Anda di halaman 1dari 9

CONDITION POST CHOLESISTECTOMY

Oleh :

dr. Indra Wiradinata

Pembimbing :

dr. Anbiar Manjas, SpB(K)BD

Bagian bedah RSUP. Dr. M. Djamil

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Padang

2015
Condition Post Cholesistectomy

1. Latar belakang

Sejak diperkenalkan oleh Muhe pada tahun 1986, kolesistektomi per laparoskopi

secara cepat menjadi terkenal dan untuk sekarang ini menjadi pilian terapi pada penyakit

batu empedu. Terdapat lebih dari 50.000 operasi kolesistektomi per laparoskopi per tahunnya

di Irlandia dan Inggris, dan lebih dari setengah juta orang di Amerika serikat tiap tahunnya.

Kolesistektomi dinyatakan sebagai operasi yang sukses dimana menghilangkan seluruh gejala

yang ada sewaktu preoperatif pada lebih dari 90% pasien. (Jaunoo SS, Mohanda S, Almond

LM., 2009)

Istilah sindroma post kolesistektomi pertama kali digunakan oleh Womack dan Crider

untuk menggambarkan keluhan-keluhan dari nyeri perut bagian atas yang berulang setelah

kolesistektomi, namun istilah ini sekarang ini digunakan untuk menggambarkan kumpulan

gejala dan keluhan setelah kolesistektomi. (Frantzides CT, Condon RE, 1991)

2. Definisi

Sindroma post kolesistektomi didefinisikan sebagai rekurennya gejala-gejala yang

mirip dengan yang pernah dirasakan oleh pasien sebelum operasi kolesistektomi. Gejala-

gejala tersebut yaitu rasa tidak nyaman pada perut bagian atas (khususnya kanan atas), mual,

muntah, kembung, flatulen, diare, baik dengan ataupun tanpa kuning (Jaunoo SS, Mohanda S,

Almond LM., 2009; Radu D, Georgescu D, Teodorescu M, 2012)

1
3. Insidensi

Insidensi dari kejadian sindroma post kolesistektomi adalah lebih kurang 40% dengan

onset gejala bervariasi mulai dari 2 hari hingga 25 tahun, dimana ditemukan 43% pada wanita

dan 28 % pada pria. (Jaunoo SS, Mohanda S, Almond LM., 2009). Sementara dari penelitian

lain didapatkan bahwa setelah kolesistektomi sekita 40-60% pasien akan mengalami

gangguan dispepsia dan sekitar 5 hingga 40% akan mengalami nyeri perut pada lokasi yang

berbeda-beda . (Turumin JL, 2015)

4. Etiologi
Etiologi dari terjadinya sindroma post kolesistektomi masih belum dapat dipastikan

dan mungkin bersifat multifaktorial. Faktor –faktor pencetusnya mungkin dapat berasal dari

intrinsik (hepatobilier) ataupun extrinsik (non-hepatobilier). (Frantzides CT, Condon RE,

1991). Penyebab terbanyak dari sindroma post kolesistektomi adalah gangguan non-

hepatobilier seperti refluks esofagitis, ulkus peptikum, irritable bowel syndrome, ataupun

pankreatitis kronis. (Jaunoo SS, Mohanda S, Almond LM., 2009)

Penyebab dari faktor intrinsik (hepatobilier) dapat berupa:

a. Striktur traktus bilier

Insidensi striktur duktus extrahepatik cenderung meningkat, hal ini mungkin

diperkirakan karena penggunaan laparoskopi kolesistektomi, karena cidera termal dapat

mengakibatkan nekrosis dari duktus biliaris dan kebocoran cairan empedu, tetapi cidera

termal yang minimal dapat menyebabkan fibrosis. (Jaunoo SS, Mohanda S, Almond LM.,

2009)

2
b. Bile leakage

Cidera duktus biliaris adalah komplikasi paling serius yang berhubungan dengan

laparoskopi kolesistektomi dengan rata-rata kejadian 0.4 hingga 4 % kejadian. Cidera ini

dapat mengakibatkan obstruksi duktus ataupun kebocoran cairan empedu. Cidera umumnya

terjadi ketika ahli bedah salah menafsirkan common hepatic duct dengan duktus sistikus yang

berakibat dilatasi duktus intrahepatal. (Jaunoo SS, Mohanda S, Almond LM., 2009).

c. Batu yang tertinggal

Insidensi batu yang tertinggal ataupun rekuren berkisar antara 1.2 hingga 14% kasus

dimana hanya 0.3 % yang menimbulkan gejala. Walaupun MRCP bergunan utnuk menilai

ada atau tidaknya batu di CBD, tapi pemeriksaan tersebut tidaklah rutin dikerjakan mengingat

biaya yang lumayan tinggi, oleh karena itu explorasi CBD dengan ataupun tanpa on table

cholangiography (OTC) dapat dilakukan sewaktu laparoskopi kolesistektomi, tetapi hal

tersebut tidaklah rutin dikerjakan kecuali adanya indikasi untuk hal tersebut. (Jaunoo SS,

Mohanda S, Almond LM., 2009)

d. Biloma kronik ataupun abses

Spillage stone dapat terjadi selama laparoskopi kolesistektomi dengan insidensi 0.1

hingga 20%, walaupun sebagian besar tidak menimbulkan gejala klinis, tapi dapat

mengakibatkan pembentukan abses baik di dinding abdomen ataupun di peritoneum utuk

mulai . Abses dapat terbentuk dalam rentang bulanan hingga tahunan setelah operasi. Spillage

stone dpat juga menimbulkan erosi sehingga menyebabkan fistula colovesika dan dapat

menjadi penyebab hernia inkarserata. (Jaunoo SS, Mohanda S, Almond LM., 2009)

3
e. Stump duktus sistikus yang terlalu panjang

Beberapa penelitian melaporkan bahwa panjang stump dari duktus sistikus > 1 cm

setelah kolesistektomi berperan dalam terjadinya sindroma post kolesistektomi. Para peneliti

juga melaporkan adanya kesamaan pada batu yang ditemukan pada stump duktus sistikus

dengan batu pada CBD, dimana insiden kejadian terjadinya batu di stump dari duktus sistikus

adalah < 2.5% (Jaunoo SS, Mohanda S, Almond LM., 2009). Pada penelitian Rogy et al

pada 322 pasien yang menjalani operasi kedua kalinya pada duktus biliaris setelah operasi

kolesistektomi sebelumnya, didapatkan bahwa 35 pasien dengan stump panjang (>1.5 cm),

dimana 24 pasien tersebut memiliki temuan patologis lainnya selain stump yang panjang, 11

sisanya, 8 pasien memiliki batu pada stump duktus sistikus, 1 pasien menderita granuloma

pada tempat jahitan, 1 pasien menderita fistel di antara duktus sistikus dan duodenum, dan

hanya 1 pasien yang memiliki stump yang panjang tanpa kelainan yang lain, dan hal ini

membuktikan bahwa stump yang panjang mungkin bukanlah penyebab dari timbulnya

sindroma post kolesistektomi dan exisi dari keseluruhan duktus sistikus tidak menghilangkan

kemungkinan untuk terjadinya sindroma post kolesistektomi.(Tantia O et al, 2008)

f. Stenosis ataupun diskinesia dari sfinter oddi

Disfungsi sfinter oddi telah dihubung-hubungkan sebagai penyebab dari sindroma

post kolesistektomi. Disfungsi ini dapat akibat dari stenosis ataupun spasme dari sfinter,

dimana kedua hal tersebut memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan. Walaupun

spasme dari sfinter diperkirakan paling memberikan peranan dalam hal terjadinya sindroma

post kolesistektomi, nyatanya pengobatan dengan pemberian relaxan otot seperti nitrat dan

antagonis kanal kalsium memberikan hasil mengecewakan. Akan tetapi ada akibat dari

spasme sfinter yang harus diwaspadai yakni perdarahan dan pankreatitis. (Jaunoo SS,

Mohanda S, Almond LM., 2009).

4
Fungsi dari sfinter oddi adalah untuk mengatur keluarnya cairan empedu dan pankreas

ke duodenum, dimana sewaktu sfinter ini berkontraksi, maka akan merubah CBD dan duktus

wirsung menjadi satu saluran sehingga dapat terjadi regurgitasi, terutama refluks pankreas

yang akan menimbulkan sindroma post kolesistektomi. (Colp R, 1944)

Oleh karena itu penting dilakukan endoskopi untuk mengetahui perlu tidaknya

dilakukan sfinterotomi. Tetapi terkadang disfungsi sfinter oddi tidak terbukti menjadi

penyebab dari sindroma post kolesistektomi karena disfungsi sfinter odii sering dibarengi

dengan keadaan gastroparesis dan gangguan motilitas esofagus. (Jaunoo SS, Mohanda S,

Almond LM., 2009).

Spasme sfinter dapat disebabkan oleh penyebab lokal (faktor intrabilier) seperti batu

sisa di duct sistiku ataupun di CBD, striktur, kolangitis ataupun pankreatitis, ataupun karena

gangguan spastik dari kolon. (Colp R, 1944)

g. Gastritis dan diare yang diinduksi oleh garam empedu

Asam empedu yang ada di kolon akan meransang sekresi air dan elektrolit, sehingga

akan meningkatkan motilitas kolon serta memperpendek colonic transit time yang akhirnya

akan mengakibatkan diare dan keluhan gastrointestinal lainnya (Walters J, Pattini S, 2010)

Beberapa literatur mengatakan bahwa sindroma post kolesistektomi disebabkan oleh

gangguan dari aliran empedu karena hilangnya fungsi reservoir dari kantong empedu. Dua

hal yang akan terjadi yaitu empedu yang akan terus mengalir ke saluran pencernaan bagian

atas yang akan menyebabkan esofagitis ataupun gastritis. Yang kedua adalah diare ataupun

nyeri kolik akibat asam empedu yang berlebih. (Daniela R, Georgescu D, Teodorescu M,

2015). Pilihan makanan sangat dianjurkan untuk menghindari terjadinya diare ataupun

gastritis seperti makanan tinggi lemak, makanan yang digoreng, dan makanan berkuah.

5
Makanan tinggi serat akan membantu menormalkan waktu transit di usus, makanan sering

dengan porsi kecil juga akan membantu untuk gastritis, makanan dengan protein dalam

jumlah kecil seperti produk laktosa, ikan ataupun ayam, non-fat meat, sayuran, buah dan

sereal. (Daniela R, Georgescu D, Teodorescu M, 2015).

Sehingga seharusnya diberitahukan kepada pasien bahwa ada kemungkinan terjadinya

keluhan-keluhan postoperatif yang dapat saja terjadi mulai dari beberapa hari hingga

beberapa dekade setelah operasi. (Daniela R, Georgescu D, Teodorescu M, 2015)

5. Kondisi setelah kolesistektomi

Ketiadaan kantong empedu memicu berkembangnya hipertensi bilier serta dilatasi

dari CBD dan duktus hepatikus komunis. Hipertensi pada CBD akan memicu

berkembangnya hipertensi pada duktus pankreas wirsung diiringi dengan gejala pankreatitis

kronis. (Turumin JL, 2015)

Sindroma post kolesistektomi adalah sebuah disfungsi dari sfinter oddi yang

disebabkan oleh gangguan obstruksi noncalculous yang akan menurunkan aliran empedu dan

pankreas ke duodenum. (Turumin JL, 2015)

Mekanisme terjadinya gangguan patologis post kolesistektomi: (Turumin JL, 2015)

a. Ketiadaan kantong empedu mengakibatkan berlebihnya aliran cairan empedu dari hepar

ke duodenum

1) meningkatkan frekuensi dari gallbladder-independent enterohepatic circulation dari

asam empedu, yang akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi dari asam

empedu di dalam sel hepatosit dan menurungkan fungsi ekskresi dan akumulasi dari

hepar.

6
2) meningkatkan gallbladder-independent enterohepatic circulation dari kolesterol dan

bilirubin, yang akan menyebabkan peningkatan penyerapan kolesterol di usus halus,

mempercepat kolesterol masuk ke hepatosit dan hipersekresi ke dalam bilirubin,

yang dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu.

3) Meningkatkan gallbladder-dependent output dari kolesterol dan konsentrasi dari

asam empedu di duodenum yang akan menyebabkan terbentuknya presipitat

kolesterol dalam lumen duodenum pasien post kolesistektomi.

b. Pada keadaan inkompeten dari sfinter oddi (hipotonus), akan terjadi duodeno-gastral

refluks karena berlebihnya aliran empedu ke duodenum, yang dapat menyebabkan

gastritis.

c. Pada keadaan disfungsi dari sfinter oddi (hipertonus), akan terjadi gangguan dari aliran

empedu ke duodenum yang akan mengakibatkan hipertensi bilier, dilatasi CBD, duktus

hepatikus komunis, hepatitis ataupun intrahepatic cholestasis, dan dapat juga

menyebabkan hipertensi dari duktus wirsung, sehingga menimbulkan gejala pankreatitis

kronis.

7
Daftar Pustaka

1. Turumin JL. Postcholecystectomy syndrome. Diakses tanggal 15 Desember 2015

[http://www.drturumin.com]

2. Colp R. The postcholecystectomy syndrome and its treatment. In Bulletin of the New

York Academy of Medicine. New York, 1944

3. Jaunoo SS, Mohandas S, Almond LM. Postcholecystectomy syndrome. In International

Journal of Surgery. Elsevier, 2010

4. Radu D, Georgescu D, Teodorescu M. Diet and Postcholecystectomy syndrome (PCS).

In Journal of Agroalimentary Processes and Technologies. Romania, 2012. 219-222

5. Tantia OM et al. Postcholecystectomy syndrome : Role of cystic duct stump and re-

intervention by laparoscopic surgery. In Journal of minimal access surgery. India, 2008

6. Frantzides CT, Condon RE. Postcholecystectomy syndrome. In Problem of General

Surgery. Lippincott. USA, 1991

7. Walters J, Pattini S. Managing bile acid diarrhoea. In Therapeutic Advances in

Gastroeneterology. 2010

Anda mungkin juga menyukai