Anda di halaman 1dari 34

COURSE 8

 NAME OF COURSE : Revolusi Kemerdekaan Indonesia


 The target audience : High School Student (SBMPTN)
 Time Frame : Completed March 2018
Overview and Course Objectives
Lessons:
1. Pembentukan BPUPKI dan Piagam Jakarta
2. Upaya Persiapan Kemerdekaan
3. Proklamasi Kemerdekaan
4. Proses Pembentukan Negara dan Kelengkapannya
5. Perkembangan Politik Pada Masa Awal Kemerdekaan
6. Agresi Militer Belanda
7. Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI
8. Perundingan-Perundingan Indonesia dengan Belanda
9. Konferensi Meja Bundar (Pengakuan Kedaulatan RIS)
BAB I
Pembentukan BPUPKI dan Piagam Jakarta

Pembentukan BPUPKI
Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang beliau
memberikan hadiah “ulang tahun” kepada bangsa Indonesia, yaitu janji pemerintah Jepang
berupa “kemerdekaan tanpa syarat”. Janji itu disampaikan kepada bangsa Indonesia dengan
maklumat Gunseikan. Bangsa Indonesia diperkenankan untuk memperjuangkan
kemerdekaannya.Bahkan dianjurkan kepada bangsa Indonesia untuk berani mendirikan
Negara Indonesia merdeka dihadapan musuh-musuh Jepang, yaitu sekutu termasuk kaki
tangannya NICA (Natherland Indie Civil Administration) yang ingin mengembalikan
kekuasaan koloninya di Indonesia.

Namun, para pengamat politik dan pakar sejarah politik Jepang pada umumnya berpendapat
bahwa janji itu diberikan oleh pemerintah jepang setelah mereka menyadari bahwa
pasukannya mulai terdesak oleh pasukan sekutu diberbagai wilayah pertempuran di Pasifik.
Jadi, janji pemerintah Jepang memberikan kemerdekaan kepada Negara Indonesia dalam
usaha mencari dukungan yang lebih besar di daerah pendudukan untuk membantu mereka
dalam peperangan melawan sekutu.Untuk itu pemeritah Jepang membentuk sebuah badan
yang bertugas menyelidiki usaha-usaha kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik
Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua, wakil ketua, serta para anggotanya, sebagai
berikut :
1. Ketua: Dr.K. R. T.Radjiman Wediodininingrat.
2. Wakil ketua : Itibangase Yosio dan R. P. Soeroso.
3. Anggota :Sejumlah 60 orang tidak termasuk ketua dan wakil ketua.

Anggota BPUPKI kebanyakannya berasal dari pulau Jawa, tetapi terdapat beberapa dari
Sumatra, Maluku, Sulawesi, dan beberapa orang peranakan Eropa, China, Arab.Semuanya
itu bertempat tinggal di Jawa. Jadi, BPUPKI bukanlah badan yang dibentuk atas dasar
pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Muhammad Hatta berusaha agar
anggota dalam badan ini cukup representative mewakili berbagai golongan dalam masyarakat
Indonesia.
Tujuan Berdirinya BPUPKI
Badan ini berdiri untuk merumuskan UUD, merumuskan falsafah Negara (Pancasila), yang
dipersiapkan untuk digunakan dalam Negara Indonesia yang akan merdeka.

Sidang Sidang BPUPKI


Masa Persidangan Pertama BPUPKI (29 Mei–1 Juni 1945)
Masa persidangan pertama BPUPKI dimulai pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni
1945 untuk membahas rumusan dasar negara untuk Indonesia merdeka. Pada persidangan
dikemukakan berbagai pendapat tentang dasar negara yang akan dipakai Indonesia merdeka.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Mr. Mohammad Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Sukarno.

1) Mr. Mohammad Yamin (29 Mei 1945)


Pemikirannya diberi judul ”Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” dan
mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yang intinya sebagai berikut:
1. peri kebangsaan;
2. peri kemanusiaan;
3. peri ketuhanan;
4. peri kerakyatan;
5. kesejahteraan rakyat.

2) Mr. Supomo (31 Mei 1945)


Pemikirannya berupa penjelasan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar
negara Indonesia merdeka. Negara yang akan dibentuk hendaklah negara integralistik yang
berdasarkan pada hal-hal berikut ini:
1. persatuan;
2. kekeluargaan;
3. keseimbangan lahir dan batin;
4. musyawarah;
5. keadilan sosial.

3) Ir. Sukarno (1 Juni 1945)


Pemikirannya terdiri atas lima asas berikut ini:
1. kebangsaan Indonesia;
2. internasionalisme atau perikemanusiaan;
3. mufakat atau demokrasi
4. kesejahteraan sosial`
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelima asas tersebut diberinya nama Pancasila sesuai saran teman yang ahli bahasa. Untuk
selanjutnya, tanggal 1 Juni kita peringati sebagai hari Lahir Istilah Pancasila.

b. Masa Persidangan Kedua (10–16 Juli 1945)


Masa persidangan pertama BPUPKI berakhir, tetapi rumusan dasar negara untuk Indonesia
merdeka belum terbentuk. Padahal, BPUPKI akan reses (istirahat) satu bulan penuh. Untuk
itu, BPUPKI membentuk panitia perumus dasar negara yang beranggotakan sembilan orang
sehingga disebut Panitia Sembilan.

Tugas Panitia Sembilan adalah menampung berbagai aspirasi tentang pembentukan dasar
negara Indonesia merdeka. Anggota Panitia Sembilan terdiri atas Ir. Sukarno (ketua),
Abdulkahar Muzakir, Drs. Moh. Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Mr. Moh. Yamin, H.
Agus Salim, Ahmad Subarjo, Abikusno Cokrosuryo, dan A. A. Maramis.

Panitia Sembilan bekerja cerdas sehingga pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan
dasar negara untuk Indonesia merdeka. Rumusan itu oleh Mr. Moh. Yamin diberi nama
Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Naskah Piagam Jakarta memut dasar negara sebagai
berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada masa persidangan kedua ini, BPUPKI juga membahas rancangan undang-undang dasar.
Untuk itu, dibentuk Panitia Perancang Undang- Undang Dasar yang diketuai Ir. Sukarno.
Panitia tersebut juga membentuk kelompok kecil yang beranggotakan tujuh orang yang
khusus merumuskan rancangan UUD.
Kelompok kecil ini diketuai Mr. Supomo dengan anggota Wongsonegoro, Ahmad Subarjo,
Singgih, H. Agus Salim, dan Sukiman. Hasil kerjanya kemudian disempurnakan
kebahasaannya oleh Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri atas Husein Jayadiningrat, H.
Agus Salim, dan Mr. Supomo. Ir. Sukarno melaporkan hasil kerja Panitia Perancang Undang-
Undang pada sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945.

Pada laporannya disebutkan tiga hal pokok, yaitu pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan
undang-undang dasar, dan undang-undang dasar (batang tubuh).
Pada tanggal 15 dan 16 Juli 1945 diadakan sidang untuk menyusun UUD berdasarkan hasil
kerja Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Pada tanggal 17 Juli 1945 dilaporkan hasil
kerja penyusunan UUD.
BAB II
Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Kekosongan Kekuasaan
Jepang mengalami banyak kekalahan dalam pertempuran di Laut Pasifik. Posisi pasukan
Jepang di Asia Pasifik juga semakin terdesak. Dalam setiap pertempuran menghadapi sekutu,
pasukan Jepang mengalami kekalahan. Pasukan Amerika Serikat melakukan serangan ke
pusat-pusat industri milik Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasaki. Bom atom dijatuhkan ke
kedua kota itu.

Hancurnya kedua kota itu membuat Jepang tidak berdaya lagi dan kemudian menyerah tanpa
syarat kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Menyerahnya pasukan Jepang kepada
sekutu mengakibatkan terjadinya kekosongan kekuasaan di wilayah Indonesia.

Keadaan ini merupakan peluang yang sangat baik bagi bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya. Para pemuda yang telah mendengar berita kekalahan
Jepang merasa kebingungan karena para pemimpin bangsa Indonesia sedang berada di
Saigon (Vietnam) untuk memenuhi panggilan Marsekal Terauchi.

Perbedaan Pendapat antara Golongan Muda dan Tua


Setelah kepulangan tokoh pemimpin Indonesia, terjadi perbedaan pendapat antara golongan
tua dan golongan muda. Golongan tua terdiri dari Soekarno, Hatta, Ahmad Soebardjo, dll.
Golongan muda yang tergabung dalam Pemuda Menteng 31 terdiri dari BM Diah, Sutan
Syahrir, Wikana, Chairul Saleh, dll.

Mendengar kabar bahwa Jepang kalah, Sutan Syahrir yang merupakan tokoh pemuda dengan
sigap menemui Moh.Hatta di kediamannya, Sutan Syahrir menyarankan agar Ir.Soekarno dan
Moh.Hatta dan golongan tua lainnya agar melangsungkan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Namun golongan tua masih belum setuju, dan merasa bahwa Jepang masih
berkuasa secara de facto.

Pertemuan Pemuda, 15 Agustus 1945


Setelah mendapatkan penolakan dari golongan tua, para pemuda mengadakan pertemuan
tertutup di sebuah ruangan belakang Laboratorium Biologi Pegangsaan Timur 17 (Saat ini
sudah menjadi FKM UI), sekitar pukul 20.00 tanggal 15 Agustus 1945. Pertemuan ini di
hadiri oleh 12 tokoh pemuda antara lain Chaerul Saleh, Darwis, Djohar Nur, Kusnandar,
Subadio, Subianto, Margono, Aidit Sunyoto, Abubakar, E.Sudeo, Wikana dan Armansyah.

Hasil keputusan rapat golongan muda menyatakan bahwa segala ikatan hubungan dengan
Jepang harus dihapuskan. Karena Indonesia harus merdeka dengan kekuatan sendiri, tidak
butuh bantuan negara lain, dan diharapkan keputusan ini bisa dirundingkan kembali dengan
Soekarno dan Hatta. Para pemuda menyadari bahwa Soekarno dan Hatta memiliki peranan
penting untuk merestui Proklamasi disegerakkan.

Sepulang dari pertemuan di Laboratorium Biologi, para pemuda yang diwakili oleh Wikana
dan Darwis sekitar pukul 22.00 datang ke kediaman Soekarno di Pegangsaan Timur No.56
untuk menyampaikan hasil keputusan perundingan yang baru diambil para pemuda. Namun
Soekarno tetap teguh pada pendiriannya menolak, karena Jepang masih berkuasa secara de
facto, dan Soekarno tidak ingin mengambil resiko jika Belanda kembali datang untuk
menjajah, setelah Jepang menyerah.

Mengamankan Soekarno dan Hatta

Akhirnya pada tengah malam, sekitar pukul 24.00 para pemuda itu meninggalkan kediaman
Soekarno dan langsung mengadakan pertemuan saat itu juga di Jl. Cikini 71 Jakarta.
Pertemuan kedua ini dihadiri oleh Sukarni, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh dan Shodanco
Singgih. Para pemuda yang masih kecewa bahwa keputusannya masih ditolak oleh golongan
tua, segera mengambil tindakan. Mereka mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok.

Keputusan Waktu yang Tepat untuk Proklamasi


Para pemuda yang berharap Soekarno dan Moh.Hatta bersedia menyatakan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945, masih tidak disetujui Soekarno. Para pemuda
tidak memaksakan kehendaknya, karena Soekarno dan Moh.Hatta memiliki wibawa
pemimpin yang membuat mereka segan untuk melakukan penekanan. Para pemuda
melakukan pendekatan agar bisa berdiskusi secara lebih bebas, dan sedikit memberikan
tekanan tanpa ada maksud untuk menyakiti kedua tokoh tersebut.
Melalui pembicaraan serius antara Shodanco Singgih dengan Soekarno yang
berusaha meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu dan para pejuang
Indonesia telah siap untuk melawan Jepang apapun resikonya, akhirnya Soekarno bersedia
memproklamasikan kemerdekan Indonesia setelah kembali ke Jakarta.

Dengan senang hati akan keputusan tersebut, pada siang hari Shodanco Singgih kembali ke
Jakarta untuk menyampaikan berita proklamasi kemerdekaan yang sudah mendapatkan
persetujuan oleh Soekarno.Sementara itu di Jakarta, sedang diadakan perundingan Ahmad
Subarjo (golongan tua) dan Wikana (golongan muda), hasil perundingan tersebut sampai
mencapai kata sepakat bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilaksanankan di
Jakarta dan Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumahnya sebagai tempat
perundinganan dan bersedia menjamin keselamatan para tokoh tersebut.
BAB IV
Proklamasi Kemerdekaan RI

Pertemuan Soekarno Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura


Pada malam harinya, setelah Soekarno dan Hatta bersama rombongan tiba di Jakarta pergi
menemui Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto (Kepala Staf Tentara ke XVI Angkatan Darat
yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang atau Gunseikan) untuk membicarakan
proklamasi esok hari, namun ia tidak mau menerima Soekarno-Hatta yang diantar oleh
Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura (Kepala
Departemen Urusan Umum pemeritnahan militer Jepang) untuk menerima kedatangan
mereka.

Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945, Jepang harus
menjaga status quo dan tidak memberi izin Indonesia untuk mempersiapkan proklamasi
kemerdekaan sebagaimana janji yang telah disepakati oleh Marsekan Terauchi di Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan yang telah diambil Jepang dan menyindir
Nishimura tidak bersikap seperti seorang perwira yang bersemangat Bushindo, sudah ingkar
janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya dengan tegas, Soekarno dan Hatta meminta
Nishimura untuk tidak menghalangi kerja PPKI.

Melihat perdebatan panas antara Soekarno, Hatta dan Nishimura, Maeda diam-diam pergi
meninggalkan ruangan karena Nishimura memperingatkannya untuk mematuhi perintah
Tokyo dan tidak punya wewenang dalam hal kemerdekaan Indonesia. Setelah dari rumah
Nishimura, Soekarno dan Hatta pergi menuju rumah Laksamada Maeda (Sekarang Jl.Imam
Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi untuk melakukan rapat menyiapkan teks Proklamasi.

Penyusunan Teks Proklamasi


Detik-detik menjelang proklamasi, pada pukul 02.00 – 04.00 dini hari terjadi perundingan
antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan
Indoneisa yang ditulis di ruang makan kediaman Laksamana Maeda. Para penyusun teks
proklamasi antara lain Soekarno, Moh.Hatta dan Ahmad Subarjo yang disaksikan oleh
Sukarni, BM Diah, Sudiro dan Sayuti Melik.
Setelah melalui perundingan, akhirnya konsep teks proklamsi selesai ditulis oleh tulisan
tangan Ir.Soekarno sendiri. Sukarni menyarankan agar yang menandatangani teks proklamasi
itu adalah Ir.Soekarno dan Moh.Hatta atas nama bangsa Indonesia. Setelah konsep sudah
matang, teks proklamasi lalu di ketik oleh Sayuti Melik.

Detik-Detik Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan

Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun dengan
alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno. Pada pagi harinya, 17 Agustus 1945 di
kediaman Soekarno telah hadir Soewirjo (Walikota Jakarta), Wilopo, Gafar Pringgodigdo,
Tabrani dan Trimurti. Acara direncanakan mulai pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi
oleh Soekarno dan disambung pidato singkat, disusul dengan sambutan oleh Soewrijo, wakil
walikota Jakarta dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Disusul dengan menaikkan bendera merah putih yang telah dijahit oleh ibu Fatmawati, pada
awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pergerakan bendera sebaiknya dilakukan oleh prajurit. Lalu ditunjuklah Latief Hendraningrat,
seorang prajurit PETA dibantu oleh Soehoed dan seorang pemudi yang membawa nampan
bendera Merah Putih untuk mengibarkan bendera. Setelah bendera berkibar, para hadirin
menyanyikan lagu Indonesia Raya karya W.R Supratman dan sampai saat ini, bendera pusaka
masih tersimpan di Museum Tugu Monumen Nasional dan diperingatilah bahwa 17 Agustus
1945 sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Penyebarluasan Berita Proklamasi


Kelompok pemuda yang cukup berperan dalam penyebarluasan berita proklamasi adalah
kelompok Sukarni. Kelompok ini berusaha mengatur strategi untuk mengatur penyebarluasan
berita proklamasi. Seluruh alat komunikasi yang tersedia dipergunakan, seperti pengeras
suara, pamflet, bahkan mobil-mobil dikerahkan ke seluruh kota Jakarta. Propaganda ini
dimaksudkan pula untuk mengerahkan massa agar hadir dalam pembacaan teks proklamasi di
Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

Setelah proklamasi dikumandangkan, berita proklamasi yang sudah tersebar di seluruh


penjuru kota Jakarta segera disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Pada hari itu juga teks
proklamasi sudah diserahkan oleh Syahrudin, wartawan Domei kepada kepala kantor bagian
radio W.B. Palenewen untuk disiarkan. Palenewen kemudian meminta F.Wuz seorang
penyiar, agar menyiarkan berita proklamasi tiga kali berturut-turut. Sayangnya, baru dua kali
berita disiarkan, tentara Jepang segera memerintahkan agar penyiaran dihentikan.

Tetapi, Palenewen tetap memerintahkan Wuz untuk menyiarkan berita proklamasi, bahkan
terus diulangi setiap setengah jam hingga pukul 16.00. Akibatnya, pimpinan tentara Jepang di
Jawa memerintahkan untuk meralat berita tersebut dan mengatakannya sebagai kekeliruan.
Kemudian, pada Senin 20 Agustus 1945 pemancar radio itu disegel oleh Jepang dan
karyawannya dilarang masuk.

Disegelnya pemancar radio pada kantor berita Domei tidak menghalangi tekadd para pemuda
untuk menyebarkan berita proklamasi. Para pemuda membuat pemancar baru dengan bantuan
sejumlah teknisi radio, Sukarman, Sutanto, Susilahardja, dan Suhandar.

Alat-alat pemancar dibawakan dari kantor berita Domei secara sembunyi-sembunyi ke rumah
Palenewen dan sebagian ke Jalan Menteng Nomor 31. Walaupun dengan susah payah,
akhirnya pemancar baru di Jalan Menteng jadi dengan kode panggilan DJK I. Pemancar
inilah yang banyak berperan dalam menyiarkan berita proklamasi.

Penyebaran berita proklamasi tidak terbatas melalui udara, tetapi juga melalui pers dan
selebaran-selebaran kertas. Dalam hal ini, peran buruh kereta api sangat besar dalam
membawa berita proklamasi melalui surat-surat selebaran. Pada 20 Agustus 1945, hampir
seluruh harian di Jawa memuat berita proklamasi dan UUD Negara Republik Indonesia yang
baru saja dibentuk. Selanjutnya, berita proklamasi dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru
tanah air, yang segera pula mendapat sambutan dari rakyat.
BAB IV
Proses Pembentukan Negara dan Kelengkapannya

Pembentukan Kelengkapan Negara Setelah Kemerdekaan

Satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksana kan, yaitu pada 18 Agustus
1945 bertepatan dengan pelaksanaan Sidang PPKI, yang pada saat itu pembahasannya
difokuskan terhadap pembuatan rancangan Undang-Undang Dasar dan disahkan sebagai
dasar hukum bagi penyelenggaraan kehidupan ketata-negaraan Indonesia yang kemudian
dikenal menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalamnya berisi tentang berbagai aturan mengenai cara-cara pembentukan negara dan
kelengkapan nya. Termasuk perumusan bentuk negara dan pemimpin bangsa Indonesia. Dan
disepakati saat itu salah satu ketetapannya ialah “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan
yang berbentuk Republik”. Dalam kegiatan itu juga dirumuskan kriteria tokoh yang menjadi
presiden dan didapat ketentuan “Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam”.
Namun, seperti perubahan dalam Piagam Djakarta ini juga diubah menjadi “Presiden adalah
orang Indonesia asli”.

Setelah pembahasan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia, Otto
Iskandardinata mengemukakan pendapat nya untuk langsung melakukan pemilihan dan
penetapan presiden dan wakil presiden. Beliau mengusulkan agar yang menjadi presiden
adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakilnya. Ternyata usulan tersebut diterima
tanpa ada yang menolak.

Mereka yang hadir setuju bulat tentang calon presiden dan wakilnya yang diusulkan oleh R.
Otto Iskandardinata. Disambut dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya selama dua putaran
kedua tokoh proklamator itu diresmikan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia yang pertama, pada 18 Agustus 1945.

Selain penetapan Undang-Undang Dasar 1945 dan pemilihan presiden dan wakilnya, sidang
PPKI juga berlanjut tentang persiapan dan pembetukan lembaga-lembaga kenegaraan sebagai
pelengkap kehidupan pemerintah ber negara. Meskipun 19 Agustus 1945 hari Minggu, sidang
PPKI tetap dilanjutkan.
Sebelum acara dimulai, Ir. Soekarno yang sudah menjadi presiden menunjuk Ahmad
Subardjo, Soetardjo Kartohadikoesoemo, dan Kasman untuk membentuk panitia kecil yang
akan membicarakan bentuk departemen dan bukan personalnya yang akan menjabat. Rapat
kecil itu dipimpin oleh R. Otto Iskandardinata, dan didapat keputusan sebagai berikut.

a. Pembagian Wilayah
b. Pembentukan Komite Nasional Daerah
c. Pembentukan departemen dan penunjukan para menteri
d. Pembentukan aparat keamanan negara

Mengingat kondisi wilayah Indonesia yang sangat luas, maka untuk pelaksanaan kegiatan
pemerintahan di daerah maka dibentuklah wilayah-wilayah provinsi. Pada saat itu
berdasarkan kesepakatan, wilayah Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yang masing-masing
dipimpin oleh seorang gubernur. Kedelapan provinsi tersebut, yaitu:

1) Sumatra dengan Gubernur Teuku Muhammad Hasan


2) Jawa Barat dengan Gubernur Soetardjo Kartohadi koesoemo
3) Jawa Tengah dengan Gubernur R. Panji Suroso
4) Jawa Timur dengan Gubernur R.M. Suryo
5) Sunda Kecil (Nusa Tenggara) dengan Gubernur I Gusti Ketut Puja
6) Maluku dengan Gubernur J. Latuharhary
7) Sulawesi dengan Gubernur Dr. Sam Ratulangi
8) Kalimantan dengan Gubernur Ir. Pangeran Mohammad Nor.

Sidang PPKI masih berlanjut, dan pada 22 Agustus 1945 membahas tiga permasalahan yang
sering dibicarakan pada rapat-rapat sebelumnya. Rapat saat itu dipimpin oleh Wakil Presiden
Moh. Hatta, yang menghasilkan keputusan sebagai berikut.

1) KNI adalah badan yang akan berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sebelum
pemilihan umum terselenggara. KNI ini akan disusun di tingkat pusat dan daerah.

2) Merancang adanya partai tunggal dalam kehidupan politik negara Indonesia, yaitu PNI
(Partai Nasional Indonesia) namun dibatalkan.
3) BKR (Badan Keaman Rakyat) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum bagi masing-
masing daerah.

Hari berikutnya setelah peristiwa proklamasi dan sidang PPKI, KNI Pusat mengadakan rapat
pleno pada 16 Oktober 1945. Wakil presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. X yang
isinya memberikan kekuasan dan wewenang legislatif bagi KNI Pusat untuk ikut serta dalam
menetapkan GBHN sebelum MPR di bentuk. Kemudian Sutan Syahrir sebagai ketua Badan
Pekerja KNI Pusat mendesak pemerintah, dan akhir nya pemerintah memberikan maklumat
politik yang ditandatangani oleh wakil presiden.

Adapun isi dari maklumat tersebut adalah Pemerintah menghendaki adanya partai-partai
politik yang membuka kesempatan kepada masyarakat untuk menyalurkan aliran atau
pahamnya secara terbuka. Pemerintah berharap supaya partai politik itu telah tersusun
sebelum dilaksanakannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang direncanakan
pada Januari 1946.

Setelah dikeluarkannya maklumat politik itu, ternyata bermunculan partai politik, di


antaranya Masyumi, PNI, Partai Buruh Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Kristen,
Partai Katholik dan Partai Rakyat Sosialis.

Kita kembali membahas kelanjutan sidang PPKI. Pada 22 Agustus 1945, sidang PPKI
berhasil membentuk departemen-departemen dan menunjuk para menterinya. Dari rapat kecil
sebelumnya diusulkan dan disetujui adanya 13 kementerian. Namun, untuk menteri negara
terdiri atas 4 orang sehingga personal yang ditunjuk untuk jabatan itu menjadi 16 orang.

Adapun nama-nama departeman dan kementerian tersebut beserta para menterinya adalah
sebagai berikut.

1) Menteri Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata


2) Menteri Luar Negeri : Ahmad Subardjo
3) Menteri Keuangan : A.A. Maramis
4) Menteri Kehakiman : Dr. Supomo
5) Menteri Kemakmuran : Ir. Surahman T. Adisujo
6) Menteri Keamanan Rakyat : Supriyadi
7) Menteri Kesehatan : Dr. Buntaran Martoajmodjo
8) Menteri Pengajaran : Suwardi Suryaningrat
9) Menteri Penerangan : Amir Syarifudin
10) Menteri Sosial : Iwa Kusumasomantri
11) Menteri Pekerjaan Umum : Abikusno Tjokrosujoso
12) Menteri Perhubungan : Abikusno Tjokrosujoso
13) Menteri Negara : Wahid Hasyim
14) Menteri Negara : M. Amir
15) Menteri Negara : R. M. Sartono
16) Menteri Negara : Otto Iskandardinata

Sidang PPKI juga menghasilkan keputusan untuk membentuk aparat keamanan. Dan pada
saat kemudian terbentulah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan akhirnya menjadi TRI
(Tentara Republik Indonesia) dengan Panglima Tertingginya adalah Jenderal Soedirman.
BAB V
Perkembangan Politik Pada Masa Awal Kemerdekaan

Beberapa Ideologi Partai Politik pada masa awal kemerdekaan

Pada masa awal kemerdekaan, salah satu isu penting yang mewarnai perjalanan bangsa
Indonesia adalah bagaimana pemerintahan dijalankan dan tentang partai politik yang menjadi
motor pemerintahan. Setidaknya pada saat itu telah ada beberapa ideologi yang dibawa para
pelajar bangsa Indonesia yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran dan paham-paham
kebangsaan di luar negeri.

Pada awalnya, Pemerintah merencanakan pembentukan partai tunggal dengan menetapkan


partai nasional Indonesia (PNI) sebagai satu-satunya partai politik, reaksi keras bermunculan.
Akhirnya rencana itu dibatalkan dengan keluarnya maklumat presiden yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi. Setelah itu bermunculan partai politik dengan
ideologi berbeda, yaitu ideology yang bersifat nasional, agama, sosialis dan komunis.

Berikut merupakan beberapa ideologi yang digunakan oleh partai-partai di Indonesia.

1.Ideologi partai yang bersifat nasionalisme

Partai ini didasarkan pada faktor kemanusiaan. Partai ini mengutamakan tercapainya
persatuan bangsa dengan mengutamakan terwujudnya kebebasan nasional, karena kebebasan
nasional merupakan pintu gerbang ke arah kemakmuran suatu bangsa. Contoh PNI. Adapun
tokoh-tokohnya antara lain Soekarno

2. Ideologi partai yang bersifat agama


Partai ini mengutamakan penyebaran dan penerapan kaidah-kaidah atau hukum-hukum yang
berlaku pada agama yang bersangkutan. Contoh partai nahdatul ulama (beraliran islam),
partai Kristen (beraliran Kristen), tokoh-tokohnya antara lain Haji Agus Salim, M. Natsir, dll.
3. Ideologi partai yang bersifat sosialisme-komunisme
Dasar perjuangan partai yang berideologi sosialisme-komunisme adalah internasionalisme.
Partai ini menjunjung tinggi komunisme dan cendrung tunduk kepada Moscow yang dikenal
sebagai kiblat dan pusat komunisme dunia. Aliran ini sangat anti pemerintahyang
menanamkan system demokrasi. Sebagai contoh PKI (partai komunis Indonesia). PKI
dituding sebagai dalang dalam peristiwa berdarah yang membunuh banyak petinggi ABRI.
Melalui ketetapan MPRS, PKI dijadikan sebagai partai terlarang dan haram untuk dipelajari
masa orde baru.

Perbedaan strategi dan ideologi dalam menghadapi Belanda dan konflik


antarkelompok politik di Indonesia

Masa pemerintahan kabinet Syahrir.


Program kerja kabinet Syahrir juga memprioritaskan penanganan konflik dengan Belanda.
Kabinet Syahrir berkuasa selama 3 kali, yaitu masa Kabinet Syahrir 1, Kabinet Syahrir II, dan
Kabinet Syahrir III.

Pada masa Kabinet Syahrir II yang di bentuk pada 2 Oktober 1946, strategi diplomasi di
wujudkan melalui pelaksanaan perundingan linggarjati pada 10 November 1946. Hasil
perundingan itu di pandang tidak optimal dan ditolak oleh tokoh-tokoh dan kelompok politik
lainnya. Kelompok-kelompok yang menolak keputusan perundingan linggarjati sebagai hasil
strategi diplomasi, kabinet Syahrir tergabung dalam Benteng Republik Indonesia .

Di sisi lain, terdapat pula kelompok yang mendukung keputusan perundingan Linggarjati ,
antara lain Pesindo, BTI, PKI, Laskar Rakyat, Partai Buruh, Parkindo, dan Partai Katolik.
Dari kedua kelompok itu terdapat sebuah perbedaan pola strategi dalam menangani konflik
dengan Belanda. Perbedaan strategi itu berlanjut pada munculnya konflik-konflik antar
kelompok politik pada era awal kemerdekaan.

Masa Pemerintahan kabinet Amir Syarifudin


Kabinet Amir Syarifudin merupakan penerus dari kabinet Syahrir. Strategi diplomasi yang
paling menonjol pada masa kabinet Amir Syarifudin adalah dilaksanakannya perundingan
Renvile pada 17 Januari 1948.Konflik antar kelompok politik di dalam kabinet Amir
Syarifudin juga terjadi seperti masa kabinet Syahrir . Konflik ini tidak berupa konflik fisik,
tetapi berupa perbedaan strategi dalam menghadapi Belanda .

Misalnya, pada saat pergantian kabinet. Amir Syarifudin bermaksud memperkuat posisi
kabinetnya terhadap Belanda , sehingga ia menyepakati hasil perundingan Renvile. Dalam
rapat Dewan partai pada 18 Januari 1948 . PNI memutuskan untuk menolak hasil dari
perundingan Renvile karena hasil persetujuan tersebut tidak memberikan posisi jaminan yang
tegas terhadap posisi Republik Indonesia. Perbedaan strategi antar kelompok politik di dalam
kabinet Amir Syarifudin ini berakhir dengan penyerahan mandat kembali kepada Presiden
Soekarno pada 23 Januari 1948.

Masa Pemerintahan Kabinet Hatta

Wakil Presiden Moh. Hatta di tunjuk oleh presiden Soekarno untuk membentuk kabinet baru,
menggantikan kabinet Amir Syarifudin . Bentuk kabinet yang di susun oleh Hatta adalah
kabinet koalisi yang menyertakan seluruh kelompok politik yang ada di Indonesia pada waktu
itu. Kabinet ini di dukung sepenuhnya oleh partai Masyumi, PNI, Partai Katolik dan
Parkindo.

Pada masa ini terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948. Strategi
yang mencolok dari kabinet Hatta dalam menghadapi Belanda adalah pelaksanaan
persetujuan Renvile dan mempercepat proses terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS).
Perwujudannya adalah dengan mengutus Mr. Moh. Roem sebagai ketua delegrasi RI untuk
melaksanakan perundingan-perundingan diplomasi dengan pihak Belanda yang di wakili oleh
Van Mook.
BAB VI
Kedatangan Sekutu, Perundingan Linggarjati, dan
Agresi Militer Belanda I

Kedatangan Sekutu ke Indonesia

Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian
memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi
sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Sekutu
merupakan berbagai perkumpulan negara yang menentang politik fasisme yang dilakukan
oleh Blok Axis/Fasis/Sentral pada Perang Dunia II. Perang berakhir dengan kemenangan blok
Sekutu terhadap blok Fasis.

Pada tanggal 16 September 1945 rombongan perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok.
Rombongan ini dipimpin oleh Laksamana Muda W. R. Patterson. Dalam rombongan ini ikut
pula C. H. O. Van der Plas yang mewakili pimpinan NICA yaitu Dr. H. J. Van Mook. Setelah
itu pada tanggal 29 September 1945 tibalah pasukan SEAC di Tanjung Priok, Jakarta di
bawah pimpinan Letjend Sir Philip Chistison. Pasukan ini bernaung di bawah bendera
AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Pasukan AFNEI terbagi menjadi 3 divisi
yaitu :
1. Divisi India ke-23, di pimpin oleh Mayor Jendral D.C. Hawthorn bertugas di Jawa
Barat
2. Divisi India ke-5, di pimpin oleh Mayor J E.C Marsergh bertugas di Jawa Timur
3. Divisi India ke-26, di pimpin oleh Mayor Jendral H.M. Chambers bertugas di Sumatra

Kedatangan sekutu ke Indonesia semula mendapatkan sambutan hangat dari rakyat Indonesia,
seperti kedatangan Jepang dulu. Akan tetapi setelah diketahui mereka datang disertai orang-
orang NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sikap rakyat Indonesia berubah
menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan.Kedatangan pihak sekutu selalu
menimbulkan insiden di beberapa daerah. Pertempuran terjadi di Surabaya, Bandung,
Medan, Ambarawa, Manado, dan Bali.
Perundingan Linggarjati

Masuknya AFNEI yang memboncengi NICA ke Indonesia menyebabkan terjadinya konflik


antara Indonesia dengan Belanda. Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan
Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta
dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini
menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober).

Perundingan 14 Oktober 1945 mengarah ke perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal


11 November 1946. Linggarjati merupakan kota kecil yang berada kurang lebih 21 km
sebelah barat Cirebon. Perundingan Linggarjati dilaksanakan pada tanggal 10-15 November
1946. dalam perundingan Linggarjati delegasi Indonesia dipimpin perdana Menteri Sutan
Syahrir, sedangkan delegasi Belanda diwakili oleh Prof. S. Schemerhorn serta Dr. H,J. Van.
Mook. Penengah serta pemimpin perundingan dari pihak Inggris, yaitu Lord Killeam.

Hasil perundingan diumumkan pada tanggal 15 November 1946 serta sudah tersusun sebagai
naskah persetujuan yang terdiri atas 17 pasal, antara lain berisi sebagai berikut:
 Belanda mengakui dengan cara de facto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa serta Madura. Belanda wajib meninggalkan
wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
 Republik Indonesia serta Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu tahapnya
merupakan Republik Indonesia
 Republik Indonesia Serikat serta Belanda bakal membentuk Uni Indonesia - Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Hasil perundingan Linggarjati menimulkan beberapa pendapat pro serta kontra di kalngan
partai politik di Indonesia. Perundingan Linggarjati merugikan pihak Reopublik Indonesia
karena wilayahnya terus sempit, yaitu hanya meliputi Jawa, Madura serta
Sumatera.Perundingan Linggarjati juga menjatuhkan Kabinet Syahrir.
Agresi Militer Belanda I

Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan
yang banyak dari negerinya. Untuk mendapatkan dalil guna menyerang Republik Indonesia
mereka mengajukan tuntutan supaya dibetuk pemerintahan federal sementara yang bakal
berkuasa di seluruh Indonesia sampai pembentukan Republik Indonesia Serikat.

Republik Indonesia menolak usul itu sebab berarti menghancurkan RI sendiri. Penolakan itu
menyebabakan Belanda melakukan penyerangan militer kepada wilayah Republik Indonesia.
Serangan belanda dimulai tanggal 21 Juli 1947 dengan target kota-kota besar di Pulau Jawa
serta sumatera. Menghadapi militer Belanda yang bersenjata lengkap serta modern
menyebabakan satuan-satuan tentara Indonesia terdesak ke luar kota.

Pada tanggal 4 Agustus 1947 pemerintah Republik Indonesia serta Belanda memberlakukan
gencatan senjata. Sejak pemberlakuan gencatan sebnjata tersebut, secara resmi Agresi milter
Belanda I berkahir. Tetapi, pada kenyataannya Belanda tetap memperluas wilayahnya dengan
membentuk garis demakrasi yang jauh ke depan ( garis Van Mook ). Indonesia menolak,
dengan demikian gencatan senjata yang diserukan oleh PBB belum berlaku.

Melalui perjuangan diplomasi di forum PBB, tak sedikit negara yang mendukung perjuangan
bangsa Indonesia serta menolong mencari jalan penyelesaian dengan cara damai. Dalam
upaya penyelesaian sengketa antara Indonesia serta Belanda dengan cara damai serta
mengawasi gencatan senjata yang sudah disepakati bersama maka Dewan Keamanan PBB
membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara yang duduk dalam KTN merupakan hasil
tunjukan Republik Indonesia, Belanda serta suatu negara lagi yang bersifat netral negara
tersebut merupakan:
 Australia (tunjukan Indonesia), diwakili oleh Richard Kirby.
 Belgia (tunjukan Belanda), diwakili oleh Paul Van Zeeland
 Amerika Serikat (tunjukan Australia serta Belgia), diwakili Dr. Frank Graham
BAB VII
Perundingan Renville dan Agresi Militer II
Perundingan Renville

Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia
serta Belanda di atas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia
terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh.
Roem, Haji Agus Salim, Narsun serta Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir
Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartansupayaa serta
Zulkarnain. Nyatanya wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia
sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda masih meperbuat politik adu domba
supaya Indonesia mudah dikuasainya.

Seusai berakhir perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 hingga dengan 17 Januari 1948
maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-pokok isi
perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :
 Belanda masih berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan Indonesia
diserahkan terhadap Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
 Republik Indonesia Serikat memiliki kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda
dalam uni Indonesia-Belanda.
 Republik Indonesia menjadi negara bagian dari RIS
 Sebelum RIS terbentuk, Belanda menyerahkan sebagain kekuasaannya terhadap
pemerintahan federal sementara.
 Pasukan republik Indonesia yang berada di derah kantong haruns ditarik ke daerah
Republik Indonesia. Daerah kantong merupakan daerah yang berada di belakang
Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki
Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun
kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville merupakan
sebagai berikut :
 Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa
peralihan.
 Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya sebab grais Van Mook terpaksa
wajib diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda..
 Penandatanganan naskah perjanjian Renville memunculkan dampak kurang baik bagi
pemerinthan republik Indonesia, antara lain sebagai berikut:
 Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit serta dikurung oleh daerah-daerah
kekuasaan belanda.
 Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang
menyebabkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin sebab dianggap menjual negara
terhadap Belanda.
 Perekonomian Indonesia diblokade dengan ketat oleh Belanda
 Militer Indonesia terpaksa hijrah ke wilayah RI dan menarik mundur pasukannya.
 Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan Republik Indonesia, Belanda
membentuk negara-negara boneka, semacam; negara Borneo Barat, Negara Madura,
Negara Sumatera Timur, serta Negara jawa Timur. Negara boneka tersebut tergabung
dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag

Agresi Militer Belanda II

Pihak Belanda masih ingin menguasai wilayah Indonesia mencari-cari cara untuk
mengingkari persetujuan yang telah disepakati. Belanda kemudian melancarkan aksi
militernya yang kedua. Serangan dibuka pada 19 Desember 1948 di semua front Republik
Indonesia. Serangan ini diawali dengan penerjunan pasukan-pasukan payung di pangkalan
udara Maguwo Yogyakarta. Dengan gerak cepat, pasukan Belanda menguasai ibukota
Yogyakarta.

Presiden dan Wakil Presiden memutuskan tetap berada di ibukota agar bisa berkoordinasi
dengan pasukan TNI. Namun, akhirnya Presiden dan beberapa anggota menteri beserta
KSAU ditawan oleh Belanda. Sebelum Belanda sampai di Istana Presiden, Presiden Soekarno
berhasil mengirim telegram kepada Syafrudin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi.

Belanda mengira bahwa jatuhnya ibukota Yogyakarta membuat TNI telah habis. Kampanye
Belanda di dunia internasional telah selesai dan tinggal melaksanakan operasi pembersihan
dengan waktu singkat. Ternyata perkiraan Belanda meleset.
Dalam waktu satu bulan, pasukan TNI berhasil menyelesaikan konsolidasinya dan mulai
memberikan pukulan yang teratur. Serangan Umum yang dilaksanakan terhadap kota-kota
yang diduduki Belanda. Serangan yang paling dikenal adalah Serangan Umum 1 Maret 1949
terhadap Kota Yogyakarta. Pasukan TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam.

Aksi militer Belanda yang kedua ini ternyata menarik perhatian PBB karena Belanda secara
terang-terangan tidak mengakui lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang
ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
resolusi agar Republik Indonesia dan Belanda menghentikan permusuhan.
BAB VIII
Perundingan Roem-Royen dan KMB

Perundingan Roem Royen

Resolusi PBB untuk menghentikan peperangan ditolak Belanda. Kemudian, UNCI (United
Nations Commissiom for Indonesia) atau Komisi PBB untuk urusan Indonesia memberikan
ultimatum: Apabila hingga 15 Februari 1949 tak tercapai persetujuan untuk membentuk
pemerintahan federal sementara, mereka akan meneruska masalah itu pada DK-PBB.

Dr. Beel, Wakil Mahkota Kerajaan Belanda di Indonesia, mengajukan usul baru:
Mempercepat penyerahan kedaulatan terhadap Pemerintah Federal Indonesia, mengadakan
konferensi meja bundar dan membentuk Uni Indonesia-Belanda. Beel mengundang
berunding dengan pihak Indonesia, yakni Soekarno-Hatta yang tetap berada dalam tawanan
Belanda.

Tanpa meminta persetujuan alias konsultasi terlebih dahulu dari pihak PDRI sebagai
pemerintahan yang sah, Soekarno-Hatta menunjuk Mr. Mohammad Roem mewakili pihak
Indonesia untuk berunding dengan Belanda. Delegasi Belanda dipimpin Van Royen.
Perundingan Roem-Royen ini berjalan April-Mei 1949. Sjafruddin dan kawan-kawan merasa
sedih atas sikap Soekarno-Hatta tersebut. PDRI merasa yakin bahwa kedudukannya jauh
lebih kuat dibandingkan dengan pemimpin Indonesia yang sedang ditawan. Ternyata,
pendapat PDRI senada dengan pernyataan Panglima Besar Sudirman. Sudirman sedih dan tak
puas terhadap perundingan Roem-Royen.

Ketidakpuasan itu dinyatakan pada ketua PDRI melalui kawatnya, tanggal 25 April 1949.
Kekecewaan pihak militer dan PDRI bisa dimengerti. Belanda hanya menguasai kota-kota
besar di Jawa dan Sumatera. Sedangkan daerah-daerah yang lebih luas pada kekuasaan RI,
bahkan Aceh seluruhnya leluasa dari jangkauan Belanda. Persetujuan Roem-Royen hanya
sukses membebaskan Yogyakarta, sedangkan PDRI mengharapkan supaya pemerintah
Belanda kembali pada Perjanjian Linggarjati.
Konferensi Meja Bundar

Pada bulan pertama tahun 1949 karena didesak oleh resolusi Dewan Keamanan PBB,
Belanda mengadakan pendekatan-pendekatan politis. Perdana Menteri Belanda Dr. Drees
mengundang Prof. Dr. Supomo salah satu anggota delegasi RI dalam perundingan lanjutan
Renville untuk berunding. Berdasarkan kenyataan dan penjajagan politis oleh pihak Belanda
bahwa pada dasarnya pemimpin-pemimpin RI bersedia berunding, maka tanggal 26 Februari
1949 mereka mengumumkan niatnya akan melakukan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada
12 Maret 1949 guna membicarakan masalah Indonesia dan merundingkan syarat-syarat
“penyerahan” kedaulatan serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda.

Pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets sebagai Wakil Tinggi Mahkota untuk menemui Ir.
Soekarno yang bersama beberapa pembesar RI lainnya ditawan di Bangka. Kedatangannya di
Bangka juga untuk menjelaskan maksud pemerintah Belanda dan mengundang Ir. Soekarno
untuk menghadiri konferensi di Den Haag. Isi penjelasan yang disampaikan yakni:
1. Pemerintah Belanda akan mengadakan KMB di Den Haag guna membahas
“penyerahan” kedaulatan yang dipercepat
2. Penarikan pasukan-pasukan Belanda secepat-cepatnya setelah “penyerahan
kekuasaan”
3. Tentang pengembalian pemerintahan RI ke Yogya dinyatakan bahwa hal itu tidak
mungkin dilaksanakan.

Tanggal 3 Maret 1949 Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung


BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) dan menegaskan akan pentingnya kedudukan
pemerintahan RI. Tanggal 4 Maret 1949, Presiden Soekarno membalas undangan Wakil
Tinggi Mahkota yang berisi penolakan menghadiri KMB kecuali dengan syarat yakni:
1. Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai perundingan
2. Kedudukan dan kewajiban Komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu
melaksanakan resolusi PBB tidak akan terganggu.

Dari pihak BFO dikeluarkan pernyataan yang berisi pemberitahuan bahwa BFO tetap pada
pendirian semula yakni:
1. Supaya pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta
2. Komisi PBB untuk Indonesia agar membantu melaksanakan resolusi
3. RI memerintahkan gencatan senjata.
Dari pihak Komisi PBB akan memberikan bantuan terhadap:
1. Tercapainya persetujuan sebagai pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28
Januari 1949 paragraf 1 dan 2 yakni menghentikan aksi militer oleh Belanda dan
pengembalian para pemimpin RI ke Yogyakarta
2. Menetapkan tanggal dan waktu serta syarat untuk mengadakan KMB di Den Haag
agar dapat diselenggarakan seleksanya.

Dengan adanya petunjuk dari Dewan Keamanan dan adanya pendekatan politis antara RI
dengan Belanda maka pada tanggal 14 April 1949 atas inisiatif PBB untuk Indonesia
diadakan perundingan antara RI-Belanda. KMB berlangsung dari 23 Agustus sampai 2
November 1949. Yang menjadi ketua KMB adalah PM Belanda, Drees. KMB menghasilkan
naskah-naskah hubungan antara Indonesia (RI dan BFO) dan Belanda yakni:
1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai Negara yang merdeka
dan berdaulat
2. Status Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan
3. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerjasama sukarela dan sederajat
4. RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru
untuk perusahaan-perusahaan Belanda
5. RIS harus membayar semua utang Belanda yang ada sejak tahun 1942

Kembali ke Bentuk NKRI

Akibat dari persetujuan KMB salah satunya adalah terbentuknya Negara Republik Serikat
(RIS) yang terbagi menjadi 9 negara bagian. Namun pada akhirnya ada keinginan dari
seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu lagi, menjadi satu Negara kesatuan. Keinginan untuk
kembali ke Negara kesatuan dilancarkan rakyat di mana-mana. Rakyat di berbagai daerah
melancarkan demonstrasi-demonstrasi dan pemogokan untuk menyatakan keinginannya
kembali bergabung dengan RI di Yogyakarta.

Dampak dari terbentuknya Negara RIS adalah konstitusi yang digunakan bukan lagi UUD
1945, melainkan Konstitusi RIS tahun 1949. Dalam pemerintahan RIS jabatan presiden
dipegang oleh Ir. Soekarno, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.
Berdasarkan pandangan kaum nasionalis pembentukan RIS merupakan strategi pemerintah
kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa Indonesia sehingga Belanda akan
mudah mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya di Republik Indonesia. Kelompok ini
sangat menentang dan menolak ide federasi dalam bentuk negara RIS.

Sistem pemerintahan federal yang diwariskan oleh KMB hanya dapat bertahan selama kurang
dari enam minggu dan sesudah itu secara progresif mulai pecah karena banyaknya tekanan
dari gerakan meluas yang berusaha menggantikannya dengan suatu bentuk pemerintahan
kesatuan. Mayoritas bangsa Indonesia benar-benar tidak puas dengan sistem federasi yang
diletakkan diatas pundak mereka oleh persetujuan KMB. Dalam 15 negara bagian hasil
ciptaan Belanda, ketidakpuasan ini segera mewujudkan diri dalam tuntutan-tuntutan massa
yang meluas dan serempak untuk dihapuskannya apa yang dianggap sebagai persekutuan
yang menunjukkan federalisme dan peleburan Negara-negara bagian dan digabungkan
dengan Republik yang lama.

Berikut ini sejumlah faktor yang memengaruhi proses kembalinya negara RIS menjadi
NKRI:
1. Bentuk negara RIS bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945
2. Pembentukan negara RIS tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
3. Bentuk RIS pada dasarnya merupakan warisan dari kolonial Belanda yang tetap ingin
berkuasa di Indonesia.
4. Berbagai masalah dan kendala politik, ekonomi, sosial, dan sumber daya manusia
dihadapi oleh negara-negara bagian RIS

Satu per satu negara bagian RIS bergabung dengan RI. NIT dan NST adalah Negara bagian
yang paling akhir menyatakan bergabung kembali pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah pertimbangan mengenai pokok-pokok pikiran tentang pementukan Negara Kesatuan
disetujui oleh pemerintah RIS dan pemerintah RI, maka realisasi pembentukan Negara
Kesatuan terlaksana setelah ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS
dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950.

Dalam piagam tersebut dinyatakan bahwa kedua belah pihak (RIS dan RI) dalam waktu
sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan pembentukan Negara Kesatuan sebagai
penjelmaan dari Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal
17 Agustus 1950 dengan resmi RIS dibubarkan dan dibentuk Negara Kesatuan yang diberi
nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
BAB IX
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan di Berbagai Daerah

Pertempuran 10 November

Pada Tanggal 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jendral Mallaby Brigade 49
Inggris mendarat di Surabaya, Kedatangan Mallaby disambut oleh R.M.T.A. Suryo
(Gubernur Jawa Timur). Kala itu mereka bertugas untuk melucuti serdadu Jepang serta
membebaskan para interniran (tawanan Belanda).

Sebenarnya saat mendarat di Surabaya Inggris terlebih dahulu telah membuat kesepakatan
dengan R.M.T.A. Suryo (Gubernur Jawa Timur) sehingga para tentara inggris di ijinkan
memasuki Surabaya, berikut isi kesepakatannya:
 Inggris berjanji bahwa tidak terdapat angkatan perang Belanda di antara tentara
Inggris.
 Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin ketenteraman
dan keamanan.
 Akan segera dibentuk Biro Kontak (Contact Bureau) agar kerja sama dapat terlaksana
sebaik-baiknya.
 Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.

Namun ternyata pada pelaksanaannya, Inggris tidak menepati janjinya dan Inggris justru
berniat menguasai Surabaya. Pada tanggal 27 Oktober 1945 pasukan Inggris membuat
kegaduhan di Surabaya mereka menyebarkan pamflet yang berisi perintah, agar rakyat
Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata hasil rampasan dari Jepang.

Dengan kejadian tersebut maka pihak Indonesia menginstruksikan kepada semua rakyat
surabaya untuk siap siaga penuh menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Akhirnya kontak senjata pecah antara pemuda Surabaya dan tentara Inggris. Semua pemuda
di seluruh kota menyerang Inggris dengan segala kemampuan. Pada Tanggal 28-31 Oktober
1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Ketika terdesak, tentara Sekutu
mengusulkan perdamaian.
Tentara Sekutu menghubungi Presiden Soekarno untuk menyelamatkan pasukan Inggris agar
tidak mengalami kekalahan total, Kemudian Presiden Soekarno serta Jenderal Mallaby
melakukan perundingan. Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan, yaitu keberadaan RI
diakui oleh Inggris dan penghentian kontak senjata.

Namun gencatan senjata tidak dihormati Sekutu. Dalam sebuah insiden yang belum pernah
terungkap secara jelas, Brigjen Mallaby ditemukan meninggal. Kemudian Letnan Jendral
Christison Panglima Sekutu di Indonesia, meminta kepada pemerintah Indonesia
menyerahkan orang-orang yang dicurigai membunuh Jendral Mallaby.

Permintaan tersebut diikuti ultimatum dari Mayor Jendral Mansergh. Isi ultimatum tersebut
adalah: "Sekutu memerintahkan rakyat Surabaya menyerahkan senjatanya. Penyerahan paling
lambat tanggal 9 November 1945 pukul 18.00 WIB. Apabila ultimatum tersebut tidak
dilaksanakan, Kota Surabaya akan diserang dari darat, laut, dan udara".

Ultimatum tersebut ditolak oleh para pemimpin dan rakyat Surabaya, kemudian Pada Tanggal
10 November 1945 pukul 06.00, tentara Sekutu menggempur Surabaya dari darat, laut
maupun udara. Di bawah pimpinan Gubernur Suryo dan Sutomo (Bung Tomo) rakyat
Surabaya tidak mau menyerahkan sejengkal tanah pun kepada tentara Sekutu. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang, Bung Tomo terus mengangkat semangat rakyat agar terus
maju, pantang mundur. Dengan pekik Allahu Akbar, Bung Tomo membakar semangat
rakyat. Dalam pertempuran yang berlangsung sampai awal Desember itu gugur ribuan
pejuang Indonesia. kemudiam Pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari
Pahlawan.

Pertempuran Medan Area

Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang diboncengi serdadu Belanda dan NICA
di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di kota Medan. Pada awalnya
kedatangan mereka disambut oleh tokoh dan masyarakat di Sumatera Utara. Akan tetapi,
tindakan tentara Sekutu menyakitkan rakyat. Mereka membebaskan para tahanan Belanda
dan dibentuk Medan Batalyon KNIL.
Pada tanggal 13 Oktober 1945, terjadi peristiwa di hotel yang ada di Jalan Bali. Medan.
Seorang oknum penghuni hotel menginjak-injak lencana merah putih. Akibatnya, hotel itu
diserang oleh para pemuda kita sehingga timbul banyak korban. Peristiwa ini menjadi awal
terjadinya Pertempuran Medan Area. Untuk menghadapi segala kemungkinan, TKR dan
brbagai badan perjuangan telah membentuk kesatuan perjuangan. Kesatuan perjuangan itu
adalah Barisan Pemuda Indonesia di bawah pimpinan Achmad Taheer.

Ternyata bentrokkan terus meluas dan terjadi di berbagai daerah. Perkembangan ini oleh
Sekutu dipandang sudah sangat membahayakan .Oleh karena itu, pada tanggal 18 Oktober
1945. Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat menyerahkan semua senjata kepada
Sekutu. Sudah tentu rakyat begitu saja memenuhi tuntutan Sekutu.

Pada tanggal 10 Desember 1945 tentara Sekutu melancarkan serangan militer besar-besaran,
yang dilengkapi dengan pesawat tempur canggih. Seluruh daerah Medan dijadikan sasaran
serangan, rakyat pun melakukan perlawanan sekuat tenaga. Sekutu berusaha mendesak para
pejuang, bahkan, Sekutu sejak tanggal 1 Desember 1945 memasang batas-batas
penudukannya.

Batas itu berupa papan yang diberi tulisan Fixed Boundaries Medan Area ( batas resmi
wilayah Medan ) disudut-sudut kota. Sekutu dan tentara NICA mengusir dan menindas
orang-orang Republik yang masih berada di Kota Medan. Bahkan, di bulan April 1946,
Sekutu dan NICA berhasil mendesak beberapa pimpinan Republik keluar kota . Gubernur,
wali kota , dan Markas TRI pindah ke Pematangsiantar. Namun para penjuang kita pantang
mundur. Perlawaman dengan berbagai bentuk terus dilakukan.

Pertempuran Ambarawa

Pertempuran ini diawali dengan kedatangan tentara Inggris di bawah pimpinan Brigjen
Bethel di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945 untuk membebaskan tentara Sekutu.
Setelah itu mereka menuju Magelang, karena Sekutu diboncengi oleh NICA dan
membebaskan para tawanan Belanda secara sepihak maka terjadilah perlawanan dari TKR
dan para pemuda.
Pasukan Inggris akhirnya terdesak mundur ke Ambarawa. Gerakan tentara Sekutu yang
mundur ke ambarawa berhasil ditahan di desa Jambu berkat bantuan dari batalyon Polisi
Istimewa di bawah pimpinan Onie Sastroatmodjo, resimen kedua yang dipimpin M. Sarbini,
dan batalyon dari Yogyakarta.

Pada pertempuran di desa Jambu tanggal 26 November 1945, Letkol Isdiman (Komandan
Resimen Banyumas) gugur sebagai pejuang bangsa. Lalu Kolonel Soedirman (Panglima
Divisi di Purwokerto) langsung naik mengambil alih pimpinan dan pada tanggal 15
Desember 1945 tentara Indonesia berhasil memukul mundur Sekutu sampai Semarang.
Karena jasanya maka pada tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Sudirman diangkat menjadi
Panglima Besar TKR dan berpangkat Jendral. Sampai sekarang setiap tanggal 15 Desember
diperingati sebagai hari Infantri.

Pertempuran Bandung Lautan Api

Pada bulan Oktober 1945, tentara Sekutu memasuki Kota Bandung. Ketika itu para pejuang
Bandung sedang melakukan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari
tentara Jepang. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu membacakan ultimatum pertama,
agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya pada tanggal 29 November 1945
dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan demi keamanan. Namun para pejuang
Republik Indonesia tidak memperdulikan ultimatum tersebut. Akibatnya sering terjadi
insiden antara tentara Sekutu dengan pejuang Indonesia.

Tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua. Mereka menuntut
agar semua masyarakat dan para pejuang TRI (Tentara Republik Indonesia) mengosongkan
kota Bandung bagian selatan. Sejak 24 Januari 1946, TKR telah berubah namanya menjadi
TRI. Demi keselamatan rakyat dan pertimbangan politik, pemerintah Republik Indonesia
Pusat memerintahkan TRI dan para pejuang lainnya mundur dan mengosongkan Bandung
Selatan.

Tokoh-tokoh pejuang, seperti Aruji Kartawinata, Suryadarma, dan Kolonel Abdul Harris
Nasution yang menjadi Panglima TRI waktu itu segera bermusyawarah. Mereka sepakat
untuk mematuhi perintah dari Pemerintah Pusat. Namun, mereka tidak mau menyerahkan
kota Bandung bagian selatan itu secara utuh kepada musuh. Rakyat diungsikan ke luar kota
Bandung.

Sebelum meninggalkan kota Bandung, para pejuang melancarkan serangan umum ke arah
markas besar Sekutu dan berhasil membumi-hanguskan kota Bandung. Dalam waktu tujuh
jam kota Bandung menjadi kota yang berkobar, setiap warga membakar rumah mereka.

Tidak kurang dari 200.000 rumah warga bandung dibakar dan mengungsikan diri ke bandung
bagian selatan, yang berupa daratan tinggi dan pegunungan.Pembakaran tersebut bertujuan
untuk menghentikan dan mencegah tentara sekutu dan tentara NICA yang ingin
memanfaatkan kota Bandung sebagai markas militer. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23
Maret 1946 dan terkenal dengan sebutan Bandung Lautan Api.

Pertempuran Lainnya

 Puputan Margarana Bali


 Serangan Umum 1 Maret 1949
 Peristiwa Merah Putih di Manado (14 Februari 1946)
 Pertempuran Palembang

Anda mungkin juga menyukai