Anda di halaman 1dari 53

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan letak geografis Jawa Timur

Jawa Timur dalam bahasa jawanya disebut dengan jawa Wetan. Jawa
timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Ibu
kotanya terletak di Surabaya.

Jawa Timur merupakan salah satu dari delapan provinsi paling awal
di Indonesia. Provinsi lainnya adalah Sumatera, Borneo, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Gubernur pertama provinsi
Jawa Timur adalah R.M.T.A. Surjo.

Kehidupan manusia sebagai masyarakat baru muncul sekitar abad 8,


yaitu, dengan ditemukannya prasasti Dinoyo di daerah Malang. Prasasti yang
bertahun 760 M ini menceritakan peristiwa politik dan kebudayaan di
Kerajaan Dinoyo. Nama Malang sendiri diperkirakan berasal dari nama
sebuah bangunan suci yang disebut Malangkuseswara. Nama ini setidaknya
terdapat dalam satu prasasti, yaitu, prasasti Mantyasih yang bertahun 907 M.

Gambar 1: Letak geografis jawa Timur(www. Wikipedia.com)


Luas wilayahnya 47.922 km², dan jumlah penduduknya 37.476.757
jiwa (2010). Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di
Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia
setelah Jawa Barat. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat
Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat.
Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau
Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa (Kepulauan
Masalembu), dan Samudera Hindia (Pulau Sempu, dan Nusa Barung).Jawa
Timur dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki
signifikansi perekonomian yang cukup tinggi, yakni berkontribusi 14,85%
terhadap Produk Domestik Bruto nasional.

Selain penduduk asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi
para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas yang cukup signifikan, dan
mayoritas di beberapa tempat, diikuti dengan Arab, mereka umumnya tinggal
di daerah perkotaan. Suku Bali juga tinggal di sejumlah desa di Kabupaten
Banyuwangi. Dewasa ini banyak ekspatriat tinggal di Jawa Timur, terutama
di Surabaya, dan sejumlah kawasan industri lainnya.

Mayoritas Suku Jawa umumnya menganut agama Islam, sebagian


kecil lainnya menganut agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Sebagian
Suku Jawa juga masih memegang teguh kepercayaan Kejawen. Agama Islam
sangatlah kuat dalam memberi pengaruh pada Suku Madura. Suku Osing
umumnya beragama Islam, sedangkan mayoritas Suku Tengger menganut
agama Hindu.

Orang Tionghoa umumnya menganut agama Buddha, Kristen,


Katolik, Konghucu dan sebagian kecil menganut Islam, bahkan Masjid Cheng
Ho di Surabaya dikelola oleh orang Tionghoa, dan memiliki arsitektur
layaknya kelenteng.

Selain mempunyai agama yang sama juga dianut oleh provinsi lainnya
yang ada di Indoensia, Jawa timur juga mempunyai kesenian. Jawa Timur
memiliki sejumlah kesenian khas. Ludruk merupakan salah satu kesenian
Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya
seluruh pemainnya adalah laki-laki.

Berbeda dengan ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk


menceritakan kehidupan sehari-hari rakyat jelata, yang seringkali dibumbui
dengan humor, dan kritik sosial, dan umumnya dibuka dengan Tari Remo,
dan parikan. Saat ini kelompok ludruk tradisional dapat dijumpai
didaerah Surabaya, Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya semakin
dikalahkan dengan modernisasi.

Reog yang sempat diklaim sebagai tarian dari Malaysia merupakan


kesenian khas Ponorogo yang telah dipatenkan sejak tahun 2001, reog kini
juga menjadi icon kesenian Jawa Timur. Pementasan reog disertai dengan
jaran kepang (kuda lumping) yang disertai unsur-unsur gaib. Seni terkenal
Jawa Timur lainnya antara lain wayang kulit purwa gaya Jawa Timuran,
topeng dalang di Madura, dan besutan. Di daerah Mataraman, kesenian Jawa
Tengahan seperti ketoprak, dan wayang kulit cukup populer. Legenda
terkenal dari Jawa Timur antara lain Damarwulan, Angling Darma, dan Sarip
Tambak-Oso.

Seni tari tradisional di Jawa Timur secara umum dapat


dikelompokkan dalam gaya Jawa Tengahan, gaya Jawa Timuran, tarian Jawa
gaya Osing, dan trian gaya Madura. Seni tari klasik antara lain tari
gambyong, tari srimpi, tari bondan, dan kelana.

Terdapat pula kebudayaan semacam barong sai di Jawa Timur.


Kesenian itu ada di dua kabupaten yaitu, Bondowoso, dan Jember. Singo
Wulung adalah kebudayaan khas Bondowoso. Sedangkan Jember memiliki
macan kadhuk. Kedua kesenian itu sudah jarang ditemui.

Timbulnya kesenian di Jawa tImur disebabkan karena adat dan


istiadat yang ada di Jawa Timur. Adat istiadat tersebut menjadi budaya khas
tersendiri bagi Jawa Timur. Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa
Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan,
sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman menunjukkan bahwa
kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Daerah tersebut meliputi eks Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi,
Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung,
Blitar, Trenggalek, Nganjuk), dan sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di
Jawa Tengah, wayang kulit, dan ketoprak cukup populer di kawasan ini.

Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh


kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan
Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya, dan
pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo
dimakamkan di kawasan ini.Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk
Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang), dan Malang, memiliki sedikit pengaruh
budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan
Jawa: Surakarta, dan Yogyakarta.

Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya


Madura, mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat
istiadat masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan
Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak dipengaruhi oleh
budaya Hindu.

Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah,


memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan, dan teritorial. Berbagai
upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia
kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang
lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan
(upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.

Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami.


Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake
(menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu
dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan
acara temu atau kepanggih. Masyarakat di pesisir barat, Tuban, Lamongan,
Gresik, bahkan Bojonegoro memiliki kebiasaan lumrah keluarga wanita
melamar pria, berbeda dengan lazimnya kebiasaan daerah lain di Indonesia,
dimana pihak pria melamar wanita. Dan umumnya pria selanjutnya akan
masuk ke dalam keluarga wanita.

B. Busana Adat Jawa Timur


Provinsi disebelah timur pulau jawa ini sebagian besar penduduknya
adalah suku bangsa Jawa. Namun demikian, terdapat beberapa variasi
budaya, antara lain Suku madura di Pulau Madura, suku Tengger di
Pegunungan Tengger, dan suku Osing di Banyuwangi. Variasi budaya yang
ada tidak hanya tampak dari dialek, jenis makanan khas, adat istiadat, tapi
juga terlihat dari variasi busana yang digunakan. Meskipun dalam pakaian
sehari jenis dan bentuk busana yang dikenakan tidak jauh berbeda dari
masyarakat Jawa pada umumnya, tetapi ada ciri khas tertentu yang
membedakannya.
Suatu pola dasar yang tampak dari pakaian sehari-hari masyarakat
Jawa Timur adalah kepraktisannya. Untuk kaum prianya hampir seluruh
daerah mengenal celana model kombor (gomboran), yaitu celana kolor
longgar dengan tinggi diatas mata kaki dan sarung yang dikenakan dengan
berbagai cara. Begitu pula dengan wanitanya, pada banyak daerah, lebih
banyak mengenakan sarung batik dibanding dengan kain wiron. Perbedaan
umumnya terletak pada cara pemakaiannya. Ada yang dilipat dibagian
pinggang, ada yang dipakai semata kaki, dan ada pula yang diatas mata kaki.
Dari berbagai keragaman busana yang ada di Jawa Timur, busana-
busana adat yang di Jawa Timur antara lain dari daerah Madura dan daerah
Tengger dan Banyuwangi .
1) Busana adat madura

Gambar 2: Letak geografis pulau madura di Jawa Timur

Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan


daratan Jawa oleh Selat Madura, di sebelah timur Madura terdapat
gugusan pulau-pulau, yang paling timur adalah Kepulauan Kangean, dan
yang paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian selatan
terdapat dua pulau kecil yakni Nusa Barung, dan Pulau Sempu.

Meskipun Madura adalah sebuah pulau yang terpisah dari Pulau


Jawa, kebudayaan Jawa dalam arti luas berpengaruh sangat besar dalam
berbagai segi kehidupan masyarakat suku bangsa Madura. Adat istiadat
di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura,
mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini.

Oleh karena kebudayaan Madura termasuk dalam daerah


kebudayaan Jawa, maka jenis dan bentuk busananya pun memiliki
beberapa kesamaan dengan busana dari daerah-dearah lain di Pulau Jawa.
Secara umum masyarakat suku bangsa Madura mengenal perbedaan
busana berdasarkan usia, jenis kelamin, status sosial maupun
kegunaannya, baik sebagai busana sehari-hari maupun untuk keperluan
upacara.
Keterangan:

Busana masyarakat Madura. Pria


memakai baju pesa’an, baju kaos
bergaris merah putih, celana
gomboran, dan penutup kepala
odheng santopon. Sedangkan
wanita berkebaya pendek yang
ujungnya ditalikan, busana
bawahannya mengenakan sarun
batik khas Madura dan
pergelangan kaki diberi hiasan
penggel.

Gambar 6: Busana masyarakat Madura (H. M. Soeharto. Busana Tradisional.


Hal:169)

Masyarakat umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu


anyakan, hitam serba longgar dengan kaos bergaris merah putih atau
merah hitam di dalamnya, lengkap dengan tutup kepala dan kain sarung.
Sebenarnya, pakaian ini yang terdiri dari baju pesa’an dan celana
gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat sebagai busana
sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Namun adanya pengaruh cara
berpakaian pelaut dari Eropa, bajunya berubah menjadi kaos bergaris-
garis.

Dalam penggunaanya, baju pesa’an, celana gomboran dan kaos


oblong ini memiliki perbedaan fungsi bila dilihat dari cara memakainya.
Kalangan pedagang kecil seringkali mempergunakan baju pesa’an dan
kaos oblong warna putih dipadu dengan sarung motif kotak-kotak .
Sebaliknya para nelayan umumnya hanya menggunakan celana
gomboran dengan kaos oblong.

Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa’an dalam dua


warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa’an biasanya dipakai oleh guru
agama atau molang. Pada masa sekarang, baju pesa’an warna hitamlah
yang menjadi ciri khas. Warna hitam ini melambangkan keberanian.
Sikap gagah dan pantang mundur ini merupakan salah satu etos budaya
yang dimiliki masyarakat Madura. Garis-garis tegas merah, putih atau
hitam yang terdapat pada kaos yang digunakan pun memperhatikan sikap
tegas serta semangat juang yang sangat kuat, dalam menghadapi segala
hal.

Bentuk baju yang serba longgar dan pemakaiannya yang terbuka


melambangkan sifat kebebasan dan keterbukaan orang Madura.
Kesederhanaan bentuk baju ini pun menunjukkan kesederhanaan
masyarakatnya, teguh dan keras. Sarung palekat kotak-kotak dengan
warna menyolok dan sabuk katemang, ikat pinggang kulit lebar dengan
kantong penghimpun uang didepannya adalah perlengkapan lainnya.
Terompah atau tropa merupakan alas kaki yang umumnya dipakai.
Keterangan :

Busana bangsawan Madura


mengenakan busana rasughan
totop/jasa tutup hitam yang
dilengkapi dengan lilitan
rantai/jam saku. Busana
bawah dan tutup kepala
odheng peredhan terbuat dari
batik halus. Sedangkan busana
wanita terdiri dari batik yang
sama dengan busana yang
dikenakan pria. Kebaya
panjang dari bahan beludru
diberi hiasan keemasan,
berpeniti dinar renteng,
giwang emas dan dibelakang
telinga diselipkan bunga
mawar merah yang dipadukan
Gambar 5: Busana bangsawan Madura (H. M.dengan
Soeharto. Busana
melati putih.Tradisional)

Berbeda dengan rakyat kebanyakan, kalangan bangsawan biasanya


menggunakan dhungket atau tongkat, termasuk kelengkapan pakaian
yang membedakan penampilan dan kewibawaan seorang bangsawan
dengan rakyat biasa.

Pada saat menghadiri acara resmi, rasughan totop umumnya


berwarna hitam digunakan lengkap dengan odheng tongkosan kota,
bermotif modang, dulcendul, garik atau jingga.
Keterangan:

Odheng sebagai ikat


kepala yang sekaligus
dapat menunjukkan
identitas kultural dan
status sosial
masyarakat Madura.

Gambar 7: Odheng (H. M. Soeharto. Busana Tradisional. Hal:169)

Odheng pada masyarakat Madura memiliki arti simbolis yang


cukup kompleks, baik dari ukuran, motif maupun cara pemakaian.
Ukuran odheng tongkosan yang lebih kecil dari kepala sehingga
membuat sipemakaiharus mendongak ke atas agar odheng tetap dapat
bertengger diatas kepalanya, mengandung makna “betapapun beratnya
beban tugas yang harus dipikul hendaknya diterima dengan lapang dada”.

Bentuk dan cara memakai odheng juga menunjukkan derajat


kebangsawanan seseorang. Semakin tegak kelopak odheng tongkosan,
semakin tinggi derajat kebangsawanan. Semakin miring kelopaknya,
maka derajat kebangsawanan semakin rendah. Untuk orang sudah sepuh
(tua), sayap atau ujung kain dipilin dan tetapterbeber bila sipemakai
masih relatif muda. Ikatan odheng juga memiliki arti tertentu. Pada
odheng peredhan, pelintiran ujung simpul bagian belakang yang tegak
lurus melambangkan huruf alif, yaitu huruf awal dalam bahasa Arab.
Sementara itu, pada odheng tongkosan kota, simpul mati dibagian
belaknag dibentuk menyerupai huruf lam alif, yang merupakan simbol
dari kalimat pengakuan akan keesaan Allah ( Laa illaahaillallaah).
Keterangan :

Penuh percaya diri. Wanita muda dari


Madura yang berbusana adat sehari-hari
dengan berkebaya pendek yang diikat
ujungnya tepat diatas pusar, memeberi
kesan yang khas. Kalong/kalung brondong
dan peniti/peniti dinar renteng
memperindah gaya penampilannya.
Diatas sanggul bertengger dua buah tusuk
konde dan anting-anting besar menghiasi
telinga.

Gambar 8: Busana adat sehari-hari wanita Madura (H. M. Soeharto.


Busana Tradisional. Hal:170)

Kaum wanita Madura umumnya mengenakan kebaya sebagai


pakaian sehari-hari maupun pada acara resmi. Kebaya tanpa kutu baru
atau kebayarancongan digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Ciri khas
kebaya Madura adalah penggunaan kutang polos dengan warna-warna
mencolok seperti merah, hijau, atau biru terang yang kontras dengan
warna dan bahan kebaya yang tipis tembus pandang atau menerawang.
Kutang ini ukurannya ketat pas badan. Panjang kutang dengan bukaan
depan ini ada yang pendek dan ada pula yang sampai perut.

Keindahan lekuk tubuh si pemakai akan terlihat jelas dengan


bentuk kebaya rancongan dengan kutang pas badan ini. Hal tersebut
merupakan salah satu perwujudan nilai budaya yang hidup dikalangan
wanita Madura yang sangat menghargai keindahan tubuh. Ramuan jamu-
jamu Madura diberikan semenjak seorang gadis cilik hendak berangkat
remaja. Demikian pula berbagai pantangan makanan yang tidak boleh
dilanggar, serta pemakaian penggel. Semuanya dimaksudkan untuk
membentuk tubuh yang indah dan padat.
Pilihan warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura
menunjukkan karakter mereka yang tidak pernah ragu-ragu dalam
bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka danterus terang. Oleh karena
itu, mereka tidak mengenal warna-warna lembut. Termasuk dalam
memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya.

Kebaya dengan panjang tepat diatas pinggang dengan bagian depan


berbentuk runcing menyerong khas rancongan Madura, umumnya
digunakan bersama sarung batik motif tumpal, namun ada pula yang
memakai kain panjang dengan motif tabiruan, storjan, atau lasem.
Warna dasarnya putih dengan motif didominasi warna merah. Untuk
penguat kain digunakan odhet. Odhet adalah semacam stagen Jawa,
terbuat dari tenunan bermotif polos, dengan ukuran lebar 15 cm dan
panjang sejkitar 1,5 meter. Warna biasanya merah, kuning atau hitam.
Pada odhet terdapat ponjin atau kempelan, yaitu saku untuk menyimpan
uang atau benda berharga lainnya. Alas kaki yang digunakan adalah
sendal jepit.

Perhiasan yang dikenakan oleh wanita Madura, mulai dari kepala


sampai kaki, juga memiliki daya tarik yang unik. Sebagaimana senjata
bagi laki-laki Madura, perhiasanpun menjadi pelengkap yang utama bagi
busana kaum wanitanya. Hiasan rambut berupa cucuk sisir dan cucuk
dinar, keduanya terbuat dari emas. Bentuknya seperti busur. Cucuk sisir
biasanya terdiri dari untaian mata uang emas atau uang talenan dan
ukonan. Jumlah untaian mata uang ini tergantun kemampuan si pemakai.
Adapun cucuk dinar terdiri dari beberapa keping mata uang dollar.
Rambut wanita Madura itu sendiri biasanya disisir kebelakang, kemudian
digelung sendhal. Bentuknya agak bulat dan penuh, padat dengan kuncir
sisa rambut yang terletak tepat ditengah-tengah rambut. Letak sanggul
umumnya agak tinggi. Sementara di daerah Madura Timur bentuknya
agak lonjong dan pipih letaknyapun miring. Hampir sama dengan gelung
wanita Bali. Harnal bubut dari emas, bermata selong dengan panjang
sekitar 12 cm berukuran agak lebih besar dari harnal pada umumnya juga
dipakai untuk menghisi rambut. Sebuah tutup kepala yang terbuat dari
handul besar atau kain tebal disebut leng o leng, menjadi ciri tersendiri
pada kelengkapan wanita Madura. Perhiasan lain yang umumnya
dikenakan sebagai kelengkapan busana adalah anteng atau shentar
penthol yang terbuat dari emas, bermotif polos dengan berbentuk bulat
utuh sebesar biji jagung. Anteng atau anting ini dikenakan di telinga.

Tampil sehari dalam busana


kebesaran adat. Sepasang
mempelai dan pengiring cilik
mengenakan busana adat yang
serba indah dan meriah,
mencerminkan kekayaan busana
Jawa Timur.

Gambar 9: Busana Adat Jawa Timur (H. M. Soeharto. Busana Tradisional.


Hal:171)

Motif hiasan kalung Madura pun terkenal karena ciri khasnya.


Kalung brondong yang berupa rentangan emas berbentuk biji jagung
adalah kalung khas Madura yang biasanya dikenakan bersama liontin.
Liontin atau bandul yang digunakan biasanya berbentuk mata uang dollar
(dinar) atau bunga matahari. Selain itu masih ada motif pale obi yang
menyerupai batang ubi melintir, serta motif mon temon berupa untaian
emas berbentuk biji mentimun. Berat kalung ini rata-rata 5-10 gram,
namun ada pula yang mencapai 100 gram, bahkan lebih. Tergantung
kemampuan si pemakai. Sepasang gelang emas di tangan kanan dan kiri
dengan motif tebu saeres, berbentuk seperti keratan tebu merupakan
kelengkapan lain yang sering dipakai. Sementara sepasang cincin dengan
motif yang sama dengan gelang dikenakan sebagai hiasan jari.

Sebagai pelengkap kebaya rancongan, digunakan peniti dinar


renteng, terbuat dari emas dan bermotif polos. Semakin banyak jumlah
dinarnya, semakin panjang untaiannya berarti semakin tinggi
kemampuan ekonomi pemakainya.

Dari seluruh jenis perhiasan yang biasa dikenakan wanita


Madura, penggel adalah salah satu yang paling unik. Penggel merupakan
hiasan kaki dari emas atau perak yang dipakai pada pergelangan kaki kiri
dan kanan. Penggel adalah simbol kebanggaan wanita Madura. Selain
fungsi ekonomi yang juga dapat menunjukkan status ekonomi si
pemakai, penggel juga berfungsi untuk membentuk keindahan tubuh
wanita Madura. Gelang kaki yang terbuat dari emas atau perak dengan
berat perak ada yang mencapai 3 kg, apabila digunakan untuk berjalan
dan melakukan aktivitas sehari-hari tentunya akan menguatkan otot-otot
tertentu.

Berbeda dengan yang dikenakan rakyat kebanyakan, wanita


bangsawan tidak menonjolkan kekayaannya melalui bentuk-bentuk
perhiasan yang menyolok dan cenderung berat. Bentuk perhiasan yang
digunakan untuk rambut, telinga, leher, tangan, dan kaki umumnya kecil.
Namun lebih banyak dihiasi intan atau berlian.

Untuk acara resmi wanita bangsawan Madura mengenakan


kebaya panjang dengan kain batik tulis Jawa atau khas Madura. Alas
kakinya berupa selop tutup. Bahkan kebaya biasanya beludru. Warna
gelap dan tidak bermotif. Ujung bawah kebaya berbentuk bulat. Peniti
cecek atau pako malang adalah hiasan kebaya berbentuk paku yang
melintang bersusun tiga dan dihubungkan dengan rantai emas.
Rambut wanita muda digelung malang. Bentuknya seperti angka
delapan melintang yang melambangkan tulisan Allah, di dalamnya diberi
potongan daun pandan sebagai penguat. Untuk wanita yang sudah
berumur dan berpangkat, digunakan gelung mager sereh. Bentuknya
sama dengan gelung malang, tetapi semua ukelnya diisi kembang tanjung
dan kembang pandan. Hiasan rambut terdiri dari cucuk emas dengan
motif ular atau bunga matahari, dilengkapi dengan karang melok dan
duwek remek, yaitu hiasan dari bunga-bungaan.

Keterangan :

Pasangan pengantin dengan


busana gaya Sumenep,
pengantin pria memakai jas
tutup dengan rantai dan
peniti mas sebagai
aksesorisnya, bagian bawah
memakai batik yang sama
dengan batik yang dipakai
pada mempelai wanita.
Pengantin wanita memakai
kebaya dengan aksesoris
bros, gelang dan anting-
anting.

Gambar 10: Busana Pengantin Sumenep (H. M. Soeharto. Busana


Tradisional. Hal:172)

Giwang kerambu dan kalung rantai berlontinmarkis yang terbuat


dari emas bertaburan berlian juga dikenakan. Demikian pula gelang
tangan dan hiasan jari berupa cicin emas bermata berlian. Selain busana
dan perhiasan khas wanita Madura baik dari kalangan bangsawan
maupun rakyat biasa, tata rias wajah wanita Madura pun cukup unik.
Wajah dihiasi dengan jimpit disebut leng pelengan. Dahulu leng
pelengan dibuat dengan cubitan tangan. Saat ini kebanyakan berupan
olesan alat kosmetik berupa garis membujur sekitar 1-2 cm dan berwarna
merah. Mata dihiasi dengan celak Arab, sedangkan gigi dihiasi dengan
apa egan, berupa lapisan gigi yang terbuat dari emas atau platina.

Kemudian untuk baju pengantinnya masyarakat madura


mengunakan pakaian pengantin yang berasal dari daerahnya, dimana
madura terbagi menjadi dua antara lain:
a. Tanjung Bumi Madura

Gambar 11: Busana Tanjung Bumi Madura

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal:166)
b. Daerah bangkalan yang disebut dengan busana pengantin Madura
Puteri

Gambar 12: Busana pengantin Madura Puteri

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal:163)
2) BUSANA ADAT TENGGER

Masyarakat Tengger merupakan penduduk asli yang mendiami


daerah Lereng Pegunungan Tengger dan Semeru di Jawa Timur.
Kawasan ini meliputi 4 (empat ) wilayah kabupaten, yaitu: Lumajang,
Malang, Probolinggo, dan Pasuruan. Banyak legenda dan mitologi yang
dimiliki oleh masyarakat Tengger. Salah satunya yang sangat dikenal
adalah mitologi Resi Ki Dadap Putih serta Rara Anteng dan Djaka Seger.

Keluhuran budi, kedamaian dan kesederhanaan tergambar sebagai


etos budaya masyarakat Tengger yang memiliki hubungan historis
dengan kerajaan Majapahit. Pengaruh Hindu-Budha yang terpadu dengan
adat kepercayaan lokal yang oleh sebagian masyarakat disebut Agami
Jawidan dihayati oleh masyarakat Tengger, menciptakansuatu keunikan
masyarakat yang religius. Upacara-upacara adat yang secara turun
temurun telah dilaksanakan selama ratusan tahun serta kondisi alam dan
geografis yang spesifik, membuat masyarakat Tengger memiliki ciri khas
yang berbeda dengan masyarakat Jawa, bahkan dengan masyarakat Jawa
Timur pada umumnya.

Keunikan pakaian sehari-hari masyarakat Tengger adalah cara


mereka bersarung (memakai sarung) yang berfungsi sebagai pengusir
hawa dingin yang memang akrab dengan keseharian mereka. Tidak
kurang dari tujuh cara bersarung yang mereka kenal. Masing-masing cara
ini memiliki istilah dan kegunaan sendiri.
Gambar 13: (H. M.
Soeharto. Busana
Tradisional. Hal:
173))

Sosok anak Tengger


yang dalam
kesehariannya tidak
lepas dari sarung
dan ikat khas
mereka.

Gambar 14: (H. M.


Soeharto. Busana
Tradisional. Hal:174)

Sosok orang tengger


dengan ikat kepala dan
sarung mereka yang
khas cara bersarung
kekemul ini sangat
berkaitan dengan
lingkungan hidup
mereka yang dingin.
Untuk bekerja, mereka menggunakan kain sarung yang dilipat
dua, kemudian dilampirkan kepundak bagian belakang dan kedua
ujungnya diikat jadi satu. Cara ini disebut kakateung yang dimaksudkan
agar bebas bergerak pada waktu ketempat mengambil air atau kepasar.
Cara bersarung seperti inni tdiak boleh digunakan untuk beratmau atau
emlayat. Sedang untuk pekerjaan yang lebih berat, seperti bekerja
diladang atau pekerjaan menggunakan sarung dengan cara sesembong.
Sarung dilingkarkan pada pinggang kemudian diikatkan seperti dodot
(didada) afar tidak mudah terlepas.

Saat bertamu, mereka menggunakan sarung sebagiamana


masyarakat umumnya, yaitu ujung sarung dilipat sampai kegaris
pinggang. Cara ini disebut Sempetan. Sementara itu, pada saat santai dan
sekedar berjalan-jalan, mereka menggunakna sarung dengan cara
kekemul. Setelah disarungkan pada tubuh, bagian atas dilipat untuk
menutup kedua bagian tangannya. Kemudian digantungkan kepundak.
Agar terlihat rapi pada saat bepergian mereka menggunkan cara
sengkletan. Kain sarung cukup dilampirkan pada pundak secara terlepas
atau bergantung menyilang pada dada. Cara lain yang sangat khasyang
sering dijumpai pada masyarakat Tengger berkumpul ditempat-tempat
upacara atau keramaian lainnya dimalam hari adalah cara kekodong.
Dengan ikatan dibagian belakang kepada kain sarung dikerudungkan
sampai menutupi seluruh bagian kepala, sehingga yang terlihat hanya
mata saja. Anak-anak muda Tengger pun memiliki cara bersarung
tersendiri, yang disebut sampiran. Kain sarung disampirkan dibagian atas
punggung. Kedua bagian lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak dan
disangga kedepan oleh kedua tangannya.

Dalam hal berbusana, pakaian sehari-hari yang dikenakan


masyarakat Tengger memang tidaklah jauh berebda dari masyarakat
Jawa. Kaum wanitanya menggunakan kebaya pendek dan kain panjang
tanpa wiron atau sarung penutup kepala dan selendang batik lebar. Kaum
prianya berpakaian sehari-hari sebagaimana masyarakat pertanian di
Jawa. Biasanya mereka memakai baju longgar dan celana panjang diatas
mata kaki, bawarna hitam. Dibagian dalam, memakai kaos oblong.
Udeng dan sarung tidak tertinggal. Untuk pakaian resmipun mereka
menggunakan beskap, kain wiron dan udeng, dengan segala
perlengkapannya sebagaimana yang digunkaan di Jawa.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat yang sangat


diyakini dan telah dilaksanakan secara turun-temurun, masyarakat
Tengger memiliki banyak upacara yang tidak saja berkaitan dengan
siklus kehidupan, melainkan juga berhubungan dengan alam. Setidaknya
ada dua acara besar, yang tetap dilaksanakan dan mengundang perhatian
masyarakat luar termasuk wisatawan, yaitu upacara adat kasado dan
karo.

Cara mengikat udeng


masyarakat Tengger
tampak berbeda
dengan masyarakat
Jawa Timur yang
lainnya.

Gambar 15: (H. M. Soeharto. Busana Tradisional. Hal:175)


Cara mengikat udeng masyarakat Tengger tampak berbeda
dengan masyarakat Jawa Timur yang lainnya.

Kedudukan seorang dukun, yang juga merupakan pemimpin


upacara adat di Tengger sangat dihormati oleh masyarakat Tengger.
Busana yang digunakan seorang dukun pada saat memimpin upacara
cukup unik, yaitu baju yang disebut anta kusuma atau rasukan dukun,
lengkap dengan peralatan upacara seperti prasen, genta dan talam.
Biasanya busana yang dikenakan oleh seoran dukun adalah ikat kepala
atau udebng batik, baju warna putih, jas tutup warna gelap dan
selempang panjang warna hitam batikan. Namun ada pula dukun yang
menggunakan jas tutup dan celana panjang warna putih. Selempang pun
ada yang bewarna hitam, kuning, maupun putih dan ke arah krem.
Selempang ni dianggap sebagai lambang keagungan dan tanda jabatan
yang dipangkunya. Setelah ujub upacara, umumnya selempang ini
dilepas dan disimpan kembali.

Selain mempunyai ciri khas dalam hal berbusana dalam kegiatan


sehari-hari, masyarakat yang terdapat dalam 4 wilayah kabupaten
tersebut juga mempunyai ciri khas baju pengantinnya, antara lain:
a. Lumajang Sari Keputren

Gambar 16: Busana pengantin LumajangSari Keputren

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal: 154)
b. Malang

Gambar 17: Busana pengantin Malang Keputren

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal: 153)
3) BUSANA ADAT OSING

Suku Osing tinggal di sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi.


Tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain, kendati pun sebagian besar
masyarakat Osing berdomisili di daerah pedesaan, tetapi karena letak
desa - desa yang banyak dihuni masyarakat Osing di daerah banyuwangi
ini tidak terlalu jauh dari kota Banyuwangi, maka pengaruh modernisasi,
utamanya yang berhubungan dengan adat perkawinan dan pakaian
pengantinnya telah masuk pula ke pedesaan.

Bila diperhatikan dengan seksama, bagian - bagian dari pakaian


pengantin tradisional masyarakat Osing Banyuwangi menunjukkan
adanya campuran antara pakaian pengantin Jawa, pakaian tradisional
Madura, Bali dan luar Jawa. Pengantin pria memakai kuluk seperti kuluk
yang dipakai pengantin Jawa. Pengantin laki - laki atau perempuan
dilengkapi dengan asesoris berupa gelang atau binggel seperti yang
digunakan oleh para wanita dari masyarakat Madura. Asesoris untuk
hiasan kepala pengantin wanita bentuknya mirip dengan pakaian penari
Bali. Baik pengantin pria ataupun wanita mengenakan kain sarung
pelekat yang dibuat dari bahan sutera baik berasal dari Bugis Makasar
maupun dari Samarinda. Jelas bahwa pakaian asli pengantin tradisional
Masyarakat Osing Banyuwangi sebagai hasil dari peminjaman
kebudayaan.

Sisi lain yang tidak kurang menariknya adalah terjadinya


kesepakatan sebagai upaya melakukan perubahan dari busana pengantin
tradisional tersebut. Karena sesuatu sebab, beberapa orang yang merasa
punya tanggung jawab terhadap masalah kebudayaan, khususnya
kebudayaan Banyuwangi, telah berhasil menciptakan pakaian pengantin
tradisional masyarakat Osing Banyuwnagi. Cara yang dilakukan adalah
memodifikasi pakaian pengantin yang pernah ada di lingkungan dengan
menghilangkan bagian - bagian yang dirasakan sudah ketinggalan jaman,
misalnya meninggalkan kebiasaan memakai kaca mata hitam baik untuk
pengantin pria maupun pengantin wanita.

Gagasan memodifikasi pakaian pengantin tradisional masyarakat


Osing Banyuwangi merupakan penemuan baru dan sebagai penambah
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan maksud mengangkat martabat
masyarakat Osing Banyuwangi sekaligus sebagai upaya lebih
memasyrakatkan salah satu hasil budaya masyrakat Banyuwangi, yaitu
berupa batik tulis dengan motifnya yang khas disebut motif gajah holing.
Pakaian pengantin tradisional masyarakat Osing Banyuwangi ini cukup
baik bila dilihat dari segi motivasinya, terutama bagi masyarakat
Bayuwangi pada umumnya. Tetapi dari sisi lain, sebenarnya merugikan,
karena secara tidak sengaja telah menghilangkan sesuatu yang cukup
unik sebagai ciri khas dari masyarakat Osing itu sendiri yaitu suatu
masyarakat yang memiliki budaya campuran, akan kabur karena salah
satu bukti yang dapat dilihat dengan jelas di antaranya adlah mengamati
pakaian pengantin tersebut.
Suku Osing di wilayah Kabupaten Banyuwangi

Gambar 3: Busana pengantin suku osing diwilayah kabupaten Banyuwangi

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal: 56)
C. Letak geografis Bali
Pulau Bali adalah bagian dari kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153
Km dan selebar 112 Km sekitar 3,2 Km dari Pulau Jawa. Secara astronomis,
Blai terletak di 8o25’23’’ Lintan Selatan dan 115o14’55’’ Bujur Timur yang
membuatnya beriklim Tropis seperti bagian Indonesia yang lain.
Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat yang penting lainnya
adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten ianyar, sedangkan
Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang
menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristrirahatan.
Luas wilayah provinsi Bali adlah 5,636,66 Km2 atau 0,29% luas
wilayah Republik Indoenesia. Secara administratif di Provinsi Bali terbagi
atas 9 Kabupaten / kota, 55 kecamatan dan 701 desa / kelurahan.Secara
geografis, Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Mayoritas
penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai
tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya
bagi para wisatawanJepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan
julukan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Bali terletak diantara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibu kota
provinsinya ialah Denpasar yang terletak dibagian selatan pulau ini.
Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Bali terkenal sebagai
tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni budayanya, khususnya
bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan
Pulau Dewata atau Pulau Seribu Putra.
Gambar 18 Peta Wilayah Bali

Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas
fisiknya adalah sebagai berikut:

 Utara : Laut Bali


 Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat)
 Selatan : Samudera Indonesia
 Barat :Selat Bali (Propinsi Jawa Timur)

Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten


dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar,
Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga
merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali Provinsi Bali juga terdiri dari
pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan
Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah
Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total
wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai
529 km.

Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa lebih, dengan mayoritas


84,5% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Buddha (0,5%),
Islam (13,3%), Protestan dan Katolik (1,7%). Agama Islam adalah agama
minoritas terbesar di Bali dengan penganut kini mencapai 13,3% berdasarkan
sensus terbaru pada Januari 2014.
Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian
dan perikanan, yang paling dikenal dunia dari pertanian di Bali ialah
sistem Subak. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang
digunakan di Bali adalah bahasa Indonesia, Bali dan Inggris khususnya bagi
yang bekerja di sektor pariwisata.
Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500
SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut
ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau.
Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan
tulisan Bahasa Sangkerta dari India pada 100 SM
Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan
India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi.
NamaBalidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di
antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa
pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa
inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan.
Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa
itu. Kerajaan Majapahit (1293–1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat
di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar
tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruhnusantara beragama Hindu, namun
seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang
antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta,
artis dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau
Jawa ke Bali.
Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de
Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis
sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585.
Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali,
akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya
posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku.
Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah
menjadi permanen yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai
penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda
melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan
disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah
maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga
menyebabkan terjadinya perang sampai titk darah penghabisan atau perang
puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita
termasukrajanya.
Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut,
meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah.
Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja
memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap
agama dan budaya umumnya tidak berubah.
Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II dan saat itu seorang
perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali
'pejuang kemerdekaan'. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan
Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk
menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum
perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu
menggunakan senjata Jepang.
Pada 20 November 1945, pecahlah pertempuran Puputan Margarana
yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti
Ngurah Rai yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur
Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang
bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya
dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir.
Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13
wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan,
yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang
diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta.
Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia
Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29
Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan
perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi
dari Republik Indonesia.
Letusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1963, sempat
mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk
Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia.
Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap
pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah
penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di
Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun
demikian, kejadian-kejadian pada masa awal Orde Barutersebut sampai
dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.
Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa
serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan
sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali
2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-
kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian
besar korbannya adalah wisatawan asing dan menyebabkan industri
pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.

1) Busana Adat Bali


Bali adalah sebuah pulau yang masyarakatnya merupakan suatu
kesatuan suku bangsa dengan kompleksitas kebudayaan yang bernilai
tinggi. Seni dan religi yang menajdi fokus kebudayaan memilikin
pengaruh yangs angat besar dalam sendi-senid kehidupan budaya
masyarakat Bali yang lebih luas. Budaya tradisional yang merupakan salah
satu unsur dari sistem teknologi yang dimiliki kebudayaan Bali memiliki
daya tarik yang cukup besar. Kesederhanaan bentuk dasar busana Bali
yang dipadukan dengan detail kelengkapannya merupakan harmonisasi
keindahan seni budaya berbusana yang menakjubkan. Tata rias dan hiasan
kepala pernak-pernik kain yang dikenakan dengan kelengkapan
perhiasannya menampilkan kesan mewah, meriah namun anggun.
Kemben merupakan jenis pakaian berupa pembalut tubuh, yang
menjadi bentuk dan model dasar busana tradisional Bali, baik untuk untuk
pria maupun wanita dari segala jenis usia, maupun dari kasta manapun
mereka berasal. Bagi wanita Bali , kemben bukanlah penutup dada, tetapi
lebih berfungsi sebagai penyangga payudara sehingga keindahan
bentuknya tetap terjaga. Pada masa lalu bepergian ataupun beraktivitas
tanpa penutup dada pada masyarakat Bali, termasuk kaum wanitanya
adalah hal yang biasa. Meskipun demikian pada situasi-situasi tertentu
mereka kerap menggunkaan kancrik atau tengkuluk sebagai anteng
penutup dada.
Keterangan :

Busana selalu berkaitan erat dengan


upacara-upacara ritual yang hidup
dimasyarakat. Busana yang digunakan
oleh orang Bali ketikan hendak
melakukan upacara ritualnya. Kaum
pria menggunakan kemben endek atau
setagen kain untuk bagian luar. Baju
sapat putih atau kuning. Udheng
songket dan tidak lupa menyelipkan
sumpang bentuk bunga ditelinga. Kaum
wanitanya memakai kain dalam tapih,
kain luar kemben songket, sabuk
setagen dan giwang subeng. Disanggul
berhiaskan pusung tagel dengan
kembang goyang.

Gambar 19: (H. M. Soeharto. Busana Tradisional. Hal:179)

Kancrik adalah sehelai selendang yang berfungsi sebagai penutup


tubuh atau saput, yang terkadang digunakan untuk menjunjung beban
sekalipun melindungui wajah dari sinar matahari. Kancrik juga digunakan
sabagai tengkuluk yaitu penutup kepala wanita Bali yang juga berfungsi
sebagai alat penjunjung beban. Selain kegunaannya untuk menahan rambut
agar tetap rapi. Sementara anteng adalah selembar kain atau kancrik yang
berfungsi sebagai alat penutup buah dada. Kemben, sabuk, saput dan
anteng serta tengkuluk untuk kepal amerupakan pakaian wanita Bali dalam
keseharian. Pakaian untuk pria secara lengkap adalah destar, saput dan
kemben.
Gambar 20: (H. M. Soeharto. Busana Tradisional. Hal:180) (kiri) dan 21 (kanan): (H. M.
Soeharto. Busana Tradisional)

Dalam lingkungan berkasta atau berada untuk menghadiri kegiatan khusus


seperti upacara adat, busana yang digunakan sangat lengkap. Mulai dari kain songket dan
peperadan, yakni kain tradisional Bali yang dibuat dengan bahan dasar ebnang mastroli.
Desain yang indah dibuat dengan benag warna emas. Demikian juga dengan
pelengkapnya seperti hiasan kepala bagi wanita atau udeng songket bagi pria, seluruhnya
mencerminkan kedudukan untuk seseorang dalam masyarakat.

Kebiasaan bertelanjang dada pada masyarakat Bali adalah tradisi


yang telah berlangsung turun-temurun selama ratusan tahun. Namun,
meskipun dimasa lalu perangkat busana Bali lazimnya tanpa baju,
masyarakat Bali mengenal dengan baik kebiasaan menggunakan baju.
Kaum wanitamya sering mengenakan kebaya. Untuk kebaya berlengan
panjang hingga pergelangan tangan mereka sebut potongan Jawa,
sementara yang berlengan longgar sampai dibawah siku disebut potongan
Bali. Kebaya ini umumnya terbuat dari bahan yang dibeli dipasar,
meskipun ada yang khusus menenunnya.
Budaya memakai baju ini tumbuh dan hidup umumnya pada
lingkungan masyarakat yang telah mendapat pengaruh dari luar. Menurut
sejarah, pemerintah Belanda lah yang memperkenalkannya. Demikian pula
pada kaum pria, pemakaian baju ini dimulai oleh pria ambtenaaratau
pegawai apda masa pemerintahan Belanda. Jas tutup dan kemeja biasa
digunakan. Kain batik sebagai kemben dan destar adalah pelenngkapnya.

Kain-kain yang digunkana sebagai bahan dari bsuana Bali terdiri dari
beragam jenis. Songket, perada, endek, batik dan sutera adalah beberapa
diantaranya. Kain gerisngsing merupakan salah satu yang terkenal
keindahan dan keunikannya.

Gambar 22: (H. M. Soeharto.


Busana Tradisional. Hal: 181)

(atas ) Tari Wiranata. Berbagai


jenis tarian yang berhubungan
dengan upacara ritual
keagamaan / pemujaan selalu
menghadirkan tata busana yang
indah. Tarian dan busana yang
dipakai menjadi media ungkap
rasa syukur dan hormat.
Gambar 23:

(bawah) Tari Tenun. Pada tarian


mencerminkan kehidupan
keseharian, tampak busana yang
dipakai lebih sederhana.

Selain cara menenun dan proses pemintalan benangnya yang cukup


memerlukan kesabaran dan ketelitian, proses pewarnaan kain geringsing
sangat menentukan kualitas dan keindahannya. Umumnya kain geringsing
memiliki tiga warna dasar, yaitu putih, susu atau kuning nuda, hitam dan
merah. Sedangkan warna geringsing dapat dibekdakan menjadi geringsing
salem (geringsing hitam) dan geringsing barak (geringsing merah) . pada
geringsining salem merah tampak pada bagian ujung gerisngsing saja.
Warna hitam dan putih saja yang nampak, sedangkan warna merah tudak
terlihat. Adapun pada geringsingan barak atau gerisngsingan merah,
tampak tiga warna dominan yaitu kuning muda, merah dan hitam. Warna-
warna ini juga muncul pada pinggiran kain. Selain warna, kain geringsing
yang memiliki ciri keistimewaan pada teknik tenun dobel ikatnya ini juga
dibedakan menurut yukurannya. Geringsing dengan ukuran yang paling
besar disebut dengan geringsingan perangdasa. Pola ragam hiasnya pun
tanpak lebih lebar, karena proses pengikatannya yang berjarak lebih
longgar. Geringsing berukuran menengah disebut geringsingan wayang ,
sementara yang lebih kecil disebut geringsingan patlikur. Geringsingan
sabuk, anteng dan cawat adalah gerisndingan dengan ukuran paling kecil.
Motif geringsing cukup banyak ragamnya. Sebagian besar
isnpirasinyadiperoleh dari dunia flora dan fauna. Beberapa motif
geringsing adalah motif wayang, wayang putri, lubeng, cecepakan, kebo,
patlikur, cemplongdan sebagainya. Motif ragam hias kain geringsing dari
Tenganan Pageringsingan menampakan pengaruh unsur-unsur ragam hias
dari kebudayaan asing, seperti India (patola), Cina, Mesir yang beramisili
dengan pengaruh Hindu yang kuat. Namun, tetap terpadu dengan nilai-
nilai budaya Indonesia asli. Secara keseluruhan, kain geringsing
merupakan perwujudan dari kebudayaan Bali yang memiliki unsur
keindahabn seni yang tinggi dan terkesan mewah.

Pada saat melakukan suuatu upacara seperti potong gigi atau


pernikahan, masyarakat biasanya menggunakan kain tenunan Bali
Tradisional sebagai busana lengkap dari bahan songket dan peperadan.
Bagi kaum pria, busana tersebut terdiri dari udeng atau destar sebagai ikat
kepala, saput atau kapuh dan kemben atau wastra. Untuk menahan kapuh,
diujungnya diikatkan secarik kain panjang sejenis selendang yang disebut
umpal. Umpal geringsing adalah yang paling dikagumi. Wanitanya
memakai kemben songket. Sabuk prada yang membelit dari pinggul
sampai dada dan selendang songket untuk menutup tubuh, dari bahu
kebawah dibalik kemben dikenakan selembar penuh tapih atau sinjang
dari sutera berornamen penuh peperadaan mengurai keluar melewati
kemben. Berdasarkan corak busana yang dipakai, dapat diketahui status
sosial dan ekonomi seseorang.
Gambar 24: (H. M.
Soeharto. Busana
Tradisional. Hal:182)

Pedanda, pemimpin
upacara adat di Bali,
mengenakan busana
yang bewarna serba
putih, seakan
mencerminkan
ketulusan dan
keberhasilan hati
dalam melaksanakan
upacara adat.

Gambar 25: (Prof.Dr. James Danandjaja.1985.


Upacara-upacara adat lingkaran hidup di
turunyan,bali. Hal: 111)

Busana Ngayah yaitu gotong royong


menyiapkan upacara desa atau pura. Busana
terdiri kebaya, anting dan bagian bawah
kemben endek. Kepala dihias beberapa kuntum
bunga.
Gambar 26: (Prof.Dr. James
Danandjaja.1985. Upacara-upacara
adat lingkaran hidup di turunyan,bali.
Hal: 114)

Asak nama desa di Karangasem.


Busana rejang Ngasak dikenakan
dalam upacara Ngusabha Kasa yaitu
pesta desa mohon keselamatan dan
berkah pada bulan Juni-Juli setiap
tahun. Busana terdiri gelang kepala,
dengan petitis permata, bunga sasak
dan cempaka dari emas dikombnasi
bunga plendo putih. Badan memakai
saput karah hingga ke lutut dari kain
lurik merah dan kuning, pinggang
pakai anteng kuning, pinggang pakai
anteng kuning, selendang di bahu dan kain bawah endek.

Gambar 27: (Prof.Dr. James


Danandjaja.1985. Upacara-upacara adat
lingkaran hidup di turunyan,bali. Hal: 118)

Pelacang adalah petugas keamanan sejak


jaman kerajaan. Sekarang masih
dilestarikan untuk petugas keamanan
upacara Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru
Caka. Busana terdiri destar hitam,
kembang sepatu di telinga. Baju warna
hitam, saput poleng dan kemben hitam.
Gambar 28: (Prof.Dr. James
Danandjaja.1985. Upacara-upacara adat
lingkaran hidup di turunyan,bali. Hal: 116)

Di desa Tenganan terdapat upacara mrsi


upacara simbol perang-perangan laki-laki.
Busana terdiri ikat kepala emas bermotif
tumpal. Badan mengenakan saput gringsing
dan umpal. Badan mengenakan saput
gringsing dan terselip keris.

2) BUSANA PENGANTIN BALI

Dalam upacara perkawinan, masyarakat Bali mengenal adanya


tiga jenis busana dan tata rias pengangtin, yaitu nista (kaum bawah)¸
madya (kaum menengah) dan agung (kaum bangsawan atau yang utama)
atau yang juga yang dikenal dengan payes agung. Untuk tata rias wajah,
tubuh dan kaki, tidak ada perbedaan yang menyolok. Sementara dalam
tata busana, perbedaan terletak pada bahan yang digunakan. Untuk tingkat
utama, seluruh busana dibuat dari bahan perada.

Berikut beberapa busana pengantin bali yang di kelompokkan


berdasarkan kasta:
Busana pengantin

payas agung gianyar

Bunga sandat emas

Bunga mawar
Udang emas dan
kuntumvcfffff
pucuk emas Bunga cempaka putih
fffffffffffffffffff
Bunga cempaka kuning
fffffffffffffffffff
Keris fffffffffffffffffff
Petites
fffffffbvn
Semi
Baju hitam
Giwang cerocot

Kalung badong

Ules bahu

Selendang kuning

Kemben prada
Cincin
Pending
Wastra songket Gelang kana

cincin

Songket telancing

Telanjang kaki

Gambar 29: Busana pengantin payas agung gianyar

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal: 174)
Busana pengantin

madya

Puspo lembo di kiri-


Bunga sandat
kanan bancangan
emas
Bunga mawar
Bunga pucuk
Cempaka putih
Udeng / destar Cempaka kuning
Cempaka / kantil Payas penyimbang
putij
Kedutan (keris) Alis-alis bak daun
Cecek merah
Subang cerocot
Umpal
Cerik harus kuning
Gecek putih di dada
Kamen songket/
kemben/ wastra/ Sabuk prada
kain panjang
Gelang naga satru
Ali-ali sekar tandjoeng

Kemben songket,
Tapih prada menutupi mata kaki
Kampuh (saput
dari bahansongket Tapih prada, menutupi
merebong kiri dan mata jari kaki
kanan, sisanya
umpal)
Selop
Selop warna emas

Gambar 30: Busana Pengantin Madya

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal: 169)
Selain pakaian pengantin, ada pula Pakaian Adat Madya yang juga
diharuskan penggunaannya kepada para wisatawan yang hendak
memasuki kawasan tertentu yang dianggap suci oleh krama / warga
setempat, seperti areal Pura, Situs peninggalan kerajaan tertentu dan lain-
lain. Hal ini bertujuan untuk menghormati dan menjaga kesucian areal itu
sendiri. Penggunaan pakaian adat madya tidaklah sulit karena hanya terdiri
dari tiga bagian poko yaitu:

1. Kemben
Kemben adalah selembar kain yang dililitkan pada tubuh bagian bawah
(pinggang sampai betis).
2. Kancrik atau selendang
Kancrik atau selendang ialah berfungsi sebagai ikat pinggang.
3. Udeng
Udeng adalah kain yang berfungsi sebagai ikat kepala.
Busana pengantin

Busana nista sederhana

Rejima Bunga kap

Udeng Sandat emas

Cempaka Bancangan

Cempaka kuning
Keris
Cempaka putih
Saput
Subeng cerocot
Umpal
Titik – titik
Songket Cerik

Anteng

Stagen

Bungkung

Cincin

Kamen dodot

Kain
panjang

Gambar 31: Busana pengantin nista sederhana

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal: 172)
Pakaian pengantin

bali modifikasi

Udeng Bunga kap

Keris Sandhat emas

Kalung Puspa lembo

Gelang kane Cempaka putih

Cempaka kuning
Umpal
Cecek merah

Subang cerocot

Gand
a
Kalung

Cerik
Songket Gelang kane

Stagen

Gelang nagasatru
Tapih prada
Songket

Tapih prada

Selop

Gambar 32: Busana pengantin bali modifikasi

(Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin . Hal: 171)
Gambar 33: (H. M.
Soeharto. Busana
Tradisional.
Hal:183)

(atas) Tari Kebar


Duduk

Gambar 34: (bawah)

para nagaya peniup suling


Bunga sumpeng tida dapat
dilepaskan dari kehidupan
masyaraka Bali. Dalam
setiap eksempatan dapat
dipastikan kaum pria dan
wanita di Bali menyelipkan
bunga ditelinga. Termasuk
tata rias untuk pakaian tari,
yang mengkombinasikan
bunga dengan hiasan lain
yang diselipkan disela-sela
destar dan ditelinga.
Perhiasan yang dikenakan oleh sepasang pengantin payes agunglah
yang tampak jelas memdedakan dengan tata rias dan busana tingkat rista
maupun madya.perhiasan tingkat utama ini memang memperlihatkan
suattu kekhususann.gelung Kucir, yaitu sanggul tambahan berbentuk bulat
melingkar dan terbuat dari ijuk menjadi salah satu pembeda.

Gambar 35: (H. M.


Soeharto. Busana
Tradisional.
Hal:184)

Pasangan mempelai
Bali dengan busana
adat mereka yang
sangat khas, penuh
perada, endek,
songket serta
gemerlap hiasan
pada kepala

Dalam mapusungan (pembuatan sanggul), penggunaan gelung kuncir ini


berfungsi sebagai penambahan hiasan. Gelung biasaya dihias dengan
bunga-bungaan, seperti kenanga, cempaka putih, cempaka kuning dan
mawar.sementara itu, hiasan kepala atau petitis, tidak digunakan lagi
bunga-bunga hidup, melainkan bunga-bunga yang terbuat dari emas.
Gambar 36: (H. M. Soeharto.
Busana Tradisional.
Hal:185)

Dengan berbagai hiasan dan


kelengkapannya dalam
busana tari Bali, penari
membutuhkan bantuan
dalam mengenakan busana
dan accessoriesnya.

Pelengkap petitis, yaitu tajug aatau perhiasan lain seperti subeng


ceporot, gelang kana untuk lengan atas dan badong untuk leher semuanya
terbuat dari emas. Deikian pula sepasang gelang naga satru, bebekeng,
atau pending serta cincin.
BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Di Indoensia terdapat 34 Provinsi. Dan disetiap provisi mempunyai
adat dan kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini bisa diliha dari busana
yang dikenakan disetiap daerah. Disetiap daerah mempunyai ciri kahs
masing-maisng dlaam memakai busana baik it cara pemkaian, bentuk, motif
dan sebagainya. Seiring dengan perkembangn zaman dan kemajuan
teknologi maka timbul sesuatu yang baru sehingga apa yang ada sebelumnya
hampir punah.Sebagaimana yang dimaskud dengan busana ialah segala
sesuatu yang dikenakan dari kepala hingga kaki yang terdiri dari pakaian
utama, accessories dan pelengkap. Jadi busana daerah ialah busana
tradisional. Busana daerah ialah buana khas suatu daerah, yang mempunyai
ciri-ciri tertentu dan sebagai yang membedakannya dengan busana daerah
lain. Busana daerah biasanya mudah dikenali orangn yang ditampilkan dalam
seperangkat pelengkap.
Dalam hal ini akan membahas busana yang berasal dari provinsi Jawa
Timur dan Provinsi Bali. Dimana Jawa Timur dan Bli adalah dua provinsi
yang berbeda. Jawa Timur adalah provinsi yang berada didaerah jawa dan
Bali adalah provinsi yang berada diwilayah tengah bagian Indonesia.
Dilihat dari letak geografisnya maka dapat terlihat akan busana yang
dikenakan. Dari daerah jawa Timur lebih cenderung mengikuti dengan adat
dan istiadat nenek moyang sebelumnya, sedangkan Bali lebih dekat dengan
hal mistik atau ghaib. Sehingga baju dati daerah Bali berbeda dengan baju
daerah Jawa Timur.
Perbedaan itu juga terlihatdari cara pemakaian pernak-pernik atau
perhiasannya. Dari derah jawa timur lebih dominana memakai sanggul
sedangkan daerah Bali lebih terurai dengan adanya bunga-bunga yang
diletakkan dibagian rambut. Dan dari segi warna dan motif juga berbeda. Bali
lebih cenderung menggunakan warna laut.

B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini seharusnya dalam pengapliksiannya
bisa diterapkan dalam kehidupan. Seperti mahasiswa PKK Busana dapat
mempu membuat baju modifikasi yang idenya berasal dari daerah yang ada di
Indonesia. Dan diharapkan kepada generasi penerus tetap dijaga dan
dilestarikan busana daerah dari daerah masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Nelmira, Weni; Ernawati. 2008. Pengetahuan Tata Busana. Padang: UNP Press.

H. M. Soeharto. Busana Tradisional. Perum Percetakan Negara Republik


Indonesia.

Dra. Tien Santoso, M.Pd. Tata rias & busana pengantin seluruh Indonesia .

Prof.Dr.JamesDanandjaja. 1985. Upacara-upacara adat lingkaran hidup di


turunyan,bali. Jakarta: Balai Pustaka.

http://www3.petra.ac.id/eastjava/culture/posing.htm

Anda mungkin juga menyukai