04011281520149
ALPHA 2015
ANALISIS MASALAH
Apa saja kelainan yang dapat menyebabkan cairan amnion kental,berbau,hijau ?
Meconium aspiration syndrome
Infeksi intrauterin
Apakah tindakan yang dilakukan sudah tepat? Bagaimana tindakan yang harusnya dilakukan
bila belum tepat?
Sumber: New algorithm for 6th. edition (Prambudi, 2013).
LEARNING ISSUES
RD
Faktor resiko (Ranjit, 2001)
1. Prematuritas
2. BBLR
3. Sosioekonomi rendah
Klasifikasi
Berdasarkan skor downe:
0-4 : Distress Napas Ringan; membutuhkan O2 nasal atau headbox
4-7 : Distsres Napas Sedang; membutuhkan Nasal CPAP
>7 : Distres Napas Berat; Ancaman Gagal Napas; membutuhkan Intubasi (perlu
diperiksa Analisa Gas Darah/AGD)
KPD
Algoritma diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus meliputi 3 hal,
yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi janin, dan penilaian
kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua pemeriksaan penunjang terbukti signifikan
sebagai penanda yang baik dan dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas
mana pemeriksaan yang perlu dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk perlu
dilakukan (Hartono, 2016).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum)
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi adanya cairan
amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari
cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan
faktor risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya
dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang
digunakan dilubrikasi terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril
dan sebaiknya tidak menyentuh serviks.
Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat,
atau prolaps bagian terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan
pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual. Dilatasi
serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus diperhatikan dengan baik. Jika terdapat
kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk
diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk
dikultur.
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi pemeriksaan
lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes
pH dari forniks posterior vagina (pH cairan amnion biasanya~ 7.1-7.3 sedangkan sekret
vagina ~ 4.5 -6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat
adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika
terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala yang
datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan
kemungkinaan adanya prolaps tali pusat
2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai indeks cairan
amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang
tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT)
maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya volume cairan
ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai
taksiran berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan lain
keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas
setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan.
Pemeriksaan seperti insulin-like growth factor binding protein 1 (IGFBP-1) sebagai penanda
dari persalinan preterm, kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki
sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol.
Selain itu, pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan vagina tidak
memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm.
Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum
terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37
minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum
usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes
(PPROM) (Hartono, 2016).
Epidemiologi
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya yang cukup
besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6%
kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan
tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar. PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3
dari semua kelahiran prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 1981. Dapat
diprediksi bahwa ahli obstetri akan pernah menemukan dan melakukan penanganan kasus
KPD dalam karir kliniknya. Kejadian KPD preterm berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang
mengalami KPD preterm akan mengalami infeksi yang berpotensi berat, bahkan fetus/
neonatus akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas terkait KPD preterm yang lebih
besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami kematian. Persalinan prematur
dengan potensi masalah yang muncul, infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat in utero
merupakan komplikasi yang umum terjadi. KPD preterm berhubungan dengan sekitar 18-
20% kematian perinatal di Amerika Serikat (Hartono, 2016).
Etiologi
Penyebab KPD menurut Manuaba, 2009 dan Morgan, 2009 meliputi antara lain (1) Serviks
inkompeten, (2) Faktor keturunan, (3) pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban (infeksi
genetalia), (4) overdistensi uterus , (5)malposisi atau malpresentase janin, (6) faktor yang
menyebabkan kerusakan serviks, (7) riwayat KPD sebelumnya dua kali atau lebih, (8) faktor
yang berhubungan dengan berat badan sebelum dan selama hamil, (9) merokok selama
kehamilan, (10) usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat daripada
usia muda, (11) riwayat hubungan seksual baru-baru ini, (12) paritas, (13) anemia, (14)
keadaan sosial ekonomi. Sebuah penelitian oleh Getahun D, Ananth dkk tahun 2007
menyebutkan bahwa asma bisa memicu terjadinya ketuban pecah dini.
BP
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah : (Whaley, 2006)
1. Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru yang
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang
2. Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dala jaringan paru yang meradang
4. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
5. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
Langkah Preventif
1. Mencegah dan mengobati ibu demam dengan kecurigaan infeksi berat atau infeksi
intrauterin.
2. Mencegah dan pengobatan ibu dengan ketuban pecah dini.
3. Perawatan antenatal yang baik.
4. Mencegah aborsi yang berulang, cacat bawaan.
5. Mencegah persalinan prematur.
6. Melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman.
7. Melakukan resusitas dengan benar.
8. Melakukan tindakan pencegahan infeksi : CUCI TANGAN!!
9. Melakukan identifikasi awal terhadap faktor resiko sepsis pengelolaan yang efektif.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan infeksi
saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi
Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang dirawat
inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan
Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps
lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak respons terhadap antibiotik
Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk
membantu menentukan pemberian antibiotik
Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang baik
direkomendasikan dalam tata laksana anak dengan pneumonia yang berat
Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan, tetapi
direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan pada setiap anak
yang dicurigai menderita pneumonia bakterial
Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi antigen
virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia
Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika fasilitas tersedia) untuk
penegakkan diagnosis dan menentukan mulainya pemberian antibiotik.
Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan fase akut lain tidak
dapat membedakan infeksi viral dan bakterial dan tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan rutin
Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat kontak -
dengan penderita TBC dewasa
3. Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan pemeriksaan
pulse oxymetry.
(Pudjiadi, 2009)
Prognosis
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
SKDI
3B
Daftar Pustaka
Hartono, Poedjo. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
Manuaba (2009). Buku ajar patologi obstetri untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta: EGC.
Morgan. Geri. (2009). Obstetri Genekologi Praktik. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku
Kodokteran, EGC.
Prambudi, R. 2013. Prosedur Tindakan Neonatusi. Dalam; Neonatologi Praktis. Anugrah
Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 115–31.
Pudjiadi, Antonius H.. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku-PPM.pdf, diakses pada 13 Februari 2018.
Ranjit S. Acute respiratory failure and oxygen therapy. Indian J Pediatr 2001.
2001;68(3):249-55.
Whaley, & Wong. (2006). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Jakarta : EGC.
Wood DW, Downes' JJ, Locks HI. A clinical score for the diagnosis of respiratory failure.
Amer J Dis Child. 1972;123:227–229.