PRESENTASI KASUS
1. IDENTITAS
Nama : Nn. AA
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 25 tahun
Alamat : Ampenan
Status perkawinan : Belum menikah
2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
Os datang dengan keluhan keputihan sejak 10 hari yang lalu.
3. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum : baik
b. Kesadaran : Composmentis
c. Vital Sign
- Suhu : afebris
- Nadi : 68 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Tekanan darah : tidak dilakukan
d. Status lokalis :
Lokasi : vagina
Status dermatologis : tampak eritem pada labia mayora et minora dekstra
et sinistra dan pada daerh vulva. Tak tampak adanya fluor albus.
4. DIAGNOSIS BANDING
a. Kandidasis vulvovaginitis
b. Bakterial vaginosis
c. Trichomoniasis
5. DIAGNOSIS
Kandidiasis vulvovaginitis dan Bakterial vaginosis
6. PENATALAKSANAAN
Ketokonazole 2 x 200 mg
Clindamycin 2x300 mg
BAB II
TINAJUAN PUSTAKA
1. PENDAHULUAN
Kandidiasis vulvovaginitis adalah penyakit infeksi yang terjadi pada
daerah vulva dan vagina yang disebabkan oleh adanya berbagai jenis Candida,
secara sekunder bisa juga terjadi akibat penurunan daya tahan tubuh seseorang,
ditandai oleh adanya secret bewarna putih serta adanya rasa gatal di daerah
vagina.1
Kandidiasis vulvovaginitis merupakan penyebab infeksi terbanyak
kedua pada infeksi vulvovaginal, dimana pada nomor urut satu bacterial
vaginosis merupakan penyebab terbanyak.2
Meskipun kemajuan terapi semakin pesat, kandidiasis vulvovaginitis
tetap menjadi masalah umum di seluruh dunia, dan bisa menyerang semua
strata masyarakat. Pemahaman mekanisme anti candida pertahanan hospes di
vagina telah berkembang secara lambat, meskipun demikian penelitian serta
penemuan factor risiko diakui cukup banyak, namun pemahaman mendasar
dari mekanisme patogenik terusluput dari kita.3
Tidak adanya identifikasi cepat, tes diagnostic sederhana, dan murah
terus menyebabkan adanya overdiagnosis dan underdiagnosis dari kandidiasis
vulvovaginitis. Adapun faktor resko terjadinya kandidiasis vulvovaginitis,
antara lain, kehamilan, penggunaan antibiotik, penggunaan corticosteroid,
immunocompromised, dan diabetes, sebagian besar dari faktor resiko di atas
hampir berhubungan dengan pertahanan tubuh.4
2. ETIOLOGI
3. EPIDEMIOLOGI
4. PATOFISIOLOGI
Candida albicans bertanggungjawab sekitar 80-92% terhadap episode
kandidiasis vulvovaginitis. Baru-baru ini, peningkatan frekuensi infeksi jenis
candida lain, khususnya Candida glabrata telah dilaporkan.6 Organisme
kandida mendapatkan akses ke dalam lumen vagina dan sekret terutama
melalui area dekat perianal. Mekanisme pertahanan anti kandida yang efektif
dalam vagina memungkinkan keberadaan jangka panjang candida sebagai
organisme komensil vagina dalam fase avirulen. Kebanyakan wanita, tapi
tidak semua, membawa kandida pada beberapa daerah di vagina mereka dalam
hidup mereka, meskipun tanpa gejala atau tanda-tanda vaginitis dan biasanya
dengan konsentrasi rendah ragi kandida.4
Serangan sporadik kandidiasis vulvovaginitis biasanya terjadi tanpa
faktor predisposisi yang diketahui kecuali pada pasien dengan diabetes yang
tidak terkontrol. Adanya faktor-faktor predisposisi menyebabkan pertumbuhan
jamur kandida di vagina menjadi berlebihan sehingga terjadi koloni
simptomatik yang mengakibatkan timbulnya gejala gejala penyakit kandidiasis
vagina. Patogenesis penyakit dan bagimana mekanisme pertahanan tuan rumah
terhadap kandida belum sepenuhnya dimengerti. Pada keadaan normal, jamur
candida dapat ditemukan dalam jumlah sedikit di vagina, mulur rahim dan
saluran pencernaan. Jamur kandida disini hidup sebagai saprofit tanpa
menimbulkan keluhan atau gejala (asimptomatis), jamur ini dapat tumbuh
dengan variasi pH yang luas, tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada pH
4,5 - 6,5. Bersama dengan jamur kandida pada keadaan normal di vagina juga
didapatkan basil Doderlein Lactobasilus (lactobasilus) yang hidup sebagai
komensal. Keduanya mempunyai peranan penting dalam menjaga
keseimbangan ekosistem di dalam vagina. Doderlein berfungsi mengubah
glikogen menjadi asam laktat yang berguna untuk mempertahankan pH vagina
dalam suasana asam (pH 4 -5). 7,8
Pada semua kelainan yang mengganggu flora normal vagina dapat
menjadikan vagina sebagi tempat yang sesuai bagi kandida untuk berkembang
biak. Masih belum dapat dipastikan apakah kandida menekan pertumbuhan
basil doderlein atau pada keadaan basil Doderlein mengalami gangguan lalu
diikuti dengan infeksi dari jamur candida. Kenyataannya pada keadaan infeksi
ini dijumpai hanya sedikit koloni doderlein. Infeksi kandida dapat terjadi
secara endogen maupun eksogen atau secara kontak langsung. Infeksi endogen
lebih sering karena sebelumnya memang kandida sudah hidup sebagai saprofit
pada tubuh manusia. Pada keadaaan tertentu dapat terjadi perubahan sifat
jamur tersebut dari saprofit menjadi patogen sehingga oleh karena itu jamur
kandida disebut sebagai jamur oportunistik. Jamur kandida bersifat dimorfik,
sehingga jamur kandida pada tubuh manusia mungkin ditemukan dalam bentuk
yang berbeda sesuai dengan phasenya. Bentuk blastopsora ( Blastoconida)
merupakan bentuk yang berhubungan dengan kolonisasi yang asimptomatik.
Pada koloni asimptomatik jumlah organisme hanya sedikit, dapat ditemukan
bentuk blaspora atau budding tapi tidak ditemukan bentuk pseudohypa.8
Bentuk filamen kandida merupakan bentuk yang biasanya dapat dilihat
pada penderita dengan gejala-gejala simptomatik. Bentuk filamen kandida
dapat menginvasi mukosa vagina dan berpenetrasi ke sel-sel epitel vagina.
Germinasi kandida ini akan meningkatkan kolonisasi dan memudahkan invasi
ke jaringan. Sobel dkk menunjukan secara invivo jamur kandida yang tidak
mengalami germinasi atau membentuk tunas, tidak mampu menyebabkan
kandidiasis vaginalis. Belum banyak diketahui bahwa enzim proteolitik, toksin
dan enzim phospholipase dari jamur kandida dapat merusak protein bebas dan
protein sel sehingga memudahkan invasi jamur ke jaringan. Jamur kandida
dapat timbul didalam sel dan bentuk intraseluler ini sebagai pertahanan atau
perlindungan terhadap pertahanan tubuh.8
Kandida dapat dibawa oleh aliran darah ke banyak organ termasuk
selaput otak, tetapi biasanya tidak dapat menetap di sini dan menyebabkan
abses-abses milier kecuali bila inang lemah. Penyebaran dan sepsis dapat
terjadi pada penderita dengan imunitas seluler yang lemah, misalnya mereka
yang menerima kemoterapi kanker atau penderita limfoma, AIDS, atau
keadaan-keadaan lain.9
Faktor yang dapat memicu kolonisasi jamur pada vagina dapat berbeda
dari masing-masing faktor yang memediasi kolonisasi asimptomatik ke
simptomatik vaginitis.4 Faktor pemicu dibagi menjadi 2 yaitu faktor endogen
dan eksogen.9
Faktor endogen 4,9,10
a. Kehamilan, karena perubahan pH vagina
b. Diabetes Mellitus, HIV/AIDS
c. Pemberian antimikroba yang intensif (yang mengubah flora bakteri normal)
d. Terapi progesterone, kontrasepsi
e. Terapi kortikosteroid
f. Immunodefisiensi
5. GEJALA KLINIS
Pada kandidiasis vulvovaginitis dapat timbul gejala berikut ini :
a. Rasa gatal / iritasi serta keputihan tidak berbau atau kadang berbamasam
( asam )
b. Discharge berwarna putih seperti susu pecah dan kental
c. pada vulva dan vagina terdapat tanda-tanda radang disertai maserasi,
pseudomembran, fisura, lesi satelit papulo pustular. Labia mayor tampak
bengkak, merah dan ditutupi oleh lapisan putih yang menunjukkan
maserasi.6
b. Pemeriksaan Biakan
7. DIAGNOSIS
8. DIAGNOSIS BANDING
Pruritus ,Disuria
9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kandidiasis vulvovagina bertujuan untuk menyembuhkan
seorang penderita dari penyakitnya dan mencegah infeksi berulang.
a. Pemberian Obat Anti Jamur
Pengobatan kandidiasis vulvovagina dapat dilakukan secara topikal
maupun sistemik. Obat anti jamur tersedia dalam berbagai bentuk yaitu :
krim, tablet vagina, suppositoria dan tablet oral.
1) Sistemik: 19,21,22
Obat anti jamur sistemik terdiri dari golongan azoles merupakan
agen fungistatik sintetik dengan aktiviti spektrum luas. Azoles
menghambat enzim fungal sitokrom P450 3A (CYP3A) dan lanosin 14α-
demetilase yang diperlukan dalam proses konversi lanosterol ke
ergosterol yaitu sterol utama dalam membrane sel jamur. Penurunan dari
ergosterol mengubah komponen membran dari sel jamur seterusnya
menghambat replikasi dari sel-sel tersebut. Azoles juga menghambat
transformasi sel-sel ragi jamur kepada hifa. Obat-obat yang dapat
diberikan adalah ketokonazol, itrakonazol dan flukonazol:
- Ketokonazol 400 mg selama 5 hari
- Itrakonazol 200 mg selama 3 hari atau 400 mg dosis tunggal
- Flukonazol 150 mg dosis tunggal
2) Topikal: 21,22
Butoconazole, clotrimazole, miconazole, tioconazole dan
terconazole adalah obat topical dari golongan azoles. Obat-obat ini
bekerja di sel membrane dari jamur dengan mengganggu tranportasi
asam amino ke jamur. Nistatin dari golongan antibiotik polin makrolid
pula bekerja dengan mengganggu permeabilitas dan fungsi transportasi di
membran sel jamur. Obat-obat topical tersedia dalam bentuk krim,
ointment, tablet vagina dan suppositoria diberikan secara intravaginal.
Dosis dan cara pemberiannya adalah seperti berikut:
Butoconazole 2% kream, 5 grà 3 hr
Butoconazole 2% kream, 5 gr, aplikasi intravagina tunggal
Clotrimazole 1% kream, 5 gr à 7-14 hr
Clotrimazole 100 mg, vaginal tablet à 7 hr
Clotrimazole 100 mg, vaginal tablet, 2 tablet à 3 hr
Clotrimazole 500 mg, vaginal tablet, 1 tablet dalam aplikasi tunggal
Miconazole 100 mg, vaginal suppositoria, 1 suppositoria à 7 hr
Miconazole 200 mg, vaginal suppositoria, 1 suppositoria à 3 hr
Tioconazole 6,5% ointment, 5 gr, intravagina dalam aplikasi tunggal
Terconazole 0,4% kream, 5 gr, intravaginal à 7 hr
Terconazole 0,8% kream, 5 gr, intravaginal à 3 hr
Terconazole 80 mg, vagina suppositoria, I suppositoria à 3 hr
Nistatin 100,000 unit, vaginal tablet, 1 tablet à 14 hr
b. Pencegahan
Usaha pencegahan terhadap timbulnya kandidiasis vagina meliputi
penanggulangan faktor predisposisi dan penanggulangan sumber infeksi
yang ada. Penanggulangan faktor predisposisi misalnya tidak menggunakan
antibiotika atau steroid yang berlebihan, tidak menggunakan pakaian ketat,
mengganti kontrasepsi pil atau AKDR dengan kontrasepsi lain yang sesuai,
memperhatikan higiene. Penanggulangan sumber infeksi yaitu dengan
mencari dan mengatasi sumber infeksi yang ada, baik dalam tubuhnya
sendiri atau diluarnya.21
BAB III
PEMBAHASAN
1. Sarzuri BP, Reynold EM, Vaginal thrust. Pacena rev med fam 2007; 4(6):
121-7
2. Spence D. Vulvovaginal Candidiasis. National Center For Biology
Information.2009.p.1.
3. Yan ZE. Vulvovaginal candidiasis. Clinical Prevention Services. 2012
4. Sobel, DJ. Vulvovaginal candidiasis. Lancet, 2007;369:1961-71.
5. Habif T, varicella zoozter. In: A Color Guide to Diagnosis and Therapy4 th
edition. New York: McGraw-Hill;2009.p.440-2
6. Leon EM, Jacober JS, Sobel DJ, Foxman B. Prevalence and risk factors
for vaginal Candida colonization in women with type 1 and type 2
diabetes. Updated: 2002. Available from: URL: www.biomedcentral.com.
Accessed may 30, 2012.
7. Sobel DJ. Vaginitis. The New England Journal of
medicine.1997;337:1896-903.
8. Darmani H.E. Hubungan Antara Pemakaian AKDR Dengan Kandidiasis
Vagina Di RSUP Dr. Prngadi Medan. Updated : 2003. Available from:
URL: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6376/1/D0300597.pdf.
Accesed May 22,2012.
9. Simatupang M.M. Candida albicans. Updated : 2009. Available from:
URL: repository.usu.ac.id. Accessed May 22,2012.
10. Wolf K, Johnson R.A. Genital Candidiasis. In Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
p.727-30.
11. Nabhan A. Vulvovaginal Candidiasis. ASJOG. 2006;3:73-9.
12. Prabha. Vaginal yeast Infection. Updated: 2012. Available from: URL:
http://ehealthadvice.info. Accessed may 30,2012
13. Kaplan LD. Burning and Pruitic Vulvar rash. Updated: 2009. Available
from: URL:www.consultantlive.com. Accessed may 30,2012.
14. Harningsih Dena. Kandidiasis. Updated 2010. Available from:
URL:http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=kandidiasis.
Accessed may 30, 2012.
15. Babic M, Hukic M. Candida Albicans And Non Alcans Species As
Etiological Agent Of Vaginitis In Pregnant And Non Pregnant Women.
Bosnian Journal Of Basic Medical Sciences. 2010;10(1):89-97
16. Faraji R, Rahimi MA, Rezvanmadani F, Hashemi M. Prevalence Of
Vaginal Candidiasis Infection In Diabetic Women. African Journal Of
Microbiology Research. 2012;6(11):2773-8.
17. Rajkumar R, Radhakrishnan S, Seenivasan C, Kannan S. Culture and
Identification of Candida Albicans From Vaginal Ulcer And Separation Of
Enolase on SDS-PAGE. International Journal Of Biology. 2010;2(1):84-
93.
18. Neerja J, Aruna A, Paraamjet G. Significance of candida culture in women
with vulvovaginal symptoms. J Obstet Gynecol India. 2006;56(2):139-41.
19. Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 6 (cetakan
kedua 2011). FK UI. Jakarta p.383-388
20. Thomas P., Md. Habif, Thomas P. Habif By Mosby, Clinical Dermatology:
A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th edition (October 27, 2003) p.
441-443
21. Linda O. Eckert.2006. Acute Vulvovaginitis. The New England Journal of
medicine.p355:1244-52.
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp053720
22. H. P. Rang, M. M. Dale, J. M. Ritter, P. K. Moore. Antifungal drugs,
Pharmacology Fifth Edition. Elsevier p 666-671