Anda di halaman 1dari 12

Diagnosis Leukemia Granulositik Kronik dan Penatalaksaannya

Welhelmina Bendelina Lobo (102015107)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara Nomor 6 Jakarta Barat 11510
wendyryndhy25@gmail.com

Abstrak
Leukemia granulositik kronik merupakan suatu myeloproliferative disorder yang ditandai
oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada asupan darah tepi
dapat dengan mudah dilihat tingkat diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan
mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit. Dalam perjalanan penyakit. Leukemia
granulositik kronik dibagi menjadi tiga fase yakni fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Gejala klinis yang paling sering ditemukan adalah splenomegali. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah hematologi rutin, apusan darah tepi, apusan sumsum tulang, dan kariotipik. Secara
umum tujuan terapi pada fase kronik adalah menghilangkan gejala klinik dengan cara menurunkan
leukositosis dan organomegali.
Kata Kunci : Leukemia, Gejala klinis, penatalaksanaan.

Abstract
Chronic granulocytic leukemia is a myeloproliferative disorder characterized by the
proliferation of granulocyte series with no disturbance of differentiation, so in the peripheral blood
intake can be easily seen differentiation levels of granulocyte series, ranging from promielocytes
(even mieloblasts), meta mielosit, mielosit, to granulocytes. In the course of the disease chronic
granulocytic leukemia is divided into three phases namely the chronic phase, acceleration phase and
blas crisis phase. The most common clinical symptom is splenomegaly. Investigations that can be
done are routine hematology, peripheral blood smears, bone marrow smear, and karyotyping. In
general, the purpose of therapy in the chronic phase is to eliminate clinical symptoms by reducing
leukocytosis and organomegaly.
Keywords: Leukemia, Clinical symptoms, management.

1
Pendahuluan

Leukemia granulositik kronik atau dikenal sebagai leukemia myeloid kronik merupakan suatu
jenis kanker dari leukosit. LGK adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan atau
pertumbuhan yang tidak terkendali dari sel myeoloid pada sumsum tulang dan akumulasi dari sel-sel
ini disirkulasi darah. Ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, basofil).
Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang selalu sama pada pasien
LGK, yaitu 22q- atau hilangnya sebagian lengan panjang dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal
sebagai kromosom Philadelphia (Ph). Selanjutnya di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa
kromosom Ph terbentuk akibat adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9 dan
22, lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, pada tahun
1980 diketahui bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan
adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34), yakni ABL (Abelson)
dengan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11).
Gabungan kedua gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama
terjadinya kelainan ploriferasi pada LGK. Secara klasifikasi, LGK termasuk golongan penyakit
mieloproliferatif, yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi,
sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri
granulosit.1

Skenario

Pada anamnesis skenario 8 didapatkan data pasien seorang laki-laki usia 56 tahun, dengan
keluhan utama demam sejak 3 hari SMRS. Didapatkan riwayat penyakit sekarang bahwa sejak 1
tahun yang lalu pasien merasa cepat capek. Kerja ringan bisa, tetapi kerja berat tidak sanggup. Sejak 1
bulan yang lalu terasa perut membesar dan teraba keras. Demam sesak dan batuk sejak 3 hari.
Sesekali ada mimisan dan perdarahan gusi.
Anamnesis

Anamnesis adalah teknik percakapan lewat percakapan untuk mem[eroleh data atau informasi
tentang data atau informasi yang dialami pasien yang berguna untuk menegakkan diagnosis. Ada 2
jenis anamnesis:

1. Autoanamnesis : anamnesis yang dilakukan langsung pada pasiennya.


2. Alloanamnesis : misalnya pada pasien yang tidak sadar, sangat lemah atau sangat sakit untuk
menjawab pertanyaan atau pasien anak-anak maka perlu orang lain (keluarga dll) untuk
menceritakan permasalahnya.2
Berikut percakapan dalam bentuk tanya jawab yang dapat ditanyakan kepada pasien, dalam kasus
seperti ini.

2
 Identitas pasien. Pada identitas pasien kita tanyakan nama, usia, pekerjaan dan tempat tinggal.
 Keluhan utama
- Ada keluhan apa bapak, sehingga datang kemari ?
 Riwayat Penyakit Sekarang (Umum  Garis besar)
- Sudah berapa lama keluhan tersebut bapak alami ?
- Apakah perut yang membesar tersebut disertai dengan adanya rasa nyeri ?
- Bagaimana intensitas nyerinya, apakah hilang timbul, atau muncul secara terus
menerus ?
- Apakah keluhan tersebut, disertai dengan adanya demam ?
- Apakah keluhan tersebut disertai dengan adanya perubahan kulit yang menjadi lebih
kuning ?
- Apakah keluhan yang bapak alami, disertai dengan adanya rasa lelah, lesu, dan lemas
?
- Apakah keluhan yang bapak alami, disertai dengan adanya mual, dna muntah ?
(Tanyak juga mengenai muntah darah)
- Apakah ada penurunan berat badan selama terjadinya keluhan tersebut ?
- Bagaimana konsistensi dari pembesaran pada perut bapak tersebut ?
- Apakah sebelumnya bapak pernah mengonsumsi obat ? (Jika iya, tanyakan lagi
bagaimana perkembangannya  Membaik, atau semakin memburuk)
- Apakah ada keluhan lain, selain rasa nyeri yang bapak rasakan ? (Misalnya, sakit
kepala, dan lain-lain)
 Riwayat Penyakit Dahulu
- Apakah sebelumnya bapak pernah merasakan keluhan yang sama ?
- Apakah sebelumnya pernah di rawat di rumah sakit atau pergi ke poliklinik dengan
masalah lain ?
 Riwayat pribadi, riwayat sosial, dan sebagainya
- Apakah bapak merokok, dan minum minuman beralkohol ?
- Bagaimanakah dengan kebersihan di daerah tempat tinggal bapak ?
- Apakah di keluarga bapak ada yang menderita hal yang sama ? (Riwayat penyakit
keluarga).2

Jika sudah melakukan anamnesis terhadap pasien, selanjutnya lakukanlah langkah


pemeriksaan fisik pada pasien.

Pemeriksaan Fisik

Hasil yang didapatkan pada pasien pria berusia 56 tahun ini adalah pasien tampak sakit
sedang, kesadaran Kompos mentis, Tekanan Darah 120/80 mmHg, Denyut Nadi 110 kali/menit,

3
Pernapasan = 28 kali/menit, Suhu Tubuh = 38,5 OC. Pada pemeriksaan lokal yang meliputi inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi, didapatkan hasil yang menujukkan. Konjungtiva pucat, Ronki basah
sedang pada ke dua paru. Hepar 2 jbac, 3 jbpx. Limpa membesar, S6, terlihat ptekie dan ekimosis
pada kulit.3

Pada umumnya, pasien yang datang dengan dugaan leukemia granulositik kronik, memiliki
hasil pemeriksaan fisik dengan gambaran splenomegali pada 90% kasus, yang disertai dengan adanya
nyeri tekan pada tulang dada, dan hepatosplenomegali, bahkan kadang-kadang terdapat purpura,
perdarahan retina, pembesaran kelenjar getah bening, dan juga priapismus. Dan beberapa dari
kelainan pada pemeriksaan fisik pada pasien yang memang terkena leukemia granulositik akut,
memang tampak terdapat pada pasien pada kasus kali inidan menunjukkan kondisi perut pasien yang
membesar, akibat adanya hepatosplenomegaly.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk leukemia granulositik kronik adalah 4
1. Laboratorium
Leukositosis ≥ 50.000/mm3, hitung jenis sel darah tepi menunjukan spktrum luas granulosit
lengkap seperti gambaran sumsum tulang, anemia normositik normokrom, trombosit dapat
meningkat atau menurun. Kromosom philadelpia (+) pada 90%.
2. Sitogenetika
Pemeriksaan baku emas untuk mendeteksi kromosom philadelpia. Hasil pemeriksaan ini yaitu
jumlah kromosom philadelpia positif dari setidaknya 20 metafase. Specimen diambil dari
aspirasi sumsum tulang dan pemeriksan ini diperlukan untuk memantau respons sitogenik.
3. FISH
Fluorocent in situ hybridization dilakukan untuk mencari gen BCR-ABL yang spesifik pada
kromosom. FISH terutama digunakan jika pemeriksaan sitogenetika negative atau tidak dapat
mendapat sel-sel metaphase. Pemeriksaan ini dapat menggunakan sampel darah perifer atau
sumsum tulang.
4. PCR
Polymerase Chain Reaction termasuk pemeriksaan yang sangat sensitive utnk memberikan
informasi adanya BCR-ABL transcript.
Hasil pemeriksaan lab nya adalah Hb 6,2 g/dl, leukosit 105.500/mm3 dan trombosit 15.000/mm3
Diagnosis Banding
Leukemia Limfositik Kronik

Hingga saat ini, leukemia limfositik kronik (CLL) adalah leukemia limfoid kronik yang
paling sering dijumpai dan insidensi puncak terdapat pada usia antara 60-80 tahun. Etiologinya belum
diketahui, tetapi terdapat variasi geografik dalam insidensinya. CLL merupakan leukemia yang paling

4
banyak ditemukan dinegara Barat, tetapi jarang di Timur Jauh. Insidensi tidak meningkat pada orang
yang sebelumnya menjalani pengobatan radioterapi atau kemoterapi. Sel tumor tampak sebagai suatu
sel B yang relatif matur dengan ekspresi imunoglobulin M (IgM) atau IgD permukaan yang lemah.
Sel-sel ini berakumulasi dalam darah, sumsum tulang, hati, limpa, dan kelenjar getah bening akibat
lama hidup yang memanjangdisertai terganggunya apoptosis normal.1

Penyakit ini mengenai orang berusia tua dan jarang mengenai orang berusia kurang dari 40
tahun. Rasio pria terhadap wanita adalah 2:1. Banyak kasus (biasanya stadium 0) didiagnosis pada
saat dilakukan pemeriksaan darah rutin. Pembesaran simetris kelenjar getah bening permukaan adalah
tanda klinis yang paling sering dijumpai. Kelenjar biasanya berbatas tegas dan tidak nyeri tekan.
Salah satu gambaran yang dijumpai dapat berupa pembesaran tonsil. Pada oemeriksaan fisik juga
ditemukan limfadenopati. Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam
ukuran. Gambaran anemia mungkin ada. Splenomegali clan hepatomegali biasa ditemukan pada
stadium lebih lanjut. Infeksi bakteri dan jamur sering ditemukan pada stadium lanjut karena terjadi
defisiensi imundan netropenia (akibat infiltrasi sumsum tulang, kemoterapi, atau hipersplenisme).
Penderita trombositopenia mungkin memperlihatkan adanya memar atau purpura.1

Leukemia Myeloblastik Akut (LMA)

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi
neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid. Bila tidak diobati, penyakit
ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah
diagnosis. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dariseluruh kasus
leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%). Insidens
LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa muda. Sesudah usia 30
tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan meningkatnya usia. LMA pada
orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang
yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%.

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkanoleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan
biasanya terjadi adalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau
berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada
kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di tenggorokan, paru-paru,
kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien
LMA dengan demam. Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), sering
terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena
maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran
pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi

5
sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dadadan
priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme
berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda atau gejala
yang bervariasi tergantung organ yang diinfiltrasi.5

Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Leukimia Limfoblastik Akut (LLA) adalah proliferasi maligna atau ganas limfoblast dalam
sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. Leukimia
Limfoblastik Akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini
juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau lebih. Leukemia limfositik akut
dapat berakibat fatal karena sel-sel yang dalam keadaan normal yang berkembang menjadi limfosit
akan berubah menjadi ganas dan akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang.1

Etiologi leukemia belum diketahui, namun dari hasil studi mengarah ke faktor lingkungan,
radiasi, paparan elektromagnetik, maupun aktivasi oleh virus. Gejala klinis LLA sangat bervariasi.
Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia
(mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan. Selain itu juga ditemukan
anoreksi, nyeri tulang, sendi, dan hipermetabolisme. Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada
sternum, tibia dan femur.

Sirosis Hepatik dengan Hipersplenisme

Sirosis hepatik merupakan salah satu penyakit yang memiliki prognosis yang buruk. Sirosis
adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung
progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.
Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular.

Keluhan dari sirosis hati dapat berupa menurunnya kemampuan jasmani, menurunnya nafsu
makan disertai mual dan penurunan berat badan, mata yang berwarna kuning dan buang air kecil yang
berwarna gelap, pembesaran perut dan kaki yangmembengkak, perdarahan saluran cerna bagian atas,
pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (hepatic encephalopathy) serta rasa
gatal yang hebat. Pada sirosis hepatis dekompensata, terjadi gangguan arsitektur hati yang
mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan parenkim hati yang masing-masing
memperlihatkan gejala klinis berupa kegagalan sirosis hati (edema, ikterus, koma, spider nevi,
alopesia pectoralis, ginekomastia, kerusakan hati, asites, rambut pubis rontok, eritema Palmaris, atropi
testis, kelainan darah seperti anemia, hematom serta mudah terjadi perdarahan) dan tanda-tanda
hipertensi portal (varsises esophagus, spleenomegali, perubahan sumsum tulang, caput medusa,
ascites, collateral vein hemorrhoid dan kelainan darah tepi seperti anemia, leucopenia dan

6
trombositopenia) dan kelainan darah tepi seperti anemia, leucopenia dan trombositopenia).
Trombositopenia merupakan salah satu kelainan darah yang paling sering ditemukan pada sirosis hati.
Diketahui bahwa trombositopenia pada sirosis hati disebabkan oleh hipersplenisme.5

Malaria Kronik

Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan Plasmodium, yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik,
anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa
organ misalnya otak, hati dan ginjal.

Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang intermiten,
anemia sekunder dan splenomegali. Gejala didahului oleh keluhan prodromal berupa, malaise, sakit
kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, mual, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di
punggung.1 Gejala klasik malaria biasanya terdiri atas tiga stadium yang berurutan, yaitu

 Stadium dingin (Cold stage)

Penderita akan merasakan dingin menggigil yang amat sangat, nadi cepat dan lemah, sianosis,
kulit kering, pucat, kadang muntah. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti
dengan meningkatnya temperatur.

 Stadium demam (Hot stage)

Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi
dapat sampai 40°C atau lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai
terjadi kejang. Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih.

 Stadium berkeringat (Sweating stage)

Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali. Hal ini berlangsung 2-4 jam. Meskipun
demikian, pada dasarnya gejala tersebut tidak dapat dijadikan rujukan mutlak, karena dalam
kenyataannya gejala sangat bervariasi antar manusia dan antar plasmodium.

Diagnosis Kerja
Leukemia Granulositik Kronik adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan
dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sum-sum tulang, dan akumulasi dari sel-
sel ini di sirkulasi darah. LGK merupakan gangguan stem sel sum-sum tulang klonal, dimana
ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya.
Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut
dengan kromosom Philadelphia.6

7
Epidemiologi
Pada tahun 2016, di AS diperkirakan ada sekitar 8.220 kasus baru leukemia mieloid kronik
dan sekitar 1.070 orang meninggal karena penyakit tersebut.1 Usia median saat didiagnosis leukemia
mieloid kronik 55-60 tahun, penyakit ini terutama dijumpai pada orang dewasa. Di Indonesia median
usia saat didiagnosis leukemia mieloid kronik adalah 34-35 tahun. Leukemia mieloid kronik dijumpai
sekitar 15% dari semua leukemia dan 7-20% dari leukemia pada dewasa. Pria sedikit lebih sering
dibandingkan wanita (1,3-2,2 : 1).4
Etiologi

Tidak diketahui secara jelas penyebab terjadinya leukemia granulositik kronik. Namun,
diduga kuat ada kaitannya dengan gen BCR-ABL pada kromosom Ph yang menyebabkan proliferasi
berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis, dimana klon-klon ini selain proliferasinya
berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan sel nomral, karena gen BCR-
ABL juga bersifat anti-apoptosis, sehingga dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya
klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.7
Patogenesis

Leukemia granulositik kronik merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai


berhubungan dengan kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’ kromosom. Pada
lebih dari 90 % pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom
golongan G abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena
adanya translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9
pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid
dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limposit B.
Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung jawab untuk kebanyakan gambaran
klinisnya.

Kromosom 9 menerima translokasi lengan panjang (q) kromosom 22 maka akan terbentuk
gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoprotein-P210, yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang
berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang menyebabkan terjadinya
transformasi selular yang mendasari timbulnya LGK. Terjadinya krisis blastik pada LGK
dihubungkan dengan munculnya gen yang memproduksi cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-
2) atau dikenal dengan Ph’-2 kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut memiliki sifat
mengaktifkan pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian mendapatkan adanya T-sel
resptor abnormal dengan teknik polimerase pada darah tepi penderita leukemia granulositik kronik.

8
Kromosom Philadelphia merupakan hasil translokasi kromosom 9 dan 22 yang
mengakibatkan fusi gen BCR-ABL, menghasilkan protein fusi BCR-ABL yang berperan dalam
terjadinya leukemia mieloid kronik atau leukemia granulositik kronik. BCR-ABL memiliki aktivitas
tyrosine kinase yang memicu pertumbuhan dan replikasi sel leukemik melalui downstream pathway
seperti RAS, RAF, JUN kinase, MYC, dan STAT. Kromosom Philadelphia ditemukan pada 95%
pasien leukemia mieloid kronik, 5% pasien mengalami translokasi kompleks atau varian yang
melibatkan kromosom tambahan yang akhirnya mengakibatkan fusi gen BCR-ABL. Gen BCR-ABL
menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel pluripoten pada system hematopoesisis. Disamping itu
BCR-ABL juga bersifat apoptosis sehingga menyebabkan gen ini dapat bertahan hidup lebih lama
disbanding sel normal. Dampaknya adalah terbentuk klon-klon abnormal yang mendesak system
hematopoiesis.1,4,7

Gejala Klinis

Sampai dengan 50% pasien asimptomatik dan didiagnosis secara tidak sengaja setelah
pemeriksaan laboratorium. Gejala umumnya tidak spesifik dan sering akibat anemia atau
splenomegali (46-76%), seperti fatigue, nyeri, atau massa perut kiri atas. Gejala lain berupa demam,
anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam hari. Manifestasi yang jarang yaitu perdarahan,
trombosis, artritis gout, priapismus. Hiperleukositosis dan hiperviskositas juga dapat dijumpai.
Leukemia granulositik kronik memiliki 3 fase yaitu1,4

 Fase Kronik

Sebagain pasien (85%) pada fase ini, jika tidak di terpai akan berlanjut menjadi fase
akselerasi dan blast. Selama fase ini, pasien seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-
gejala lemah yang ringan, dan rasa tidak nyaman pada abdomen.progresivitas menjadi fase blast 3-5
tahun setelah didiagnosis pada pasien yang tidak diterapi, dengan atau tanpa fase akselerasi. Pada fase
ini pasien memiliki blast dalam darah atau sumsum tulang kurang dari 10% dan berespon tinggi pada
terapi.

 Fase Akselerasi

Sekitar 10-20% pasien meninggal pada fase ini. Menurut kriteria WHO, pasien dikatakan
berada pada fase akselerasi jika blast 10-19% dalam darah atau sumsum tulang, basofil dalam darah
perifer ≥ 20%, trombosit < 100 x 109 /L tidak terkait terapi atau > 1000 x 109 /L tidak terkontrol
dengan terapi, abnormalitas kromosom, peningkatan jumlah leukosit dan ukuran limpa.

 Krisis Blast

9
Jika blast ≥ 20% dalam darah atau sumsum tulang, proliferasi blast ekstrameduler (di kelenjar
getah bening, kulit, jaringan subkutan, tulang, dan sistem saraf pusat), dan adanya fokus blast besar
dalam sumsum tulang atau limpa. Pada fase ini, gejalanya antara lain penurunan berat badan, demam,
berkeringat malam hari, nyeri tulang, infeksi, dan perdarahan.

Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi
sitogenetik, maupun remisi biomolekular.Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat
yang bersifat mielosupresif.1,4

Hydroxyurea (Hydrea)

Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK.Lebih efektif
dibandingkan busulfan, melfalan (Alkeran), dan klorambusil. Efek mielosupresif masih berlangsung
beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Penggunaannya dihentikan dulu bila
leukosit < 8.000/mm3 atau trombosit <100.00/mm3.Interaksi obat dapat terjadi bila digunakan
bersamaan dengan 5-FU, menyebabkan neurotoksisitas. Selama menggunakan hydrea harus dipantau
Hb, leukosit, trombosit, fungsi ginjal, fungsi hati.

Busulfan (Myleran)

Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikkan sampai
12mg/hari. Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek
busulfan, sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya.

Imatinib mesylate (Gleevac = Glyvec)

Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin
kinase dari fusi gen BCR-ABL. Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per
oral. Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari
bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon
yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yakni Hb menjadi rendah dan/atau leukosit
meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan apabila terjadi
netropeni berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau peningkatan sGOT/sGPT
dan blirubin. Selain remisi hematologik, obat ini dapat menghasilkan remisi sitogenetik yang ditandai
dengan hilangnya/berkurangnya kromosom Ph dan juga remisi biologis yang ditandai dengan
berkurangnya ekspresi gen Bcr-Abl atau protein yang dihasilkannya.

Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b

Berbeda dengan imatinib mesilat, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis
walaupun dapat mencapai remisi sitogenetik. Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi

10
sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis yang
dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari. Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik
sebelum pemberian interferon untuk mencegah atau mengurangi efek samping interferon berupa flue-
like syndrome. Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan zidovudin dapat menigkatkan efek
toksik interferon. Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan faal hati dan ginjal ynag
berat, pasien epilepsi.

Cangkok sumsum tulang

Merupakan terapi definitif untuk LGK data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang
(CST) dapat memperpanjang masa remisi sampai > 9 tahun.

Suportif :
• Rawat inap, tirah baring
• Kebutuhan kalori, protein, & zat gizi cukup (ps muntah2)
• Kebutuhan cairan cukup (awas toksisitas ke ginjal)
• Transfusi PRC dgn atau trombosit bila anemia atau trombositopeni
Paliatif :
• Antibiotik bila ada demam/infeksi: sebaiknya sesuai kultur resistensi test
• Antipiretik bila demam : paracetamol 3x500 mg
• Antimual bila muntah: ondansentron 2x8mg
• Alopurinol bila hiperurisemia

Komplikasi

Komplikasi biasanya ditemukan akibat penatalaksanaan, yakni neurotoksisitas akibat


penggunaan hydroxyurea yang bersamaan dengan 5-FU; fibrosis paru, supresi sumsum tulang, yang
berkepanjangan, akibat penggunaan busulfan; reaksi hipersensitivitas akibat penggunaan imanitib
mesylate; flue like symptom akibat penggunaan interferon alfa 2a, ataupun alfa 2b.1

Prognosis

Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setalah diagnosis
ditegakkan. Faktor-faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK antara lain pasien dengan
usia lanjut, keadaan umum buruk dan disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan, demam,
keringat malam; laboratorium ditemukan anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,
eosinofilia, kromososm Ph negatif, Bcr-Abl negative; serta terapi yang memerlukan waktu lama (> 3
bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi singkat.1

11
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan hanya untuk mencegah terjadinya perburukan prognosis, dan
mencegah remisi agar tidak terjadi dengan cepat.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,
pasien diduga menderita penyakit leukemia granulositik kronik. LGK merupakan salah satu penyakit
yang disebabkan karena gangguan stem sel sum-sum tulang, dimana ditemukan proliferasi dari
granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil). Keadaan ini merupakan jenis penyakit
myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia.

12

Anda mungkin juga menyukai