Anda di halaman 1dari 13

MICHAEL CHANDRA

04011281520149
ALPHA 2015
ANALISIS MASALAH
Apa saja kelainan yang dapat menyebabkan cairan amnion kental,berbau,hijau ?
Meconium aspiration syndrome
Infeksi intrauterin

Bagaimana klasifikasi ketuban pecah dini?


KPD Preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia <37 minggu sebelum onset
persalinan. KPD sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24
sampai kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34
minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan,
namun yang paling diterima dan tersering digunakan adalah persalinan kurang dari 37
minggu (Hartono, 2016).
KPD pada Kehamilan Aterm
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM) adalah pecahnya
ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern
(+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu (Hartono, 2016).

Apakah tindakan yang dilakukan sudah tepat? Bagaimana tindakan yang harusnya dilakukan
bila belum tepat?
Sumber: New algorithm for 6th. edition (Prambudi, 2013).

Langkah awal dalam stabilisasi


a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar
panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. Bayi dengan
BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat perlakuan
khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan
seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada
bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar posisi
farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara.
Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau
untuk pemasangan pipa endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. Salah
satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan
melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning),
namun bukti penelitian dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan
efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium. Cara yang tepat untuk
membersihkan jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya
mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi
mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari
100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk
mencegah sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah
pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter
penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis. Bila terdapat
mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan
napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan memberi
rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,
penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil
dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok
punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi
pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder,
rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau
dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang
berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil. Keputusan untuk melanjutkan
dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara
simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah
sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya.

Mengapa stimulasi dilakukan pada kaki?


Stimulasi taktil pada BBL dapat dilakukan dengan 2 cara:
1. Menepuk atau menyentil telapak kaki dengan hati-hati,
2. Menggosok punggung, perut, dada, atau tungkai bayi dengan telapak tangan.

Bagaimana down score pada kasus?

Score Respiratory rate Cyanosis Air entry Grunt Retraction


0 <60/min Nil Normal None Nil
1 60- In room Mild Ausc Mild
80/min air with stethoscope
2 >80/min In >40% Marked Audible with naked ear Moderate

Skor >6 menandakan impending respiratory failure


Skor pada kasus 5-6

LEARNING ISSUES
RD
Faktor resiko (Ranjit, 2001)
1. Prematuritas
2. BBLR
3. Sosioekonomi rendah

Klasifikasi
Berdasarkan skor downe:
0-4 : Distress Napas Ringan; membutuhkan O2 nasal atau headbox
4-7 : Distsres Napas Sedang; membutuhkan Nasal CPAP
>7 : Distres Napas Berat; Ancaman Gagal Napas; membutuhkan Intubasi (perlu
diperiksa Analisa Gas Darah/AGD)

Manifestasi klinis (Pudjiadi, 2009)


Beberapa tanda spesifik antara lain:
1. Frekuensi napas dan volume tidal
 Kelainan susunan saraf pusat dan asidosis metabolik sering mengakibatkan
hiperventilasi dengan frekuensi napas yang tinggi dan volume tidal yang besar
 Penurunan compliance (contohnya pada pneumonia dan edema paru)
mengakibatkan pernapasan dangkal dan cepat
 Peningkatan resistensi jalan napas (contohnya pada asma bronkial) mengakibatkan
pernapasan yang lambat dan dalam
2. Retraksi
Retraksi interkostal, suprasternal dan epigastrik terjadi bila terdapat tekanan negatif
intratoraks yang tinggi. Keadaan ini biasanya dijumpai pada obstruksi jalan napas,
terutama di luar rongga toraks, dan penurunan compliance paru
3. Stridor
Stridor inspirasi terjadi bila pada tekanan negatif yang tinggi saat inspirasi, udara
harus melalui bagian yang sempit di jalan napas besar yang terletak di luar rongga
toraks. Pada saat ekspirasi, tekanan positif akan melebarkan jalan napas sehingga
stridor tidak terdengar lagi. Stridor ekspirasi dapat terjadi bila penyebab obstruksi
jalan napas besar terjadi di dalam rongga toraks, misalnya bila terdapat tumor yang
menekan trachea bagian distal.
4. Mengi
Mengi terjadi bila terdapat obstruksi di saluran napas yang terdapat dalam rongga
toraks
5. Grunting
Grunting terjadi akibat ekspirasi dengan glottis setengah menutup. Pola napas ini
merupakan upaya untuk mempertahankan functional residual capacity (FRC) dan
meningkatkan tekanan positif pada fase ekspirasi, hingga dapat memperbaiki
oksigenasi. Biasanya dijumpai pada penyakit di saluran napas kecil dan alveoli seperti
bronkiolitis dan sindroma distress napas neonatus.
6. Air entry
Penurunan suara napas dapat terjadi pada berbagai penyebab gagal napas.
7. Ronkhi
Ronkhi basah dapat dijumpai pada lesi di alveoli, misalnya pada pneumonia bakteri.
8. Napas cuping hidung
Napas cuping hidung adalah upaya untuk menurunkan resistensi jalan napas atas.
9. Aktivitas otot bantu napas
Penggunaan otot bantu napas bertujuan untuk meningkatkan kinerja otot saat terjadi
peningkatan work of breathing. Otot yang umumnya menjadi aktif adalah pektoralis
minor, scalenus dan seratus anterior.
10. Gejala lain yang menyertai
Gejala lain yang sering dijumpai pada anak dengan gagal napas adalah:
 Takikardia
 Dehidrasi
 Gagguan kesadaran: iritabel, somnolen dan obtundasi
 Sianosis

KPD
Algoritma diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus meliputi 3 hal,
yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi janin, dan penilaian
kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua pemeriksaan penunjang terbukti signifikan
sebagai penanda yang baik dan dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas
mana pemeriksaan yang perlu dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk perlu
dilakukan (Hartono, 2016).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum)
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan visualisasi adanya cairan
amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari
cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan
faktor risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya
dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus. Spekulum yang
digunakan dilubrikasi terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril
dan sebaiknya tidak menyentuh serviks.
Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat,
atau prolaps bagian terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan
pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual. Dilatasi
serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus diperhatikan dengan baik. Jika terdapat
kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk
diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk
dikultur.
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi pemeriksaan
lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes
pH dari forniks posterior vagina (pH cairan amnion biasanya~ 7.1-7.3 sedangkan sekret
vagina ~ 4.5 -6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat
adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika
terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala yang
datang dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan
kemungkinaan adanya prolaps tali pusat
2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai indeks cairan
amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang
tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT)
maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya volume cairan
ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai
taksiran berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan lain
keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas
setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan.
Pemeriksaan seperti insulin-like growth factor binding protein 1 (IGFBP-1) sebagai penanda
dari persalinan preterm, kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki
sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol.
Selain itu, pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan vagina tidak
memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm.

Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum
terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37
minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum
usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes
(PPROM) (Hartono, 2016).
Epidemiologi
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya yang cukup
besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6%
kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan
tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar. PPROM merupakan komplikasi pada sekitar 1/3
dari semua kelahiran prematur, yang telah meningkat sebanyak 38% sejak tahun 1981. Dapat
diprediksi bahwa ahli obstetri akan pernah menemukan dan melakukan penanganan kasus
KPD dalam karir kliniknya. Kejadian KPD preterm berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang
mengalami KPD preterm akan mengalami infeksi yang berpotensi berat, bahkan fetus/
neonatus akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas terkait KPD preterm yang lebih
besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami kematian. Persalinan prematur
dengan potensi masalah yang muncul, infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat in utero
merupakan komplikasi yang umum terjadi. KPD preterm berhubungan dengan sekitar 18-
20% kematian perinatal di Amerika Serikat (Hartono, 2016).

Etiologi
Penyebab KPD menurut Manuaba, 2009 dan Morgan, 2009 meliputi antara lain (1) Serviks
inkompeten, (2) Faktor keturunan, (3) pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban (infeksi
genetalia), (4) overdistensi uterus , (5)malposisi atau malpresentase janin, (6) faktor yang
menyebabkan kerusakan serviks, (7) riwayat KPD sebelumnya dua kali atau lebih, (8) faktor
yang berhubungan dengan berat badan sebelum dan selama hamil, (9) merokok selama
kehamilan, (10) usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat daripada
usia muda, (11) riwayat hubungan seksual baru-baru ini, (12) paritas, (13) anemia, (14)
keadaan sosial ekonomi. Sebuah penelitian oleh Getahun D, Ananth dkk tahun 2007
menyebutkan bahwa asma bisa memicu terjadinya ketuban pecah dini.

BP
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah : (Whaley, 2006)
1. Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru yang
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang
2. Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dala jaringan paru yang meradang
4. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
5. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

Tatalaksana farmako dan non-farmako (Pudjiadi, 2009)


Kriteria Rawat Inap
1. Saturasi oksigen <92%, sianosis
2. Frekuensi napas >60 x/menit
3. Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
4. Tidak mau minum/menetek
5. Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Tata laksana umum


1. Pasien dengan saturasi oksigen <92% pada saat +bernapas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen >92% Pada pneumonia berat atau asupan per oral
kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan balans cairan ketat
2. Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
3. Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk
4. Nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
5. Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen
Pemberian Antibiotik
1. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada
anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav,
ceflacor, eritromisin, claritromisin, dan azitromisin
2. M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik
golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5
tahun
3. Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai sebagai
penyebab
4. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae sangat mungkin
sebagai penyebab.
5. Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi
flucloxacillin dengan amoksisilin
6. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima
obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
7. Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan kloramfenikol, co-
amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime
8. Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah
mendapat antibiotik intravena
Rekomendasi UKK Respirologi
Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
1. Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
2. >2 bulan:
 Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan
kloramfenikol
 Lini kedua Seftriakson
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik
golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.
Nutrisi
1. Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus
dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena.
Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya
pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan,
sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil.
2. Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami
overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik.
Kriteria pulang
1. Gejala dan tanda pneumonia menghilang
2. Asupan per oral adekuat
3. Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
4. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
5. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah

Langkah Preventif
1. Mencegah dan mengobati ibu demam dengan kecurigaan infeksi berat atau infeksi
intrauterin.
2. Mencegah dan pengobatan ibu dengan ketuban pecah dini.
3. Perawatan antenatal yang baik.
4. Mencegah aborsi yang berulang, cacat bawaan.
5. Mencegah persalinan prematur.
6. Melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman.
7. Melakukan resusitas dengan benar.
8. Melakukan tindakan pencegahan infeksi : CUCI TANGAN!!
9. Melakukan identifikasi awal terhadap faktor resiko sepsis pengelolaan yang efektif.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
 Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan infeksi
saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi
 Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang dirawat
inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan
 Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps
lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak respons terhadap antibiotik
 Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab
2. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk
membantu menentukan pemberian antibiotik
 Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang baik
direkomendasikan dalam tata laksana anak dengan pneumonia yang berat
 Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan, tetapi
direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan pada setiap anak
yang dicurigai menderita pneumonia bakterial
 Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi antigen
virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia
 Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika fasilitas tersedia) untuk
penegakkan diagnosis dan menentukan mulainya pemberian antibiotik.
 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan fase akut lain tidak
dapat membedakan infeksi viral dan bakterial dan tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan rutin
 Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat kontak -
dengan penderita TBC dewasa
3. Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan pemeriksaan
pulse oxymetry.
(Pudjiadi, 2009)

Prognosis
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam

SKDI
3B

Daftar Pustaka
Hartono, Poedjo. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
Manuaba (2009). Buku ajar patologi obstetri untuk mahasiswa kebidanan. Jakarta: EGC.
Morgan. Geri. (2009). Obstetri Genekologi Praktik. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku
Kodokteran, EGC.
Prambudi, R. 2013. Prosedur Tindakan Neonatusi. Dalam; Neonatologi Praktis. Anugrah
Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 115–31.
Pudjiadi, Antonius H.. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku-PPM.pdf, diakses pada 13 Februari 2018.
Ranjit S. Acute respiratory failure and oxygen therapy. Indian J Pediatr 2001.
2001;68(3):249-55.
Whaley, & Wong. (2006). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Jakarta : EGC.
Wood DW, Downes' JJ, Locks HI. A clinical score for the diagnosis of respiratory failure.
Amer J Dis Child. 1972;123:227–229.

Anda mungkin juga menyukai