TRAUMA TORAKS
Disusun oleh:
Qanita Khairunnisa
20174011088
Diajukan kepada:
Disusun oleh:
QANITA KHAIRUNNISA
20174011088
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 88 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bantul, DIY
Agama : Islam
NO. CM : 62-22-70
Tanggal Masuk : 9/3/20118
Tanggal Keluar : 25/3/2018
B. Primary Survey
A : Airway
Look : Agitasi (-) Sianosis (-) Retraksi (-) Penggunaan otot
nafas tambahan (-) secret (-) darah (+)
Listen : Stridor (-) Wheezing (-/-) Ronkhi basah kasar (-/-)
Feel : deviasi trakea (-)
Pengelolaan:
Posisikan pasien dalam keadaan head-tilt, chin lift, atau
jaw thrust.
Pasang suction jika terdapat cairan atau darah yang
menyumbat jalan nafas
B : Breathing
Dispnea (+) Kussmaul (-) Thorak simetris (+/+) perkusi
hipersonor (+) wheezing (-/-) ronkhi basah kasar (-/-)
Pengelolaan:
Pasang O2 konsentrasi tinggi dengan nasal kanul,
NRM, atau face mask
Mengatasi emfisema subcutis dengan insisi multiple
pada bagian kutis pasien
Mengatasi pneumotoraks dengan melakukan
pemasangan Water Seal Drainage
Melakukan pemasangan pulse oximetry untuk evaluasi
saturasi pasien
C : Circulation
Takikardi (+) irama nadi regular (+) akral hangat (+) edema (+)
sianosis sentral (-) warna kulit coklat kehitaman, Tekanan
Darah: 180/100 mmHg
Pengelolaan:
Pemasangan IVFD dengan RL
Pemasangan cateter urin untuk memantau balance
cairan
Pengambilan sampel darah pasien
Menyelimuti pasien untuk mencegah hipotermia
D : Disability
GCS: 15 Composmentis, pupil isokor (+/+) Plegi (-) Parese (-)
Fraktur clavicula dekstra. Jejas (-) Luka (-)
Monitor Tanda-Tanda Vital
Waktu TD Nadi Nafas SpO2 (%)
(mmHg) (kali/menit) (kali/menit)
10.45 180/100 110 30 96%
11.15 190/100 108 32 96%
12.00 190/100 108 30 90%
12.30 190/100 110 30 85%
13.00 Pemasangan WSD
13.30 SpO2 99%
C. Secondary Survey
1. Anamnesa
Pasien datang ke IGD atas rujukan Puskesmas Srandakan
dengan keluhan sesak nafas dan nyeri dada kanan post KLL
mengendarai sepeda dan masuk ke sawah. Pasien mengaku
tidak mengingat kejadian setelahnya. Pasien menyangkal
riwayat penyakit seperti DM dan hipertensi.
Alergi : (-)
Medikal : (-)
Past Illness : (-)
Last Meal : (-)
Environtment : Post KLL dengan sepeda motor
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : Rambut warna hitam, hematom (-), perdarahan (-)
b. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), racoon eyes (-/-) edema
palpebra (+/+) pupil isokor (+/+) dislokasi lensa (-/-)
c. Hidung : Deformitas (-) rinorrhea (+)
d. Telinga : Simetris kanan kiri, otorrhea (+)
e. Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab, darah (-)
f. Leher : Deviasi trakhea (-) penggunaan otot tambahan nafas(-)
Pembengkakan (+)
g. Thorax : Pembengkakan (+) Krepitasi (+)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak pada sela iga V
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
Paru-paru
- Inspeksi : Simetris, retraksi (-) flail chest (-)
- Palpasi : Vokal fremitus asimetris (+) penurunan vokal
fremitus kanan (+)
- Perkusi : Hipersonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler menurun (+/+), ronkhi basah kasar
(-/-) wheezing (-/-)
h. Abdomen :
- Inspeksi : Hematom (-)
- Auskultasi : Peristaltik (+)
- Perkusi : Timpani (+)
- Palpasi : Supel (+) Pembengkakan (+)
i. Ektremitas :
- Superior : Akral hangat (+ /+), edema (+/+) krepitasi (+)
- Inferior : Akral hangat (+ /+), edema (+/+) krepitasi (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap
HEMATOLOGI
HITUNG JENIS
Eosinofil 10 2-4 %
Basofil 1 0-1 %
Batang 3 2-5 %
Segmen 55 51-67 %
Limfosit 30 20-35 %
Monosit 1 4-8 %
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
2. Anatomi Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama
sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki
peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida
(CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem
kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada
paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain yakni lobus
superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya
terdapat lobus superior dan lobus inferior. Di antara lobus – lobus paru kanan
terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara
di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua.
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal
sebagai cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan
penting, maka cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk
melindungi paru, terutama dari trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding
yang kuat yang tersusun atas 12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12
tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot – otot rongga dada. Otot – otot
yang menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk membantu respirasi
dan alat gerak untuk extremitas superior.
3. Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi menjadi dua yaitu trauma tumpul
dan trauma tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima
jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang,
berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk
mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma
yang berbeda. Penyebab trauma thoraks oleh karena trauma tajam dibedakan
menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti
trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol, dan berenergi tinggi seperti
pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks yang lain adalah adanya
tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan
pneumothoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).
4. Patofisiologi
Akibat trauma thoraks, aka nada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan
terjadi ketika jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan
pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang
tidak bergerak. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di
dalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari system pernafasan dan
kardiovaskuler. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik.
Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang
paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks,
perdarahan massif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada
kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma
ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang
cenderung sedikit (Milisavljevic, et al). Trauma thoraks yang membutuhkan
tindak darurat adalah obstruksi jalan nafas, hemotoraks massif, tamponade
jantung, pneumotoraks desak, flail chest, pneumotoraks terbuka, dan
kebocoran udara trakea bronkus.
KONTUSIO PULMO
A. Definisi
Kontusio pulmo didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum yang
berpotensi mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan
berkembang dari waktu daripada yang terjadi seketika. Kontusio paru adalah
memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul
dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke
dalam jaringan paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan elastisitas
normal. Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam pertama
setelah cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus yang lebih
serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya, memar paru
berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan hipoksia.
Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan cairan kapiler
bocor ke dalam jaringan di sekitarnya.
B. Pemeriksaan Penunjang
o Analisa Gas Darah
o Rontgen Thorax
o CT Scan
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Utama: Patensi airway, oksigenasi adekuat, kontrol nyeri
Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah
cedera tambahan, dan memberikan perawatan suportif sambil menunggu
luka memar paru sembuh.
Penatalaksanaan pada kontusio ringan
o Nebulisasi
o Postural drainase
o Fisioterapi dada
o Suctioning
o Nyeri: Anastesi Spinal, Opioid
o Oksigenasi 24-36 Jam pertama
o Antibiotik
Penatalaksanaan pada kontusio sedang
o Intubasi
o Ventilator PEP
o Diuretik
o NGT
o Cek Kultur
Penatalaksanaan pada kontusio berat
o Intubasi Endotracheal
o Ventilator
o Diuretik
o Anti mikrobal
o Pembatasan cairan
PNEUMOTORAKS
A. Definisi
Pneumothoraks adalah adanya udara pada rongga pleura.
Pneumothoraks sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura
parietalis dan visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru
dapat menyebabkan pneumothoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis
dapat menyebabkan terbentuknya emfisema subkutis. Pneumothoraks pada
trauma tumpul thoraks terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba-
tiba menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat
menyebabkan ruptur alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke
pleura visceralis ke mediastinum menyebabkan pneumothoraks atau emfisema
mediastinum. Selain itu pneumothoraks juga dapat terjadi ketika adanya
peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup
menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau
bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari
trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada
pneumothoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu.
B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumothoraks dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu:
1. Pneumothoraks spontan
Yaitu pneumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pnuemothoraks tipe
ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
Pneumothoraks spontan primer, yaitu pneumothoraks yang
terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya.
Pneumothoraks spontan sekunder, yaitu pneumothoraks yang
terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah
dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), kanker paru, infeksi, dan asma.
2. Pneumotoraks Traumatik
Yaitu suatu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma,
baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya
pleura, dinding dada maupun paru. Pneumothoraks tipe ini juga dapat
diklasifikan ke dalam dua jenis yaitu:
Pneumotoraks traumatic non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi akibat jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada dan barotrauma.
Pneumotoraks traumatic iatrogenic, yaitu pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
1. Pneumotoraks Tertutup
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negative karena diserap oleh jaringan
paru di sekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami
reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negative. Pada waktu terjadi gerakan
pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negative.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumotoraks)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
(terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks
terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernafasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negative dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirsi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terbuka.
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumotoraks)
Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan
intrapleura yang positif yang makin lama makin bertambah besar
karena terdapat fistula di pleura visceralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trachea, bronchus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistula
yang terbuka. Saat ekspirasi, udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar. Hal ini mengakibatkan tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga
sering menimbulkan gagal napas.
Pada penumotoraks desak traumatic dapat terjadi emfisema.
Karena tingginya tekanan di rongga pleura, udara ditekan masuk ke
jaringan lunak melalui luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah
membengkak seperti pada udem hebat. Pada perabaan terdapat
krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan subkutis toraks.
C. Manifestasi Klinis
o Sesak nafas, didapatkan pada hamper 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
o Nyeri dada, didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan.
o Batuk-batuk, didapatkan pada 25-30% pasien.
o Denyut jantung meningkat.
o Kulit tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
D. Penegakkan Diagnosis
1) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
a) Inspeksi
Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit
(hiperekspansi dinding dada)
Pada waktu respirasi, terdapat ketertinggalan gerak
pada bagian yang sakit.
Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
b) Palpasi
Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat melebar atau
normal
Iktus cordis terdorong ke sisi toraks yang sehat
Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi
yang sakit
c) Perkusi
Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai
timpani dan tidak menggetar.
Batas jantung terdorong kea rah toraks yang sehat,
apabila tekanan intrapleura tinggi.
d) Auskultasi
Pada bagian yang sakit, suara napas vesikuler melemah
sampai menghilang
Suara vocal melemah dan tidak menggetar serta
broncofoni negatif
2) Pemerikaan Penunjang
o Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus
pneumotoraks antara lain:
a) Bagian pneumothoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis akan tetapi
terbentuk lobuler sesuai lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa
radiopaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menujukkan kolaps paru yang sangat luas.
c) Jantung dan trachea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostal melebar, diafragma mendatar dan tertekan
ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke
arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.
d) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi
keadaan sebagai berikut:
1) Pneumoediastinum, terdapat ruang atau celah hitam
pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks.
Hal ini terjadi apabila pecahnya fistula mengarah
mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan
terjebak di mediastinum.
2) Emfisema Subkutan, dapat diketahui bila ada rongga
hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan
kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang
tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan
bergerak menuju daerah yang ebih tinggi, yaitu daerah
leher. Di sekitar leher banyak jaringan ikat yang mudah
ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut.
o Analisa Gas Darah
o CT Scan Thorax
E. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut:
1) Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungan alveoli dan rongga pleura telah
tertutup, maka udara yang berada di dalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan ini
terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka.
2) Tindakan Dekompresi
Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan
membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara:
a) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan menjadi negative karena mengalir ke luar melalui
jarum tersebut.
b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil
dengan pipa Water Sealed Drainage (WSD):
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantara troakar atau dengan bantuan
klem penjepit. Pemasukkan torakar dapat dimasukkan melalui
celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga
ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior.
Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid
klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga
pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan
pipa kaca WSD dihubungan melalui pipa plastic lainnya. Posisi
ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di
bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan
mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negative sebesar 10-20 cm H2O dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intrapleura sudah negative
kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24
jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi
positif maka pipa belum bias dicabut. Pencabutan WSD
dilakukan pada saat pasien ekspirasi maksimal.
3) Torakoskopi
Suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
4) Torakotomi
5) Tindakan Pembedahan
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian
dijahit.
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalam pleura yang
menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat
dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak.
d. Pelurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
HEMOTORAKS
A. Definisi
Hemotoraks merupakan suatu keadaan dimana darah terakumulasi
pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada dada yang
menjadi predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul di kantong
pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura.
B. Etiologi
Sejauh ini penyebab umum dari hemotoraks adalah trauma pada
dinding toraks. Luka tembus paru, jantung, pembuluh darah besar atau
dinding dada adalah penyebab lain dari hemotoraks. Trauma tumpul pada
dada kadang-kadang dapat menyebabkan hemotoraks oleh karena laserasi
pembuluh darah.
Hemotoraks massif adalah terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500
cc dalam rongga pleura. Penyebabnya adalah luka tembus yang merusak
pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Selain itu juga
dapat disebabkan cidera benda tumpul. Kehilangan darah dapat menyebabkan
hipoksia.
C. Derajat Hematotoraks
a. Hemotoraks kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15%
pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga ke IX, dan jumlah darah
mencapai 300 ml.
b. Hemotoraks sedang: 15-35% tertutup bayangan pada foto rontgen,
perkusi pekak sampai iga ke VI, jumlah darah mencapai 800 ml.
c. Hemotoraks besar: lebih dari 35% tertutup bayangan pada foto
rontgen, perkusi pekak sampai cranial iga ke IV. Jumlah darah
melebihi 800 ml.
D. Patofisiologi
Hemotoraks disebabkan adanya laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang diakibatkan oleh
trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga
dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Perdarahan di dalam rongga
pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan dari jaringan dada di
dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis terhadap
perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik
dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan
kecepatan kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah
perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL
pada seorang pria 70-kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan
hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang
sama akan menyebabkan gejala awal syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan
penurunan tekanan darah). Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-
tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau
lebih (1500-2000 mL). Karena rongga pleura seorang pria 70-kg dapat
menampung 4 atau lebih liter darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi
tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura
dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan
ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka
pada dinding dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan
pasien mengalami dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea.
Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu
tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera,
tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana
hemothorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang
sekunder untuk penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut
tidak akut untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea
sering menjadi keluhan utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-
paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam
beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan
enzim pleura dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan
osmotic tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura
dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga
pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat
berkembang menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya
dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi
bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan
benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam
hemothorax yang terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan
pleura viseral. Proses adhesive ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya
dan mencegah dari berkembang sepenuhnya. Adapun tanda dan gejala adanya
hemotoraks dapat bersifat simptomatik namun dapat juga asimptomatik.
Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan hemothoraks yang sangat
minimal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan symptom,
diantaranya:
Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada
Tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin
Tachycardia
Dyspnea
Hypoxemia
Anxiety (gelisah)
Cyanosis
Anemia
Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena
Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical)
Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena
Dullness pada perkusi
Adanya krepitasi saat palpasi
F. Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang
diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesa didapatkan penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak
napas. Pada pemeriksaan fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan,
mungkin didapatkan gerakan napas tertinggal atau adanya pucat karena
perdarahan kecuali hemothoraks akibat trauma. Pada perkusi didapatkan
pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi
napas menurun atau bahkan menghilang. Sedangkan untuk pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan:
a) Foto Rontgen/Chest X-Ray
Adanya gambaran hipodense pada rongga pleura di sisi yang
terkena dan adanya mediastinum shift. Chest x-ray sebagi
penegakkan diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif
dibandingkan yang lainnya.
b) CT Scan
Diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk
evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk menentukan
kuantitas atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.
c) USG
USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan
untuk pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
d) Analisis Gas Darah
Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkan
asidosis respiratori. Saturasi O2 arterial mungkin menurun
pada awalnya tetapi biasanya kembali ke normal dalam waktu
24 jam.
e) Pengecakan Darah Lengkap
Kadar Hb menurun <10 gr% menunjukkan adanya kehilangan
darah.
G. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan
hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta
udara dari rongga pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik
adalah dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi
darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks
adalah mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan
cara:
Chest tube (Tube thoracostomy drainage): Tube thoracostomy
drainage merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks.
Insersi chest tube melalui dinding dada untuk drainase darah dan
udara. Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan
paru ke ukuran normal. Indikasi untuk pemasangan chest tube antara
lain:
o Adanya udara pada rongga dada (pneumotoraks)
o Perdarahan di rongga dada (hemotoraks)
o Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax atau
hemotoraks)
o Abses paru atau pus di rongga dada (empyema)
TAMPONADE JANTUNG
A. Definisi
Tamponade jantung merupakan kompresi akut pada jantung yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraperikardial akibat pengumpulan
darah atau cairan dalam pericardium dari ruptur jantung, trauma
tembus atau efusi yang progresif.
Tamponade jantung merupakan sindroma klinis darurat yang terjadi
ketika darah atau cairan mengisi ruang perikardial, meningkatkan tekanan
intraperikardial dan mencegah pengisian ventrikel diastolik. Akibatnya,
tekanan vena sangat meningkat, dan ada penurunan volume pompa jantung
dan curah jantung dengan perkembangan syok. Pengembangan tamponade
berkaitan dengan kecepatan akumulasi cairan dan ketidakmampuan distensi
perikardium daripada kuantitas cairan. Jika cepat diakumulasi, atau jika
dibiarkan fungsi ventrikel kiri berkompromi karena alasan lain, sedikitnya 250
mL mungkin cukup untuk menimbulkan tamponade. Sebaliknya, mungkin
diperlukan lebih dari satu liter cairan untuk menghasilkan tamponade jika
terakumulasi selama jangka waktu yang panjang.
B. Etiologi
Dapat timbul karena:
1) Aortic aneurysm dissection
2) Kanker paru end-stage
3) Miokard infark akut
4) Pembedahan jantung
5) Perikarditis yang disebabkan infeksi bakteri atau virus,
6) Wound to the heart
7) Prosedur invasive jantung
C. Patofisiologi
Reddy et al menjelaskan 3 fase perubahan hemodinamik pada tamponade
o Fase I
Akumulasi cairan pericardial peningkatan kekakuan ventrikel
membutuhkan tekanan pengisian yang lebih besar. Selama fase
ini, tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan > tekanan
intrapericardial.
o Fase II
Peningkatan akumulasi cairan tekanan pericardial lebih besar
dibandingan tekanan pengisian ventrikel penurunan CO
o Fase III
Penurunan CO berlanjut, karena equilibrium tekanan perikardial
dan pengisian ventrikel kiri (LV).
Patofisiologi yang mendasari adalah berkurangnya pengisian
diastolic..
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik tamponade bervariasi, tergantung proses yang mendasarinya.
a. Ansietas
b. Nyeri dada
c. Menjalar ke leher, pundak, punggung atau abdomen
d. Tajam dan menusuk
e. Memburuk ketika tarik nafas dalam dan batuk
f. Dispneu
g. Tidak nyaman
h. Pingsan, melayang
i. Pucat atau sianosis
j. Palpitasi
k. Pernafasan cepat
E. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis tamponade jantung dapat ditegakkan dengan Beck’s triad
dan temuan klinis lainnya. Beck’s triad (acute compression triad):
1) Hipotensi akibat penurunan cardiac output
2) Suara jantung menjauh
3) Distensi vena jugularis (↑ JVP) akibat berkurangnya aliran
balik vena ke jantung.
Triad klasik ini biasanya ditemukan pada pasien dengan tamponade
jantung akut. Manifestasi klinisnya berupa:
1) Tanda Kussmaul (peningkatan JVP pada saat inspirasi)
2) Dispneu and Takipnue ( > 12 x/menit)
3) Pulsus paradoxus (penurunan minimal 10 mmHg tekanan arteri pada
saat inspirasi)
4) Oliguria
5) Takikardi ( > 100 x/menit)
6) Kompleks EKG yang low-voltage
7) ECG electrical alternans
8) Pada rontgen dada: tampak bayangan jantung yang membesar dengan
gambaran paru yang besih
Sedangkan pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan:
1) Rontgen dada
Menunjukkan gambaran “water bottle-shape heart”, kalsifikasi
perkardial. Kardiomegali bentuk bulat atau segitiga, dengan gambaran
paru yang bersih. Foto lateral kadang terlihat double fat stripe.
2) Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan etiologi terjadinya
tamponade jantung, misalnya pemeriksaan berikut :
o Peningkatan creatine kinase dan isoenzim pada MI dan trauma
jantung.
o Profil renal dan CBC uremia dan penyakit infeksi yang berkaitan
dengan pericarditis
o Protrombin time (PT) dan aPTT (activated partial thromboplastin
time) menilai resiko perdarahan selama intervensi misalnya
drainase perikardial.
3) Elektrokardiografi (EKG)
Didapatkan PEA (Pulseless Electric Activity), sebelumnya dikenal
sebagai Electromechanical Dissociation, merupakan dimana
pada EKG didapatkan irama sedangkan pada perabaan nadi
tidakditemukan pulsasi. PEA Amplitude gelombang P dan QRS
berkurang pada setiap gelombang berikutnya. PEA dapat ditemukan
pada tamponade jantung, tension pneumothorax, hipovolemia, atau
ruptur jantung. Dengan EKG 12 lead berikut suspek tamponade
jantung:
Sinus tachycardia
Kompleks QRS Low-voltage
Electrical alternans: kompleks QRS alternan, biasanya rasio 2:1,
terjadi karena pergerakan jantung pada ruang pericardium.
Electrical ditemukan juga pada pasien dengan myocardial
ischemia, acute pulmonary embolism, dan tachyarrhythmias.
PR segment depression
EKG juga digunakan untuk memonitor jantung ketika melakukan
aspirasi pericardium
4) Echocardiografi
Meskipun echocardiografi menyediakan informasi yang berguna,
tamponade jantung adalah diagnosis klinis.
5) Pulse oksimetri
Variabilitas pernapasan di pulse-oksimetri gelombang dicatat pada
pasien dengan paradoksus pulsus. Dalam kelompok kecil pasien
dengan tamponade, Stone dkk mencatat peningkatan variabilitas
pernapasan di pulsa-oksimetri gelombang pada semua pasien. Ini
harus meningkatkan kecurigaan untuk kompromi hemodinamik. Pada
pasien dengan atrial fibrilasi, pulsa oksimetri dapat membantu untuk
mendeteksi keberadaan paradoksus pulsus.
6) USG FAST
Untuk mendeteksi cairan di rongga perikardium.
F. Penatalaksanaan
Jika terdapat gangguan hemodinamik, resusitasi cairan atau inotropik
intravena dapat diberikan untuk mempertahankan hemodinamik, sambil
mempersiapkan pasien untuk dilakukan perikardiosintesis. Tamponade
jantung berhubungan dengan trauma jantung atau diseksi aorta memerlukan
intervensi bedah segera.
Aspirasi perikardial idealnya harus dilakukan dengan skrining x-ray
penuh, pemantauan irama dan fasilitas resusitasi tersedia. Ekokardiografi
dapat digunakan untuk memandu aspirasi perikardial karena emungkinkan
visualisasi ruang perikardial, miokardium dan aspirasi jarum. Karena itu
dapat memberikan indikasi pendekatan garis terbaik.
Pasien ditempatkan pada 30-45 derajat cairan perikardial anterior dan
inferior. Pasien kemudian dihubungkan ke monitor EKG.
Gunakan jarum dengan N0. 18. Lead V1 dari mesin EKG dapat
dihubungkan kepusat logam jarum melalui klip steril untuk menyediakan
pemantauan terus menerus dari ujung tusukan jarum.
Meskipun beberapa literature menganjurkan untuk perikardiosentasis,
pendekatan subxiphoid lebih disukai seperti extrapleural dan menghindari
koroner, perikardial internal dan arteri daerah payudara. Kulit dibersihkan
dan lignokain menyusup antara sisi kiri dan xipisternum batas kosta
berdekatan kiri, dengan titik diarahkan pada bahu kiri, 45 derajat pada
kulit.
Jarum dimajukan sambil aspirasi secara berkala dan menyuntikkan
sejumlah kecil og lignokain. Jarum maju sampai cairan disedot,
menunjukkan bahwa jarum telah mencapai ruang perikardial. Jika
menggunakan monitoring EKG, elevasi ST menunjukkan bahwa ujung
jarum berada dalam kontak dengan miokardium. Sebagai alternatif, injeksi
beberapa mililiter media kontras dapat digunakan untuk menentukan
apakah jarum dalam ruang perikardial atau dalam ruang jantung. Jika
media kontras swirlsand dengan cepat tersebar, maka jarum dalam ruang
jantung. Jarum suntik akan dihapus dan kawat pemandu yang dimasukkan
di bawah kontrol radiologis atau ekokardiografi.
Cairan perikardial harus dikirim untuk mikrobiologi (mikroskop, aerobik
dan anaerobik kultur dan sensitivitas, termasuk untuk jamur dan
investigasi tuberkulosis), biokimia (protein dan glukosa) dan sitologi.
Kateter umumnya dihapus setelah 24-48 jam, untukmemperbaiki
kemungkinan infeksi.
Pasca prosedur x-ray dada diperoleh untuk menyingkirkan pneumotoraks.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dari rujukan puskesmas dengan keluhan sesak nafas dan
nyeri dada sebelah kanan post kecelakaan lalu lintas dengan sepeda motor.
Pasien merupakan seorang pria berusia 85 tahun. Pasien mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus dan Hipertensi. Pasien
datang ke IGD dalam kesadaran compos mentis namun kesan umumnya
lemah dan tampak sesak nafas. Pasien juga mengeluh nyeri pada dada dan
bahu kanan.
Saat pasien mengeluh sesak nafas, maka harus dicurigai ada hambatan
baik pada airway atau breathing. Pada saat memeriksa airway pasien, ada tiga
aspek yang dapat dinilai yakni yang dapat dilihat, yang dapat didengar, dan
dirasakan/dipalpasi. Dapat dinilai apakah ada obstruksi pada jalan nafas,
sumbatan yang mengganggu saluran pernafasan, fraktur pada os nasal, os
maksila atau pada tulang wajah yang lainnya. Pasien tampak sesak nafas,
namun tidak ditemukan tanda-tanda hipoksia seperti agitasi, sianosis, dan
retraksi dada. Amati pula suara tambahan paru yang mungkin didapat dengan
auskultasi. Pada pasien ini didapatkan suara nafas tambahan wheezing pada
kedua lapang paru dan ronkhi basah kasar di kedua lapang paru.
Bunyi wheezing pada pasien menandakan adanya obstruksi parsial
pada airway. Sedangkan ronkhi menandakan adanya timbunan cairan di
sekitar alveolus. Pada pasien yang masih dapat berbicara dianggap tidak ada
hambatan pernafasan, sedangkan pada pasien dengan GCS < 8 membutuhkan
airway definitif dengan intubasi maupun krikotiroidotomi. Pada pasien ini
diberikan oksigenasi dengan NRM 10 liter per menit.
Setelah memastikan gangguan pada airway maupun breathing teratasi,
maka nilai sirkulasi pasien. Pada pemeriksaan ini, tim medis harus
emnemukan apakah terdapat perdarahan-perdarahan yang besar. Pada pasien
ini tidak ditemukan tanda-tanda perdarahan masif. Penilaian sirkulasi
dilakukan dengan memeriksa tingkat kesadaran, menilai tekanan darah, nadi,
akral, dan warna kulit pasien. Pada pasien ini tidak terjadi penurunan keadaan
yang mengarah ke keadaan syok. Tekanan darah dan nadi pasien stabil
walaupun tinggi. Juga tidak ada perubahan akral menjadi dingin dan warna
kulit menjadi pucat.
Aspek selanjutnya yang penting untuk diperiksa adalah disability.
Aspek ini meliputi kesadaran pasien, pemeriksaan pupil, pemeriksaan
kekuatan anggota tubuh, adanya jejas maupun fraktur. Pada pasien ini tidak
terjadi perubahan ukuran pupil yang menandakan kesadaran pasien masih
baik. Namun ditemukan nyeri tekan pada bahu dan dada kanan yang
menunjukkan tanda-tanda trauma ataupun fraktur pada tempat tersebut. Pasien
juga tidak memiliki kesulitan menggerakan anggota tubuhnya.
Setelah ±30 menit berlalu, terjadi pembesaran yang dimulai pada
beberapa bagian tubuh atas seperti kedua ekstremitas atas, toraks, leher,
wajah, dan kedua palpebra. Selain itu ditemukan juga krepitasi saat dilakukan
penekanan pada bagian yang membesar. Krepitasi menandakan adanya udara
yang terjebak di dalam jaringan subkutan atau jaringan bawah kulit. Trauma
tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada bagian dada
merupakan penyebab umum terjadinya emfisiema subkutis, dimana udara
yang berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Trauma
pada dada yang menyebabkan robeknya pleura, sehingga udara yang berasal
dari paru menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis
juga dapat terjadi pada pasien dengan patah tulang iga, dimana iga melukai
parenkim paru yang menyebabkan rupturnya alveolus.
Emfisema subkutan dapat diketahui bila ada gambaran rongga hitam
di bawah kulit. Udara yang tadinya terjebak di dalam mediastinum lambat
laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi yaitu daerah leher. Di
sekitar leher banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara sehingga
bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak, akan mendesak jaringan ikat
tersebut dan menyebabkan bunyi krepitasi saat palpasi.
Pada pemeriksaan foto rontgen thoraks, didapatkan beberapa kelainan
salah satunya adalah tampak gambaran opasitas inhomogen di lobus superior
pulmo bilateral mengarah gambaran contusio pulmo. Kontusio pulmo akan
menyebabkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam paru-paru. Dalam
perkembangannya selama 72 jam, keadaan ini akan menyebabkan akumulasi
cairan yang akan menyebabkan terganggunya proses difusi atau pertukaran
gas oleh alveoli. Jika perdarahannya luas, maka keadaan ini akan memicu sel
parenkim paru melakukan konsolidasi. Konsolidasi akan menyebabkan
inaktivasi surfaktan dan peningkatan tegangan permukaan paru yang berakibat
pada kompromi pernafasan yang lebih parah.
Selain itu, pada pemeriksaan foto thorax ditemukan pula gambaran
fraktur os costa V dan VI serta os clavicula dekstra yang menyebabkan pasien
mengeluh nyeri di bagian dada dan bahu kanan. Kondisi ini mungkin
berhubungan dengan keluhan sesak nafas pasien karena ditemukan pula
gambaran pneumothorax desktra. Pada kasus ini pneumothoraks mungkin
disebabkan karena adanya trauma tumpul atau robekan pleura yang
disebabkan oleh patahan os costa yang mencuat dan melukai pleura.
Tekanan normal cairan intrapleura – 10 mmHg, yang berguna
untuk penghisap sehingga pentung guna mempertahankan pleura viscelaris
dan pulmo melekat erat pada pleura parietalis rongga dada. Dalam kasus ini,
robekan pleura parietalis mungkin disebabkan oleh adanya trama tumpul atau
perlukaan karena fmultiple raktur os costa V dan VI. Jika udara terus menerus
terperangkap di dalam rongga pleura, maka akan menyebabkan paru menjadi
menguncup karena elastisnya jaringan paru dan karena tidak ada tekanan
negatif yang menyedotnya. Keadaan ini disebut kolaps paru. Paru yang kolaps
akan menyebabkan kolapsnya alveolus. Alveolus yang kolaps tidak akan
memungkinkan terjadinya pertukaran gas sehingga ventilasi akan terganggu
dan pasien akan mengalami dyspnea.
Gambaran lainnya yang ditemukan dalam foto thoraks adalah adanya
hematothoraks minimal pada sisi dekstra. Pada kasus pasien ini,
hematothoraks dapat disebabkan oleh rupturnya arteri intercostal atau a.
mamari interna. Menurut jumlah kehilangan darahnya, hematotoraks
diklasifikasikan menjadi tiga jenis yakni minimal, sedang, dan masif. Selain
melihat dari gamabaran foto thoraks, kita lebih dulu dapat menilai sistem
hemodinamik pasien dinilai dari tanda-tanda vitalnya. Pada kasus ini tidak
terjadi perubahan tanda-tanda vital ke arah syok. Penilaian hemogolobin
sangat penting dalam mendiagnosis adanya hematotoraks. Pada saat
pemeriksaan hemoglobin pasien didapatkan hasil sebesar 13,7% dimana
angka tersebut masih tergolong normal rendah.
Pembengkakan bagian tubuh yang dialami oleh pasien ini disebabkan
oleh udara yang terjebak di jaringan subkutan. Penanganan awal yang
dilakukan berupa insisi pada beberapa bagian tubuh yang bertujuan untuk
mengeluarkan udara dari dalam jaringan ikat tersebut. Setelah itu dilakukan
pemasangan selang WSD di linea axilaris anterior dekstra setinggi SIC 6.
Pemasangan WSD dilakukan untuk mengembalikan tekanan
intrapleura kembali negatif seperti semula. Pemasangan troakar disertai
dengan kateter toraks kemudian setelah masuk ke dalam rongga toraks,
troakar dapat dicabut. Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien
dihubungkan ke dalam satu botol yang memungkinkan udara dan cairan
mengalir dari rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara maupun cairan
kembali ke dalam rongga dada. Secara fungsional, drainase tergantung pada
gaya gravitasi dan mekanisme pernafasan, oleh karena itu botol harus
diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah cairan di dalam botol meningkat,
udara dan cairan akan menjadi lebih sulit keluar dari rongga dada, dengan
demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya.
Setelah pemasangan WSD, dapat diamati timbulnya bubble dan darah
pada botol yang terisi air. Timbulnya bubble menunjukkan bahwa terdapat
udara yang mengalir melalui selang.
BAB V
KESIMPULAN
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks
dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma
dinding thoraks, fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma
tumpul pada parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor,
pneumotoraks dan hematotoraks.
Akibat trauma thoraks, aka nada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan
terjadi ketika jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan
pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang
tidak bergerak. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di
dalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari system pernafasan dan
kardiovaskuler. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik.
Pasien dengan trauma harus segera ditangani menggunakan prinsip
Advanced Trauma Life Support (ATLS) yang terdiri dari Primary Survey dan
Secondary Survey. Primary Survey meliputi Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan Environment/Exposure. Sedangkan secondary survey meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan setelah memastikan bahwa komponen
primary survey stabil.