Membahas tata krama menyangkut aspek yang sangat luas. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1997 ) tata krama bermakna: adat sopan santun. Demikian juga dalam Kamus
Pepak Basa Jawa (2001 ) tata krama berarti “unggah-ungguh gunem tuwin tindak tanduk”
, ini sangat erat kaitannya dengan bahasa dan sikap berbahasa, salah satunya adalah
penggunaan bahasa daerah. Terkikisnya nilai-nilai tata krama itu di tengah-tengah kita
salah satunya ditandai dengan semakin berkurangnya pengguna bahasa daerah. Karena
kemampuan berbahasa daerah bagi generasi muda sekarang sangat rendah, berarti
semakin tidak akrab dengan bahasa daerahnya. Dan dengan tidak akrabnya dengan
bahasa daerah tersebut, maka pemahaman mereka terhadap nilai-nilai kultural juga
rendah. Sebagai salah satu contoh, karena tidak paham akan nilai-nilai tersebut, maka
sangat sulit menghayati nilai-nilai semacam bagaimana seharusnya dalam tingkah laku,
tidak tahu apa itu empan papan, tepa selira, andhap asor, atau mungkin wewaler yang
seharusnya tidak di langgar.
Lunturnya tata krama dari berbahasa bisa dilihat dari semakin surutnya pemilihan kosa
kata yang tak mencerminkan nilai rasa. Contohnya, yaitu: seorang anak tak mampu
membedakan nilai rasa dari bahasa yang diucapkan. Banyak di antara anak kita yang tak
mampu membedakan pemakaian kata “sirah” dan “endhas” yang keduanya sama-sama
dalam bahasa Indonesia bermakna “kepala”. Bagi yang mengerti tata krama akan berbeda
pemakaiannya, kalau kata “endhas” tentu dipakai untuk tingkatan yang sangat rendah,
“endhas pitik” (kepala ayam). Kata itu tak mungkin digunakan untuk mengatakan “sirah”
atau “mustaka” (sebutan kepala dalam krama inggil) untuk sebutan kepala orang.
Demikian juga kata “adus” dan “siram’ yang berarti “mandi”. Contoh lain, seseorang
tidak akan mengatakan dirinya pada orang lain sedang “dhahar” (makan, bhs. Ind.) bila
dia tahu tata krama. Pasti dia akan mengatakan “kula nembe maem”, karena dia tahu
dalam tata karma seharusnya dirinya tidak merasa di tingkat lebih tinggi (terhormat)
dibanding lawan yang diajak bicara.
Ketidakmampuan menggunakan bahasa daerah dengan baik ini menjadi salah satu faktor
penyebab nilai- nilai tata krama seperti ini sudah banyak yang ditinggalkan. Kalau benar-
benar setiap individu pengguna bahasa yang bertata krama konskuen antara diucapkan
dan dilakukan, tentunya akan berimplikasi pada tingkah laku dalam bermasyarakat. Ada
rasa saling menghormati, mendahulukan kepentingan yang lain, dan tentunya akan lebih
harmonis, karena tak ada lagi benturan kepentingan karena lebih menonjokan diri sendiri
dibandingkan orang lain.
Banyak generasi kita sekarang yang merasa “kuno” berbahasa ibu dalam komunitasnya.
Tetapi penyebab ketidakmampuan menggunakan bahasa daerah bagi generasi muda
sebenarnya kalau ditelusuri memang bukan kesalahan anak muda jaman sekarang. Tetapi
para orang tua yang semakin enggan menggunakan bahasa daerah di lingkungan
keluarga. Di samping karena semakin lemahnya posisi bahasa daerah menghadapi
kondisi globalisasi. Keluarga muda Jawa yang pindah ke kota, dalam komunitas yang
heterogen menjadi jarang sekali menggunakan bahasa ibunya. Sehingga penanaman nilai-
nilai moral dari orang tua sangat jauh berkurang. Anak-anak kita lebih suka nonton TV
atau bermain game, dibanding mendengarkan ceritera sebelum tidur yang seperti para
orang tua terdahulu dengan menyelipkan, “liding dongeng mangkene…..” ). Selain
dikarenakan para orang tua semakin tak punya waktu, juga karena sudah tak mampu lagi
dan membiarkan anaknya mencari kesenangan sendiri. Bisa disimak kondisi itu seperti
dalam guritan (puisi Jawa) karya Yunani, seperti dibawah ini:
Penanaman Tata Krama Melalui Penguatan Pelajaran Bahasa Daerah
Di samping karena semakin berkurangnya penggunaan bahasa daerah di lingkungan
keluarga maupun pada lingkungan pergaulan, pelajaran terkait dengan tata krama,
unggah-ungguh dan budi pekerti selain dimasukkan ke pelajaran Agama dan PPKn (dulu
Pendidikan Moral Pancasila) sebenarnya sangat erat sekali dengan pelajaran Bahasa
Daerah. Yang masih menjadi masalah sekarang, apakah pelajaran bahasa daerah di
sekolah-sekolah itu sudah cukup memadai? Untuk Propinsi Jawa Timur, dengan SK
Gubernur No.188/188/KPTS/013/2005 menetapkan mata pelajaran Bahasa Daerah
sebagai mata pelajaran wajib untuk jenjang Pendidikan Dasar (SD/MI/SDLB dan
SMP/MTs/SMPLB) negeri maupun swasta. SK Gubernur tersebut dilampiri dengan
Kurikulum Bahasa Jawa untuk tingkat SD dan SMP. Namun pada tahun 2008 di beberapa
wilayah sudah mengajarkan Bahasa Daerah sampai pada tingkat SMA, misalnya
beberapa SMA di daerah Jombang dan Magetan. Di wilayah Surabaya pembelajaran
Bahasa Daerah setingkat SMA dilakukan di SMA Trisila dan SMA Takmiriyah. Akan
tetapi yang mengajar bukan seluruhnya lulusan jurusan Bahasa Daerah. Di beberapa
daerah masih banyak guru-guru bahasa daerah yang bukan lulusan jurusan Bahasa
Daerah, melainkan guru-guru ’cakupan” dari bidang studi lain yang dianggap kompeten.
Di daerah Pacitan misalnya, dari jumlah 40 guru SMP Negeri, yang lulusan sarjana
bahasa Jawa hanya 11 orang, sisanya merupakan guru biologi, guru olah raga, guru tari
dan guru lain yang dianggap pintar sebagai MC Jawa (pranatacara).
Masalah tenaga pengajar ini juga dialami di tingkat Sekolah Dasar, pelajaran bahasa Jawa
sebagai muatan lokal (mulok) hanya mendapat porsi 2 jam pelajaran per minggu, gurunya
juga banyak yang “cakupan” tidak sesuai dengan bidangnya.
Upaya-upaya untuk meningkatkan pembelajaran bahasa daerah sebenarnya telah banyak
dilakukan. Salah satunya dengan cara mengadakan seminar-seminar pembelajaran bahasa
Jawa, juga mengadakan lomba-lomba terkait dengan budaya Jawa. Di samping itu
pemerintah daerah juga banyak yang mulai peduli akan nasib bahasa daerahnya. Dalam
waktu dekat Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan akan meluncurkan Program “Gerakan
Sedinten Basa Jawi”. Program ini sama seperti yang digulirkan Pemerintah Kotamadya
Surabaya berupa program Java Day (sehari berbahasa Jawa) yang dituangkan dalam
Surat Dinas No.421.2/0123/436.5.6/2008. Dengan program ini sebenarnya cukup banyak
yang berharap benar-benar bisa diwujudkan. Ini mengingat Surabaya merupakan kota
besar dengan penduduk yang heterogen. Cuma masalahnya, apa hanya sekedar program
saja, bagaimana program tersebut berjalan tanpa ada upaya-upaya lain yang mendukung?
Karena kenyataannya, dari program itu yang paling lemah di dalam program ini adalah
pada praktek pelaksanaan di lapangan. Program ini akan sekedar ’slogan program’ jika
tidak ada ’sanksi’ yang diberikan atas pelanggaran kesepakatan tersebut.
Beberapa waktu lalu muncul laporan mengenai tanda-tanda orang kecanduan Facebook
atau situs jejaring sosial lainnya, misalnya Anda mengubah status lebih dari dua kali
sehari dan rajin mengomentari perubahan status teman. Anda juga rajin membaca profil
teman lebih dari dua kali sehari meski ia tidak mengirimkan pesan atau men-tag Anda di
fotonya. Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring
sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena
memicu orang untuk mengisolasikan diri. Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika
para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan
teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau
ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena
“berpisah” dari komputernya.
Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet
keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami cidera tekanan
yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada
orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada
malam hari Anda masih sibuk mengomentari status teman Anda, Anda juga kekurangan
waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk
berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang