Anda di halaman 1dari 4

Memagari Jawa dari Pedestriannya

Apa yang membuat saya tertarik mengunjungi sebuah kota, terutama kota-kota di Pulau Jawa?

Jawaban pertama adalah pedestriannya. Jalur khusus bagi pejalan kaki itulah yang akan saya jadikan
acuan sebuah kota layak dikunjungi atau tidak. Sebagai pelancong yang memiliki sedikit dana untuk
jalan-jalan, berjalan kaki adalah salah satu cara terbaik untuk menjangkau tempat-tempat wisata
yang saya tuju.

Sayangnya, kota-kota di Jawa ternyata tak semuanya memiliki pedestrian yang baik dan ramah.
Kalaupun ada, saya hanya menemukan pedestrian yang bisa dikatakan layak di sekitar pusat
pemerintahan. Alun-alun, kantor bupati/wali kota, dan kompleks militer. Selebihnya, saya harus
memilih menggunakan ojek daring untuk menjangkau tempat-tempat yang saya tuju mengingat
bahaya yang mengancam. Terlebih, saat saya menjangkau sentra ekonomi perkotaan, pedestrian
adalah hal mewah. Di sepanjang daerah itu, kehadiran Pedagang Kaki Lima di sepanjang trotoar
adalah rapor merah yang saya berikan mengenai kota tersebut.

Bermula dari Jakarta, kota sekaligus provinsi yang pedestriannya sering digunakan sebagai
komoditas politik, saya mengawali penjelajahan. Beberapa kali mengunjungi Jakarta, saya memang
menemukan perubahan yang lebih baik dalam penataannya. Pedestrian di jalan-jalan protokol
tampak menawan dengan beberapa hiasan pernak-pernik Asian Games 2018.

Sayang, Jakarta juga masih menyisakan ruang gelap bagi para pejakan kaki, terutama pedestrian
yang berada di persimpangan jalan. Seperti, yang saya dapat ketika ingin melihat Patung Pancoran
dari dekat. Di persimpangan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Prof. Dr. Soepomo, trotor nyaman yang
saya dapat ketika melintas di depan Graha Mustika Ratu tiba-tiba saja lenyap. Beralih kepada jalan
semen dengan lubang yang cukup besar. Jarak antara pengendara kendaraan dan pejalan kaki tiba-
tiba saja semakin sempit. Saya pun takut untuk meneruskan perjalanan dan berputar balik untuk
memesan moda transportasi favorit saya, ojek daring.

Beralih ke Bandung, kota ini memang cukup niat dalam menata pedestriannya. Sang Mantan Wali
Kota, Kang Emil memang dikenal sebagai sosok yang benar-benar all out dalam menata kotanya.
Taman-taman kota yang terintegrasi dengan pedestrian benar-benar dimaksimalkan. Walau masih
ada beberapa bagian yang menyisakan beberapa ruang gelap bagi pejalan kaki, Bandung masih
menjadi jawara di hati saya. Teras Cihampelas menjadi salah satu karya besar dalam sejarah
pedestrian di Indonesia. Saat para pejalan kaki dijadikan raja yang memiliki kuasa di jalan. Bukan
kaum pinggiran yang semakin tersisihkan.

Kaum yang tak mendapat haknya dengan nyaman seperti yang saya dapat di Cirebon. Ya, kota ini
bagi saya adalah kota yang paling tidak ramah bagi pejalan kaki. Tak banyak pedestrian yang bisa
saya manfaatkan di kota udang ini. Bahkan, di sekitar Alun-alun Kejaksan, saya malah hampir
terserempet motor ketika akan makan malam di sebuah warung Nasi Jamblang.

Tak sekedar sempit, banyak trotoar yang diselimuti para PKL, ojek daring, dan beberapa tukang
becak. Belum lagi kondisi Kota Cirebon yang panas dan berangin membuat berjalan kaki adalah
kegiatan yang cukup mustahil dilakukan di kota ini. Untunglah, dari beberapa media daring, usaha
untuk menata pedestrian di Kota Cirebon mulai digalakkan.

Sama dengan penggalakan usaha berjalan kaki dan dan menaiki transportasi umum yang dilakukan
oleh Kota Semarang. Mempercantik pedestrian sembari meningkatkan fasilitas BRT Trans Semarang
yang beririsan dengan Trans Jateng semakin gencar dilakukan. Dengan penambahan fasilitas umum
tersebut, masyarakat Semarang diharapkan akan beralih untuk berjalan kaki. Bus-bus Trans Jateng
dan Trans Semarang pun datang tepat waktu di haltenya masing-masing. Aneka pernak-pernik bagi
pejalan kaki juga disiapkan. Beberapa taman gantung mini dibuat agar para pejalan tak kepanasan.

Sayang, keberadaan halte BRT malah menjadi pengganggu. Ketika pejalan kaki mulai nyaman
berjalan beberapa meter dan menikmati perjalanannya, halte BRT sudah siap menghadang. Pilihan
bagi pejalan kaki hanya ada 2. Masuk ke halte BRT dengan menaiki tangga atau minggir ke bahu jalan
dengan risiko kendaraan yang melaju dengan kecepatan setan siap menerjang. Kenyamanan bagi
pejalan kaki pun akhirnya menjadi sesuatu hal yang semu.

Sama semunya dengan apa yang ada di “kota semu” Purwokerto. Kota semu yang masih bagian dari
Kabupaten Banyumas ini memang memiliki pedestrian yang cukup nyaman, terutama di daerah
pusat pemerintahan. Sementara, di sentra ekonomi dan daerah pinggiran kota semu ini, pedestrian
yang ada benar-benar mengerikan. Sangat dekat dengan bahu jalan. Pejalan kali seakan harus
membawa spion jika berjalan di kota yang banyak tergambar simbol-simbor Bawor ini.

Kota ini memang semakin tumbuh dan kabarnya akan dipersiapkan menjadi kota otonom yang
terpisah dari kabupaten induknya. Hanya saja, pertumbuhan kota semu ini akan ternodai jika
pedestrian tak menjadi patokan utama dalam pembangunan kota. Noda yang juga saya temukan di
beberapa sudut Daerah Istimewa.

Jogja Istimewa memang terkenal dengan pedestrian paling hits se-Indonesia Raya, Jalan Malioboro.
Siapa yang tak betah berlama-lama di Jalan Malioboro. Mengambil foto, menikmati senja sembari
melihat pertunjukan angklung, hingga berbelanja dengan nyaman. Para pedagang yang ditata dan
trotoar yang diperlebar berpadu balutan pernak-pernik indah membuat para pelancong akan
kangen.

Namun, noda-noda kecil dan cukup menganggu saya temukan kala berjalan di luar Malioboro.
Pedestrian di sekitar Terminal Bus Ngabean, Jalan Letjend. Suprapto, dan beberapa jalan protokol
lain noda tampak itu menganga. Saya bahkan sering tak sengaja mengeluarkan umpatan “JanXXX”
kepada oknum pemotor yang tak mengindahkan keberadaan saya di pinggir jalan. Saya paham kata-
kata itu tak pantas saya ucapkan di Jogja yang terkenal dengan unggah-ungguhnya. Tapi sebagai
orang dari Kawasan Arek yang tak bisa berbasa-basi, umpatan itu akan spontan keluar saat hak saya
sebagai pejalan kaki terampas.

Belum lagi, pedestrian di sekitar ring road barat, tempat saya tinggal. Beririsan pula dengan halte
Trans Jogja yang menghalangi jalan. Berjalan dengan nyaman di sekitar ring road barat Jogja bagi
saya adalah sesuatu hal yang butuh keberanian. Keberanian dari kegiatan yang cukup mustahil.
Semustahil menemukan banyak orang berjalan kaki di Kota Kediri, salah satu kota Mataraman di
Jawa Timur. Ya, kota di mana darah saya separuh mengalir ini tak memiliki banyak pedestrian yang
bisa dijadikan catatan. Warga Kediri lebih sering menggunakan motor dibanding harus berpanas-
panasan berjalan dengan kaki nyaman.

Makanya, saya lebih nyaman menceritakan Surabaya sebagai runner up kota dengan pedestrian
terbaik se-Indonesia versi saya. Bu Risma memang jempolan. Menata Surabaya dengan pedestrian
menjadi salah satu fokus utama pembangunan. Pedestrian jalan-jalan protokol Surabaya adalah
surga lapis ketujuh bagi para pejalan kaki meski panas juga tak tertahankan.

Tak terperi bahagia hati ini begitu saya tahu banyak hal yang akan bisa dinikmati bagi pejalan.
Seperti lift yang akan terpasang di beberapa JPO di sana. Berjalan kaki tak lagi sebagai sebuah
kemustahilan namun akan mejadi sebuah kebudayaan. Budaya yang mekar dan wangi mengikuti
arus perkembangan zaman.

Seperti mekar dan wanginya Kota Banyuwangi yang kini banyak diperbincangkan. Kala saya
melakukan tur kota singkat. Menyusuri Kalilo, Taman Sri Tanjung, Kampung Wisata Temenggungan,
hingga berakhir di Taman Blambangan merupakan aktivitas terekomendasi bagi para wisatawan. Tak
hanya di pusat kota, di beberapa pinggiran kota pedestrian tertata nyaman. Meski tentu,
Banyuwangi sebagai kota kecil tak bisa disamakan dengan kota besar dalam hal pedestrian. Namun,
Banyuwangi bisa dijadikan contoh untuk membangun sebuah pedestrian yang nyaman di sebuah
kota yang baru tumbuh.

Akhirnya, sebagai terminasi dari sedikit paparan ini, pedestrian sebenarnya warisan luhur masa
lampau. Kota-kota di Jawa sejak zaman kerajaan hingga penjajahan tumbuh dari aktivitas di sekitar
pedestrian. Jika mengamati litografi masa lampau terutama masa penjajahan, walau berada dalam
kondisi tekanan, yang ada adalah keceriaan dalam potret pedestrian. Berbeda dengan sekarang. Naif
memang mengatakan, meski merdeka, berjalan di atas trotoar, bagi pejalan kaki di Indonesia adalah
sesuatu hal yang cukup mencemaskan.

Salam.

http://jateng.tribunnews.com/2018/08/26/sejumlah-pedestrian-jalan-protokol-di-kota-semarang-
dinilai-tidak-layak-disabilitas

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4129236/6-jpo-di-surabaya-akan-dilengkapi-lift

Anda mungkin juga menyukai