluan
Sebuah review sistematis1 mengungkapkan bahwa delirium pasca operasi terjadi pada 11-51%
pasien setelah operasi dan prevalensinya akan meningkat seiring bertambahnya usia. Terjadinya
delirium dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, waktu rawat inap di rumah sakit
yang lebih lama, perbaikan fungsional yang lebih buruk dan penurunan fungsi kognitif jangka
panjang.1,2 Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, sekitar 30-40% dari kasus delirium dianggap
disebabkan oleh modifikasi faktor risiko, dan karenanya dapat dicegah.3 Berbagai pendekatan yang
bertujuan untuk meminimalkan pengaruh factor risiko pada pasien medis belum dapat memberikan
hasil, dan tidak ada penelitian konklusif yang mendukung pemberian obat profilaksis.4
Dexmedetomidine adalah agonis adrenoreseptor α2 yang sangat selektif yang memberikan efek
anxiolysis, sedasi, dan analgesia dengan depresi pernafasan minimal.5 Dexmedetomidine semakin
banyak digunakan untuk sedasi pada pasien dengan ventilasi mekanik di unit perawatan intensif
(ICU), 6 di mana penggunaannya dikaitkan dengan penurunan prevalensi delirium bila
dibandingkan dengan obat sedative lainnya.7,8 Namun, pada penelitian mengenai delirium lainnya,
7-9
dexmedetomidine dibandingkan dengan obat seatif yang memodulasi reseptor γ-aminobutyric-
acid tipe A (GABAA). Obat yang memodulator reseptor GABAA seperti benzodiazepin, bisa
meningkatkan prevalensi delirium.10 Penjelasan yang masuk akal mengapa dexmedetomidine
tidak mencegah terjadinya delirium, tetapi juga tidak meningkatkan prevalensi delirium seperti
halnya modulator dari reseptor GABAA. Selanjutnya, pasien yang dipasang ventilasi mekanis,
memiliki peningkatan risiko utuk mengalami delirium.11 Oleh karena itu, tidak jelas apakah
dexmedetomidin memiliki efek pencegahan terhadap delirium pada populasi pasien lain, termasuk
pasien yang tidak menggunakan ventilasi mekanik. Terakhir, dosis sedatif dexmedetomidine yang
digunakan dalam penelitian sebelumnya 9 dikaitkan dengan peningkatan hipotensi atau bradikardi,
yang membatasi penggunaannya secara luas dibidang klinis.6 Karena dexmedetomidine dapat
mempengaruhi hemodinamik tergantung pada jumlah dosis,12 maka penting untuk mendefinisikan
apakah dosis yang lebih rendah daripada dosis yang digunakan dalam penelitian lain masih
bermanfaat dalam mengurangi kejadian delirium dengan perubahan hemodinamik yang lebih
sedikit.
Gangguan tidur sering terjadi pada pasien pasca operasi, terutama pada mereka yang dirawat di
ICU setelah operasi besar, 13 dan waktu tidur yang berkurang dikaitkan dengan prevalensi delirium
pasca operasi yang lebih tinggi. Hasil dari penelitian tahun 2014 15 menunjukkan bahwa pemberin
infus obat sedatif pada malam hari berupa dexmedetomidine meningkatkan kualitas tidur pasien
ICU yang memakai ventilasi mekanik. Dengan hasil penelitian ini, kami melakukan studi
kelayakan untuk menguji hipotesis kami bahwa infus dexmedetomidine dosis rendah yaitu 0.1
μg/kg per jam bisa memiliki manfaat untuk tidur pasien. Kami menemukan bahwa infus profilaksis
dosis rendah dexmedetomidine meningkatkan kualitas tidur secara keseluruhan diukur dengan
polisomnografi dan penilaian subjektif. Temuan ini mendorong kami untuk melakukan uji coba
terkontrol secara acak dengan ukuran sampel yang besar untuk menyelidiki apakah infus intravena
profilaksis dexmedetomidine dosis rendah menurunkan prevalensi delirium pada pasien yang
berusia di atas 65 tahun (selanjutnya disebut sebagai pasien lanjut usia) yang dirawat di ICU
setelah operasi non-kardiak.
Metode
Desain penelitian
Kami melakukan penelitian secara acak, double-blind, parallel-arm placebo controlled di ICU
Rumah Sakit pertama dan Rumah Sakit Ketiga Universitas Peking di Beijing, Cina. Penelitian ini
dirancang untuk menilai superioritas intervensi. Protokol penelitian (lampiran) disetujui oleh
Komite Etika Penelitian Klinis setempat (2011 [10]). Kami memperoleh informed consent tertulis
dari pasien yang kompetensinya ditentukan oleh mereka dengan orientasi akurat untuk waktu,
tempat, dan orang, dan pemahaman tentang deskripsi uji coba, atau sebaliknya dari keluarga
terdekat mereka atau perwakilan hukum mereka (lampiran).
Pasien
Kami menyaring calon peserta saat masuk ke ICU. Kriteria inklusi adalah pasien yang berusia 65
tahun atau lebih yang menjalani operasi non-kardiak elektif dengan anestesi umum dan dirawat di
ICU setelah operasi. Pasien dieksklusi jika mereka memenuhi salah satu kriteria berikut: riwayat
pra operasi dengan skizofrenia, epilepsi, Parkinsonisme, atau miastenia gravis; ketidakmampuan
untuk berkomunikasi dalam periode pra operasi (koma, demensia mendalam, atau hambatan
bahasa); cedera otak atau riwayat operasi bedah saraf; frase ejeksi ventrikel kiri pra operasi kurang
dari 30%, sick sinus sindrom, sinus bradikardia berat (<50 denyut per menit [bpm]), atau av blok
derajat kedua atau lebih tanpa alat pacu jantung; disfungsi hati yang berat (Child-Pugh class C);
disfungsi ginjal yang berat (menjalani dialisis sebelum operasi); atau kemungkinan rendah untuk
bertahan hidup selama lebih dari 24 jam.
Randomisasi dan masking
Seorang biostatistik, yang tidak bergantung pada data analisis manajemen dan statistik, yang
dihasilkan secara acak (dalam rasio 1: 1) menggunakan perangkat lunak SAS 9.2 (SAS Institut,
Cary, NC). Hasil dari pengacakan disegel dalam amplop berurutan dan disimpan ditempat
penelitian sampai akhir penelitian.
Selama masa penelitian, pasien ICU yang direkrut secara berurutan dibagi untuk menerima baik
dexmedetomidine atau plasebo (normal saline). Perawat memberikan obat sesuai dengan urutan
pengacakan. Personil, anggota tim perawatan kesehatan, dan pasien tidak mengetahui mengenai
pembagian kelompok perawatan sepanjang penelitian. Dalam keadaan darurat (misalnya,
perburukan klinis yang tidak terduga, memburuknya status klinis pasien dengan cepat), peneliti
dapat meminta info mengenai pembagan kelompok perawatan, atau menghentikan pemberian obat
jika perlu. Situasi ini didokumentasikan, meskipun analisis dilakukan pada populasi intentuon-to-
treat.
Prosedur
Obat dalam penelitian (dexmedetomidine hydrochloride 200 μg/2 mL dan saline normal 2 mL)
diberikan sebagai cairan jernih dalam botol 3 mL yang sama (diproduksi oleh Jiangsu Hengrui
Medicine Co, Ltd, Jiangsu, Cina) dan dibagikan oleh apoteker yang tidak berpartisipasi dalam
penelitian. Obat yang diteliti diencerkan dengan saline normal sampai 50 mL (yaitu, konsentrasi
hidroklorida dexmedetomidine adalah 4 μg/mL) sebelum pemberian.
Untuk pasien yang tidak diintubasi, obat-obatan diberikan sebagai infus intravena kontinyu pada
dosis 0.025 mL/kg per jam (0·1 μg/kg per jam dexmedetomidine dalam kelompok perlakuan) dari
waktu perekrutan pada hari operasi (biasanya dalam 1 jam setelah masuk ICU) sampai 0800 jam
hari pertama setelah operasi. Bagi mereka yang diintubasi dan memakai ventilasi mekanik,
ipemberian obat hanya dimulai setelah obat sedative (propofol atau midazolam) dititrasi ke skala
agitasi sedasi Richmond (RAS) 16 dari –2 atau lebih (dinilai setiap jam).
Analgesia pasca operasi diberikan secara terkontrol pada mereka yang melakukan analgesia
intravena atau epidural. Untuk pasien yang tidak menerima analgesia atau mereka yang
memerlukan analgesia selain yang disediakan maka diberikan morfin atau obat anti-inflamasi
nonsteroid (flurbiprofen axetil) diberikan melalui infus intravena atau bolus. Pasien dengan
ventilasi mekanik dibius dengan propofol atau midazolam melalui infus intravena atau injeksi
bolus, dan morfin seperlunya, dititrasi untuk mencapai RAS antara –2 dan +1 (dinilai setiap 4 jam).
Sedasi harian diinterupsi pada mereka yang tidak diekstubasi pada pagi hari pasca operasi 1. Pasien
diekstubasi ketika mereka memenuhi tiga kriteria berikut: pertukaran gas yang adekuat selama
percobaan pernapasan spontan, status hemodinamik stabil (20% di atas atau di bawah baseline),
dan tingkat kesadaran yang berkaitan dengan reflek untuk melindungi jalan napas.
Beberapa pendekatan untuk mengurangi terjadinya delirium merupakan bagian dari prosedur
standar untuk pasien di ICU, termasuk reorientasi berulang, stimulasi kognitif, mobilisasi dini,
strategi untuk tidur, alat bantu dengar atau penglihatan, dan koreksi dehidrasi tepat waktu.17 Pasien
yang mengalami delirium pasca operasi pertama diberikan strategi non-farmakologis. 18 Perawatan
Haloperidol diberikan kepada mereka dengan agitasi berat (skor RASS +3 atau lebih) yang tidak
responsif terhadap terapi non-farmakologis .19 Peserta penelitian tidak diberikan obat
dexmedetomidine secara open-label; skopolamin dan penehididin dilarang untuk digunakan;
atropine hanya digunakan untuk mengobati bradikardia. Pemindahan pasien dari ICU diputuskan
oleh intensivist yang bertanggung jawab; pemulangan pasien dari rumah sakit diputuskan oleh ahli
bedah yang bertangung jawab. Waktu pemulangan pasien dicatat.
Hasil
Penilaian hasil dilakukan oleh anggota penelitian yang dilatih sebelum penelitian dan tidak terlibat
dalam perawatan klinis pasien. Hasil akhir primer adalah kejadian delirium dalam 7 hari pertama
setelah operasi. Penilaian pertama delirium pasca operasi (juga disebut sebagai interval) dilakukan
sekitar 24 jam setelah operasi, 20 kita memilih waktu penilaian pertama tersebut untuk menghindari
munculnya delirium yang dapat terjadi segera setelah anestesi umum dan tidak terkait dengan hasil
yang merugikan.21,22 Dua kali sehari (dalam pagi dari jam 08.00 sampai 10.00 dan di malam hari
dari jam 18.00 hingga 20.00 ) sampai hari ketujuh setelah operasi, kami menilai delirium dengan
Confussion Assesment Method untuk ICU (CAM-ICU); (lampiran), 23 yang telah divalidasi pada
pasien Cina yang berada di ICU24 dan kelayakannya telah ditetapkan .25,26 CAM-ICU membahas
empat fitur dari delirium, yaitu, onset akut perubahan status mental, kurangnya perhatian,
pemikiran yang tidak teratur, dan tingkat kesadaran yang berubah. Untuk mencapai diagnosis
delirium, pasien harus menunjukkan onset akut perubahan status mental atau adanya fluktuasi dan
hilangnya perhatian, dengan pemikiran yang tidak teratur atau berubahnya tingkat kesadaran.
Segera sebelum memeriksa delirium, sedasi atau agitasi dinilai menggunakan RASS. Jika pasien
tersedasi terlalu dalam (RAS –4 atau –5), penilaian delirium dibatalkan dan pasien dicatat sebagai
koma. Jika RASS lebih dari –4 (–3 hingga +4), delirium dinilai dengan menggunakan CAM-ICU.
Pasien dengan delirium diklasifikasikan ke dalam 3 subtipe motorik. Delirium hiperaktif menjadi
definitif ketika RASS secara konsisten positif (+1 hingga +4); hypoactive delirium didefinisikan
ketika RASS konsisten netral atau negatif (–3 hingga 0); dan mixed delirium didefinisikan ketika
ada campuran antara skor ras dimana beberapa skor RASS positif (+1 hingga +4) dan beberapa
skor RAS adalah netral atau negatif (–3 hingga 0).27 Pasien rawat inap yang dipulangkan atau
meninggal dalam 7 hari setelah operasi, hasil penilaian delirium terakhir dilakukan sebagai hasil
dari data yang hilang. Pasien-pasien ini dieksklusi ketika menghitung prevalensi harian delirium
dalam analisis post-hoc.
Hasil akhir sekunder termasuk waktu untuk ekstubasi (dari waktu pertama masuk masuk ICU
hingga ekstubasi), lama tinggal di ICU (dari hari masuk ICU hingga dipindah dari ICU), lama
tinggal di rumah sakit setelah operasi (dari hari operasi hingga pulang dari rumah sakit), terjadinya
komplikasi pascaoperasi non-delirium, dan semua penyebab kematian 30 hari. Komplikasi non-
delirium umumnya didefinisikan sebagai kejadian medis selain delirium yang membutuhkan
intervensi terapeutik dan terjadi dalam 30 hari setelah operasi. Hasil penelitian tambahan termasuk
intensitas nyeri pasca operasi dan kualitas tidur yang subjektif. Intensitas nyeri baik saat istirahat
dan dengan gerakan dinilai dengan menggunakan Skala Angka Numerik (NRS, skala 11 poin di
mana 0 menunjukkan tidak ada rasa nyeri dan 10 menunjukkan kemungkinan nyeri terburuk) pada
3 jam, 6 jam, dan 24 jam setelah operasi. Kualitas tidur subyektif dinilai dengan menggunakan
NRS juga (skala 11 poin dimana 0 mengindikasikan untuk tidur terbaik dan 10 diindikasikan untuk
tidur terburuk) 28 pada jam 08.00 pertama, kedua, dan hari ketiga setelah operasi. Penilaian nyeri
dan tidur hanya dilakukan jika skor RASS lebih dari –4 (–3 hingga +4).
Efek samping dipantau sampai 24 jam setelah operasi atau hingga ada perbaikan. Bradikardia
ditemukan sebagai denyut jantung kurang dari 55 bpm atau penurunan lebih dari 20% dari awal
(dalam kasus dimana ada data denyut nadi awal [sebelum pemberian obat] kurang dari 69 bpm).
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik kurang dari 95 mm Hg atau penurunan lebih
dari 20% dari nilai awal (dalam kasus dimana TD awal kurang dari 119 mm Hg). Takikardia
didefinisikan sebagai denyut nadi lebih besar dari 100 bpm atau peningkatan lebih dari 20% dari
denyut awal (dalam kasus denyut awal lebih dari 83 bpm). Hipertensi didefinisikan tekanan darah
sistolik lebih dari 160 mm Hg atau meningkat lebih dari 20% dari awal (dalam kasus tekanan darah
awal lebih dari 133 mm Hg). Hipoksemia didefinisikan sebagai saturasi oksigen nadi kurang dari
90% atau penurunan lebih dari 5% (nilai absolut) dari nilai awal. Intervensi untuk bradikardia,
takikardia, dan hipertensi termasuk penyesuaian dosis infus obat atau pemberian obat, atau
keduanya. Intervensi untuk hipotensi termasuk penyesuaian dosis infus obat,bolus cairan
intravena, atau pemberian obat. Intervensi untuk hipoksemia termasuk pemberian oksigen (untuk
pasien tanpa intubasi endotrakeal), penyesuaian pengaturan ventilator (untuk pasien dengan
intubasi endotrakeal), atau fisioterapi.
Pasien difollow-up setiap minggu setelah minggu pertama sampai 30 hari setelah operasi. Semua
penyebab kematian 30 hari dicatat (lampiran).
Analisis statistik
Dalam penelitian kami, kejadian delirium pasca operasi pada populasi pasien yang sebanding
adalah 28%. Pada penelitian sebelumnya, 8,9 kejadian delirium berkurang kira - kira sepertiga
ketika dexmedetomidine digunakan dalam ICU untuk sedasi pada pasien dengan ventilasi
mekanik. Demikian, kami berasumsi bahwa kejadian delirium akan berkurang pada sepertiga
pasien dalam kelompok dexmedetomidine dalam penelitian ini. Dengan signifikansi yang
ditetapkan pada 0·05 dan kekuatan pada 80%, ukuran sampel yang diperlukan untuk mendeteksi
perbedaan adalah 656 pasien, dihitung dengan perangkat lunak Stata 10.0 (StataCorp LP, College
Station, TX, USA). Mengambil kemungkinan adanya peserta yang hilang saat follow-up sebesar
6%, kami merencanakan untuk mendaftarkan 700 pasien.
Variabel numerik dianalisis dengan menggunakan uji t unpaired atau tes Mann-Whitney. Variabel
kategori dianalisis dengan uji χ², uji koreksi kontinuitas χ² atau uji rasio kemungkinan χ².
Perbedaan dan 95% CI untuk perbedaan antara dua median dihitung dengan estimator Hodges-
Lehmann. Waktu awal hingga penilaian hasil dihitung dengan estimator Kaplan-Meier, dengan
perbedaan antar kelompok yang dinilai oleh uji log-rank. Jumlah yang diperlukan untuk
penghitungan intention to treat dihitung pada titik akhir selama periode follow-up 7 hari. Karena
manajemen pasien dengan atau tanpa intubasi endotrakeal di ICU berbeda, analisis post-hoc
subkelompok juga dilakukan.
Kami menganalisis data hasil dan keamanan pada populasi intention-to-treat. Kami juga
melakukan analisis per-protokol untuk menilai akhir primer. Kami tidak melakukan analisis
sementara. Analisis statistik dilakukan pada perangkat lunak SPSS 14.0 (SPSS, Chicago, IL) dan
perangkat lunak SAS 9.2 (SAS Institute, Cary, NC) dengan uji dua arah dimana pun yang sesuai
dan nilai p kurang dari 0 · 05 dianggap signifikan secara statistik. Komite Etika Penelitian Klinis
dari Rumah Sakit Pertama Universitas Peking terlibat dalam pengawasan data. Studi ini terdaftar
di www.chictr.org.cn, nomor ChiCTR-TRC-10000802.
Peran sumber pendanaan
Sponsor penelitian tidak memiliki peran dalam desain penelitian, pengumpulan, analisis, dan
interpretasi data, atau dalam penulisan laporan. Penulis yang sesuai mendapat akses ke semua data
dalam penelitian dan bertanggung jawab untuk integritas data dan keakuratan analisis data. Penulis
yang sesuai memiliki tanggung jawab atas keputusan untuk mengajukan publikasi.
Hasil
Antara 17 Agustus 2011 hingga 20 November 2013, 2016 pasien diskrining untuk berpartisipasi
dalam penelitian; 700 pasien terdaftar dalam penelitian dan secara acak dibagi untuk menerima
dexmedetomidine (n = 350) atau plasebo (n = 350); (Gambar 1). Selama masa penelitian, tidak
ada penyimpangan. Pemberian obat dalam penelitian dimodifikasi pada 48 pasien karena efek
samping. Pemeriksaan mengenai delirium selesai pada semua pasien dihari pertama masuk ICU.
Tidak ada penilaian yang dibatalkan karena sedasi yang dalam. 143 pasien pulang dari rumah sakit
dalam 7 hari setelah operasi. Dua pasien meninggal, pada hari ke-2 pasca operasi (satu pasien
disetiap kelompok). Semua pasien dimasukkan dalam analisis akhir intention-to treat (Gambar 1).
Kunjungan terakhir dari pasien dilakukan pada 20 Desember 2013.
Secara keseluruhan, kedua kelompok tersebut sama, baik untuk variable awal dan perioperatif,
kecuali bahwa persentase pasien dengan disfungsi ginjal pra operasi (serum kreatinin lebih besar
dari 177 μmol / L) lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine dibandingkan pada kelompok
plasebo dan persentase pasien yang membutuhkan ranfusi darah intraoperative lebih sedikit pada
kelompok dexmedetomidine daripada kelompok plasebo (tabel 1 dan lampiran). Setelah
pengacakan, proporsi pasien yang menerima sedasi tambahan sama pada kedua kelompok. Namun,
diantara pasien yang menerima sedasi propofol (untuk ventilasi mekanik) setelah operasi, dosis
total propofol yang diberikan lebih sedikit dalam kelompok dexmedetomidine daripada kelompok
plasebo (tabel 1).
Delirium pasca operasi terjadi pada 79 (23%) dari 350 pasien plasebo, dan pada 32 (9%) dari 350
pasien yang diberikan dexmedetomidine (rasio odds [OR] 0 · 35, 95% CI 0 · 22–0 · 54; p<0 ·
0001), dengan jumlah yang diperlukan untuk need to treat adalah 7·4 (95% CI 5 · 3–12 · 3) selama
7 hari follow-up. Analisis perprotocol juga menunjukkan perbedaan yang serupa dalam prevalensi
delirium antar kelompok (74 [22%] dari 334 pasien diberi plasebo vs 29 [9%] dari 318 pasien yang
diberikan dexmedetomidine, OR 0 · 35; 95% CI 0 · 22–0 · 56,p <0·0001). Analisis post-hoc
menunjukkan bahwa prevalensi delirium secara signifikan lebih rendah pada kelompok
dexmedetomidine daripada di kelompok placebo pada hari 1-3 pasca operasi (hari 1: 0·28, 0 ·16–
0·50; p <0·0001, hari 2: 0·43, 0·24–0·77; p = 0·005, hari 3: 0·26, 0·13–0·53;p <0·0001, gambar
2). Penurunan insiden delirium tetap ketika pasien diberi stratifikasi menurut status intubasi pada
saat masuk ICU (gambar 2). Masing-masing dari tiga subtipe motorik delirium secara signifikan
menurun pada kelompok dexmedetomidine (p <0·0001). Efek penurunan delirium dosis rendah
dari dexmedetomidine menjadi signifikan ketika durasi pemberian adalah 12-25 jam atau lebih
lama (tabel 2).
Untuk pasien dengan intubasi endotrakeal pada saat masuk ICU, waktu median untuk ekstubasi
lebih lama pada kelompok plasebo daripada kelompok dexmedetomidine (6-9 jam [95% CI 5 · 2–
8 · 6] dengan plasebo dan 4-6 jam [3 · 4-5 · 8] dengan dexmedetomidine [hazard ratio (HR) 1 ·
25, 95% CI 1 · 02–1 · 53; p = 0 · 031]). Untuk semua pasien, prevalensi komplikasi non-delirium
berkurang dari 73 (21%) dari 350 pasien yang diberi plasebo dan 52 (15%) dari 350 pasien yang
diberikan dexmedetomidine (OR 0 · 66, 95% CI 0 · 45–0 · 98; p = 0 · 039) (lampiran), lama tinggal
di ICU lebih lama pada kelompok plasebo, 21·5 jam (20 · 7-22 · 3) dibandingkan dengan
dexmedetomidine (20·9 jam [20 · 4–21 · 4]; HR 1 · 18, 1 · 02–1 · 37; p = 0 · 027); perbedaan yang
tidak signifikan antar kedua kelompok terlihat pada lama rawat inap dirumah sakit setelah operasi
dan semua penyebab kematian dalam 30 hari. Namun, dalam analisis pasca-hoc, persentase pasien
yang dipulangkan dari rumah sakit 7 hari setelah operasi lebih tinggi pada kelompok
dexmedetomidine (83 [24%] dari 350 pasien) daripada kelomok placebo (60 [17%] dari 350
pasien, OR 1 · 50; 1 · 04–2 · 18, p = 0 · 032; gambar 2).
Nilai nyeri NRS baik saat istirahat dan dengan gerakan secara signifikan lebih rendah pada
kelompok dexmedetomidine daripada di kelompok plasebo pada 3, 6, dan 24 jam setelah operasi
(semua p <0 · 0001, kecuali untuk satu p = 0 · 001 pada 24 jam dengan gerakan); Namun,
perbedaan rata-rata skor nyeri NRS antar kelompok sedikit (0 hingga –1). Skor NRS untuk kualitas
tidur subyektif juga signifikan lebih rendah (yaitu, lebih baik) dalam kelompok dexmedetomidine
daripada kelompok plasebo pada pukul 08.00 pagi di hari pertama, kedua, dan ketiga setelah
operasi (semua p <0 · 0001; tabel 2).
Skor RASS pada akhir penelitian serupa antara kedua kelompok. Insidensi bradikardi dan
hipotensi tidak berbeda, atau persentase pasien yang membutuhkan intervensi karena efek samping
sama pada keuda kelompok. Di samping itu, kejadian takikardia (p = 0, 002), hipertensi (p = 0,
002), dan hipoksemia (p = 0, 001) secara signifikan lebih rendah, dan, karenanya, persentase pasien
yang memerlukan intervensi untuk takikardia (p = 0, 005) dan hipertensi (p = 0 · 016) secara
signifikan lebih sedikit pada kelompok dexmedetomidine dibandingkan pada kelompok plasebo.
Namun, persentase pasien yang menjalani modifikasi terapi (penurunan laju infus menurun, atau
infus dihentikan sementara atau permanen) secara signifikan lebih besar (p = 0 · 046) pada
kelompok dexmedetomidine daripada kelompok plasebo (tabel 3).
Diskusi
Hasil kami menunjukkan bahwa profilaksis dosis rendah dexmedetomidine secara signifikan
mengurangi kejadian delirium dalam 7 hari pertama setelah operasi pada pasien usia lanjut yang
dirawat di ICU setelah operasi non-cardiac. Kesimpulan ini tampaknya benar untuk pasien dengan
atau tanpa intubasi endotrakeal pada saat masuk ICU dan untuk ketiga subtipe motorik delirium.
Dexmedetomidine juga secara signifikan meningkatkan kualitas subjektif tidur, menurunkan
prevalensi komplikasi non-delirium, mempersingkat masa tinggal di ICU, dan meningkatkan
persentase pasien pulang dari rumah sakit lebih awal, tetapi tidak secara signifikan meningkatkan
efek samping. Menurut pengetahuan kami, penelitian kami adalah studi acak pertama yang
menunjukkan manfaat infus dexmedetomidine dosis rendah dalam populasi pasien bedah ini.
Delirium pasca operasi berkembang pada 23% pasien dikelompok plasebo, serupa dengan
penelitian sebelumnya .1,11,25 Sesuai dengan laporan sebelumnya, prevalensi delirium pasca operasi
tinggi pada pasien dengan intubasi endotrakeal pada saat masuk ICU dibandingkan pada mereka
tanpa intubasi.29 Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kondisi berat yang mendasari pada pasien
yang diintubasi pada saat masuk ICU, yang dikaitkan dengan peningkatan risiko delirium pasca
operasi.30 Kedua, protokol kami mengizinkan penggunaan obat sedative tambahan atau analgesic
pada pasien dengan ventilasi mekanik selama tinggal di ICU; akibatnya lebih banyak dari pasien
ini menerima tamabahn propofol, midazolam, dan morfin, masing-masing mungkin meningkatkan
risiko delirium pasca operasi.31
Dexmedetomidine telah digunakan oleh intensivist pada praktek umum untuk sedasi pada pasien
ICU yang menggunakan ventilasi mekanik pada dosis infus dari 0 · 2 hingga 1 · 7 μg / kg per jam
dengan atau tanpa loading dosis; 7-9 dosis sedative dexmedetomidine dikaitkan dnegan munculnya
dengan efek samping, terutama hipotensi dan bradikardi.7–9 Dalam penelitian ini, pasien tidak
diberikan loading dosis dexmedetomidine, dan diberikan dosis infus sub-sedatif (yaitu, 0 · 1 μg /
kg per jam). Skor RASS serupa antar dua kelompok, menunjukkan bahwa dosis rendah
dexmedetomidine tidak menghasilkan efek sedasi yang signifikan. Protokol kami dirancang untuk
memastikan periode penelitian obat sejak masuk ICU pada hari operasi sampai pukul 08.00 pagi
hari pertama pasca operasi untuk sejumlah alasan. Pertama, setiap intervensi farmakologi
profilaksis harus dimulai lebih awal karena prevalensi delirium paling tinggi selama pasca operasi
awal.30 Kedua, obat ini harus mencakup jam malam, untuk meningkatkan kualitas tidur pasien,
karena aksi sentral dexmedetomidine pada jalur promosi tidur endogen. 32 Ketiga, kami
mengantisipasi sekitar separuh dari populasi bedah elektif yang membutuhkan ICU, merekan akan
dipindahkan dari ICU dalam waktu 24 jam; dengan mengakhiri infus dexmedetomidine pada pukul
08.00 pagi pada hari pertama pasca operasi, waktu yang cukup untuk mengaktifkan obat dengan
waktu paruh eliminasi terminal 3 - 7 jam dari plasma pada saat pasien keluar dari ICU.33
Meskipun hasil penelitian sebelumnya7–9,31 menunjukkan bahwa terjadinya delirium berkurang
pada pasien yang secara acak menerima dosis sedative dexmedetomidine versus sedatif-hipnotik
alternative (benzodiazepin atau propofol) atau analgesik (opiat) pada pasien dengan ventilasi
mekanis, tidak jelas apakah pasien mendapat manfaat melalui efek profilaksis dexmedetomidine,
atau karena menghindari obat sedative dan analgesic yang merangsan delirium. Penelitian kami
adalah penelitian terkontrol plasebo, dan proporsi pasien pada keuda kelompok serupa untuk yang
menerima sedasi tambahan, meskipun dosis tota; propofol yang dikonsumsi lebih sedikit pada
pasien yang menerima dexmedetomidine (tabel 1). Selain itu, analisis subkelompok post-hoc
menunjukkan bahwa dexmedetomidine sangat efektif dalam mencegah delirium pasca operasi baik
pasien yang diintubasi maupun yang tidak diintubasi. Meskipun ukuran efek absolut untuk
mengurangi delirium lebih tinggi pada pasien yang diintubasi, namun perbaikannya sangat mirip
(tabel 2). Yang penting, data kami juga menunjukkan bahwa efek delirium pada dexmedetomidine
bergantung pada dosis, karena ada korelasi negatif yang signifikan antara jumlah
dexmedetomidine yang diberikan (durasi infus dikalikan dengan dosis) dan kemungkinan
berkembangnya delirium (koefisien korelasi Pearson –0 · 190, p <0 · 0001). Selain itu, efek
dexmedetomidine untul mencegah delirium tidak terbatas selama periode pemberian obat saja
tetapi diperpanjang hingga hari ketiga pasca operasi (Gambar 2). Secara kolektif, melakukan
penyelidikan ini bersama dengan penelitian sebelumnya, seseorang dapat menyatakan bukti yang
lebih baik bahwa d dexmedetomidine adalah alasan berkurangnya delirium.
Dexmedetomidine secara signifikan menurunkan hipoksemia pada pasien kami; hasil penelitian
lain 14,34 menunjukkan bahwa hipoksemia pasca operasi berkontribusi untuk pengembangan
delirium. Meknaisme yang mendasari aksi dexmedetomidine terhadap hypoxaemia tidak
diselidiki; studi praklinis menyoroti efek protektif paru setelah cedera organ.35 Namun, efek yang
nyata ini bisa juga terjadi hanya secara kebetulan.
Dexmedetomidine dapat memberikan efek analgesia dengan bertindak sebagai reseptor adrenergik
α2 di medula spinalis.36,37 Hasil penelitian kami juga menunjukkan bahwa dosis rendah
dexmedetomidine secara signifikan menurunkan skor nyeri NRS pasca operasi hingga 24 jam
setelah operasi. Namun, penurunan ini kecil dan, oleh karena itu, tidak mungkin memiliki
signifikansi klinis. Namun demikian, nyeri itu sendiri merupakan faktor risiko berkembangnya
delirium, 38 jadi farmakoprofilaksis delirium tampaknya menjadi strategi yang lebih baik daripada
meningkatkan tambahan obat analgesik untuk mengurangi nyeri pasca operasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dexmedetomidine secara signifikan memperbaiki kualitas
tidur pasien pasca operasi, dan manfaat bertahan melampaui periode pemberian obat, yaitu, hingga
3 hari pasca operasi, yang konsisten dengan penurunan signifikan dalam prevalensi delirium
harian. Dexmedetomidine memberikan efek hipnosis melalui aktivasi jalur tidur-endogen dan
menghasilkan tahap II non-rapid eye movement sleep-like state.32 Pada pasien ICU yang memakai
ventilasi secara mekanik, pemberian dimalam hari dexmedetomidine (0 · 2–0 · 7 μg / kg per jam)
mempertahankan siklus tidur siang-malam.39 Kami berspekulasi bahwa memproduksi keadaan
menyerupai tidur alami dengan dexmedetomidine akan menjadi strategi yang lebih baik dari pada
menggunakan obat sedative yang dapat meningkatkan kejadian delirium seperti benzodiazepin,
yang menghasilkan keadaan yang tidak seperti tidur alami.40
Terlepas dari perbaikan dexmedetomidine pada hipoksemia, analgesia, dan tidur dalam penelitian
ini, mungkin mekanisme dexmedetomidine dalam mengurangi delirium pasca operasi dikaitkan
dengan aksinya pada jalur inflmasi yang terbukti baik secara klinis41 dan dalam model praklinis.42
Hubungan yang kuat telah ditunjukkan antara peningkatan biomarker infllamasi dan resikonya
untuk mengembangkan delirium, 43 sifat kausal ini telah berulang kali ditunjukkan dalam
penelitian praklinis.44,45 Biomarker inflmasi tidak diukur dalam penelitian ini sehingga tidak
memungkinkan untuk menilai apakah dosis rendah infus dexmedetomidine dapat menekan
inflmasi terkait dengan trauma aseptik pembedahan.
Sehubungan dengan keamanan, data kami mengungkapkan bahwa bradikari dan hipotensi karena
tidak meningkat secara signifikan, mungkin karena dosis yang diguankan sangat rendah,
sedangkan hipertensi dan takikardia keduanya menurun secara signifikan pada pasien yang
diberikan dexmedetomidine. Namun, penelitian kami hanya mendukung efektivitas
penggunaanya, tetapi bukan meneliti keamanan; penelitian berskala lebih besar akan diminta untuk
mengeksklusi kemungkinan masalah keamanan. Namun demikian, sifat menstabilkan
hemodinamik dari dexmedetomidine mungkin bermanfaat, hal ini dapat mengurangi efek pada
jantung yang merugikan pada pasien berisiko tinggi.46 Meskipun kami tidak mengamati perbedaan
yang signifikan mengenai kejadian kardiovaskular dalam penelitian ini, secara keseluruhan
prevalensi komplikasi pasca operasi secara signifikan lebih rendah pada kelompok
dexmedetomidine.
Sejalan dengan laporan sebelumnya, 47 data kami menunjukkan dexmedetomidine memperpendek
durasi penggunaan ventilasi mekanik dan durasi lama rawat inap ICU, dan meningkatkan
persentase pasien yang pulang dari rumah sakit lebih awal. Penelitian sebelumnya membahas efek
yang dihasilkan oleh dexmedetomidine, termasuk peningkatan stabilitas hemodinamik dan
menurunkan prevalensi delirium dan komplikasi non-delirium.48 Namun, penelitian kami tidak
memberikan hubungan kausal antara berbagai hasil secara bersamaan. Sejalan dengan data kami,
sebuah penelitian kecil49 menunjukkan bahwa dexmedetomidine mempercepat waktu ekstubasi
pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis di ICU yang mengalami delirium .
Meskipun studi pragmatis kami memiliki banyak kekuatan, termasuk pendaftaran ukuran sampel
yang cukup besar (700 pasien bedah) untuk mencapai perbedaan yang signifikan pada hasil akhir
primer dan beberapa hasil sekunder antara dua kelompok, namun ada beberapa keterbatasan.
Pertama, ICU ditempat kami sangat ramai yang menempatkan pasien pada peningkatan risiko
delirium karena kurang tidur dan terganggunya tidur. Seperti yang kita ketahui, kita hanya
mendaftarkan pasien bedah yang ada diICU, sehingga tidak diketahui apakah infus
dexmedetomidine dosis rendah akan mengurangi gangguan tidur dan dengan demikian
mengurangi delirium pada pasien pasca operasi yang dirawat diruang non-ICU atau pasien medis
non-bedah yang ada diICU. Kedua, semua peserta diskrining dan terdaftar setelah masuk ICU dan
tidak memiliki pemeriksaan delirium awal melalaui penilaian fungsi kognitif.Oleh karena itu, kami
tidak dapat menghalangi bias potensial karena ketidakseimbangan kondisi awal pra operasi.
Namun, randomisasi secara ketat dan ukuran sampel yang besar seharusnya membantu
menyeimbangkan faktor-faktor ini. Ketiga, meski ada pengacakan, beberapa parameter awal dan
perioperatif tidak sama antara dua kelompok, yang tidak biasa ditemukan dalam uji coba
terkontrol secara acak. Karena itu, kami tidak dapat menghalangi bias potensial yang dihasilkan
oleh ketidakseimbangan faktor-faktor ini. Terakhir, telah dicatat bahwa CAM-ICU mungkin tidak
sensitif seperti alat lain, misalnya, 3D-CAM, untuk penilaian delirium terutama untuk kelompok
etnis lain 50,51 dan di pengaturan non-ICU.52
Studi kami menunjukkan bahwa, pada pasien usia lanjut yang dirawat di ICU setelah operasi non-
kardiak, dosis rendah profilaksis infus dexmedetomidine secara signifikan mengurangi penurunan
prevalensi delirium pasca operasi. Pemberian dexmedetomidine dosis rendah tidak signifikan
meningkatkan prevalensi bradikardi atau hipotensi, tetapi secara signifikan menurunkan prevalensi
hipertensi, takikardia, dan hipoksemia. Namun, apakah efek menguntungkan yang dipengaruhi
oleh dexmedetomidine dapat mempengaruhi hasil untuk jangka panjang masih belum diketahui.

Konteks penelitian
Bukti klinis sebelum penelitian dilakukannya penelitian ini
Kami mencari penelitian di PubMed antara 1 Januari 2001, dan 31 Desember 2015, dengan istilah
"dexmedetomidine", "delirium pasca operasi ”, dan“ lansia ”, dan kemudian dibatasi menjadi“
penelitian acak terkontrol "atau" meta-analisis ". Kami mengidentifikasi tujuh penelitian acak
dengan sampel yang kecil (tiga diterbitkan dalam bahasa Inggris dan empat dalam bahasa Cina)
dan satu meta-analisis. Dexmedetomidine diberikan dalam lima percobaan dalam dosis yang relatif
tinggi untuk sedasi pada pasien pasca operasi. Dari mereka, hasil akhir primer yang dinilai adalah
bukan insiden atau prevalensi delirium dalam tiga percobaan; dalam dua uji coba yang diterbitkan
dalam bahasa Cina, dexmedetomidine menurunkan kejadian delirium selama 3 hari pertama
setelah operasi kanker mulut dalam satu percobaan sementara, di sisi lain, pemberian analgesia
yang juga mngandung dexmedetomidine, diberikan kepada pasien usia lanjut setelah operasi
tulang belakang, tidak mengurangi insidensi delirium selama 3 hari pertama pasca operasi.
Publikasi meta-analisis menyarankan penggunaan dexmedetomidine dalam kondisi perioperatif
atau untuk sedasi saat perawatn di unit perawatan intensif (ICU) dikaitkan dengan risiko rendah
disfungsi neurokognitif.
Nilai tambah dari penelitian ini
Sepengetahuan kami, penelitian ini adalah yang pertama untuk menyarankan pemberian infus
profilaksis dexmedetomidine dosis rendah, suatu obat sedative agonis α2 adrenoceptor, secara
signifikan menurunkan prevalensi delirium pasca operasi dan tanpa peningkatan efek samping.
Implikasi dari semua bukti yang tersedia
Dosis sub-sedatif dexmedetomidine dapat digunakan dengan aman untuk pasien lanjut usia setelah
operasi, baik dengan atau tanpa intubasi endotrakeal, untuk mengurangi kemungkinan delirium
pasca operasi.
Table 1. variable perioperative
Gambar 2. prevalensi post operatif delirium harian

Table 2. efektivitas hasil klinis


Table 3 keamanan obat

Anda mungkin juga menyukai