Anda di halaman 1dari 72

Kerangka Filosofi Ideologi Gerakan KAMMI

Ontologis Epistemologi Sistematika


Aksiologis KAMMI Jadwal Gerakan Timing Peran Strategis
Dakwah s Gerakan Gerakan
Kemenangan Islam
Pandangan Penguatan ideologi
Mabda’ Worldview adalah Jiwa Masa Inkubasi 1980 – 1998
Hidup KAMMI Islam
Perjuangan KAMMI
Kebatilan adalah Melawan Rezim
Masa Reformasi 1998 – 2004
Musuh Abadi KAMMI Otoriter
Konsepsi
Solusi Islam adalah Konseptualisasi
Tawaran Masa
Fikrah Paradigma Tawaran Perjuangan 2004 – 2009 Islam di semua
Perubahan Demokratisasi
KAMMI Sektor Strategis
KAMMI
Pilihan Isu Memperbaiki
Perbaikan adalah strategis dan Negara dan
Manhaj Metodologi Tradisi Perjuangan Sikap Mihwar Dauli I 2009 – 2014 Masyarakat di
KAMMI Gerakan berbagai segi dan
KAMMI levelnya
Kepemimpinan Memimpin Negara
adalah Strategi Mihwar Dauli II 2014 – 2019 dan Masyarakat
Gerakan KAMMI secara utuh
Membangun Aliansi
Persaudaraan
adalah Watak Mihwar ’Alami 2019 – 2024 Strategis Dunia
Mu’amalah KAMMI Islam

1
01_Review Materi Khusus_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY

Poin : Memahami dasar politik Islam


Materi : Konsep Dasar Politik Islam
Penulis : Amin Sudarsono, S. Hum

Konsep Dasar Politik Islam1


Amin Sudarsono, S.Hum.2
“Sesungguhnya Allah memerintahkan engkau menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan [memerintahkan engkau] apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya engkau menetapkan dengan adil..”
[al-Nisa: 58]
Menyebut kata politik, niscaya terlintas di benak kita tentang perebutan
kekuasaan, keculasan, kecurangan saling jegal dan segala predikat buruk—
sekedar untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Semua bayangan
itu, muncul karena memang budaya politik yang ditampakkan oleh para elite
politik selama ini adalah seperti itu. Bagi masyarakat awam saat membincangkan
politik, maka hanya terbayang tentang kampanye, partai politik, pemerintahan,
Pemilu, kartu suara dan instrumen lainnya. Sementara dalam Islam konsep politik
adalah konsep yang menyeluruh, komprehensif, integral—serta bukan hanya
masalah kekuasaan belaka. Islam memandang politik sebagai sebuah “cara” dan
bukan “tujuan”. Konsep ini didasari oleh akidah yang kokoh dengan berpegang
pada manhaj yang pernah ditempuh oleh Rasul, shahabat, dan para tabi’in.
Berpijak pada pengertian yang benar, maka politik (siyâsah) tidak akan
lepas dari da’wah. Dua sisi mata uang ini jika salah satu dilepaskan maka koin tak
lagi berharga. Antara politik dan dakwah—dalam kacamata Islam—akan selalu
bergandeng. Dalam kaitannya dengan dakwah, siyâsah adalah sebagai alat
(wasîlah). Makna da’wah secara bahasa adalah an tumîla al-sysyai-a ilaika
(usahamu untuk mencenderungkan, mencondongkan atau menarik sesuatu
kepadamu), sedangkan siyâsah adalah al-qiyâmu ‘ala al-sysyai-i bimâ yushlîhuhu
(menangani sesuatu dengan cara-cara yang dapat memperbaiki sesuatu itu).
Sehingga hubungan antara siyâsah dan da’wah adalah hubungan antara cara dan
sasaran (al-wasîlah wa al-hadaf). Disinilah muncul istilah siyâsah al-da’wah yang
berarti al-istighlal ‘ala amtsal lajâmi’i mashâdir al-quwwah fi tahqiqi ahdaf al-
da’wah (upaya pendayagunaan berbagai sumber kekuatan dalam rangka
merealisasikan tujuan-tujuan dakwah).
Dalam kerangka pandang ini, perjuangan Islam—dimaknai sebagai dakwah3
—harus mengambil pola struktural. Karena alat pengambilan kebijakan berangkat
dari logika politik. Terlebih mengingat pesan Imam ‘Ali ra, bahwa “kejahatan yang
terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.”

Konsep Dasar
Konsep pertama adalah mengenai imâmah (kepemimpinan). Pengangkatan
pemimpin yang amanah dan ketaatan rakyat kepada pemimpin adalah konsep
politik Islam yang pokok. Para ulama mengatakan bahwa al-Nisa: 58 di atas
diturunkan untuk para pemimpin pemerintahan (waliyy al-amri), agar mereka
menyampaikan amanat kepada ahlinya. Ayat berikutnya, Wahai orang-orang yang
beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari
1 Materi pengantar dalam Daurah Siyasi KAMMI Komisariat UII, Ahad 10 Juli 2005 bertempat di Ruang Audio Visual RPI UII.
2 Ketua Departemen Kajian Strategis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia [KAMMI] Daerah Istimewa Yogyakarta
[amin_sudarsono@yahoo.com].
3 Dalam menunaikan tugas dakwah, ada tahapan-tahapan yang harus diperhatikan dan ditempuh. Syeikh Musthafa Masyhur
(Mursyid ‘Am Kelima Ikhwanul Muslimin) dalam buku Thariq al-Da’wah menyebutkan tiga tahapan [marhalah] dakwah yang harus
dilalui. Pertama, ta’rif [penerangan/propaganda], yaitu memperkenalkan, menggambarkan ide dan menyampaikannya kepada
khalayak ramai di seluruh lapisan masyarakat. Kedua, takwin [pembinaan/pembentukan], yaitu tahap pembentukan, pemilihan
pendukung dakwah, menyiapkan mujâhid dakwah serta mendidiknya. Ketiga, tanfidz [pelaksanaan], yaitu tahap beramal,
berusaha dan bergerak guna mencapai tujuan.
golonganmu! Kemudian jika engkau berselisih dalam masalah sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika engkau benar-benar beriman
kepada Allah dan Hari Akhir! Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya. Ayat ini ditujukan kepada rakyat agar taat kepada pemimpinnya dalam
hal pembagian, putusan hukum, dsb. Kewajiban untuk taat kepada ulil amri itu
gugur (tidak berlaku) bila mereka memerintahkan rakyatnya berbuat maksiat
kepada Allah swt. Oleh karena itu, “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
perbuatan maksiat kepada sang Pencipta (khâliq).”4
Konsep kedua adalah syûrâ (konsultasi) atau musyawarah. Allah berfirman
di dalam al-Quran, Maka karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka,
mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepadanya. (Ali Imran: 159).Konsep ini menuntun bagi sebuah proses
pengambilan keputusan atau kebijakan dari seorang pemimpin dl menjalankan
pemerintahannya. Syûrâ—di bawah akan saya komparasikan dengan konsep
demokrasi—menjadi ruh yang sangat penting bagi partisipasi ummat dalam
penentuan kebijakan.
Konsep ketiga mengenai ‘adalah (keadilan). Allah berfirman di dalam al-
Quran, Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan”
[al-Nahl: 90]. Keadilan dan kesetimbangan (balance) dalam menentukan kebijakan
merupakan prinsip yang dikedepankan dalam politik Islam. Sistem Islam
mengedepankan keadilan dalam inti ajarannya.

Memasuki Sistem
Beberapa orang mengira, bahwa politik adalah sebuah aib. Terlibat
kekuasaan merupakan cela. Dan tidak boleh seorang ‘ulama merangkap jabatan
sebagai umarâ (birokrat). Dua posisi itu seakan kutub tak tergabungkan. Bagi
sebagian kalangan kaum muslimin, parlemen menjadi mimbar haram untuk
berdakwah, terlebih di negara-negara yang tidak memakai Islam sebagai sistem
bernegara. Banyak penguasa zalim yang memegang posisi di negara itu. Dalam
kondisi demikian, apa yang harus dilakukan oleh kaum muslimin?
Jika merujuk pada khazanah klasik, kita menjumpai ijtihad yang menarik
dari para ulama. Ibnu Taimiyah—yang digelari mujtahid muthlaq oleh para ulama
—berkata, Segala puji bagi Allah. Jika ia berusaha berbuat adil dan menyingkirkan
kezaliman menurut kesanggupannya dan kekuasaan itu mendatangkan kebaikan
dan maslahat bagi orang-orang muslim daripada dipegang orang lain, ia
diperbolehkan memegang kekuasaan itu dan dia tidak berdosa karenanya. Bahkan
jabatan itu lebih baik daripada berada di tangan orang lain dan menjadi wajib jika
tidak ada orang lain yang sanggup memegangnya.5
Ibnu Taimiyah menyarankan agar kaum muslimin berusaha masuk dalam
sistem kekuasaan. Melalui mekanisme yang disepakati, baik itu penerapan
demokrasi: pemilu, parlemen, dsb. Sehingga kekuasaan ada di tangan. Dalam
kondisi yang sangat mendesak, dimana tidak ada di antara kaum muslimin yang
mampu duduk di pemerintahan, terdapat pandangan dari Imam Izzudin bin Abdus
Salam, Jika orang kafir menjadi pemimpin suatu wilayah yang luas, lalu mereka
melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dapat mendatangkan maslahat bagi
orang-orang mukmin secara umum, keadaan itu dapat dijalankan karena

4 Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah: Etika Politik Islam, terj. Rofi’ Munawar (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm xv.
5 Yusuf al-Qardhawy, Fiqh Daulah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), hlm 265.

3
mendatangkan maslahat secara umum dan menyingkirkan mafsadat—sekalipun
jauh dari rahmat syariat—karena memang orang yang memiliki kesempurnaan
dan layak diserahi kekuasaan itu tidak ada.6

Mengaca Sejarah
Bagaimana aplikasi politik Islam dalam sejarah—atau lebih tepatnya—
sistem politik Islam seperti apa yang telah dipraktekkan dalam rentangan sejarah?
Islam telah berusia 14 abad lebih, selama rentang itu pergantian pemimpin,
bangun-runtuhnya dinasti penguasa, kekhilafahan yang berserak dan berbagai
kerajaan telah berdiri. Para penguasa Islam itu menerapkan sistem politik secara
beragam sesuai dengan kondisi lokal—dengan tetap mengacu pada dasar syariat
yang mutaghayyirat.
Rasulullah, sebagai penafsir otoritatif atas nash al-Quran menjabarkan
bagaimana sistem politik Islam itu dalam lapangan kenegaraan. Ayat-ayat
Madaniyyah yang lebih banyak berbicara mengenai mu’âmalah ijtimâ’iyyah
menjadi landasan pelaksanaan politik Islam. Titik itu dimulai ketika kaum muslimin
yang teraniaya melaksanakan hijrah sebagai konsekuensi kontinuitas risalah
Islam. Perpindahan ini, dinamakan al-hijrah dalam bahasa Arab, merupakan titik
awal bagi sejarah Islam yang kemudian berkembang dari sekelompok kecil
pengikut menjadi satu bentuk komunitas yang sempurna. Yastrib kemudian ter-
kenal sebagai Madînah al-Nabî, atau Kota Nabi, dan hingga sekarang kota ini
dinamakan Madinah. Di sinilah, masyarakat (al-ummah) Islam yang pertama
terbentuk, yang seterusnya menjadi model ideal bagi seluruh masyarakat Islam
masa-masa selanjutnya.
Rasulullah berposisi selain sebagai nabi yang memiliki otoritas tunggal, juga
sebagai pemimpin masyarakatnya sebagai kepala negara. Masa-masa permulaan
negara Islam itu, Rasul memerintah dengan menerapkan aturan Islam. Al-Quran
dijabarkan secara praktis melalui kebijakan Rasul yang adil dan berlandaskan pada
syûrâ—untuk masalah-masalah duniawi. Komponen masyarakat Madinah yang
majemuk berhasil disatukan Rasulullah melalui sebuah piagam yang fenomenal,
yaitu Piagam Madinah. Dalam piagam itu, diatur mekanisme hubungan yang
setara dan adil antara pemeluk Islam, Nasrani, Yahudi dan berbagai suku yang ada
di Madinah.
Mekanisme musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah cukup menarik
untuk diperhatikan. Beberapa kali, tercatat bahwa Rasul mengkonsultasikan
kebijakannya dengan para sahabat. Pertama dalam strategi menyerang musuh
dalam Perang Badar. Rasul mengusulkan agar pasukan maju ke depan karena di
mata ada mata air (oase). Saat itu Hubab bin Mundhir mengusulkan agar pasukan
Muslim mengisi persediaan air lalu menutup mata air dan mundur ke belakang,
sehingga musuh tidak bisa minum.
Kedua, ketika Perjanjian Hudaibiyah. Saat berunding dengan kaum Quraisy,
Rasulullah seringkali bersedia mengakomodasi tuntutan musuh. Seumpama dalam
pencantuman kalimat, “dengan nama Tuhan yang Mahapengasih dan
Mahapenyayang”, pihak musuh (diwakili Suhail bin Amr) menolak dan mengganti
dengan kalimat “Dengan nama-Mu ya Tuhan!”.
Misal ketiga adalah saat menyelesaikan persoalan tawanan Perang Badar.
Abu Bakar mengusulkan agar tawanan itu dilepaskan dengan tebusan, Umar
berkeras ingin membunuh mereka semua sebagai balasan atas tindakan tatkala di
Makkah dahulu. Dengan segala pertimbangan, akhirnya Rasul memutuskan untuk
melepaskan dengan tebusan sesuai strata sosial tawanan, sedang bagi yang tidak
mampu diwajibkan mengajarkan baca tulis pada penduduk Madinah. Ternyata,
Allah tidak berkenan, tak lama kemudian, turunlah ayat dalam al-Anfal: 67 yang
tidak membenarkan pengambilan tebusan. Dalam hal ini pendapat Umar yang
6 Ibid, hlm. 262.
benar. Mekanisme syûrâ ini yang sering dilakukan Rasul bersama sahabat. Seiring
dengan itu, infrastruktur Madinah mulai dibenahi.

Pengangkatan Khulafa al-Rasyidin


Sepeninggal Rasul, terjadi peristiwa di Tsaqîfah Banî Sa’îdah—yaitu balai
pertemuan milik klan Bani Sa’idah. Pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah diawali
dengan proses musyawarah yang cukup sengit. Egoisme kaum Anshâr dan
Muhâjirîn mulai muncul yang akhirnya dapat didamaikan oleh Abu Bakar.
Mekanisme syûrâ ini menampakkan corak pertama pola suksesi kepemimpinan
dalam Islam Setelah Abu Bakar wafat, pengangkatan ‘Umar menjadi khalifah
adalah melalui penunjukan. Sebelum wafat, Abu Bakar sempat mewasiatkan agar
sepeninggalnya, ‘Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah. Ketika masih sakit
menjelang wafat, Abu Bakar mengadakan syûrâ tertutup dengan beberapa
sahabat senior, yaitu ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan ‘Utsman bin ‘Affan sebagai
representasi kaum Muhâjirîn serta Asid bin Khudair sebagai wakil kaum Anshâr.
Wasiat Abu Bakar ditulis oleh ‘Utsman, yang kemudian dibacakan dalam proses
pembaiatan Umar secara terbuka di masjid Nabawi.
Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai khalifah melalui proses yang agak
lain. Ketika itu, dalam sakitnya akibat tikaman senjata Abu Lu’lu’ah orang Persia,
Umar membentuk panitia ad hoc sejumlah enam orang sahabat senior. Mereka
harus mengadakan syûrâ dan memilih salah satu di antara mereka sendiri.
Keenamnya adalah ‘Alî bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash,
‘Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin ‘Awwam dan Thalhah bin ‘Ubaidillah, serta
‘Abdullah bin ‘Umar—putranya sendiri—tapi tanpa memiliki “hak suara”. Setelah
melalui perundingan internal yang agak panas, akhirnya Utsman bin ‘Affan
diangkat sebagai khalifah. Ketika ‘Utsman terbunuh oleh para bughat
(pemberontak), kaum muslimin mendesak agar ‘Ali menjadi khalifah. Saat itu,
Madinah agak kosong ditinggalkan para sahabat yang banyak berada di wilayah-
wilayah taklukan yang baru. Thalhah, Zubair dan Sa’ad—tiga sahabat senior—
segera membaiat ‘Ali yang diikuti seluruh penduduk Madinah. Untuk kasus ‘Ali,
ternyata pengangkatannya tidak secara bulat disepakati oleh kaum muslimin. Hal
ini berbeda dengan tiga khalifah terdahulu yang—walaupun ada yang menentang
—namun mereka tetap tunduk pada keputusan syûrâ.
‘Ali menghadapi Mu’awiyah bin Abu Shofyan yang menolak bai’at. Dua
alasan yang dikemukakan Mu’awiyah adalah, pertama ‘Ali harus
mempertanggungjawabkan kasus terbunuhnya ‘Utsman—yang masih terhitung
saudara satu suku Mu’awiyah. Kedua karena wilayah Islam sudah meluas dan
timbul berbagai komunitas Islam di daerah yang baru, maka hak kekhalifahan
bukan hanya dimiliki Madinah. Perseteruan ini yang kemudian membawa
perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Islam.7

Monarki dalam Sejarah Islam


Sistem politik pemerintahan Islam berikutnya bercorak monarki. Kekuasaan
diwariskan turun temurun dalam sebuah dinasti. Dinasti pertama yang didirikan
Mu’awiyah adalah Dinasti Umayyah (661-750 M). Islam semakin meluaskan
kekuasaannya mulai dari Mesir hingga seluruh Afrika Utara, bahkan sampai ke
Andalusia atau Spanyol Islam. Itu yang ke arah barat. Di sebelah timur, daerah-
daerah di seberang sungai Oxus dan Sungai Yaxartes yang mencakup Bukhara,
Samarkhand dan Farghanah juga dikuasai. Ekspedisi juga dikirim ke India dan di
sana Islam menguasai Balukhistan dan Sind, bahkan sampai perbatasan Cina.
Wilayah yang sedemikian luas diimbangi dengan sistem pemerintahan yang
modern—dalam hal pengelolaan. Pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz—seorang
khalifah Bani Umayyah yang dikategorikan sebagai penerus Khilafah Rasyidah—
7 Munawir Sjadzali, Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), hlm 21-28.

5
hadits-hadits Rasul mulai dikodifikasi dan dibukukan untuk menjaga keaslian dan
otentisitasnya.
Beberapa kebijakan dinasti Umaiyyah yang patut dicatat adalah: (1)
ditetapkannya bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara oleh khalifah ‘Abdul
Malik, yang kemudian menjadi bahasa ilmiah. (2) menetapkan dinar dan dirham
sebagai mata uang resmi. (3) penyeberangan ke Andalusia oleh Thariq bin Ziyad
dan Musa bin Nushair melalui selat Gibraltar pada tahun 711 M, serta Muhammad
bin Qasim membawa Islam sampai di lembah Indus pada tahun berikutnya8.

Penguasa dunia Islam berikutnya adalah dinasti Abbasiyyah (750-1258 M).


Kelahirannya merupakan sebuah revolusi, ketika Abdullah ibn Haritsah yang
dijuluki al-Saffah merebut kekuasaan Umayyah dan membangun imperium baru.
Jika Umayyah menggunakan sistem monarki, maka Abbasiyyah tidak jauh
berbeda, hanya lebih menekankan pada egalitarianisme, yaitu kesetaraan antara
Arab dan ‘Ajam (non-Arab) serta memberikan otonomi luas. Beberapa hal yang
dilakukan Abbasiyah yang cukup signifikan adalah: (1) menampilkan diri sebagi
pelindung agama. Khalifah adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi, mereka
menggunakan gelar agamis seperti: al-Hadi, al-Rasyid, al-Ma’mun, al-Amin, dsb.
(2) Islam mengajarkan persamaan, tiada perbedaan antara Arab dan non-Arab. Hal
ini dibuktikan antara lain adanya fakta bahwa yang menjadi tulang punggung
negara dan wazir adalah orang Persia dari keluarga Barmaki. (3) Abbasiyyah
menghentikan perluasan wilayah. Otonomi daerah semakin diperbesar, yang bisa
dikatakan “federasi negara muslim.” Mulailah dikenal istilah Malik dan Sultan
sebagai penguasa yang dilantik oleh Khalifah. (4) al-Ma’mun menjadikan
pemikiran Mu’tazilah sebagai mazhab negara. Hal ini berimplikasi luas, yaitu
proses masuknya pemikiran intelektual Yunani ke dalam dunia Islam. Disinilah
dimulai kebangkitan peradaban dan intelektual Islam, sehingga dunia Barat belajar
banyak dari Islam.9
Dua dinasti awal itu mampu memperluas Islam sampai ke seluruh pelosok
dunia. Sistem pemerintahan yang digunakan setiap khalifah berbeda. Kebijakan
mereka menentukan arah bagi perkembangan dinastinya. Ada yang berhasil
mengangkat, namun ada pula khalifah yang tidak mampu memimpin dengan baik.
Sistem politik tetap monarki dan feodal. Setelah runtuhnya Abbasiyyah—faktor
keruntuhan dinasti, baik internal maupun eksternal—banyak bermunculan dinasti-
dinasti kecil di tingkat lokal. Sampai saat kemunculan tiga dinasti besar, yaitu
Mughal di India, Safawi di Iran dan Utsmani di Turki.10 Dinasti Mughal (1526-1857
M) di India menorehkan sejarah penting pada pemerintahan Akbar Agung, corak
pemerintahannya adalah militeristik dan sempat membuat kebijakan pluralis yang
disebut Din-i-Ilahi. Dinasti Safawi (1501-1732 M) menguasai Iran setelah beberapa
dinasti kecil sebelumnya. Dinasti ini bercorak teokratik, para penguasanya
mengaku sebagai keturunan ‘Ali, titisan Imam Syiah, bahkan Sultan Ismail I
mengaku sebagai penjelmaan Tuhan. Safawi, akhirnya runtuh oleh modernisme.
Kekhilafahan yang besar dan terakhir kali terhapus di muka bumi adalah
Turki Utsmani (1300-1922 M)11. Sistem politiknya sama dengan pendahulunya,
yaitu monarki. Sebagai institusi pemerintahan umat Islam sedunia, keberadaannya
cukup signifikan. Kekhilafahan Turki Utsmani ini diruntuhkan oleh Mustafa Kamal,
seorang penggerak Turki Muda yang menginginkan modernisasi—atau tepatnya
westernisasi—Turki secara total. Terbukti saat kekuasaan di tangannya, Turki
dirubah secara total menjadi sebuah negara kecil yang melarang dijalankannya
hukum Islam—bahkan adzan-pun harus berbahasa Turki.

8 Nourouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim (Jakarta: Bulan Bintang, 1986) hlm.133.
9 Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 101-102.
10 Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Jur. SPI Fak Adab & LESFI, 2003).
11 Penjelasan komprehensif mengenai sejarah Turki lihat Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Jakarta: Logos,
1997).
Setelah runtuhnya kekhilafahan Utsmani, praktis tidak ada lembaga resmi
yang mempraktekkan sistem pemerintahan Islam di muka bumi. Umat Islam
terfragmentasi dalam berbagai bentuk negara, yang dibatasi wilayah, etnis,
bahasa dan ikatan-ikatan simbolis lainnya. Nampaknya, modernisme menggilas
kaum muslimin secara total. Kondisi ini masih diperparah dengan keadaan umat
Islam yang secara umum berada dalam kondisi keterbelakangan: teknologi,
pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai persoalan itu menuntut
penyelesaian demi kebangkitan umat secara tajarrud (bertahap) dan kontinyu.

Islam dan Demokrasi


Kondisi dunia saat ini mengagungkan demokrasi sebagai sebuah sistem
yang paling baik dan memungkinkan untuk dipakai di seluruh negara di muka
bumi. Sementara itu, beberapa kalangan menganggap demokrasi berbeda secara
diametral dengan konsep Islam. Selain itu, terdapat juga yang berpendapat bahwa
Islam compatible dengan demokrasi. Dhiya’uddin ar-Rais, seorang pakar politik
Islam mengungkapkan, Terdapat beberapa persamaan yang mempertemukan
Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya
menyangkut pemikiran sistem politik tentang hubungan antara umat (rakyat) dan
penguasa serta tanggungjawab pemerintahan.
Jika yang dimaksud dengan demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln:
dari, oleh, dan untuk rakyat, pengertian itupun ada dalam sistem negara Islam,
dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
Jika dimaksud demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu
(misal: asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berfikir dan
berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak
tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapatkan pekerjaan). Semua itu telah
dijamin dalam Islam. Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas
pemisahan kekuasaan, itupun ada dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai
sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai
satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan
undang-undang atau hukum didasarkan pada al-Quran, Hadits, ijma’ atau ijtihad.
Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih
tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat dengan UU12.
Sementara dalam hal perbedaan Islam dengan demokrasi, ar-Rais
memberikan tiga hal mendasar. Pertama, dalam demokrasi yang sudah populer di
Barat, definisi “bangsa” atau “umat” dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku
bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi
selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi
fanatisme. Adapun menurut Islam, “umat” tidak terikat batas wilayah atau
batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah,
pemikiran dan perasaan. Siapapun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu
negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain.
Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.
Kedua, tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada
pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi atau material. Jadi,
demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan rakyat atau bangsa dengan upaya
pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan
kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam—selain mencakup pemenuhan
kebutuhan duniawi (materi)—mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan
fundamental.
Ketiga, kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah
kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli
kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam lslam, kedaulatan
12 Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani (Bandung: Mizan, 1996), hlm 196-198.

7
rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syarî’at
sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syarî’at, al-Quran
dan al-Sunnah, tanpa mendapat sanksi.
Menurut Islam, kekuasaan tertinggi bukan di tangan penguasa karena Islam
tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh-tokoh
agamanya karena Islam bukanlah teokrasi13. Begitupun, kekuasaan tidak di tangan
UU karena Islam bukan nomokrasi. Juga tidak di tangan umat Islam, karena Islam
berbeda dari demokrasi yang sempit. Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam
Islam sangat nyata sebagai perpaduan dua hal, yaitu umat dan undang-undang
atau syarî’at Islam. Jadi, syarî’at adalah kekuasaan tertinggi. Jika harus memakai
istilah demokrasi—tanpa mengabaikan perbedaan substansialnya—sistem itu
dapat disebut sebagai demokrasi yang manusiawi, menyeluruh (internasional),
religius, etis, spiritual, sekaligus material. Boleh juga disebut demokrasi Islam atau
dalam bahasa Abul A’la al-Maududi—ulama Pakistan dan pendiri Jama’at-i-Islami—
disebut sebagai teo-demokrasi.
Sementara itu, menurut Amien Rais, seperti yang telah dikutip Anders Uhlin
dalam buku Oposisi Berserak, ada 5 prinsip demokrasi dalam Islam yakni:
Pertama, pemerintahan harus dilandaskan pada keadilan. Kedua, sistem politik
harus dilandaskan pada prinsip syûrâ atau musyawarah. Ketiga, terdapat prinsip
kesetaraan yang tidak membedakan orang atas dasar gender, etnik, warna kulit,
atau latar belakang sejarah, sosial atau ekonomi dan lain-lain. Keempat,
kebebasan didefinisikan sebagai kebebasan berfikir, berpendapat, pers,
beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup dan mengadakan gerakan.
Kelima, pertanggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas kebijakan-
kebijakan mereka. Semua ini, menurut Amien Rais tidak lepas dari check and
balance sebagai kontrol rakyat terhadap para pemimpin mereka. Prinsip-prinsip
Islam semisal shadâqah, zakat, dan pembelaan terhadap orang-orang miskin dan
tertindas merupakan salah satu acuan pemikiran tersendiri yang tak lepas dari
pemikiran sosial demokrasi
Demokrasi seperti itulah yang harus kita fahami bersama. Sebagaimana
pandangan Makmun Hudhaiby—Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin setelah Musthafa
Masyhur, Jika demokrasi berarti berarti rakyat menentukan siapa yang akan
memimpin mereka, Ikhwan menerima demokrasi. Namun jika demokrasi berarti
rakyat dapat mengubah hukum-hukum Allah dan mengikuti pendapat mereka,
Ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dalam sistem yang
memungkinkan syarî’at Islam diberlakukan dan kemungkaran dihapuskan.
Menolong, meskipun sedikit, masih lebih baik daripada tidak menolong. Mengenai
kebebasan individu, Ikhwan menerima kebebasan individu dalam batas-batas
yang dibolehkan Islam. Namun, kebebasan individu yang menjadikan muslimah
memakai pakaian pendek, minim dan atau seperti pria adalah haram dan Ikhwan
tidak akan toleran dengan hal itu.14[]

13 Sejarah gereja memperlihatkan hal ini. Negara-negara Eropa dahulu adalah penganut paham teokrasi di mana tokoh gereja
adalah penentu kebijakan, bahkan para penguasa menganggap keputusan mereka adalah keputusan Tuhan. Namun Islam tidak
demikian. Meski para Khulafa al-Rasyidin adalah para fuqaha dan matang dalam ilmu diniyyah, mereka tidak menganggap dirinya
sebagai wakil Tuhan di bumi. Keputusan mereka selalu diambil melalui syûrâ.
14 Majalah Ishlah edisi 67/Th. IV/1996, hlm. 24, kolom 2-3.
02_Review Materi Khusus_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami keterkaitan antara gerakan dengan perubahan sosial
Materi : Islam, KAMMI dan Perubahan Sosial
Penulis : Amin Sudarsono, S. Hum

Islam, KAMMI dan Perubahan Sosial15


Amin Sudarsono16

“…janganlah sekali-kali kau memetik buah sebelum matang…”


----Michael ayah Iyasu17

Allah menurunkan wahyu kepada umat manusia melalui nabi-Nya guna


menciptakan, merencanakan dan mengarahkan semua urusan alam dan manusia
menurut kehendak-Nya. Secara teologis, ini berarti bahwa Allah SWT adalah
sumber segala kekuatan, pengetahuan, kebijaksanaan, keadilan dan kasih sayang.
Wahyu berarti suatu cara yang diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan
mengubah realitas dalam sejarah keselamatan manusia.
Apabila nabi Adam As berjuang menentang kebodohan dan kezaliman, Hud
As menentang orang-orang yang arogan (mustakbarîn), Saleh As memperjuangkan
kesetaraan, Ibrahim As menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan dengan
purifikasi tauhid, Syu’aib As melawan ketidakadilan ekonomi, Musa As
membebaskan kaum buruh, Isa As memimpin kaum lemah, maka Muhammad
SAW memperjuangkan berdirinya sebuah tatanan sosial masyarakat yang
berdasarkan pada nilai-nilai luhur kebenaran, kesetaraan sosial dan persaudaraan
(ukhuwah). Dan Muhammad SAW berhasil melebarkan sayap dakwahnya.
Kesuksesan besar misi Muhammad SAW menimbulkan permusuhan yang semakin
hari semakin parah terhadap Nabi dan pengikutnya. Terjadi beberapa kali usaha
pembunuhan terhadap Nabi hingga 622 M, setelah perjanjian dibuat dengan para
utusan yang dikirim dari Kota Yastrib menuju ke wilayah utara, yaitu Makkah,
dengan tuntunan perintah Allah SWT. Nabi pindah ke kota tersebut bersama para
pengikutnya.
Perpindahan ini, dinamakan al-hijrah dalam bahasa Arab, merupakan titik
awal bagi sejarah Islam yang kemudian berkembang dari sekelompok kecil
pengikut menjadi satu bentuk komunitas yang sempurna. Yastrib kemudian ter-
kenal sebagai Madînah Al-Nabî, atau Kota Nabi, dan hingga sekarang kota ini
dinamakan Madinah. Di sinilah, masyarakat (al-ummah) Islam yang pertama
terbentuk, yang seterusnya menjadi model ideal bagi seluruh masyarakat Islam
masa-masa selanjutnya. Sesungguhnya seluruh Rasul telah melakukan sebuah
rekayasa perubahan sosial—bahkan dalam beberapa hal—secara revolusioner.

Rekayasa Perubahan Sosial


Adalah sebuah proses perencanaan, pemetaan dan pelaksanaan dalam
konteks perubahan struktur dan kultur sebuah basis sosial masyarakat. Perubahan
sosial adalah perbedaan antara kondisi sekarang dan kondisi sebelumnya
terhadap aspek-aspek dari struktur sosial. Perubahan sosial setidaknya dapat
terkait pada beberapa hal sebagai berikut:

15 Makalah ini sebagai pemantik diskusi dalam Daurah Marhalah Ula KAMMI Komisariat Universitas Gadjah Mada, pada hari Senin,
23 Mei 2005 bertempat di kediaman Raden Ngabehi Surakso Hargo Maridjan, Kaliadem.
16 Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta; saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan
Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
17 Kalimat ini diucapkan oleh Michael, seorang tokoh dalam novel Najib Kailani—sastrawan Ikhwanul Muslimin Mesir yang telah
merasakan pedihnya penjara Nasser—yang berjudul Azh-Zhill al-Aswad (Bayang-bayang Hitam). Michael adalah ayah dari Iyasu,
kaisar Eithopia sejak tahun 1913. Novel itu berkisah tentang taqiyyah (penyembunyian identitas kemusliman) dari Michael—yang
aslinya bernama Muhammad Ali—dan Iyasu, anaknya.

9
•Perkembangan teknologi
•Konflik sosial (antar ras, agama dan kelas—sebagaimana tesis Marx)
•Kebutuhan adaptasi dengan sistem sosial (misal: birokrasi efektif sebagai
respon terhadap lingkungan kompetitif.)
• Pengaruh dari idealisme dan ideologi pada aktivitas sosial (sebagaimana
tesis Weber: etika Protestan dan semangat kapitalisme).
Selain itu, dalam disiplin sosiologi, terdapat dua pandangan tentang
perubahan (change), yaitu:
• Pandangan materialistik, yang meyakini bahwa tatanan masyarakat sangat
ditentukan oleh teknologi atau benda. Marx menyatakan bahwa kincir angin
menimbulkan masyarakat feodal; mesin uap menciptakan masyarakat
kapitalis-industri. Atau mungkin kita bisa mengatakan bahwa internet akan
menimbulkan masyarakat informasi, dst.
• Pandangan idealistik, yang menekankan peranan ide, ideologi18 atau nilai
sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Dalam pandangan ini,
misalnya, Islam sebagai sebuah ideologi dan struktur nilai akan mampu
mencipta manusia dan masyarakat ideal.

Bentuk dan Teori Perubahan Sosial


Terdapat tiga bentuk perubahan yang disepakati kalangan ilmuwan sosial:
evolusi, revolusi dan reformasi. Evolusi dipahami sebagai bentuk perubahan yang
memakan waktu lama. Proses perubahan seperti ini cenderung hanya melingkar di
tingkat elite saja dan sedikit sekali mengakomodasikan input dari grass root yang
muncul ke permukaan sebagai reaksi atas berbagai kebijakan elit penguasa.
Konsekuensi logis dari perubahan model ini akan menempatkan rezim penguasa
pada keleluasaan menentukan agenda-agenda perubahan yang ada berdasar
“aman atau tidak” bagi kekuasaannya.
Perubahan model ini, biasanya, kurang populer di Dunia Ketiga (the Third
World), yang mayoritas adalah berpenduduk muslim, karena perubahan politiknya
secara umum masih cukup eksplosif. Tidak perlu tokoh yang kharismatik atau
terkenal untuk evolusi, karena semua ditentukan dalam kendali penguasa. Elite
penguasa serta pihak-pihak tertentu saja yang bisa terlibat dalam perumusan
persoalan yang ada, dan itu bias kepentingan. Figur-figur di luar lingkaran
kekuasaan hanya memberikan respons minimal sebatas masukan atau paling
maksimal, pressure (tekanan), itupun jika ada kebebasan.
Bentuk kedua adalah revolusi. Perubahan secara cepat ini cukup populer di
kalangan gerakan sosial atau aktivis pembebasan. Dalam prosesnya, cara ini
cukup beresiko. Bisa jadi dalam prosesnya yang singkat tersebut meminta banyak
korban sebagai prasyarat dari proses yang memang cukup reaktif dan terkesan
sporadis dari sisi waktu maupun agenda-agenda yang dilakukan. Hasil dari cara ini
dapat dilihat dengan cepat, karena secara umum bertujuan pada perubahan
politik, khususnya perubahan tampuk kekuasaan. Revolusi Islam19 sebagai metode
perubahan adalah sebuah tawaran yang telah pernah diaplikasikan dalam
lapangan kenegaraan di Iran di bawah kepemimpinan Ayatullah Khomeini (1977),

18 Ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial
atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya
dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi
memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah
yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan
harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Lihat dalam Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
(Yogyakarta: Kanisius, 1992).
19 Secara bahasa, terdapat dua kata dalam bahasa Arab untuk merujukkan dengan kata revolusi. Pertama, adalah al-tsaurah
yang dimaknai sebagai “rangsangan, dorongan, provokasi dan gelora”. Kedua, al-inqilab yang berarti “terbalik, kembali dan
jungkir balik”. Jika digabungkan maka, secara istilah, revolusi (al-tsaurah) dimaknai dengan “peristiwa sosial yang dahsyat,
menggelorakan perasaan, menjungkirbalikkan tatanan nilai dan lembaga sosial.” Lihat dalam Jalaludin Rahmat, Rekayasa Sosial
(Bandung: Rosda Karya).
Mesir oleh Ikhwanul Muslimin bersama Nasser (1952) dan beberapa negara Arab
lainnya, baik memenuhi standar teori Barat maupun tidak.
Sedangkan reformasi didefinisikan sebagai sebuah bentuk perubahan yang
gradual dan parsial. Tidak terlalu cepat, namun juga tidak lambat. Reformasi
merupakan bentuk kompromi antara evolusi dan revolusi. Reformasi atau
pembaharuan (perubahan yang signifikan atas hal yang dianggap menyimpang),
telah berlangsung di berbagai belahan dunia sejak zaman Renaissance abad ke-15
Masehi. Berawal di Jerman dengan pemikiran Martin Luther King, yang menggugat
penyimpangan ajaran Kristiani, berlanjut pada pemikiran Thomas Hobbes tentang
State of Nature-nya di Inggris, John Locke, Rousseau hingga pemikiran demokrasi
modern-nya Robert A Dahl, berintikan pentingnya moralitas pemimpin untuk
menjalankan demokrasi. Demokrasi tidak saja berarti kekuasaan ditangan rakyat,
namun juga desakralisasi pemimpin yang dibatasi aturan konstitusi dan diawasi
oleh lembaga lain dimana rakyat memiliki hak atas mandat pemimpinnya.20
Gerakan reformasi acapkali terjadi, manakala seorang pemimpin berlaku
korup dan manipulatif, sehingga diperlukan langkah-langkah politik yang berarti
dari rakyat untuk melakukan perbaikan. Atau, bila rakyat merasakan adanya
kekurangan dalam sistem konstitusi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Dengan kedua alasan inilah, apa yang terjadi di Korea Selatan dengan Up-rising in
Kwangju tahun 1986, di Cina dengan tragedi Tiananmen 1989, dan penggulingan
$oeharto di Indonesia tahun 1998, merupakan gerakan reformasi yang berdampak
pada penyelenggaraan negara.

Strategi Perubahan Sosial Islam


Jika bentuk dan teori perubahan sosial sudah kita ketahui, maka dalam
konteks ini, konsep perubahan sosial menurut Islam seperti apa? Atau, perubahan
sosial masyarakat yang islami seperti apa? Evolusi, revolusi ataukah reformasi?
Sesungguhnya, hal yang paling utama dan harus dipikirkan adalah apakah proses
perubahan itu berada dalam bingkai nilai-nilai Islam.
Ini berarti, cepat atau lambat bukan sebuah soal dalam cara pandang Islam.
Dengan meletakkan ridha Allah sebagai tujuan hidup manusia (mardhâtillah),
Islam telah dilengkapi dengan standar moral yang tertinggi. Ini membuka
cakrawala yang tak terbatas bagi perkembangan moral dan etik manusia dalam
komunitas kolektifnya. Secara garis besar, tahapan perubahan sosial masyarakat
Islam adalah sebagai berikut:
1. mewujudkan pribadi muslim yang diridhai Allah (bina’ al-fardli al-muslim),
yaitu pribadi muslim yang paripurna, yang penuh moralitas iman, Islam,
taqwa dan ihsan. [al-Baqarah: 177]
2. mewujudkan rumah tangga dan keluarga Islami (bina’ al-usrah al-islamiyah)
yang diridhai Allah, yaitu rumah tangga yang sakinah diliputi mawaddah
serta rahmah anugerah ilahi. [ar-Ruum: 21]
3. mewujudkan masyarakat dan lingkungan islami (bina’ al-ijtima’i al-
islamiyyah) yang marhamah, yaitu lingkungan yang kondusif dan layak
menerima berkah Allah karena warganya yang beriman dan bertaqwa. [al-
A’raf: 96]
4. mewujudkan negara (bina’ daulat al-islamiyyah) yang diridhai Allah yaitu
baldat yang thayyibah dan diliputi maghfirah Allah. [Saba’: 15]
5. mewujudkan peradaban dunia yang diridhai Allah dengan kepemimpinan
Islam atas alam (ustadziyat al-‘alam), yaitu dunia yang hasanah dan
berkesinambungan dengan akhirat yang hasanah. [al-Baqarah: 201]

20 Yuddy Chrisnandi, Gerakan Mahasiswa: Mengembalikan Ruh Perjuangan Reformasi, makalah yang disampaikan pada “Rembug
Mahasiswa & Pemuda se-Indonesia” di Bandung, 12 Februari 2001.

11
Anasir Perjuangan KAMMI
Sebagai sebuah organ gerakan mahasiswa, KAMMI menempatkan diri
sebagai bagian tak terpisahkan dari umat Islam—sebagai sebuah jama’ah besar di
muka bumi dengan ikatan aqidah sebagai kunci. Karena itu, strategi perubahan
sosial yang direncanakan KAMMI tidak akan berbeda jauh dengan strategi di atas
sebagai kerangka besar. Selanjutnya, dalam tingkatan praksis, KAMMI telah
melakukan pembacaan komprehensif berkaitan dengan anasir perjuangan
KAMMI21
Agar dakwah dapat tumbuh secara berkelanjutan secara seimbang, tetap
berada pada orientasi yang benar, mampu mengelola amanah dan masalah, dan
terus memiliki kekuatan untuk mewujudkan tujuan-tujuannya, maka KAMMI
menyusun dirinya atas unsur-unsur sebagai berikut:
1. qo’idah ijtima’iyah (basis sosial), yaitu lapisan masyarakat yang simpati dan
mendukung perjuangan KAMMI yang meliputi masyarakat umum,
mahasiswa, organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, pers, tokoh, dan
lain sebagainya.
2. qo’idah harokiyah (basis operasional), yaitu lapisan kader KAMMI yang
bergerak di tengah-tengah masyarakat untuk merealisasikan dan
mengeksekusi tugas-tugas dakwah yang telah digariskan KAMMI.
3. qo’idah fikriyah (basis konsep), yaitu kader pemimpin, yang mampu
menjadi teladan masyarakat, memiliki kualifikasi keilmuan yang tinggi
sesuai bidangnya, yang menjadi guru bagi gerakan, mengislamisasikan ilmu
pengetahuan pada bidangnya, dan memelopori penerapan solusi Islam
terhadap berbagai segi kehidupan manusia.
4. qo’idah siyasiyah (basis kebijakan), yaitu kader ideolog, pemimpin gerakan
yang menentukan arah gerak dakwah KAMMI, berdasarkan situasi dan
kondisi yang berkembang.
Keempat unsur tersebut merupakan piramida yang seimbang, harmonis dan
kokoh, yang menjamin keberlangsungan gerakan KAMMI.

Khatimah
Perubahan sosial adalah sebuah proses panjang. Penyiapan struktur dan
rekonstruksi kultural masyarakat memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang
tidak sedikit. Posisi KAMMI dalam masyarakat sebagai garda depan perubahan
menuntut adanya akselerasi kaderisasi. Ke depan, kader—yang dibesarkan oleh—
KAMMI, akan menduduki posisi penting dalam struktur masyarakat. Mereka akan
menjadi pioneer dalam proses perubahan masyarakat.
Di wilayah inilah, KAMMI menggebrak dengan Gerakan Intelektual Profetik
yaitu gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha
perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia
secara organik.22 Intelektual profetik adalah proses membangun kesadaran,
membentuk paradigma dan menggerakkan secara massif dan organik. Intelektual
profetik lahir bukan hanya untuk berwacana atau meneggelamkan diri dalam
lautan buku dan diskusi belaka, namun untuk membentuk smart muslim fighter.
Siapkah antum? []

21 Garis-garis Besar Haluan Organisasi [GBHO] KAMMI 2004-2006, Pasal 8.


22 Garis-garis Besar Haluan Organisasi [GBHO] KAMMI 2004-2006, Bab VI Pasal 7 Ayat 2 Butir c.
03_Review Materi Khusus_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami visi, misi dan prinsip gerakan KAMMI
Materi : Tafsir Gerakan atas Visi, Misi dan Prinsipi Gerakan KAMMI
Penulis : Rijalul Imam, S. Hum

Tafsir Gerakan
atas Visi, Misi, dan Prinsip Gerakan KAMMI
Rijalul Imam, S. Hum
Visi KAMMI
Wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin
dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami.

Misi KAMMI
1) Membina keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim
Indonesia.
2) Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah,
intelektual, sosial, dan politik mahasiswa.
3) Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama
mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan bangsa dan
negara.
4) Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat yang rabbani, madani, adil, dan sejahtera.
5) Mengembangkan kerjasama antar elemen bangsa dan negara dengan
semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah
kemungkaran (amar ma`ruf nahi munkar).

Generasi Assaabiquunal Awwalun


Kehadirannya tak diduga. Begitu angin reformasi tiba himpunan mahasiswa
muslim itu bersepakat dari dakwah ini perlu ada wadah efektif untuk menggulirkan
reformasi ini secara politis. Mereka menamakan dirinya sebagai Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia yang disingkat KAMMI. KAMMI lahir dari rahim
reformasi mendeklarasikan dirinya untuk memperbaiki negeri yang tengah
dikungkung oleh krisis multidimensional. Padahal sebelumnya bangsa ini
mengalami masa stabilitas dan tinggal sedikit lagi memasuki era tinggal landas.
”Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika
mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa
mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS. Al-
An’am:44)
Kepercayaan diri mereka untuk menuntaskan permasalahan bangsa
bersama elemen masyarakat lainnya menjadikan KAMMI selalu bersemangat
berada di barisan terdepan dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Perubahan politik
tiap detik tak menyurutkan KAMMI untuk selalu berada di garda terdepan, walau
bagitu kerasnya benteng tirani rezim saat itu. Hanya ketakutan mereka pada Allah
yang menjadikan mereka semangat untuk memperbaiki taman indah Indonesia ini.
Mereka berani berkata tegas menyuarakan keadilan di depan penguasa yang
zalim. Mereka kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Bahkan mereka cermat terhadap tindak-tanduk koruptor yang berdasi itu. Mereka
sadar jika mereka tidak kritis maka para pemimpin dan pembesar itu akan
menghancurkan Indonesia hingga tak berbentuk lagi.
Mereka takut jika di akhirat kelak mereka termasuk golongan yang
menyesali diri karena tidak kritis, mengekor saja dan tidak peduli pada

13
kepentingan umat. ”Dan mereka berkata, ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami
telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab:67) Maka mereka segera
merumuskan sarana efektif penumbang rezim itu dengan berlandaskan ketakwaan
pada Allah. Sarana ini adalah buah dari pemahaman mereka atas ekspresi terkuat
ketakwaan yang diisyaratkan Allah dalam al-Qur’an. ”Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah pada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan
diri pada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.”
(QS. Al-Maidah:35)
Maka lahirlah KAMMI dengan visi sebagai wadah perjuangan permanen
yang akan melahirkan pemimpin masa depan yang tangguh dalam upaya
mewujudkan masyarakat Islami di Indonesia. Perjuangan ini disambut para aktivis
dakwah kampus di hampir seluruh penjuru Indonesia. Yang tergabung di dalamnya
adalah anak-anak muda yang ketika itu mereka kental dengan mabit, qiyamullail
dan lantunan ayat-ayat al-Qur’an. Di kantong baju mereka selalu ada al-Qur’an
saku. Semangat mereka menggebu menderu. Sesekali mereka melantunkan
nasyid Pemuda Kahfi yang mencoba membangkitkan negeri meraih generasi
menumbangkan kedzaliman. Di mana dicari pemuda Kahfi, yang terasing demi
kebenaran hakiki, untuk menoreh nama perkasa abadi.
Mereka sadar untuk menjadi umat yang terbaik, mereka harus terlibat di
masyarakat melakukan aktivisme sejarah. Meretas sejarah di tengah kecamuk
politik dan hiruk pikuk kebingungan dan putus asanya penduduk negeri ini.
Mengajak masyarakat untuk beriman, menunjukkan mereka pada kebaikan,
menyebar manfaat dan menghindarkannya dari kemaksiatan. ”Kalian adalah umat
terbaik yang dolahirkan untuk manusia, karena menyuruh berbuat yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (QS. Ali Imran:110).
Sebagai anak muda, KAMMI memaksimalkan perjuangannya untuk
menyelamatkan negeri. Menghindarkan bangsa dari keterpurukan yang
berkelanjutan bahkan semakin di ambang batas kehancurannya dengan
menghentikan kekuasaan penguasa tirani ini berserta kroni-kroninya. Mereka
sadar bahwa musuh sesungguhnya adalah kebathilan, bukan personal atau
materi. Tapi jika kebathilan itu sudah merasuk dan digerakkan oleh personal dan
materi bersangkutan sudah selayaknya personal dan materi itu dihentikan dan
dicabut segera agar tidak mewabah lebih besar lagi.
Maka jalan yang terbaik adalah membentuk kelompok yang solid dan
terorganisir. Memiliki agenda yang jelas dan tujuan yang spesifik. ”Dan hendaklah
di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh
(berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang menang” (QS. Ali Imran:104). Mereka berusaha menghindarkan
diri dari kesia-siaan, mereka hanya mengonsentrasikan diri pada berjihad bukan
wacana lepas tanpa arah. Mereka mencoba membangun organisasi ini agar
dilibatkan menjadi batu-bata bangunan peradaban Islam. ”Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur,
mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash-
Shaff:4)

KAMMI sadari jalan ini kan penuh onak dan duri


Aral menghadang dan kedzaliman yang akan kami dapai
KAMMI relakan jua serahkan dengan tekad di hati jasad ini darah ini sepenuh ridha
di hati
KAMMI adalah panah-panah terbujur yang siap dilepaskan dari busur tuju sasaran
siapa pun pemanahnya
KAMMI adalah pedang-pedang terhunus yang siap terayun menebas musuh tiada
peduli siapapun pemegangnya
Asalkan ikhlas di hati tuk hanya ridha Ilahi Rabbi
KAMMI sadari jalan ini kan penuh onak dan duri
Aral menghadang dan kedzaliman yang akan kami dapai
KAMMI relakan jua serahkan dengan tekad di hati jasad ini darah ini sepenuh ridha
di hati
KAMMI adalah tombak-tombak berjajar yang siap dilontarkan dan menghunjam
menembus dada lantakkan keangkuhan
KAMMI adalah butir-butir peluru yang siap ditembakkan dan melaju dan mengoyak
menumbang kedzaliman
Asalkan ikhlas di hati berjumpa wajah Ilahi Rabbi
KAMMI sadari jalan ini kan penuh onak dan duri
Aral menghadang dan kedzaliman yang akan kami dapai
KAMMI relakan jua serahkan dengan tekad di hati jasad ini darah ini sepenuh ridha
di hati
KAMMI adalah mata pena yang tajam yang siap menuliskan kebenaran tanpa ragu
ungkapkan keadilan
KAMMI pisau belati yang selalu tajam bak kesabaran yang tak pernah padam tuk
arungi dakwah ini jalan panjang
Asalkan ikhlas di hati menuju jannah Ilahi Rabbi
KAMMI sadari jalan ini kan penuh onak dan duri
Aral menghadang dan kedzaliman yang akan kami dapai
KAMMI relakan jua serahkan dengan tekad di hati jasad ini darah ini sepenuh ridha
di hati
Begitulah idealnya KAMMI, generasi Rabbani yang ditarbiyah al-Qur’an.
Gerakan Mahasiswa Muslim yang mendedikasikan dirinya sebagai pengemban
risalah al-Qur’an, penghubung langit dan bumi, ruh baru yang mengalir di tubuh
umat, perangkai peradaban dan kafilah penerus perjuangan Rasulullah dan para
khalifah ar-rasyidah yang bekerja untuk menegakkan Islam hatta laa takuuna
fitnah wa yakuunaddinu kulluhu lillah.

Prinsip Gerakan KAMMI


KAMMI bangga dengan nikmat yang telah Allah karuniakan. Nikmat yang
tiada duanya, tiada bandingnya dan tiada yang serupa dengan kenikmatan itu.
Itulah nikmat Islam dan iman. Dengan nikmat ini umat Islam harus bangga, karena
ia lebih mulia dan dimuliakan. Umat Islam harus tampil berwibawa di hadapan
musuh-musuh yang sudah sejak lama mereka menghinakan dan merendahkan
Islam.
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan pula bersedih hati,
sebab kamu paling tinggi (derjatnya) jika kamu orang yang beriman” (QS. Ali
Imran:139) Maka dengan ini KAMMI meyakini semboyan yang menjadi prinsip
gerakan KAMMI bahwa
Kemenangan Islam adalah jiwa perjuangan KAMMI
Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI
Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI
Perbaikan adalah tradisi perjungan KAMMI
Kepemimpinan umat adalah strategi perjuangan KAMMI
Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI

15
04_Review Materi Khusus_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami ideologi KAMMI
Materi : Ideologi KAMMI
Penulis : Amin Sudarsono, S. Hum

Ideologi KAMMI23
Amin Sudarsono24

“Al-Islâmu huwa tahrîr al-nâs min ‘ibâdat al-ibâd ilâ ‘ibâdat al-Rabb!,”
----Sahabat Rabi’----

Apa yang disebut ideologi? Menurut Frans Magnis Suseno,25 ideologi


dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah
sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai
suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan
proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan
kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan,
mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi
yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus
berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.
Ian Adam26 menjabarkan bahwa yang dimaksud sebagai ideologi adalah
ideologi sebagai doktrin yang membimbing tindakan politik, identitas-identitas
yang mesti diyakini sebagai “iman” politik, tujuan yang wajib dicapai, alasan yang
harus diperjuangkan, dan visi tentang masyarakat terbaik yang niscaya
diwujudkan. Muhammad Ismail27 menyatakan bahwa ideologi (mabda’) merupakan
‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anha an nidzam, yang berarti: seperangkat kaidah
berfikir yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham). Menurut
definisi ini, nampak bahwa sesuatu disebut ideologi bila memiliki dua syarat, yaitu
memiliki ‘aqidah ‘aqliyyah sebagai fikrah (ide) dan memiliki sistem (aturan)
sebagai thariqah (metode penerapan).
Dalam ilmu-ilmu sosial, dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu
pengertian secara fungsional dan struktural. Ideologi secara fungsional diartikan
sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang
masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan dalam pengertian
ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan
dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh
penguasa. Menurut pendekatan struktural konflik, kelas yang memiliki sarana
produksi materiil dengan sendirinya memiliki sarana produksi mental seperti
gagasan, budaya dan hukum. Gagasan kelas yang berkuasa dimanapun dan
kapanpun merupakan hal yang dominan. Gagasan, budaya dan hukum, sadar atau
tidak merupakan pembenaran atas kepentingan materiil pihak yang memiliki
gagasan yang dominan. Sistem pembenaran ini, disebut ideologi.
Dalam arti fungsional, ideologi secara tipologi digolongkan menjadi dua tipe
yaitu doktriner dan pragmatis. Suatu ideologi dapat digolongkan doktriner
apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara
sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat,
23 Makalah ini sebagai pemantik diskusi dalam Daurah Marhalah Ula KAMMI Komisariat Universitas Islam Negeri [UIN] Sunan
Kalijaga Yogyakarta, pada hari Sabtu, 16 April 2005.
24 Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta; saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan
Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [amin_sudarsono@yahoo.com]
25 Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm 230.
26 Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Yogyakarta: Qalam, 2004), hlm.viii.
27 Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam (Jakarta: Gema Insani Pers, 1998).
dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat pemerintah atau partai.
Komunisme merupakan salah satu contohnya.
Ideologi dapat digolongkan sebagai ideologi pragmatis ketika ajaran-ajaran
yang terkandung didalamnya tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci,
melainkan dirumuskan secara umum (prinsip-prinsipnya saja). Dalam hal ini,
ideologi itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsional
melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan
beragama dan sistem politik. Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu
contoh ideologi pragmatis. Suatu ideologi untuk dapat terus bertahan ditengah
tuntutan aspirasi masyarakat dan perkembangan modernitas dunia, setidaknya
harus memiliki tiga dimensi: realita, idealisme dan fleksibilitas.
Ditinjau dari dimensi realitas, ideologi itu mengandung makna bahwa nilai-
nilai dasar yang terkandung di dalamnya bersumber dari nilai-nilai yang riil hidup
di dalam masyarakat, terutama waktu ideologi tersebut lahir, sehingga mereka
betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik
mereka bersama. Dilihat dari segi idealisme, suatu ideologi perlu mengandung
cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dan terakhir dimensi fleksibilitas, artinya perlu ada
perkembangan dari ideologi itu untuk mengikuti perkembangan pemikiran baru
tanpa kehilangan nilai dasar atau hakikat dari ideologi tersebut. Dimensi
fleksibilitas ini hanya mungkin dimiliki secara wajar dan sehat oleh suatu ideologi
yang terbuka dan demokratis. Apakah Pancasila sudah memenuhinya ?

Ideologi Besar Dunia


Liberalisme. Mempunyai ciri-ciri: pertama, demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan yang lebih baik. Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan
intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan
kebebasan pers. Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat
secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga
rakyat dapat mandiri dalam mengambil keputusan. Keempat, kekuasaan dari
seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu,
pemerintah dijalankan sedemikian rupa sehingga penyelewengan dapat dicegah.
Kelima, suatu masyarakat dikatakan bahagia, jika individunya bahagia. Paham ini
dianut oleh Inggris dan koloninya termasuk Amerika.
Konservatisme. Ditandai dengan gejala-gejala: pertama, masyarakat yang
terbaik adalah masyarakat yang tertata. Masyarakat harus memiliki struktur (tata)
yang stabil hingga setiap orang mengetahui bagaimana cara dia berinteraksi
dengan orang lain. Kedua, untuk menciptakan masyarakat yang stabil, perlu
dibentuk pemerintahan yang memiliki kekuasaan yang mengikat tapi bertanggung
jawab. Paham ini memandang pengaturan yang tepat atas pemerintahan akan
menjamin perlakuan yang sma terhadap setiap orang. Ketiga, paham ini
menekankan tanggung jawab pada pihak penguasa dalam masyarakat untuk
membantu pihak yang lemah.
Sosialisme dan Komunisme. Sosialisme merupakan reaksi terhadap
revolusi industri dan eksesnya. Awal sosialisme yang muncul pada bagian pertama
abad ke sembilan belas dikenal sebagai sosialisme utopia. Sosialisme ini lebih
didasari pada pandangan kemanusiaan (humanitarian) dan meyakini
kesempurnaan watak manusia. Penganut paham ini berharap dapat menciptakan
masyarakat sosialis dengan penuh argumentasi dan kejelasan, bukan dengan cara
revolusi dan kekerasan sebagaimana komunisme. Perbedaan utama dua ideologi
ini terletak pada sarana yang digunakan untuk mengubah kapitalisme menjadi
sosialisme. Paham sosialis lebih luwes dalam berjuang dan pemberdayaan buruh
secara bertahap dan bersedia berperan serta dalam pemerintahan yang belum
sepenuhnya sosialis. Sedang komunisme menekankan cara revolusi dan

17
pemerintahan mesti dalam bentuk diktator proletariat walau dalam masa transisi.
Fasisme. Ideologi ini merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan
segala kemegahan upacara dan simbol-simbol yang mendukungnya untuk
mencapai kebesaran negara. Hal itu, akan dapat dicapai apabila terdapat seorang
pemimpin yang kharismatis sebagai simbol kebesaran negara yang didukung oleh
massa rakyat. Dukungan massa yang fanatik ini berkat indoktrinasi, slogan-slogan
dan simbol yang ditanamkan sang pemimpin besar dan aparatnya. Fasisme
pernah diterapkan di Jerman (Hitler), Jepang (Kaisar), Italia (Mussolini) dan
Spanyol. Dewasa ini, pemikiran fasisme cenderung muncul sebagai kekuatan
reaksioner (right wing) di negara maju, seperti Skin Head dan Ku Kluk Klan di
Amerika Serikat yang berusaha mempertahankan supremasi kulit putih.28
Ideologi dunia demikian beragam. Manakah yang benar? Apakah semua
ideologi menjamin terciptanya tatanan masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera, seperti yang didambakan oleh setiap anak Adam? Apakah Islam dapat
dijadikan ideologi? Sebuah pertanyaan untuk kita semua.
Islam Sebagai Ideologi
Konsep universalitas Islam (syumuliyah) membuatnya jauh lebih besar dari
sekedar ‘lembaga agama’ ataupun sekedar semangat spiritual pemeluknya. Ia
adalah cara hidup total yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Islam
merupakan kesatuan organik dengan pemeluknya. Sebagai sebuah ideologi, Islam
telah menjadi sumber inspirasi bagi para penganutnya, terutama saat menghadapi
realitas. Ia tidak hanya sekedar sebagai alat untuk merubah atau
mempertahankan tatanan sosial, tetapi juga sekaligus menjadi alat analisis
terhadap berbagai fakta sosial. Pada sisi lain, Islam senantiasa mendorong
pemeluknya untuk secara terus menerus merealisasikan doktrin keagamaannya
dan menganggap realisasi doktrin tersebut sebagai konsekuensi iman. Dalam
Islam, iman adalah sebuah keyakinan yang mengandung konsekuensi tindakan
(al-imanu huwa al-tashdiqu bi al-qalb, wa al-iqraru bi al-lisan wa al-‘amalu bi al-
arkan – iman adalah pembenaran dalam hati, pengikraran secara lisan dan
penunaian serta pembuktian dengan tindakan dan perbuatan).
Islam bermakna menyerahkan diri (aslama) pada Allah swt secara penuh
hingga membebaskannya dari berbagai macam belenggu kehidupan yang
memasung dan merenggut kebebasannya. Ia adalah agama Allah yang terakhir
yang dibawa oleh Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia. Islam merupakan
agama sempurna yang diridhai Allah (Qs. Al-Maaidah: 3) yang mampu
membebaskan manusia dari berbagai belenggu kehidupan, dan mengantarkan
manusia untuk hidup penuh damai dan kebahagiaan. Di wilayah inilah, Islam
berposisi sebagai ideologi hidup seorang muslim. Arus ini memahami agama Islam
bukan sekedar sebagai keyakinan agama (aqidah diniyyah), tetapi ia adalah
aturan sosial (qanuun ijtima’iyyah), petunjuk spiritual (hidayah ruuhiyah) dan
ikatan sosial politik (rabithah ijtima’iyah siyasiyah).

Ideologi KAMMI
Inti dari Islam adalah tauhid (laa ilaaha illalLah – Muhammadan
rasuululLah), memurnikan penyembahan dan peribadatan hanya untuk Allah swt.
Implikasi konkritnya bagi KAMMI merupakan gerakan tauhid dengan dua makna
dasarnya: (1) pembebasan (liberation) manusia dari berbagai jenis penyembahan
dan mengembalikannya pada tempatnya yang haq: Allah SWT. (2) deklarasi
(declaration) tata sosial masyarakat Islami sebagai antitesis tata sosial
materialisme jahiliyyah.
Dalam Paradigma Gerakan KAMMI, poin pertama disebutkan bahwa KAMMI
adalah Gerakan Da’wah Tauhid, syarah yang diberikan adalah sebagai berikut:
a) Gerakan Da’wah Tauhid adalah gerakan pembebasan manusia dari
28 Deden Faturohman dan Wawan Sobari, Pengantar Ilmu Politik (Malang: UMM Press, 2002), hlm 43-59.
berbagai bentuk penghambaannya terhadap materi, nalar, dan sesama
manusia, dan mengembalikannya pada tempatnya yang sesungguhnya:
Allah swt.
b) Gerakan Da’wah Tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi
tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu
ketuhanan (illahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta
(rahmatan lil ‘alamin).
c) Gerakan Da’wah Tauhid adalah gerakan perjuangan berkelanjutan untuk
menegakkan nilai kebaikan universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran
(amar ma’ruh nahi munkar)29
Di titik ini, akan sangat berkesesuaian dengan Prinsip Gerakan KAMMI30,
yang terdiri dari enam point:
a) Kemenangan Islam adalah jiwa perjuangan KAMMI
b) Kebathilan adalah musuh abadi KAMMI
c) Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI
d) Perbaikan adalah tradisi perjungan KAMMI
e) Kepemimpinan umat adalah strategi perjuangan KAMMI
f) Persaudaraan adalah watak muamalah KAMMI

Khatimah
Ideologi adalah cara pandang, cara gerak dan aplikasi tindakan. Ideologi
bukan hanya wacana atau bahan diskusi yg tersembunyi di puncak menara gading
intelektual. Ideologi adalah perbuatan nyata. Karena itu, Kredo Gerakan KAMMI
mengikrarkan diri: “Kami adalah orang-orang yang senantiasa menyiapkan diri
untuk masa depan Islam. Kami bukanlah orang yang suka berleha-leha, minimalis
dan loyo. Kami senantiasa bertebaran di dalam kehidupan, melakukan eksperimen
yang terencana, dan kami adalah orang-orang progressif yang bebas dari
kejumudan, karena kami memandang bahwa kehidupan ini adalah tempat untuk
belajar agar kami dan para penerus kami menjadi perebut kemenangan yang
hanya akan kami persembahkan untuk Islam.”31

29 Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) KAMMI 2004-2006, Bab II Pasal 7 Ayat 1.
30 Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) KAMMI 2004-2006, Bab II Pasal 5.
31 Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) KAMMI 2004-2006, Bab II Pasal 4 Ayat e.

19
01_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Menolak segala bentuk ide dan pemikiran yang bertentangan dengan Islam
Materi : Ghazwul Fikri, Aqidah
Referensi : Wajah Peradaban Barat, Adian Husaini; Islam dan Sekularisme, M
Naquib Al Attas; Kuliah Tauhid, Imaduddin Abdurrohim

“Ad Dinul Islam, Minadz Dzulumati Illa Nuur”


Islam segala ajaran adalah sesuatu yang tidak bisa dicampurkan satu
dengan yang lainnya, karena Islam adalah panduan dan sistem kehidupan yang
diturunkan oleh Allah untuk memandu kehidupan umat manusia dan seluruh jagat
alam raya ini. Mengapa kita akhirnya yakin kepada Islam? karena secara akal kita
mengakui kebenarannya dan secara perasaan kita merasakan
kebenarannya.Dapat kita lihat bagaimana Al Quran dapat menjelaskan berbagai
fenomena alam yang baru dapat diketahui kebenarannya pada abad ke-20.
Seperti adanya hakikat penciptaan langit dan bumi, berdirinya langit tanpa tiang,
terpisahnya dua samudera air tawar dan air asin, sensitivitas kulit manusia dan
berbagai keajaiban alam lainnya.
Dalam konteks shirah kita dapat melihat bagaimana dinul Islam dapat
mengubah sebuah masyarakat yang tidak tidak beradab, yang memperbudak satu
manusia dengan manusia lainnya karena alasan warna kulit, keturunan dan harta.
Masyarakat yang tidak menjaga kehormatan para wanitanya dengan adat
perkawinan yang begitu merendahkan, para istri dapat diwariskan dari bapak
kepada anak laki-lakinya. Masyarakat yang begitu bodoh dan kejamnya mengubur
hidup-hidup anak-anak perempuan yang baru saja lahir. Masyarakat yang terlena
dan memuja patung-patung semu yang bahkan tidak dapat bergerak,berbicara
dan membela dirinya sendiri. Masyarakat yang terikat oleh ikatan ashobiyah darah
kesukuan yang bisa saling berperang dan membunuh karena persaingan diantara
mereka sendiri. Dalam konteks masyarakat seperti inilah Islam hadir mengisi
relung-relung jiwa dan mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat
muslim yang memasrahkan dirinya kepada Allah SWT.
Ketika kita meyakini kebenaran Islam sebagai kebenaran yang hakiki dan
tiada lagi kebenaran pada yang din yang lain, kita akan bertanya-tanya apa pula
kebenaran itu? Kebenaran adalah sebuah informasi akan sesuatu yang tingkat
validitasnya mencapai seratus persen, absolut, mutlak dan tidak ada keraguan,
relativitas disana. Sekarang siapa yang memiliki klaim akan kebenaran itu sendiri,
yang memiliki hak mutlaq tentu hanya Allah SWT, karena Dia-lah yang
menciptakan seluruh hakikat dari kebenaran ini. Allah yang menciptakan langit,
bumi, matahari, bulan, manusia, hewan, tumbuhan, waktu, alam raya beserta
isinya. Mengapa Allah? Karena kita sampai pada kesimpulan tidak dapat
membuktikan bahwa alam semesta ini berdiri dengan sendirinya, sangat tidak
masuk di akal!bagaimana mungkin alam semesta ini yang sedemikian kompleks
dapat terbentuk dengan sendirinya, apakah kita dapat percaya jika objek
sederhana seperti bangku saja dapat terbentuk dengan sendirinya, secara tiba-
tiba balok-balok kayu menyusun dirinya sendiri menjadi bangku yang memiliki
bentuk yang khas? Jikalau bangku saja memiliki arsitek yang merancangnya, yang
merencanakan pembuatan bangku, memotong kayunya, merancang dan
menyatukannya menjadi sebuah bentuk bangku apalagi alam semesta ini yang
tentu saja memiliki arsiteknya yaitu Allah SWT sang pencipta.
Ada yang mengatakan Islam tidaklah universal,itu hanya agama bangsa
Arab saja. Islam tidak bisa diterapkan di tempat lain dan lain sebagainya. Ketika
kita menyadari betul proses transformasi sosial-transendental yang terjadi pada
masyarakat Arab jahiliyah kita akan menyadari bahwa agama ini adalah sebuah
agama yang universal dimana hakikat kebenarannya akan diakui oleh seluruh
budaya, adat maupun bangsa yang terdapat di dunia ini. Proses yang terjadi di
dalam masyarakat Arab jahiliyah adalah proses Islamisasi dan purifikasi konsep-
konsep nilai yang telah tercemar oleh adat tradisi (dimana adat tadisi itu dibentuk
oleh asumsi-asumsi masyarakat itu sendiri) digantikan dengan pemahaman
Ilahiyah yang ditransmisikan melalui wahyu Allah dengan perantara Rasulullah
Muhammad SAW.
Bagaimana Islam mengubah pemaknaan akan kata “Allah” yang sama
sekali berbeda pada masa jahiliyah. Makna Allah pada masa jahiliyah adalah
sebuah bentuk tertinggi ketuhanan yang dia tidak berdiri sendiri, memiliki banyak
perantara-perantara agar manusia dapat berkomunikasi dengannya, dan
menjadikan para malaikat sebagai banaat-banaat atau anak-anak perempuan
“Allah”. Sungguh sebuah pemahaman yang sangat melenceng jauh dari apa yang
telah diajarkan oleh Nabiyullah Ibrahim AS yang mengajarkan millah yang lurus
mengenai ketauhidan Allah SWT. Islam datang kemudian kembali memurnikan hal
tersebut bahwa Allah adalah suatu Zat Tunggal yang tidak membutuhkan sesuatu
di luar Diri-Nya, yang tidak membutuhkan perantara-perantara, Yang Maha
Tunggal lagi Maha Mengetahui dan seluruh kekuasaan berada pada-Nya. Allah
tidak beranak dan tidak diperanakkan, Allahu al Awwalu wal Akhiru...
Bagaimana Islam mengubah pemaknaan akan ukhuwwah yang pada
awalnya ukhuwwah ini dimaknai sebagai ikatan persaudaraan, keterikatan akibat
adanya hubungan darah, keluarga, perkawinan, kesukuan yang akhirnya akan
menjebak manusia pada pemahaman sempit akan ke-ashobiyahan. Manusia akan
terjebak dalam dimensi identitas yang sempit yang akan menjebak jiwanya dan
membuat mereka terkungkung dalam kesempitan tersebut. Islam hadir dan
memaknai ulang akan makna ukhuwwah yang membebaskan manusia dari
keterkungkungan. Ukhuwwah dimaknai sebagai keterikatan antar insan yang
disandarkan kepada ketahuidan dan aqidah Islamiyah dimana kita meyakini
bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Tunggal dan Muhammad adalah utusan-Nya
yang menyampaikan seluruh firman-firman Nya.
Bagaimana Islam mengubah makna akan arti kata karamah atau kemuliaan
yang dimana pada sebelumnya bangsa Arab Jahiliyah memandang kemuliaan
adalah berdasarkan harta kekayaan dan status sosial di masyarakat. Orang yang
paling mulia menurut pandangan jahiliyah adalah orang yang paling banyak
hartanya, paling tinggi kedudukannya di masyarakat. Ketika Islam datang
pandangan yang keliru tersebut diubah dan ditansformasikan ke dalam
pemahaman yang lebih baik dimana kemuliaan seseorang tidak dinilai dari harta
kekayaan atau kedudukan sosialnya tetapi dilihat dari keimanan dan
ketaqwaannya kepada Allah SWT. Karamah disini tidak lagi diukur melalui sudut
pandang sosial an sich tetapi dilihat melalui sudut pandang sosial-transedental
yang menggabungkan dua dimensi yaitu dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.
Dengan adanya perubahan nilai-nilai yang Islam bawa dalam masyarakat
Arab Jahiliyah, kita menyadari betul bahwa Islam adalah agama transformatif
dimana Islam hadir bukan untuk membenarkan tradisi tetapi datang dengan
sebuah kebenaran Ilahiyah dan mentradisikan kebenaran itu di dalam kehidupan
manusia. Sehingga salahlah asumsi yang mengatakan bahwa Islam adalah sama
dengan budaya Arab, milik orang Arab dan bukan agama universal sehingga
kebenaran Islam tidak mutlak, karena hanya berlaku untuk orang Arab saja.
Kesimpulan yang bisa kita dapatkan adalah Islam adalah sebuah kebenaran
transendental yang hadir di dunia yang tidak terbatasi oleh satu budaya tertentu
dan bersifat universal karena sifatnya yang mutlak dan transformatif, Islam itu
mengubah realitas dan bukannya tunduk pada realitas. Sehingga dakwah Islam
akan terus berjalan sampai pada akhirnya seluruh dunia telah ternaungi oleh
cahaya Islam seluruhnya...

21
02_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami siroh nabawiyah, memahami hakekat dan tujuan dakwah
Islamiyah
Materi : Mengenal Pribadi Rasulullah, Sejarah Gerakan dakwah
Referensi : Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam; Manhaj Haroki, Syaikh Munir
Muhammad Ghadhban; Petunjuk Jalan, Sayyid Quthb

“Ukhuwwah dalam Konteks Harakah”


Manhaj Haroki karangan Syaikh Munir Muhammad Ghadhban adalah sebuah
kitab yang layaknya kitab perang yang membahas strategi pergerakan, dakwah
dan jihad Rasulullah Muhammad SAW. Penulis akan mencoba mengambil salah
satu bagian dalam manhaj haroki32 yaitu dalam bab “Pembinaan Markas Yang
Kokoh” dengan latar belakang peristiwa hijrah. Al Ghadhban menilai permasalahan
mendasar dari bangunan markas yang kuat adalah berdasarkan masyarakat yang
kuat, dimana masyarakat akan menjadi basis utama dalam pembangunan sebuah
gerakan. Al Ghadhban membagi pembinaan masyarakat kepada tiga garis besar
pembinaan : a) Perjanjian Kesatuan antara Muhajirin dan Anshar, b) Persaudaraan
perseorangan antara Muhajirin dan Anshar, c) Persaudaraan antara Muhajirin
sendiri.
Perjanjian kesatuan antara kaum Muhajirin dan Anshar memuat beberapa
poin, yaitu :
 Kaum Muhajirin dan Anshar bertanggungjawab sendiri secara bersama
dalam mengatasi soal ganti rugi,
 Kaum mukminin tidak boleh tinggal diam dalam membantu yang
kekurangan dan utang,
 Kaum mukminin tidak boleh mengadakan perjanjian dengan budak orang
mukmin yang lain tanpa izin majikannya
 Kaum mukminin harus bersatu dalam menentang segala kejahatan,
permusuhan yang menimbulkan keresahan di kalangan kaum mukmin
 Bersatu dalam menindak pelanggaran meski dilakukan oleh anak atau
keluarga sendiri
 Tidak boleh seorang mukmin membunuh orang mukmin karena orang kafir
atau menolog orang kafir guna melemahkan orang mukmin
 Sesama muslim adalah bersaudara, lebih daripada lainnya
 Kaum muslimin tidak boleh menyerah dalam peperangan di jalan Allah,
kecuali atas pertimbangan yang adil diantara mereka
 Bila seorang mukmin membunuh saudaranya yang mukmin dengan
sengaja, maka dia dituntut sesuai sesuai dengan kesalahannya kecuali
kalau walinya merelakan
 Kaum muhajirin dan Anshar menjadi satu umat kemudian diperkuat dengan
dipersaudarakannya antara keduanya
Penulis menilai apa yang dilakukan Rasulullah adalah mencoba membuat
rules yang jelas dalam konteks persaudaraan Anshar dan Muhajirin. Persaudaran
ini berdimensi sosial, ekonomi, politik dan transendensi sekaligus. Beberapa
kesepakatan pertahanan strategis telah dibangun Rasulullah dengan adanya
persaudaraan ini dimana kaum mukminin harus bersatu dalam menentang
kejahatan, peperangan, permasalahan ekonomi. Apa yang dilakukan Rasulullah
saat itu adalah upaya brilian dalam upaya pencegahan konflik horisontal antara
kaum Muhajirin dan Anshar. Bayangkan sebuah komunitas yang di dalamnya
terjadi perbedaan etnisitas dan tingkat kemakmuran, apalgi terjadi dalam konteks

32 Syaikh Munir Muhammad Ghadhban, “Manhaj Haroki”, Pustaka Mantiq, Solo, 1994

23
pengungsian. Seperti yang kita lihat saat ini masalah pengungsian terutama
adalah salah satu realitas sosial yang cenderung menghasilkan konflik. Rasulullah
dapat mengubah potensi konflik tersebut menjadi sebuah ikatan sosial, ekonomi,
politik, militer di bawah naungan ikatan keimanan dan menjadi sebuah basis sosial
yang luar biasa.
Persaudaraan perseorangan antara Muhajirin dan Anshar dimaksudkan agar
umat Islam dapat saling bekerja sama dan saling bahu membahu dalam
perjuangan. Secara fungsional persaudaran ini juga berdimensi strategis dimana
kaum Anshar adalah ahli dalam peternakan dan pertanian sedangkan golongan
Muhajirin ahli dalam berdagang. Kita dapat melihat bagaimana konsepsi
ukhuwwah yang berarti persaudaraan yang berlandaskan iman diwujudkan
dengan sanagt baik dalam episode perjuangan kali ini. Diriwayatkan oleh Al
Bukhari, bahwa ketika Muhajirin tiba di Madinah, maka Rasulullah langsung
menyaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Lalu Sa’ad berkata :
“Ya Abdurrahman aku paling kaya dari golongan Anshar, maka kau ambil separuh
hartaku dan aku punya dua istri, kau boleh pilih salah satu yang kau senangi aku
ceraikan agar kau kawin dengannya, bila telah habis masa ‘iddahnya.” Lantas
Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberi berkat bagimu pada istri-istrimu
dan harta-hartamu. Cukup kau tunjukkan di mana pasar kalian.” Lalu ditunjukkan
pasar Bani Qaynuqa (Yahudi).
Dalam episode ini kita dapat melihat bagaimana kualitas iman seseorang
pada masa itu, seorang mukmin yang berada dalam posisi memiliki kemakmuran
tidak berat hati untuk mengorbankan hartanya kepada saudaranya. Begitu juga
seorang mukmin yang berada dalam posisi miskin tidak merasa bergantung
kepada manusia dan ingin berusaha dan mencari makan dengan tangannya dan
daya upayanya sendiri. Seorang mukmin dibuktikan dalam episode ini tidak
terlena dengan harta dunia dan memiliki daya independensi tinggi dan hanya
menggantungkan hidupnya kepada Allah SWT. Seandainya saja Abdurrahman bin
Auf menerima tawaran Sa’ad tentu akan akan mudah sekali bagi Abdurrahman
mencapai kenyamanan hidup, harta disediakan istri dicarikan tetapi Abdurrahman
menolak hal tersebut dan tetap berusaha dengan tangannya sendiri seraya
berharap kepada Allah SWT.
Persaudaraan antara kaum muhajirin sendiri dimaksudkan agar kaum yang
kuat dapat mengangkat kaum yang lemah. Sebagaimana Rasulullah
mempersaudarakan istrinya yang mulia dengan Ali bin Abi Thalib, anak pamannya
sendiri. Kemudian menyaudarakan antara Hamzah bin Abdul Muthallib, paman
Rasulullah dengan Zaid bin Haritsah, anak angkatnya (bekas budak) tanpa
membedakan garis keturunan karena disandarkan pada ketaqwaan semata.
Dalam hal ini apa yang dilakukan Rasulullah adalah untuk mengikis status-status
sosial jahiliyah yang mengutamakan hierarkis dalam status sosial. Bagaimana
seorang bangsawan Quraisy seperti Hamzah disaudarakan dengan mantan budak
seperti Zaid, tentu saja ini membuktikan bahwa Islam tidak mengenal tingkatan-
tingkatan dalam kedudukan manusia, semua manusia itu sama dihadapa Allah
SWT yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya adalah
ketaqwaannya kepada Allah SWT...
03_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Mengetahui dasar politik Islam, memahami pandangan Islam tentang politik,
mengenal dasar politik Islam
Materi : Politik Islam
Referensi : Manusia dan Kekhalifahan, Abu Ridha; Karakteristik Politik Islam, Abu
Ridha; Siyasah Syariah, Ibnu Taimiyah; Al Khilafah Wal Mulk, al Maududi

“Siyasah Syar’iyah : Karakter Politik Islam”


Penulis berangkat dari istilah siasah dimana pendekatan makna dari siasah
ini lebih dekat kepada makna pelayanan dibandingkan makna kekuasaan. Siasah
berasal dari istilah yang populer pada masa Rasulullah SAW yaitu istilah siyasatu
al faras, kata siasah yang dinisbatkan kepada pengurusan dan pelayanan seekor
kuda. Sehingga paradigma yang coba dibangun dalam Islam adalah politik Islam
yang berorientasi pada pelayanan. Makna siasah Islam juga dapat dilihat dari
konteks berorientasi pelayanan dimana dalam bahasa arab kata imam atau amir
berarti seseorang yang ada di depan atau memerintah dan sekaligus menjadi
orang yang ada di belakang atau diperintah. Sebab kata benda fa’il kadang
kadang juga berarti maf’ul, oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah mengartikan
firman Allah “Dan jadikanlah kami imam bagi orang orang-orang yang bertakwa”,
menjadi “Dan jadikanlah kami ma’mum bagi orang-orang yang bertakwa”. Penulis
mencoba mengangkat lima karakter utama dari Siasah Islam yang disarikan dari
buku Karakteristik Politik Islam karya Ustadz Abu Ridha33, diantaranya adalah : a)
Rabbaniyah, b) Syar’iyah, c) Adil, d) Moderat (Wasathiyah) dan e) Memerdekakan.
Rabbaniyah, berarti seluruh aktivitas siasah mengacu kepada hukum atau
nilai-nilai yang berasal dari Allah SWT dan keteladanan Rasulullah SAW, maka
semua konsepsi dan penerapan siasah Islam mengacu kepada sumber-sumber
rabbaniyah. Kita dapat melihat perjuangan Rasulullah yang memiliki karakteristik
rabbaniyah, dimana tergambar dalam doa Rasulullah ketika hendak berhijrah ke
Yastrib beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk berdoa, “ Dan katakanlah : Ya
Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku
secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan
yang menolong.” (QS Al Isra : 80). Dalam doa tersebut Imaduddin Khalil menilai
ketidakterpisahan antara masyi’ah (kehendak) Allah dan iradah basyariyah (upaya
manusia), ketidakterpisahan antara nilai-nilai Ilahiyah dan upaya menerapkannya
di dalam kehidupan.
Syar’iyah, yang berarti semua penerapan kekuasaan siasah harus
memperoleh legalitas syariah. Dimana syariah menjadi dasar legalitas terhadap
seluruh tingkah laku dan posisi manusia di dalam kehidupan. Secara dasar
pengambilan kebijakan siasah Islam berada di dalam ranah inisiasi yang terbuka
yaitu dalam lapangan ijtihad (pemikiran analogis perseorangan) dan ijma’
(konsesus kolektif) tetapi harus tetap berada dalam koridor syariah. Siasah Islam
menjadikan syariah sebagai kerangka utama dan penentu bagi gerak perilaku
seorang muslim maka peraturan yang berada ddalam Kitabullah menjadi dasar
konstitusi dan perilaku siasah setiap muslim. Al Mawardi menyatakan syariah
memiliki posisi menentukan sebagai sumber legitimasi terhadap realitas
kekuasaan dimana ia memadukan antara realitas kekuasaan dan identitas siasah,
agama menjadi ukuran justifikasi kepantasan atau kepatutan siasah yang
menyebabkan ia berhak menjalankan kekuasaan.
Adil, menurut salafu as-shalih keadilan ialah “meletakkan sesuatu di
tempatnya tanpa melampaui batas”.Setinggi-tinggi derajat keadilan adalah
keadilan akidah dalam mengakui keesaan Allah SWT, hak-Nya untuk disembah
33 Abu Ridha, “Karakteristik Politik Islam”, Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004

25
bukan ditentang, disyukuri bukan diingkari, diingat bukan dilupakan. Beberapa
landasan dalil yang memerintahkan manusia agar berlaku adil adalah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-
bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan....” (QS Al Hadid : 25),
“Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehingga kamu tidak
berlaku adil, Berbuat adillah, itulah yang lebih dekat kepada takwa.” (QS Al
Ma’idah : 8). Ibnu Taimiyah menyatakan, “Keadilan adalah sistem dari segala
sesuatu. Apabila urusan dunia ditangani secara adil maka dunia akan tegak
berdiri, walaupun yang menerapkannya orang yang tidak mendapatkan
kebahagiaan di akhirat, Dan apabila urusan dunia tidak ditangani dengan keadilan
maka dunia tidak akan pernah tegak meskipun yang menanganinya seseorang
yang memiliki keimanan”.
Wasathiyah, sebuah karakteristik khas yang dimiliki oleh Islam sebagai
agama yang universal, untuk seluruh alam.Dr ‘Imarah menjelaskan, makna dari
wasathiyah adalah kebenaran di tengah dua kebathilan, keadilan di tengah dua
kezaliman, tengah-tengah di antara dua ekstremitas. Dalam siasah Islam
perhatian kepada kepada kepentingan kesejahteraan manusia yang bersifat jasadi
(material) sama dengan perhatiannya kepada kepentingan kesejahteraan manusia
yang bersifat ruhi (spriritual), dalam pandangan Islam dua hal tersebut memiliki
hak yang sama untuk ditunaikan secara proporsional. Refleksi kemoderatan Islam
dapat dicermati melalui hadis-hadis berikut : Dari Abu Hurairah r.a.,dari Nabi
Muhammad saw. Ia bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah dan orang yang
memberat-beratkan agama akan terkalahkan dengan sendirinya. Oleh karena itu
bertindaklah tepat, dekatilah (ketepatan). Gembirakanlah, dan carikanlah
pertolongan di waktu pagi, waktu tergeliincir matahari dan sedikit dari waktu
sore.” (HR Bukhari). Kita juga dapat menilai karakter wasathiyah ini di dalam Al
Quran, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS Al Isra : 29)
Memerdekakan, siasah kemerdekaan dalam Islam bertujuan membebaskan
manusia dari perbudakan fisik, pemikiran ataupun mentalitas. Kesaksian tauhid
“tidak ada Ilah yang patut disembah, selain Allah,” adalah landasan siasah
kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebab kesaksian itu, menurut Dr. Imarah,
mengandung pesan revolusi kebebasan manusia dari setiap bentuk thagut dan
dari semua penuhanan selain kepada Allah SWT. Pada hakikatnya sasaran dakwah
Islam adalah membebaskan dan memerdekakan, Kata-kata Rib’i bin Amr yang
diucapkan di hadapan panglima Rustum benar-benar mencerminkan missi dakwah
Islam meujudkan kebebasan dan kemerdekaan dalam arti yang hakiki, : “Aku
datang diutus untuk membebaskan manusia dari penghambaan sesama manusia
menuju penghambaan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju
keluasan dunia akhirat dan dari tirani agama-agama menuju keadilan Islam.”
04_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Mengetahui kaidah dan strategi dalam berdakwah, mengenal karakter obyek
dakwah
Materi : Fiqh Dakwah
Referensi : Fiqh Dakwah, Jum’ah Amin Abdul Azis, Syarah Rasmul Bayan
Tarbiyah, Jasiman LC

“Fiqh Dakwah : Rahasia Para Dai”


Terdapat beberapa makna dakwah secara bahasa dan istilah, yaitu : 1)An-
Nida : artinya memanggil, 2) Ad-du’a ila syai’i : artinya menyeru dan mendorong
pada sesuatu, 3) Ad-da’wat ila qadhiyat : artinya menegaskannya atau
membelanya, 4) Ad-du’a : artinya memohon dan meminta34. Secara terminologi
dakwah berarti mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang
baik hingga mereka meninggalkan thagut dan beriman kepada Allah, agar mereka
keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam35. Perintah berdakwah adalah
seruan yang Allah perintahkan kepada manusia, “Dan hendaklah di antara kamu
ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang
makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan itulah orang-orang yang beruntung”
(QS Ali Imran : 104).
Terkadang permasalahan sesungguhnya dalam dakwah adalah bagaimana
seni dalam menyampaikannya itu sendiri. Terkadang penolakan akan dakwah
bukanlah dikarenakan oleh kontennya tetapi dikarenakan cara penyampaian para
dai yang tidak diterima oleh mad’u dakwah sehingga substansi hakiki dari dakwah
Islam tidak tersampaikan dengan baik. Terdapat beberapa prinsip dan kaidah
berdakwah yang penulis sarikan dari buku “Fiqh Dakwah” karangan Ustadz Jum’ah
Amin Abdul Azis, yaitu : 1) Memberi keteladanan sebelum berdakwah, 2) Mengikat
hati sebelum menjelaskan, 3) Mengenalkan sebelum memberi beban, 4) Bertahap
dalam pembebanan, 5) Memudahkan bukan menyulitkan, dan 6) Yang pokok
sebelum yang cabang. Kaidah-kaidah ini menjadi rahasia para dai yang telah
berjuang dalam menyampaikan risalah para nabi dan rasul. Semoga ini
bermanfaat bagi para kader KAMMI yang akan berjuang di ranah dakwahnya
masing-masing.
Memberi keteladanan sebelum berdakwah, Seorang anak harus
memperoleh teladan yang baik dalam keluarganya, agar nilai-nilai Islam dapat
meresap sejak masa kanak-kanak sehingga pribadinya menjadi pribadi yang
mulia. Begitu juga dengan mad’u dakwah harus memperoleh keteladanan dari dai
karena tiada berguna perkataan yang tidak selaras dengan perbuatan. Kita dapat
melihat perumpaan seorang dai yang tidak mengamalkan apa yang
didakwahkannya layaknya lilin yang menerangi manusia dalam kegelapan tetapi
dia sendiri habis terbakar. Al Quran juga mengingatkan para dai agar tetap selaras
baik dalam perkataan dan perbuatan, “Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri,
padahal kamu membaca Kitab?Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS Al Baqarah :
44).
Mengikat hati sebelum menjelaskan, jiwa manusia itu cenderung berbuat
kesalahan dan menentang kebenaran, terutama jika tidak mendapatkan nasihat
dalam waktu yang lama sehingga hati menjadi keras. Dalam kondisi seperti itu
sentuhlah manusia dengan lemah lembut, ketahuilah tabiat jiwa dan pintu hatinya
karena engkau tidak sedang berhadapan dengan batu yang keras ataupun
malaikat yang mulia tetapi engkau sedang menemui manusia yang memiliki

34 Jum’ah Amin Abdul Aziz, “Fiqih Dakwah”, Era Intermedia, Solo, 2008 hal 24
35 Jasiman LC, “Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah”, Auliya Press, Solo, 2005 hal 310

27
tabiat menerima dan menolak, ada kecendrungan baik dan buruk, Allah berfirman,
“Demi jiwa (manusia) serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS Asy Syams : 7-8).
Kemudian Allah mengilhamkan kepada para dai melalui firman-Nya, “Serulah
manusia kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik...” (QS An Nahl : 125).
Mengenalkan sebelum memberi beban, seorang dai tidak bisa mewajibkan
manusia dengan apa yang ia bawa kecuali jika dia dapat membuat manusia puas
dengan apa yang ia sampaikan. Untuk memuaskan manusia membutuhkan
penyampaian yang baik, kata-kata yang mudah dimengerti, dan pemahaman yang
jelas serta pengenalan terhadap dakwah sebelum memberikan beban berupa
apapun, menyampaikan penjelasan sebelum melimpahkan tanggung jawab
kepadanya. Al Qur’an diturunkan untuk mengenalkan manusia tentang empat
persoalan sebelum memberikan beban kepada mereka, yaitu : 1) Mengenalkan
tentang Rabb (Yang Menciptakan, Memberi Rezeki dan Memelihara) mereka, agar
mereka beribadah kepada-Nya, 2) Mengenalkan akan diri mereka, agar mereka
memahami hakikat keberadaan atau eksistensi mereka, 3) Mengenalkan tentang
alam semesta, agar mereka menggunakan dan memakmurkannya, 4)
Mengenalkan kepada mereka tentang akhir perjalanan hidup yang menanti-nanti
mereka di akhirat
Bertahap dalam pembebanan, prinsip tadarruj (bertahap) ini merupakan
prinsip yang asasi dalam berdakwah hingga manusia memahami agama ini sesuai
dengan kemampuan akalnya dan menerima dengan hatinya. Oleh karena itu
seorang dai harus mendekati objek dakwah dari dari titik taraf pemahaman objek
dakwah bukan dari titik pemahaman sang dai. Rasulullah bersabda, “Kita sekalian
para Nabi, diperintahkan untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar
akal mereka.”, Sahabat Ali juga berpendapat, “Berbicaralah kepada manusia
dengan pembicaraan yang mereka pahami dan tinggalkan apa-apa yang mereka
ingkari. Inginkah kamu Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR Bukhari).
Memudahkan bukan menyulitkan, Tugas pokok bagi para dai adalah
memberi kemudahan kepada manusia diantaranya adalah dengan menjauhi sikap
sok fasih (tafashuh) dan berlebihan dalam berbicara. Seorang dai hendaknya
berbicara dengan sungguh-sungguh, sederhana serta menggunakan metode yang
menarik karena pada dasarnya manusia itu tidak suka dengan orang yang sok
hebat dan sok pintar. Sejenak kita mendengar apa yang diriwayatkan dari Anas
bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda, “Permudahlah, jangan dipersulit,
besarkan hati jangan membuat orang lari” (HR Bukhari). Kita juga diingatkan oleh
firman Allah, “Allah menginginkan kemudahan bagi kamu, dan Dia tidak
menginginkan kesulitan bagimu...”(QS Al Baqarah : 185). Ini merupakan prinsip
pokok dalam pembebanan akidah Islam secara keseluruhan. Bahwa pembebanan
itu semuanya dipermudah, tidak ada yang dipersulit dan memberatkan.
Yang pokok sebelum yang cabang, perbedaan pendapat di dalam masalah
fiqih atau dalam masalah furu’ itu sesuatu yang niscaya terjadi. Karena landasan
Islam terdiri dari ayat-ayat dan hadist-hadist yang mana akal kita berbeda dalam
memahaminya. Dalam kondisi demikian seorang dai dapat mempergunakan
kaidah yang diperkenalkan Hassan Al Banna, “Nata’awanu fi ma itafaqna ‘alaihi
wa ya’dziru ba’dhuna ba’dhan fi ma ikhtalafna fihi (Kita bekerja sama dalam hal-
hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal-hal yang kita
perselisihkan). Oleh karena itu, setiap kali mengawali dakwah, dimulai dengan
yang pokok sebelum yang furu’, hal-hal yang bersifat kuliyat (keseluruhan)
sebelum yang juz’iyat (sebagian), yang ijmaly (global) sebelum yang tafhiliy
(rinci). Dengan ini pemahaman seperti ini harapannya umat Islam tidak terjebak
dalam kondisi saling menyalahkan dan melemahkan ukhuwwah islamiyah itu
sendiri.
29
05_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami dinamika dunia harokah Islam,
Materi : Mengenal Hizbut Tahrir
Referensi : Menuju Jama’atul Muslimun, Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir,
MA; Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Herry Mohammad Dkk

“Mengenal Taqiyudin An Nabhani dan Hizbut Tahrir”


Profil Syekh Taqiyudin An-Nabhani
Beliau adalah Syaikh Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin
Ismail bin Yusuf An Nabhani. Nama An Nabhani dinisbahkan kepada kabilah Bani
Nabhan, satu kabilah Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka
bermukim di daerah Ijzim, wilayah Haifa, Palestina Utara. Syaikh Taqiyuddin An
Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat didikan ilmu
dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din.
Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan
Palestina.1 Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang
diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini
adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama
terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah36.
Syaikh Taqiyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariah dari ayah
dan kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur'an sehingga beliau hafal
Al Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan
pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di sekolah dasar
di daerah Ijzim. Kemudian beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk
melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan
sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan
pendidikannya di Al Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An
Nabhani. Syaikh Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah
Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan
predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul
Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu beliau banyak
menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al
Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al Hidhir Husain --rahimahullah-- seperti yang
pernah disarankan oleh kakek beliau. Hal itu dimungkinkan karena sistem
pengajaran lama Al Azhar membolehkannya. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani
menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama
beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di
mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan
menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah
seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya37.
Syaikh Taqiyuddin bekerja dalam bidang pengajaran syariah di kementerian
pendidikan hingga tahun 1938. Pada tahun itu beliau beralih untuk beraktivitas di
bidang peradilan syariah. Secara gradual beliau meniti karir di bidang peradilan
syariah itu. Beliau memulainya dengan menjabat kepala sekretaris Mahkamah
Haifa Pusat. Kemudian beliau naik jabatan menjabat asisten qadhi, kemudian
menjabat qadhi Mahkamah Ramalah hingga tahun 1948. Pada tahun itu beliau
keluar ke Syam akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi. Pada tahun itu juga
beliau kembali untuk menjabat qadhi Mahkamah Syariah al-Quds. Setelah itu,
beliau diangkat menjadi qadhi di Mahkamah Banding Syariah (Mahkamah al-

36 Ihsan Samarah, “Mafhum Al ‘Adalah Al Ijtima'iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu'ashir”, “Biografi Singkat Syaikh Taqiyudin An
Nabhani”, Al Azhhar Press, Bogor, 2002
37 Ihsan Samarah, “Mafhum Al ‘Adalah Al Ijtima'iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu'ashir”, “Biografi Singkat Syaikh Taqiyudin An
Nabhani”, Al Azhhar Press, Bogor, 2002
Isti’nâf asy-Syar’iyah) hingga tahun 1950. Kemudian beliau mengundurkan diri dan
beralih untuk memberikan ceramah kepada para mahasiswa tingkat dua di
Fakultas Ilmu Islam (Al-Kuliyah al-’Ilmiyah al-Islâmiyah) di Amman hingga tahun
195238.
Syaikh Taqiyuddin Nabhani pernah bersentuhan dengan Ikhwanul Muslimin
Yordania. Di dalam pertemuan-pertemuan ia sering memberikan ceramah dan
memuji-muji Ikhwan serta pendirinya Imam Hassan Al-Banna. Tetapi tidak berapa
lama ia mendirikan Hizib al-Tahrir dan dinyatakannya sebagai partai independen
baik dalam pendirian atau dalam pandangan-pandangannya. Orang-orang
moderat banyak yang mendukung dakwah Hizb ini antara lain Sayyid Quthb ketika
berkunjung ke Quds pada tahun 1953. Dalam kunjungan tersebut dilakukan
berbagai dialog dan ajakan menyatukan perjuangan. Tetapi Nabhani tetap pada
sikapnya. Akhirnya Sayyid Quthb mengatakan “Biarkan mereka. Mereka akan
berhenti pada apa yang pernah dirintis Ikhwan.”39

Sejarah Pendirian Hizbut Tahrir


Hizbut Tahrir atau Hizb ut-Tahrir (Arab: ‫ححححزب التحريحححر‬, Inggris: Party of
Liberation, Indonesia: Partai Pembebasan) awal bernama Partai Pembebasan Islam
(hizb al-tahrir a]-islami) adalah partai politik berideologi Islamisme Sunni perintis
paham Pan Islamisme (lihat Pan Arabisme), didirikan pada tahun 1952 di
Jerusalem berdasarkan doktrin Sistim islam. Tagi al-Din al-Nabhani (1905-1978)
atau di Indonesia dikenal dengan Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani seorang sufi,
hakim pengadilan (Qadi) dan mantan aktivis organisasi Ikhwanul Muslimin yang
kemudian menentang doktrin politik demokrasi Ikhwanul Muslimin terhadap
konsep negara Mandat Britania atas Palestina. Hizbut Tahrir berprinsip dasar pada
kebebasan yaitu terbebas dari doktrin-doktrin Islamisme yang lama serta menolak
pemimpin yang dipilih berdasarkan sistim demokrasi termasuk pemilihan umum
dengan melakukan propaganda bertujuan untuk menggabungkan semua negara
Muslim untuk melebur ke dalam sebuah negara yaitu berdasarkan doktrin sistem
Islam yang disebutnya sebagai Negara Islam atau unitariat kalifah40.
Syaikh Taqiyuddin mulai mengkaji secara mendalam dan menaruh
perhatian besar pada partai-partai, gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi
yang tumbuh sejak abad keempat hijriah. Beliau mengkaji secara mendalam cara-
cara, pemikiran-pemikiran dan sebab-sebab penyebarannya ataupun
kegagalannya. Beliau mengkaji partai-partai itu karena kesadaran beliau akan
wajib adanya kelompok islami yang beraktivitas mewujudkan kembali Khilafah.
Setelah penghancuran Khilafah melalui tangan seorang penjahat Mustafa Kamal
(Attaturk) kaum Muslim belum mampu mewujudkan kembali Khilafah meski ada
banyak organisasi islami yang berjuang pada waktu itu. Ketika muncul negara
Israel pada Mei 1948 di tanah Palestina, dan tampak kelemahan Arab di hadapan
kelompok-kelompok kecil orang Yahudi anak asuh mandatori Inggris di Yordania,
Mesir dan Irak; semua itu mempengaruhi/merangsang penginderaan Syaikh
Taqiyuddin. Lalu Syaikh mulai mengkaji sebab-sebab hakiki yang dapat
membangkitkan kaum Muslim. Beliau menuliskan hal itu di dua risalah yaitu
Risâlah al-’Arab (Misi Arab) dan Inqâdz Filishthîn (Membebaskan Palestina);
keduanya beliau keluarkan pada tahun 1950 M41.
Pada saat beliau beralih beraktivitas di bidang peradilan, beliau mulai
menjalin kontak dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau jumpai saat
bersama-sama di Mesir. Beliau mengajukan kepada mereka ide pendirian partai
politik yang berlandaskan Islam untuk membangkitkan kaum Muslim dan

38 “Mengenal Syaikh Taqiyudin An-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir”, <http://alogyah.multiply.com>, diakses pada 1 Agustus 2009
39 Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia, “Hizib Al-Tahrir-Hizbut Tahriri 2”, <http://blog.re.or.id>, diakses pada
1 Agustus 2009
40 “Hizbut Tahrir”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir>, diakses pada 1 Agustus 2009
41 “Mengenal Syaikh Taqiyudin An-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir”, <http://alogyah.multiply.com>, diakses pada 1 Agustus 2009

31
mengembalikan kemuliaan dan keagungan mereka. Dalam upaya mengajukan ide
tersebut, beliau berpindah-pindah di antara kota-kota di Palestina. Beliau
mengajukan satu perkara yang telah mencapai kematangan dalam pemikiran
beliau kepada pribadi-pribadi yang menonjol di antara para ulama dan pioner
pemikiran. Untuk itu, beliau menyelenggarakan berbagai forum. Beliau
mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di seluruh penjuru Palestina.
Pada forum-forum itu beliau berdiskusi dengan para ulama tentang metode
kebangkitan yang sahih. Beliau banyak berdiskusi dengan para aktivis berbagai
kelompok dan partai-partai politik, partai-partai nasionalis dan patriotis. Beliau
menjelaskan kepada mereka kesalahan jalan mereka dan kemandulan aktivitas
mereka. Beliau juga memaparkan banyak masalah politik dalam ceramah-ceramah
beliau dalam berbagai acara keagamaan di Masjid al-Aqsha, Masjid Ibrahim al-
Khalil dan masjid-masjid lainnya. Dalam ceramah-ceramah itu, beliau menyerang
sistem-sistem di Arab dengan mengatakan bahwa sistem-sistem itu adalah buatan
para penjajah Barat dan sarana mereka untuk melanggengkan cengkeraman
mereka terhadap negeri-negeri kaum Muslim. Di samping itu, beliau juga
membongkar rencana-rencana politik negara-negara Barat. Beliau mengekspos
niat busuk Barat untuk menentang Islam dan kaum Muslim. Beliau memahamkan
kaum Muslim akan kewajiban mereka dan menyeru mereka untuk berpartai
berlandaskan Islam.
Syaikh Taqiyuddin pernah maju dan mencalonkan diri untuk menjadi
anggota parlemen. Karena sikap beliau yang lurus, kegiatan politis dan aktivitas
beliau yang penuh kesungguhan untuk mendirikan partai politik yang berideologi
Islam, karena sikap beliau yang berpegang secara kuat pada Islam, serta karena
intervensi negara terhadap hasil Pemilu, maka hasil Pemilu tidak berpihak pada
kemenangan beliau.Kegiatan politik Syaikh Taqiyuddin tidak berhenti. Tekad
beliau juga tidak padam. Beliau terus menjalin kontak dan berdiskusi sampai
beliau mampu meyakinkan sejumlah orang —para ulama, qadhi terkemuka, serta
mereka yang memiliki politik dan pemikiran yang menonjol— tentang pendirian
partai politik berasaskan Islam. Lalu beliau mulai mengajukan kepada mereka
kerangka kepartaian dan pemikiran-pemikiran yang mungkin dijadikan bekal
tsaqâfiyah bagi partai itu. Pemikiran-pemikiran beliau itu mendapatkan ridha dan
penerimaan dari para ulama tersebut. Puncak aktivitas politik beliau adalah
dengan mendirikan Hizbut Tahrir42.
Syaikh mulai beraktivitas untuk membentuk partai di kota al-Quds. Pada
saat itu beliau bekerja di Mahkamah al-Istinaf asy-Syar‘iyah (Mahkamah Banding
Syariah) di kota tersebut. Beliau menjalin kontak dengan beberapa tokoh di sana,
di antaranya Syaikh Ahmad ad-Daur dari Qalqiliyah, Nimr al-Mishri dari al-Lad,
Dawud Hamdan dari Ramalah, Syaikh Abdul Qadim Zallum dari kota al-Khalil, Dr.
'Adil an-Nablusi, Ghanim Abduh, Munir Syaqir, Syaikh As’ad Bayoudh at-Tamimi,
dan lain-lain. Pada awalnya, pertemuan di antara para pendiri Hizbut Tahrir itu
berlangsung secara acak dan tidak teratur. Mayoritasnya dilakukan di al-Quds atau
di al-Khalil. Pertemuan itu dilakukan untuk saling bertukar pendapat dan untuk
menarik orang-orang baru. Diskusi yang berlangsung terfokus pada masalah-
masalah keislaman yang mempengaruhi kebangkitan umat. Kondisi ini terus
berlangsung seperti itu hingga akhir tahun 1952 M. Pada tanggal 17 November
1952 M, lima orang anggota pendiri Hizb menyampaikan permintaan resmi kepada
Kementerian Dalam Negeri Yordania dengan maksud untuk mendapatkan izin
pendirian partai politik43. Kelima orang itu adalah:
1. Taqiyuddin an-Nabhani, Pemimpin Partai.
2. Dawud Hamdan, Wakil Ketua merangkap Sekretaris Partai.
3. Ghanim Abduh, Bendahara Partai.

42 “Mengenal Syaikh Taqiyudin An-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir”, <http://alogyah.multiply.com>, diakses pada 1 Agustus 2009
43 “Mengenal Syaikh Taqiyudin An-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir”, <http://alogyah.multiply.com>, diakses pada 1 Agustus 2009
4. Dr. Adil an-Nablusi, anggota.
5. Munir Syaqir, anggota.

Kemudian Hizb melengkapi syarat-syarat perundang-undangan yang


dituntut oleh Undang-Undang Jam’iyah Utsmani. Hizb berpusat di al-Quds. Hizb
mulai menyampaikan informasi dan pemberitahuan sesuai dengan undang-
undang. Hizb menyampaikan penjelasan pendirian partainya kepada pemerintah
dan melampirkan Anggaran Dasar Partai. Hizb juga menyiarkan status
pendiriannya di Koran Ash-Sharîh no. 176, tanggal 14 Maret 1952 M. Dengan
semua itu, Hizbut Tahrir telah menjadi partai resmi menurut undang-undang
terhitung sejak hari Sabtu 28 Jumada ats-Tsaniyah 1372 H, bertepatan tanggal 14
Maret 1953 M. Sejak saat itu Hizb memiliki wewenang untuk langsung
melaksanakan kegiatan kepartaiannya dan berhak melaksanakan semua aktivitas
kepartaian yang dinyatakan di dalam angaran dasarnya. Hal itu sesuai dengan
Undang-undang Jam‘iyah Utsmani yang masih berlaku saat itu.

Tahap-Tahap Operasional Dakwah Hizbut Tahrir44


1. Tahap Tatsqif, untuk melahirkan orang-orang yang meyakini fikrah Hizbut
Tahrir dan metode Hizbut Tahrir dalam pembentukan kerangka gerakan.
2. Tahap Tafa’ul dengan umat, agar ia mampu untuk memikul dakwah
sehingga ummat akan menjadikannya sebagai masalah utama dalam
kehidupannya serta berusaha menerapkannya dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
3. Tahap pengambil-alihan kekuasaan yang selanjutnya menerapkan Islam
secara utuh dan menyeluruh serta menyampaikan dan mengemban risalah
Islam ke seluruh dunia.

Tahap pertama, Pada saat itu Hizbut Tahrir telah melakukan kontak dengan
anggota masyarakat menyampaikan konsep dan metode dakwahnya lewat
perorangan. Bagi orang yang menerima fikrah dan thariqah Hizb pembinaannya
diatur secara intensif dalam halaqah-halaqah Hizb hingga menyatu dgn ide-ide
dan hukum-hukum Islam yang telah dijadikan sebagai pedoman dan kemudian
menjadikannya seorang muslim yang mempunyai kepribadian Islam berinteraksi
dengan Islam dan menghayatinya serta memiliki aqliyah dan nafsiyah Islamiyah,
yang untuk selanjutnya bergerak mengemban dakwah kepada umat. Pada tahap
ini perhatian Hizb dipusatkan kepada pembinaan kerangka gerakan
memperbanyak pendukung dan pengikut serta mengkader para pengikutnya
dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah Hizb yang terarah dan intensif sehingga
pada akhirnya telah berhasil membentuk kelompok partai bersama-sama para
pemuda yang telah menyatu dengan Islam yang menerima pemikiran-pemikiran
Hizb kemudian berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran tersebut serta mengajak
orang lain menuju pemikiran-pemikiran Hizb. Setelah Hizb berhasil membentuk
suatu kelompok partai dan masyarakat mulai merasakannya serta mengenal Hizb
beserta ide-ide dan apa yang ia anjurkan kepada masyarakat maka sampailah
Hizb pada tahap yang kedua.
Tahap kedua, Marhalatut-Tafa’ul yaitu berinteraksi dengan masyarakat
untuk menyampaikan Islam kepada umat dan mendorongnya untuk memikul Islam
membentuk kesadaran dan opini masyarakat atas dasar ide-ide dan hukum-hukum
Islam yang telah dipilih dan ditetapkan oleh Hizb hingga dijadikannya sebagai
pemikiran ummat yang akan mendorongnya untuk berusaha mewujudkannya
dalam kehidupan. Kemudian umat berjuang bersama-sama Hizb berusaha
mendirikan Daulah Khilafah serta mengangkat seorang Khalifah untuk

44 Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia, “Hizib Al-Tahrir-Hizbut Tahriri 2”, <http://blog.re.or.id>, diakses pada
1 Agustus 2009

33
melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia. Pada tahapan ini Hizb mulai beralih menyampaikan dakwah kepada
masyarakat banyak dengan cara penyampaian yang bersifat kolektif. Pada saat itu
Hizb melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini45 :
a. Tsaqafah murakkazah, melalui halaqah-halaqah yang diadakan secara
individu dalam rangka mengembangkan kerangka Hizb untuk
memperbanyak pendukung serta melahirkan kepribadian Islam di kalangan
para pengikut dan anggota Hizb hingga mereka mampu mengemban
dakwah Islam mengarungi medan kehidupan melalui pergolakan pemikiran
dan perjuangan politik.
b. Tsaqafah jama’iyah, yang disampaikan kepada umat Islam secara umum
berlandaskan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah dijadikan
landasan Hizb sebagai materi pembinaan untuk umat. Ini dilakukan melalui
pengajian-pengajian umum atau ceramah-ceramah di Masjid-masjid atau di
balai-balai pertemuan gedung-gedung dan tempat-tempat umum juga
melalui media massa buku-buku dan selebaran-selebaran untuk melahirkan
kesadaran umat secara umum sekaligus berinteraksi dengan masyarakat.
c. Asy-Syira’ul fikri, yang disampaikan dalam rangka menentang
kepercayaan/ideologi aturan dan pemikiran-pemikiran kufur. Menentang
segala bentuk aqidah yang rusak pemikiran yang keliru persepsi yang salah
dan tersesat dengan cara mengungkapkan kepalsuannya serta
kekeliruannya dan pertentangannya dengan Islam. Sekaligus
membersihkan umat dari segala bentuk pengaruh dan bekas-bekasnya.
d. Al-Kifahus siyasi, yaitu berbentuk perjuangan menghadapi negara-negara
kafir Imperialis yang menguasai negeri-negeri Islam. Menghadapi segala
bentuk penjajahan baik itu yang berupa pemikiran politik ekonomi maupun
militer dan mengungkapkan taktik dan strategi serta membongkar
persekongkolan negara-negara kafir untuk membebaskan umat dari
kekuatannya serta melepaskan umat dari segala bentuk pengaruh
kekuasaannya.
e. Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam
lainnya dan mengungkapkan kejahatan mereka serta mengadakan nasehat
dan kritik. Sekaligus mencoba mengubah tingkah lakunya tiap kali mereka
melahap hak-hak umat atau pada saat mereka tidak melaksanakan
kewajibannya terhadap umat atau pada saat melalaikan salah satu urusan
umat atau tiap kali mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Dan berusaha
untuk menghapuskan kekuasaannya kemudian menggantikannya dgn
kekuasaan yang berlandaskan pada hukum-hukum Islam.

Tahap ketiga, Thalabun Nushrah tatkala masyarakat telah apatis terhadap


Hizb akibat hilangnya kepercayaan umat terhadap pemimpin-pemimpinnya dan
tokoh-tokoh masyarakat yang pernah menjadi tumpuan harapan dan juga akibat
keadaan yang teramat sulit yang sengaja dibuat oleh kaum Imperalis di Daerah
Timur Tengah agar taktik Imperialisme mereka tetap berlangsung. Juga akibat
dominasi kekuasaan dan sikap keras/kejam yang dilakukan oleh para penguasa
untuk menindas rakyatnya penganiayaan yang teramat keras yang dilakukan oleh
para penguasa terhadap Hizb anggota serta pengikutnya. Pada saat masyarakat
menjadi apatis akibat semua keadaan ini maka Hizb mulai melakukan ‘thalabun-
nushrah’ dari orang-orang yg mampu untuk dua tujuan, yaitu : a) Tujuan Himayah
hingga mampu berjalan mengemban dakwah dalam keadaan yg aman, b) Mencari
jalan untuk sampai pada tingkat pemerintahan untuk mendirikan Khilafah
Islamiyah dan menerapkan Islam. Pada saat Hizb melakukan kegiatan ‘thalabun-

45 Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia, “Hizib Al-Tahrir-Hizbut Tahriri 2”, <http://blog.re.or.id>, diakses pada
1 Agustus 2009
nushrah’ seluruh kegiatan lainnya tetap dijalankan seperti pembinaan intensif
dalam halaqah-halaqah pembinaan kolektif untuk seluruh umat,
mengkonsentrasikan kegiatan hanya pada umat untuk ikut bertanggungjawab
dalam memikul beban Islam, serta mewujudkan opini umum di kalangan umat.
Begitu pula kegiatan lain seperti menentang negara-negara kafir Imperialis dan
mengungkapkan taktik mereka serta membongkar persekongkolannya. Juga
menentang para penguasa mengutamakan kepentingan umat dan memelihara
urusannya46.

Gagasan Khilafah Hizbut Tahrir


Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh dunia Islam untuk memperkuat
komunitas Muslim yang hidup secara islami dalam pikiran dan perbuatannya,
dengan terikat pada hukum-hukum Islam dan menciptakan identitas Islam yang
kuat. Hizbut Tahrir juga beraktivitas bersama-sama komunitas Muslim di Barat
untuk mengingatkan mereka agar menyambut seruan perjuangan mengembalikan
Khilafah dan menyatukan kembali umat Islam secara global. Hizbut Tahrir juga
berupaya menjelaskan citra Islam yang positif kepada masyarakat Barat dan
terlibat dalam dialog dengan para pemikir, pembuat kebijakan dan akademisi
Barat.
Yang menarik tentang khilafah ini, Taqiyudin an-Nabhani menyatakan:
“...mengadakan banyak seminar tentang Khilafah, bukanlah jalan yang
mengantarkan pada pembentukan Negara Islam. Upaya menyatukan negara-
negara yang memerintah negeri-negeri Islam bukanlah sarana yang bisa
membangun Negara Islam. Piagam atau deklarasi yang dikeluarkan berbagai
muktamar bangsa-bangsa Islam, bukanlah bentuk perwujudan yang mampu
menciptakan kehidupan yang Islami. Semua itu dan yang sejenisnya bukanlah
jalan (thariqah). Itu adalah hiburan sesaat yang sedikit menyegarkan jiwa kaum
Muslimin. Kemudian semangat muktamar itu lambat laun menjadi padam. Setelah
itu duduk-duduk santai tanpa melakukan aktivitas yang nyata. Lebih dari itu
semuanya adalah jalan yang bertentangan dengan thariqah Islam. Metode satu-
satunya untuk mendirikan negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam
dan berbuat nyata dalam mewujudkan kehidupan yang Islami. Hal ini menuntut
menuntut satu kesatuan yang utuh. Karena umat Islam adalah satu. Mereka
adalah kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ
sistem negara Islam memancar.”47
Dengan konsep khilafahnya, Taqiyuddin menentang habis nasionalisme:
“Ikatan kebangsaan (nasionalisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat,
tatkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai
hidup bersama dalam satu wilayah dan tidak beranjak dari situ...”48
“Ikatan nasionalisme (rabithah wathaniyah) ikatan yang rusak karena 3 hal:
pertama, ikatan yang rendah karena tidak mampu mengikat satu manusia dengan
yang lain menuju jalan kebangkitan. Kedua, ikatan reaksioner, yang selalu
didsarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri
mempertahankan diri. Juga ikatan ini sangat berpeluang berubah-ubah sehingga
tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain.
Ketiga, ikatan temporal, muncul saat membela diri karena datangnya ancaman.
Dalam keadaan stabil, ikatan ini tidak muncul. Karena itu, ia tidak bisa dijadikan
pengikat antara sesama manusia”49.

Referensi :

46 Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia, “Hizib Al-Tahrir-Hizbut Tahriri 2”, <http://blog.re.or.id>, diakses pada
1 Agustus 2009
47 “Kehebatan Nabhani”, <http://dunia.pelajar-islam.or.id>, diakses pada 1 Agustus 2009
48 “Kehebatan Nabhani”, <http://dunia.pelajar-islam.or.id>, diakses pada 1 Agustus 2009
49 “Kehebatan Nabhani”, <http://dunia.pelajar-islam.or.id>, diakses pada 1 Agustus 2009

35
Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir MA, “Menuju Jama’atul Muslimin : Telaah
Sistem Jamaah Dalam Gerakan Islam”, Robbani Press, Jakarta, 2001
Ihsan Samarah, “Mafhum Al ‘Adalah Al Ijtima'iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu'ashir”,
“Biografi Singkat Syaikh Taqiyudin An Nabhani”, Al Azhhar Press, Bogor, 2002
“Mengenal Syaikh Taqiyudin An-Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir”,
<http://alogyah.multiply.com>, diakses pada 1 Agustus 2009
Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia, “Hizib Al-Tahrir-Hizbut
Tahriri 2”, <http://blog.re.or.id>, diakses pada 1 Agustus 2009
“Hizbut Tahrir”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir>, diakses pada 1
Agustus 2009
06_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami karakter para sahabat Rasulullah, memahami karakter para
tokoh harokah Islamiyah
Materi : Studi Tokoh-tokoh Islam
Referensi : Karakteristik Perihidup Enampuluh Sahabat Rasulullah, Khalid Muh
Khalid, Model Kepemimpinan Dalam Gerakan Islam, Musthafa Muhammad
Thahhan, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, Herry Mohammad Dkk

“Mohammad Natsir : Islam Sebagai Dasar Negara Indonesia”


Profil Natsir
Mohammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat pada
tanggal 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris
Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang
di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian
diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro
Panjang di Pasar Maninjau. Natsir pada mulanya sekolah di Sekolah Dasar
pemerintah di Maninjau, kemudian HIS (Hollands Inlandsche School) di Solok pada
1916-1923. Natsir kemudian meneruskan studinya di MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs) di Padang pada 1923-1927, seterusnya AMS (Algemene
Middelbare School) di Bandung pada 1927-1930.
Lulus dengan nilai tinggi, ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di
Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia
menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga
peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi50.Tetapi, semua
peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada
masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Natsir mengambil sebuah pilihan yang
berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad
A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager
Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan
Islam (Pendis) Bandung51.
Pendidikan agama mulanya diperoleh dari orang tuanya, kemudian ia
masuk Madrasah Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an
pada malam hari di surau. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung
ketika dia berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam di Bandung.
Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam
bekerja, alim dan tajam argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat
tampaknya cukup berpengaruh pada kepribadian Natsir kemudian. Natsir
mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah),
tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam.
Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati,
HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu,
beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran
Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan
Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam. Pengalaman
organisasinya mulai ketika dia masuk Jong Islamieten Bond (JIB) di Padang. Di
Bandung dia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam
Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota
Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), cikal bakal partai Islam Masyumi (Majlis Syura

50 “Mengenang Seabad Mohammad Natsir”, Republika Online Kamis 5 Februari 2009, <http://www.republika.co.id>, diakses pada
22 April 2009
51 “Mengenang Seabad Mohammad Natsir”, Republika Online Kamis 5 Februari 2009, <http://www.republika.co.id>, diakses pada
22 April 2009

37
Muslimin Indonesia) yang kemudian dipimpinnya52.
Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951,
1952, 1954 dan 1956. Natsir pernah menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir I
(3 Januari 1946 - 12 Maret 1946), Menteri Penerangan Kabinet (12 Maret 1946 - 2
Oktober 1946), Menteri Penerangan Kabinet (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947),
Menteri Penerangan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949), dan
Perdana Menteri ’Kabinet Natsir’ (6 September 1950 – 26 April 1951)53.
Jasa Natsir dalam terbentuknya NKRI sangat besar. Pada 3 April 1950,
sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS
(Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral
Natsir”), yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam
NKRI. Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam sambutannya, juga menekankan jasa
besar Natsir dalam soal NKRI ini, sehingga bangsa Indonesia sangat layak
memberi penghargaan kepada Natsir. Selain itu, Natsir juga berulang kali duduk
sebagai menteri dalam sejumlah kabinet54.
Setelah Masyumi dibubarkan, Mohammad Natsir dengan kawan-kawannya –
tokoh-tokoh Islam Masyumi—mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada
1967. Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara
nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di
luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus
umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur Tengah dan lain-lain55.
Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari
Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan
kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan
internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang
pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa
pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan
juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi. Karena itulah,
hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden
Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami56.

Dasar Negara Indonesia Menurut Natsir


Mohammad Natsir (1908-1993). Beliau berpendapat bahwa Islam ialah
sumber penentangan setiap macam penjajahan, penentangan eksploitasi manusia
atas manusia; sumber pemberantasan kebodohan, kejahilan; sumber
pemberantasan pendewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan
kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara kegamaan dan kenegaraan. Islam itu
adalah primair. Maka Islam itu adalah : ‫ ( االد ين و الدولححة‬al-din wa al-daulah) agama
dan negara57.
Menurut Lance Castle dan Herbert Feith dalam Indonesian Political
Thinking: 1945-1965 , cita-cita politik Mohammad Natsir adalah58 : (1)
membebaskan manusia dari segala bentuk supertisi (takhayul dan khaurafat),
memerdekakannya dari segala rasa takut kecuali kepada Allah Sang Maha
Pencipta serta memegang perintah-perintah-Nya agar kebebasan ruhani manusia
dapat dimenangkan, (2) segala macam tirani harus dilenyapkan, eksploitasi
manusia diakhiri, dan kemiskinan diberantas untuk mencapai maksud-maksud
tersebut. Tirani dan eksploitasi manusia dilenyapkan bilamana penderitaan dan
52 Shofwan Karim, “Muhammad Natsir (1908-1993)”, <http://shofwankarim.blogspot.com>, diakses pada 22 April 2009
53 Nuim Hidayat “Mohammad Natsir : Antara Dakwah Islam dan Pesan Politik”, Hidayatullah Online Ahad 29 Desember 2008,
<http://www.hidayatullah.com>, diakses pada 22 April 2009
54 “Mengenang Seabad Mohammad Natsir”, Republika Online Kamis 5 Februari 2009, <http://www.republika.co.id>, diakses pada
22 April 2009
55 Nuim Hidayat “Mohammad Natsir : Antara Dakwah Islam dan Pesan Politik”, Hidayatullah Online Ahad 29 Desember 2008,
<http://www.hidayatullah.com>, diakses pada 22 April 2009
56 “Mengenang Seabad Mohammad Natsir”, Republika Online Kamis 5 Februari 2009, <http://www.republika.co.id>, diakses pada
22 April 2009
57 Shofwan Karim, “Mohammad Natsir : Cita Politik”, <http://shofwankarim.blog.friendster.com>, diakses pada 22 April 2009
58 Shofwan Karim, “Mohammad Natsir : Cita Politik”, <http://shofwankarim.blog.friendster.com>, diakses pada 22 April 2009
penyakit masyarakat dapat dihilangkan, yang kesemuanya bersumber pada
kemusyrikan dan kekufuran, (3) chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan
permusuhan di antara manusia wajib diperangi. Secara demikian, kita semua wajib
membangun masyarakat di mana martabat manusia diakui secara penuh, seluruh
anggota masyarakat satu sama lain tolong-menolong dan menolak anggapan yang
kuatlah yang menang (the survival of the fittest), (4) Natsir yakin bahwa Islam
mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur, dan dalam kenyataan umat Islam
Indonesia telah memperjuangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang
bebas dari chauvinisme, tirani dan eksploitasi. Tauhid adalah modal perjuangan
kaum Muslimin, (5) untuk mencapai tujuan politik tersebut di atas, konteks
situasional dan kondisional yang dihadapi harus diperhatikan, berhubung cara-
cara perjuangan harus selalu disesuaikan dengan tantangan dan masalah yang
dihadapi.
Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia
menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian
integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai
falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir
lalu mengutip nash Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang
artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi
kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar ideologi Islam ini, ia berkesimpulan
bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba
Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita
Selekta, hlm. 436)59.
Untuk mencapai predikat “hamba Allah” tersebut, Allah memberikan aturan
kepada manusia. “Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang
menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama
manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan
sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah
sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap
masyarakat, dan hak serta kewajipan masyarakat terhadap diri seseorang. Yang
akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan
urusan kenegaraan.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436)60.
Komitmen Natsir sebagai ideolog dakwah Islam ditunjukkannya Dalam
pidatonya di Dewan Konstituante pada 12 November 1957 dengan judul “Islam
Sebagai Dasar Negara”. Natsir mengatakan bahwa faham sekulerisme
mengandung bahaya-bahaya. Sekulerisme adalah suatu pandangan hidup, opini-
opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan
duniawi. Kata Natsir: “Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekuleris itu
mengakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-
pribadi sekuleris, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam
kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-
tindakan atau dalam doa dan ibadah61.” Menurutnya, untuk dasar negara,
Indonesia hanya mempunyai dua pilihan yaitu sekularisme (la diniyah) dan paham
agama (din). Pancasila menurutnya adalah la diniyah karena itu ia sekuler tidak
mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, Pancasila adalah hasil penggalian
masyarakat62.
Natsir melanjutkan: “Juga kaum sekuleris memandang konsep-konsep
mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia, yang
ditentukan oleh kondsi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran
wahyu. Bagi kaum sekuleris doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada
59 “Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara”, <http://pbb-info.com>, diakses pada 22 April 2009
60 “Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara”, <http://pbb-info.com>, diakses pada 22 April 2009
61 Nuim Hidayat “Mohammad Natsir : Antara Dakwah Islam dan Pesan Politik”, Hidayatullah Online Ahad 29 Desember 2008,
<http://www.hidayatullah.com>, diakses pada 22 April 2009
62 Amrullah Ahmad, “Mohammad Natsir Muslim Teolog-Intelektual-Ideo-Praxis Dalam Dakwah Islam”, 100 Tahun Mohammad
Natsir : Berdamai Dengan Sejarah, Penerbit Republika (2008) : Jakarta, hal 401

39
penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan
atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda),
Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-
lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai
spiritual63.”
Natsir juga tak segan-segan berterus terang tentang perlunya Islam dan
negara bersatu: “Kalau kita terangkan bahwa agama dan negara harus bersatu,
maka terbayang sudah dimata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas
singgasana, dikelilingi oleh haremnya menonton tari dayang-dayang. Terbayang
olehnya yang duduk mengepalai kementrian kerajaan, beberapa orang tua bangka
memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran pemerintahan Islam yang
digambarkan dalam kitab-kitab Eropah yang mereka baca dan diterangkan oleh
guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi
orang Eropa: Chalifah=Harem, Islam=Poligami)64.”
Dalam bukunya Agama dan Negara dalam perspektif Islam, Mohammad
Natsir menyatakan65: “Bagi kaum muslimin urusan agama itu bukanlah ibarat satu
baju yang boleh dipakai dan digantungkan, bilamana suka, akan tetapi menjadi
urusan prive semata, melainkan juga masalah kemasyarakatan (maatschappelijk
probleem) bahkan masalah kenegaraan, staatkundig probleem, yang berarti bagi
kaum Muslimin Indonesia belumlah cukup “kerayaannya” satu kerajaan Indonesia
Raya selama belum didasarkan dan diatur menurut dasar-dasar susunan hukum
kenegaraan Islam, sekalipun ditakdirkan, yang memegang pucuk pimpinan
pemerintahan Indonesia Raya itu sudah sebangsa dan setanah air.
Tegasnya dengan semata-mata jatuhnya pucuk pemerintahan ke dalam
tangan Indonesia, belumlah tercapai ideologi pergerakan Muslimin Indonesia.
Paling banyak mereka kaum Muslimin pada saat itu baru sampai ke zaman (fase)
yang kedua dari pergerakan mereka. Dan selama itu pula mereka akan
meneruskan perjuangan, sehingga tercapai cita-cita kenegaraan Islamietisch
Staatkundig Ideaal mereka. Lama atau cepatnya akan sampai kepada tujuan
tersebut, bergantung kepada keadaan gelanggang perjuangan dalam zaman yang
kedua itu, dan bergantung kepada besar kecilnya kekuatan kaum Muslimin di saat
itu dibandingkan dengan partai-partai lain. Dan ini bergantung kepada persiapan
organisasi kaum Muslimin di Indonesia dari sekarang.
Ditakdirkan sebagai misal, pada saat kaum Muslimin berada dalam keadaan
lemah walaupun jumlah mereka pada hekekatnya jauh lebih besar dari jumlah
golongan bukan Islam, perjuangan merekapun tidak boleh dihentikan, walaupun
ibaratnya sebagai partai oposisi dalam pemerintahan negara, sekalipun
pemerintahan itu terletak dalam tangan bangsa sendiri, sampai kepada satu saat
dimana pemerintahan didasarkan atas dasar Keislaman, tidak mungkin dan tidak
boleh mereka hentikan, serta tunduk kepada perintah agama mereka. “Berbuat
baktilah kepada Allah dengan segenap kesanggupanmu.” (At-Taghabun:16).”

Referensi :
Waluyo, “Dari ‘Pemberontak’ Menjadi Pahlawan Nasional : Mohammad Natsir dan
Perjuangan Politik di Indonesia”, Penerbit Ombak (2009), Yogyakarta
“100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah”, Penerbit Republika
(2008), Jakarta
“Mengenang Seabad Mohammad Natsir”, Republika Online Kamis 5 Februari
2009, <http://www.republika.co.id>, diakses pada 22 April 2009
Shofwan Karim, “Mohammad Natsir : Cita Politik”,
63 Nuim Hidayat “Mohammad Natsir : Antara Dakwah Islam dan Pesan Politik”, Hidayatullah Online Ahad 29 Desember 2008,
<http://www.hidayatullah.com>, diakses pada 22 April 2009
64 Nuim Hidayat, “Mohammad Natsir : Antara Dakwah Islam dan Pesan Politik”, Hidayatullah Online Ahad 29 Desember 2008,
<http://www.hidayatullah.com>, diakses pada 22 April 2009
65 Nuim Hidayat, “Mohammad Natsir : Antara Dakwah Islam dan Pesan Politik”, Hidayatullah Online Ahad 29 Desember 2008,
<http://www.hidayatullah.com>, diakses pada 22 April 2009
<http://shofwankarim.blog.friendster.com>, diakses pada 22 April 2009
“Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara”, <http://pbb-
info.com>, diakses pada 22 April 2009
Shofwan Karim, “Muhammad Natsir (1908-1993)”,
<http://shofwankarim.blogspot.com>, diakses pada 22 April 2009
Nuim Hidayat “Mohammad Natsir : Antara Dakwah Islam dan Pesan Politik”,
Hidayatullah Online Ahad 29 Desember 2008, <http://www.hidayatullah.com>,
diakses pada 22 April 2009

41
07_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami sejarah Indonesia, memahami potensi Indonesia (geopolitik,
geoekonomi, geokultural,demografi), mengetahui sejarah dan perkembangan
Islam di Indonesia
Materi : Sejarah dan Perkembangan Islam di Indonesia
Referensi : Sejarah Pergerakan Politik Islam di Indonesia, Deliar Noer dan Lafran
Pane, Sejarah Muhammadiyah dan Nahdathul Ulama, Genealogi : Intelejensia
Muslim dan Kuasa, Yudhi Lathif

“Melihat Sejenak Persyarikatan Muhammadiyah”


Profil KH Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868
dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan
khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah
anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah,
keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim,
salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa, sejak kecil
Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di
tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama
kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat
membaca Quran. Menurut cerita, sejakIa belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh
dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga
adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut
dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur66.
Ahmad Dahlan juga belajar dengan para ulama di Arab Saudi ketika ia
sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai
Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan
Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga
pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Menurut
beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin
berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada tahun
1890,beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun
1889. Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia
seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek
dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten,
maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama
bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru
dalam diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab
yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan
lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu
aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf67.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh
Sa'id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu
ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad
Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah
ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan
berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia
dengan para Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti:
Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas

66 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009


67 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009
Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang. Berdasarkan koleksi
buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku
yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca
Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir
Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz Al-Ulum,Dairah Al Ma'arif karangan
Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah,Al Tawassul wa-al-Wasilah
karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyahkarangan Muhammad Abduh,
Izhar al-Haq karangan Rahmah al Hindi, Tafsshilal-Nasyatain Tashil al Sa'adatain,
Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, danAl-Qashaid al-Aththasiyvah karangan
Abd al Aththas68.

Bagaimana proses pembentukan Muhammadiyah?


Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-
keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin
semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang
ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq,
tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi
Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah.Walaupun begitu,
pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja,
dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping
itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau
satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu,seperti pengajian untuk para
guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at. Ahmad Dahlan
juga aktif dalam organisasi pergerakan yang lahir pada masa itu salah satunta
Budi Utomo. Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya
menjadi anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah
seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta.
Sementara itu,pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota
Jamiat Khair,organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan
mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di
dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan
tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern69.
Berinteraksi dengan kedua organisasi ini memberikan inspirasi dan gagasan
baru bagi Ahmad Dahlan. Oleh karena itu dia secara pribadi mulai merintis
pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama Islam
dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide
pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku
pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para
santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sekolah
tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad
Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru.
Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan
dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk
para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain moridan
papan tulis dibuat dari kayusuren. Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan
dengan anggota dan pengurusBudi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool
Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung
itu adalah : Mas Rajiyang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiharjo yang
menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan
mengembangkan sekolah tersebut sejak awal70.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi
Utomo Yogyakarta banyak memberikan saran tentang penyelenggaraan sebuah
68 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009
69 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009
70 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009

43
sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool
Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada
pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari
Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari
kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta para siswa Kweekschool
Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad. Sebagai realisasi dari
dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading
untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan
Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena
Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari.
Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus
bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat
yang lebih luas di serambi rumahnya71.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan
diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu
mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat
62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru
saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian
lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Pertama, perlu didirikan sebuah
organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan
mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus
organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan
anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa.
Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada
bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru
itu dilakukan dengan lebih intensif,melalui pertemuan-pertemuan yang secara
ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan
perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan
dengan pemerintah Hindia Belanda72.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama
yang berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."'Berdasarkan
nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi
Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara
itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu:
Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk
menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi
Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda
terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan
setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M
atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam
kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar
pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum.
Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu
pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial,
maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun
Kadipaten Pakualaman. Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh
Budi Utomo secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia

71 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009


72 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009
Belanda untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut
anggaran dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian,
Muhammadiyah merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran
agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura
serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat
9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai
sekretaris, Ahmad, AbdulRahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan
Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi
pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam73.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu
dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun
1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919
mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921
diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah
menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930
namanya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat. Muhammadiyah mendirikan
organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH.
A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga
menjadi pemimpinnya74.

Apa gagasan utama Ahmad Dahlan?


Gagasan Ahmad Dahlan adalah bagaimana dapatnya mengamalkan ayat-
ayat al-Qur`an. Dengan demikian Muhammadiyah sebagai organisasi senantiasa
diikhtiarkan untuk menjadi tempat untuk mengkaji Al-Qur`an sekaligus menjadi
tempat bermusyawarah untuk mengamalkannya. Oleh karenanya Muhammadiyah
tidak mungkin terpisah dari tiga prinsip yakni :pengkajian Al-Qur`an, musyawarah
dan amal,75
Dari tulisan KH. Ahmad Dahlan dan pengungkapan Haji Hajid tentang KH.
Ahmad Dahlan dalam berorganisasi berpegang pada prinsip:
a. Senantiasa menghubungkan diri (mempertanggungjawabkan tindakannya)
kepada Allah.
b. Perlu adanya ikatan persaudaraan berdasar kebenaran (sejati).
c. Perlunya setiap orang, terutama para pemimpin terus-menerus menambah ilmu,
sehingga dapat mengambil keputusan yang bijaksana.
d. Ilmu harus diamalkan.
e. Perlunya dilakukan perubahan apabila memang diperlukan untuk menuju
keadaan yang lebih baik.
f. Mengorbankan harta sendiri untuk kebenaran. Ikhlas dan bersih76.
Haji Hajid menuliskan pengalamannya sebagai murid Ahmad Dahlan dalam
risalah singkat berjudul falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan77, yakni tujuh poin yang
dapat dipetik, yaitu :
Pertama, Kerapkali KH. Ahmad Dahlan mengungkapkan perkataan ulama
(al-Ghazali pen) yang menyatakan bahwa manusia itu semuanya mati (mati
perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu
senantiasa dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal
pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih.
Kedua, Kebanyakan mereka di antara manusia berwatak angkuh dan
takabur mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. KH. Ahmad Dahlan heran

73 “Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009


74 “Sejarah Singkat Pendirian Persyarikatan Muhammadiyah”, <http://www.republika.co.id>, diakses pada 20 Juli 2009
75 Maman A. Madjid Minfas, “Muhammadiyah Versi Ahmad Dahlan : Gagasannya Yang Hampir Mati dan Terlupakan”, Majalah
Tabligh Vol. 01/No. 12/ Juli 2003, <http://muhammadiyah-online.or.id>, diakses pada 20 Juli 2009
76 Maman A. Madjid Minfas, “Muhammadiyah Versi Ahmad Dahlan : Gagasannya Yang Hampir Mati dan Terlupakan”, Majalah
Tabligh Vol. 01/No. 12/ Juli 2003, <http://muhammadiyah-online.or.id>, diakses pada 20 Juli 2009
77 Maman A. Madjid Minfas, “Muhammadiyah Versi Ahmad Dahlan : Gagasannya Yang Hampir Mati dan Terlupakan”, Majalah
Tabligh Vol. 01/No. 12/ Juli 2003, <http://muhammadiyah-online.or.id>, diakses pada 20 Juli 2009

45
mengapa pemimpin agama dan yang tidak beragama selalu hanya beranggap,
mengambil keputusan sendiri tanpa mengadakan pertemuan antara mereka, tidak
mau bertukar pikiran memperbincangkan mana yang benar dan mana yang
salah?.
Ketiga, Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali,
berulang-ulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang
dicintai. Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat
bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik
dari sudut atau i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada
yang akan merubah sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga.
Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar.
Keempat, Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus
bersama-sama menggunakan akal pikirannya untuk berpikir bagaimana sebenar-
nya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mempergunakan
pikirannya untuk mengoreksi soal itikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan
tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati.
Kelima, Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang
bermacam-macam membaca beberapa tumpuk buku dan sudah memper-
bincangkan, memikir-mikir, menimbang, membanding-banding kesana kemari,
barulah mereka dapat memperoleh keputusan, memperoleh kebenaran yang
sesungguhnya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan
menetapkan, inilah perbuatan yang benar.
Keenam, Kebanyakan para pemimpin belum berani mengorbankan harta
benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran.
Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mepermainkan, memperalat
manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.
Ketujuh, Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek), Dalam
mempelajari kedua ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja
belum bisa mengerjakan tidak perlu ditambah.
Adapun misi dakwah yang pertama dari Muhammadiyah adalah kembali ke
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammadiyah saw. Ia melihat, bahwa umat Islam
telah jauh melenceng dari apa yang digariskan oleh Nabi Muhammad saw. Pada
saat yang bersamaan, sistem pendidikan yang membuat mereka kembali ke
ajaran yang benar, masih minim jumlahnya. Karena itu, tugas Muhammadiyah,
selain memperbaiki keimanan melalui pendidikan, ia juga berdakwah dengan
karya nyata. Sebagai organisasi masyarakat yang berbasiskan agama, apalagi
ajarannya adalah untuk kembali pada sumber aslinya, Al-Qur’an dan Al-Hadist, di
tengah-tengah masyarakat yang berpesta dengan takhayul, bid’ah dan churafat
(TBC), bukan kecil hambatan, rintangan yang mesti dihadapinya. Bagi Ahmad
Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup
pemeluknya, kecuali dipraktikkan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut
dahlan, jika tidak dipraktikkan, tak bakal bisa mencapai tujuan bersama78.
Praktik amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang tersebut
dalam surah al-Ma’un yang secara tegas memberi peringatan kepada kaum
muslimin agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir miskin.
Aplikasi surah al-Ma’un ini adalah terealisirnya rumah-rumah yatim dan
menampung orang-orang miskin. Kondisi ini terjadi pada zaman penjajahan jepang
yang menerapkan institusi romusha, yang merupakan lembaga kerja paksa untuk
usaha perang Jepang di Indonesia. Akibat romusha ini banyak rakyat yang
meninggal dunia anak-anak menjadi yatim, jumlah janda semakin bertambah,
kemiskinan semakin melilit. Inilah yang mendorong Muhammadiyah akhirnya
mendirikan Penolong Kesengsaran Oemoem di Panarukan, Jawa Timur79.
78Herry Mohammad, Dkk, “Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20”, “K.H. Ahmad Dahlan : Pembaru Dari Kauman”,
Jakarta, Gema Insani Press, 2006
79 Herry Mohammad, Dkk, “Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20”, “K.H. Ahmad Dahlan : Pembaru Dari Kauman”,
Ketika menerapkan Al-Qur’an surah 26 ayat 80, yang menyatakan bahwa
Allah menyembuhkan sakit seseorang, Muhammadiyah mendirikan balai
kesehatan masyarakat atau rumah sakit. Lembaga ini didirikan, selain untuk
memberi perawatan pada masyarakat umum, bahkan yang miskin digratiskan,
juga untuk memberi penyuluhan, betapa pentingnya arti sehat. Berbagai bentuk
penyuluhan diselenggarakan, agar masyarakat bisa hidup secara sehat
sebagaimana diajarkan oleh Muhammad saw. Bila umat sehat, mereka akan jadi
produktif yang manfaatnya untuk keluarga, umat dan negara. Al-Qur’an surah 96
ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan
dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, buta huruf
diberantas. Bila umat tak lagi buta huruf, maka mereka akan mudah menerima
informasi lewat tulisan-tentang agamanya. Dari lembaga pendidikan ini muncul
pula bahan-bahan bacaan, dalam bentuk buku, koran dan sejenisnya. Dengan
mengetahui huruf rakyat akan mampu membaca, ketika sudah mampu membaca
maka rakyat dapat melihat dunia. Membaca adalah jendela dunia80.
Amal nyata Muhammadiyah yang dikomandoi oleh Ahmad Dahlan, tak
pernah lepas dari tiga unsur di atas : rumah yatim dan fakir miskin, rumah sakit
dan lembaga pendidikan. Dan itu terus dilakukan oleh generasi penerus
Muhammadiyah sampai kini. Akhirnya usaha keras yang dirintis Ahmad Dahlan
akhirnya berbuah juga. Muhammadiyah menjadi pelopor organisasi sosial
kemasyarakatan yang berbasiskan agama serta memiliki corak pembaruan yang
khas dan dinamis.

Referensi :
“Sejarah Muhammadiyah”, <http://www.mail-
archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com>, diakses pada 20 Juli 2009
“Sejarah Singkat Pendirian Persyarikatan Muhammadiyah”,
<http://www.republika.co.id>,
diakses pada 20 Juli 2009
Maman A. Madjid Minfas, “Muhammadiyah Versi Ahmad Dahlan : Gagasannya
Yang
Hampir Mati dan Terlupakan”, Majalah Tabligh Vol. 01/No. 12/ Juli
2003,<http://muhammadiyah-online.or.id>, diakses pada 20 Juli 2009
Herry Mohammad, Dkk, “Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20”, “K.H.
Ahmad Dahlan : Pembaru Dari Kauman”, Jakarta, Gema Insani Press, 2006

Jakarta, Gema Insani Press, 2006


80 Herry Mohammad, Dkk, “Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20”, “K.H. Ahmad Dahlan : Pembaru Dari Kauman”,
Jakarta, Gema Insani Press, 2006

47
08_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami sejarah Indonesia, memahami potensi Indonesia (geopolitik,
geoekonomi, geokultural,demografi), mengetahui sejarah dan perkembangan
Islam di Indonesia
Materi : Sejarah dan Perkembangan Islam di Indonesia
Referensi : Sejarah Pergerakan Politik Islam di Indonesia, Deliar Noer dan
Lafran Pane, Sejarah Muhammadiyah dan Nahdathul Ulama, Genealogi :
Intelejensia Muslim dan Kuasa, Yudhi Lathif

“Melihat Sejenak Jam’iyyah Nahdlatul Ulama”


Profil KH Hasyim Asyari
KH Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 adalah
anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama
Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya
VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja
Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir). Kakeknya, Kiai Ustman terkenal
sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa,
pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren
Tambakberas di Jombang. Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra
ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan
kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu
mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh
ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang
dimilikinya81.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia
berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren
Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis
(Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia
belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu. Pada
tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di
Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi dan Syekh
Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah
air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun
1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi
pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai
Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi
pengajaran Islam tradisional. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang
diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf
latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum,
berorganisasi, dan berpidato82.

Bagaimana Proses Pembentukan Nahdlatul Ulama


Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu
muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan
ide untuk mendirikan jamiyyah bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Sebelum
melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk
meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya. Pada awalnya, ide
pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang
didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul

81 “Kiai Hasyim Asy’ari : Ulama Pembaharu Pesantren”, <http://www.tokohindonesia.com>, diakses pada 31 Juli 2009
82 “Kiai Hasyim Asy’ari : Ulama Pembaharu Pesantren”, <http://www.tokohindonesia.com>, diakses pada 31 Juli 2009
Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai
Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh
umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik.
Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk
jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang
ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yang sangat berpengaruh di Jawa
Timur. Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah.
Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal
sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati
dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia
tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena
itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul
Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang
masih terhitung cucunya sendiri83.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim.
Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan
utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad
segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil
untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya
menyerahkan tongkat. Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan.
Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah
selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan
lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian
As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-2384. Setelah mendengar ayat tersebut
dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat
bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai
lainnya untuk mendirikan jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan
jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai
Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan
jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya,
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan
perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak
terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada
Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga.
Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh
Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud
“sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam. Sampai pada suatu
hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus
dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan
tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk
mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua
Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan
isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya
mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar
niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang
hendak menggagalkannya. Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang
memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti
terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti
yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak
bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun).
83 Moh. Syaiful Bakhri, “Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU”, Buletin Nahdliyah Edisi 1-2/September-Oktober 2006,
<http://serbasejarah.wordpress.com>, diakses pada 20 Juli 2009
84 Moh. Syaiful Bakhri, “Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU”, Buletin Nahdliyah Edisi 1-2/September-Oktober 2006,
<http://serbasejarah.wordpress.com>, diakses pada 20 Juli 2009

49
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di
lawang Agung Ampel Surabaya, pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang
diberi nama "Jam’iyyah Nahdlatul Ulama". Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'
dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan
Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di
seluruh dunia pada umumnya, disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi
yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh
Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia85.
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama
Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat
lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar
bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap
Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini
sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk
meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa
gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh
Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya,
Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih
lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya. Setelah memandang
gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif:
“Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu
ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya
tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang
mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai
Nawawie86.

Pengaruh Nahdlatul Ulama Terhadap Perjuangan Kemerdekaan


Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M,
Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu
melaksanakan tugas-tugas yang berat, maupun tugas yang diharapkan oleh
ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:
1. Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al
Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU,
seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres
tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said
Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke
Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi
Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan utusan
yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan
KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil
dengan baik.
Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke
Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M. nomor: 2082, yang
isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat
satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama
Islam menurut paham yang dianutnya.

2. Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir,
Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana
pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
85 Drs KH Achmad Masduqi, “Riwayat Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’”, <http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com>,
diakses pada 20 Juli 2009
86 Moh. Syaiful Bakhri, “Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU”, Buletin Nahdliyah Edisi 1-2/September-Oktober 2006,
<http://serbasejarah.wordpress.com>, diakses pada 20 Juli 2009
1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang
isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-
hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
2. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale
Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga
negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
4. Dan lain-lainnya.

Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik,


namun yang ditangani adalah persoalan politik. Pada tanggal 5 September 1929
Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah
Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari
Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: " Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31
Januari 1926. Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama mendapat sambutan
dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari
madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan,
sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara
lain87:
1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru
dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus
Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai
tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh
dalam menghadapi tantangan dari luar

Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan


masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk membentuk kader-
kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-
keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938,
atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan
konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk
menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah,
disamping sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang
didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu88:
• Madrasah Umum, yang terdiri dari:
o Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
• Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
o Madrasah Qudlat (Hukum).
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira'ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.

87 Drs KH Achmad Masduqi, “Riwayat Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’”, <http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com>,


diakses pada 20 Juli 2009
88 Drs KH Achmad Masduqi, “Riwayat Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’”, <http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com>,
diakses pada 20 Juli 2009

51
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang
dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh
ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru
saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan
merampas kemerdekaan Indonesia. Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkan fatwa bahwa mempertahankan dan
membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya. Seruan dan ajakan NU
serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat
Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga
mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya
dalam peristiwa 10 November '45.
Fatwa Jihad tersebut antara lain berisi : 1) Kemerdekaan Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan, 2) Republik
Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong,
3) Musuh Republik Indonesia, yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan
bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer
untuk menjajah kembali Indonesia, 4) Umat Islam, terutama anggota NU harus
mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah
Indonesia kembali, 5) Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan
kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, sedangkan
mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material
terhadap mereka yang berjuang89.
Fatwa jihad ini mendapatkan sambutan yang luar biasa dari segala lapisan
masyarakat, bakan Bung Tomo seorang tokoh utama dari Barisan Pemberontak
Republik Indonesia meminta dukungan dan menggunakan fatwa KH Hasyim
Asy’ari untuk melakukan perlawanan bersenjata melalui siaran radio. Melalui radio
pula Bung Tomo memompa semangat arek-arek Suroboyo yang punya semboyan
lebih baik berjuang dan mati daripada hidup kembali dijajah. Pompaan semangat
ini bagaikan api disiram dengan minyak ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan
fatwa jihadnya. Yang kemudian kita mengenal “Pertempuran 10 November”
sebagai salah satu pertempuran rakyat Indonesia yang paling heroik sepanjang
masa sehingga diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap tahunnya.
Kontribusi yang diberikan NU dalam menegakkan perjuangan kemerdekaan
Indonesia tidaklah kecil. KH Hasyim Asy’ari dapat membuktikan bahwa ulama
tidak berdiri saja di belakang hijab dan meninggalkan medah jihad. Keutuhan
sikap ini menjadikan inspirasi besar bagi kita bahwa dakwah Islam tidaklah
sekuler, menunjukkan bahwa dakwah Islam adalah syumul (sempurna). Dimana
terdapat dakwah dan jihad, adanya ekspresi nyata dari dakwah Islam yang bisa
diaplikasikan riil di masyarakat. Semoga kisah perjuangan “Jamiyyah Nahdlatul
Ulama” memberikan inspirasi besar bagi aktivitas amal siyasi ikhwah sekalian.

Referensi :
“Kiai Hasyim Asy’ari : Ulama Pembaharu Pesantren”,
<http://www.tokohindonesia.com>, diakses pada 31 Juli 2009
Moh. Syaiful Bakhri, “Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU”, Buletin Nahdliyah Edisi
1-2/September-Oktober 2006, <http://serbasejarah.wordpress.com>, diakses pada
20 Juli 2009
Drs KH Achmad Masduqi, “Riwayat Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’”,
<http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com>, diakses pada 20 Juli 2009
Herry Mohammad, Dkk, “Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20”, “K.H.
Hasyim Asy’ari : Fatwa Jihad Sang Ulama”, Jakarta, Gema Insani Press, 2006

89 Herry Mohammad, Dkk, “Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20”, “K.H. Hasyim Asy’ari : Fatwa Jihad Sang Ulama”,
Jakarta, Gema Insani Press, 2006
09_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami manhaj dakwah kampus
Materi : Manhaj dakwah kampus
Referensi : Risalah Pergerakan Pemuda Islam, Musthafa Muhammad Thahan

“Memahami Manhaj Dakwah Kampus”


Definisi Dakwah Kampus
Dakwah kampus merupakan bagian dari aktvitas amal dakwah di lingkup
kepemudaan atau disebut dengan amal thullabi. Dimana Musthafa Muhammad
Thahan menjelaskan maknanya dengan, “Ketika sekelompok pelajar/mahasiswa
bergerak dalam satu amal yang terpadu menuju kebangkitan ummat, maka
aktivitas dan gerakan mereka disebut dengan amal thullabi90”. Selain itu Dakwah
Kampus adalah dakwah ammah harokatudz dzahiroh dalam lingkup perguruan
tinggi. Dakwah yang sifatnya terbuka, berorientasi kepada rekrutmen dakwah di
kalangan civitas akademika secara umum, dan aktivitasnya dapat dirasakan oleh
civitas akademika. Civitas akademika yang dimaksud di sini adalah para
mahasiswa dan dosen perguruan tinggi. Civitas akademika merupakan bagian dari
masyarakat kampus yang hidup dengan peraturan, ada peraturan kampus
(rektorat), peraturan ormawa, dan sebagainya. Sehingga untuk dapat
mengejewantahkan dakwah ammah harokatudz dzahirah tersebut, maka prinsip
'legal', 'formal', dan 'wajar' dalam kacamata civitas akademika, menjadi hal yang
perlu diperhatikan oleh Dakwah Kampus. Salah satu derivasi dari hal ini, maka
biasanya sebuah lembaga dakwah kampus perlu membuat AD/ART sebagai bagian
dari bentuk legalisasi organisasi dakwah kampus di sebuah perguruan tinggi91.

Keistimewaan Da’wah Kampus92


Mengapa dakwah kampus menjadi istimewa? Karena kampus adalah
tempat berkumpulnya para pemuda (yaitu mahasiswa) dalam waktu yang cukup
lama baik di dalam maupun di luar ruang kuliah dimana mereka saling
berdiskusi/berdialog, berinteraksi dan tukar pengalaman. Selain itu dunia kampus
adalah tempat yang bebas dimana berbagai aliran dapat mengungkapkan
pendapatnya. Kampus juga merupakan gudang ilmu dan rumah penelitian ilmiah,
maka ia adalah sarana ummat untuk membangun peradaban dan menguasai serta
memanfaatkan kemajuan. Dengan demikian dakwah kampus adalah tempat yang
paling strategis untuk mencetak kader dan meluluskan tokoh serta pemimpin
masyarakat di segala bidang dimana amal thullabi di kampus adalah aktivitas
yang meluas di seluruh dunia. Setiap negara memiliki puluhan bahkan ratusan
universitas dan institut dengan jutaan mahasiswa dan mahasisiwinya. Dimana
para mahasiswa memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan dosen, pejabat
fakultas dan universitas, tokoh masyarakat dan negara melalui ceramah, seminar
dan kuliah umum yang kesempatan ini tidak dimiliki secara luas oleh lapisan
masyarakat lainnya. Penulis juga mencatat beberapa keistimewaan dakwah
kampus lainnya, yaitu :
1. Mahasiswa adalah cadangan masa depan (iron stock)
2. Mahasiswa adalah unsur pengubah (agent of change)
3. Kampus adalah pusat rujukan (center of reference)
4. Kampus adalah pusat aktifitas (center of activity)
5. Kampus adalah pusat gerakan (center of movement)

Medan Dakwah Kampus


90 Musthafa Muhammad Thahan, “Risalah Pergerakan Pemuda Islam”, Jakarta, Penerbit VISI, 2002
91 “Urgensi Dakwah Kampus”, <http://saliqilman.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
92 Musthafa Muhammad Thahan, “Risalah Pergerakan Pemuda Islam”, Jakarta, Penerbit VISI, 2002

53
Untuk menjalankan roda Dakwah Kampus, maka dibutuhkan personil-
personil, yaitu Aktivis Dakwah Kampus (ADK). ADK adalah kader dakwah dan
tarbiyah yang memiliki peran dalam Dakwah Kampus. Peran yang dilakukan bisa
berupa sebagai pengurus lembaga dakwah kampus, murobbi kampus, dan
sebagainya. Peran ADK ini bisa dijalankan oleh kader dakwah yang bertitel
mahasiswa, atau dosen, atau kader dakwah lainnya yang bersinggungan dengan
Dakwah Kampus. Mereka harus dapat bergerak bersama-sama dalam koridor
strategi dakwah kampus yang bersangkutan. Secara sederhana medan dakwah
kampus dapat dibagi kepada beberapa obyek, yaitu :
1. Civitas akademika
2. Pejabat dan pegawai
3. Alumni perguruan tinggi
4. Lembaga kemahasiswaan
5. Institusi perguruan tinggi
6. Institusi pemerintah terkait
7. Institusi kerjasama antar perguruan tinggi
8. Peraturan perundangan yang terkait
9. Kurikulum dan system administrasi perguruan tinggi
10.Sarana dan prasarana kampus.
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, dalam pergerakannya dakwah
kampus memiliki medan tersendiri. Medan pergerakan dakwah kampus adalah
area di mana dakwah kampus mengaktualisasikan diri. Medan Dakwah Kampus
yaitu lingkungan internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap dakwah
kampus, meliputi manusia-manusianya (para civitas akademika, pejabat dan
pegawai kampus, alumni), sarana-sarananya (lembaga kemahasiswaan, institusi
perguruan tinggi, institusi pemerintah terkait, institusi kerjasama antar perguruan
tinggi), dan aturan main yang berlaku (peraturan perundangan terkait, kurikulum
dan sistem administrasi perguruan tingggi), serta sarana dan prasarana kampus.
Dan yang terakhir dalam kajian ini adalah tujuan Dakwah Kampus, terakhir dan
sangat penting. Karena tujuan dakwah kampus harus selalu menjadi satu hal yang
terus diingat oleh para ADK, agar mereka tahu ke mana arah dakwah kampus
berjalan93.

Tujuan Dakwah Kampus


Tujuan utama dari Dakwah kampus adalah adanya suplai alumni yang
berafiliasi kepada Islam, dan optimalisasi peran kampus dalam upaya
mentransformasi masyarakat menuju masyarakat Islami. Derivasi dari hal ini maka
peran tarbiyah kampus yang berkesinambungan - untuk menghasilkan alumni-
alumni yang berafiliasi kepada Islam - menjadi sangat penting. Derivasi lainnya,
lembaga dakwah kampus perlu secara bertahap menjadi lembaga dakwah kampus
yang matang, agar dapat memainkan perannya di perguruan tinggi yang
bersangkutan untuk dapat mengusung perubahan. Mengenai tahapan dakwah
kampus ini perlu kajian tersendiri. Diantaranya misi dakwah kampus adalah :
1. Pembelajaran/pengkaryaan akademik
2. Kaderisasi
3. Nashrul fikroh
4. Optimalisasi lembaga-lembaga intra dan ekstra
5. Pencitraan publik
6. Perluasan jaringan
Dakwah kampus adalah bagian besar dari ekskalasi perbaikan peradaban
(marotibul amal) dimulai dari perbaikan individu, dimana individu ini akan
membangun sebuah keluarga, lalu kumpulan keluarga ini akan membentuk dan
bergabung dalam masyarakat dan menjadi bagian dalam perbaikan negara. Tahap
93 “Urgensi Dakwah Kampus”, <http://saliqilman.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
terakhir adalah bagaimana kumpulan negara yang ada akan membangun sebuah
era baru peradaban Dunia (Ustadziyatul Alam). Peran dakwah kampus dalam
tahapan ini menekankan pada perbaikan individu dan masyarakat. Dakwah
Kampus bukan aktifitas organisasi biasa, ini adalah bagian dari pembangunan
peradaban. Sehingga Anda perlu serius dalam mengerjakan dakwah kampus ini.
Semakin banyak mahasiswa yang tercerahkan akibat dakwah yang dilakukan,
maka akan sangat bermanfaat untuk perbaikan bangsa ke depannya. Untuk itu
perlu kiranya kita memahami tujuan dakwah kampus, yakni94 :
1. Suplai alumni yang berafiliasi terhadap Islam, bagaimana dakwah kampus
mampu mensuplai dan mencetak alumni yang punya afiliasi terhadap Islam.
Paramater afiliasi disini adalah seorang tidak menolak kebaikan dan
menolak kemungkaran, serta tidak menentang ajaran Islam.
2. Transformasi masyarakat menjadi masyarakat madani. Perbaikan
masyarakat kampus dengan pembinaan di segala bidang, dengan harapan
dapat membentuk masyarakat madani. Untuk membangun masyarakat
madani di masyarakat luas, dapat dimulai dengan membangun masyarakat
madani pada tingkat kampus.
3. Penyedia unsur-unsur perbaikan negara, yakni bagaimana dakwah kampus
mampu mempersiapkan para mahasiswa untuk masuk ke salah satu dari
tiga sektor ( publik, swasta, masyarakat ). Dimana ia tidak hanya disiapkan
secara kompetensi, akan tetapi juga disiapkan secara pemahaman dakwah.
Sehingga perbaikan negara dapat dilakukan secara bottom up.

Sasaran Dakwah Kampus95


Untuk mencapai tujuan di atas, ada beberapa sasaran antara yang harus
dicapai terlebih dahulu. Sasaran tersebut antara lain:
1. Terbentuknya bi’ah (lingkungan) yang kondusif bagi kehidupan Islami di
kampus, baik dalam sisi moral, intelektual, maupun tanggungjawab sosial.
Kita tahu bahwa kampus adalah lingkungan yang heterogen. Ketika
berinteraksi di dalamnya, maka butuh kekuatan untuk menjaga idealisme
dengan tetap memperhatikan realitas. Hal ini berarti dakwah kampus
memerlukan sebuah lingkungan kecil yang senantiasa dapat terus men-
charge ruhiyah para ADK di tengah-tengah aktivitasnya di kampus. Sarana
untuk itu adalah tarbiyah yang berkesinambungan untuk para ADK dan
yang didakwahkannya.
2. Terbentuknya opini ketinggian Islam di kalangan kampus. Oleh karena itu
syiar dalam mengkampanyekan kemuliaan Islam harus terus dilakukan
secara rutin. Sarana-sarana syiar untuk ini cukup banyak, misalnya majalah,
perpustakaan, peringatan hari besar Islam, tabligh akbar, dan sebagainya.
Barangkali bisa kita diskusikan mengenai hal ini dalam kajian tersendiri.
3. Terbentuknya kesinambungan barisan pendukung dakwah. Untuk itu,
tarbiyah yang berkesinambungan di setiap angkatan mahasiswa harus
dipastikan berjalan. Ini membutuhkan sebuah lajnah yang dapat mengawasi
itu dalam jangka panjang.
4. Terbentuknya hubungan timbal balik yang sinergis antara dakwah ammah
dengan pengkaderan. Artinya, semua rekrutmen-rekrutmen dakwah
diupayakan dapat dilanjutkan dengan proses dakwah secara khusus
terhadap orang-orang yang direkrut tersebut.
5. Demikian kajian singkat mengenai definisi dasar dan tujuan dakwah
kampus. Semoga dapat menjaga orisinalitas dakwah kampus di tengah-
tengah proses perubahan yang semakin cepat.

94 Ridwansyah Yusuf Achmad, “Urgensi Dakwah Kampus”, <http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com>, diakses pada 10


Agustus 2009
95 “Urgensi Dakwah Kampus”, <http://saliqilman.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009

55
Capaian Strategis Dakwah Kampus
Perbaikan Individu, Individu atau mahasiswa dalam konteks dakwah kampus
perlu dibina sejak dini agar ia sebagai pribadi memiliki kepahaman keislaman yang
komprehensif. Sebagai seorang pria , ia akan menjadi seorang kepala keluarga
yang akan memimpin sebuah keluarga dan menjadi teladan bagi anak-anaknya. ,
begitu pula dengan seorang perempuan yang akan menjadi sosok Ibu untuk
keluarganya. Dimana ia akan mendidilk anak-anaknya untuk menjadi seorang
yang berdedikasi terhadap umat. Selain itu seorang individu juga dituntut untuk
mampu mengoptimalkan segala potensinya agar ia dapat menjadi da’i dimana pun
ia berada. Kemampuan seseorang untuk mempengaruhi lalu mengubah sesuatu.
Seorang kader dakwah yang terkibat dalam dakwah kampus diharapkan mampu
memiliki tujuan hidup sejak dini. Ia diharapkan mampu menentukan what am i
going to be ? dan membuat langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk
mencapai tujuannya. Kita juga diharapkan dapat memikirkan tentang
problematika umat yang terjadi dan dengan potensi yang kita miliki, kita dapat
menjadi solusi perbaikan umat, baik secara parsial maupun integral.
Perbaikan Negara, Mahasiswa setelah lulus akan terlibat dalam struktur
sosial masyarakat. dalam bentuk ia bekerja di bidangnya masing-masing. Ada
mahasiswa yang nantinya akan menjadi dosen, profesional, birokrat, seniman, dan
lainnya yang akan menjadi unsur perbaikan bangsa dalam masyarakat. nantinya
mahasiswa akan masuk dalam salah satu dari 3 sektor, antara (1) sektor publik
yang terdiri dari birokrat, PNS, TNI/Polri, atau Diplomat. (2) sektor swasta yang
biasanya di isi oleh para profesional atau menjadi seorang wirasusaha, dan (3)
sektor masyarakat yang terdiri dari LSM, social workers,dan yayasan. Dengan
semakin banyaknya mahasiswa yang memiliki keseimbangan antara fikriyah,
jasadiyah, dan ruhiyah mengisi pos-pos dalam masyarakat ini, secara bertahap
akan mampu mengubah strukur masyarakat di negara ini.

Referensi :
Musthafa Muhammad Thahan, “Risalah Pergerakan Pemuda Islam”, Jakarta,
Penerbit VISI, 2002
Said Hawwa, “Membina Angkatan Mujahid : Studi Analitis atas Konsep Dakwah
Hassan Al-Banna dalam Risalah Ta’alim”, Solo, Era Intermedia, 2005
“Urgensi Dakwah Kampus”, <http://saliqilman.blogspot.com>, diakses pada 10
Agustus 2009
Ridwansyah Yusuf Achmad, “Urgensi Dakwah Kampus”,
<http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
10_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami urgensi, kaifiat, adab, dan efektifitas amal jama’i dan syura
Materi : Amal jama’i dan syura dalam harokah Islam
Referensi : Ats Tsawabit wal Mutaghayirat, Jum’ah Amin Abdul Azis, Amal Jama’i
Karya Musthafa Masyur, Prinsip-prinsip Gerakan Dakwah

“Amal Jama’i dan Syura : Dasar Untuk Bergerak”


Jama'ah adalah sarana yang paling tepat untuk menyatukan individu-
individu yang memiliki kesamaan visi dan tujuan. Jamaah juga digunakan untuk
menyederhanakan perbedaan orang-perorang. Kehebatan dan kecerdasan
individu tidak akan pernah mengalahkan kecerdasan dan kehebatan kolektif. Dari
sini, diharapkan timbul kesadaran bahwa tidak ada orang yang dapat melakukan
segalanya atau menjadi segalanya. Mereka yang hebat dan 'jago' harus berkumpul
dan bekerjasama untuk sebuah cita-cita mulia. Dengan demikian, kehadiran
sebuah jama'ah adalah sesuatau yang niscaya.
Amal jama'i adalah amal yang dilakukan secara berjama'ah atau yang
diatur dalam sebuah kelembagaan (Tanzhim). Dan yang perlu pula diperhatikan
hal-hal yang menyangkut masalah amal jama'i, yaitu ma'alin (rambu-rambu)
dalam masalah amal jama'I karena hal ini merupakan satu topik yang sangat
dibutuhkan oleh kita. Amal jama'i adalah sesuatu yang sangat urgen untuk
dipelajari dalam kehidupan kita karena banyak dalam Al-Qur'an maupun hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan keutamaan atau
pentingnya amal jama'i tersebut. Demikian pula dengan kenyataan yang kita lihat
di lapangan yang menunjukkan kepada kita tentang pentingnya melakukan amal
jama'i, bahkan banyak diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung
menunjukan tentang pentingnya hal tersebut. Tujuan utama dari amal jama'i
adalah agar kita lebih mempunyai kekuatan dalam menggerakkan sesuatu
ataupun mencapai ujuan tertentu. Dalam berdakwahpun Rosululloh tidak pernah
melakukannya secara sendirian, ada ashabiqunal awalun ataupun sahabat yang
senantiasa membantu beliau dalam mnegakkan kalimatullah. Oleh karena itu
selama tujuan kita dalam amal jama'i seperti yang kita sebutkan tadi maka wajib
bagi kita untuk mengamalkan/ merealisasikan masalah amal jama'i tersebut,
menggiatkan at- Ta'awun (kerjasama), persaudaraan dan saling tolong menolong
antara yang satu dengan yang lain diantara kita ummat Islam.
Jika kita ingin mengangkat agama yang mulia ini dan mengumpulkan umat
ini maka kita harus melakukan amal jama’i tersebut dimana dalam Al-Qur'an dan
hadits-hadits Rosulullah SAW, banyak terdapat dalil-dalil yang bersifat umum yang
menunjukkan tentang urgensinya. Diantaranya firman Allah dalam Al-Qur'an:
“Wahai orang-orang yang beriman”. Ini adalah merupakan panggilan syar'i
(khitabusyar'I) dalam bentuk jamak, jadi Allah tidak memanggil orang perorang
dari hamba-hambaNya tetapi Allah memanggil mereka yang beriman secara
keseluruhan. Begitu pula dalam firman Allah yang lain: “Wa'tasimu bihablillahi
jami'an walaa tafarraqu” , “dan berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah
dan janganlah kalian bercerai berai”, Allah menyebutkan perintah ini dalam
bentuk jamak dan dalam ayat yang lain, “Wata'aawanu ‘alal birri wattaqwa” dan
“tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah”, juga
dalam firman Allah, di sini disebutkan bahwa kebaikan itu bisa dicapai bersama-
sama. Manusia bisa melakukan kebaikan secara individual, akan tetapi kebaikan
secara kolektif akan menimbulkan dampak yang jauh lebih besar.
“Waltakun Minkum Ummatun yad'uuna ilal khair “ “Dan hendaklah ada
diantara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan”. Disini kata
Ummah datang dalam bentuk jamak sebagaimana firman Allah “Kuntum Khaira

57
Ummah ukhrijat Linnasi ta'muruna bil ma'ruf watanhawuna anil munkar.” Dalil
dalil yang disebutkan ini asalnya dari Al-Qur'anul Karim adalah merupakan
panggilan yang bersifat jamak kepada hambahambaNya dan dari sinilah kita dapat
mengambil pelajaran bahwa dengan amal jama'i tersebut akan menyebabkan
sebuah amalan itu mengalami perkembangan, karena sesungguhnya tolong
menolong atau mengikat antara satu dengan yang lain, dan saling membantu
adalah merupakan salah satu diantara karakteristik agama Islam dan tidak
mungkin urusan ini diatur secara orang per-orang. Dibutuhkan ta'awun antara satu
dengan yang lain oleh karenanya di sinilah pentingnya amal jama'i tersebut.
Amal jama’i haruslah sistemik, berpijak di atas qiyadah (kepemimpinan)
yang bertanggungjawab, basis yang kokoh, persepsi yang jelas, dan diatur
keputusan, hubungan antara qiyyadah dengan jundi (prajurit) atas dasar
syuro(musyawarah) yang mengikat, atas dasar ketaatan yang penuh kesadaran
serta pemahaman. Di dalam amal jama’i, terdapat beberapa kaidah-kaidah wajib
yang harus dilakukan ketika dilakukan akan dilakukan pengambilan keputusan.
Keputusan jama’ah diambil lewat mekanisme syuro. Syuro merupakan nilai-nilai
islam yang tinggi. Syuro merupakan kewajiban yang syari dan secara prinsipil
merupakan bagian dari Islam. Karena Alloh SWT memerintahkan syuro
sebagaimana diperintahkannya shalat dan zakat. “Dan orang-orang yang
menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka ” (Q.S. As Syuura :38)
Syuro mengindikasikan adanya mekanisme yang bertanggung jawab.
Keputusan syuro adalah hasil kesepakatan bersama, sehingga wajib dilaksanakan
bersama pula. Dalam ilmu ekonomi modern, seorang manajer sebaiknya
melibatkan karyawannya dalam mengambil sebuah keputusan karena yang
demikian itu akan lebih membawa maslahat dan tanggung jawab bagi semua,
sehingga dalam menjalankan program kerja, ada rasa memiliki. Syuro adalah
mekanisme pengambilan keputusan yang sangat ideal untuk diterapkan di setiap
masa. Ketika dahulu Rasulullah SAW mengadakan syuro dengan para shahabat
tentang strategi menghadapi balasan kaum Quraisy, keputusan yang didapatkan
adalah menyongsong musuh di medan perang. Padahal secara pribadi Rasululloh
SAW lebih cenderung untuk menunggu musuh masuk kota Madinah dan
menjalankan taktik perang kota. Jelas sekali bahwa memang tidak ada wayhu
untuk menentukan bentuk taktik menghadapi seruban lawan, karena itulah
Rasulullah SAW menggelar syuro dengan para shahabat. Seandainya ada wahyu,
tidak akan terjadi syuro.
Syuro berisi diskusi, menggodok berbagai pandangan dalam urusan-urusan
masyarakat, dan membahas berbagai persoalan umat yang berkaitan dalam
penyelesaiannya. Lalu melakukan kristalisasi gagasan antar individu guna
mencapai keputusan yang paling utama, tepat, dan paling dekat dengan
kemaslahatan umat. Syuro bersifat wajib dan mengikat. Tidak boleh ada yang
membangkang atas keputusan syuro hanya karena opini pribadi yang menilai
salah atas keputusan. Karena pada hakikatnya yang dinilai dari syuro buakanlah
semata dari hasilnya, akan tetapi dari prosesnya juga. Syuro yang dilaksanakan
secara syar’i atas gagasan-gagasan syar’i, penuh keseriusan dan keteguhan,
senantiasa disiplin dan ikhlas ketika dihasilkan suatu keputusan, Insyaalah akan
menghasilkan keputusan yang ahsan.
11_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Memahami esensi kepemimpinan
Materi : Kepemimpinan
Referensi : Jundullah “Mengenal Intelektualitas dan Akhlak Tentara Allah”, Said
Hawwa, Al-Qidayah Wal Jundiyah, Karya Musthafa Masyur

“Karakter Kepemimpinan Islam”


Salah satu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar kehidupan
mereka berjalan dengan baik dan lebih baik lagi adalah pemimpin yang baik.
Karena itu, kehadiran pemimpin yang baik selalu dirindukan oleh masyarakat,
termasuk masyarakat kita sekarang. Yang menjadi persoalan kita kemudian
adalah seperti apa pemimpin yang baik itu?. Al-Qur'an ternyata menceritakan
tentang banyak pemimpin yang salah satunya adalah Zulkarnain. Belajar dari
Zulkarnain, kita bisa menemukan kriteria pemimpin yang sejati, begitu yang
dikemukakan Allah Swt di dalam surat Al Kahfi. Dari kisah yang dikemukakan Allah
Swt tentang Zulkarnain, kita memang tidak mendapat penjelasan tentang siapa
Zulkarnain, dimana tempatnya dan kapan semua itu terjadi. Hal itu memang tidak
terlalu penting, karena yang terpenting adalah pelajaran apa yang bisa diambil
darinya. Yang jelas, kata Sayyid Quthb, dia bukanlah raja Alexander Zulkarnain
yang animisme. Namun Sayyid Quthb juga mengutip pendapat Abu Raihan al
Biruni -meskipun bukan sebuah kemutlakan- yang menyatakan bahwa Zulkarnain
berasal dari Humair, nama aslinya Abu Bakar bin Ifriqisy. Dia berkelana bersama
tentaranya ke pantai laut putih tengah, dia melampaui Tunis dan Maroko, dia
membangun kota Afrika hingga benua itupun disebut Afrika. Dia dijuluki dua
tanduk (bukan karena kepalanya bertanduk,red) tapi karena dia berhasil mencapai
dua tanduk matahari, yakni Timur dan Barat. Ada beberapa pelajaran yang dapat
kita tangkap dari kisah Zulkarnaian, khususnya dalam konteks kepemimpinan
yang sangat kita dambakan adanya pemimpin yang mulia sehingga membawa
keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa. Empat karakter yang
idealnya dimiliki oleh pemimpin muslim, adalah : a) Berkuasa tapi tidak sombong,
b) Melayani rakyat, c) Menegakkan keadilan, d) Berorientasi pada kebaikan
Berkuasa tapi tidak sombong, Zulkarnain adalah raja yang memiliki
kekuasaan yang besar dengan tentaranya yang kuat sehingga ia bisa
mengembara ke Timur dan ke Barat, namun dengan kekuasaannya itu ia tidak
menyombongkan diri. Sayyid Quthb menyatakan bahwa Zulkarnain menuju kearah
Barat hingga sampai ke satu titik di pantai Samudera Atlantik yang dinamai
dengan Laut Gelap. Ia menganggap telah mencapai akhir daratan di titik itu dan
melihat matahari tenggelam di di situ, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya Kami
telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan
kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. Maka diapun menempuh suatu
perjalanan. Hingga apabila telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia
melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam (QS 18:84-86).
Ketika ia mendapati segolongan umat yang telah pasrah kepadanya, ia
justeru tidak berniat untuk menzalimi mereka dan mengambil keuntungan duniawi
dari mereka, padahal Allah Swt memberikan pilihan kepadanya mau berbuat baik
atau buruk. Namun ia justeru mengajak mereka kepada iman dan amal shaleh,
Allah Swt berfirman: dan dia mendapati disitu segolongan umat. Kami berkata: Hai
Zulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.
Berkata Zulkarnain: adapun orang yang menganiaya, maka kami kelak akan
mengazabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan
mengazabnya dengan azab yang tiada taranya. Adapun orang yang beriman dan
beramal shaleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan

59
kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.
Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke
tempat terbit matahari (sebelah timur), dia mendapati matahari itu menyinari
segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang
melindunginya dari (cahaya) matahari itu. Demikianlah, sesungguhnya ilmu Kami
meliputi segala apa yang ada padanya (QS 18:86-91).
Melayani rakyat, Pemimpin yang baik adalah pelayan bagi masyarakat yang
dipimpinnya, karena Zulkarnain yang memiliki kekuasaan menunjukkan klasnya
sebagai pemimpin yang sejati dengan melayani dan melindungi rakyatnya, bahkan
tanpa meminta pembayaran sekalipun meskipun mereka mau membayarnya. Hal
ini nampak ketika dalam pengembaraannya, Zulkarnain mendapati suatu umat
yang sangat terbelakang sehingga mereka hampir tidak mengerti pembicaraan,
bahkan mereka sendiri dalam keadaan terancam dari Ya'juj dan Ma'juj yang suka
melakukan kerusakan di muka bumi. Maka Zulkarnain melibatkan semua
komponen masyarakat untuk membangun tembok yang sangat kuat yang terbuat
dari besi dan tembaga yang dibangun diantara dua gunung dengan ketinggian
mencapai puncak gunung sehingga tertutup bagi Ya'juj dan Ma'juj untuk
memasuki wilayah penduduk itu sehingga keberadaan (eksistensi) mereka bisa
dipertahankan.
Dengan keberhasilan itu, Zulkarnain tetap menyadari kelemahannya karena
semua itu adalah karunia Allah Swt, Allah Swt menceritakan hal ini dalam firman-
Nya: Kemudian dia menempuh jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia sampai
diantara dua buah gunung, dia mendapati dihadapan kedua bukit itu suatu kaum
yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: Hai Zulkarnain:
sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka
bumi. Maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya
membuat dinding antara kami dan mereka?. Zulkarnain berkata: Apa yang telah
dikuasakan Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku
dengan kekuatan (manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding antara
kamu dan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila besi telah
sama rata dengan dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Zulkarnain:
"Tiuplah (api itu)" hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api,
diapun berkata: Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas
besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula)
melobanginya. Zulkarnain berkata: Ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila
sudah dating janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji
Tuhanku itu adalah benar (QS 18:84-98)
Menegakkan keadilan, Memberantas Kezaliman. Kesediaan Zulkarnain
membangun tembok yang kuat dari besi dan tembaga guna melindungi
masyarakat dari ganguan Ya'juj dan Ma'juj menunjukkan bahwa ia adalah
pemimpin yang sangat memberi perhatian kepada rakyat untuk memperoleh
keadilan dan terbebas dari segala bentuk kezaliman. Oleh karena itu, para
pemimpin dari level terendah hingga level tertinggi seharusnya berupaya untuk
menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman, bukan malah bersekongkol
dengan orang-orang yang melakukan kezaliman. Pemimpin yang menegaakkan
keadilan dan memberantas kezaliman akan dikenang sepanjang masa sebagai
pemimpin yang baik, begitulah yang dialami oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang
khalifah yang memimpin tidak sampai tiga tahun dan tidak diabadikan di dalam Al-
Qur'an, namun sejarah tidak melupakan jasanya dalam memimpin sehingga
keadilan yang ditegakkan dan kezaliman yang diberantas membuat kesejahteraan
dan kedamaian rakyatnya tercapai hingga pada masanya sulit untuk mencari
mustahik (orang yang berhak menerima zakat).
Berorientasi pada kebaikan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
selalu berorientasi pada kebaikan karena itu Zulkanain mengarahkan masyarakat
yang didatanginya dalam pengembaraan untuk beriman dan beramal shaleh.
Mereka dilibatkan dalam kerjasama yang baik ketika membangun tembok
pertahanan sehingga keamanan yang menjadi pilar penting dalam membangun
masyarakat bisa terwujud. Sekarang ini kita sangat mendambakan pemimpin yang
berlaku seperti demikian.

61
12_Review Materi_Halaqah Siyasi_KAMMI Komisariat UNY
Poin : Menguasai peta politik dan pergerakan mahasiswa, memahami kebijakan
etik di tingkat kampus, memahami struktur sosial (suku, bahasa, adat, kelas
sosial) di level kampus
Materi : Sejarah Gerakan Mahasiswa, Pemetaan kampus
Referensi : Bergerak Bersama Rakyat!, Suharsih dan Ign Mahendra, Pergolakan
Pemikiran Islam, Ahmad Wahib, Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie

“Belajar Dari HMI, IMM, PMII dan GMNI”


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Dampak dari penjajahan Belanda, yang menyebabkan dunia pendidikan dan
kemahasiswaan di Indonesia telah tercekoki oleh unsur-unsur dan sosok
pendidikan Barat yang mengarah pada sekulerisme dengan meninggalkan agama,
di setiap aspek kehidupan umat manusia. Kenyataan memang menunjukkan
bahwa kehidupan kemahasiswaan berada dalam krisis keseimbangan, dimana
iman dan ilmu tidak ada keserasian. Demikian alam dan situasi kehidupan
pendidikan di Indonesia sebelum kehadiran HMI. Di pihak lain sebelum lahirnya
HMI telah berdiri Perserikatan Mahasiswa Islam (PSI) yang dalam anggaran
dasarnya dengan tegas menyatakan bahwa organisasi ini berdasarkan non agama
dan non politik, dasar pertama tentu sangat bertentangan dengan Islam. Sedang
dasar kedua, non politik memang pada prinsipnya semua organisasi
kemahasiswaan itu non politik. Di Surakarta terdapat Serikat Mahasiswa Islam
(SMI) yang tokoh-tokohnya gembong PKI. Kedua organisasi kemahasiswaan itu
setali tiga uang, tak mengerti peluang terhadap perkembangan agama.
Pemrakarsa berdirinya HMI pada waktu itu membayangkan bagaimana
kehidupan mahasiswa-mahasiswa itu kelak sebagai calon sarajana dan pemimpin
umat yang asama sekali tidak mendapat pengajaran agama Islam di bangku
perkulaiahan. Betapapun kelak senadainya para intelektual yang semata-mata
mengutamakan ilmu pengetahuan tanpa didasari oleh ilmu agama sama sekali,
akan tampil sebagai tokoh masyarakat dan pemimpin bangsa. Pengalaman dan
fakta menunjukkan dan sebagai saksi sejarah siapa yang dapat menguasai
generasi muda dan cendekiawan pasti akan dapat menguasai masa depan
bangsa. Sekarang timbul persoalan, bagaiamana cara mengubah kondisi yang
kurang menguntugkan itu? Sehingga tercipta suasana harmonis dalam dunia
pendidikan dan kemahasiswaan yang semata-mata tidak mengutamakan rasio dan
ilmu pengetahuan tetapi mutlak harus diimbangi jiwa dan semangat agama.
Dari problem ini, sejak Nopember 1945 timbullah gagasan di benak seorang
mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (UII), yang selama ini selalu mengikuti dan
memperhatikan segala aspek dan aneka ragam kehidupan mahasiswa dan
perguruan tinggi khususnya, maupun perjalanan sejarah rakyat dan bangsa
Indonesia umumnya, untuk mendirikan organisasi mahasiswa sebagai alat
perjuangan untuk mencapai cita-citanya. Tersebutlah nama Lafran Pane, ia adalah
Ketua III SEMA STI bidang kemahasiswaan. Untuk mendirikan organisasi
mahasiswa, lafran Pane tidak bekerja sambil lalu saja, ia meminta saran dan
pemikirn Rektor STI, yaitu Prof. A. Kahar Muzakir. Dan pendukung idenya itu bukan
sembarangan orang diikutsertakan, ia amat selektif sekali96.
Mengingat kebutuhan yang mendesak, Lafran Pane berjihad, mencari jalan
keluar dari ketidakmengertian beberapa pihak tentang niat baiknya. Yaitu, bahwa
organisasi ini memang harus didirikan. Memang sudah takdir Allah, disaat bapak
Husaen Yahya yang memberi jam kuliah ilmu tafsir, memenuhi permintaan Lafran
Pane, waktunya digunakan untuk rapat. Dan pada saat itu pula pada tanggal 5
96 “Lembaran Sejarah HMI”, diakses pada 10 Agustus 2009
Februari 1947 bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, secara formal
semua peserta rapat menyetujui didirikannya organisasi mahasiswa Islam, yang
bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bertujuan : 1) Mempertahankan
negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, 2) Menegakkan dan
mengembangkan ajaran Islam. Kemudian mengesahkan Anggaran Dasar HMI dan
adapun ART akan dibuat kemudian hari. Dua peristiwa penting yang mengiringi
kelahiran HMI pada waktu itu adalah : 1) Peringatan Maulid Nabi Muhammad
tanggal 12 Rabiul Awal 1366 H, 2) Sidang kabinet di gedung Agung Yogyakarta.
Ternyata apa yang diputuskan mahasiswa-mahasiswa di STI dengan berdirinya
HMI pada tanggal yang sama, dimana disebutkan bahwa HMI bertujuan
mempertahankan Negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia adalah
sejarah dengan hasil kabinet tersebut. Berarti HMI selalu ada dan berada dalam
timbul tenggelamnya Negara RI. Gelombang yang pasang surut reaksi- reaksi
yang dialami HMI adalah :

Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PIY)


Karena bagi Malino Ahmad (ketua PMY) merupakan tantangan untuk
melebarkan pengaruhnya di kalangan mahasiswa dan cendekiawan yang saat itu
dibutuhkan sekali, maka PMY (termasuk PSI) melancarkan propagandanya bahwa
HMI pemecah belah mahasiswa. Rekasi ini bersifat ideologis, karena PMY yang
jelas tidak beragama.

Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)


Lafran pane adalah orang yang belum dikenal oleh Masyumi maupun GPII,
dengan sendirinya dicurigai karena ada kekuatan Islam yang tumbuh diluar
Masyumi. GPII yang pada waktu itu berorentasi kepada Masyumi secara spontan Ia
memberikan realisasi atas kelahiran HMI. Isu yang dilancarkan oleh PMY temasuk
oleh GPII ialah bahwa HMI merupakan pemecah pemuda dan umat Islam.
Persoalannya pada Lafran Pane bukan karena tidak setuju dengan Masyumi dan
GPII, tetapi yang urgen organisasi harus bersifat independen.

Pelajar Islam Indonesia (PII)


Kendati PII berdiri pada tanggal 4 Mei 1947 (lebih muda dari HMI), tetapi ia
juga memberikan reaksi atas kelahiran HMI dengan motif yang hampir sama
dengan GPII, karena anggota dan pengurus PII terdapat juga rekan-rekan dari GPII.
Sikap tidak setuju ini mereka cetuskan dalam kongres I PII di solo tanggal 14-16
Juli 1947. Namun kemudian PII berubah sikap tatkala PII melakukan Konferensi
besar I, di Ponorogo pada tanggal 4-6 November 1947. Setelah Lafran Pane
diminta menjelaskan maksud dan tujuan serta latar belakang sejarah berdirinya
HMI, yang pada pokoknya, bidang kemahasiswaan bukan merupakan bidang
garap, bidang PII maupun GPII, karena ia mempunyai ciri tersendiri, untuk itu HMI
hadir. Sehingga pembagian lapangan kerja dari berbagai aspek kemasyarakatan
terlaksana. Sejak itu PII maupun GPII menerima dan memahami kehadiran HMI.

Fase Pengokohan (5 Februari s/d 30 November 1947)


a. Upaya yang dilakukan untuk memperkenalkan dan mengembangkan HMI
waktu itu antara lain:
b. Cerama-cerama ilmiah dari pemimpin-pemimpin terkemuka
c. Memanfaatkan kongres PPMI di Malang pada tanggal 8 Maret 1947 untuk
mencari dukungan HMI dari luar daerah.
d. Berdirinya HMI cabang Klaten, Solo dan Malang.
e. Mendukung dalam kepengurusan PB HMI mahasiswa seperti lulusan STI
seperti Mintateja mahasiswa FK UNY, kemudian muncul wajah baru,
Achmad Tirto Sudiro, Ushuludin Hutangalung dan lain-lain

63
Fase Perjuangan Bersenjata (1947-1949)
a. Tanggal 25 Maret 1947 ditandatangani perjanjian Linggarjati antara Belanda
dan Indonesia
b. Tanggal 21 Juli 1947, Agresi Kolonial I, HMI bersama pemerintah dan rakyat
melaqkukan perlawanan
c. Tanggal 17 januari 1948, terjadi perjanjian Renvil, HMI bersama Masyumi
tidak menyetujui
d. Tanggal 18 September 1948 terjadi teror berdarah di Madiun oleh PKI
melalui PPMI, HMI membentuk koprs mahasiswa dengan inti kesatuan
tempur HMI yang berjuang bersama tentara siliwangi Jawa Barat melawan
PKI. Dan pada saat itu pula, kekuatan yang dilancarkan

"Ikrar 17 Agustus 1945" dalam tubuh umat Islam. Maka untuk mecakup
semua lapanngan pekerjaan, pada tanggal 28 Desember 1945 di gedung seni seno
Jogyakarta diadakan kongres muslimin Indonesia II setelah kemerdekaan, dihadiri
129 organisasi. Dan salah satu keputusan kongres menyatakan bahwa HMI
sebagai organisasi Mahasiswa Islam. Lembar-lembar baru telah terbuka dengan
keeksistensian HMI ditenga umat bangsa Indonesia. Rupanya persatuan dan
kesatuan ini tidak berumur panjang, karena praktek politik yang dedaken
dikalangan umat Islam sendiri yang pada akhirnya Masyumi pecah, yaitu :a)
Tanggal 30 November 1947 PERTI memproklamirkan diri sebagai partai, b)
Tanggal 17 Juli PSII kembali berdiri sebagai partai, c) Tanggal 06 April 1947 NU
memproklamirkan diri sebagai partai, d) Akhirnya Masyumi pun berdiri sendiri
sebagai partai. Dampak dari kejadian ini mengovakan keutuhan perjanjian seni
seno maka tumbulah Organisasi pelajar, Mahasiswa dan keguruan untuk
kepentiangan-kepentingan partai tersebut97.

Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)


Adapun tahapan-tahapan pertumbuhan HMI secara garis besarnya adalah :
a) Pembentukan cabang baru, b)Mimindahkan PB HMI dari Yokyakarta ke Jakarta,
c) Menentukan atribut-atribut HMI, d) Menetapkan nilai Dasar Perjuangan (NDP)
HMI, e)Pembentukan BAKDO (Badan Koordinasi) HMI tingkat promosi, f)
Pembentukan lembaga-lembaga HMI. Adapun yang bersifat umum antara lain
meliputi: a) Pendayagunaan PPMI, b) Penegasan Idependen HMI, c) Mendesak
pemerintah agar mengeluarkan UU Perguruan Tinggi, d) Mendesak pemerintah
agar pelajaran Agama diajarkan sejak SD sampai Perguruan Tinggi (Secara terinci
dapat dilihat pada buku "Sejarah Perjuangan HMI" karangan Drs. Agus Salim
Sitompul, pada bab V, hal 98 )

Fase Tantangan(1964-1965)
HMI melalui korps mahasiswa turut mengganyang PKI pada peristiwa
Madiun 1948, dendam kusumat PKI sebagai front HMI tak kunjung padam. Karena
itu ia memandang HMI sebagai Front islam terkuat sesudah Masyumi dan GPII.
Maka dihembus-hembuskanlah niat jeleknya, baik melalui kaki tangan PKI maupun
organisasi lain yang ia peralat untuk secepatnya menuntut pembubaran HMI.
Namun Soekarno sebagai presiden RI mengatakn "Go Ahead HMI", kenyataan
akhirnya menunjukkan PKI-lah yang justru dilarang di Indonesia setelah peristwa
30 September

Fase Kebangkitan HMI sebagai pelopor orde baru dan angkatan 66'(1966-1967)
Penumpasan PKI merupakan suatu momentum yang menguak fase baru
memasuki perjuangan menuntut tegaknya keadilan dan kebenaran serta
97 “Lembaran Sejarah HMI”, diakses pada 10 Agustus 2009
perbaikan ekonomi rakyat PPMI yang sudah ditunggangi PKI tidak bisa banyak bisa
diharapkan untuk menyuarakan keinginan mahasiswa pada saat itu (yang
akhirnya bubar), atas prakarsa ketua PB HMI Mar'ie Muhammad, pada tanggal 23
oktober 1965 untuk mendirikan KAMI yang dikenal dengan TRITURANYA-nya.
Setelah KAMI dibubarkan pada tanggal 27 Februar 1960 muncul KAPPI yang
didirikan pada tanggal 27 Februari 1966 berperan sebagai penerus KAMI yang
dipimpin oleh Husni Tamri( ketua PII ). Tanggal 4 maret 1966 didirikanlah lasykar
Arif Rahman Hakim dengan komandannya Fahmi Idris ( ketua HMI Jaya).

Fase Pembangunan Nasional (1969-sekarang)


Lahirnya babak baru dalam perjuangan bangsa Indonesia yakni Orde Baru,
maka menuntut seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semakin kompleksnya
masalah pembangunan, baik sebagai akibat peningkatan harapan masyarakat
terhadap kehidupan yang lebih baik maupun dampak negatif dari pilihan strategis
dan pelaksanaan pembangunan mengharuskan kita untuk senantiasa berfikir
kreatif terhadap masalah -masalah pembangunan maupun kemasyarakatan
sehingga dapat melahirkan sikap bangsa terhadap pentingnya kualitas sumber
daya manusia. Sebagai organisasi kader, maka HMI dituntut untuk tanggap
terhadap kecenderungan-kecenderungan ini, supaya HMI dapat berperaan Aktif
dalam setiap pembangunan dan perkembangannya. Untuk itu tidaklah
mengherankan jika HMI memberikan masukan yang berarti (pada masa
pembangunan ini) diantaranya yaitu, menyatakan (pernyataan) PB HMI tentang
lembaga kepresidenan dan lembaga UUD1945 yang isinya menyatakan dukungan
HMI kepada Sidang Umum MPR untuk menetapkan Jenderal Soeharto untuk
menjadi Presiden dan tidak mengubah UUD 1945, karena saat ada usaha untuk
mengubah UUD sehingga menggoyahkan kepemimpinan Nasional. Di bidang
pembinaan dan pembaharuan Umat, HMI memberikan masukan terhadap metode
dakwah islam (1972), disamping itu juga memberikan masukan yang berarti
mengenai undang-undang perkawinan (20 tahun untuk waita dan 25 tahun untuk
pria)98.
Di bidang kepemudaan HMI bersama-sama organisasi yang lain membentuk
kelompok Cipayung(HMI,PMII,GMNI,GMKI,dan PMKRI)sebagai wadah untuk
menampung aspirasi pemuda sekaligus merupakan proses mendinamisasi
kretifitas pemuda. Kelompok ini di bentuk tahun 1972. Selain itu secara
perorangan banyak alumni HMI yang duduk dipemerintahan, swasta, organisasi
dan sebagainya. Dewan bidang kealian masing-masing untuk memberikan darma
baktinya dan sumbangsihnya bagi pembangunan dan mengisi kemerdekaan RI.
Apa yang telah dikemukakan itu adalah cermin perjuangan HMI pada setiap babak
sejarah masa silam yang diperaninya. Itu semua diperbuat HMI tanpa pamrih
semata-mata untuk kesejahteraan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menuju
masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Diakui atau tidak semua
telah menjadi kenyataan dan hasilnya pun telah sama dirasakan dan dihayati oleh
seluruh rakyat Indonesia.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)


Pada mulanya para mahasiswa yang bergabung atau yang mengikuti jejak-
jejak Muhammadiyah oleh Muhammadiyah dianggapnya cukup bergabung dalam
organisasi otonom yang ada dalam Muhammadiyah, seperti Pemuda
Muahmmadiyah (PM) Yang diperuntukkan pada mahasiswa dan Nasyi'atul Aisyiyah
(NA) untuk mahasisiwi Yang lahir pada 27 Dzulhijjah 1349 H (NA) dan pemuda
pada tanggal 25 Dzulhiijjah 1350 H. Anggapan Muhammadiyah tersebut lahir pada
98 “Lembaran Sejarah HMI”, diakses pada 10 Agustus 2009

65
saat-saat Muhammadiyah bermuktamar ke-25 di Jakarta pada tahun 1936 Yang
pada saat itu dihembuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendirikan
Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan pada saat itu pula Pimpinan Pusat
(PP) Yang dipegang oleh KH. Hisyam (periode 1933-1937). Dan pada dikatakan
bahwa anggapan dan pemikiran mengenai perlunya menghimpun mahasiswa
Yang sehaluan dengan Muhammadiyah yaitu sejak konggres ke-25 tersebut99.
Namun demikian keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa
Muhammadiyah pada saat itu masih vakum, karena pada waktu itu
Muhammadiyah masih belum memiliki Perguruan Tinggi seperti Yang
diinginkannya sehingga para mahasiswa Yang berada di Perguruan Tinggi lain baik
negeri ataupun swasta Yang sudah ada pada waktu itu secara ideologi tetap
berittiba' pada Muhammadiyah dalmn kondisi tetap mereka harus mau bergabung
dengan PM, NA ataupun Hizbul Wathon (HW). Pada perkembangan keberadaan
mereka Yang berada dalam ketiga organisasi otonom tersebut merasa perlu
adanya perkumpulan khusus mahasiswa Yang secara khusus anggotanya terdiri
dari mahasiswa Islam. Alternatif yang mereka pilih yaitu bergabung dalam
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). bahkan ada image waktu itu yang menyatakan
bahwa HMI adalah anak Muhammadiyah Yang diberi tugas khusus untuk
membawa mahasiswa dalam misi dan visi yang dimiliki oleh Muhammadiyah,
karena waktu itu ditubuh HMI sendiri dipegang oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah
yang secara aktif mengelola HMI100.
Pada waktu itu Muhammadiyah secara kelembagaan turut mengeloia HMI
baik dari segi moral ataupun material, sampai belakangan ini menurut data-data
Yang ada di PP Muhammadiyah menyatakan bahwa Muhammadiyah (terutama
PTM dan RS Sosial) secara, materiil turut membiayai hampir setiap aktifitas HMI
baik mulai dari tingkat konggres sampai aktifitas sehari -hari. Disinilah sekali lagi
bukan.HMI yang turut menelorkan tokoh-tokoh Muhammadiyah tapi sebaliknya
bahwa Muhammadiyah yang dulu ikut aktif membesarkan HMI. Mengapa hal itu
dilakukan â?¦.? Jawabannya seperti dikemukakan diatas, yaitu bahwa HMI
diharapkan akan tetap konsisten dengan faham keagamaan Yang diilhami oleh
Muhammadiyah. Namun pada perkermbangannya dahulu mengalami perubahan-
perubahan khususnya dalam independensi diinginkan oleh Muhammadiyah oleh
Muhammadiyah lebih cenderung liberal dalam segala dalam segala aliran Yang
ada dalam teologi islam boleh mewarnai tubuh HMI aliran-aliran Asy'ariyah
(cenderung menghidupkan kembali sunnah-sunnah rosul), aliran syi'ah (Yang
cenderung mengkultuskan syaidina Ali bin Abi Tholib r.a), Mu'tazilah,
nasionalisme, sekularisme, pluralisme lainnya. Sementara dalam Muhammadiyah
tidaklah independensi Muhammadiyah ditekankan pada berpendapat namun
masib dalam konteks wacana islam masih tetap berideologi Al-quran dan As-
sunnah dalam Muhammadiyah tidak mengenal madzab-madzab yang ada seperti
madzab Syafi`I, Hambali dan Maliki101.
Melihat fenomena diatas, HMI yang kian melesat kealam berideologi
tersebut maka dengan diplomasinya pihak PP Muhammadiyah mengeluarkan
suatu policy atau kebijakan yaitu menyenyelamatkan kader-kader Muhammadiyah
yang masih berada dijenjang pendidikan menengah atau Pendidikan Tinggi. Pada
tanggal 18 Nofember 1955 keinginan Muhammadiyah untuk mendirikan PTM ini PP
Muhammadiyah melalui struktur kepemimpinannya membentuk departemen
pelajar dan mahasiswa yang menampung aspirasi aktif dari para pelajar dan
mahasiswa. Maka pada saat Muktamar Pemuda Muhammadiyah pertama di
Palembang tahun 1956 didalam keputusannya menetapkan langkah kedepan
Pemuda Muhammadiyah tahun 1956-1959 dan dalam langkah ini ditetapkan pula
usaha untuk menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak
99 “Sejarah IMM”, <http://immunnes.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
100 “Sejarah IMM”, <http://immunnes.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
101 “Sejarah IMM”, <http://immunnes.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu
mengemban amanah.Untuk lebih merealisasikan usaha PP Pemuda
Muhammadiyah tersebut maka lewat KOPMA (Konferensi Pimpinan Daerah
Muhammadiyah) se-Indonesia pada tanggal 5 Shafar 1381/18 Juli 1962 di
Surakarta, memutuskan untuk mendirikan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). PP
Pemuda Muhammadiyah pada saat KONPIDA ini masih belum berhasil melahirkan
organisasi khusus Mahasiswa Muhammadiyah.
Pada saat itu nasib boleh duduk dalam kepengurusan IPM. Sehubungan
dengan semakin berkembangnya PTM yang dirintis oleh Fakultas Hukum Dan
Filsafat di Padang Panjang yang berdiri pada tanggal 18 Nofember 1955 namun
karena peristiwa pemberontakan PRRI kedua fakultas tersebut vakum, kemudian
berdiri di Jakarta PT Pendidikan guru yang kemudian berganti nama menjadi IKIP.
Pada tahun 1958 dirintis fakultas serupa di Surakarta, di Yogyakarta berdiri
akademi Tabligh Muhammadiyah dan di Jakarta berdiri pula FIS (Fakultas Ilmu
Sosial) yang sekarang UMJ. Karena semakin berkembangnya PTM-PTM yang sudah
ada maka pada tahun 1960-an ide-ide untuk menangani khusus mahasiswa
Muhammadiyah semakin kuat. PP Pemuda Muhammadiyah yang oleh PP
Muhammadiyah dan Muktamar ke-I di Palembang (1956) dibebani tugas untuk
menampung aspirasi aktif para Mahasiswa Muhammadiyah, segera membentuk
Study Group yang khusus Mahasiswa yang berasal dari Malang, Yogyakarta,
Bandung, Surabaya, Padang, Ujung Pandang dan Jakarta.
Menjelang Muktamar Muhammadiyah setengah abad di Jakarta tahun 1962
mengadakan kongres Mhasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta dan dari kongres
ini semakin santer upaya para tokoh Pemuda untuk melepaskan Departemen
Kemahasiswaan untuk berdiri sendiri. Pada 15 Desember 1963 mulai diadakan
pejajagan dengan didirikannya Dakwah mahasiswa yang dikoordinir oleh : Ir.
Margono, Dr. Sudibjo Markoes dan Drs. Rosyad Saleh. Ide pembentukan ini berasal
dari Drs. Moh. Djazman yang waktu itu sebagai Sekretaris PP Pemuda
Muhammadiyah. Dan sementara itu desakan agar segera membentuk organisasi
khusus mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta dengan Nurwijo Sarjono MZ.
Suherman, M. yasin, Sutrisno Muhdam, PP Pemuda Muhammadiyah dll-nya.
Akhirnya dengan restu PP Muhammadiyah waktu itu diketuai oleh H.A. Badawi,
dengan penuh bijaksana dan kearifan mendirikan organisasi yang khusus untuk
Mahasiswa Muhammadiyah yang diketuai oleh Drs. Moh. Djazman sebagai
koordinator dengan anggota M. Husni Thamrin, A. Rosyad Saleh, Soedibjo
Markoes, Moh. Arief dll102.
Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah
berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya
organisasi yang khusus mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu,
menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962,
mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres
Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk
membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah kembali
mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan penjajagan
berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari Drs. Mohammad
Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr. Soedibjo Markoes, dan
Drs. A. Rosyad Sholeh103.
Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa
Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di
Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan
yang lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP
Pemuda Muhammadiyah -- waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M.

102 “Sejarah IMM”, <http://immunnes.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009


103 “Sejarah IMM”, DPD IMM Jawa Tengah <http://acep6te.net>, diakses pada 10 Agustus 2009

67
Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum-- mengusulkan kepada PP
Muhammadiyah --yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi-- untuk
mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah --atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan
kemudian disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14
Maret 1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan
di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan "Enam
Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:
a. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa
Islam;
b. Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah
landasan perjuangan IMM;
c. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah sebagai eksponen
mahasiswa dalam Muhammadiyah
d. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah
ilmiah;
e. Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi yang sah
mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan
dan falsafah negara yang berlaku
f. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lilLahi Ta'ala dan
senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.

Sedangkan faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan


kondisi kehidupan di luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling tidak
bertalian dengan keadaan umat Islam, kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat
Indonesia, serta dinamika gerakan mahasiswa. Keadaan dan kehidupan umat
Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh tradisi, paham, dan keyakinan yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Keyakinan dan praktek
keagamaan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, banyak
bercampur baur dengan takhayul, bid`ah, dan khurafat. Sementara itu dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh pengaruh ideologi
komunis (PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan konflik kekuasaan
antar golongan dan partai politik. Sehingga, kendati waktu itu Indonesia telah
merdeka selama kurang lebih 20 tahun, namun tidak bisa mencerminkan makna
dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat
terkungkung, sementara tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat
kebijakan demokrasi terpimpin ala Soekarno104.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)


Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa datang. Dokumen
historis, dengan demikian merupakan instrumen penting untuk mengaca diri.
Tidak terkecuali PMII. Meski dokumen yang disajikan dalam tulisan ini terbilang
kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar jelas
berikut pemikiran dan sikap-sikapnya. PMII, yang sering kali disebut Indonesian
Moslem Student Movement atau Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia adalah
anak cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen
Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang juga anak dari NU.
Status anak cucu inipun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di
Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khodjijah pada tanggal 17 April
1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H.Meski begitu bukan berarti
lahirnya PMII berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan yang
dihadapinya. Hasrat mendirikan mahasiswa NU memang sudah lama bergejolak,
namun pihak PBNU belum memberikan green light, belum menganggap perlu
104 “Sejarah IMM”, DPD IMM Jawa Tengah <http://acep6te.net>, diakses pada 10 Agustus 2009
adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di
Perguruan Tinggi.
Namun kemauan anak-anak muda itu tak pernah kendor, bahkan terus
berkobar dari kampus ke kampus. Bisa dimengerti karena kondisi sosial politik
pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkikkan untuk melahirkan
organisasi baru. Banyak organisasi mahasiswa bermunculan di bawah naungan
payung induknya, misalnya saja SEMMI (dengan PSII), KMI (dengan PERTI), HMI
(lebih dekat ke MASYUMI), IMM (dengan Muhammadiyah), dan HIMMAH (dengan
Al-Washliyah). Wajar jika anak-anak NU kemudian ingin mendirikan wadah sendiri
dan bernaung di bawah panji dunia. Dan benar, keinginan itu kemudian
diwujudkan dalam bentuk Ikatan Mahasiswa NU (IMANU) pada akhir 1955, yang
diprakarsai oleh beberapa pimpinan pusat dari IPNU. Namun IMANU tak berumur
panjang karena PBNU menolak keberadaannya. Bisa dipahami kenapa PBNU
bertindak keras, sebab waktu itu IPNU baru saja lahir yaitu pada tanggal 24
Februari 1954. Apa jadinya jika baru lahir saja belum terurus sudah keburu
menangani yang lain, logis sekali. Jadi keberatan PBNU bukan terletak pada prinsip
berdiri atau tidaknya IMANU tapi lebih merupakan pertimbangan waktu,
pembagian tugas, dan efektivitas organisasi. Dan baru setelah wadah
"Departemen" itu dinilai tidak lagi efektif, tidak cukup kuat untuk menampung
aspirasi mahasiswa NU, konferensi besar IPNU I (14-16 Maret 1960 di Kaliurang),
sepakat mendirikan organisasi tersendiri. Lalu berkumpullah tokoh-tokoh
mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah tiga hari
di Taman Pendidikan Khodijah, Surabaya. Dengan semangat membara, mereka
menbahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka impikan dan
idamkan.
Bertepatan dengan itu, ketua umum PBNU, K.H. Idham Kholid, memberikan
lampu hijau. Bahkan semangat pula membakar semangat agar mahasiswa NU
menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang berprinsip. Ilmu untuk diamalkan
dan bukan ilmu untuk ilmu. Maka lahirlah organisasi mahasiswa di bawah naungan
pyung NU, pada 17 April 1960, lewat kandungan Departemen Perguruan Tinggi
IPNU. Dan bayi yang baru lahir itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII). Dengan demikian, ide dasar pendirian PMII adalah murni dari
anak-anak muda NU sendiri. Bahwa kemudian harus bernaung di bawah panji NU,
itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi
politik saat itu yang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu
kemutlakan. Tapi lebih dari itu, keterikatan PMII pada NU memang sudah
terbentuk dan memang sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur,
akidah, cita-cita, bahkan pola berpikir, bertindak, dan berprilaku.
PMII adalah bagian dari sejarah Indonesia. Mulai dari awal proses
kemunculannya, proses lahirnya sampai proses perjalanannya hingga sekarang,
PMII telah menjadi saksi dari sejarah perjalanan Indonesia. Selain itu, PMII juga
sejarah bagi dirinya sendiri. PMII pernah jaya dan pernah terpuruk. PMII pernah
bersitegang akibat perdebatan tentang politik praksis dan PMII pernah ditendang
dari wilayah strategis. Semua itu bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari
perjalanan PMII. Dalam proses pemunculannya, PMII tidak bisa dipisahkan dari
kondisi sosial politik tahun 1950-an. Ketika itu, telah muncul organisasi-organisasi
kepemudaan seperti HMI (ketika itu underbow Masyumi) SEMMI (dengan PSII) KMI
(dengan PERTI) dan HIMMA (dengan Wasillah). Banyaknya organisasi tersebut,
membuat anak-anak NU ingin mendirikan wadah yang bernaung di bawah panji
bola dunia. Akhirnya, pada tahun 1955 di dirikanlah IMANU (Ikatan Mahasiswa NU)
oleh tokoh-tokoh PP-IPNU. Namun, IMANU tidak berumur panjang. Sebab, PBNU
tidak merestui dengan alasan yang sangat logis: “IPNU didirikan baru tanggal 24
Februari 1954 dan dengan pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas

69
organisasi”105.
Tetapi sampai pada Kongres IPNU ke 2 (Awal 1957 di pekalongan)dan ke 3
(akhir 1958 di Cirebon) NU masih memandang belum perlu adanya organisasi
kemahasiswaan. Baru kemudian pada tahun 1959 IPNU membuat departemen
yang kemudian dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Satu tahun
kemudian setelah Departemen Perguruan Tinggi IPNU ini dianggap tidak efektif
dan tidak cukup menampung aspirasi mahasiswa NU, maka pada Konprensi Besar
IPNU (14-16 Maret 1960) di Kaliurang sepakat mendirikan organisasi tersendiri.
Rekomendasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi
(Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA.
(Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi
(Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul
Wahab Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko
(Malang), dan Ahmad Husein (Makasar). Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka
menggodok organ baru di TPP Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960
lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII)106.
Dalam perjalanan selanjutnya, PMII merasa tidak strategis dan mengalami
keterbatasan langkah di bawah naungan NU –ketika itu berfusi ke PPP. Maka pada
tahun 1972, PMII mendeklarasikan Independensi dari NU dalam ajang Munas di
Murnajati. Deklarasi ini terkenal dengan Deklarasi Murnajati. Adapun tim perumus
Deklarasi Murnajati adalah; Umar Basalin (Bandung), Madjidi Syah (Bandung),
Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta), Man Muhammad Iskandar (Bandung),
Choirunnisa’ Yafizhan (medan), Tatik Farikhah (Surabaya), Rahman indrus dan
Muiz Kabri (Malang). Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam
dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan.
PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat
bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi
sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak
memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT,
berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang
dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi
muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi
keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh
rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-
nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu, menuntut
berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa
tanggungjawab. Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai
organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada
siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita
perjuangan nasional yang berlandaskanPancasila107.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)


Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (disingkat GMNI) adalah sebuah
organisasi mahasiswa di Indonesia. Organisasi ini adalah sebuah gerakan
mahasiswa yang berlandaskan ajaran Marhaenisme. GMNI dibentuk pada tanggal
22 Maret 1954. GMNI lahir sebagai hasil proses peleburan tiga organisasi
mahasiswa yang berasaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi
itu ialah:
 Gerakan Mahasiswa Marhaenis, berpusat di Jogjakarta
 Gerakan Mahasiswa Merdeka, berpusat di Surabaya
105 “Sejarah PMII”, <http://pmmiub.wordpress.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
106 “Sejarah PMII”, <http://pmmiub.wordpress.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
107 “Sejarah PMII”, <http://pmmiub.wordpress.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
 Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, berpusat di Jakarta108.

Proses peleburan
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada
awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI)
melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin
Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi,
Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan
ketiga organisasi yang seasas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian
disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat
sambutan positif. Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada
Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang
diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman
Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:
 Setuju untuk melakukan fusi
 Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama "Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia" (GMNI).
 Asas organisasi adalah: Marhaenisme ajaran Bung Karno.
 Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu
enam bulan setelah pertemuan ini.
GMNI dan Ideologi Marhaenisme GMNI tak pernah lepas dari ideologinya
yaitu marhaenisme meskipun pada tahun 1983 harus menerima keadaan
pancasila sebagai ideologi dan asas, meski pancasila jaman ORBa tidak seperti
Pancasila yang dipidatokan oleh Bung karno pada tanggal 1 JUni 1945. namun
,atau tidak mau suka tidak suka karena siapa lagi kalu bukan GMNI yang harus
menjaga keberadan pancasila senbagai dasar negara. Meski sebenarnya
Marhaenisme itu tidak sama dengan pancasila karena fungsinya pun berbeda dan
pemaknaannya berbeda, serupa tapi tak sama109.
Marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan sesuai situasi dan kondisi
Indonesia. sebenarnya memang benar marhaenisme itu marxisme yang
diterapkan sebagai sutuasi dan kondisi di Indonesia, karena di dalam Marhaenisme
tidak kenal manifesto komunis. tanpa marxisme marheinisme tidak akan mampu
menerangkan kondisi ideologi yang dihadapi rakyat Indonesia, bahwa
marhaenisme seperti halnya 10 tesis marhaenisme adalah melupakan ajran
ideologi yang berlandaskan pada pemikiran-pemikiran Karl mark. ajaran
marhaenisme itu ajran ideologi kiri, karena tanpa ideologi kiri kemerdekaan
Indonesia tidak akan tercapai. marhaensime itu memiliki kerangka pikir marxisme,
Dialektika, dan historis materialisme. Namun marhaenisme ini tidak mampu
diteruskan oleh pengikut ajarannya dalam menciptakan teori-teori perjuangan
terbaru, tidaks seperti marxisme. Kemampuan kader memahami ideologipun
berbeda-beda berdasarkan latar belakang kemampuan, kecerdasan, dan
kepentingan hidup kader GMNi rata-rata tidak berhubungan langsung dengan apa
yang menjadi landasan perlawanan kaum Marhaen.

Referensi :
“Lembaran Sejarah HMI”, diakses pada 10 Agustus 2009
“Sejarah IMM”, <http://immunnes.blogspot.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
“Sejarah IMM”, DPD IMM Jawa Tengah <http://acep6te.net>, diakses pada 10
Agustus 2009
“Sejarah PMII”, <http://pmmiub.wordpress.com>, diakses pada 10 Agustus 2009
108 “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Mahasiswa_Nasional_Indonesia>, diakses
pada 10 Agustus 2009
109 “56 Tahun GMNI Idealisme, Materialisme dan Pragmatisme”, <http://dumadia.wordpress.com>, diakses pada 10 Agustus
2009

71
“Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”,
<http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Mahasiswa_Nasional_Indonesia>, diakses
pada 10 Agustus 2009
“56 Tahun GMNI Idealisme, Materialisme dan Pragmatisme”,
<http://dumadia.wordpress.com>, diakses pada 10 Agustus 2009

Anda mungkin juga menyukai