Anda di halaman 1dari 4

Catatan Keterasingan Siswa Penutur Dialek Jawa Timuran Kala Belajar Bahasa Jawa

“Dudu Yok Opo, tapi Kepriye! Coba dibaleni maneh!” (Bukan “Yok Opo” tapi “Kepriye”! Coba diulangi
lagi!)

Seru saya kepada salah seorang siswa yang menjawab soal dari BKS. Soal tersebut meminta mereka
untuk membuat kalimat tanya dari bahan bacaan yang tersedia. Dari sekian siswa, hanya beberapa
siswa saja yang mampu menjawab dengan benar. Selebihnya, mereka kurang tepat dalam memilih
kata tanya. Menggunakan kata tanya khas Dialek Jawa Timuran, hingga kelas 5 pun kata tanya
bahasa Jawa yang baku masih belum bisa mereka pahami dengan baik. “Geneya”, “Kepriye”, dan
“Ing Ngendi”, seakan lebih sulit mereka pahami dibandingkan “why”, “how”, dan “where”.

Kesulitan dari memahami tiga kalimat tanya tersebut adalah salah satu contoh dari kesulitan lain
kala mereka belajar bahasa Jawa. Ulangan harian, Ulangan Tengah Semester, dan Ulangan Akhir
Semester bahasa Jawa menjadi ajang obral nilai 3, 4, dan 5. Sempat berpikir kalau saya gagal
mengajar, nyatanya obral nilai merah ini juga terjadi di kelas lain, mulai kelas 1 hingga 6.

“Kami tidak tinggal di Jogja, Pak!”

Begitu seru salah seorang siswa saya yang dikenal cukup kritis. Ia sering mengeluh tak memahami
sedikitpun maksud dari sebuah bacaan bertema Perang Bhataratayudha yang dikemas dengan
beberapa kosa kata bahasa rinengga (bahasa yang sering digunakan dalam sastra Jawa). Baginya,
untaian kata demi kata di dalam bahasa itu sangatlah asing. Alasan yang logis mengingat di dalam
kehidupan mereka sehari-hari hampir tak satu pun kata di dalam bacaan tersebut ia gunakan.

Keterasingan dalam memaknai bacaan tersebut dan belajar bahasa Jawa yang dialami oleh murid-
murid saya memang bisa dimaklumi. Kurikulum muatan lokal yang digunakan adalah kurikulum
bahasa Jawa standar yang digunakan oleh masyarakat Solo-Jogja atau biasa disebut dengan
Mataraman. Sementara itu, mereka tinggal di Kota Malang yang masih satu rangkaian dengan Kota
Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan sekitarnya dengan bahasa Jawa Dialek Jawa Timur yang kental.
Bahasa ibu yang mereka terima sedari kecil adalah dialek Jawa Timuran. Sesekali, makian kasar
J****k harus mereka dengar di sekitar lingkungan mereka.

Bertahun-tahun, kebiasaan bertutur kata dalam dialek Jawa Timuran telah mendarah daging.
Keunikan leksikon dan fonetis dialek Jawa Timuran membuat dialek ini unik. Tak hanya menghasilkan
partikel baru, dialek Jawa Timuran juga menghasilkan kosa kata baru yang jauh berbeda dengan
bahasa Jawa standar. Padahal, kosa kata inilah yang menjadi kunci dalam memahami materi-materi
pelajaran bahasa Jawa.

Dari sekian banyak materi pelajaran bahasa Jawa, rata-rata murid saya hanya menguasai dengan
baik mengenai bacaan sederhana, ukara tanduk dan tanggap (kalimat aktif dan pasif), serta gambar
tokoh wayang yang langsung bisa mereka kenal di bagian belakang buku Pepak Basa Jawa.
Selebihnya, tingkat pemahaman materi lainnya bisa dikatakan kurang.
Merangkai tata bahasa krama inggil yang menjadi nyawa pelajaran bahasa Jawa pun seringkali gagal
mereka lakukan. Pemahaman mengenai tata bahasa lain semisal tembung saroja, tembung entar,
dan tembung garba juga menjadi materi yang belum terkuasai dengan baik. Meski beberapa siswa
cukup mampu menulis aksara jawa dengan baik, tetap saja banyak diantara mereka harus
melakukan buka tutup Pepak Basa Jawa. Namun, tentu saja materi paling sulit bagi mereka adalah
pelajaran tentang kesusastraan Jawa, baik geguritan (puisi), cangkriman (pantun), dan tembang
(nyanyian).

Materi geguritan menjadi dengan tingkat pemahaman terendah. Penggunaan bahasa rinengga yang
sangat kental menjadi momok bagi mereka. Jangankan mendalami rangkaian kata demi kata,
maksud dari judul geguritan yang akan mereka baca pun seringkali tak mereka pahami. Sesuatu yang
benar-benar asing bagi mereka.

Selain tidak terbiasa dan gencarnya arus budaya asing yang menggeser kebudayaan Jawa, ada satu
hal yang membuat mereka tidak antusias dalam belajar bahasa Jawa dengan baik. Materi yang cukup
banyak harus mereka kuasai dalam satu bab. Dengan hanya memiliki alokasi waktu 2 jam pelajaran
seminggu, tentu pemahaman aneka materi tersebut harus dilakukan dengan cepat. Padahal, dengan
perbedaan dialek yang mereka alami, belajar dengan sistem seperti ini sangatlah sulit.

Kadang, guru hanya monoton dengan berbasis BKS dalam melakukan pengajaran. Pelajaran bahasa
Jawa pun menjadi tidak menarik dan semakin sulit. Bagi mereka, memahami bahasa rinengga dalam
materi kasusastraan Jawa akan sama sulitnya jikalau mereka belajar kosa kata maskula dan femina
dalam bahasa Prancis. Nilai pelajaran bahasa Jawa akan menjadi nilai paling rendah diantara nilai
lainnya. Sempat melakukan sedikit survei kepada 30 murid saya, sebanyak 26 diantaranya memilih
bahasa Jawa adalah pelajaran yang paling sulit. Bahkan, ada salah satu murid les saya dengan polos
mengatakan bahwa mempelajari bahasa Jawa di sekolah adalah kegiatan paling menyiksa. Jawaban
polos yang selalu disertai dengan penggunaan dialek Jawa Timuran dalam menjawab berbagai
pertanyaan bacaan sebagai bentuk “protes”.

Bentuk protes yang polos ini menjadi salah satu pemikiran untuk mengkaji ulang penggunaan bahasa
jawa standar yang digunakan dalam pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Pada beberapa diskusi dengan
rekan guru yang mengajar dengan tingkat yang sama, ada beberapa usulan dan pemikiran untuk
mengganti pelajaran bahasa Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Jawa Timuran. Sesuatu
yang telah dilakukan oleh sekolah-sekolah di Cirebon kala mereka mengajarkan bahasa Cirebon,
yang notabene juga masih bisa dikatakan dialek bahasa Jawa dalam muatan lokalnya.

Tentu, usul ini tak bisa begitu saja diterima karena bagaimanapun bahasa Jawa standar adalah
sesuatu yang seharusnya juga bisa dipelajari oleh siswa-siswi di Kawasan Arek. Mereka juga orang
Jawa yang tak boleh lepas akar kebudayaannya terutama bahasa. Hanya mempelajari bahasa Jawa
dialek Jawa Timuran tentu akan semakin menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur bahasa Jawa yang
sebenarnya karena dialek ini sendiri pun hasil dari pencampuran berbagai kebudayaan.

Satu langkah yang bisa dilakukan adalah menelaah kembali kurikulum muatan lokal bahasa Jawa di
daerah penutur bahasa Arekan. Tak harus bisa menguasai bahasa Jawa standar dalam waktu singkat
seperti yang selama ini dilakukan, pengajaran bisa dilakukan secara berjenjang. Misalkan sejak kelas
kecil, mereka difokuskan untuk mengenal kosa kata bahasa Jawa standar dan membandingkannya
dengan dialek yang mereka gunakan.
Setelah mereka terbiasa untuk melakukan perbandingan kosa kata dalam dua dialek tersebut, maka
materi yang lebih sulit dapat diajarkan pada kelas berikutnya. Hingga, materi yang dirasa paling sulit
semisal geguritan dan tembang baru diajarkan setelah mereka benar-benar memahami aneka
kosakata yang dalam kehidupan sehari-hari jarang mereka gunakan.

Berbagai bentuk pengajaran yang menyenangkan semisal bernyanyi, berpantun, memainkan drama,
atau yang lainnya juga harus terus dilakukan. Konsep pengajaran jelas yang terangkum dalam silabus
maupun Rencana Program Pembelajaran (RPP) pun harus dimiliki guru karena selama ini banyak
guru kelas yang mengajar bahasa Jawa tidak memiliki keduanya. Banyak dari mereka yang benar-
benar berorientasi buku paket dan BKS dengan sesekali melihat “arah angin berjalan” dalam
mengemudikan pelajaran bahasa Jawa di kelas. Dan yang pasti, peran dari orang tua dan lingkungan
sekitar juga sangat penting dalam mendukung pengajaran bahasa Jawa ini. Meski, hal ini cuku sulit
karena lingkungan mereka tentu saja menggunakan bahasa Jawa Timuran dalam berkomunikasi.

Kala belajar bahasa Jawa tak lagi sulit dilakukan bagi siswa penutur dialek Jawa Timuran, mereka
akan lebih kaya dalam berkomunikasi dan berbudaya. Dan akhirnya, saya bisa berujar kepada siswa
yang kritis tadi bahwa meskipun kamu tidak tinggal di Jogja, tapi tidak mustahil kamu juga bisa
berbahasa seperti mereka.

Arek Malang kudu iso, je.

Sekian, selamat berbulan bahasa. Salam.

http://pustakakbm.kemdikbud.go.id/perpustakaan//index.php?p=fstream-pdf&fid=3&bid=699

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html
&id=63627&ftyp=potongan&potongan=S2-2013-290472-chapter1.pdf

Bahasa Jawa Standar

Warga Sawojajar pancen sregep banget yen diajak kerja bakti. Senajan kerja bakti mau mung
dianakake saben dina Minggu, nanging kahanane desa saya katon asile. Mula gotong royong sing
mangkono mau perlu dilestarekake lan disengkuyung amrih desane dadi aman, tentrem, lan
makmur.

Bahasa Jawa Dialek Jawa Timuran

Warga Sawojajar ancene jan sregep lek dijak kerja bakti. Masiyo kerja bakti maeng mek diadakno
ben dina Minggau, tapi keadaane desa tambah suwe tambah kethok hasile. Mangkane, gotong
royong sing kaya ngono iku perlu dilestarekno ambek didukung cek desane dadi aman, tentrem,
ambek makmur.

Anda mungkin juga menyukai