Anda di halaman 1dari 50

PRESENTASI KASUS

TRAUMA TORAKS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Bagian Ilmu Bedah
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Qanita Khairunnisa
20174011088

Diajukan kepada:

dr. Wahyu Rathariwibowo, Sp. B, FINACS

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Panembahan Senopati
HALAMAN PENGESAHAN
TRAUMA THORAKS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Bedah
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:

QANITA KHAIRUNNISA

20174011088

Telah disetujui dan dipresentasikan pada :


2018

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Wahyu Rathariwibowo, Sp. B, FINACS


BAB I

PENDAHULUAN

Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks


dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan
kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga
penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005).
Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim
paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan
hematotoraks. (Milisavljevic,et al., 2012).

Di Amerika didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma,


25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di Australia, 45% dari
trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya trauma pada thoraks
akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma.Trauma
thoraks dapat meningkatkan kematian akibat pneumothoraks 38%,
hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69%
(Eggiimann, 2001; Jean, 2005).

Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding


thoraks, fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada
parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumothoraks dan
hematothoraks (Milisavljevic, et al., 2012).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. I
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 88 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bantul, DIY
Agama : Islam
NO. CM : 62-22-70
Tanggal Masuk : 9/3/20118
Tanggal Keluar : 25/3/2018
B. Primary Survey
A : Airway
Look : Agitasi (-) Sianosis (-) Retraksi (-) Penggunaan otot
nafas tambahan (-) secret (-) darah (+)
Listen : Stridor (-) Wheezing (-/-) Ronkhi basah kasar (-/-)
Feel : deviasi trakea (-)
Pengelolaan:
 Posisikan pasien dalam keadaan head-tilt, chin lift, atau
jaw thrust.
 Pasang suction jika terdapat cairan atau darah yang
menyumbat jalan nafas
B : Breathing
Dispnea (+) Kussmaul (-) Thorak simetris (+/+) perkusi
hipersonor (+) wheezing (-/-) ronkhi basah kasar (-/-)
Pengelolaan:
 Pasang O2 konsentrasi tinggi dengan nasal kanul,
NRM, atau face mask
 Mengatasi emfisema subcutis dengan insisi multiple
pada bagian kutis pasien
 Mengatasi pneumotoraks dengan melakukan
pemasangan Water Seal Drainage
 Melakukan pemasangan pulse oximetry untuk evaluasi
saturasi pasien
C : Circulation
Takikardi (+) irama nadi regular (+) akral hangat (+) edema (+)
sianosis sentral (-) warna kulit coklat kehitaman, Tekanan
Darah: 180/100 mmHg
Pengelolaan:
 Pemasangan IVFD dengan RL
 Pemasangan cateter urin untuk memantau balance
cairan
 Pengambilan sampel darah pasien
 Menyelimuti pasien untuk mencegah hipotermia
D : Disability
GCS: 15 Composmentis, pupil isokor (+/+) Plegi (-) Parese (-)
Fraktur clavicula dekstra. Jejas (-) Luka (-)
Monitor Tanda-Tanda Vital
Waktu TD Nadi Nafas SpO2 (%)
(mmHg) (kali/menit) (kali/menit)
10.45 180/100 110 30 96%
11.15 190/100 108 32 96%
12.00 190/100 108 30 90%
12.30 190/100 110 30 85%
13.00 Pemasangan WSD
13.30 SpO2 99%

C. Secondary Survey
1. Anamnesa
Pasien datang ke IGD atas rujukan Puskesmas Srandakan
dengan keluhan sesak nafas dan nyeri dada kanan post KLL
mengendarai sepeda dan masuk ke sawah. Pasien mengaku
tidak mengingat kejadian setelahnya. Pasien menyangkal
riwayat penyakit seperti DM dan hipertensi.
Alergi : (-)
Medikal : (-)
Past Illness : (-)
Last Meal : (-)
Environtment : Post KLL dengan sepeda motor
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : Rambut warna hitam, hematom (-), perdarahan (-)
b. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), racoon eyes (-/-) edema
palpebra (+/+) pupil isokor (+/+) dislokasi lensa (-/-)
c. Hidung : Deformitas (-) rinorrhea (+)
d. Telinga : Simetris kanan kiri, otorrhea (+)
e. Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab, darah (-)
f. Leher : Deviasi trakhea (-) penggunaan otot tambahan nafas(-)
Pembengkakan (+)
g. Thorax : Pembengkakan (+) Krepitasi (+)
 Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak pada sela iga V
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
 Paru-paru
- Inspeksi : Simetris, retraksi (-) flail chest (-)
- Palpasi : Vokal fremitus asimetris (+) penurunan vokal
fremitus kanan (+)
- Perkusi : Hipersonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler menurun (+/+), ronkhi basah kasar
(-/-) wheezing (-/-)
h. Abdomen :
- Inspeksi : Hematom (-)
- Auskultasi : Peristaltik (+)
- Perkusi : Timpani (+)
- Palpasi : Supel (+) Pembengkakan (+)
i. Ektremitas :
- Superior : Akral hangat (+ /+), edema (+/+) krepitasi (+)
- Inferior : Akral hangat (+ /+), edema (+/+) krepitasi (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 13,7 14-18 g/dl

Lekosit 13,93 4.00 - 11.00 10^3/uL

Trombosit 203 150 – 450 10^3/uL

Hematokrit 43,5 42.0 - 52.0 vol%

Eritrosit 4,83 4.00-5.00 10^6/uL

HITUNG JENIS

Eosinofil 10 2-4 %
Basofil 1 0-1 %

Batang 3 2-5 %

Segmen 55 51-67 %

Limfosit 30 20-35 %

Monosit 1 4-8 %

 Analisa Gas Darah


Analisa Gas Darah Hasil Rujukan Satuan
pH 7,35 7,35-7,45
pCO2 44 36-44 mmHg
pO2 166 80-100 mmHg
HCO3 24,3 22-28 Meq/l
SO2 99 94-98 %
BE -1,4 -2-2 mmol/l
TCO2 25,7 23-27 mmol/l
A-aDO2 -71 - mmHg
pAO2 95 - mmHg
RI -.4 -
PF 790 - mmHg
PAO2/pAO2 1,75 - mmHg
 Foto Rontgen Thoraks
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks


dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan
kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga
penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005).
Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim
paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan
hematotoraks. (Milisavljevic,et al., 2012).

Di Amerika didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma,


25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di Australia, 45% dari
trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya trauma pada thoraks
akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma.Trauma
thoraks dapat meningkatkan kematian akibat pneumothoraks 38%,
hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69%
(Eggiimann, 2001; Jean, 2005).

2. Anatomi Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama
sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki
peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida
(CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem
kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada
paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain yakni lobus
superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya
terdapat lobus superior dan lobus inferior. Di antara lobus – lobus paru kanan
terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara
di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua.
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal
sebagai cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan
penting, maka cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk
melindungi paru, terutama dari trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding
yang kuat yang tersusun atas 12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12
tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot – otot rongga dada. Otot – otot
yang menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk membantu respirasi
dan alat gerak untuk extremitas superior.

Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru


juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan
embriologi dari coelom extra embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi
menjadi tiga yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian
penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat dengan
substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah lapisan pleura
yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pelura bagian
penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini
merupakan pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral.
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pleura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura.
Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma.
Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum
thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan
sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura
thoracis superior. Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal
akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam
aliran limfe pleura.
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan
yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting
pada proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru,
dikarenakan pada cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik
menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka paru
akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan
ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura.

3. Etiologi

Trauma pada thoraks dapat dibagi menjadi dua yaitu trauma tumpul
dan trauma tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima
jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang,
berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk
mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma
yang berbeda. Penyebab trauma thoraks oleh karena trauma tajam dibedakan
menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti
trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol, dan berenergi tinggi seperti
pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks yang lain adalah adanya
tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan
pneumothoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).

4. Patofisiologi
Akibat trauma thoraks, aka nada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan
terjadi ketika jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan
pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang
tidak bergerak. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di
dalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari system pernafasan dan
kardiovaskuler. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik.
Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang
paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks,
perdarahan massif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada
kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma
ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang
cenderung sedikit (Milisavljevic, et al). Trauma thoraks yang membutuhkan
tindak darurat adalah obstruksi jalan nafas, hemotoraks massif, tamponade
jantung, pneumotoraks desak, flail chest, pneumotoraks terbuka, dan
kebocoran udara trakea bronkus.

KONTUSIO PULMO

A. Definisi
Kontusio pulmo didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum yang
berpotensi mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan
berkembang dari waktu daripada yang terjadi seketika. Kontusio paru adalah
memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul
dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke
dalam jaringan paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan elastisitas
normal. Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam pertama
setelah cedera, berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus yang lebih
serius. Sebagai hasil dari ini dan proses patologis lainnya, memar paru
berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan hipoksia.
Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan cairan kapiler
bocor ke dalam jaringan di sekitarnya.

Kerusakan membran kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil


menyebabkan darah dan cairan bocor ke dalam alveoli dan ruang interstisial
paru. Dengan trauma yang lebih parah, ada sejumlah besar edema,
perdarahan, dan robeknya alveoli. Kontusio paru ditandai oleh
microhemorrhages (pendarahan kecil) yang terjadi ketika alveoli yang
traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas dan pembuluh darah. Darah
awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan kemudian edema terjadi oleh
satu atau dua jam setelah cedera. Sebuah area perdarahan di paru-paru yang
mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh daerah edema.

Dalam pertukaran gas yang normal, karbondioksida berdifusi melintasi


endotelium kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel alveolar, oksigen
berdifusi ke arah lain. Akumulasi cairan mengganggu pertukaran gas, dan
dapat menyebabkan alveoli terisi dengan protein dan robek karena edema dan
perdarahan. Semakin besar daerah cedera, kompromi pernafasan lebih parah,
menyebabkan konsolidasi. Kontusio paru dapat menyebabkan bagian paru
mengalami konsolidasi, kolaps alveoli, dan atelektasis (kolaps paru parsial
atau total) terjadi. Konsolidasi terjadi ketika bagian dari paru-paru yang
biasanya diisi dengan udara digantikan dengan bahan dari kondisi patologis,
seperti darah.

Makrofag, neutrofil, dan sel-sel inflamasi lainnya dan komponen darah


bisa memasuki jaringan paru dan melepaskan faktor-faktor yang
menyebabkan peradangan, meningkatkan kemungkinan kegagalan
pernapasan. Sebagai respon terhadap peradangan, terjadilah hipersekresi
mukus, Jika peradangan ini cukup parah, dapat menyebabkan disfungsi paru-
paru seperti yang terlihat pada sindrom distres pernapasan akut.

Ventilasi/perfusi mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi perfusi


adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli (ventilasi)
adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi. Rasio ini menurun
pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat terisi dengan udara,
oksigen tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan darah meninggalkan paru-
paru tanpa sepenuhnya mengandung oksigen. Kurangnya inflasi paru-paru,
hasil dari ventilasi mekanis tidak memadai atau yang terkait, cedera seperti
flail chest, juga dapat berkontribusi untuk ketidakseimbangan
ventilasi/perfusi. Sebagai ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi,
saturasi oksigen darah berkurang. Vasokonstriksi dapat terjadi pada paru yang
mengalami hipoksia, di mana pembuluh darah di dekat alveoli yang hipoksia
mengerut sebagai respons terhadap kadar oksigen rendah.

B. Pemeriksaan Penunjang
o Analisa Gas Darah
o Rontgen Thorax
o CT Scan
C. Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan Utama: Patensi airway, oksigenasi adekuat, kontrol nyeri
 Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah
cedera tambahan, dan memberikan perawatan suportif sambil menunggu
luka memar paru sembuh.
 Penatalaksanaan pada kontusio ringan
o Nebulisasi
o Postural drainase
o Fisioterapi dada
o Suctioning
o Nyeri: Anastesi Spinal, Opioid
o Oksigenasi 24-36 Jam pertama
o Antibiotik
 Penatalaksanaan pada kontusio sedang
o Intubasi
o Ventilator PEP
o Diuretik
o NGT
o Cek Kultur
 Penatalaksanaan pada kontusio berat
o Intubasi Endotracheal
o Ventilator
o Diuretik
o Anti mikrobal
o Pembatasan cairan
PNEUMOTORAKS
A. Definisi
Pneumothoraks adalah adanya udara pada rongga pleura.
Pneumothoraks sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura
parietalis dan visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru
dapat menyebabkan pneumothoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis
dapat menyebabkan terbentuknya emfisema subkutis. Pneumothoraks pada
trauma tumpul thoraks terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba-
tiba menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat
menyebabkan ruptur alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke
pleura visceralis ke mediastinum menyebabkan pneumothoraks atau emfisema
mediastinum. Selain itu pneumothoraks juga dapat terjadi ketika adanya
peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup
menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau
bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari
trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada
pneumothoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu.
B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumothoraks dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu:
1. Pneumothoraks spontan
Yaitu pneumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pnuemothoraks tipe
ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
 Pneumothoraks spontan primer, yaitu pneumothoraks yang
terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya.
 Pneumothoraks spontan sekunder, yaitu pneumothoraks yang
terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah
dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), kanker paru, infeksi, dan asma.

2. Pneumotoraks Traumatik
Yaitu suatu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma,
baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya
pleura, dinding dada maupun paru. Pneumothoraks tipe ini juga dapat
diklasifikan ke dalam dua jenis yaitu:
 Pneumotoraks traumatic non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi akibat jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada dan barotrauma.
 Pneumotoraks traumatic iatrogenic, yaitu pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikan ke


dalam tiga jenis, yaitu:

1. Pneumotoraks Tertutup
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negative karena diserap oleh jaringan
paru di sekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami
reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negative. Pada waktu terjadi gerakan
pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negative.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumotoraks)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
(terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks
terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai
dengan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernafasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negative dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirsi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terbuka.
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumotoraks)
Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan
intrapleura yang positif yang makin lama makin bertambah besar
karena terdapat fistula di pleura visceralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trachea, bronchus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistula
yang terbuka. Saat ekspirasi, udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar. Hal ini mengakibatkan tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga
sering menimbulkan gagal napas.
Pada penumotoraks desak traumatic dapat terjadi emfisema.
Karena tingginya tekanan di rongga pleura, udara ditekan masuk ke
jaringan lunak melalui luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah
membengkak seperti pada udem hebat. Pada perabaan terdapat
krepitasi yang mungkin meluas ke jaringan subkutis toraks.
C. Manifestasi Klinis
o Sesak nafas, didapatkan pada hamper 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
o Nyeri dada, didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan.
o Batuk-batuk, didapatkan pada 25-30% pasien.
o Denyut jantung meningkat.
o Kulit tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.

D. Penegakkan Diagnosis
1) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
a) Inspeksi
 Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit
(hiperekspansi dinding dada)
 Pada waktu respirasi, terdapat ketertinggalan gerak
pada bagian yang sakit.
 Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
b) Palpasi
 Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat melebar atau
normal
 Iktus cordis terdorong ke sisi toraks yang sehat
 Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi
yang sakit
c) Perkusi
 Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai
timpani dan tidak menggetar.
 Batas jantung terdorong kea rah toraks yang sehat,
apabila tekanan intrapleura tinggi.
d) Auskultasi
 Pada bagian yang sakit, suara napas vesikuler melemah
sampai menghilang
 Suara vocal melemah dan tidak menggetar serta
broncofoni negatif
2) Pemerikaan Penunjang
o Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus
pneumotoraks antara lain:
a) Bagian pneumothoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis akan tetapi
terbentuk lobuler sesuai lobus paru.
b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa
radiopaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menujukkan kolaps paru yang sangat luas.
c) Jantung dan trachea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostal melebar, diafragma mendatar dan tertekan
ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke
arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi
pneumotoraks ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.
d) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi
keadaan sebagai berikut:
1) Pneumoediastinum, terdapat ruang atau celah hitam
pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks.
Hal ini terjadi apabila pecahnya fistula mengarah
mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan
terjebak di mediastinum.
2) Emfisema Subkutan, dapat diketahui bila ada rongga
hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan
kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang
tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan
bergerak menuju daerah yang ebih tinggi, yaitu daerah
leher. Di sekitar leher banyak jaringan ikat yang mudah
ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut.
o Analisa Gas Darah
o CT Scan Thorax
E. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut:
1) Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungan alveoli dan rongga pleura telah
tertutup, maka udara yang berada di dalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan ini
terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka.
2) Tindakan Dekompresi
Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan
membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara:
a) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan menjadi negative karena mengalir ke luar melalui
jarum tersebut.
b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil
dengan pipa Water Sealed Drainage (WSD):
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantara troakar atau dengan bantuan
klem penjepit. Pemasukkan torakar dapat dimasukkan melalui
celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga
ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior.
Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid
klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga
pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan
pipa kaca WSD dihubungan melalui pipa plastic lainnya. Posisi
ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di
bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan
mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negative sebesar 10-20 cm H2O dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intrapleura sudah negative
kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24
jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi
positif maka pipa belum bias dicabut. Pencabutan WSD
dilakukan pada saat pasien ekspirasi maksimal.
3) Torakoskopi
Suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
4) Torakotomi
5) Tindakan Pembedahan
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian
dijahit.
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalam pleura yang
menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat
dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak.
d. Pelurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

HEMOTORAKS

A. Definisi
Hemotoraks merupakan suatu keadaan dimana darah terakumulasi
pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma pada dada yang
menjadi predisposisi terpenting perembesan darah berkumpul di kantong
pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura.
B. Etiologi
Sejauh ini penyebab umum dari hemotoraks adalah trauma pada
dinding toraks. Luka tembus paru, jantung, pembuluh darah besar atau
dinding dada adalah penyebab lain dari hemotoraks. Trauma tumpul pada
dada kadang-kadang dapat menyebabkan hemotoraks oleh karena laserasi
pembuluh darah.
Hemotoraks massif adalah terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500
cc dalam rongga pleura. Penyebabnya adalah luka tembus yang merusak
pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Selain itu juga
dapat disebabkan cidera benda tumpul. Kehilangan darah dapat menyebabkan
hipoksia.
C. Derajat Hematotoraks
a. Hemotoraks kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15%
pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga ke IX, dan jumlah darah
mencapai 300 ml.
b. Hemotoraks sedang: 15-35% tertutup bayangan pada foto rontgen,
perkusi pekak sampai iga ke VI, jumlah darah mencapai 800 ml.
c. Hemotoraks besar: lebih dari 35% tertutup bayangan pada foto
rontgen, perkusi pekak sampai cranial iga ke IV. Jumlah darah
melebihi 800 ml.
D. Patofisiologi
Hemotoraks disebabkan adanya laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang diakibatkan oleh
trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga
dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Perdarahan di dalam rongga
pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan dari jaringan dada di
dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis terhadap
perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik
dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan
kecepatan kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah
perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL
pada seorang pria 70-kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan
hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang
sama akan menyebabkan gejala awal syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan
penurunan tekanan darah). Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-
tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau
lebih (1500-2000 mL). Karena rongga pleura seorang pria 70-kg dapat
menampung 4 atau lebih liter darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi
tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura
dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan
ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka
pada dinding dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan
pasien mengalami dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea.
Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu
tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera,
tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana
hemothorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang
sekunder untuk penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut
tidak akut untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea
sering menjadi keluhan utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-
paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam
beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan
enzim pleura dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan
osmotic tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura
dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga
pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat
berkembang menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah.
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya
dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi
bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan
benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam
hemothorax yang terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan
pleura viseral. Proses adhesive ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya
dan mencegah dari berkembang sepenuhnya. Adapun tanda dan gejala adanya
hemotoraks dapat bersifat simptomatik namun dapat juga asimptomatik.
Asimptomatik didapatkan pada pasien dengan hemothoraks yang sangat
minimal sedangkan kebanyakan pasien akan menunjukan symptom,
diantaranya:
 Nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada
 Tanda-tanda shok seperti hipotensi, dan nadi cepat, pucat, akral dingin
 Tachycardia
 Dyspnea
 Hypoxemia
 Anxiety (gelisah)
 Cyanosis
 Anemia
 Deviasi trakea ke sisi yang tidak terkena
 Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical)
 Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena
 Dullness pada perkusi
 Adanya krepitasi saat palpasi
F. Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis hemothoraks berdasarkan pada data yang
diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesa didapatkan penderita hemothoraks mengeluh nyeri dada dan sesak
napas. Pada pemeriksaan fisik dari inspeksi biasanya tidak tampak kelainan,
mungkin didapatkan gerakan napas tertinggal atau adanya pucat karena
perdarahan kecuali hemothoraks akibat trauma. Pada perkusi didapatkan
pekak dengan batas tidak jelas, sedangkan pada auskultasi didapatkan bunyi
napas menurun atau bahkan menghilang. Sedangkan untuk pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan:
a) Foto Rontgen/Chest X-Ray
Adanya gambaran hipodense pada rongga pleura di sisi yang
terkena dan adanya mediastinum shift. Chest x-ray sebagi
penegakkan diagnostik yang paling utama dan lebih sensitif
dibandingkan yang lainnya.
b) CT Scan
Diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk
evaluasi lokasi clotting (bekuan darah) dan untuk menentukan
kuantitas atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.
c) USG
USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan
untuk pasien yang tidak stabil dengan hemothoraks minimal.
d) Analisis Gas Darah
Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkan
asidosis respiratori. Saturasi O2 arterial mungkin menurun
pada awalnya tetapi biasanya kembali ke normal dalam waktu
24 jam.
e) Pengecakan Darah Lengkap
Kadar Hb menurun <10 gr% menunjukkan adanya kehilangan
darah.
G. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan
hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta
udara dari rongga pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik
adalah dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi
darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.
Langkah selanjutnya untuk penatalaksanaan pasien dengan hemothoraks
adalah mengeluarkan darah dari rongga pleura yang dapat dilakukan dengan
cara:
 Chest tube (Tube thoracostomy drainage): Tube thoracostomy
drainage merupakan terapi utama untuk pasien dengan hemothoraks.
Insersi chest tube melalui dinding dada untuk drainase darah dan
udara. Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan
paru ke ukuran normal. Indikasi untuk pemasangan chest tube antara
lain:
o Adanya udara pada rongga dada (pneumotoraks)
o Perdarahan di rongga dada (hemotoraks)
o Post operasi atau trauma pada rongga dada (pneumothorax atau
hemotoraks)
o Abses paru atau pus di rongga dada (empyema)

 Adapun langkah-langkah dalam pemasangan chest tube thoracostomy


adalah sebagai berikut:
o Memposisikan pasien pada posisi trandelenberg
o Disinfeksi daerah yang akan dipasang chest tube dengan
menggunakan alkohol atau povidin iodine pada ICS VIII atau
ICS IX posterior Axillary Line
o Kemudian dilakukan anastesi local dengan menggunakan
lidokain
o Selanjutnya insisi sekitar 3-4 cm pada Mid Axillary Line
o Pasang curved hemostat diikuti pemasangan tube dan
selanjutnya dihubungkan dengan WSD (Water Sealed
Drainage)
o Lakukan jahitan pada tempat pemasangan tube
 Thoracotomy
Merupakan prosedur pilihan untuk operasi eksplorasi
rongga dada ketika hemothoraks massif atau terjadi perdarahan
persisten. Thoracotomy juga dilakukan ketika hemothoraks parah
dan chest tube sendiri tidak dapat mengontrol perdarahan sehingga
operasi (thoracotomy) diperlukan untuk menghentikan perdarahan.
Perdarahan persisten atau berkelanjutan yang segera memerlukan
tindakan operasi untuk menghentikan sumber perdarahan di
antaranya seperti ruptur aorta pada trauma berat. Operasi
(Thoracotomy) diindikasikan apabila:
o Satu liter atau lebih dievakuasi segera dengan chest tube
o Perdarahan persisten, sebanyak 150-200cc/jam selama 2-4 jam
o Diperlukan transfusi berulang untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik

TAMPONADE JANTUNG
A. Definisi
Tamponade jantung merupakan kompresi akut pada jantung yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraperikardial akibat pengumpulan
darah atau cairan dalam pericardium dari ruptur jantung, trauma
tembus atau efusi yang progresif.
Tamponade jantung merupakan sindroma klinis darurat yang terjadi
ketika darah atau cairan mengisi ruang perikardial, meningkatkan tekanan
intraperikardial dan mencegah pengisian ventrikel diastolik. Akibatnya,
tekanan vena sangat meningkat, dan ada penurunan volume pompa jantung
dan curah jantung dengan perkembangan syok. Pengembangan tamponade
berkaitan dengan kecepatan akumulasi cairan dan ketidakmampuan distensi
perikardium daripada kuantitas cairan. Jika cepat diakumulasi, atau jika
dibiarkan fungsi ventrikel kiri berkompromi karena alasan lain, sedikitnya 250
mL mungkin cukup untuk menimbulkan tamponade. Sebaliknya, mungkin
diperlukan lebih dari satu liter cairan untuk menghasilkan tamponade jika
terakumulasi selama jangka waktu yang panjang.
B. Etiologi
Dapat timbul karena:
1) Aortic aneurysm dissection
2) Kanker paru end-stage
3) Miokard infark akut
4) Pembedahan jantung
5) Perikarditis yang disebabkan infeksi bakteri atau virus,
6) Wound to the heart
7) Prosedur invasive jantung
C. Patofisiologi
Reddy et al menjelaskan 3 fase perubahan hemodinamik pada tamponade
o Fase I
Akumulasi cairan pericardial  peningkatan kekakuan ventrikel
 membutuhkan tekanan pengisian yang lebih besar. Selama fase
ini, tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan > tekanan
intrapericardial.
o Fase II
Peningkatan akumulasi cairan  tekanan pericardial lebih besar
dibandingan tekanan pengisian ventrikel  penurunan CO
o Fase III
Penurunan CO berlanjut, karena equilibrium tekanan perikardial
dan pengisian ventrikel kiri (LV).
Patofisiologi yang mendasari adalah berkurangnya pengisian
diastolic..
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik tamponade bervariasi, tergantung proses yang mendasarinya.
a. Ansietas
b. Nyeri dada
c. Menjalar ke leher, pundak, punggung atau abdomen
d. Tajam dan menusuk
e. Memburuk ketika tarik nafas dalam dan batuk
f. Dispneu
g. Tidak nyaman
h. Pingsan, melayang
i. Pucat atau sianosis
j. Palpitasi
k. Pernafasan cepat
E. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis tamponade jantung dapat ditegakkan dengan Beck’s triad
dan temuan klinis lainnya. Beck’s triad (acute compression triad):
1) Hipotensi akibat penurunan cardiac output
2) Suara jantung menjauh
3) Distensi vena jugularis (↑ JVP) akibat berkurangnya aliran
balik vena ke jantung.
Triad klasik ini biasanya ditemukan pada pasien dengan tamponade
jantung akut. Manifestasi klinisnya berupa:
1) Tanda Kussmaul (peningkatan JVP pada saat inspirasi)
2) Dispneu and Takipnue ( > 12 x/menit)
3) Pulsus paradoxus (penurunan minimal 10 mmHg tekanan arteri pada
saat inspirasi)
4) Oliguria
5) Takikardi ( > 100 x/menit)
6) Kompleks EKG yang low-voltage
7) ECG electrical alternans
8) Pada rontgen dada: tampak bayangan jantung yang membesar dengan
gambaran paru yang besih
Sedangkan pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan:
1) Rontgen dada
Menunjukkan gambaran “water bottle-shape heart”, kalsifikasi
perkardial. Kardiomegali bentuk bulat atau segitiga, dengan gambaran
paru yang bersih. Foto lateral kadang terlihat double fat stripe.
2) Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan etiologi terjadinya
tamponade jantung, misalnya pemeriksaan berikut :
o Peningkatan creatine kinase dan isoenzim pada MI dan trauma
jantung.
o Profil renal dan CBC uremia dan penyakit infeksi yang berkaitan
dengan pericarditis
o Protrombin time (PT) dan aPTT (activated partial thromboplastin
time) menilai resiko perdarahan selama intervensi misalnya
drainase perikardial.
3) Elektrokardiografi (EKG)
Didapatkan PEA (Pulseless Electric Activity), sebelumnya dikenal
sebagai Electromechanical Dissociation, merupakan dimana
pada EKG didapatkan irama sedangkan pada perabaan nadi
tidakditemukan pulsasi. PEA Amplitude gelombang P dan QRS
berkurang pada setiap gelombang berikutnya. PEA dapat ditemukan
pada tamponade jantung, tension pneumothorax, hipovolemia, atau
ruptur jantung. Dengan EKG 12 lead berikut suspek tamponade
jantung:
 Sinus tachycardia
 Kompleks QRS Low-voltage
 Electrical alternans: kompleks QRS alternan, biasanya rasio 2:1,
terjadi karena pergerakan jantung pada ruang pericardium.
Electrical ditemukan juga pada pasien dengan myocardial
ischemia, acute pulmonary embolism, dan tachyarrhythmias.
 PR segment depression
EKG juga digunakan untuk memonitor jantung ketika melakukan
aspirasi pericardium
4) Echocardiografi
Meskipun echocardiografi menyediakan informasi yang berguna,
tamponade jantung adalah diagnosis klinis.
5) Pulse oksimetri
Variabilitas pernapasan di pulse-oksimetri gelombang dicatat pada
pasien dengan paradoksus pulsus. Dalam kelompok kecil pasien
dengan tamponade, Stone dkk mencatat peningkatan variabilitas
pernapasan di pulsa-oksimetri gelombang pada semua pasien. Ini
harus meningkatkan kecurigaan untuk kompromi hemodinamik. Pada
pasien dengan atrial fibrilasi, pulsa oksimetri dapat membantu untuk
mendeteksi keberadaan paradoksus pulsus.
6) USG FAST
Untuk mendeteksi cairan di rongga perikardium.
F. Penatalaksanaan
Jika terdapat gangguan hemodinamik, resusitasi cairan atau inotropik
intravena dapat diberikan untuk mempertahankan hemodinamik, sambil
mempersiapkan pasien untuk dilakukan perikardiosintesis. Tamponade
jantung berhubungan dengan trauma jantung atau diseksi aorta memerlukan
intervensi bedah segera.
 Aspirasi perikardial idealnya harus dilakukan dengan skrining x-ray
penuh, pemantauan irama dan fasilitas resusitasi tersedia. Ekokardiografi
dapat digunakan untuk memandu aspirasi perikardial karena emungkinkan
visualisasi ruang perikardial, miokardium dan aspirasi jarum. Karena itu
dapat memberikan indikasi pendekatan garis terbaik.
 Pasien ditempatkan pada 30-45 derajat cairan perikardial anterior dan
inferior. Pasien kemudian dihubungkan ke monitor EKG.
 Gunakan jarum dengan N0. 18. Lead V1 dari mesin EKG dapat
dihubungkan kepusat logam jarum melalui klip steril untuk menyediakan
pemantauan terus menerus dari ujung tusukan jarum.
 Meskipun beberapa literature menganjurkan untuk perikardiosentasis,
pendekatan subxiphoid lebih disukai seperti extrapleural dan menghindari
koroner, perikardial internal dan arteri daerah payudara. Kulit dibersihkan
dan lignokain menyusup antara sisi kiri dan xipisternum batas kosta
berdekatan kiri, dengan titik diarahkan pada bahu kiri, 45 derajat pada
kulit.
 Jarum dimajukan sambil aspirasi secara berkala dan menyuntikkan
sejumlah kecil og lignokain. Jarum maju sampai cairan disedot,
menunjukkan bahwa jarum telah mencapai ruang perikardial. Jika
menggunakan monitoring EKG, elevasi ST menunjukkan bahwa ujung
jarum berada dalam kontak dengan miokardium. Sebagai alternatif, injeksi
beberapa mililiter media kontras dapat digunakan untuk menentukan
apakah jarum dalam ruang perikardial atau dalam ruang jantung. Jika
media kontras swirlsand dengan cepat tersebar, maka jarum dalam ruang
jantung. Jarum suntik akan dihapus dan kawat pemandu yang dimasukkan
di bawah kontrol radiologis atau ekokardiografi.
 Cairan perikardial harus dikirim untuk mikrobiologi (mikroskop, aerobik
dan anaerobik kultur dan sensitivitas, termasuk untuk jamur dan
investigasi tuberkulosis), biokimia (protein dan glukosa) dan sitologi.
Kateter umumnya dihapus setelah 24-48 jam, untukmemperbaiki
kemungkinan infeksi.
 Pasca prosedur x-ray dada diperoleh untuk menyingkirkan pneumotoraks.

ADVANCED TRAUMA LIFE SUPPORT


1. Primary Survey
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma.
Pada penderita yang terluka parah, terapinya diberikan prioritas. Tanda
vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan
penderita berupa primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi,
secondary survey, dan akhirnya terapi definitive. Proses ini merupakan
ABC-nya trauma, dan berusaha untuk mengenali keadaan yang
mengancam nyawa dengan berpatokan pada urutan berikut:
A : Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine
control)
B : Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C : Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
D : Disability, status neurologis
E : Exposure/Enviromental Control: buka pakaian penderita, cegah
hipotermia
A. Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas meliputi
pemeriksaan obstsruksi jalan nafas yang disebabkan bend asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibular atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha
untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini
dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang
dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih. Penderita dengan
GCS < 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive.
Hindari melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi dari leher. Dalam
kecurigaan adanya cidera servikal, harus dipakai alat mobilisasi seperti neck
collar, sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
B. Breathing dan Ventilasi
Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Lakukan
auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Lakukan
perkusi untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi
dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi.
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah
tension pneumotoraks, flail chest dengan kontusio paru, dan open
pneumotoraks. Keadaan-keadaan ini harus dikenali pada saat primary survey.
Hemotoraks, simple pneumotoraks, fraktur costa dan kontusio paru
mengganggu ventilasi dalam derajat yang lebih ringan dan harus dikenali
dalam secondary survey.
Dalam penilaian aspek Breathing jika terdapat kelainan dapat
diberikan pengelolaan berupa:
• Pemberian O2 konsentrasi tinggi
• Ventilasi
• Atasi tension pneumotoraks jika ada
• Tutup open pneumotoraks jika ada
• Pasang pulse oxymeter untuk memantau saturasi oksigen

C. Circulation dengan Kontrol Perdarahan


1) Volume darah dan Cardiac Output
Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik, yakni tingkat kesadaran,
warna kulit, dan nadi.
a) Tingkat Kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
akan mengakibatkan penurunan kesadaran.
b) Warna Kulit
Warna kulit dapat membantu mendiagnosis hypovolemia.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada
wajah dan ekstremitas, jarang dalam keadaan hypovolemia.
Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas
yang pucat merupakan tanda hypovolemia.
c) Nadi
Pemeriksaan nadi besar seperti a. femoralis atau a. karotis,
untuk kekuatan nadi, kecepatan, dan irama.
Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur biasanya merupakan
tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan
tanda hypovolemia. Jika tidak ditemukannya pulsasi arteri
besar merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2) Perdarahan
Perdarahan harus dikelola pada primary survey. Perdarahan eksternal
dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber perdarahan internal
adalah perdarahan dalam tongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari
tulang panjang, retro peritoneal akibat fraktur pelvis, atau sebagai
akibat dari luka tembus dada/perut.
D. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cidera spinal. GCS (Glasgow
Coma Scale) adalah system scoring yang sederhana untuk memperkirakan
outcome penderita.
E. Resusitasi
1) Oksigenasi dan ventilasi
2) Pengelolaan syok, jalur infus, RL yang dihangatkan
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut
cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk
memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka
bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus
Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL)
sebanyak 20 ml/kgBB selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa
diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
3) Meneruskan pengelolaan masalah yang mengancam nyawa yang
dikenali pada saat primary survey.
2. Secondary Survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai,
resusitasi dilakukan dan ABC penderita dipastikan membaik. Survey
sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital.
Pada survey sekunder ini dilakukan pemeriksaann neurologi
lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan pada
survey primer. Pada survey sekunder ini juga dilakukan foto rontgen
yang diperlukan. Prosedur khusus seperti lavase peritoneal, evaluasi
radiologis dan pemeriksaan laboratorium juga dikerjakan pada
kesempatan ini.
A. Anamnesis
A: Alergi
M: Medikasi
P: Past Illness
L: Last Meal
E: Event
B. Pemeriksaan Fisik
 Kepala
 Maksilo-fasial dan intra oral
 Leher
 Toraks
 Abdomen
 Perineum
 Musculoskeletal
 Pemeriksaan neurologis

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dari rujukan puskesmas dengan keluhan sesak nafas dan
nyeri dada sebelah kanan post kecelakaan lalu lintas dengan sepeda motor.
Pasien merupakan seorang pria berusia 85 tahun. Pasien mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus dan Hipertensi. Pasien
datang ke IGD dalam kesadaran compos mentis namun kesan umumnya
lemah dan tampak sesak nafas. Pasien juga mengeluh nyeri pada dada dan
bahu kanan.
Saat pasien mengeluh sesak nafas, maka harus dicurigai ada hambatan
baik pada airway atau breathing. Pada saat memeriksa airway pasien, ada tiga
aspek yang dapat dinilai yakni yang dapat dilihat, yang dapat didengar, dan
dirasakan/dipalpasi. Dapat dinilai apakah ada obstruksi pada jalan nafas,
sumbatan yang mengganggu saluran pernafasan, fraktur pada os nasal, os
maksila atau pada tulang wajah yang lainnya. Pasien tampak sesak nafas,
namun tidak ditemukan tanda-tanda hipoksia seperti agitasi, sianosis, dan
retraksi dada. Amati pula suara tambahan paru yang mungkin didapat dengan
auskultasi. Pada pasien ini didapatkan suara nafas tambahan wheezing pada
kedua lapang paru dan ronkhi basah kasar di kedua lapang paru.
Bunyi wheezing pada pasien menandakan adanya obstruksi parsial
pada airway. Sedangkan ronkhi menandakan adanya timbunan cairan di
sekitar alveolus. Pada pasien yang masih dapat berbicara dianggap tidak ada
hambatan pernafasan, sedangkan pada pasien dengan GCS < 8 membutuhkan
airway definitif dengan intubasi maupun krikotiroidotomi. Pada pasien ini
diberikan oksigenasi dengan NRM 10 liter per menit.
Setelah memastikan gangguan pada airway maupun breathing teratasi,
maka nilai sirkulasi pasien. Pada pemeriksaan ini, tim medis harus
emnemukan apakah terdapat perdarahan-perdarahan yang besar. Pada pasien
ini tidak ditemukan tanda-tanda perdarahan masif. Penilaian sirkulasi
dilakukan dengan memeriksa tingkat kesadaran, menilai tekanan darah, nadi,
akral, dan warna kulit pasien. Pada pasien ini tidak terjadi penurunan keadaan
yang mengarah ke keadaan syok. Tekanan darah dan nadi pasien stabil
walaupun tinggi. Juga tidak ada perubahan akral menjadi dingin dan warna
kulit menjadi pucat.
Aspek selanjutnya yang penting untuk diperiksa adalah disability.
Aspek ini meliputi kesadaran pasien, pemeriksaan pupil, pemeriksaan
kekuatan anggota tubuh, adanya jejas maupun fraktur. Pada pasien ini tidak
terjadi perubahan ukuran pupil yang menandakan kesadaran pasien masih
baik. Namun ditemukan nyeri tekan pada bahu dan dada kanan yang
menunjukkan tanda-tanda trauma ataupun fraktur pada tempat tersebut. Pasien
juga tidak memiliki kesulitan menggerakan anggota tubuhnya.
Setelah ±30 menit berlalu, terjadi pembesaran yang dimulai pada
beberapa bagian tubuh atas seperti kedua ekstremitas atas, toraks, leher,
wajah, dan kedua palpebra. Selain itu ditemukan juga krepitasi saat dilakukan
penekanan pada bagian yang membesar. Krepitasi menandakan adanya udara
yang terjebak di dalam jaringan subkutan atau jaringan bawah kulit. Trauma
tumpul maupun trauma penetrasi merupakan kondisi yang dapat
menyebabkan terjadinya emfisiema subkutis. Trauma pada bagian dada
merupakan penyebab umum terjadinya emfisiema subkutis, dimana udara
yang berasal dari dada dan paru dapat masuk ke kulit dinding dada. Trauma
pada dada yang menyebabkan robeknya pleura, sehingga udara yang berasal
dari paru menyebar ke otot-otot dan lapisan subkutan. Emfisiema subkutis
juga dapat terjadi pada pasien dengan patah tulang iga, dimana iga melukai
parenkim paru yang menyebabkan rupturnya alveolus.
Emfisema subkutan dapat diketahui bila ada gambaran rongga hitam
di bawah kulit. Udara yang tadinya terjebak di dalam mediastinum lambat
laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi yaitu daerah leher. Di
sekitar leher banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara sehingga
bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak, akan mendesak jaringan ikat
tersebut dan menyebabkan bunyi krepitasi saat palpasi.
Pada pemeriksaan foto rontgen thoraks, didapatkan beberapa kelainan
salah satunya adalah tampak gambaran opasitas inhomogen di lobus superior
pulmo bilateral mengarah gambaran contusio pulmo. Kontusio pulmo akan
menyebabkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam paru-paru. Dalam
perkembangannya selama 72 jam, keadaan ini akan menyebabkan akumulasi
cairan yang akan menyebabkan terganggunya proses difusi atau pertukaran
gas oleh alveoli. Jika perdarahannya luas, maka keadaan ini akan memicu sel
parenkim paru melakukan konsolidasi. Konsolidasi akan menyebabkan
inaktivasi surfaktan dan peningkatan tegangan permukaan paru yang berakibat
pada kompromi pernafasan yang lebih parah.
Selain itu, pada pemeriksaan foto thorax ditemukan pula gambaran
fraktur os costa V dan VI serta os clavicula dekstra yang menyebabkan pasien
mengeluh nyeri di bagian dada dan bahu kanan. Kondisi ini mungkin
berhubungan dengan keluhan sesak nafas pasien karena ditemukan pula
gambaran pneumothorax desktra. Pada kasus ini pneumothoraks mungkin
disebabkan karena adanya trauma tumpul atau robekan pleura yang
disebabkan oleh patahan os costa yang mencuat dan melukai pleura.
Tekanan normal cairan intrapleura – 10 mmHg, yang berguna
untuk penghisap sehingga pentung guna mempertahankan pleura viscelaris
dan pulmo melekat erat pada pleura parietalis rongga dada. Dalam kasus ini,
robekan pleura parietalis mungkin disebabkan oleh adanya trama tumpul atau
perlukaan karena fmultiple raktur os costa V dan VI. Jika udara terus menerus
terperangkap di dalam rongga pleura, maka akan menyebabkan paru menjadi
menguncup karena elastisnya jaringan paru dan karena tidak ada tekanan
negatif yang menyedotnya. Keadaan ini disebut kolaps paru. Paru yang kolaps
akan menyebabkan kolapsnya alveolus. Alveolus yang kolaps tidak akan
memungkinkan terjadinya pertukaran gas sehingga ventilasi akan terganggu
dan pasien akan mengalami dyspnea.
Gambaran lainnya yang ditemukan dalam foto thoraks adalah adanya
hematothoraks minimal pada sisi dekstra. Pada kasus pasien ini,
hematothoraks dapat disebabkan oleh rupturnya arteri intercostal atau a.
mamari interna. Menurut jumlah kehilangan darahnya, hematotoraks
diklasifikasikan menjadi tiga jenis yakni minimal, sedang, dan masif. Selain
melihat dari gamabaran foto thoraks, kita lebih dulu dapat menilai sistem
hemodinamik pasien dinilai dari tanda-tanda vitalnya. Pada kasus ini tidak
terjadi perubahan tanda-tanda vital ke arah syok. Penilaian hemogolobin
sangat penting dalam mendiagnosis adanya hematotoraks. Pada saat
pemeriksaan hemoglobin pasien didapatkan hasil sebesar 13,7% dimana
angka tersebut masih tergolong normal rendah.
Pembengkakan bagian tubuh yang dialami oleh pasien ini disebabkan
oleh udara yang terjebak di jaringan subkutan. Penanganan awal yang
dilakukan berupa insisi pada beberapa bagian tubuh yang bertujuan untuk
mengeluarkan udara dari dalam jaringan ikat tersebut. Setelah itu dilakukan
pemasangan selang WSD di linea axilaris anterior dekstra setinggi SIC 6.
Pemasangan WSD dilakukan untuk mengembalikan tekanan
intrapleura kembali negatif seperti semula. Pemasangan troakar disertai
dengan kateter toraks kemudian setelah masuk ke dalam rongga toraks,
troakar dapat dicabut. Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien
dihubungkan ke dalam satu botol yang memungkinkan udara dan cairan
mengalir dari rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara maupun cairan
kembali ke dalam rongga dada. Secara fungsional, drainase tergantung pada
gaya gravitasi dan mekanisme pernafasan, oleh karena itu botol harus
diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah cairan di dalam botol meningkat,
udara dan cairan akan menjadi lebih sulit keluar dari rongga dada, dengan
demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya.
Setelah pemasangan WSD, dapat diamati timbulnya bubble dan darah
pada botol yang terisi air. Timbulnya bubble menunjukkan bahwa terdapat
udara yang mengalir melalui selang.
BAB V
KESIMPULAN
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks
dan atau organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena
trauma tajam. Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma
dinding thoraks, fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma
tumpul pada parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor,
pneumotoraks dan hematotoraks.
Akibat trauma thoraks, aka nada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan, dan stress.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan
terjadi ketika jaringan kulit terpisah, dan stress merupakan tempat benturan
pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang
tidak bergerak. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ di
dalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari system pernafasan dan
kardiovaskuler. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik.
Pasien dengan trauma harus segera ditangani menggunakan prinsip
Advanced Trauma Life Support (ATLS) yang terdiri dari Primary Survey dan
Secondary Survey. Primary Survey meliputi Airway, Breathing, Circulation,
Disability, dan Environment/Exposure. Sedangkan secondary survey meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan setelah memastikan bahwa komponen
primary survey stabil.

Anda mungkin juga menyukai