Anda di halaman 1dari 7

KANDIDIASIS VULVOVAGINAL

PEMBAHASAN
Definisi
Kandidiasis (atau kandidosis, monoliasis, trush) merupakan berbagai
macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dan anggota
genus kandida lainnya.1

Epidemiologi Kandidiasis Vulvovaginalis


Informasi mengenai insiden KVV tidak lengkap, sejak KVV tidak
dilaporkan. Pengumpulan data pada KVV terhambat oleh ketidaktelitian diagnosis
dan menggunakan studi populasi yang bersifat tidak mewakili. Banyak studi
menyatakan 5-15% prevalensi KVV, tergantung pada studi populasi. Sekitar 3-4
dari semua wanita akan mengalami episode KVV seumur hidupnya. KVV
mempengaruhi banyak wanita paling sedikit satu kali selama hidupnya, paling
sering pada usia mampu melahirkan, diperkirakan 70-75%, 3-5 dari 40-50% akan
mengalami kekambuhan. Subpopulasi kecil yang mungkin kurang dari 5% semua
wanita dewasa mengalami episode KVV berulang diartikan sebagai ≥4 episode
per tahun. Setiap wanita dengan gejala vulvovaginitis, 29,8% telah diambil isolasi
ragi, yang memperkuat diagnosis KVV. Banyak studi mengindikasikan KVV
merupakan diagnosis paling banyak diantara wanita muda, mempengaruhi
sebanyak 15-30% wanita yang bersifat simptomatik yang mengunjungi dokter.
Pada Amerika serikat, KVV merupakan penyebab infeksi vagina tersering kedua
setelah vaginosis bakteri.3

Sumber Infeksi
Tiga sumber infeksi yang menyebabkan terjadinya KVV, meliputi reservoir,
penularan seksual dan kekambuhan.1,3
a. Reservoir
Meskipun saluran gastrointestinal menjadi sumber kolonisasi awal
kandida pada vagina, kontroversi terus berlanjut mengenai peran usus
sebagai sumber reinfeksi pada wanita dengan KVV berulang. Beberapa
penulis, telah menemukan kesesuaian yang jauh lebih rendah diantara
kultur dubur dan vagina pada pasien dengan KVV berulang. Tingginya
angka kultur anorektal dalam beberapa studi mungkin menyatakan adanya

1
kontaminasi perineum dan perianal dari keputihan. Selain itu, KVV sering
berulang pada wanita tanpa adanya kultur dubur yang positif. 1,3
b. Penularan seksual
Kolonisasi kandida pada genital laki-laki yang bersifat
asimptomatik adalah empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dimana
pasangan seksualnya merupakan wanita yang terinfeksi. Sekitar 20%
kandida pada penis berasal dari wanita dengan KVV berulang. Kandida
paling sering ditemukan pada laki-laki yang disunat, biasanya
asimptomatik. Patner yang terinfeksi biasanya membawa keturunan yang
identik, namun kontribusi penularan seksual hingga patogenesis infeksi
masih belum diketahui. 1,3
c. Kekambuhan
Sejumlah kecil dari mikroorganisme bertahan dalam lumen
vagina, umumnya dalam jumlah yang terlalu kecil yang dideteksi oleh
kultur vagina yang konvensional. Hal ini juga dibayangkan bahwa jumlah
kecil kandida mungkin tinggal sementara di dalam serviks superfisial atau
sel epitel vagina yang hanya muncul kembali beberapa minggu atau bulan
kemudian.1,3

Etiologi dan Patogenesis Kandidiasis Vulvovaginalis


Candida albicans merupakan penyebab 80-90% KVV, dan Candida
glabrata merupakan spesies yang paling sering terlibat selanjutnya.1 Pada biakan
jaringan, kandida tumbuh sebagai sel ragi bertunas dan oval yang berukuran 3-6
µm. Kandida membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal
melepaskan diri sehingga menghasilkan rantai sel yang memanjang yang terjepit
atau tertarik pada septa di antara sel. Candida albicans bersifat dismorfik (ada
juga yang menyebutnya polimorfik); selain ragi dan pseudohifa, Candida
albicans juga bisa menghasilkan hifa sejati. Dalam media agar atau dalam 24 jam
pada suhu 37ºC atau pada suhu ruangan, spesies kandida menghasilkan koloni
halus, berwarna krem dengan aroma ragi. Pseudohifa jelas terlihat sebagai
pertumbuhan yang terbenam di bawah permukaan agar.2,5 Pembentukan
pseudohifa terjadi karena pembelahan sel yang terpolarisasi ketika sel jamur
tumbuh dengan tunas yang memanjang tanpa melepaskan diri dari sel yang

2
berdekatan, sehingga sel-sel tersebut bergabung menjadi satu. Klamidiospora
dibentuk pada pseudomiselium dimana bentuknya bulat dan terdapat spora
refraktil dengan dinding sel yang tebal. Perubahan dari komensal ke patogen
dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan dan penyebaran pada tubuh
pejamu. Jika terdapat pertumbuhan yang invasif dari pseudohifa multiseluler
menyebabkan infeksi jamur kandidiasis.5

Gambar 1. Berbagai bentuk morfologi Candida albicans3


Candida albicans merupakan organisme normal dari saluran cerna tetapi
dapat menimbulkan infeksi oportunistik.6,7 Terdapat dua faktor virulensi jamur
kandida yaitu dinding sel dan sifat dismorfik kandida. Dinding sel berperan
penting dalam virulensi karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung
dengan sel pejamu. Dinding sel kandida mengandung 80-90% karbohidrat, yang
terdiri dari b-glukan, khitin, mannoprotein, 6-25% protein dan 1-7% lemak. Salah
satu komponen dinding sel yaitu mannoprotein mempunyai sifat imunosupresif
sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu. Kandida
tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa. Enzim proteinase
aspartil membantu kandida pada tahap awal invasi jaringan untuk menembus
lapisan mukokutan yang berkeratin. Faktor virulensi lain berupa sifat dismorfik
kandida yaitu kemampuan kandida berubah bentuk menjadi pseudohifa. Bentuk
utama kandida adalah bentuk ragi (spora) dan bentuk pseudohifa (hifa, miselium,
filamen). Dalam keadaan patogen bentuk hifa mempunyai virulensi lebih tinggi
dibandingkan bentuk spora karena ukurannya lebih besar dan lebih sulit
difagositosis oleh sel makrofag. Selain itu, terdapat titik-titik blastokonidia
multipel pada satu filamen sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih

3
besar. Perubahan dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap
perubahan lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi
menjadi hifa yang lebih invasif juga dipengaruhi imunitas seluler. IFN-γ memblok
transisi bentuk sel ragi menjadi bentuk pseudohifa.2,5
Kandida adalah sel jamur yang bersifat parasit dan menginvasi sel pejamu
dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Imunomodulasi adalah kemampuan
potensial sel kandida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu berupa
rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu. Zat seperti
khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam dinding
sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respon imunomodulasi
menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut sebagai heat shock
protein (hsp) yang berperan dalam proses perangsangan respon imun dan proses
pertumbuhan kandida. Adhesi merupakan langkah awal untuk terjadinya
kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat pada sel pejamu melalui interaksi
hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan jamur dari tubuh melalui
regulasi imun normal. Ketika Candida albicans penetrasi ke permukaan mukosa
pejamu terjadi perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa sehingga
membantu jamur menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa enzim
degradatif seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase. 2,5

Faktor Resiko Kandidiasis Vulvovaginalis


Faktor resiko KVV meliputi DM, penggunaan steroid, alat kontrasepsi,
memakai celana ketat dan baju sintetik, peningkatan estrogen, penggunaan
antibiotik dan imunosupresi.1,3,8
Setiap faktor host yang mempengaruhi lingkungan vagina atau cairan
vagina memiliki peran dalam KVV. Kehamilan adalah salah satu faktor
predisposisi yang paling umum. Penelitian telah menunjukkan bahwa hingga
sepertiga dari wanita hamil di seluruh dunia pada hari apapun dapat terpengaruh.
Tingginya hormon reproduksi dan peningkatan kandungan glikogen dalam
lingkungan vagina menghasilkan lingkungan yang menguntungkan bagi spesies
kandida. Pada kombinasi, 2 perubahan ini menyediakan sumber karbon yang
berlimpah untuk pertumbuhan, germinasi, dan adheren kandida. Selain itu,
keasaman flora vagina ibu hamil dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme

4
lain yang secara alami menghambat kandida. Meskipun awalnya organisme lebih
mudah terjadi pada pH tinggi (6-7), pembentukan tuba kuman dan perkembangan
miselia menyukai pH vagina yang rendah (<5). 1,3
Kolonisasi kandida pada vagina lebih sering pada wanita yang mengalami
diabetes. Wanita dengan DM tipe 2 lebih cenderung akibat kolonisasi C. glabrata.
Pada pasien DM, terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi termasuk infeksi
jamur kandida. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan adanya gangguan
imunitas. Selain itu, terjadi penurunan kemampuan leukosit dalam memfagositosit
kuman. Hiperglikemia menyebabkan terjadi hiperosmolaritas plasma sehingga
kemampuan migrasi berkurang dan respon leukosit menurun. Defek fagositosis
juga diakibatkan oleh berkurangnya difusi nutrien ke sel-sel inflamasi
ekstravaskular, dan defek pada interleukin dependen insulin akibat berkurangnya
insulin. Selain itu, kondisi metabolik berupa kadar gula darah yang meningkat
dapat mempermudah pertumbuhan jamur patogen.11 Semua faktor tersebut
menyebabkan pasien DM lebih rentan terhadap kandidiasis. 1,3
Beberapa studi menunjukkan bahwa meningkatnya kolonisasi spesies
kandida akibat penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen yang
tinggi. Studi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen yang rendah tidak ditemukan meningkat pada KVV. Namun, banyak
investigasi lebih lanjut melibatkan kontrasepsi oral sebagai predisposisi KVV
berulang. Antibiotik bertindak dengan cara mengeliminasi flora bakteri pada
vagina yang bersifat protektif sehingga membiarkan pertumbuhan kandida
berlebihan di traktus gastrointestinal, vagina atau keduanya. Vagina terutama
Lactobacillus spp, flora yang menyebabkan resistensi kolonisasi dan mencegah
germinasi, mempertahankan jumlah ragi yang sedikit, dan mencegah invasi
mukosa superficial. Auger dan Joly menemukan jumlah Lactobacillus spp pada
kultur vagina diperoleh dari wanita dengan KVV simptomatik. 1,3
Insiden KVV meningkat secara dramatis pada dekade kedua, sesuai
dengan onset aktivitas seksual. Puncaknya pada dekade ketiga dan keempat,
menurun pada wanita yang lebih tua dari 40 tahun, sampai efek permisif dari
terapi penggantian hormon menjadi jelas. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa penularan kandida terjadi selama bersetubuh, meskipun peran praktik non-

5
seksual dalam memperkenalkan kandida ke saluran genital belum dinilai. Ada
bukti yang bertentangan seperti peran perilaku seksual dalam menyebabkan
KVV bersifat simptomatik. Beberapa penulis menyatakan bahwa frekuensi
hubungan seksual baru-baru ini dihubungkan dengan vaginitis akut, dan lain-lain
telah teridentifikasi seksual orogenital yang bersifat reseptif. Meskipun bukti yang
bersifat anekdot, Foxman menemukan tidak adanya bukti epidemiologi yang
memberatkan kebiasaan kebersihan wanita sebagai faktor risiko KVV.
Penggunaan pakaian berventilasi dan pakaian katun mungkin bernilai dalam
mencegah infeksi. Di sisi lain, Foxman menemukan tidak adanya peningkatan
risiko KVV diantara pemakai pakaian ketat atau pakaian bukan katun. Tidak ada
bukti yang menyatakan bahwa kekurangan zat besi merupakan predisposisi
infeksi. Kontak bahan kimia, alergi lokal, atau reaksi hipersensitivitas
dapat mengubah lingkungan vagina dan memungkinkan transformasi
dari kolonisasi yang bersifat asimptomatik menjadi vaginitis yang bersifat
simptomatik. 1,3

DAFTAR PUSTAKA

1. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection: candidiasis and tinea (pityriasis)
versicolor. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed.
New York: The McGraw-Hill Companies, 2008; p.1822-8.
2. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths,
editors. Rook’s textbook of dermatology. 7th ed. Massachusets: Blackwell
Publishing; 2004; p. 31.60-75.

6
3. Sobel JD. Vulvovaginal candidiasis . In : Holmes KK, Sparling PF, Stamm
WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, editors. Sexually
Transmitted Disease. 4th ed. United State of America:Mc Graw Hill;2008;p
823-35
4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 1. Jakarta:
Salemba Medika, 2005.
5. Calderone, R.A., and Fonzi, W.A. (2001). Virulence factors of Candida
albicans. Trends in Microbiology, 9(7): 327-35.
6. Stawiski MA, Prince SA. Infeksi kulit. Dalam: Prince SA, Wilson LM, editor.
Patofisiologi konsen klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC,
2005; p. 1443-54.
7. Nyirjesy, P., C. Peyton, et al. (2006). Causes of chronic vaginitis: analysis of a
prospective database of affected women. Obstet Gynecol 108(5):p 1185-91.
8. Schwebke, JR. Vaginitis . In :Zenilman JM, Shahmanesh M, editors. Sexually
Transmitted Disease: Diagnosis, Management and Treatment. United State of
America:LLC;2012;p 65
9. James, Wiliam D, Dirk M Elston, Timothy G. Berger. Andrew’s Disease of
The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. British:Saunder elsevier; 2006; p
297-9
10. Richardson MD, Warnock DW. Fungal infection. Edisi ke 3, Oxford
:Blackwell Publication; 2003.
11. Daill SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.
12. Workowshi KA, Berman SM. Sexually Transmitted Diseases Treatment
guidelines 2006. US Department of Health and Human Services. Centers For
Disease Control and Prevention (CDC). Morbidity and Mortality Weekly
Report; 2006. 55 : p. 54-6.

Anda mungkin juga menyukai