Anda di halaman 1dari 6

Pendahuluan

Kandidiasis vulvovaginal merupakan inflamasi pada vulva dan vagina akibat infeksi
jamur Candida albicans, yang paling sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Risiko akan
semakin meningkat pada kondisi imunosupresi, kehamilan, diabetes mellitus, serta penggunaan
antibiotik, kontrasepsi oral, dan terapi pengganti hormon.[1-3]
Kandidiasis vulvovaginal adalah bagian dari kandidiasis mukokutan, dengan gejala umum gatal
dan sensasi terbakar pada area vulva, disertai tanda eritema, edema, nyeri, keputihan cottage
cheese-like, dispareunia, dan disuria. Derajat keparahan terdiri dari iritasi ringan, iritasi berat,
infeksi persisten, dan infeksi rekuren.[2,4,5]

Diagnosis kandidiasis vulvovaginal dapat ditegakkan dengan temuan klinis yang khas
pada pemeriksaan fisik genitalia. Diagnosis pasti berdasarkan temuan spesies Candida
pada pemeriksaan duh vagina, dengan wet-mount preparasi kalium hidroksida (KOH),
pewarnaan Gram, atau kultur. Umumnya pH vagina akan tetap normal pada kandidiasis
vulvovaginal.[1,4-6]
Penatalaksanaan kandidiasis vulvovaginal menggunakan agen antifungal. Durasi dan regimen
yang diberikan berbeda-beda, tergantung ada tidaknya komplikasi. Sebagian besar kasus
memiliki respon terapi yang cepat, tetapi <5% kasus dapat menjadi infeksi berulang terutama
pada pasien dengan komorbid.[1,4,5]

Patofisiologi

Patofisiologi kandidiasis vulvovaginal terjadi ketika Candida sp. penetrasi di mukosa vagina dan


menyebabkan respon inflamasi. Secara tipikal, sel polimorfonuklear (PMN) dan makrofag
merupakan sel inflamasi yang muncul dominan.[1]
Pada wanita usia reproduksi, flora normal pada vagina sehat juga mengandung bakteri gram
positif, gram negatif, aerob, dan anaerob. Bakteri yang mendominasi adalah Lactobacillus dan
Corynebacterium, jika dibandingkan dengan Streptococcus, Bacteroides, Staphylococcus, dan
Peptostreptococcus.[3,5]

Lactobacillus dan Corynebacterium menghasilkan asam laktat dan asetat dari glikogen, sehingga
pH vagina tetap rendah. Bakteri komensal ini membantu menjaga lingkungan yang asam agar
bebas dari bakteri dan jamur patogen.[3-5]

Keseimbangan flora normal yang terganggu dapat menyebabkan pertumbuhan jamur dan bakteri
patogen secara berlebihan, dan menyebabkan vulvitis maupun vaginitis. Kondisi yang dapat
menyebabkan ketidakseimbangan itu di antaranya perubahan hormon reproduksi, misalnya pada
kehamilan atau penggunaan kontrasepsi dengan hormon estrogen tinggi. Selain itu, karena
gangguan respon imun, seperti penderita HIV/AIDS, diabetes mellitus yang tidak terkontrol, atau
penerima terapi imunosupresif.[4,5,7]
Candida albicans sebagai penyebab kandidiasis vulvovaginal pada 85−90% kasus. Transmisi,
penyebaran, dan kolonisasi asimptomatik umumnya disebabkan oleh blastospora (blastoconidia)
dari Candida sp.[3-5,7]

Etiologi

Etiologi kandidiasis vulvovaginal adalah jamur spesies Candida yang menyebabkan inflamasi
pada mukosa vulva dan vagina. Candida albicans dianggap sebagai komensal alami pada sekitar
20% wanita, tetapi juga menjadi organisme penyebab utama kandidiasis vulvovaginal (85−90%).
[1,8]
Etiologi
Kandidiasis vulvovaginal diperkirakan menjadi penyebab paling umum kedua dari vaginitis,
setelah vaginosis bakterialis. Spesies Candida non-albicans lainnya yang telah diidentifikasi
antara lain C. glabrata sebagai etiologi kedua tersering (8%), sedangkan sisanya C. krusei, C.
parapsilosis, dan C. tropicalis. Spesies C. glabrata dan C. parapsilosis dikaitkan dengan faktor
risiko lansia dan komorbid diabetes mellitus.[2,3,5,8]
Faktor Risiko
Sekitar 75% wanita akan mengalami setidaknya satu episode kandidiasis vulvovaginal dalam
hidupnya, 40−45% mengalami dua atau lebih episode, dan 10−20% mengalami kandidiasis
vulvovaginal kompleks.[7,9]

Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan kejadian kandidiasis vulvovaginal adalah  kadar
estrogen yang meningkat, diabetes mellitus, imunosupresi, terapi antibiotik spektrum luas,
kontrasepsi intravaginal, faktor genetik, dan perilaku individu.

Peningkatan Kadar Estrogen

Risiko kandidiasis vulvovaginal meningkat pada wanita dengan kadar hormon estrogen tinggi,
misalnya pada kehamilan, obesitas, konsumsi kontrasepsi oral, serta terapi pengganti hormon.
[1,5,6]
Kehamilan menjadi salah satu faktor predisposisi yang paling umum. Penelitian menunjukkan
bahwa sepertiga ibu hamil di seluruh dunia dapat mengalami kandidiasis vulvovaginal. Hormon
estrogen yang tinggi menyebabkan penumpukan glikogen pada mukosa vulva dan vagina
sehingga menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan Candida.[3,5]

Penelitian terdahulu, pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral dengan estrogen dosis
tinggi, ditemukan meningkatkan kolonisasi Candida pada vagina. Namun, kontrasepsi oral
terbaru dengan dosis estrogen lebih rendah tampaknya tidak mempengaruhi terjadinya
kandidiasis vulvovaginal.[5]

Diabetes Mellitus

Studi menunjukkan bahwa kandidiasis vulvovaginal dua kali lebih sering terjadi pada wanita
dengan diabetes mellitus, bahkan terkadang sebagai gejala pertama. Selain itu, diketahui ada
hubungan langsung antara kontrol glikemik yang buruk terhadap perkembangan kandidiasis
vulvovaginal. Wanita dengan diabetes mellitus tipe 2 rentan terhadap spesies Candida non-
albicans.[1,3,5,6]
Imunosupresi
Kelompok yang juga rentan terhadap kandidiasis vulvovaginal adalah pasien imunosupresi, yaitu
penderita HIV/AIDS, pengguna terapi imunosupresan seperti steroid, pasien kemoterapi dan obat
golongan antimetabolit, serta pasien transplantasi organ.[1,3]
Terapi Antibiotik

Konsumsi antibiotik spektrum luas juga dikaitkan dengan kandidiasis vulvovaginal. Sekitar
sepertiga wanita yang menggunakan antibiotik spektrum luas dapat mengalami gejala. Antibiotik
dapat menghambat flora normal sehingga menyebabkan penurunan keasaman vagina, dan
menyebabkan perkembangan Candida. [1,3,7]

Kontrasepsi Intravagina

Alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam vagina, seperti vaginal


sponges atau diaphragma, serta alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko kandidiasis vulvovaginal, tetapi tidak secara konsisten. Sebaliknya,
penggunaan spermisida dilaporkan tidak terkait dengan infeksi Candida.[6]
Faktor genetik

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara variasi genetik dan peningkatan
risiko infeksi Candida, baik kandidiasis mukosa maupun sistemik. Dalam penelitian tersebut,
diketahui adanya peran polimorfisme Dectin-1 terkait kerentanan terhadap kandidiasis mukosa
yang terlihat pada individu dengan riwayat kandidiasis vulvovaginal berulang.[5,8,13]

Selain itu, adanya variasi genetik pada gen MBL2 yang mengkode PRR MBL, IL-4, dan NLPR3
berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya kandidiasis vulvovaginal berulang.[5,8,13]

Perilaku Individu

Faktor perilaku yang dapat meningkatkan risiko kandidiasis vulvovaginal antara lain aktivitas
seksual, penggunaan celana ketat, serta reaksi terhadap penggunaan celana dalam
berbahan lateks, sabun, tampon, serta pembalut saat periode tidak menstruasi.[1,7,10,11]
Risiko kandidiasis vulvovaginal meningkat pada wanita yang yang aktif secara seksual. Namun,
tidak terdapat bukti infeksi Candida ditularkan secara seksual. Hubungan kandidiasis
vulvovaginal dengan berbagai jenis kontrasepsi tidak jelas,  serta jumlah episode kandidiasis
vulvovaginal tidak terkait dengan jumlah pasangan seksual atau frekuensi koitus.[1,6-8]

Selain itu, penggunaan douching vagina dapat mematikan bakteri komensal vagina sehingga


dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan Candida sp.[12]
Epidemiologi

Epidemiologi kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan, karena hampir setengah kasus
didiagnosis secara klinis dan tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopis atau kultur.
Prevalensi tertinggi terjadinya kandidiasis vulvovaginal terdapat pada wanita usia reproduksi.
[5,6]

Global
Secara global, diketahui sekitar 75% dari semua wanita pernah mengalami kandidiasis
vulvovaginal, 50% wanita yang pertama kali terinfeksi akan mengalami setidaknya episode
kedua, serta 5−10% wanita mengalami kandidiasis vulvovaginal rekuren. Disebut kandidiasis
vulvovaginal rekuren/berulang adalah jika mengalami ≥4 episode dalam satu tahun.[5,6,14]

Referensi

1. Jeanmonod R, Jeanmonod D. Vaginal Candidiasis. 2020.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459317/
4. Arya NR, Naureen BR. Candidiasis. 2020. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560624/
5. Krapf JM. Vulvovaginitis. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/2188931-overview
6. Sobel JD, Mitchell C. Candida vulvovaginitis: Clinical manifestations and diagnosis. 2021.
https://www.uptodate.com/contents/candida-vulvovaginitis-clinical-manifestations-and-
diagnosis?search=candida-vulvovaginitis-
&source=search_result&selectedTitle=2~71&usage_type =default&display_rank=2
14. Rathod SD, Buffler PA. Highly-cited estimates of the cumulative incidence and recurrence of
vulvovaginal candidiasis are inadequately documented. 2014.
https://bmcwomenshealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/1472-6874-14-43
15. Tasik NL, Kapantow GM, Kandou RT. Profil Kandidiasis Vulvovaginalis di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2013. Manado:
Fakultas Kedokteran, Universitas Sam Ratulangi.
16. Hidalgo JA. Candidiasis. 2020. https://emedicine.medscape.com/article/213853-overview#a8
17. Vijaya D, Dhanalakshmi TA, Kulkarni S. Changing Trends of Vulvovaginal Candidiasis. J
Lab Physicians. 2014; 6(1): 28–30.

Anda mungkin juga menyukai