Anda di halaman 1dari 4

Mengajar Bimbel SMK Tak Semudah yang Dibayangkan

Tahun ini, saya mendapat tugas baru membimbing beberapa siswa SMK untuk persiapan
Ujian Nasional.

Ini tahun pertama saya memikul kewajiban tersebut karena pada tahun-tahun sebelumnya
saya biasanya membimbing siswa-siswi SMA, terutama SMA jurusan MIA/IPA. Mendapat
amanah dari seorang rekan untuk membimbing tiga orang siswa membuat saya akhirnya mau
tak mau mendalami lebih jauh dunia sekolah vokasi ini.

Apalagi, ketiga siswa yang saya bimbing semuanya adalah laki-laki dari jurusan SMK Mesin.
Bisa dibayangkan bagaimana saya harus menyiapkan “mental” sebelum melakukan tugas ini.
Bukan rahasia umum, anak-anak SMK, terutama SMK Mesin dikenal sebagai siswa yang
jauh dari kata disiplin dan “manut”. Berbeda halnya dengan anak-anak SMA, terutama
MIA/IPA, yang sering mendapat anggapan lebih niat dalam belajar.

Anggapan ini sesungguhnya tak benar. Para siswa yang saya bimbing untungnya mau
mengikuti aturan yang saya tetapkan. Mereka juga masih cukup semangat belajar dan ingin
bisa mengerjakan soal UN dengan sebaik-baiknya. Jadi, kesulitan yang saya hadapi bukan
pada karakter yang melekat pada siswa-siswa tersebut, melainkan pada beberapa hal teknis
yang bisa dijadikan pelajaran. Terutama, bagi orang tua yang memiliki putra-putri di bangku
SMK atau berniat menyekolahkan anaknya di SMK.

Berbeda dengan SMA, kurikulum SMK memuat beberapa mata pelajaran yang terbagi dalam
3 kelompok. Ketiga kelompok tersebut adalah kelompok normatif, kelompok adaptif, dan
kelompok produktif. Ketiga kelompok mata pelajaran tersebut memiliki “wakil” untuk
diujikan ke dalam UN.

Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam kelompok
normatif. Matematika mewakili kelompok adaptif. Dan di dalam UN, mata pelajaran
kelompok produktif yang diujikan sesuai dengan jurusan siswa masing-masing. Diantara
empat mata pelajaran tersebut, saya hanya membimbing mereka untuk mata pelajaran
matematika.

Saat melihat materi dan kisi-kisi yang akan diujikan dalam UN kali ini, saya cukup semangat.
Rata-rata, kompetensi dasar yang akan diujikan adalah materi pada matematika dasar.
Beberapa diantaranya bahkan beberapa kompetensi dasar yang diujikan dalam pelajaran
matematika Kelas IX SMP.

Bentuk akar, logaritma, dan trigonometri adalah beberapa diantara materi pada matematika
dasar. Kompetensi yang juga dipelajari oleh siswa SMA, baik IPA, IPS, ataupun Bahasa.
Siswa SMK tidak mempelajari kompetensi dasar Matematika peminatan yang dianggap
memiliki level kesulitan lebih tinggi. Materi peminatan untuk SMK disesuaikan dengan
jurusan SMK yang mereka ambil, semisal kelompok Akuntansi dan Pemasaran (AKP),
kelompok Teknologi, Kesehatan, dan Pertanian (TKP) dan kelompok Pariwisata, Seni dan
Kerajinan, Teknologi Kerumahtanggaan, Pekerjaan Sosial, dan Administrasi Perkantoran
(PSP).

Saya pun pada mulanya cukup yakin jika para siswa yang saya bimbing akan bisa menerima
materi dan mengerjakan soal cukup baik. Terlebih, beberapa materi merupakan pengulangan
dari materi SMP, semisal baris dan deret, persamaan linear dengan dua variabel (metode
eliminasi dan substitusi), dan persamaan kuadrat. Paling tidak, saya berfokus pada materi-
materi Matematika Dasar yang dianggap sulit. Untuk materi yang sudah pernah mereka
pelajari di SMP, saya berharap mereka masih ingat dan tak perlu lagi membahas lebih jauh.

Sayangnya, apa yang saya harapkan jauh panggang dari api. Bukannya lebih mudah, malah
membimbing siswa SMK bagi saya jauh lebih sulit. Kembali, bukan pada stereotipe siswa
SMK, namun hal teknislah yang membuat saya harus bekerja ekstra demi mengamankan
mereka paling tidak lulus UN dengan nilai yang cukup. Itu saja.

Selama hampir satu tahun, para siswa tersebut melakukan Pendidikan Sistem Ganda
(PSG)/magang ke berbagai daerah di Indonesia. Selama waktu itu pula, tak sedetikpun
mereka belajar materi kelompok adaptif dan normatif. Jangankan belajar, menyentuh buku
sajapun tidak. Sarkasme ini yang diakui oleh mereka beberapa hari lalu dengan tertawa.

“Bagaimana bisa belajar, Mas. Ini badan sudah capek semua, je!”

Saya memaklumi apa yang mereka rasakan. Pengalaman pertama mereka ikut bekerja
langsung di dunia industri memang membuat kaget. Fokus mereka hanyalah pada penyerapan
keterampilan bekerja dari tempat magang mereka. Membuat laporan harian dan segala
perisapan sebelum bekerja, menjadi target utama selama satu tahun terakhir.

Hingga mereka kembali ke sekolah hanya beberapa bulan sebelum UN. Bahkan jika dihitung,
mungkin hanya beberapa hari. Rata-rata, mereka baru rampung PSG pada awal Januari.
Beberapa diantaranya baru berakhir pada akhir Januari. Lalu, pada akhir Maret mendatang,
mereka harus menempuh UN.

“Rasanya kayak mau bangun candi loh, Mas. Serasa cuma semalam”.

Kelakar mereka yang mulai pandai merayu lawan jenis cukup masuk akal juga. Kalau saya
berada di posisi mereka, mungkin saya sudah melambaikan tangan ke kamera. Saya saja,
yang dulu dari SMA IPA rasanya kok ya terengah-engah menghadapi UN. Padahal, sejak
naik ke kelas XII di awal tahun pelajaran, sekolah saya sudah menghajar siswanya dengan
aneka materi dan latihan soal menghadapi UN dan SBMPTN.

“Tapi ya harus semangat dong. SMK kan bisa!”

Bukan munafik, saya juga harus tetap menjaga motivasi. Waktu persiapan hanya boleh dua
bulan. Tapi semangat tak boleh kendur. Tagline SMK, yang harus bisa beradaptasi dalam
berbagai hal juga harus dijaga.
Walau harus diakui, perjuangan selama hampir satu bulan ini cukup melelahkan. Strategi pun
harus diatur. Saya akhirnya berfokus pada materi dan soal yang memiliki tingkat kesulitan
rendah dan sedang. Untuk soal dengan kesulitan tinggi, apalagi soal HOTS saya lewati dulu.

Berkaca pada hasil try out pertama yang mereka lakukan yakni semua siswa bimbingan saya
tidak lulus menjadi pembelajaran. Memaksakan materi yang sulit dengan waktu dekat ini
untuk bisa mereka pahami bukanlah langkah tepat. Belum lagi, pembelajaran di kelas juga
belum bisa mendukung agar mereka menyerap materi dengan maksimal.

Guru-guru mereka di sekolah bahkan meminta mereka mengunduh aplikasi di ponsel pintar
berisi latihan soal yang harus dikerjakan dengan waktu tertentu. Sayangnya, setelah selesai
mengerjakan soal, tak ada pembahasan soal yang bisa dipelajari. Aplikasi tersebut hanya
memuat kunci jawaban dari soal yang mereka kerjakan. Tentu, hal ini cukup menyulitkan
mereka apalagi jika ada latihan soal yang dijadikan pekerjaan rumah. Bagaimana mereka bisa
memahami materi yang akan diujikan?

Dari penuturan beberapa dari mereka, ada satu hal yang cukup menarik perhatian. Banyak
diantara mereka yang kelimpungan mencari bimbingan belajar untuk persiapan UN ini.
Bimbel yang ada hanya tinggal bimbel mahal yang biasanya dipenuhi anak-anak SMA yang
akan fokus ke UN, SBMPTN atau ujian masuk khusus beberapa PTN.

Sementara, bimbel-bimbel murah meriah semacam saya sudah banyak siswa yang mengikuti
bimbingan. Penolakan pun sering mereka dapat kala ingin mendaftar Jadinya, ketika mereka
membawa satu dua teman mereka untuk belajar, walau sebenarnya sudah di luar batas
kemampuan saya, rasanya kok kasihan kalau menolaknya. Mereka juga punya keinginan
belajar yang kuat kan?

Di sisi lain, dari penuturan mereka, banyak dari rekan-rekan mereka yang akhirnya pasrah
saja. Nantinya mereka juga akan bekerja seusai lulus. Lantas, untuk apa belajar matematika?
Yang penting kan lulus. Walau miris, pemikiran semacam ini juga perlu menjadi hal yang
patut direnungkan.

Makanya, ketika ada sedikit saja perkembangan dari siswa bimbingan saya, rasanya saya ikut
senang. Pada try out kedua, mereka berhasil mendapat nilai di atas 6. Meski tak ada yang
mendapat nilai lebih dari 7, rasanya itu sudah membahagiakan. Jadi, ketika beberapa dari
mereka berniat akan ikut SBMPTN, saya pun harus mulai memasang strategi lagi. Semoga
niat baik mereka untuk belajar pada bangku kuliah bisa terwujud.

Anda mungkin juga menyukai