Anda di halaman 1dari 132

Manajemen Produksi

MANAJEMEN PRODUKSI
1PENDAHULUAN
A. TUJUAN
1. Memberikan pengenalan dan wawasan tentang sistem produksi dan
manajemen produksi serta ukuran kinerjanya.
2. Memberikan pengetahuan tentang keputusan yang perlu dilakukan di
dalam manajemen produksi serta ruang lingkupnya.
3. Memberikan pengetahuan tentang kaitan antara strategi bisnis /
korporasi dengan strategi operasi

B. PENGANTAR
Didalam suatu unit usaha dikenal adanya berbagai macam fungsi yang
saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya, diantaranya terdapat tiga
fungsi pokok yang selalu dijumpai yaitu :
1. Pemasaran (marketing) yang merupakan ujung tombak dari unit
usaha, sebab bagian ini langsung berkaitan dengan konsumen.
Keterkaitan ini dimulai dari identifikasi kebutuhan konsumen (jenis dan
jumlahnya) maupun pelayanan dan pengantaran produk ketangan
konsumen.
2. Keuangan (finance) yang bertanggung jawab atas perolehan dana
guna pembiayaan aktivitas unit usaha serta pengelolaan dana secara
ekonomis sehingga kelangsungan dan perkembangan unit usaha
dapat dipertahankan.
3. Produksi (operasi) yang merupakan penghasil dari produk atau jasa
yang akan dipasarkan kepada konsumen.

Mata kuliah ini mencoba membahas tentang manajemen produksi. Pada sesi
pembuka ini akan dibahas tentang pengertian sistem produksi,
karakteristiknya begitu juga tentang manajemen produksi dan pengukuran
kinerja. Selain itu akan dibahas pula tentang ruang lingkup keputusan yang
perlu diambil serta strategi operasi yang merupakan penjabaran dari strategi
bisnis / korporasi.

I. SISTEM PRODUKSI
Pada masa lalu pengertian produksi hanya dikaitkan dengan unit usaha
fabrikasi yaitu yang menghasilkan barang – barang nyata seperti mobil,
perabot, semen dsb, namun pengertian produksi pada saat ini menjadi
semakin meluas. Produksi sering diartikan sebagai aktivitas yang ditujukan
untuk meningkatkan nilai masukan (input) menjadi keluaran (output). Dengan
demikian maka kegiatan usaha jasa seperti dijumpai pada perusahaan
angkutan, asuransi, bank, pos, telekomunikasi, dsb menjalankan juga
kegiatan produksi. Secara skematis sistem produksi dapat digambarkan sbb:
Material PROSES Barang
Manusia TRANSFORMASI
Modal PRODUKSI Jasa
Energi
INPUT OUTPUT
Gambar 1.: Skema Sistem Produksi
BLest 1 dari 132
Manajemen Produksi

Ada sekurang – kurangnya 4 perbedaan pokok antara usaha jasa dan usaha
pabrikasi, yaitu :
a. Dalam unit usaha pabrikasi keluarannya merupakan barang real
sehingga produktovitasnya akan lebih mudah diukur bila dibandingkan
dengan unit usaha jasa yang keluarannya berupa pelayanan
b. Kualitas produk yang dihasilkan dari usaha pabrikasi lebih mudah
ditentukan standarnya
c. Kontak langsung dengan konsumen tidak selalu terjadi pada usaha
pabrikasi sedangkan pada usaha jasa kontak langsung dengan
konsumen merupakan suatu yang tidak dapat dielakkan
d. Tidak akan dijumpai adanya persediaan akhir di dalam usaha jasa
sedang dalam usaha pabrikasi adanya persediaan sesuatu yang sulit
dihindarkan.

Secara garis besar transformasi produksi dapat diklasifikasikan :


¾Transformasi pabrikasi yaitu suatu transformasi yang bersifat diskrit dan
menghasilkan produk nyata. Suatu transformasi dikatakan bersifat
diskrit bila antara suatu operasi dan operasi yang lain dapat dibedakan
dengan jelas seperti dijumpai pada pabrik mobil, misalnya.
¾Transformasi proses yaitu suatu transformasi yang bersifat kontinue
dimana diantara operasi yang satu dengan operasi yang lain kurang
dapat dibedakan secara nyata, seperti dijumpai pada pabrik pupuk dan
semen, misalnya.
¾Transformasi jasa yaitu suatu transformasi yang tidak mengubah
secara fisik masukan menjadi keluaran; dalam hal ini secara fisik
keluaran akan sama dengan masukan, namun transformasi jenis ini
akan meningkatkan nilai masukannya, misalnya pada perusahaan
angkutan. Sistem transformasi jasa sering disebut sebagai sistem
operasi.

Ditinjau dari kedatangan konsumen dan jumlah yang diminta, transformasi


produksi dapat dibedakan atas :
¾Job shop, transformasi produksi bekerja bila ada pesanan saja. Jumlah
pesanan relatif tidak terlalu besar dan jenis produk yang dipesan tidak
standar sesuai dengan permintaan konsumen
¾Flow shop, transformasi produksi akan selalu bekerja baik ada pesanan
maupun tidak. Jumlah pesanan biasanya relatif besar dan jenis
produksinya standar. Flow shop dapat dibedakan atas :
- Flow line / batch
- Assembly line
- Continuous
¾Project, adalah bentuk spesial dari transformasi produksi dimana hanya
ada satu atau beberapa pesanan yang spesifik dari konsumen.

Karakteristik umum dari ketiga jenis transformasi ini dapat dilihat pada
gambar 2, berikut ini :

BLest 2 dari 132


Manajemen Produksi

PROJECT JOB SHOP FLOW SHOP

Volume Produksi

Skill Karyawan

General Peralatan Spesial

Lay Out

Fix Proses Produk

Gambar 2.: Karakteristik umum transformasi produksi.

II. MANAJEMEN PRODUKSI


Dalam melakukan kegiatan produksi ada berbagai faktor yang harus dikelola
yang sering disebut sebagai faktor – faktor produksi yaitu :
¾Material atau bahan
¾Mesin atau peralatan
¾Manusia atau karyawan
¾Modal atau uang
¾Manajemen yang akan memfungsionalisasikan keempat faktor yang lain.

Dengan demikian manajemen operasi berkaitan dengan pengelolaan faktor –


faktor produksi sedemikian rupa sehingga keluaran (output) yang dihasilkan
sesuai dengan permintaan konsumen baik kualitas, harga maupun waktu
penyampaiannya.

Sekilas telah disebutkan dari uraian di atas bahwa manajemen produksi


operasi bertanggung jawab atas dihasilkannya keluaran (output) baik yang
berupa produk maupun jasa yang sesuai dengan permintaan dan kebutuhan
konsumen dengan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau serta
disampaikan tepat pada waktunya. Bertitik tolak dari tanggung jawab ini
maka ukuran kinerja suatu sistem operasi dapat diukur dari :

1. Ongkos Produksi
Bila dikaitkan dengan tujuan suatu sistem usaha, maka ukuran kinerja
sering diukur dengan keuntungan yang dapat dicapai, namun seperti
diuraikan diatas bahwa sistem produksi hanyalah salah satu dari sub
sistem yang ada dalam suatu sistem usaha, sehingga untuk mengukur
seberapa besar kontribusi sistem operasi di dalam pencapaian
keuntungan bukanlah hal yang mudah. Oleh sebab itu untuk
mengukur kinerja sistem produksi diambil ukuran waktu operasi
tertentu (biasanya dalam waktu satu tahun)

Ongkos produksi ini meliputi semua biaya yang dikeluarkan untuk


menghasilkan produk / jasa ketangan konsumen. Dengan ongkos
produksi yang murah diharapkan bahwa produk / jasa dapat
dipasarkan dengan harga yang dapat dijangkau oleh konsumen

BLest 3 dari 132


Manajemen Produksi

2. Kualitas Produk / Jasa.


Kenyataan menunjukan bahwa konsumen tidak hanya memilih
produk/jasa yang harganya murah namun juga produk/jasa yang
berkualitas, oleh sebab itu baik buruknya suatu sistem produksi juga
diukur dari kualitas produk/jasa yang dihasilkan. Ukuran kualitas
produk yang dimaksudkan disini tentunya yang disesuaikan dengan
selera konsumen bukan ukuran kualitas secara teknologi semata

3. Tingkat Pelayanan
Bagi konsumen untuk menilai baik buruknya suatu sistem produksi /
operasi lebih dinilai dari pelayanan yang dapat diberikan oleh sistem
produksi kepada konsumen itu sendiri.

Berbicara mengenai tingkat pelayanan (service level) merupakan


ukuran yang tidak mudah untuk diukur, sebab banyak dipengaruhi
oleh faktor – faktor kualitatif, walaupun demikian beberapa ukuran
obyektif yang sering digunakan antara lain :
¾Ketersediaan (availability) dan kemudahan untuk mendapatkan
produk / jasa.
¾Kecepatan pelayanan baik yang berkaitan dengan waktu
pengiriman (delivery time) maupun waktu pemrosesan
(processing time)

Agar dapat dicapai kinerja sistem operasi diatas maka seorang manajer
produksi / operasi dituntut untuk mempunyai sedikitnya dua
kompetensi, yaitu :
¾Kompetensi Teknikal yaitu kompetensi yang berkaitan dengan
pemahaman atas teknologi proses produksi dan pengetahuan
atas jenis – jenis pekerjaan yang harus dikelola. Tanpa memiliki
kompetensi teknikal ini maka seorang manajer produksi /
operasi tidak akan mengerti apa yang sebenarnya harus
diperbuat
¾Kompetensi Manajerial yaitu kompetensi yang berkaitan dengan
pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber –
sumber daya (faktor – faktor produksi) serta kemampuan untuk
bekerja sama dengan orang lain. Kompetensi ini sangat
diperlukan mengingat penguasaan pengelolaan atas faktor -–
faktor produksi serta menjalin koordinasi dan kerjasama dengan
fungsi – fungsi lain yang ada didalam suatu unit usaha
merupakan keharusan yang tak dapat dihindarkan.

III. KEPUTUSAN ESENSIAL


Pengelolaan sistem produksi (manajemen produksi) akan melibatkan
serangkaian proses pengambilan keputusan operasional, keputusan –
keputusan taktikal bahkan keputusan strategis. Secara umum ada 5(lima)
jenis kategori keputusan esensial didalam manajemen produksi, yaitu
keputusan yang berkaitan dengan :
1. Proses Produksi
Keputusan yang termasuk dalam kategori ini pada prinsipnya
berkaitan dengan penentuan wahana atau fasilitas fisik yang

BLest 4 dari 132


Manajemen Produksi

dipergunakan untuk terjadinya transformasi input menjadi produk /


jasa. Keputusan yang dimaksud meliputi :
¾Teknologi produksi
¾Type peralatan
¾Jenis proses dan aliran proses produksi
¾Tata letak fasilitas

Pada umumnya keputusan – keputusan yang diambil dalam kategori


ini berdampak jangka panjang dan tidak mudah diubah dalam waktu
yang singkat (long term strategic decision)

2. Kapasitas
Keputusan – keputusan yang termasuk dalam kategori ini berkaitan
dengan penentuan kemampuan sistem produksi untuk menghasilkan
barang dalam jumlah dan waktu yang tepat. Dipandang dari sudut
waktu dibedakan atas :
¾Keputusan jangka panjang, antara lain penentuan kapasitas
design sistem produksi, expansi kapasitas, integrasi vertikal,
integrasi horisontal dsb
¾Keputusan jangka menengah, antara lain penentuan sub
kontrak, penambahan mesin, rekrutasi tenaga kerja dsb
¾Keputusan jangka pendek, pada prinsipnya berkaitan dengan
pengalokasian pendayagunaan sumber – sumber yang tersedia
untuk menghasilkan barang yang diminta konsumen.
Keputusan ini diantaranya adalah penjadualan produksi
(Scheduling & dispatching), pengaturan mesin dlsb.

3. Persediaan (Inventory)
Keputusan yang termasuk dalam kategori ini pada hakekatnya
berkaitan dengan pengaturan material yang diperlukan untuk
keperluan produksi, mulai dari pengaturan bahan baku, barang
setengah jadi maupun produk jadi. Ditinjau dari segi permasalahan
yang dihadapi, keputusan ini dapat dibedakan atas keputusan tentang
operating system persediaan dan keputusan tentang policy persediaan

4. Tenaga Kerja
Mengelola orang merupakan pekerjaan terpenting yang perlu dibuat
oleh seorang manajer mengingat tenaga kerja tidak hanya sebagai
salah satu faktor produksi tetapi merupakan faktor penentu dari
keberhasilan semua aktivitas didalam sistem produksi. Keputusan
dalam kategori ini dimulai sejak proses seleksi karyawan sampai
dengan pensiun. Adapun keputusan – keputusan rutin diantaranya
penugasan karyawan, pengaturan lembur dan cuti, penggiliran kerja
dan sebagainya

5. Kualitas Produksi
Manajer produksi bertanggungjawab atas kualitas dari barang / jasa
yang dihasilkan, oleh sebab itu manajer produksi wajib untuk
melakukan kegiatan – kegiatan agar produk / jasa yang dihasilkan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

BLest 5 dari 132


Manajemen Produksi

Tabel berikut ini merupakan salah satu contoh keputusan – keputusan yang
dimaksud baik yang bersifat strategik maupun taktis.

Tabel 1
Contoh keputusan dalam manajemen produksi

Design and Utilization Decision in Operations


Decision
Design Decisions (strategic) Utilization Decision (tactical)
Category
Analyze process flow
Select process type
Process Provide for maintenance of
Choose equipment
equipment
Determine facilities size Decide Overtime
Capacity Determine facilities location Arrange for subcontracting
Set work force levels Determine scheduling
Set overall inventory size Decide when to order and
Inventory Design inventory control system how much
Decide where inventory is held
Design jobs Provide supervision
Work force Select compensations system Set work standards
Design works rules
Decide on amount of
Set quality standards inspection
Quality
Decide on quality organization Control quality to meet
standards
Sumber : Schroeder : Operation Management.

IV. STRATEGI OPERASI


Strategi operasi merupakan penjabaran dari strategi bisnis / korporasi
sehingga kelima kategori keputusan yang telah diuraikan diatas dapat
diambil secara tepat dan konsisten. Dengan demikian strategi operasi akan
memberikan arah untuk mengambil keputusan hubungan antara strategi
bisnis / korporasi dan strategi operasi dapat digambarkan sbb:
Strategi Bisnis / Korporasi

Misi

Kompetensi
Analisis Analisis
External Internal
Tujuan

Kebijakan

Keputusan Taktis

Gambar 3.: Model Strategi Operasi


Hasil
BLest 6 dari 132
Manajemen Produksi

Dari gambar diatas nampak bahwa strategi operasi terdiri dari 4 komponen yaitu,
Misi, Kompetensi, Tujuan dan Kebijakan.

1. Misi (Mission)
Misi merupakan bagian dari strategi operasi yang mendefinisikan tujuan
fungsi operasi / produksi dalam kaitannya dengan strategi bisnis /
korporasi dengan kata lain misi merupakan penjabaran dari bisnis strategi
dalam terminologi yang lebih operasional. Selain itu misi harus dapat
menyatakan prioritas tujuan dari tujuan yang ingin dicapai

2. Kompetensi
Kompetensi merupakan sesuatu yang dapat dilakukan lebih baik dari
pesaing yang ada. Tentunya kompetensi ini tidak lepas kaitannya dengan
misi yang telah dinyatakan. Kemempuan manajemen untuk
mengidentifikasikan kompetensi ini merupakan kunci sukses dari suatu
sistem produksi. Kompetensi ini dapat diidentifikasikan dalam bentuk
tujuan (objective) seperti lowest cost, highest quality, best delivery atau
greatest flexibility, ataupun dalam bentuk sumber daya yang digunakan

3. Tujuan (Objective)
Tujuan fungsi operasi dapat dinyatakan dalam bentuk ongkos (cost),
kualitas (quality), penyampaian (delivery), maupun flexibilitas (flexibility).
Objective sedapat mungkin dinyatakan dalam bentuk yang terkuantifikasi
dan dapat diukur serta merupakan operasionalisasi dari misi dalam bentuk
yang terkuantifikasi dan dapat diukur, tabel 2 berikut ini merupakan contoh
dari suatu tujuan strategi operasi.

Tabel 2.: contoh tujuan operasi


Objective 5 years in Current World Class
Current Year
the future Competitor
Cost
Manufacturing cost as a
percentage of sales
55 % 48 % 50 %
Inventory turn over 41 % 52 % 50 %
Quality
Customer satisfaction
(percentage satisfied 75 % 85 % 75 %
product)
Percentage of scrap &
rework
15 % 5% 10 %
Warranty cost as a
percentage of sales
1% 0.5 % 1%
Delivery
Percentage of orders 90 % 95 % 95 %
from store 3 mo 1 mo 3 mo
Flexibility
Number of months to
introduce new product
10 mo 6 mo 8 mo
Number of months to
change capacity
3 mo 3 mo 3 mo

BLest 7 dari 132


Manajemen Produksi

4. Kebijakan Operasi
Kebijakan operasi menyatakan tujuan operasi yang telah ditetapkan akan
dapat dicapai. Kebijakan operasi ini harus dibuat untuk setiap kategori
keputusan yang telah disebutkan terdahulu (proses, kapasitas,
persediaan, tenaga kerja dan kualitas). Dengan demikian akan dapat
dijumpai beberapa kebijaksanaan dalam suatu sistem produksi, tidak
jarang bahwa kebijakan tersebut tidak selalu selaras bahkan saling
bertentangan. Oleh sebab itu penentuan kebijaksanaan operasi
merupakan ‘trade off” dari berbagai pilihan yang ada dengan berpegang
pada tujuan yang telah dinyatakan. Tabel 3 berikut ini merupakan contoh
dari suatu kebijaksanaan operasi.

Tabel 3.: Contoh Kebijaksanaan Operasi

Policy Type Policy Area Strategic Choice


Make or Buy
Span of process Handmade or Machine made
Process
Automation Flexible or hand automation
Project batch line or continuous
Facility size One large or several small facilities
Capacity Location Near markets low cost or foreign
Investment Permanent or temporary
Amount High levels or low levels of inventory
Inventory Distribution Centralized or decentralized warehouse
Control System Control on great detail or less detail
High or low specialization
Job Specialization
Highly decentralized or centralized type of pay
Supervision
Work House incentives used
Wage System
Good paying or low paying
Staffing
Many or few staff
Approach Prevention or inspection
Quality Training Technical or managerial training
Suppliers Selected on quality or cost

BLest 8 dari 132


Manajemen Produksi

V. SIKLUS PRODUKSI
Dalam pengelolaan rutin sistem produksi dapat diidentifikasikan adanya
siklus fabrikasi dan siklus penjadwalan, sebagai berikut :

1. Siklus Fabrikasi
Menurut Groover siklus fabrikasi suatu sistem produksi dapat
digambarkan sebagai berikut :

Sales and Product Manufacturing


Marketing Design Engineering

Inventory Production Industrial


Customer

Control Planning and Engineering


Control

Suppliers
Receiving
Warehouse
Production
Shipping

Quality
Control

2. Siklus Penjadwalan
Penjadwalan produksi merupakan kegiatan yang bersifat dinamis
dalam artian bahwa kegiatan penjadwalan bukan merupakan kegiatan
yang sekali jadi tetapi akan mengalami perubahan tergantung pada
pelaksanaan dan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian
penjadwalan merupakan suatu siklus yang dapat digambarkan pada
gambar 4.
Permintaan Barang / Jasa

Jadwal Induk Produksi


Rencana
Rencana Pengaturan
Pengaturan Rencana Pengaturan Material / Bahan Mesin /
Tenaga Peralatan
Kerja Jadwal Operasional

Pelaksanaan

tidak Ya
Pelaksanaan = Rencana ?

BLest 9 dari 132


Manajemen Produksi

Dalam gambar diatas jelas terlihat bahea penyusunan penjadwalan


operasi dimulai dari penentuan besarnya volume permintaan barang /
jasa yang diminta oleh konsumen yang kemudian dilanjutkan dengan :
• Rencana pengaturan tenaga kerja
• Rencana pengaturan mesin / peralatan
• Rencana pengaturan material

Selanjutnya begitu jadwal disusun maka akan dioperasionalisasikan


dalam bentuk pelaksanaan. Dalam kenyataannya tidak selalu
pelaksanaan sesuai dengan rencana. Apabila timbul perbedaan
antara pelaksanaan dan rencana maka perlu dilakukan tindakan
koreksi terhadap :
• Jadwal yang telah dibuat, ada kemungkinan rencana yang
dibuat terlalu optimis sehingga sulit untuk dilaksanakan atau
kemungkinan lain terjadi perubahan volume permintaan yang
cukup berarti. Apabila hal ini terjadi maka perlu adanya
perubahan rencana yang lebih realistis
• Pelaksanaan yang dilakukan, tidak jarang terjadi hambatan di
dalam pelaksanaan baik yang berkaitan dengan manusianya
maupun peralatan serta faktor – faktor eksternal lain yang
mempengaruhinya. Apabila hal ini terjadi maka perlu diadakan
perbaikan – perbaikan didalam pelaksanaannya.

Dengan demikian akan terlihat bahwa antara proses perencanaan dan


perbaikannya (pengendalian) akan selalu terjadi dan menggelinding
secara kontinu. Oleh sebab itu antara perencanaan dan pengendalian
merupakan 2 kegiatan yang harus dilakukan secara simultan oleh
orang yang bertanggungjawab ata kelancaran suatu sistem usaha.

Dari urutan tersebut nampak bahwa jadwal operasi tidak selalu sama
dengan volune permintaan barang / jasa, sebab tidak semua volume
permintaan akan dipenuhi jika sumber daya yang diperlukan untuk
merealisasikan tidak tersedia.

BLest 10 dari 132


Manajemen Produksi

2 ANALISIS & PERENCANAAN SISTEM KERJA

A. TUJUAN
Diharapkan peserta dapat memahami pentingnya produktivitas dalam usaha
meningkatkan daya saing usaha, serta memahami cara–cara analisis, perancangan
dan pembakuan sistem kerja dalam rangka perbaikan produktivitas kerja

B. PENGANTAR
Dalam era globalisasi ekonomi, pemerintah telah melaksanakan serangkaian
deregulasi dan debirokrasi, karena hasil industri kita ditantang untuk dapat bersaing
dalam pasar domestik maupun Internasional. Persaingan dalam pasar domestik
tidak bisa dihindari, bukan hanya karena harus bersaing dengan produk dalam
negeri yang sejenis, tetapi juga dengan produk – produk impor, karena kita tidak
bisa lagi melakukan proteksi pasar terlalu ketat.

Sudah tidak bisa disangsikan lagi, bahwa salah satu faktor yang dapat memperkuat
daya saing adalah produktivitas, baik produktivitas mikro (usaha) maupun
produktivitas makro.

Banyak pidato – pidato, baik oleh para pakar maupun pemerintah, yang
mendukung pentingnya produktivitas tersebut, namun, sebagaian besar baru
berbicara tentang “Why ?” dan masih sedikit yang berbicara tentang “How ?“.

Pokok bahasan ini lebih banyak ditujukan untuk menjawab “Bagaimana


produktivitas itu dapat ditingkatkan ? Bagaimana merekayasa sistem kerja agar
dapat menghilangkan pemborosan ? “

Dalam lingkungan manajemen produksi, pokok bahasan ini sangat penting


terutama untuk :
1. Menetapkan standar kerja yang akan berpengaruh pada ketelitian
perencanaan / kepastian pencapaian sasaran yang rasional di seluruh
kegiatan; baik perencanaan produksi, anggaran, perkiraan keuntungan
maupun sasaran – sasaran kerja lainnya
2. Memberi kepastian kepada para pelaksana / operator, terutama dalam
ketetapan prosedur operasional.
3. Memperbaiki produktivitas kerja.

C. PENDAHULUAN
Banyak pekerjaan diselesaikan lebih lama dari waktu yang sepantasnya dibutuhkan
untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Fujio Cho dari Toyota menyebut kejadian
diatas sebagai pemborosan, yaitu segala sesuatu yang berlebih di luar kebutuhan
minimum atas peralatan, bahan, komponen, tempat dan waktu kerja yang mutlak
diperlukan untuk proses nilai tambah suatu produk

Pada suatu pabrik / manufaktur misalnya, bentuk suatu produk kadangkala


sedemikian rupa sehingga sulit untuk dikerjakan, atau kurang jelas / kurang baiknya
metoda kerja, dapat memperpanjang waktu penyelesaian pekerjaan dari yang
sepantasnya. hal serupa dialami pula oleh perkantoran (industri jasa) yang
menerapkan prosedur administrasi yang berbelit – belit / birokratis, akan
menyebabkan waktu pelayanan terhadap pelanggan menjadi lebih lama. Untuk
mengatasi hal ini, secara teknis, mungkin bisa dibantu dengan tersedianya
BLest 11 dari 132
Manajemen Produksi

peralatan – peralatan kerja (teknologi) yang memadai, atau dengan melakukan


perbaikan prosedur kerja, sehingga dapat menghilangkan pemborosan waktu kerja;
atau dengan kata lain dapat meningkatkan produktivitas kerja.

Tata letak (Lay out) peralatan atau keadaan ruang kerja yang kurang baik,
merupakan penyebab lain terjadinya pemborosan; terutama akibat aliran proses
kerja yang tidak lancar

Para pekerja yang berasal dari kelompok sosial kerja yang mempunyai budaya
kerja kurang produktif, juga merupakan unsur yang bisa memperlambat
penyelesaian kerja; misalnya karena kurang disiplin, pemalas, kurang bertanggung
jawab, atau kurangnya gairah kerja akibat kurang baiknya motivasi kerja.

Dalam lingkup yang lebih luas, pihak manajemen pun harus bertanggung jawab
untuk mengatasi pemborosan waktu kerja. Ketidakmampuan manajemen dalam
mengelola sumber daya perusahaan, misalnya kurang baik pengaturan
penjadwalan / rencana kerja, atau kurang tepatnya kebijakan sumber daya manusia
pada umumnya dapat menyebabkan borosnya waktu kerja manufaktur. (lihat
gambar 1, sumber: Introduction to Work Study)

Basic Work Content of


Product and/or
Operation

Total Work Content Added


Work

Content
A by in design or
specification of
Product

Work Content Added

Total Time
of
B by Inefficient Methods
of Manufacture or
Operation
Operation
under
Work Content Added

C
Existing
Condition by Inefficient Methods
of the Management
?

Ineffective Time due

D to Shorts comings of
the Management

Gambar 1 : Waktu Kerja Efektif dan Tidak Efektif pada Manufaktur

BLest 12 dari 132


Manajemen Produksi

D. PERBAIKAN PRODUKTIVITAS
Di atas telah dijelaskan bahwa terdapat tiga hal pokok untuk melaksanakan
perbaikan produktivitas, yaitu adanya pekerja yang mempunyai budaya kerja
produktif, tersedianya teknologi yang memadai serta adanya kemampuan
menajemen yang efektif. Perlu pula disadari bahwa untuk mencapai tingkat
produktivitas yang lebih tinggi, memerlukan waktu yang panjang serta usaha yang
berkelanjutan.

Untuk itu, upaya mencapai produktivitas yang tinggi merupakan program jangka
panjang. Sasaran di atas (menurut pengalaman di Jepang) perlu ada dukungan
faktor eksternal (situasi lingkungan kerjanya); yang mencakup keadaan politik,
ekonomi dan sosial negara; keterlibatan para pemegang saham; serta kondisi
usaha yang kompetitif.

Keadaan negara yang penuh damai serta keadaan politik dan ekonomi yang stabil,
merupakan pra-syarat terciptanya ketiga faktor penunjang produktivitas. Jepang
telah membuktikan hal ini. Walaupun Jepang tidak mempunyai sumber daya alam
(bahan baku), namun sejak perang dunia II, Jepang telah menjadi negara yang
cinta damai; dan dalam masa damai tersebut mampu mengerahkan sumber
dayanya untuk bangkit menjadi negara yang maju tingkat kehidupan ekonomi
nasionalnya.

Berkembangnya ekonomi nasional, akan meningkatkan pasar dometik. Lebih lanjut,


kuatnya pasar, akan mendorong untuk tumbuhnya industri. Pada suatu saat,
dimana pasar sudah jenuh, tumbuhnya industri akan tersaring secara alamiah oleh
adanya situasi kompetisi diantara perusahaan – perusahaan yang efisien, yang
akan mampu berkompetisi dan akan tetap bertahan.

Disamping itu, keterlibatan para pemegang saham / pemilik perusahaan, juga


sangat mempengaruhi jalannya usaha.

Kalau kita coba telaah lebih dalam, maka terdapat perbedaan yang cukup tajam
antara filosofis dasar manajemen Jepang dengan manajemen Barat, khususnya
Amerika Serikat.

Dalam memilih strategi dan masalah – masalah pokok yang harus segera diatasi,
hasil survey oleh Japan Management Association (JMA) pada bulan November
1979 menyatakan bahwa para pengusaha Jepang menetapkan dua isue kritis,
khususnya 5 tahun setelah krisis minyak, yang terkait dengan prodiktivitas diatas,
yaitu :
1. Rasionalisasi Investsasi untuk meningkatkan produktivitas
2. Pengembangan sumber daya manusia

Sedang keterlibatan para pemegang saham diperusahaan Jepang, tidak terlalu


dominan; sehingga sebagian besar (64%, survey Nihon Keizai Shimbun, 1981)
menyatakan bahwa pemilik perusahaan adalah para manajer, pekerja dan
pemegang saham.

Di lain pihak, manajemen barat telah menetapkan atrategi dengan prioritas produk
pasar; artinya manajemen Barat akan berusaha agar produk yang dibuatnya segera
laku dipasar, dengan melakukan (antara lain) merger, investasi di luar negeri,
promosi dan sebagainya.

BLest 13 dari 132


Manajemen Produksi

Kondisi ini ditunjang oleh dominannya para pemegang saham dalam


mempengaruhi jalannya usaha. Mereka sangat berpengaruh dalam mengarahkan
perusahaan agar cepat mendapat keuntungan (strategi jangka pendek); karena
mereka menggunakan kriteria evaluasi terhadap suatu usaha, berdasarkan
keuntungan tiap lembar saham.

Kedua filosofis diatas sangat berbeda. Manajemen Jepang, untuk menuju suatu
pasar tertentu, telah didahului oleh kesiapan internal (akibat restrukturisasi internal /
pengetahuan, teknologi, kemampuan berproduksi dan keterampilan tenaga kerja).
Sedangkan manajemen barat, kesiapan faktor internal menjadi prioritas kedua
setelah kesiapan pasar.

Sasaran dari strategi manajemen Jepang, bersifat jangka panjang, dimana goalnya
adalah memperbaiki image tentang barang – barang Jepang, dari barang yang
meruh dan jelek, menjadi barang yang murah dan baik.

Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen Jepang menyadari akan pentingnya


sumber daya manusia; sehingga pengembangan sumber daya manusia yang
terintegrasi dengan pendidikan dan pelatihan, menjadi prioritas manajemen.

Lebih jauh, tercermin dalam sikap masyarakat Jepang, dimana para orang tua
sangat antusias untuk menyekolahkan anak – anaknya pada tingkat pendidikan
yang berkualitas.

Sedangkan sasaran strategi manajemen barat, bersifat jangka pendek, yaitu


bagaimana mendapatkan keuntungan secepat mungkin.

E. PENGARUH STANDAR PRODUKSI PADA PERENCANAAN KEUNTUNGAN


Diatas sudah dijelaskan tentang pentingnya produktivitas sebagai ukuran
performasi jangka panjang. Namun, performasi jangka pendekpun, perlu segera
diamankan, sehingga para pengambil keputusan operasional, akan mampu
bertindak tanpa berpengaruh negatif terhadap strategi jangka panjang perusahaan
(produktivitas total)

Perencanaan keuntungan, adalah keputusan jangka pendek yang harus dibuat


setiap perusahaan ketika mendapat pesanan atau ketika perusahaan akan menjual
produknya.

Untuk melakukan perkiraan tentang rencana keuntungan, struktur ongkos akan


sangat berpengaruh, khususnya elemen ongkos langsung. Sedangkan, elemen
ongkos langsung, sangat dipengaruhi oleh besarnya standar produksi. Formula
dasar persamaan ongkos operasi adalah : ongkos jam langsung dari setiap fasilitas
produksi, kali waktu standar produksinya. Untuk itu, ketelitian perkiraan
keuntungan, sangat dipengaruhi oleh ketelitian data tentang ongkos langsung dan
waktu standar produksi.

Apabila perusahaan telah salah dalam memperkirakan waktu penyelesaian


pekerjaan, maka ia akan salah dalam memperkirakan biaya pekerjaan (terlalu
rendah), sehingga akan rugi. Sebaliknya, waktu penyelesaian pekerjaan yang
terlalu cepat, akan terjadi perkiraan ongkos yang terlalu tinggi (overstatement),

BLest 14 dari 132


Manajemen Produksi

sehingga kemungkinan akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan


keuntungan.

Untuk memperkirakan besarnya ongkos mesin / menit, dapat diperoleh dari data
biaya yang berlaku atau dengan perkiraan dan dari data finansial. Agar ongkos
mesin / menit ini rasional, perlu diadakan analisis untuk memisahkan ongkos
langsung dan ongkos tidak langsungnya. Analisis ini dapat dilakukan oleh bagian
keuangan dengan bantuan bagian produksi, dan dapat diselesaikan dalam waktu
relatif singkat. Cukup diperlukan para analisis yang berpengetahuan

Sedangkan penetapan standar waktu penyelesaian suatu pekerjaan, lebih


membutuhkan waktu dan keterampilan / profesional. Untuk ini, bukan hanya
diperlukan analisis yang berpengetahuan, tapi juga diperlukan analisis yang
berpengalaman teknis tentang proses operasi, karakteristik mesin, kemampuan dan
keterbatasan operator, serta sifat – sifat material.

F. ANALISIS DAN PERENCANAAN KERJA


Analisis standar produksi, merupakan bagian dari analisis dan perancangan kerja.
Pada bab ini akan dibahas tentang cara – cara / metoda analisis kerja, menetapkan
rancangan kerja dan pada akhirnya metoda penetapan standar kerja (produksi).

Secara umum proses kegiatan analisis dan perancangan kerja adalah penelaahan
secara sistematis terhadap pekerjaan dengan maksud untuk :
1. Mengembangkan sistem dan metoda kerja yang lebih baik
2. Membakukan sistem dan metoda kerja yang sudah baik
3. Menetapkan waktu baku (standar produksi) untuk suatu pekerrjaan
4. Membantu melatih pekerja dalam melakukan pekerjaan dengan metoda kerja
yang telah diperbaiki.

Dua unsur pokok dari analisis dan perancangan kerja adalah :


1. Perancangan Metoda Kerja (Method Design), dimaksudkan untuk
menetapkan tata cara kerja atau menyederhanakan pekerjaan dan
mengusulkan cara kerja yang lebih baik
2. Pengukuran kerja (Work Measurement), ditujukan untuk menetapkan
waktu penyelesaian suatu pekerjaan secara wajar oleh pekerja yang normal
dengan metode kerja yang sudah dirancang dengan baik. (lihat gambar 2)

Perancangan Metoda Kerja


Untuk menyederhanakan
pekerjaan dan pengembangan
metoda kerja yang lebih
ekonomis
Analisis dan
Perancangan Kerja
Pengukuran
Kerja
Untuk menetapkan waktu yang
wajar dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan
Gambar 2 : Analisis dan Perancangan Kerja

BLest 15 dari 132


Manajemen Produksi

G. TAHAPAN ANALISIS DAN PERANCANGAN KERJA


Secara umum, pelaksanaan Analisis dan perancangan kerja mengikuti 8 tahapan
berikut :
1. Pemilihan pekerjaan yang hendak diteliti
2. Pencatatan segala fakta mengenai pekerjaan ke dalam bentuk penyajian
yang memudahkan untuk analisis lebih lanjut
3. Mempelajari dengan seksama catatan yang telah dibuat dan
mempertanyakan segala sesuatu mengenai pekerjaan untuk membuka
peluang bagi perbaikan metoda kerja.
4. Pengembangan / perancangan alternatif metoda kerja yang lebih baik
(beberapa usulan)
5. Perhitungan prestasi atau waktu baku untuk masing – masing metode kerja
yang diusulkan
6. Pemilihan metoda kerja yang akan digunakan, kemudian menyusun petunjuk
pelaksanaannya, berikut sasaran prestasi atau penetapan waktu baku
7. Pemberitahuan dan pelatihan metode kerja baru kepada para operator
8. Pengawasan pemeliharaan agar metode kerja tersebut selalu di jalankan
sesuai dengan petunjuk pelaksanaannya.

Tabel 3 : Peranan Analisis dan Perancangan Kerja dalam Peningkatan Produktivitas

Peranan
Kecepatan
Tipe Analisis
Pendekatan Cara Biaya Mencapai
Perbaikan Hasil Perancangan
Kerja
Investasi Mengambil - Riset Dasar Mahal Umumnya - Memperbaiki
Kapital Teknologi Proses - Riset Aplikasi tahunan metode /operasi
Produksi - Pabrik contoh kerja
- Menunjang
perawatan fasilitas
Mengganti mesin - Membeli baru Mahal Segera - Menyusun Lay out
/peralatan produksi - Perancangan setelah baru
menjadi lebih besar proses pemasangan - Memperbaiki
kapasitasnya metode/ operasi
kerja
Mengurangi “isi” - Riset Produk Tidak Umumnya - Memperbaiki
kerja karena - Pengembangan
produk
sebesar bulanan rancangan
perbaikan 1 dan 2 produk agar
- Manajemen
rancangan mempermudah
kualitas
produksinya Studi Metode
- proses produksi
- Latihan operator
- Analisis nilai
Mengurangi “isi” - Riset proses Murah Segera - mengurangi
- Rencana proses pemborosan dengan
kerja karena - Studi metode menghilangkan
perbaikan proses - Latihan operator gerakan – gerakan
produksinya - Analisis nilai yang tidak perlu

Mengurangi - Pengukuran kerja Murah Awalnya - Pengukuran kerja


- Standardisasi untuk
waktu yang tidak lambat, tapi
- Pengembangan mengidentifikasikan
efektif (karena - Produk dampak permasalahan dan
perbaikan - PPC pertumbuhan menetapkan standar
manajemen atau - Pengendalian nya cepat performansi untuk
material memperrbaiki :
tenaga kerja) - Perencanaan
perawatan • Perencanaan dan
- Kebijakan pengendalian
personel produksi
- Perbaikan kondisi • Utilisasi pabrik
kerja • Pengendalian biaya
- Latihan operator buruh
- Insentif • Insentif
Sumber : Introduction to Work Study

BLest 16 dari 132


Manajemen Produksi

H. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Identifikasi permasalahan merupakan langkah awal dari pelaksanaan analisis dan
perancangan kerja (perbaikan suatu sistem kerja). Identifikasi masalah akan
berhasil apabila si analis mempunyai konsep berfikir , berrtindak sebagai berikut :
a. Tidak pasif; merasa tidak puas dengan kondisi yang ada
b. Mampu menemukan masalah ditempat kerja, khususnya pada tempat dimana
sebelumnya tidak terpikir akan ada masalah.

Orang yang sudah merasa puas dengan kondisi yang ada akan menjadi pasif,
sehingga tidak akan pernah menemukan perbaikan atau kemajuan. Tumbuhnya
rasa tidak puas merupakan awal perbaikan. Jika rasa tidak puas sudah tumbuh,
harus segera diarahkan agar timbul perbaikan. Rasa tidak puas yang tidak terarah,
akan menimbulkan keluhan dan kekecewaan yang akhirnya pekerja akan menjadi
pasif.

Kemampuan menemukan permasalahan, merupakan syarat berikutnya untuk dapat


melakukan identifikasi permasalahan. Penyelidikan secara seksama di suatu
tempat kerja akan menolong kita untuk segera menemukan permasalahan.
Permasalahan yang potensial pada umumnya terjadi di tempat kerja dimana
sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk membantu kita dalam identifikasi
permasalahan, seperti :
1. Daftar pertanyaan (check sheets)
2. Peta – peta kerja
3. Diagram sebab akibat
4. Diagram pareto

a. Maksud pengerjaan ; Apa yang dikerjakan ? Mengapa ?


b. Pekerja ; Siapa yang mengerjakan ? Mengapa ?
c. Urutan Pekerjaan : Kapan dilakukan ? Mengapa ?
d. Tempat kerja : Dimana dikerjakan ? Mengapa ?
e. Cara mengerjakan : Bagaimana pengerjaannya ? Mengapa ?

Material Metode Kerja

Kualitas

Peralatan Pengukuran

Gambar 7 : Contoh diagram sebab - akibat

Tabel 4 : Data Kerusakan Produk


NO Jenis Kerusakan Jumlah Rusak % Rusak Distribusi % Rusak
1 Caulking (Ca) 198 9.1 % 47.6 %
2 Fitting ( F ) 25 1.2 % 6.0 %
3 Connecting ( Co ) 103 4.8 % 24.7 %
4 Torque ( T ) 18 0.8 % 4.3 %
5 Gapping ( G ) 72 3.3 % 17.3 %
Total 416 19.2 % 99.9 %

BLest 17 dari 132


Manajemen Produksi

Unit

X
Ca Co Cr F T
Gambar 8 : Contoh Diagram Pareto

I. PERANCANGAN METODA KERJA


Setelah data dan fakta dikumpulkan, kemudian dianalisa untuk mendapatkan
metoda kerja yang lebih baik. Proses perbaikan metoda kerrja harus dilandasi oleh
semangat “Tidak ada cara yang paling baik, tetapi selalu ada cara yang lebih baik”

Untuk itu perlu usaha yang sungguh – sungguh dan kreatif dalam menemukan
alternatif metoda kerja yang lebih baik.

Beberapa kemungkinan untuk perbaikan kerja, diantaranya :


1. Menghilangkan komponen benda kerja yang tidak perlu / tidak
mempengaruhi / merubah fungsi produk (perbaikan desain)
2. Menghilangkan proses produksi / kegiatan / gerakan – gerakan kerja yang
tidak perlu (perbaikan proses produksi)
3. Memperbaiki rancangan produk / rancangan produksi
4. Merancang alat bantu produksi
5. Menggabung beberapa proses (memperbaiki proses) produksi
6. Merubah urutan – urutan pengerjaan atau tata letak tempat kerja
7. Menyederhanakan metoda kerja

Beberapa obyek yang mungkin perlu diperbaiki, diantaranya :


1. Perancangan komponen benda kerja
2. Pemilihan bahan baku dan bahan pembantu yang tepat
3. Pemilihan mesin / perkakas dan alat bantunya
4. Proses manufaktur
5. Set up mesin dan perkakas
6. Kondisi lingkungan kerja
7. Lay out dan material handling
8. Manajemen
9. Operator

Beberapa “alat” atau prinsip – prinsip kerja yang biasa digunakan untuk
menemukan metoda kerja yang lebih baik diantaranya :
1. Studi gerakan
2. Prinsip – prinsip Ekonomi Gerakan
3. Ergonomi
4. Analisis Nilai (Value Analysis / Engineering)

BLest 18 dari 132


Manajemen Produksi

Tabel 5 : Contoh Prinsip – prinsip Ekonomi Gerakan

A Check Sheet for motion Economy and Fatigue Reduction


These twenty two rules or principles of motion economy may be profitably to shop and office
work alike. Although not all are applicable to every operation, they do from a basis or a code
for improving the efficiency and reducing fatigue in manual work.

Use of the Human Body


1. The two hands should begin as well as complete their motions at the same time.
2. The two hands should not be idle at the same time, except during rest periods
3. Motions of the arms should be made in opposite and symmetrical directions and should be
made simultaneously.
4. Hand and body motions should be confined to the lowest classification, and with which it is
possible to perform the work satisfactorily
5. Momentum should be employed to assist the worker wherever possible, and it should be
reduced to a minimum if it must be overcome by muscular effort
6. Smooth continuous curved motions of the hands are preferable to straight – line motions
involving sudden and sharp changes in directions
7. Ballistic movements are faster, easier and more accurate than restricted (fixation) or
“controlled” movements
8. Work should be arranged to permit easy and natural rhythm wherever possible
9. Eye fixations should be as few and as close together as possible

Arrangement of the Work Place


10. There should be a definite and fixed place for all tools and materials
11. Tools, materials and controls should be located close to the point of use
12. Gravity feed bins and containers should be used to deliver material close to the point use
13. Ddelivers should be used wherever possible
14. Materials and tools should be located to permit the best sequence of motions
15. Provisions should be made for adequate conditions for seeing. Good illumination is the first
requirement for satisfactory visual perception
16. The height of the work place and the chair should preferably be arranged so that alternate
sitting and atanding at work are easily possible
17. A chair of the type and height to permit good posture should be provided for every worker

Design of Tools and Equipment


18. The hands should be relieved of alll work that can be done more advantageously by a jig, a
fixture or a foot operated device
19. Two or more tools should be combined wherever possible
20. Tools and materials should be pre-positioned wherever possible
21. Where each finger performance some spicific movement, such as in type-writing, the had
should be distributed in accordance with the inherent capacities of the fingers
22. Levern, crossbars and hand wheels should be located in such positions that the operator
can manipulate them with the least change in body position and with the greatest
mechanical advantage.

J. PENGUKURAN KERJA
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur performansi suatu sistem kerja
diantaranya :
1. Waktu kerja
2. Fisiologi kerja
3. Psikologi kerja
4. Sosiologi kerja

Pengukuran waktu kerja merupakan kriteria yang paling banyak digunakan untuk
mendapatkan ukuran performansi kerja.

BLest 19 dari 132


Manajemen Produksi

Beberapa kegunaan pengukuran waktu kerja diantaranya :


1. Dasar untuk menetapkan waktu standar dan kecepatan produksi
2. Dasar menetapkan hari / jam kerja yang wajar untuk dasar menetapkan upah
kerja serta target produksi
3. Dasar untuk melakukan perbaikan kerja lebih lanjut
4. Dasar untuk menyusun perencanaan dan pengendalian produksi yang wajar
5. Dasar penyusunan anggaran serta pengendaliannya

Teknik pengukuran waktu kerja dapat dibedakan atas :


1. Cara langsung; yaitu jika pengukuran dilakukan di tempat pekerjaan tersebut
dilakuan
2. Cara tidak langsung; yaitu perhitungan waktu didasarkan pada tabel – tabel
yang sudah tersedia, dengan terlebih dahulu membakukan metode kerja
yang digunakan.

Teknik pengukuran cara langsung yang paling banyak digunakan adalah teknik Jam
Henti (Stopwatch Time Study) dan teknik Sampling Pekerjaan (Work Sampling).
Pada dasarnya, teknik sampling pekerjaan akan dipilih sebagai teknik pengukuran
untuk kondisi berikut :
• Kesulitan untuk mengenali siklus pekerjaan (terlalu besar)
• Penelitian ditujukan untuk menggambarkan fakta (tingkat produktivitas)
• Pekerjaan dilakukan oleh kelompok kerja
• Aktivitas (elemen pekerjaan) banyak / bervariasi
• Munculnya aktivitas tidak menentu (random)

PERHITUNGAN WAKTU BAKU


Rumusan waktu baku adalah sebagai berikut :
Waktu baku: waktu yang diperlukan oleh seorang pekerja normal untuk
menyelesaikan pekerjaan dengan metode kerja tertentu, pada kondisi terbaik saat
itu.
a. pengukuran dengan Jam Henti :
wkt. Pengamatan x Faktor penyesuaian x ( 1 + kelonggaran)
Waktu Baku =
Waktu Normal

b. pengukuran dengan teknik Sampling Pekerjaan :

(total jam kerja) x (% Waktu produktif) x faktor penyesuaian x (1 + kelonggaran)


Waktu Baku =
Jumlah barang yang dihasilkan

Gambar 10 : Komposisi Waktu Baku


Observative time Erating factor Control oil Relaxation
allowance
(if performed at a pace greater than standard pace) works delays

Basic time

Work contact
STANDARD TIME

BLest 20 dari 132


Manajemen Produksi

J.1. PENGUKURAN WAKTU KERJA DENGAN JAM HENTI


Langkah – langkah pengukuran waktu kerja dengan jam henti dilaksanakan
dengan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Tetapkan tugas / aktivitas yang akan diukur
2. Pilih operator yang normal
3. Informasikan maksud dan tujuan pengukuran kerja kepada supervisor
dan operatornya
4. Catat semua data yang berkaitan dengan sistem operasi kerja
5. Uraikan tugas atas elemen – elemen nya (aktivitas)
6. Laksanakan pengukuran waktu sejumlah N kali
7. Cek statistik data (keseragaman dan kecukupan)
8. Hitung waktu siklus (WS)
9. Tetapkan faktor penyesuaian (p) dan kelonggaran (l) kerja yang wajar
10. Hitung waktu normalnya (WN) = WS x p
11. Tetapkan Waktu Baku (WB) = WN x ( 1 + l )

J.2. PENGUKURAN KERJA DENGAN SAMPLING PEKERJAAN


Secara umum, langkah – langkah pelaksanaan sampling pekerjaan adalah :
1. Tetapkan aktivitas (elemen pekerjaan) yang akan diukur
2. Tetapkan jadwal pengamatan secara random
3. Laksanakan pengamatan
4. Cek statistik data
5. Analisis hasil studi; tetapkan rasio delay atau ukuran performansi atau
waktu standar hasil pengukuran.
6. Khususnya untuk studi ratio delay / ukuran performansi; tarik
kesimpulan dan saran perbaikan untuk memperbaiki metoda kerja
yang ada

BLest 21 dari 132


Manajemen Produksi

Contoh lembar pengamatan pengukuran siklus pekerjaan (komulatif)

Lembar pengamatan jam henti (komulatif) Hal.


Kegiatan : Hari / tanggal :
Mesin / alat : Jam : s/d :
Operator : Stasiun Kerja :
Nama Jabatan : Pengamat :

Keterangan Siklus Siklus Pekerjaan ke (detik)


Pekerjaan dan jenis J+1 1 2 3 4 5 6 7 8 9
barangnya J
0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Catatan kondisi kerja :


Temperatur : Pencahayaan :
Kebisingan : Situasi tempat kerja :

BLest 22 dari 132


Manajemen Produksi

Contoh lembar pengamatan pengukuran elemen pekerjaan

Lembar pengamatan jam henti (elemen) Hal.


Kegiatan : Hari / tanggal :
Jam : s/d
Mesin / alat :
Operator : Stasiun kerja :
Nama Jabatan : Pengamat :

Keterangan siklus Jumlah Berat


Jumlah Elemen (detik) Jarak
pekerjaan & jenis waktu barang
Siklus Pekerjaan (m)
barangnya (detik) (kg)
1 2 3 …
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Catatan kondisi kerja :
Temperatur : Pencahayaan :
Kebisingan : Situasi tempat kerja :

BLest 23 dari 132


Manajemen Produksi

Contoh lembar pengamatan sampling, pekerjaan administrasi

Lembar pengamatan sampling pekerjaan administrasi Hal.


Kegiatan : Hari / tanggal :
Jam :
Selang : menit pengamatan

Stasiun kerja :
Pengamat :

Uraian kegiatan SH Nama pekerja Jumlah


Tally % Hasil

Catatan kondisi kerja :


Temperatur : Pencahayaan :
Kebisingan : Situasi tempat kerja :
SH = Satuan Hasil

BLest 24 dari 132


Manajemen Produksi

Contoh lembar pengamatan sampling pekerjaan lapangan

Lembar pengamatan sampling pekerjaan administrasi Hal.


Kegiatan : Hari / tanggal :
Mesin / alat : Jam :
Selang : menit pengamatan

Stasiun kerja :
Nama jabatan : Pengamat :

Uraian kegiatan SH Nama pekerja Jumlah


Tally % Hasil

Catatan kondisi kerja :


Temperatur : Pencahayaan :
Kebisingan : Situasi tempat kerja :

SH = Satuan Hasil

BLest 25 dari 132


Manajemen Produksi

3 TEORI LOKASI

A. TUJUAN

1. Memberikan pengertian pentingnya pemilihan / penentuan lokasi, sebagai


suatu rangkaian perencanaan dalam manajemen produksi
2. Memberikan pengetahuan dasar pemilihan lokasi fasilits produksi

B. PENGANTAR

Permasalahan lokasi untuk suatu industri manufaktur pada dasarnya dapat dibagi
menjadi 2 permasalahan, yaitu :

1. Lokasi pabrik
2. Lokasi gudang

Dalam pembahasan disini adalah penempatan suatu pabrik atau gudang relatif
terhadap lokasi fasilitas yang sudah ada.

Tujuan utama pemilihan lokasi adalah pemilihan “site” yang meminimumkan tiga
jenis ongkos, yaitu :

1. Ongkos Regional
Adalah ongkos – ongkos yang berhubungan dengan lokasi yang dipilih,
misalnya; tanah konstruksi, tenaga kerja
2. Ongkos Distribusi
Adalah ongkos – ongkos yang berhubungan dengan pengiriman bahan dan
produk dari dan ke lokasi yang dipilih
3. Ongkos Bahan Baku dan Penunjang
Adalah ongkos – ongkos yang berhubungan dengan input produksi,
termasuk energi.

Oleh karena lokasi menjadi faktor awal yang menentukan, maka konteks historis
dari perusahaan dan analisis ekonomis perlu dipertimbangkan.

BLest 26 dari 132


Manajemen Produksi

Plant Search Company XYZ

Decision Unit Major Decision Selected Decision Criteria

Operating Division Market Marketing Potential


Planning Division Region Market Share
Operating Cost

Operating Division Transport Cost (market raw


Traffic Sub materials)
Purchasing Taxes (state)
Industrial Relation
region Raw material Cost
Property Labor Cost and availability

Operating Division Access to market / materials


Traffic Material Cost
Purchasing Community Labor cost and availability
Industrial Relation Taxes (state)
Property Availability of public services
Availability to sites
Community amenities

Operating Division Access to transport network


Engineering Site Site characteristics
Property Taxes (property)
Tax Land and acquisition costs
Availability of public services
Construction cost
Board of
Final
Director Approval
of Site

Community
Site
Authorizes Contracts Division
to begin legal negotiations with
community (and owner) for
land (site)
Source : Thomas M. Carol and Robert D. Dean “ A Bayesian Approach to Plant – Location Decision “ Sciences
1 / no.1 (January 1980). P.87

C. METODOLOGI ANALISIS
Dalam melakukan analisis lokasi, beberapa tahap keputusan diperlukan. Keputusan
– keputusan ini dimulai dari masalah pemasaran sampai dengan “Site”. Evaluasi
alternatif regional seringkali disebut analisis makro, dan evaluasi “site” pada suatu
regional disebut analisis mikro.

D. KRITERIA KEPUTUSAN
Tergantung type fasilitas.
1. Fasilitas tunggal : Pabrik/gudang, Fasilitas pemerintah, rumah sakit,
pembangkit tenaga listrik.
Umumnya kriterianya majemuk : bahan, tenaga kerja, peraturan, pajak dan
lain sebagainya.
2. Fasilitas ganda : beberapa fasiitas yang saling bergantung, dalam hal ini
biasanya kriteria yang digunakan adalah biaya distribusi total atau ongkos
produksi total.

BLest 27 dari 132


Manajemen Produksi

3. Toko yang bersaing : pendapatan dipengaruhi oleh jarak relatif dengan toko
lain, misalnya; bank, toko serba ada, restoran apotik, wartel
4. Pelayanan gawat darurat : Ambulans, pemadam kebakaran. Kriteria :
“ Response Time”.Titik beratnya pada pelayanan.

Tahapan keputusan lokasi


Regional
Analisa Makro

Masyarakat

Site Analisa Mikro

Regional ( termasuk Internasional)


Faktor – faktor yang dipertimbangkan :
a. Kedekatan dengan bahan baku dan pasar :
- Meminimumkan ongkos transpor
- Memberi pelayanan yang baik

b. Jenis dan mutu tenaga kerja yang tersedia.


c. Ketersediaan masukan lain, seperti tanah, sarana angkutan, air,
tenaga listrik, bahan bakar.
d. Lingkungan (iklim, peraturan, situasi politis) yang kondusif bagi
organisasi.

Termasuk hambatan - hambatan impor / ekspor, stabilitas politik, hambatan


budaya dan ekonomi.

E. METODA PEMILIHAN LOKASI


Metoda pemilihan lokasi tergantung dari permasalahannya sudah berada dimana :
- Jika alternatif – alternatif lokasi sudah ada, maka analisanya
menggunakan kriteria minimum ongkos transpor
- Jika alternatif – alternatif lokasi masih “terbuka”, maka
menggunakan analisa awal dengan (salah satunya) metoda pusat
grafitasi.

E.1. ANALISA PENERIMAAN LOKASI


Contoh 1 :
Sebuah gudang antara digunakan untuk menampung produk dari pabrik di lokasi
A sebanyak 10 ton dengan biaya Rp. 5.000/ton/km. Untuk kemudian
didistribusikan ke 2 lokasi pasar B dan C dengan jumlah 2 ton dengan biaya Rp.
8.000/ton/km, dan 8 ton dengan biaya Rp. 4.000/ton/km. Jika
Ti = biaya transpor dari tiap titik i / satuan berat/km
Bi = berat yang harus diangkut dari / ke lokasi i
Ji = jarak dari sembarang asal ke tiap lokasi i
Maka

BLest 28 dari 132


Manajemen Produksi

i Ti Bi J
Jarak rata –rata J =
Ti Bi

Jika koordinat A, B, C sebagai berikut :

Utara

100 -----
B (95,84)
80 -----

60 -----
C (118,41)
40 -----
A (73,22)
20 -----

(0,0) 20 40 60 80 100 120 km


Timur

Kearah timur :
(5x10x73) + (8x2x93) + (4x8x118)
X = = 91,3 km
(5x10) + (8x2) + (4x8)

kearah utara :

Y = 38,3 km

Untuk model analisa inkremental :


a. Hitung biaya transportasi ke berbagai pusat permintaan yang tersebar
b. Pindahkan ke utara, barat, selatan, timur dan hitung kembali ongkos
transportasi masing – masing.
c. Bandingkan hasilnya
d. Jika tidak ada lagi yang lebih baik, maka lokasi akhir diperoleh.

E.2. PEMILIHAN MASYARAKAT


Faktor – faktor yang diperrtimbangkan :
a. Tersedianya site yang dibutuhkan
b. Sikap pemerintah daerah
c. Peraturan
d. Pembagian wilayah
e. Tenaga kerja tersedia
f. Ukuran pasar
g. Ketersediaan local financing
h. Sikap masyarakat.

BLest 29 dari 132


Manajemen Produksi

Contoh 2 :
Metode / analisa BEP

Masyarakat
B
i
a Masyarakat
Var.cost
y T
masy – 2
a a
h
O u
p n Var.cost
e a masy – 1
r n
a Fixed cost
s
masy – 1
i
Fixed cost
masy – 2
E

Volume permintaan

Site : Lokasi nyata dari fasilitas, harus tepat bagi sifat operasi
Faktor – faktornya : Tanah, pembagian wilayah, sikap masyarakat, drainage, air,
saluran kotoran dan lainnya.

Aksesibilitas transpor ; ukuran pasar setempat dan biaya pengembangan.


Minimal ongkos dengan transportasi (programa linier).

Jika analisa BEP menitik beratkan pada volune produksi tahunan, maka
kemungkinan lain yang diperhatikan adalah ongkos – ongkos yang relevan
termasuk ongkos transportasi / distribusi.

Ongkos ini penting jika produk yang dihasilkan dibuat di beberapa pabrik dan
harus diangkut ke beberapa titik distribusi.

F. ANALISA FAKTOR KUANTITATIF


Kriteria ekonomi kadang – kadang tidak memberi hasil yang baik dan jelas, maka
kriteria sistem bobot dapat digunakan :
a. Uraikan semua faktor yang relevan
b. Tentukan bobot bagi masing – masing faktor (untuk menunjukan
tingkat pentingnya suatu faktor)
c. Tentukan skala umum untuk tiap faktor dan skala minimum
d. Beri skor lokasi yang potensial menurut skala, kalikan dengan skor
bobot.
e. Jumlahkan point tiap lokasi
f. Pilih lokasi dengan skor total terbesar.

BLest 30 dari 132


Manajemen Produksi

Contoh 3 :
Sebuah pabrik gelas sedang mempertimbangkan 3 lokasi yang potensial. Faktor
– faktor, bobot, dan skala yang diperoleh dari staff yang kompeten adalah
sebagai berikut :

Aceh
Bobot Bandung Cirebon
Faktor – faktor relevan
(faktor)
skor b.skor skor b.skor skor b.skor
Ongkos Produksi .033 50 16.5 40 13.2 35 11.35
Pasokan bahan baku 0.25 70 17.5 80 20 75 18.75
Tenaga Kerja 0.20 55 11.0 70 14 60 12
Biaya Hidup 0.05 80 4.0 70 3.5 40 2
Lingkungan 0.02 60 1.2 60 1.2 60 1.2
Pasar 0.15 80 12 90 13.5 85 12.75
Jumlah 1.00 - 62.60 - 65.40 - 55.25

BLest 31 dari 132


Manajemen Produksi

4 PERENCANAAN LAY OUT

1. TUJUAN
1. Memberikan landasan dalam penyusunan elemen fisik aktivitas pabrik /
industri
2. Mengenalkan tahapan pemecahan perancangan tata letek pabrik / fasilitas
3. Mengenalkan teknik dasar penyelesaian tata letak fasilitas

2. PENGANTAR
Salah satu aktivitas dari manajemen Produksi adalah tata letak pabrik atau
penyusunan elemen – elemen fisik dari suatu aktivitas pabrik / industri. Tataletak
pabrik adalah suatu rencana atau aktivitas perencanaan, penyusunan yang optimal
dari fasilitas – fasilitas suatu industri ; meliputi tenaga kerja, peralatan operasi,
ruang penyimpanan, peralatan penanganan material dan semua fasilitas pelayanan
pendukung operasi, sesuai dengan desain terbaik dari struktur fasilitas –
fasilitasnya.

3. MATERI
A. Masalah Tata Letak Pabrik
Tata letak pabrik merupakan tahapan penting dalam operasi suatu perusahaan /
industri. Peranan tata letak pabrik dalam hal ini adalah membentuk aliran
material maupun tenaga kerja menjadi lancar dan minimum, sehingga proses
produksi dapat berlangsung secara wfwktif dan efisien.

Aliran material biasanya mencerminkan tulang punggung suatu fasilitas yang


produktif dan harus direncakan secara seksama dan dicegah perkembangannya
ke arah pola aliran yang tidak beratur, karena pola aliran yang tidak jelas akan
menimbulkan ongkos pemindahan material yang besar. Sebaliknya, tata letak
yang efektif dapat meminimumkan ongkos pemindahan material dan
memberikan iklim kerja yang baik serta meningkatkan efisiensi proses produksi,

Masalah tata letak pabrik tidak selalu timbul dalam merencanakan tata letak
fasilitas bagi pabrik baru. Seringkali masalah tata letak berhubungan kembali
dengan fasilitas – fasilitas lama yang telah ada. Misalnya untuk merubah kembali
susunan tata letak fasilitas lama tersebut karena beberapa sebab. Pada
umumnya masalah – masalah tata ;etak fasilitas akan timbul jika terjadi :
1. Perubahan Disain Produk, akan menyebabkan pula perubahan dalam
urutan proses operasinya, sehingga rancangan tata letak fasilitasnya
akan berubah.
2. Perubahan Kapasitas Produksi, secara ekstrim akan menuntut pula
perubahan tata letak fasilitas yang ada. Pertambahan produksi yang
besar dapat mengakibatkan bertambahnya kebutuhan sejumlah mesin
baru. Keberadaan mesin – mesin baru ini berarti menimbulkan
masalah dalam peletakkan mesin – mesin tersebut pada tata letak
yang sudah ada. Sebaliknya, bila tingkat produksi menurun secara
drastis maka perlu dilakukan pertimbangan suatu proses yang
berbeda dari proses produksi untuk tingkat produksi yang tinggi. Hal

BLest 32 dari 132


Manajemen Produksi

ini akan mengakibatkan pula terjadinya perubahan dalam tata letak


yang sudah ada.
3. Timbulnya Jenis Produk Baru, juga akan menimbulkan masalah pada
tata letak pabrik. Bila proses operasi produk baru ini sangat berbeda
dengan proses operasi produk yang lama, maka pertimbangan untuk
membentuk bagian tersendiri dapat saja dilakukan. Tetapi bila aliran
operasi tidak berbeda jauh dengan produk lama, maka persoalan yang
terjadi adalah menyangkut pertambahan kapasitas yang telah ada.
4. Adanya Perubahan – perubahan yang terjadi sepanjang waktu,
perubahan – perubahan ini biasanya terjadi secara perlahan – lahan
dan yang akan menimbulkan masalah tersendiri, misalnya, terjadinya
bottleneck, rintangan terhadap aliran material, jadwal yang tidak
tercapai, lingkungan kerja yang tidak sehat dan nyaman, dsb.
5. Hal – hal Lain yang dapat menimbulkan persoalan tata letak, selain
diatas, dapat pula timbul akibat :
¾ Penggantian fasilitas / mesin yang sudah usang
(Obsolete)
¾ Sering terjadi kecelakaan
¾ Perubahan lokasi pabrik atau konsentrasi pasar
¾ Lingkungan kerja yang tidak sehat dan nyaman

A.1. Tujuan Penyusunan Tata Letak Pabrik


Suatu tata letak pabrik yang optimum adalah tata letak yang mampu memberikan
kepuasan maksimum kepada pihak –pihak yang terlibat, yaitu pada tenaga kerja
dan manajemen. Setiap pihak yang terlibat mempunyai kepentingannya masing
– masing dalam usaha memperoleh tata letak yang baik. Dengan memperhatikan
kepentingan masing – masing pihak ini, tujuan yang umumnya ingin dicapai dari
penyusunan tata letak pabrik adalah :
• Meminimumkan jarak perpindahan material
• Menggunakan ruangan secara efektif
• Meningkatkan keselamatan dan keamanan dalam bekerja
• Menjaga fleksibilitas pengaturan fasilitas sehingga mudah disesuaikan
kembali bila ada perubahan tujuan perusahaan.

Jarak perpindahan material yang umum akan mengakibatkan ongkos


penanganan material minimum, serta total waktu produksi dapat ditekan.
Semakin lama produk berada didalam pabrik, semakin bertambah ongkos yang
harus dikeluarkan. Dengan demikian, semakin rendah total waktu produksi,
maka ongkos produksi yang harus dikeluarkan dapat ditekan. Penggunaan
ruangan yang efektif mengurangi investasi gedung serta menjadikan mesin,
peralatan dan area kerja disusun sebaik mungkin sehingga aliran material
menjadi lancar. Aliran material yang lancar dapat memberikan kenyamanan pada
pekerja sehingga meningkatkan kepuasan dan keselamatan kerja.

A.2. Jenis – Jenis Tata Letak Pabrik


Tata letak pabrik dibedakan dalam beberapa jenis, sesuai dengan cara
penempatan fasilitas – fasilitasnya, yaitu :
a. Tata Letak Produk (Product Layout)
Tataletak produk merupakan tataletak dimana mesin / fasilitas dan
pusat kerja ditempatkan sesuai dengan urutan proses pembuatan
suatu produk. Tata letak produk atau dikenal juga sebagai tata letak

BLest 33 dari 132


Manajemen Produksi

lini produksi, dipilih untuk tingkat volume produksi yang tinggi dan
bersifat kontinu
b. Tata Letak Proses (Process Layout)
Tata letak proses memiliki ciri khusus, yaitu adanya pengelompokan
mesin / fasilitas dan pusat kerja dengan fungsi yang sejenis, misalnya,
mesin – mesin yang mengerjakan proses pengguntingan
dikelompokkan menjadi satu, dan kelompok lain merupakan mesin –
mesin yang mengerjakan proses pembubutan. Tata letak proses
dipilih jika urutan operasi memiliki fleksibilitas yang tinggi.
c. Tata letak Statis (Fixed Layout)
Tata letak statis ditandai dengan karakteristik bahwa mesin, fasilitas
dan pekerja / operator harus dibawa kelokasi dimana benda kerja
tersebut akan dikerjakan proses pembuatannya. Tata letak ini dipilih
untuk pembuatan produk yang berukuran besar, contohnya adalah
tata letak pabrik pada proses pembuatan kapal.

B. PERENCANAAN TATA LETAK YANG SISTEMATIS


Suatu pendekatan yang sistematis dalam merencanakan tata letak fasilitas,
pertama kali dikembangkan oleh R.Muther. pendekatan tersebut dikenal dengan
“Perencanaan Tata Letak yang Sistematis” atau “Systematic layout Planning”
(SLP). SLP dapat diterapan baik untuk perencanaan tata letak pabrik, gudang,
maupun kantor. Prosedur SLP terdiri dari beberapa tahapan, seperti pada
gambar – 1, sebagai berikut :

Data masukan dan kegiatan

Aliran kerja Hubungan antar kegiatan

Diagram hubungan kegiatan

Luas lantai yang Luas lantai yang


dibutuhkan tersedia

Diagram hubungan ruang

Pertimbangan Pembatasan praktis


modifikasi

Pengembangan alternatif Tata


letak

Evaluasi

Gambar – 1 : Perencanaan Tata Letak yang Sistematis

BLest 34 dari 132


Manajemen Produksi

Sebagai kegiatan awal SLP adalah mengumpulkan data masukkan yang tepat,
menganalisa aliran kerja / material dan hubungan antar kegiatan dikombinasikan
maka terbentuklah diagram hubungan (relation diagram). Contoh diagram
hubungan tampak pada gambar – 3.

5 8 7 Lagend

A Rating

10 9 6 E Rating

I Rating

4 2 3 O Rating

U Rating

Gambar – 3 : X Rating
1
Diagram hubungan

5 8 7 Rating Definition
500 200 500
A Absolutely necessary
E Especially important
10 9 6 I Important
1.750 500 75 O Ordinary Closeness OK
U Unimportant
X Undesirable
4 2 3
350 125 125
Rating Reason

Gambar – 4 1 1 Flow of Material


Diagram Hubungan 1000 2 Ease of supervision
Ruangan 3 Common personnel
4 Contact necessary
5 Convenience
6
7
8
9
10

Selanjutnya dengan mempertimbangkan luas lantai yang dibutuhkan dan luas


lantai yang tersedia serta mengkaitkannya dengan diagram hubungan, akan
dihasilkan diagram hubungan ruang (space – relationship diagram). Contoh
berlandaskan pada diagram hubungan ruangan tampak pada gambar – 4.
Dengan berlandaskan pada diagram hubungan ruang, serta modifikasi yang
perlu dilakukan karena alasan – alasan metoda handling, keselamatan kerja,

BLest 35 dari 132


Manajemen Produksi

serta kendala praktis seperti ukuran tanah, bentuk bangunan yang ada, akan
menghasilkan alternatif – alternatif rancangan tata letak ruang. Kemudian
dilakukan evaluasi terhadap alternatif – alternatif tersebut berdasarkan kriteria –
kriteria yang ada, sehingga diperoleh sebuah rancangan tata letak ruang.

Gambar –2 :
Peta Hubungan Antar Kegiatan

1. Officers O
4 E
2. Foreman
I 5 O
5 O 3 U
3. Conference room
U 4 I U
U 2 1 U
4. Parcel Post
U U 2 1 U
O U 2 1 U
5. Parts shipment
U 4 U U 2 I U
U U U 2 1
6. Repair and service parts
E U U U 2
I U U 1
7. Service area
U 1 A 1
E 4 U 1
8. Archiving
U I U
A
9. Testing
E I
I
10. General storage

B.1. PENGUMPULAN DATA


Untuk merancang tata letak sesuai dengan metoda perencanaan tata letak yang
sistematik, diperlukan data yang berhubungan dengan :
a. Produk atau jasa apa yang dihasilkan
b. Jumlah atau volume produk yang diproduksi
c. Urutan proses serta waktu proses masing – masing operasi dan
peralatan / mesin yang diperlukan untuk membuat produk
d. Kegiatan penunjang yang dibutuhkan untuk memproduksi produk
tersebut

Data mengenai produk sangat berpengaruh terhadap tata letak, karena untuk
produk yang berbeda, dibutuhkan urutan proses operasi yang berbeda, sehingga
rancangan tata letak yang diperlukannya akan berlainan. Sedangkan data proses
operasi menentukan jenis dan jumlah peralatan / mesin yang dipakai.

Data lainnya seperti berapa banyak produk yang akan diproduksi dan kapan
akan diproduksi, berhubungan dengan penentuan kapasitas fasilitas produksi.

BLest 36 dari 132


Manajemen Produksi

B.2. ANALISA ALIRAN DAN KEGIATAN


Analisa aliran ditujukan untuk menggambarkan gerakan antar tempat kerja
secara kuantitatif, sedangkan analisa kegiatan mencerminkan tingkat kedekatan
(closeness rating) antar kegiatan atau tempat kerja tersebut.

Beberapa cara yang umum digunakan untuk menganalisa aliran kerja adalah
dengan menggunakan :
a. Peta Perakitan
b. Peta Aliran Proses
c. Pete Proses Operasi
d. Diagram Aliran
e. Peta dari – ke (from – to Chart)

Penelitian tingkat kedekatan dilakukan dengan memperrtimbangkan hubungan –


hubungan organisasi, seperti rentang kendali dan hubungan kerja, aliran
informasi dan dokumen, dan lingkungan kerja.

B.3. DIAGRAM HUBUNGAN


Diagram hubungan bermanfaat untuk mempresentasikan letak relatif kegiatan
pada diagram. Pembentukan diagram ini didasarkan pada informasi yang berasal
dari analisa aliran atau analisa kegiatan atau dengan mengkombinasikan kedua
analisa tersebut.

B.4. LUAS LANTAI


Perhitungan luas lantai yang dibutuhkan dapat dilakukan apabila data – data
seperti jumlah mesin dan peralatan tambahan yang diperlukan telah diperoleh.
Metoda yang umum dipakai untuk menghitung luas lantai adalah :
a. Production Center Method, yaitu metode penentuan luas lantai dimana
pusat kerja terdiri dari satu mesin ditambah dengan seluruh peralatan
yang diperlukan untuk operasi dan pemeliharaan, area untuk operator
dan area untuk penyimpanan benda kerja
b. Space Standard Method, yaitu metode yang menentukan luas lantai
berrdasarkan standar – standar yang telah ditentukan untuk industri –
industri khusus / telah ada.
c. Ratio Trend and Project Method, yaitu metode yang berdasarkan
perhitungan luas lantai tempat kerja pada rasio tertentu, misalnya
meter kuadrat per buruh langsung, meter kuadrat per unit produksi
dan sebagainya

B.5. RANCANGAN TATA LETAK


Pada tahap alternatif dalam SLP, sejumlah alternatif dikembangkan berdasarkan
pada analisa aliran, hubungan kegiatan dan luas lantai yang dibutuhkan dengan
memperhatikan pembatas – pembatas praktis yang ada

Evaluasi dilakukan terhadap alternatif tersebut berdasarkan kriteria tertentu,


misalnya minimasi total jarak pergerakan, minimasi waktu proses, minimasi total
ongkos transportasi atau kombinasi kriteria – kriteria tersebut.

C. KRITERIA PENENTUAN TATA LETAK


Dua faktor / kriteria penentuan tata letak yang digunakan dalam menyusun tata
letak, yaitu :
a. Biaya pemindahan bahan

BLest 37 dari 132


Manajemen Produksi

b. Efektivitas kerja

C.1. KRITERIA KUANTITATIF


Minimasi biaya biasanya digunakan pada tata letak yang terbagi dalam dua
kelompok, yaitu :
1. Biaya bongkar muat
2. Biaya pemindahan

Biaya bongkar muat, fungsi dari frekuensi pemindahan, sedangkan biaya


pemindahan, fungsi dari frekuansi beban dan jarak tempuh. Kedua biaya ini
menimbulkan konsep “mendekatkan kegiatan – kegiatan yang berinteraksi tinggi”
Salah satu alat yang digunakan dalam analisa kuantitatif adalah :

nn
C = ¶¶7LM&LM'LM
i=1 j=1

Dimana :
Tij = Trip antara bagian i dan j
Cij = Biaya / satuan jarak / trip antara i dan j
Dij = Jarak antara i dan j
N = Jumlah bagian
C = Biaya total

Maka yang diharapkan adalah meminimumkan C

Contoh : sebuah pabrik pembuat kipas angin mempunyai beberapa bagian


proses produksi (stasiun produksi)

Nomor Nama kegiatan Luas (m2)


1 Pengecatan 500
2 Pemotongan logam 350
3 Pengelasan 600
4 Mesin kecil 225
5 Pengerjaan logam 600
6 Pengendalian 275
7 Kipas 500
8 Rakitan 650

1. Trip matrik = mengetahui jumlah trip antara pasangan – pasangan


bagian. Dapat diperoleh dari routing sheet atau peta proses
2. Biaya pemindahan / satuan jarak / trip
Biayanya bisa bervariasi, karena tergantung pada alat pemindah
barang yang digunakan, misalnya : conveyor, forklift truck dsb
3. Alokasi area awal

BLest 38 dari 132


Manajemen Produksi

1. Trip Matrik : jumlah trip / minggu

Dari ke bagian
Bagian 1 2 3 4 5 6 7 8
1 - 75 100 30 40 - 30 50
2 - 100 - 450 - - -
3 - - 70 - 30 80
4 - 30 70 - 100
5 - 20 60 -
6 - - -
7 - 20
8 -

2. Biaya pemindahan barang

Bagian 1 2 3 4 5 6 7 8
1 - 0.05 0.08 0.07 0.05 0.40 0.05 0.04
2 - 0.04 0.05 0.06 0.10 0.05 0.06
3 - 0.06 0.05 0.10 0.05 0.07
4 - 0.06 0.10 0.05 0.06
5 - 0.10 0.05 0.05
6 - 0.05 0.05
7 - 0.05
8 -

3. Jarak sementara antar bagian

Bagian 1 2 3 4 5 6 7 8
1 - 30 50 30 60 80 80 100
2 - 40 50 80 70 100 90
3 - 30 50 40 70 60
4 - 30 50 60 70
5 - 30 40 50
6 - 50 40
7 - 30
8 -

Biaya total pemindahan


Dari ke bagian
Bagian 1 2 3 4 5 6 7 8
1 - 112.5 400 36 120 0 120 200
2 - 160 0 720 0 0 0
3 - 0 175 0 105 236
4 - 54 350 0 420
5 - 60 120 0
6 - 0 0
7 - 180
8 -

BLest 39 dari 132


Manajemen Produksi

Receiving
1 4 5 7
Block

Shipping
2 2 6 8
Dock
Lay Out awal
Biaya Total = 112.5 + 400 + 36 + … + 0 + 180 = 3668.5
C termurah ?
Ubah posisi beberapa departemen, evaluasi kembali matriks jarak, hitung
ongkos total

C.2. KRITERIA KUALITATIF


Digunakan jika keterkaitan antara kegiatan diukur secara kualitatif. Metode ini
dikembangkan oleh Muther, Wheeler dengan membuat derajat kedekatan
sebagai berikut :
A – Absolutely necessary
E – Especially
I – Important
O – Ordinary closeness okay
U – Unimportant
X – Undesirable

Caranya dengan menyusun satu peta yang disebut Activity Relationship Chart,
yang akan menjadi dasar bagi penyusunan diagram awal.

TUGAS DAN LATIHAN


Penentuan Tata Letak Sistem Produksi dengan 8 (delapan) stasiun kerja dan 1
(satu) Stasiun Pendukung.

BLest 40 dari 132


Manajemen Produksi

5 PERAMALAN PERMINTAAN

A. TUJUAN
1. Memahami teknik dan metoda peramalan yang biasa digunakan dalam
usaha bisnis
2. Memeberikan kemampuan untuk memilih metoda peramalan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi
3. Memeberikan kemampuan untuk meramalkan volume kegiatan bisnis
(penjualan, persediaan dsb)

B. PENGANTAR
Di dalam kegiatan bisnis, peramalan merupakan bagian integral dari proses
pengambilan keputusan. Pada umumnya penetapan tujuan bisnis membutuhkan
suatu prediksi atau perkiraan mengenai kondisi lingkungan, untuk kemudian
menentukan rangkaian tindakan yang diharapkan akan menghasilkan tercapainya
tujuan tersebut. Dengan demikian, peramalan berperan untuk meningkatkan usaha
manajemen dalam mengurangi ketergantungannya pada faktor nasib, serta
menunjang agar tindakan manajemen lebih rasional dalam menghadapi
kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

Alasan utama untuk melaksanakan suatu peramalan, pada dasarnya disebabkan


karena adanya ketidakpastian masa mendatang. Dalam manajemen, ketidakpastian
tersebut harus dihadapi dengan perencanaan yang tepat. Peramalan adalah alat
bantu bagi manajemen dalam menyusun perencanaan sehingga dapat digunakan
untuk menghadapi ketidakpastian di masa mendatang.

C. MATERI :
1. TAXONOMI METODA PERAMALAN
Ditinjau dari jangkauan kurun waktu yang ingin dicakup pada suatu
peramalan, dapat dibedakan atas peramalan jangka panjang ( Long range
forecast ), peramalan jangka menengah (Intermediate range forecast) dan
peramalan jangka pendek (Short range forecast). Secara umum, karakteristik
dari ketiga kategori peramalan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel – 1 : Taxonomi Metoda Peramalan

Range category Representative


Application characteristics Forecast Methods
of forecast Horizon or Time Span
Technological
Business planning : Economies
• Product planning Demographic
Long range Broad, general often
Generally 5 years or more • Research Programming Marketing
forecast only qualitative
• Capital planning Studies
• Plant location and Expansion Judgement

Aggregate planning : Numerical Collection opinion


• Capital and cash budgets Not necessary at the Time series Regression
Intermediate range Generally 1 season to 2
• Sales planning item level Economic Index
forecast years
• Production and Inventory Estimate of reliability correlation or
budgeting needed combination judgement
Short run control : May be at item level
• Adjustment of production and Trend extrapolation
for planning of
employment levels graphical
activity
Short range Generally less than 1 Explosion of short-term
• Purchasing Should be at item
forecast season ; 1 day to year product family forecasts
• Job scheduling level adjustment of
judgement
• Project assignment purchases and
Exponential smoothing
• Overtime decisions inventory
Sumber : Makidrakis, Forecasting Method

BLest 41 dari 132


Manajemen Produksi

Ditinjau dari segi tekniknya, metode peramalan dapat diklasifikasikan atas :


a. Metoda Time Series
b. Metoda Kausal

1. Kelompok Metoda Qualitative


Adalah metode peramalan dengan menggunakan seluruh informasi
dan pertimbangan yang berhubungan dengan permintaan akan
produk. Teknik ini sering digunakan untuk meramalkan penjualan
produk baru atau pada keadaan dimana data masa lalu tidak dipunyai.
Jadi informasi dan pertimbangan yang digunakan didasarkan pada
intuisi, pendapat dan sejumlah pengetahuan, yang tentunya dipunyai
oleh kelompok orang yang mempunyai dasar pendidikan yang cukup
serta pengalaman yang luas tentang permasalahan yang ingin
diramalkan.

Teknik peramalan yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya


adalah :
¾Field Sales Force
¾Jury of executive
¾User’s Expectation
¾Delphi methode

2. Kelompok Metode Causal


Metode Causal ini mengasumsikan variabel yang akan diramalkan
memperhatikan hubungan sebab-akibat dengan satu atau lebih
variabel independen dan memanfaatkan hubungan ini bagi tujuan –
tujuan peramalan. Hubungan sebab akibat ini digambarkan seperti
gambar dibawah ini :

System

Input Cause and Effect Output


Relationship

Disini terlihat bahwa setiap masukan dalam sistem akan


mempengaruhi keluaran dalam hubungan seperti yang diperkirakan
dengan anggapan bahwa hubungan sebab akibat itu senantiasa tetap.
Dengan demikian langkah utama dalam peramalan jenis ini adalah
untuk menemukan hubungan sebab akibat tersebut dengan
memperhatikan keluaran dari sistem dan menghubungkannya dengan
masukan yang sesuai. Setelah hubungan ini diformulasikan,
hubungan ini akan digunakan dalam meramalkan hubungan –
hubungan selanjutnya pada masa yang akan datang.

Teknik – teknik peramalan yang termasuk dalam kelompok ini antara


lain :
1. Model Peramalan Regresi
2. Model peramalan Ekonometrik
3. Model Inpu – Output Ekonomis
4. Life Cycle Analysis

BLest 42 dari 132


Manajemen Produksi

3. Kelompok Metoda Analisa Time Sries.


Kelompok analisa time series adalah teknik peramalan yang disusun
dengan menggunakan suatu analisa statistik terhadap data pada
masa yang lalu. Tujuan teknik peramalan ini adalah berusaha untuk
meramalkan pergerakan masa mendatang dari suatu deret berkala
(time series), berdasarkan pergerakan berkala sebelumnya dengan
mengabaikan kaitan yang mungkin ada antara variabel tersebut
dengan variabel – variabel yang lain.

Kelompok peramalan yang digolongkan sebagai peramalan


Quantitative, dimana didalamnya termasuk kelompok metode Causal
dan kelompok metode Analisa Time Series, hanya dapat digunakan
apabila dipenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1. Informasi mengenai masa lalu tersedia
2. Informasi tersebut dapat dikuantifikasikan
3. Dapat diasumsikan bahwa pola data masa lalu akan
berlanjut pada masa yang akan datang

Syarat yang terakhir itu dikenal sebagai asumsi kontinuitas


(Assumption of Continuity), yang merupakan premis dasar untuk
seluruh metode Quantitative.

Tidak sebagaimana metode Causal, teknik peramalan Time Series


menggambarkan proses sistemnya sebagai sebuah “black box” dan
tidak berusaha untuk mengetahui hubungan sebab – akibat atau
mengabaikannya, dengan pertimbangan bahwa :
1. Kesulitan untuk memahami proses sistem tersebut
2. Titik perhatian utamanya adalah mengenai perkiraan
akan apa yang akan terjadi dan bukan bagaimana hal
tersebut terjadi.

Teknik – teknik yang termasuk dalam kelompok Analisa Time Series


ini adalah antara lain :
1. Single Moving Averages (SMA)
2. Single Exponential Smoothing (SES)
3. Adaptive Response Rate Single Exponential Smoothing
(ARRSES)
4. Double Moving Average (DMA)
5. Brown’s One Parameter Linear Exponential Smoothing
(BOPLES)
6. Holt’s Two Parameter Linear Exponential Smoothing
7. Brown’s Quadratic Exponential Smoothing (BQES)

Kelompok metode peramalan Time Series ini mempunyai ketepatan


yang cukup baik dan biaya yang cukup rendah. Mengenai teknik –
teknik tersebut akan dibahas lebih lanjut pada lampiran.

2. PEMILIHAN METODE PERAMALAN


Suatu teknik peramalan yang tepat untuk suatu keadaan yang akan datang
dan sangat berguna untuk para pengambil keputusan, karena peramalan
yang baik merupakan salah satu syarat untuk menghasilkan keputusan yang
baik pula. Dengan memilih metode peramalan yang tepat akan mengurangi

BLest 43 dari 132


Manajemen Produksi

salah satu masalah dalam perencanaan yaitu mengurangi faktor


ketidakpastian.

Sesungguhnya peramalan hanyalah sebuah “perkiraan” akan tetapi karena


perrkembangan metodenya,”perkiraan” ini dapat memberikan hasil yang
baik. Walaupun demikian masih mungkin terjadi adanya penyimpangan,
sebagaimana umumnya suatu metode ilmiah lainnya, paling tidak faktor
ketidakpastian sulit untuk diantisipasi secara tepat. Ada pepatah yang
terkenal dalam dunia ekonomi, khususnya tentang peramalan yaitu :
“Forecasting is like trying to drive a car blindfolded and following directions
given by a person who is looking out of the back window”.

Apabila demikian adanya, bahwa peramalan tetap merupakan


ketidakpastian, mengapa kita tetap menggunakan peramalan ?

Jawabannya sederhana yaitu bahwa semua keputusan yang diambil


mengenai masa depan akan didasarkan pada sesuatu ramalan tertentu.
Dapat dipastikan bahwa perencanaan yang didasarkan pada peramalan
akan lebih berbobot dan lebih akurat daripada peramalan yang didasarkan
pada intuisi belaka.

Untuk menentukan tepat tidaknya suatu metode peramalan dengan data


yang dipunyai, ada beberapa kriteria. Dalam banyak situasi, ketepatan
(accuracy) digunakan sebagai kriteria untuk memilih metode peramalan yang
baik. Seringkali istilah ketepatan ini menunjukan bagaimana model
peramalan dapat menghasilkan hasil yang baik.

Sesungguhnya terdapat kriteria yang lain yang juga digunakan untuk memilih
metode peramalan yaitu antara lain :
a. Pola data
b. Faktor biaya peramalan
c. Faktor kemudahan menerapkannya.

Metode atau ukuran yang umum digunakan untuk mengukur ketepatan


peramalan adalah :
a. AVERAGE ERROR
Besaran ini dinyatakan sebagai :
Ht
AE =
N
Dimana :
et = kesalahan yang terjadi, yaitu selisih antara peramalan dengan
kenyataan, atau dinyatakan sebagai :
= F(t) – X(t)
N = Jumlah peramalan

Ukuran ini mempunyai kelemahan, bahwa error positif & error negatif
akan saling menghilangkan, sehingga untuk suatu jumlah sample yang
relatif besar, average error ini akan mendekati nol walaupun pada
kenyataannya terlihat adanya penyinpangan.

b. MEAN ABSOLUTE DEVIATION (MEAN ABSOLUTE ERROR)

BLest 44 dari 132


Manajemen Produksi

Besaran ini sering dinyatakan sebagai :


l HWO
MAD =
N
Pengukuran kesalahan ini mirip dengan Average Error, hanya saja
kesalahan yang diambil adalah angka mutlaknya, sehingga kelemahan
seperti pada AE tidak terjadi

c. STANDARD ERROR OF ESTIMATE


Besaran ini dinyatakan sebagai :

HW2

SEE = ¥ (N – f)
Metode ini memberikan informasi yang berguna untuk memilih metode
peramalan yang tepat, serta besarnya parameter – parameter yang
digunakan.

d. MEAN SQUARE ERROR


Besaran ini dinyatakan sebagai :
 HW 2
MSE =
N
Metode ini memberikan informasi seperti yang diberikan pengukuran
MAD, tetapi pengukuran ini memperhatikan error secara lebih teliti
dengan ‘menghukum’ kesalahan tersebut lebih tinggi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa urutan langkah yang


ditempuh dalam memilih model yang tepat untuk sekumpulan data
adalah sebagai berikut :
1. IDENTIFIKASI
Yaitu merupakan proses pemilihan model peramalan
2. ESTIMASI / PARAMETRISASI
Merupakan proses pemilihan nilai parameter – parameter yang
akan digunakan pada model peramalan
3. VERIFIKASI atau DIAGNOSTIC – CHECKS
Merupakan proses untuk memeriksa ketepatan model yang
dihasilkan serta memberikan petunjuk kearah perbaikan model.

BLest 45 dari 132


Manajemen Produksi

LAMPIRAN A
METODA PERAMALAN TIME SERIES

1. SINGLE MOVING AVERAGES (SMA)


Teknik peramalan single moving averages mengasumsikan bahwasanya pola dari
data historis dapat dengan baik dipresentasikan dengan suatu perhitungan rata –
rata dari sejumlah data masa lalu. Jumlah data masa lalu itu berurutan sebanyak N,
merupakan periode dalam menghitung harga rata –rata.

Model single moving averages ini ditunjukan dalam persamaan berikut :


X t + X t-1 + …….. + X t-N+1
F t+1 =
N
atau

X t-1 + X t-2 + …….. + X t-N


Ft =
N
Dimana :
F t = Peramalan untuk periode waktu t
X t = Kenyataan permintaan pada periode t
N = Banyaknya periode dalam menghitung harga rata – rata. Besarnya N
dipilih berdasarkan hasil standard error of estimate yang terkecil yang
diberikan oleh berbagai alternatif harga N pada tahap inisialisasi.

Dalam hal ini, Moving Average untuk periode waktu (t) merupakan perhitungan rata
– rata dari N data terbaru.

Beberapa karakteristik yang perlu diketahui dari model ini adalah :


a. Pembobotan yang sama diberikan pada tiap – tiap N data terbaru. Dengan
pembobotan nol pada seluruh data masa lalu yang lain.
b. Tingkat responsif dari pada Moving Average terhadap perubahan yang
terjadi dalam pola data, tergantung pada jumlah periode yang dilibatkan itu.

Umumnya semakin besar harga N (yakni semakin banyak periode yang dilibatkan),
akan semakin mengurangi kesensitifan Moving Average tesebut. Sebaliknya, suatu
harga N yang terkecil cenderung akan mempercepat responsif Moving Averagenya.

2. SINGLE EXPONENTIAL SMOOTHING (SES)


Teknik peramalan single exponential smoothing ini menghasilkan peramalan baru
dengan ‘mengatur’ (adjust) peramalan sebelumnya. Untuk merefleksikan kesalahan
peramalannya. Dengan demikian peramalannya dapat terus diperbaiki berdasarkan
pengalaman masa lalunya.

Tipe ini memiliki keunggulan, dimana data – data terbaru dikenalkan pembobotan
yang lebih besar, karena suatu model Exponential Smoothing akan bereaksi lebih
cepat terhadap perubahan – perubahan dalam kondisi ekonomi, dibandingkan
dengan menggunakan model Moving Average.

Perumusan dasar bagi perhitungan statistik dari Single Exponential Smoothing ini
adalah dikembangkan dari persamaan pada moving average yaitu :

BLest 46 dari 132


Manajemen Produksi

Xt Ft
F t+1 = - + Ft
N N

Diubah menjadi
1 1
F t+1 = Xt + ( 1 - ).Ft
N N

'LVLQL DQJND  1 GLQ\DWDNDQ VHEDJDL  .   \DQJ PHUXSDNDQ ERERW SDGD WHNQLN
exponential smoothing ini sehingga dapat dirumuskan :

F t+1 .;t + ( 1 –. )t

Karena N merupakan bilangan positif yang senantiasa lebih besar dari nol, maka
harga akan bergerak dari nol (untuk N = ) hingga 1 (untuk N = 1)

Dimana :

F t+1 = Peramalan untuk periode waktu t + 1

Ft = Peramalan untuk periode waktu t

Xt = Kenyataan permintaan pada periode t

. .RQVWDQWDVPRRWKLQJ . \DQJGLSLOLKGDQGLWHQWXNDQROHK


siperamal (forecaster) berdasarkan hasil standard error of estimate
yang tekecil, yang diberikan oleh berbagai alternatif harga.

Keterbatasan dari model single exponential smoothing ini adalah bahwa untuk
mencapai ketepatan teknis, maka model ini hanya akan menghasilkan keputusan.

3. ADAPTIVE RESPONSE RATE SINGLE EXPONENTIAL SMOOTHING (ARRSES)


Secara konseptual teknik ini mirip dengan teknik single exponential smoothing. Satu
– satunya perbedaan, yang memang cukup penting, adalah bahwa harga dari
konstanta smoothingnya (. VHQDQWLDVDEHUYDULDVL

Jelasnya harga berubah (beradaptasi) dengan sendirinya, bilamana suatu


perubahan dalam pola data menuntut suatu perubahan yang dibutuhkan.

Keunggulan model ini adalah teknik ini mampu mereprentasikan hampir seluruh
pola data.

Persamaan dasar bagi model ini adalah :

F t+1 .t . X t + (1 –.t ) F t

Untuk persiapan dari peramalan – peramalannya, maka beberapa perhitungan


LQWHUPHGLDWH GLSHUOXNDQ 'HQJDQ PHQJJXQDNDQ  VHEDJDL SDUDPHWHU HUURU
VPRRWKLQJ  DNDQGLperolleh :

BLest 47 dari 132


Manajemen Produksi

RE (t-1)
ù(t) =
ME (t-1)

RE (t) = Smoothed Average Error


((t) + (1- 5((t-1)

ME (t) = Smoothed Absolute Error


((t) + (1- 0((t-1)

E (t) = Error / penyimpangan dari suatu harga peramalan terhadap harga


sebenarnya.

Suatu keterbatasan dari model ini adalah bahea model ini cenderung menghasilkan
peramalan – peramalan yang titik baliknya tertinggal 1 perioda karena teknik ni
kurang mampu mengantisipasi titik balik kala waktu yang diramalkan.

4. DOUBLE MOVING AVERAGES (DMA)


Bilamana suatu trend terjadi dalam data, maka Single Moving Average akan
tertinggal dibelakang data sebenarnya. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, suatu
model Linear Moving Averages atau umumnya dikenal sebagai model Double
Moving Average, dapat dipergunakan.

Untuk menghitung Double Moving Average, dapat dipergunakan suatu titik data
tersendiri guna menghasilkan suatu Moving Average ke dua.

Persamaan dasar untuk model ini adalah :


X (t) + X (t-1) ………. + X (t-N+1)
S1 (t) =
N

S (t) + S (t-1) ………. + S (t-N+1)


S2 (t) =
N

a (t) = 2. (S1 (t) – S2 (t))

2
b (t) = . (S1 (t) – S2 (t))
N–1

F (t+m) = a (t) + b (t).m

Dimana :
S1 (t) = Peramalan SMA untuk periode waktu t
S2 (t) = Peramalan DMA untuk periode waktu t
m = Periode waktu proyeksi kedepan atau jumlah periode waktu dari
periode saat ini (t) ke periode mendatang untuk suatu
peramalan yang akan ditentukan

BLest 48 dari 132


Manajemen Produksi

5. BROWN’S ONE PARAMETER LINEAR EXPONENTIAL SMOOTHING (BOPLES)


Bilaman terjadi suatu pola pertumbuhan atau trend dalam suatu kurun waktu
tertentu, maka model peramalan Single Exponential Smoothing akan cenderung
tertinggal dari titik pergerakan yang sesungguhnya. Hal ini terjadi karena model
SES didasarkan pada pengasumsian suatu variasi random pada suatu harga
konstanta.

Jika terjadi suatu trend linear dalam data, baik positif maupun negatif, maka teknik
BOPLES atau dikenal sebagai teknik Double Exponential Smoothing ini mampu
menghasilkan peramalan yang lebih baik.

Persamaan – persamaan dasar dikembangkan pada model ini adalah :

S’ (t) = .;(t) + (1 –. 6´(t-1)

S” (t) .;(t) + (1 –. 6´(t-1)

a (t) = 2. S’ (t) – S” (t)

.
b (t)= (S’ (t) – S” (t))
1 –.
dan digunakan untuk meramal :

F (t+m) = a (t) + b (t). m

Dimana :
S’ (t) = Statistik penghalusan pertama (First Smoothing Statistic)

S” (t) = Statistic penghalusan kedua (Second Smoothing Statistic)

m = Periode waktu proyeksi ke depan atau jumlah periode waktu dari


periode saat ini (t), ke periode mendatang dimana suatu peramalan
akan ditentukan.

6. BROWN’S QUADRATIC EXPONENTIAL SMOOTHING (BQES)


Bilaman dasar pola datanya bersifat kwadratik, harus digunakan bentuk
penghalusan yang lebih tinggi.

Metode BQES ini dilakukan dengan jalan melakukan penghalusan sebanyak tiga
kali (triple smoothing), untuk menyesuaikan peramlan agar dapat mengikuti
perubahan pada pola kwadratiknya.

Persamaan – persamaan dasar untuk model Brown’s Quadratic Exponential


Smoothing adalah :

S’ (t) .;(t) + (1 –. 6¶(t – 1)

S” (t) .6¶(t) + (1 –. 6´(t –1)

S’’’(t) .6´(t) + (1 –. 6¶¶¶(t-1)

BLest 49 dari 132


Manajemen Produksi

a (t) = 3 . S’ (t) – 3 . S” (t – 1) – S’’’ (t – 1)

.
b (t) = ( (6 – 5) . S (t) – (10 -. 6´(t) + (4 -. 6¶¶¶(t) )
2 (1 –. 2

.2
c (t) = (S (t) – 2 S” (t) + S’’’ (t) )
(1 –. 2

digunakan untuk meramalkan :

F (t + m) = a (t) + b (t) . m + ½ c (t) . m

Dimana :

S’ (t) = statistik penghalusan pertama (First Smoothing Statistic)


S” (t) = statistik penghalusan ke dua (Second Smoothing Statistic)
S’’’(t) = statistik penghalusan ke tiga (Third Smoothing Statistic)
m = Periode waktu proyeksi ke depan
. = Konstanta Smoothing (penghalusan)

7. HOLT’S TWO PARAMETER LINEAR EXPONENTIAL SMOOTHING


Telah diuraikan sebelumnya bahwa exponential smoothing merupakan suatu alat di
dalam mendeteksi kala waktu dengan suatu komponen trend yang linear. Untuk
mengolah data seperti ini, dikenal suatu metode lain yaitu Holt’s Two Parameter
Linear Exponential Smoothing, atau disebut Two Parameter Linear Exponential
Smoothing.

Secara konseptual kedua teknik ini mirip, kecuali bahwa dengan metode Two
Parameter ini trend yang terjadi pada kala waktu akan dideteksi dengan suatu
konstanta smoothing yang dikenakan pada data sebenarnya. Keunggulan teknik ini
adalah fleksibilitasnya, tetapi sekaligus membutuhkan biaya dan waktu yang lebih
banyak dalam upaya menentukan kedua parameternya (melalui proses inisialisasi)

Persamaan dasar metode Two Parameter Exponential Smoothing ini adalah :

S (i) .. x(i) + (1 –.  6 L– 1 ) + c (i – 1) )

c (i)  6(i) – S (i – 1) ) + (1 – F(i – 1)

dimana :

S (i) = adalah smoothing Statistic


C(i) = adalah peramalan untuk memperbaiki penaksiran trend dari periode
Sebelumnya

Meskipun teknik ini belum mampu mengantisipasi titik – titik balik, sebagaimana umum
terjadi pada model Time Series, tetapi metode ini sangat reaktif terhadap perubahan –
perubahan dasar dalam pola datanya. Oleh karena itu metode ini kerap digunakan
sebagai alternatif.

BLest 50 dari 132


Manajemen Produksi

6 JADWAL INDUK PRODUKSI (JIP)

A. TUJUAN
Diharapkan peserta dapat memahami pentingnya perencanaan produksi, sebagai
usaha untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya perusahaan,
khususnya penggunaan sumber daya tenaga kerja dan mesin / peralatan.

B. PENGANTAR
Salah satu fungsi manajemen yang penting adalah perencanaan. Manajer harus
mampu menyusun rencana penggunaan sumber daya perusahaan, serta ia harus
mempu melaksanakan fungsi – fungsi manajemen lainnya (pengorganisasian,
komunikasi, koordinasi, kepemimpinan serta motivasi), agar perencanaannya dapat
direalisir dengan baik. Dalam hal ini terjadi siklus fungsi manajemen yang saling
mempengaruhi. Manajemen tidak akan efektif menjalankan kegiatannya, jika
perencanaan yang disusunnya tidak baik. Sebaliknya walaupun rencana kerja
sudah disusun baik, tidak akan berpengaruh banyak, jika kemampuan
pelaksanaannya tidak baik

Manajer pabrik sangat membutuhkan informasi – informasi tentang berapa besar


kapasitas pabrik yang dipunyai, berapa besar kapasitas yang sudah digunakan dan
berapa banyak kapasitas yang tersedia untuk menjalankan rencana kerjanya.

Perencanaan produksi agregate, bertujuan untuk menguji apakah kapasitas pabrik


yang dipunyai masih mampu mengerjakan sejumlah rencana produksi (feasibility).
Andaikata perencanaan agregate ini sudah feasible, maka langkah berikutnya
adalah menyusun rencana produksi untuk setiap item / produk, sehingga
menghasilkan jadwal induk produksi (JIP).

C. MATERI
I. PENDAHULUAN

Dalam lingkungan manufaktur, salah satu tugas departemen PPC adalah membuat
jadwal produksi yang dapat memenuhi fluktuasi permintaan dari berbagai jenis
produk, dengan memperhatikan kapasitas (tenaga kerja, mesin dan sumber daya
lain) yang dipunyai. Makin terbatas fasilitas yang dipunyai, serta makin banyak jenis
produk yang harus dibuat, makin kompleks persoalan PPC-nya. Untuk mengurangi
kompleksitas masalah, perlu ada suatu metodologi yang membantu fungsi PPC
khususnya dalam menetapkan jadwal produksi Induk (MPS)

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai rencana produksi, ada baiknya kita
mengenal beberapa istilah yang nantinya akan sering kita gunakan. Istilah – istilah
tersebut adalah :

Periode Rencana Produksi


Adalah suatu segmen waktu dimana perusahaan menetapkan suatu rencana
produksi. Periode rencana ini bisa berupa satu tahun, satu bulan, satu minggu atau
satuan waktu lain. Panjang segmen waktu perencanaan ini dipengaruhi oleh
ketepatan untuk meramalkan keadaan pasar, kemampuan untuk melakukan

BLest 51 dari 132


Manajemen Produksi

penyesuaian terhadap perubahan pasar, lamanya tenggang waktu pengadaan


fasilitas / sumber daya yang dibutuhkan, tenggang waktu produksi dan lain – lain.

Unit Produksi Agregat


Jika perusahaan membuat produk bermacam – macam, baik model maupun
jenisnya, maka dapat dihitung permintaan totalnya dengan menggunakan satuan
unit (wakil) tertentu atau menggunakan ukuran ekivalensi. Satuan unit ini sering
disebut unit produksi agregat.

Perencanaan Agregat
Adalah suatu rencana produksi menggunakan unit produksi agregat untuk
merencanakan jumlah produksi produk agregat yang akan dibuat pada suatu
periode rencana. Dalam perencanaan agregat ini sudah dihitung / dipertimbangkan
antara permintaan dengan kapasitas yang dipunyai (sudah feasible)

Disagregasi
Adalah suatu aktivitas untuk mengkonversikan tingkat perencanaan produksi
agregat ke dalam kuantitas dari setiap model produk. Sebagai contoh, dari
perencanaan agregat diketahui bahwa ada permintaan sebanyak 500 unit, dengan
disagregasi mungkin dapat dijabarkan bahwa permintaan tersebut terdiri dari 100
unit produk A, 250 unit Produk B, dan 150 unit Produk C

Jadwal Induk Produksi


Sebagai hasil disagregasi dari rencana produksi agregat, berupa daftar produk –
produk yang harus dibuat beserta kuantitasnya masing – masing untuk suatu
perioda rencana produksi.

II. PENGOLAHAN RAMALAN PENJUALAN MENJADI RENCANA PRODUKSI

Masalah yang pertama dalam perencanaan dan pengendalian produksi adalah


menyusun rencana produksi berdasarkan data ramalan penjualan. Mengingat
persediaan (inventory) merupakan penghubung antara produksi dan penjualan,
maka rencana produksi yang disusun sekaligus mencakup pula rencana persediaan
(inventory)

Rencana produksi dapat disusun dengan mempertimbangkan hal berikut :


1. Pengecekan apakah total permintaan dalam periode yang diramalkan
(biasanya 1 tahun) masih dalam batas kemampuan / kapasitas dari sarana
(mesin, peralatan, tenaga kerja) yang ada
2. Penetapan besarnya persediaan penyangga / persediaan cadangan yang
perlu disediakan
3. Perhitungan dan penyesuaian terhadap jangka waktu antara saat
penjualan dengan saat penerimaan produk di gudang barang jadi
4. Perhitungan jumlah hari kerja untuk setiap minggu ataupun bulan.
Selanjutnya ditetapkan kecepatan produksi yang dibutuhkan untuk setiap
minggu ataupun bulan
5. Kembangkan kemungkingan – kemungkinan / alternatif – alternatif rencana
produksi dan lakukan pemilihan alternatif mana yang paling ekonomis

BLest 52 dari 132


Manajemen Produksi

III. PERENCANAAN AGREGAT DENGAN MODEL TRANSPORTASI (LAND)

Sebagai contoh : sebuah perusahaan akan menyusun rencana produksi untuk 4


periode, dimana sumber daya yang dimilikinya selama 4 periode tersebut adalah
sebagai berikut :

Permintaan Kapasitas jam Kapasitas jam Kemampuan


T
(unit) kerja normal (unit) kerja lembur (unit) subkontrak (unit)
1 500 700 250 500
2 800 800 250 500
3 1700 900 250 500
4 900 900 250 500

Diketahui pula bahwa pada periode pertama sudah terdapat persediaan awal
sebesar 100 unit dan pada akhir periode 4 diinginkan adanya persediaan sebesar
150 unit. Sedangkan ongkos produksi pada jam kerja normal (regular time =RT)
=Rp.125/unit. Ongkos untuk mengadakan sub kontrak adalah Rp. 150/unit dan
untuk menyimpan produk dikenakan ongkos Rp. 20 / unit / periode.

Penyelesaian :

Periode Kapasitas Kapasitas


JIP
1 2 3 4 sisa total
Persediaan 100 20 40 60
RT 300 300 700 700
1 OT 250 250
SK 500 500
RT 800 800 800
2 OT 250 250 250
SK 500 500
RT 900 900 900
3 OT 250 250 250
SK 500 500
RT 900 900 900
4 OT 150 100 250 150
SK 500 500
permintaan 500 800 1700 1050 6000 4050

IV. JADWAL INDUK PRODUKSI (MASTER PRODUCTION SCHEDULE / MPS)

Setelah perencanaan produksi agregat ini selesai dibuat langkah berikutnya adalah
disagregasi guna menyusun jadwal induk produksinya (MPS). MPS menentukan
jumlah setiap produk yang harus dibuat disetiap periode perencanaan. MPS
memberikan input untuk membuat Material Requirement Planning (MRP) dan pada
akhirnya dapat dipergunakan untuk membuat Capacity Requirement Planning
(CRP) yang lebih detail (mesin dan tenaga kerja). MPS dibuat dengan
memperhatikan rencana pengiriman yang dibuat oleh devisi pemasaran. Kaitan
lebih jauh, MPS menjadi dasar bagian pembelian untuk meyediakan bahan serta
fasilitasnya. Tanpa MPS yang akurat maka semua akivitas dalam sistem produksi
menjadi kurang efektif. Dalam situasi yang kompetitif, perencanaan produksi

BLest 53 dari 132


Manajemen Produksi

agregat beserta MPS-nya menjadi kunci sukses manufaktur. Keputusan –


keputusan yang diambil pada tingkat agregat menjadi pembatas bagi pengmbilan
keputusan di tingkat bawahnya.

Sebelum membahas prosedur, terlebih dahulu kita harus mengerti situasi pabrik
yang membuat produk banyak variasi. Untuk itu kita buat pengelompokkan (hirarki)
produk, yaitu :
1. Item (j) :
Merupakan produk akhir yang akan dikirim ke konsumen. Suatu item
dibedakan atas item lainnya berdasarkan warna, kemasan, etiket dll
2. Famili (i) :
Merupakan kumpulan item yang menanggung biaya set – up secara
bersama. Set – up diperlukan apabila fasilitas digunakan untuk memproses
item dari famili lain. Bila suatu mesin sudah dipersiapkan untuk membuat
suatu item dalam suatu famili, maka mesin itu tidak perlu menyerap biaya set
– up lagi jika akan dipakai untuk membuat item lain pada famili yang sama.
3. Tipe (h) :
Merupakan kumpulan famili yang memiliki biaya produksi persatuan atau
pola permintaannya relatif sama.

Sebagai ilustrasi atas klasifikasi produk, dapat dilihat pada contoh dibawah ini :

Gambar 1 : hirarki produk macam – macam perusahaan

TIPE (h) : T1 T2 ………….. Tn

FAMILI (i): T1F1 T1F2 T2F1 T2F2 TnF1 TnF2 TnFn

ITEM (j) : T2F1I1 T2F1 I2 T2F2I1 T2F2I2 T2F2I3

Perencanaan produksi agregat, pada prinsipnya adalah membuat rencana produksi


untuk tipe. Sedangkan MPS adalah rencana produksi untuk famili dan item.
Prosedur pertama dalam membuat MPS adalah menentukan famili mana yang
akan dibuat dalam jadwal produksi induk. Hal ini diuji dengan menghitung
permintaan efektif dari setiap item yang merupakan anggota ssuatu famili.

V. PERMINTAAN EFEKTIF

Permintaan efektif adalah istilah yang dipakai dalam perencanaan produksi


bertingkat yang menunjukan besarnya permintaan pasar yang tidak dapat dipenuhi
dengan persediaan yang ada saat ini. Permintaan efektif besarnya tidak selalu
sama dengan permintaan yang diperoleh dari hasil peramalan. Selain disebabkan
adanya persediaan, juga permintaan efektif ini harus ditelusuri dari item dan famili.

Berikut ini suatu contoh perhitungan permintaan efektif untuk suatu tipe produk
yang terdiri dari item 1 dan 2, data persediaan awal dan permintaannya untuk 5
periode berikutnya adalah sebagai berikut :

BLest 54 dari 132


Manajemen Produksi

Permintaan pada periode ke -


Persediaan awal 1 2 3 4 5
Item 1 600 100 100 200 200 400
Item 2 100 200 200 400 400 800
Total 700 300 300 600 600 1200
Permintaan bersih 0 0 500 600 1200

Dari data pada tabel diatas ternyata permintaan bersih secara total untuk item 2,
pada periode 1 dan 2 dinyatakan sama dengan nol. Hal ini terjadi karena ada
anggapan bahwa untuk memenuhi permintaan periode ke 1 dan ke 2 digunakan
perediaan tipe produk berdasarkan penjumlahan antara item 1 dengan item 2.
Untuk mengatasi masalah ini perlu didefinisikan permintaan efektif untuk setiap item

Di dalam menentukan permintaan efektif dari setiap tingkat produksi akan meliputi
sistem peramalan bertingkat pula, yaitu sebagai berikut :
1. Membuat peramalan agregat setiap tipe produk untuk setiap periode selama
kurun perencanaan.
2. Hasil dari ramalan tipe produk kemudian diagragasikan ke dalam ramalan
item – itemnya. Disagregasi ini dapat dilakukan dengan peramalan proporsi
dari permintaan total tipe produk untuk setiap item yang bersangkutan.
Proporsi ini dapat diperbaharui dengan menggunakan teknik – teknik
peramalan exponential smoothing, yang sangat baik diterapkan untuk
perencanaan jangka pendek pada tingkat yang rinci
3. Sesudah memperbaharui persediaan yang ada untuk setiap item, lalu
permintaan efektif untuk setiap item dapat dihitung dengan formulasi pada
persamaan dibawah ini.

d ij,t = max (O; D ij,t – I ij,t-1 + S ij,t)

dimana :

d ij,t = permintaan efektif item-j dari famili-i pada periode t


D ij,t = permintaan item-j dari famili-ipada periode t
I ij,t-1 = persediaan item-j dari famili-i pada periode t-1
S ij = safety stock item-j dari famili-i

Kembali pada contoh, dengan menggunakan formulasi diatas, akan dapat


dihitung permintaan efektif untuk setiap item dan kemudian diperoleh permintaan
efektif total, sebagai berikut :

Permintaan Efektif pada periode ke -


Persediaan awal 1 2 3 4 5
Item 1 0 0 0 0 400
Item 2 100 200 400 400 800
Permintaan efektif
100 200 400 400 1200
Total tipe produk

Disagregat famili – i :
Langkah berikutnya, menghitung berapa banyak masing – masing famili harus
dibuat pada perioda – t. untuk itu dihitung dengan rumus :

Y i = min (EOQ i ; OS i – I i) i = famili

BLest 55 dari 132


Manajemen Produksi

Dimana :

OS i = 6 OS ij (jumlah maksimum persediaan famili-i)


j-I(j)

Ii = 6 I ij (jumlah persediaan famili-i)


j-I(j)

2 A i C si
EOQ i =
C hi
Dimana :

Ai = Kebutuhan famili-i dalam tahun ini


C si = Ongkos 1 kali set up mesin untuk membuat famili-i
C hi = Ongkos simpan famili-i / tahun

Diatas sudah disebutkan bahwa jumlah famili-I yang dibuat, harus sama dengan
permintaan atas tipenya, pada setiap periode t.

Seandainya :
P h,t = rencana produksi atas tipe produk (h) pada periode t
6 Y i,t = total produksi semua famili-I anggota tipe-h pada periode t
i-H(i)

maka seharusnya : Pht = 6 Y i,t


i-H(i)

apabila tidak sama : (Pht + 6 Y i,t ) perlu penyesuaian


i-H(i)

Tabel 2 : Penyesuaian untuk famili

Kasus Y i,t disesuaikan menjadi Y* i,t dimana

6 Y i,t > P h,t Yi


Y* i,t = P h,t
6 Yi
i-H(i)

6 (OS ijt – S ijt )


i-I(j)

6 Y i,t Y* i,t = min


6(OS ijt – S ijt )
> P h,t

6 Yi)
i-H(i)
i-I(j)
Y I,t + ( P h,t -
i-H(i)
6(OS ijt – S ijt
)
i-H(i)

BLest 56 dari 132


Manajemen Produksi

Dari hasil penyesuaian diperoleh :

6Y* i = Pt
i-H(i)

Selanjutnya dihitung disagregasi dari famili-i(Y i*) menjadi item-j (X i,t) pada
setiap periode t, sehingga diperoleh :

6X ijt = Y* ijt
j-I(j)

Disagregat item-j dari famili-i :

Disagregat tersebut dihitung dengan rumus :

Y* it + 6 (I ij,t-1 - S ijt )
j-I(j)
X ijt = d ijt + S ijt - I ij,t-1
6 d ijt
j-I(j)

Hasil perhitungan rumus diatas mungkin perlu penyesuaian jika terjadi hal – hal
sebagai berikut :

Tabel 3 : penyesuaian untuk item

Apabila X ij,t disesuaikan menjadi X* ij,t


0 < X ij,t < OS ij,t X* ij,t = X ij,t

0 > X ij,t X* ij,t = 0

X ij,t > OS ij,t X* ij,t = OS ij,t

Dengan adanya penyesuaian (X* ij,t), maka perhitungan X ij,t perlu diulang
dengan menghilangkan item-j yang sama dengan nol, dan menurunkan item j
yang sama dengan OS ij,t ( tadinya X ij,t > OS ij,t)

Modifikasi ini perlu silakukan karena ada pembatasan yaitu :

6 X ij,t = Y*it (jumlah item-j = famili-i)


j-I(j)

BLest 57 dari 132


Manajemen Produksi

7 MANAJEMEN MATERIAL

A. TUJUAN
Diharapkan peserta dapat memahami pentingnya material (bahan baku, komponen,
suku cadang dan bahan pembantu lainnya); baik sebagai sumber daya (input)
untuk diproses, maupun sebagai modal karena mempunyai nilai, sehingga perlu di
“manage” agar efisien.

B. PENGANTAR
Material sebagai salah satu bahan masukan (input) pada suatu proses produksi,
mempunyai kedudukan strategis; baik perannya sebagai bahan baku utama,
maupun dilihat dari besarnya nilai investasi yang harus dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhannya.

Ketersediaan material, sangat menentukan kelancaran proses produksi, sehingga


tidak jarang manajemen terpaksa melakukan persediaan material, terutama
sebagai antisipasi seandainya proses produksi atau permintaan atas material
tersebut tidak menentu, atau tidak dapat dikendalikan (bersifat probabilistik)

Dipihak lain, kita menyadari konsekuensi logis dari adanya persediaan material,
yaitu timbulnya biaya – biaya persediaan.

Untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dengan keinginan untuk menghemat


biaya akibat pemenuhannya, perlu dicari metoda yang dapat meningkatkan service
level, sekaligus mampu meminimasi persediaan dan meningkatkan produktivitas
produksi. Untuk menjawab sasaran ini telah banyak dikembangkan model – model
pengendalian material.

Sehubungan dengan itu, untuk menentukan berapa dan kapan kebutuhan suatu
material harus dipenuhi, sangat tergantung pada permintaan, yang sering juga
dicerminkan oleh rencana produksi. Oleh sebab itu, pokok bahasan ini tidak
terlepas dengan pokok bahasan pada modul – modul lainnya; terutama dengan
manajemen permintaan, rencana produksi, struktur biaya yang berlaku serta Pola
Manajemen yang dianut / sistem produksi perusahaan.

C. PENDAHULUAN
Manajemen material, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
manajemen operasi / produksi, dan sangat berpengaruh pada kinerja perusahaan
secara keseluruhan. Material dalam produksi dapat ditemukan sebagai bahan bak,
komponen, suku cadang atau bahan penunjang lainnya.

Dalam suatu perusahaan, khususnya manufaktur, mungkin harus mengelola ribuan


jenis material, yang mempunyai nilai dangat besar. Di Amerika Serikat, selama
periode 1979 – 1983, diperkirakan nilai material yang tersimpan pada industri
pengolahan mencapai rata – rata 13% dari nilai penjualan pertahun, sedangkan
dipedagang besar mencapai 12% dan di pengecer mencapai 10% dari nilai

BLest 58 dari 132


Manajemen Produksi

penjualannya. Sementara itu (untuk perbandingan) di industri pengolahan, nilai laba


setelah pajak hanya mencapai 4,7% dari nilai penjualan.

Jika kita bahas manajemen material, saat ini terdapat dua alternatif pendekatan,
yang bisa digunakan untuk mengendalikan material, yaitu :
1. Persediaan Statistik (sebut saja Persediaan Tradisional)
2. Sistem Pengendalian Material

Tabel 1 menjelaskan perbedaan falsafah antara Persediaan dengan Sistem


Pengendalian Material.

Perbedaan antara teknik persediaan tradisional dengan sistem pengendalian


material bahan

Perhatian Persediaan Tradisionil Sistem Persediaan Material


Obyek Komponen Produk Keterkaitan antar
Data Pengalaman masa lalu komponen
Orientasi Masa lalu Masa depan (rencana produksi)
Metoda Matematika / Statistka Komputerisasi (Proses data)
Pemakaian Independent demand Permintaan dependent
Asumsi Pemakaian uniform Pemakaian (bisa) gradual
Titik pemesanan ulang atau
Pesanan Sesuai dengan kebutuhan
Waktu pesanan tetap

Jika kita menggunakan metode Persediaan Tradisional, berarti kita harus


melakukan pengendalian seluruh persediaan / setiap komponen satu per satu;
mencakup pengendalian biaya, tenggang waktu, pemakaian / data masa lalu dsb.
Lebih lanjut dalam kasus Persediaan Tradisional, permintaan (demand) harus
diperkirakan (forecast).

Pada beberapa pabrik / manufaktur, ada satu sifat dimana kebutuhan (jumlah dan
waktunya) atas suatu komponen dependent pada kebutuhan komponen lain /
produk. Apabila teknik tradisionil diterapkan pada kasus permintaan dependen,
maka akan terjadi salah perkiraan kebutuhan komponen, dimana rencana produksi
(perakitan) tidak akan dicapai dengan tepat, sehingga kumulatif tingkat pelayanan
(service level) akan dibawah harapan. Hal ini terjadi karena adanya akumulasi
kesalahan perkiraan permintaan atas setiap komponen. Sebagai contoh, jika terjadi
kesalahan perkiraan atas dua kompoenen masing – masing sebesar 90%, akibat
kombinasinya (akumulasinya) akan terjadi kesalahan sebesar 81% (90% x 90%).

Secara umum, asumsi untuk penggunaan persediaan tradisionil adalah :


1. Permintaan kontinue dan relatif uniform
2. Permintaan independent
3. Permintaan pada suatu perioda dan lama waktu pengadaan, bersifat
random dan berdistribusi
4. Fluktuasi permintaan atau waktu pengadaan bersifat random disekitar
rata – rata.
5. Kesalahan perkiraan bersifat random dan berdistribusi normal.

Dalam prakteknya, asumsi diatas tidak berlaku pada kasus permintaan dependen.

BLest 59 dari 132


Manajemen Produksi

D. PERSEDIAAN TRADISIONIL
Diatas sudah dijelaskan asumsi dasar tentang persediaan tradisionil. Pada
umumnya, persediaan tradisionil diperlukan untuk mengatasi :
a. Ketidakpastian dari permintaan dan waktu pengadaan
b. Meningkatkan tingkat pelayanan
c. Memungkinkan pembelian dan produksi pada tingkat yang ekonomis
d. Mengatasi kesenjangan karena adanya distribusi (waktu transport)
akibat perpindahan material
e. Meminimasi upaya spekulasi karena tidak menentunya harga.

Secara bisnis, dapat dikatakan bahwa persediaan tradisionil dirancang untuk


memenuhi tingkat pelayanan tertentu (pada konsumen) dengan total biaya
persediaan serendah mungkin; atau untuk itu perlu ditetapkan persediaan yang
mampu menjawab :
a. Material apa yang perlu ada pada persediaan ?
b. Berapa banyaknya ?
c. Kapan harus dibeli ?

Untuk menjawab kebutuhan diatas, para ahli sudah berhasil mengembangkan


model – model persediaan tradisional, yang dirancang untuk menjawab berbagai
kemungkinan kejadian. Pengembangan model – model persediaan tradisional
dipengaruhi oleh :
a. Pola Permintaan; bisa probabilistik – deterministik atau bisa statis –
dinamis.
b. Pola pengadaan; bisa sekaligus, bertahap atau kontinue.
c. Tenggang waktu; bisa deterministik (bisa dikendalikan) atau
probabilistik (tidak bisa dikendalikan).
d. Kendala Fisik; ada keterbatasan dari fasilitas fisik (gudang,
transportasi,dsb)
e. Struktur biaya; pada dasarnya terdapat tiga jenis biaya yang terkait
dengan persediaan tradisional, yaitu :
¾Biaya pengadaan; terdiri dari biaya pembelian / biaya set
upt, administrasi, ekspedisi, transportasi, biaya
penerimaan dan biaya yang mempertimbangkan
potongan harga
¾Biaya penyimpanan ; terdiri dari biaya gudang,
pemeliharaan, pajak, asuransi, energi, tenga kerja dsb.
¾Biaya kekurangan persediaan; biaya untuk memenuhi
permintaan mendadak yang back order atau biaya
sebagai cerminan dari “loss opprtunity”, jika konsumen
tidak mau menunggu karena persediaan habis / kosong.
f. Pola manajemen; merupakan cerminan dari kebijakan manajemen
perusahaan, yang direalisasikan pada kebijakan delivery, cara
pembayaran, pencatatan biaya, dsb.

Untuk mengatasi situasi dimana material yang harus dikendalikan jumlahnya sangat
banyak, adalah bijaksana kalau keputusan pengendalian persediaan dimulai
dengan membuat klasifikasi atas material yang ada. Klasifikasi material biasanya
dilakukan dengan membuat klasifikasi – ABC menurut kaidah Pareto
(lihat gambar 1). Material yang termasuk klas A, merupakan barang yang paling
“penting” untuk perusahaan (fast moving); untuk itu perlu diperhatikan secara lebih

BLest 60 dari 132


Manajemen Produksi

baik. Secara ekstrim, material klas C, merupakan material katagori slow moving,
yang jumlah persediaannya tidak perlu terlalu besar.

Prosen Volume
100%
C
B

100% Prosen Volume


gambar – 1: Kelasifikasi - ABC

selanjutnya (khusus untuk material kelas A dan B), model – model persediaan
mateial tradisional yang sekarang banyak dikembangkan, pada dasarnya dapat
dikelompokkan dalam dua model – P dan model – Q.

model – P; jika periode pemesanan selalu tetap dari waktu ke waktu (lihat gambar –
2 : Persediaan model - P).

S maks
Tingkat
p
e C2
r
s C1
e
d
i
a
a
n T1 T2

t1 t2

BLest 61 dari 132


Manajemen Produksi

model – Q; jika jumlah yang dipesan selalu tetap dari waktu ke waktu (lihat
gambar – 3; Persediaan Model Q)

Tingkat Demand tetap Demand berubah


p
e
r Q1 Q2 Q3 Q4
s R3 R4
e
d
i
a
a R1 R2
n

LT1 LT2

Secara ringkas, perbedaan kedua model diatas adalah sebagai berikut :

Model
Model - P Model – Q
masalah
Apa ? Klasifikasi ABC
Berapa ? Maksimum persediaan = S Pesanan tetap sebesar Q
jika persediaan mencapai
Kapan ? Setiap periode T
titik pesan R

Model persediaan tradisional yang paling klasik dan bersifat umum (memenuhi
kedua model P dan Q), disebut Model Lot Ekonomis (EOQ / Economic Order
Quantity). Model ini diarahkan untuk menemukan jumlah pesanan yang ekonomis,
yaitu jumlah pesanan yang memenuhi total biaya persediaan minimal (lihat gambar
4), dengan mempertimbangkan biaya pemesanan dan penyimpanan (tidak boleh
ada kekurangan persediaan / biaya kekurangan = 0)

Gambar – 4: Fungsi Biaya pada Model EOQ

C Total

Cs

Cp

BLest 62 dari 132


Manajemen Produksi

Model EOQ ini dapat diterapkan jika asumsi – asumsi berikut dipenuhi :
a. Permintaan deterministik dan tetap
b. Tenggang waktu pengadaan = 0
c. Pengadaan sekaligus
d. Harga per unit barang adalah tetap
e. Biaya pemesanan (B) dan penyimpanan (S) adalah tetap

Dengan asumsi diatas, maka perubahan status persediaan dari waktu ke waktu
adalah seperti pada gambar 5.

Dari model diatas, jumlah lot ekonomis (EOQ), diperoleh dari rumusan sebagai
berikut :

2 BD
EOQ = S
Dimana ;
B = biaya pemesanan / order
D = permintaan / tahun
S = biaya simpan / tahun

Gambar – 5: Situasi Persediaan Model EOQ

Tingkat Q= Lot Ekonomi


Persediaan

½ Q = Persediaan
rata - rata
Reorder point

T T T (T = periode pemesanan)

Sedangkan total biaya persediaan minimal, adalah (Cmin) :

EOQ D
C min = S + B
2 EOQ

Dan, periode pemesanan (T = tetap), adalah :

EOQ
T =
D

BLest 63 dari 132


Manajemen Produksi

Gambar – 6: Situasi Persediaan Pengaruh Tenggang Waktu Pengendalian (LT) > 0

Tingkat
Persediaan

Qo
Ro Ro
dt
D LT
T1 T2

LT1 LT2

Jika terdapat penyimpangan dari asumsi yang ditetapkan di atas, maka penerapan
model perlu dimodifikasi. Misalnya jika LT lebih besar dari nol, maka perlu
disediakan penyangga (R) untuk memenuhi kebutuhan selama lead dt time (lihat
gambar – 6). Situasi ini menunjukkan bahwa pemesanan material harus segera
dilakukan seandainya tingkat persediaan di gudang sudah mencapai R = d LT

Lebih lanjut, LT juga bisa bersifat probabilistik, sehingga pada suatu saat bisa
terjadi keterlambatan datangnya pesanan. Untuk itu perlu ditambahkan cadangan
persediaan (Reversed Stock;RS), sebesar :

RS = P (lambat) x D max

Dimana ;
P (lambat) = Probabilitas keterlambatan maksimum
D max = Rata – rata permintaan selama masa keterlambatan maksimum

Begitu pula jika ternata pola permintaan bersifat probabilistik (umumnya dianggap
berdistribusi normal); sehingga akan ada resiko kekurangan persediaan, jika
besarnya permintaan pada suatu periode LT lebih besar dari rata – rata permintaan
(lihat gambar – 7). Dalam praktek, untuk mengatasi situasi ini dikenal adanya
kebijakan tingkat pelayanan ( < 100% ), yang menggambarkan besarnya resiko
yang bisa ditolerir (biaya kekurangan persediaan), akibat dari tidak terpenuhinya
permintaan.

Dalam kondisi ini , tingkat persediaan perlu ditambah sebesar persediaan


pengaman (SS), yaitu :

SS = Z x S Lt

Dimana ;

Z = Batas kanan (pada tabel distribusi normal), sehingga luas kurva =


tingkat pelayanan
S Lt = Deviasi standar tingkat permintaan selama lead time.

BLest 64 dari 132


Manajemen Produksi

Gambar – 7 : Situasi Persediaan Pengaruh Permintaan Probabilistik

R1 R2 R3

d LT

SS

LT1 LT2 LT3

E. SISTEM PENGENDALIAN MATERIAL


Pada akhir – akhir ini, banyak perhatian dicurahkan untuk mengembangkan dan
menerapkan Sistem Pengendalian Material, khususnya untuk kasus permintaan
dependent.

Pada bab ini akan dibahas tiga teknik pengendalian material di manufaktur, yang
masing – masing mempunyai keunggulan serta kelemahan, yaitu Material
Requirement Planning (MRP), Kanban dan Optimized Production Technology
(OPT).

Berikut ini akan dijelaskan masing – masing teknik, mencakup konsep awalnya,
pra-syarat pendahuluan untuk penerapannya dan prinsip – prinsip kerja sertta
usaha – usaha untuk mensukseskan penerapannya.

E.1. MATERIAL REQUIREMENT PLANNING

A. PRINSIP DASAR

MRP (sering disebut MRP-I), dikembangkan di Amerika, setelah perang dunia II.
Sistem ini bekerja dengan bantuan komputer, yang pemakaiannya di bidang
manajemen persediaan berkembang sejak tahun 1960-an. Dalam
perkembangannya, saat ini telah populer istilah MANUFACTURING PLANNING
AND CONTROL (MPC) SYSTEM atau MRP-II; dimana MRP-I menjadi
“jantungnya”.

MRP-I digunakan pada kasus dependent demand; untuk itu kebutuhan akan suatu
komponen / bahan baku harus dihitung (tergantung kebutuhan “induknya”), bukan
diperkirakan.

BLest 65 dari 132


Manajemen Produksi

MRP-II, merupakan perluasan dari MRP-I, dengan melibatkan departemen lain


secara lebih luas sebagai suatu sistem yang terintegrasi; seperti dengan
departemen keuangan, teknik, pembelian dsb.

Pada awalnya, MRP-I bekerja dengan asumsi bahwa fasilitas yang dipunyai
mempunyai kapasitas tidak terbatas. Namun pada perkembangan berikutnya,
sudah memperhatikan situasi dimana kapasitas sumber terbatas.

B. PRINSIP – PRINSIP KERJANYA

Gambar –8, merupakan gambar penyederhanaan dari MRP-II, dimana persoalan


dapat dibagi menjadi tiga bagian; yaitu “bagian-depan, pusat dan bagian-belakang”.

“bagian depan”, terdiri dari beberapa kegiatan yang dapat digolongkan pada tahap
perencanaan dan pengendalian; mencakup Manajemen Permintaan, Perencanaan
Produksi dan Jadwal Induk Produksi (JIP).

Gambar –8: MANUFACTURING PLANNING & CONTROL SYSTEMS


RESOURCE PRODUCTION DEMAND
PLANNING PLANNING MANAGEMENT

ROUGH-CUT MASTER FRONT


CAPACITY PRODUCTION END
PLANNING SCHEDULING

Routing Bills of MATERIAL Inventory


File material status
REQUIREME data
NTS

DETAILE Timed-phased
D requirement
CAPACIT records ENGINE

MATERIAL
AND
CAPACITY
PLANS

ORDER
RELEASE PURCHASING
BACK
END
VENDOR
Shop-floor FOLLOW-UP
Control SYSTEMS

BLest 66 dari 132


Manajemen Produksi

Manajemen permintaan mencakup perkiraan akan permintaan (forecasting),


pesanan langsung, pesanan yang disepakati dan rencana distribusi perusahaan.
Perencanaan produksi menggambarkan komitmen manajemen (produksi) pada
permintaan, untuk itu juga sekaligus menyatakan bagian dari perencanaan strategis
perusahaan.

JIP, merupakan hasil disagregasi dari Perencanaan Produksi dan merupakan


antisipasi atas kemampuan produksi dalam rangka memenuhi permintaan tersebut.

“Bagian pusat”, merupakan suatu set sistem yang secara detail membahas tentang
perencanaan material dan perencanaan kapasitas.

MRP-I, ada pada daerah “pusat” ini dan merupakan jantung dari MRP-II, yang
mengintegrasikan antara JIP (yang merupakan permintaan setiap perioda), struktur
produk (bill of material / BOM) dan status persediaan; untuk menetapkan kebutuhan
seluruh komponen dan bahan bakunya (jumlah dan waktu) disetiap periode
perencanaan.

Rencana kebutuhan material ini kemudian dimodifikasi dengan konsep ukuran Lot,
khususnya jika ada batasan kapasitas dari setiap pusat kerja (mesin center).
Seandainya ada keterbatasan kapasitas, maka (mungkin saja) MPS-nya
disesuaikan atau ukuran Lot diganti, sampai ada kesepakatan antara “permintaan”
dengan “kemampuan” (lihat gambar –9)

“Bagian belakang”, merupakan sistem pelaksana. Pada tahap ini, sistem


pengendalian pabrik (shop-floor), berfungsi untuk menetapkan prioritas seluruh
kegiatan. Khususnya saat pengerjaan disetiap pusat kerja, sehingga sesuai dengan
jadwal yang direncanakan.

Sedang sistem pembelian, merupakan informasi rencana pemesanan untuk


pemasok.
1. MASTER SCHEDULE
2. BILLS OF MATERIAL MR
LEADTIMES P-I
LOT SIZES

Requirements Coverage

Cancel Reorder 3. Work in


process
Reschedule 4. Inventory

5. Purchase
orders
TAKE ACTION

Gambar –9: MRP –I sebagai “alat ukur” keseimbangan kebutuhan vs kemampuan

BLest 67 dari 132


Manajemen Produksi

Proses pengolahan data MRP –I, dapat diuraikan menjadi 4 langkah; proses
netting, lotting, offsetting dan explotion.

Netting adalah proses untuk menetapkan kebutuhan bersih / rencana pemesanan,


mencakup jumlah dan waktunya (lihat tabel-2). Untuk menetapkan kebutuhan
bersih ini, terlebih dahulu perlu diketahui kebutuhan kotor (untuk produk akhir = JIP)
serta status persediaan pada awal perencanaan (t = 0).

Tabel –2: Proses Netting

Periode Rencana 0 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan Kotor - 60 75 90 100 35 100
Rencana Penerimaan - 120 - - - - -
Status Persediaan 25 85 10 - - - -
Kebutuhan Bersih - - - 80 100 35 100

Lotting, adalah proses untuk menentukan besarnya pesanan (ukuran lot) yang
memberikan total biaya persediaan minimal. Banyak model ukuran lot yang sudah
dikembangkan, khususnya untuk MRP –I (single level), diantaranya model Lot for
Lot (LFL), Part Periode Balance (PPB), Silver Meal (SM), Wagner Within (WW),dsb

Contoh berikut (tabel –3), contoh dari ukuran penerapan lot size LFL, yaitu
besarnya pesanan yang sesuai dengan kebutuhan.

Tabel –3 Lotting dengan LFL

Periode Rencana 0 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan Bersih - - 80 100 35 100
Ukuran Lot - - 80 100 35 100

Offsetting, bertujuan untuk menetapakan saat waktu pemesanan, yaitu dengan


menghitung mundur dari / saat kebutuhan bersih sebesar Tenggang waktu
pemesanan (LT) lihat tabel –4.

Tabel –4: Offsetting dengan LT = 2 periode

Periode Rencana 0 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan Bersih - - 80 100 35 100
Long Size - - 80 100 35 100
Rencana Pemesanan 80 100 35 100 - -

Explotion, adalah proses akhir pada suatu level, untuk menghitung kebutuhan kotor
dari “anak – anaknya” / komponen “induknya”. Untuk ini terlebih dahulu perlu
diketahui struktur produk (bill of material / BOM); lihat tabel –5.

BLest 68 dari 132


Manajemen Produksi

Tabel –5 : Explotion

X
Penyusutan 10%

A (1) B (3)
Periode Rencana 0 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan bersih X - - 80 100 35 100
Ukuran Lot X - - 80 100 35 100
Rencana Pemesanan 80 100 35 100 - -
Kebutuhan Kotor A 80 110 39 110 - -
Kebutuhan Kotor B 160 300 105 300 - -

Setelah diketahui kebutuhan kotor dari komponennya, proses – proses netting,


lotting, offsetting dan explotion dari komponen tersebut diulang, sampai seluruh
komponen serta bahan baku dapat diketahui.

C. PRA-SYARAT UNTUK MENSUKSESKAN MRP - II

MRP – II mengasumsikan bahwa sistem mampu “menterjemahkan” MPS menjadi


rencana operasional di shop-floor. Dari pengalaman menunjukkan bahwa asumsi ini
sangat sulit direalisasikan, khususnya jika kapasitas pabrik terbatas. Pada kasus
kapasitas terbatas, maka setiap tahap perhitungan kebutuhan material, perlu dicek
keadaan / kemampuan kapasitas pabriknya. Untuk memecahkan kasus ini,
dibutuhkan waktu komputer yang sangat besar.

Untuk mensukseskan penerapan MRP – II, membutuhkan data yang akurat (BOM,
routing dan file status persediaan), yang ketelitiannya sangat bergantung pada
sistem pendukungnya (perangkat keras dan lunaknya) serta dukungan manajemen
produk untuk mengembangkannya.

Pra-syarat kritis yang lain, adalah pendidikan dan pelatihan operator; baik
pendidikan dan pelatihan ketrampilan maupun mentalnya. Operator perlu dibekali
pengertian dari logika bekerjanya sistem serta mempunyai tanggungjawab serta
disiplin tinggi dalam mengoperasikan sistem.

D. PENERAPAN

Saat ini sudah banyak tersedia perangkat lunak MRP – II. Beberapa paket program
dirancang secara modular, sehingga kita dapat menerapkan sebagian dari paket
yang dirancang. Paket – paket program yang cukup terkenal diantaranya COPICS
dan MAPICS dari IBM; MRP – II dari Oliver Wight; Mac-Pac dari Arthur Andersen &
Co; Material Management dari Hewlett-Packed dan UNIS 90 Sperry Univac.

Lebih dari 1000 perusahaan di Amerika Serikat menggunakan sistem MRP, yang
bermanfaat dalam mengurangi persediaan, memperbaiki tingkat pelayanan dan
meningkatkan effesiensi operasi.

Dari pengalaman, pada perusahaan – perusahaan job order, dapat memberikan


hasil sebagai berikut :
BLest 69 dari 132
Manajemen Produksi

a. Tingkat pelayanan (pengiriman barang pesanan pada atau sebelum


batas pengiriman), meningkat dari 65% menjadi 90%
b. Efisiensi pabrik meningkat dari 65% menjadi 85% pada kapasitas
maksimum.
c. Tingkat persediaan telah berkurang sebesar $ 1,000,000.

E.2. KANBAN DAN VARIASINYA

Kanban, yang dalam bahasa Jepang berarti “Kartu”, telah populer untuk digunakan
sebagai istilah / metoda / sistem untuk mengatur pergerakan material pada suatu
manufaktur (khususnya perakitan). Kanban, sebagai suatu sistem, merupakan
bagian dari konsep Just in Time (JIT), yang peranannya mirip dengan MRP-I dalam
MRP-II.

Populeritas JIT, sebagai suatu sistem pengendalian produksi, mulai tahun 70-an,
ketika Amerika dan Eropa dikejutkan oleh invasi produk – produk Jepang di
pasaran Internasional (seperti mobil, kamera, televisi, video, mainan anak – anak,
dsb), karena produk – produk Jepang mampu bersaing dengan harga murah dan
kualitasnya baik.

A. PRINSIP DASAR

Pada awalnya, Kanban berkembang diperusahaan motor Toyota, bukan sebagai


teknik untuk mengendalikan produksi dan material, akan tetapi sebagai metoda
untuk meningkatkan produktivitas. Latar belakang lingkungan usaha, budaya serta
hubungan kerja antara pengusaha – manajer dan pekerjanya (lihat modul Analisis
dan Perancangan Kerja), sangat memungkinkan Jepang menjadi negara yang
sangat produktif.

Lebih lanjut, Kanban telah berkembang menjadi bagian JIT / TQC, merupakan
metoda yang sangat efektif untuk mengendalikan produksi dan material pada
khususnya dan sekaligus meningkatkan produktivitas.

Sistem JIT dengan suatu keyakinan bahwa persediaan terjadi karena kita telah
salah menetapkan jumlah produksi, salah menetapkan tempat produksi dan salah
memutuskan saat produksinya. Jepang telah membuktikan bahwa dalam beberapa
situasi, persediaan tidak diperlukan.

Sedangkan negara – negara Barat menganggap bahwa persediaan adalah sebagai


konsekuensi logis dari adanya trade-off antara biaya – biaya persediaan; sehingga
keberadaannya dianggap perlu.

B. PRINSIP – PRINSIP KERJA

Saat ini berkembang tiga tipe sistem Kanban, yaitu sistem Kanban dua-kartu (yang
awalnya berkembang di Toyota), sistem Kanban kartu-tunggal (dikembangkan di
Kawasaki) dan sistem gabungan Kanban – MRP (sistem SYNCHRO-MRP) yang
dikembangkan di Yamaha.

BLest 70 dari 132


Manajemen Produksi

1. Sistem Kanban Dua-Kartu


Pada sistem ini ada dua jenis kanban, yaitu Kanban Produksi yang berperan untuk
memberi kuasa produksi pada suatu pusat kerja; dan Kanban Pemindahan yang
berperan untuk memberikan kuasa pengiriman barang dari suatu pusat kerja ke
pusat kerja didepannya.

Jika operator pada pusat kerja A mendapatkan kanban produksi pada box
penyimpanannya, maka ia akan segera memenuhi pesanan tersebut, sebanyak
satu kontainer (berisi sejumlah komponen sesuai yang tercatat pada kanban
produksi). Kontainer yang sudah diisi, diletakkan pada daerah output pusat kerja A,
dan pada kontainer tersebut disertakan kanban produksi dan sebelumnya, pada
kontainer tersebut sudah tersedia kanban pemindahan yang berasal dari B.
selanjutnya, secara periodik, pekerja pemindahan barang memindahkan kontainer
yang penug dari daerah output A ke daerah input B (yang sebelumnya, kanban
produksi dari kontainer tersebut disimpan pada box penyimpanan kanban produksi
di A).
Jika isi kontainer tersebut diambil oleh operator B, maka kontainer kosong beserta
kanban pemindahannya, diambil dan disimpan pada box penyimpanan dipusat
kerja B.
Dengan pola yang sama, secara periodik pekerja pemindahan barang,
memindahkan kontainer kosong beserta kanban pemindahannya dari B ke pusat
kerja A (lihat gambar 10).

Banyaknya kartu kanban tiap kontainer yang beredar (Y), dipengaruhi oleh laju
permintaan (D), ukuran kontainer (C); biasanya tidak lebih dari 10% permintaan
perhari), dan waktu sirkulasi suatu kanban (T = mulai diisi, menunggu, dipindahkan,
digunakan dan kembali untuk diisi lagi).

Gambar –10: Sistem Kanban Dua-Kartu 1. Start Here

Stock Point L Stock Point M


0 f 0 f

In 0 f
Out
f
In 0 f
Out

0 f 4 3 0 f
f
f
0 f 0 f f
E
E

2 1
0 e 0 e

E f E E f E

f f
5

Milling Work Center Drilling Work Center

Rumus umum untuk menemukan jumlah kartu kanban, adalah :


D (T) x ( 1 + D )
Y =
C
Dimana D = kebijakan untuk meredam ketidakpastian produksi, biasanya tidak
lebih dari 10%

BLest 71 dari 132


Manajemen Produksi

kalau kita perhatikan rumus diatas, sepintas tidak ada perbedaan prinsip antara
persediaan tradisional yang dianut Barat dengan Jepang. Sebenarnya, terdapat
perbedaan prinsip yang kontras antara Barat-Jepang. Jepang mempunyai
keyakinan bahwa faktor – faktor yang berpengaruh tersebut bisa diminimasi dan
ketidakpastian bisa dikurangi bahkan dihilangkan. Sebagai contoh, mereka telah
berhasil meminimasi waktu setup, sehingga dapat meminimasi waktu proses (lead
time), yang secara drastis akan berpengaruh pada penetapan ukuran lot / jumlah
kanban yang beredar sekecil mungkin (idealnya lot size = 1) dan waktu menunggu
yang singkat; sehingga pada akhirnya persediaan menjadi minimal, service level
dan produktivitas meningkat.

Variabel D digunakan untuk meredam fluktuasi (ketidakpastian). Namun mereka


juga telah berhasil meminimasinya dengan menerapkan teknik – teknik Total
Quality Control serta terjalinnya kerja sama yang baik antara produsen dengan
supplier (sistem sub kontrak).

2. Sistem Kanban Kartu Tunggal


Pada sistem ini, hanya digunakan kanban pemindahan, sedangkan keputusan
produksi bukan berasal dari kanban produksi, tetapi dari jadwal produksi yang
sudah ditetapkan. Sistem ini merupakan kombinasi dari push system pada produksi
dan pull system pada pengiriman.

Pada sistem ini, jika suatu pusat kerja mengalami gangguan (mogok), maka
persediaan pada pusat kerja sebelumnya akan meningkat, karena hasil
produksinya tidak bisa diambil oleh pusat kerja yang mogok. Akibatnya, sistem ini,
tidak lebih baik dari kanban dua kartu dalam hal perbaikan produktivitas.

3. Synchro-MRP
Synchro-MRP, adalah nama yang diberikan oleh R.Hall, pada Yamaha PYMAC
(Pan Yamaha Manufacturing Control) System; yang secara operasional merupakan
gabungan antara MRP-I dengan Kanban.
Sistem PYMAC, mengasumsikan bahwa pabrik merupakan gabungan antara dua
tipe produksi, yaitu bagian job shop dan bagian flow shop. Pabrik bagian job shop,
beroperasi menggunakan konsep MRP dan pabrik bagian flow shop menggunakan
konsep kanban. Kedua sistem ini bekerja dengan “dikoordinir” oleh kontainer yang
standar diseluruh departemen.
Sistem bagian kanban, jiga merupakan kombinasi antara Kanban dua kartu dengan
kanban kartu tunggal. Pada PYMAC, system beredar kartu SYNCHRO-I dan
SYNCHRO-II, seperti kanban pemindahan dan produksi pada kanban dua kartu;
juga produksinya beroperasi dengan jadwal produksi harian seperti kanban kartu
tunggal.
Maka, bagian pabrik yang flow proses, akan mulai berproduksi, jika dua tanda
berikut terjadi :
a. Waktu produksi (sesuai dengan jadwal yang ditetapkan) sudah tiba
dan
b. Ada kartu SYNCHRO-II pada box produksi.

Sedangkan pada pabrik bagian job shop, beroperasi dengan menggunakan konsep
MRP sederhana, berdasarkan pengaturan jadwal harian, dengan due date sebagai
prioritas pengaturan dan update data menjadi kegiatan yang rutin.

BLest 72 dari 132


Manajemen Produksi

C. PRA-SYARAT PENGOPERASIAN KANBAN

Dalam prakteknya, Kanban merupakan bagian dari JIT / TQC.


Secara sederhananya, JIT adalah :”Buatlah dan kirimkan produk yang baik pada
waktu yang tepat untuk penjualan; rakitlah sejumlah minimal pada waktu yang tepat
untuk dibuat; dan belilah bahan pada waktu yang tepat untuk dirakit”.

JIT, berperan bukan sekedar untuk pengendalian persediaan dengan


mengoperassikan Kanban, tetapi juga merupakan alat pengendalian kualitas dan
scrap, mampu meningkatkan utilitas pabrik dengan memaksimumkan sifat flow
proses pada aliran produksi, menyeimbangkan lintasan dan melibatkan serta
memotivasi tenaga kerja agar bekerja produktif.

Secara ringkas, elemen – elemen utama keberhasilan penerapan dari JIT / TQC
adalah :
a. Produksi harus bisa dijaga konstan pada periode – periode pendek
(misalnya 10 hari). Keadaan ini hanya bisa dicapai jika produksi pada
volume tinggi dengan produk standar serta proses berulang
(repetitive manufacturing environvent)
b. Waktu setup harus absolut minimal, sehingga memungkinkan lot size
minimal, lead time pendek dan persediaan minimal.
c. Jadwal produksi harus dapat dipenuhi dengan sempurna. Untuk itu,
pelaksanaan preventive maintenance serta 100% pengendalian
kualitas, harus dilaksanakan dengan konsekwen.
d. Menggunakan kontainer standar
e. Partisipasi tenaga kerja mutlak diperlukan dan tenaga kerja
mempunyai kemampuan macam – macam (multi-functional workers)
f. Kontrak kerja sama dengan supplier harus dijamin, terutama untuk
menjaga komitmen waktu pengiriman.

Sebagaimana anda lihat, sistem Kanbannya sendiri relatif sederhana; namun pra-
syarat lingkungan pendukungnya, sangat sulit dicapai, khususnya dinegara –
negara non Jepang.

D. PENERAPAN

Sebagian besar literatur membahas Kanban dua kartu, namun sebagian besar
prakteknya lebih banyak menggunakan Kanban kartu tunggal.

Contoh sukses penerapan kanban dua kartu adalah diperusahaan Motor Toyota;
dimana dilaporkan persediaan menurun secara drastis dan produktivitas meningkat.

Walaupun penerapan Kanban kartu tunggal lebih banyak diterapkan, namun


ternyata perbaikan produktivitasnya tidak sebaik kanban dua kartu. Lebih banyak
digunakan karena sistem lebih sederhana dan manajemennya lebih mudah. Selain
Kawasaki, juga pabrik Nihon Radiator dan pabrik Jepang di Lincoln, Amerika,
menggunakan Kanban kartu tunggal.

Sedangkan SYNCHRO-MRP, dimana sistem MRP diterapkan pada lingkungan JIT,


selain diterapkan di pabrik motor Yamaha juga diterapkan di John Daere dan Holley
Carburator.

BLest 73 dari 132


Manajemen Produksi

E.3. OPTIMIZED PRODUCTION TECHNOLOGY (OPT)

A. PRINSIP DASAR

Opt dikembangkan tahun 1978 di Israel oleh E.GOLDRATT (ahli fisika) dan
I.PAZGAL (ahli komputer). Pada awalnya OPT disebut Creative Output, yang dalam
MPC lebih berperan pada “bagian belakang”; yaitu sebagai suatu sistem yang
mengatur pengendalian di shop-floor, khususnya untuk mengatur penjadwalan
pada situasi kapasitas terbatas (pada pusat kerja yang bottle neck).

OPT dapat dibahas dari dua sisi, yaitu dari segi “konsep” dan perangkat lunaknya
(OPT / SERVE). Sebagai konsep, dalam OPT telah dikembangkan suatu algoritma
(sampai saat ini belum dipublikasikan), yang mampu memecahkan kasus
pembebanan mesin (penjadwalan) pada situasi kapasitas terbatas dalam waktu
sangat singkat.

Sedangkan sebagai perangkat lunak, pada OPT bekerja paket BUILDNET dan
SERVE, yang bekerja mirip konsep MRP.

OPT, bekerja berdasarkan beberapa asumsi, sebagai berikut :


¾Manufaktur mempunyai tujuan tunggal, yaitu “keuntungan”.
Untuk mencapai tujuan ini OPT sekaligus mempu mempercepat
perolehan uang dari hasil penjualan (throughput), menurunkan
persediaan dan menurunkan biaya produksi.
¾Perlu dibedakan, antara sumber (kapasitas) bottle neck dengan
sumber tidak bottle neck. Adanya kapasitas yang bottle neck
akan mengurangi throughput dan meningkatkan persediaan.
Untuk itu kapasitas yang bottle neck harus menjadi perhatian
utama dan kita perlu meningkatkan kapasitas yang bottle neck
dengan meminimumkan waktu proses, waktu setup dan waktu
idle. Pada OPT, team setup mendapat perhatian utama.
¾Proses batch harus bervariasi, fungsi dari proses dan waktu
kerjanya. Pendekatan OPT, membedakan batches dalam dua
tipe; transfer batches dan proses batches. Transfer batches
adalah pengiriman sejumlah barang antara dua pusat kerja.
Proses batches adalah jumlah produk yang harus dibuat, antara
dua setup. Jelas, bahwa proses batches yang optimal adalah
fungsi dari proses dan waktu kerjanya.
¾Kapasitas dan prioritas mendapat perhatian yang serentak. Pada
OPT telah dirancang suatu algoritma yang sekaligus dapat
mengatur penjadwalan dan pengurutan kerja dengan
memperhatikan kapasitas terbatas serta waktu sebagai prioritas
¾Pabrik tidak perlu “balance”. Jika pada pabrik yang balance,
terjadi kerusakan, tanpa diketahui dimana dan kenapa rusaknya,
sudah pasti throughput akan menurun, dan persediaan serta
biaya operasi akan naik. Untuk ini, lebih baik kita punyai pabrik
yang mempunyai satu atau beberapa kapasitas yang bottleneck,
sehingga kita punya ketetapan untuk bertindak, yaitu konsentrasi
di pusat kerja yang bottleneck.

BLest 74 dari 132


Manajemen Produksi

B. PRINSIP KERJA

Prose OPT bekeerja mulai dengan modul BUILDNET, yang membuat jaringan
antara perusahaan, bahan baku, sumber (mesin dan tenaga kerja), produk dan
permintaan; menjadi Jaringan Produk; mirip seperti MRP dengan MPS, BOM,
routing dan status persediaannya.

Kemudian, dilakukan identifikasi sumber – sumber yang bottleneck, menggunakan


paket SERVE; dihasilkan Jaringan Produk Kritis dan Tidak Kritis; mirip dengan MRP
ketika membuat profil sumber daya

Kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber bottleneck ini adalah tingkat
pemakaian (utility)maksimum.

Setelah tahap identifikasi, maka sumber pabrik terbagi dalam dua situasi, yaitu
sumber kritis dan sumber tidak kritis. Untuk sumber yang kritis, penjadwalannya
ditetapkan dengan menggunakan algoritma-OPT, BRAIN, untuk menetapkan
process batches, beserta persediaan cadangan dan waktu cadangan (savety time).
Sedangkan sumber yang tidak kritis, penjadwalannya dipecahkan dengan
menggunakan paket SERVE.

Selanjutnya dilakukan pengujian, apakah sumber yang tadinya bottleneck sekarang


tetap bottleneck ?. jika ya, maka proses selesai; jika ternyata sekarang menjadi
tidak bottleneck, proses berulang (kembali ke modul SPLIT), sampai terjadi kasus
pertama tadi. Secara ringkas, proses OPT / SERVE dapat dilihat pada gambar
dibawah.
Product Oresources
Network description

BUILDNET

OPT / SERVE Masster


engineering network

Reports Initial Serve Analisis

OPT network SPLIT

OPT
Serve network
Critical Resources Schedule
NonCritical Resources Schedule
Reports
Reports

BLest 75 dari 132


Manajemen Produksi

C. PENERAPAN

OPT telah banyak berhasil diterapkan pada situasi dimana siklus produksinya
(waktu untuk membuat produk) panjang dan biaya material sangat tinggi; misalnya
industri pesawat terbang.

Namun dinegara asalnya, si perancang menyatakan bahwa 90% industri – industri


di Israel menggunakan OPT. Di Israel OPT telah diterapkan dari mulai industri
tekstil, plastik, perakitan elektronik sampai industri militer.

Sebagai laporan penerapan di Amerika Serikat, Industri Howmet Turbine


Component, telah berhasil meningkatkan output sebesar 25% dibanding kapasitas
maksimum sebelumnya serta mampu memperbaiki kehandalan penjadwalannya;
karena penerapan OPT. Begitu pula Bendix’s, pabrik perakitan rem di Green Island,
New York dan Cleveland, Tennessee, telah mampu meningkatkan perputaran
persediaan (inventory turnover), dari 8-9 menjadi 15-18.

E.4. PERBANDINGAN MRP – KANBAN – OPT

Ketiga sistem, mempunyai objective yang sama; yaitu meningkatkan tingkat


pelayanan, serentak dengan mengurangi persediaan dan meningkatkan
produktivitas.

Berdasarkan kesulitan matematis, dapat disusun dari yang paling sederhana - yang
rumit, yaitu: Kanban – MRP – OPT

Secara esensial, Kanban adalah sistem manual. MRP adalah sistem berdasarkan
pengolahan data, yang bekerja karena bantuan komputer. Sedangkan OPT adalah
mutlak sistem yang dikomputerisasi (sering disebut teknik simulasi)

Pada awalnya, MRP digunakan pada industri job-shop atau produksi yang berulang
(repetitive manufacture); namun pada akhirnya juga baik diterapkan pada pabrik
flow-shop. Sistem Kanban, merupakan sistem yang sangat sederhana, namun agar
penerapannya sukses, membutuhkan lingkungan yang deterministik dan disiplin
mutlak (misalnya standarisasi kontainer, dan tidak akan ada produksi tanpa ada
kanban). Sedangkan, OPT efektif digunakan pada situasi pabrik yang tidak balance
dan terdapat sumber dengan kapasitas terbatas

BLest 76 dari 132


Manajemen Produksi

8 PERENCANAAN KAPASITAS

A. TUJUAN

1. Memberikan pengertian tentang kapasitas suatu fasilitas dan ketrampilan


untuk menentukannya baik pada fasilitas tunggal maupun fasilitas ganda
(lintas produksi flow shop maupun job shop)
2. Memberikan wawasan tentang peran perencanaan kapasitas dalam
kaitannya dengan kegiatan fungsionalisasi suatu sistem produksi.
3. Memperkenalkan teknik / metode dasar perencanaan kapasitas dan melatih
untuk mempergunakannya.

B. PENGANTAR

Masalah perencanaan kapasitas muncul sejak seseorang berkeinginan untuk


mendirikan suatu unit usaha sampai dengan pengoperasian rutine unit usaha
tersebut. Pertanyaan – pertanyaan yang sering muncul pada tahap persiapan
pendirian unit usaha diantaranya adalah berapa besar ukuran pabrik yang akan
didirikan, apakah akan didirikan disatu lokasi atau beberapa lokasi, dsb. Sedangkan
masalah yang muncul setelah beroperasinya unit usaha tersebut diantaranya ialah
bagaimana mengatur mesin dan peralatan serta karyawan yang akan menghadapi
suatu pola permintaan dalam suatu kurun waktu tertentu, perlukah memberikan
subkontrak kepada perusahaan lain, apakah suatu pesanan yang datang akan
diterima atau ditolak, bagaimana mengatur mesin dan peralatan jika telah
ditentukan suatu target produksi tertentu. Masalah – masalah tersebut akan dicoba
dberikan landasan dan teknik untuk menyelesaikannya.

C. MATERI

1. PENGERTIAN DAN PENGUKURAN KAPASITAS

Secara singkat kapasitas adalah jimlauh output (produk / jasa) maksimum yang
dapat dihasilkan oleh suatu fasilitas selama selang waktu tertentu (jam, hari, bulan,
tahun, dsb). Dalam praktek dikenal adanya berbagai istilah yang berkaitan dengan
kapasitas, diantaranya adalah :
a. Kapasita Desain
Menunjukkan output maximum yang dapat dihasilkan oleh suatu fasilitas
dalam kondisi ideal
b. Kapasitas Efektif
Menunjukkan output maximum yang dapat dihasilkan oleh suatu fasilitas
dalam kondisi operasi tertentu
c. Kapasitas Aktual
Menunjukkan output riil yang dapat dihasilkan oleh suatu fasilitas dalam
kondisi operasi yang ada (existing operation).

BLest 77 dari 132


Manajemen Produksi

Yang dimaksud dengan fasilitas disini dapat berupa fasilitas tunggal seperti sebuah
mesin, sebuah stasiun kerja bahkan dapat berupa fasilitas ganda seperti sebuah
pabrik yang terdiri atas beberapa mesin, kapasitas tidak hanya ditentukan oleh
kemampuan potensial mesin yang ada tetapi dipengaruhi pula oleh faktor tenaga
kerja yang menjalankan mesin tersebut, metoda kerja, apa yang dikerjakan, dsb.

Pengukuran kapasitas untuk suatu fasilitas yang ahnya terdiri atas sebuah mesin
jauh lebih mudah dibandingkan dengan fasilitas yang terdiri atas beberapa mesin,
sebab kapasitas suatu falitas ditentukan oleh mesin yang memiliki output terkecil
(bottle neck). Sebagai contoh sebuah fasilitas yang dapat menghasilkan baju terdiri
dari mesin potong yang kapasitasnya 50 unit/jam, mesin obras dengan kapasitas 30
unit/jam dan mesin jahit dengan kapasitas 25 unit/jam, maka kapasitas ini tiap
jamnya adalah 25 unit/jam

Pada lintas produksi perakitan (flow shop) identifikasi bottle neck lebih mudah
dilakukan dari pada lintas produksi fabrikasi (job shop) sebab pada lintas produksi
fabrikasi suatu mesin dapat dipergunakan untuk mengerjakan berbagai macam
proses. Langkah sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan kapasitas
suatu fasilitas dalam suatu kapasitas produksi fabrikasi adalah :

1. Menyusun Operation Process Chart (OPC) produk yang dihasilkan.


2. Menyusun Multiple Product Process Chart (MPPC)
3. Menghitung kapasitas produksi setiap mesin
4. Mengidentifikasikan kondisi bottle neck

Pada lampiran A dapat dilihat contoh penentuan kapasitas suatu lintas produksi
fabrikasi dengan menggunakan langkah – langkah tersebut diatas.

2. HIRARKHI PERENCANAAN KAPASITAS

Ditinjau dari segi horizon waktu perencanaan masalah yang berkaitan dengan
perencanaan kapasitas dapat dibedakan atas :
a. Perencanaan Kapasitas Jangka Panjang
Biasanya keputusan yang diambil adalah yang berkaitan dengan aspek
struktural dari suatu sistem produksi dan berdampak jangka panjang (3 tahun
atau lebih). Salah satu contoh dari jenis perencanaan ini adalah penentuan
kapasitas pabrik baru, expansi pabrik (vertikal dan horizontal)
b. Perencanaan Kapasitas Jangka Menengah
Biasanya kapasitas yang diambil adalah yang berkaitan dengan aspek
pemanfaatan kapasitas suatu sistem produksi yang telah ada dalam
menghadapi permintaan konsumen. Keputusan yang termasuk dalam
kategori ini diantaranya :
- Penambahan mesin dan penggantian mesin
- Penambahan karyawan
- Penambahan Shift kerja
- Subkontrak
c. Perencanaan Kapasitas Jangka Pendek
Titik sentral jenis perencanaan ini adalah bagaimana mengalokasikan
sumber daya yang ada (karyawan dan mesin) sesuai dengan jadwal produksi
yang telah dibuat / ditetapkan. Keputusan yang termasuk dalam kategori ini
diantaranya adalah :

BLest 78 dari 132


Manajemen Produksi

- Pembebanan dan penjadwalan mesin


- Pengaturan waktu lembur
- Penggiliran kerja

Selain kategorisasi diatas perencanaan kapasitas dapat juga dilihat dari segi
keterkaitannya secara langsung dengan aktivitas perencanaan dan pengendalian
produksi seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 1: Teknik Manajemen Kapasitas

Demand Production Resource


Management Planning Planning

What-If
Analysis

Final Assembly Master Production Rough Cut


Scheduling Scheduling (MPS) Capacity
(FAS) Planning

Master Capacity
Requirement Requirement
Planning (MRP) Planning
(CRP)

Vendor Production Input/Output


Follow-up Activity Control and
System Control Operations
Sequencing

3. METODA PERENCANAAN KAPASITAS

a. Rough-cut Capacity Planning

Metode ini mengubah rencana produksi jangka panjang menjadi kebutuhan


kapasitas yang nantinya akan dibandingkan dengan kapasitas yang tersedia.

Ada tiga penyederhanaan utama :


1. Digunakan grup – grup produk sebagai input. Work Center adalah
sekumpulan mesin dan atau orang dengan kemampuan yang mirip satu
sama lain, maka suatu grup produk adalah koleksi dari item – item dengan
“shop routings” dan waktu operasi yang hampir sama. Grup seperti ini sering
kali disebut famili produk, tetapi disini digunakan istilah famili untuk

BLest 79 dari 132


Manajemen Produksi

sekumpulan part / produk akhir / sub-assemblies yang mempunyai set up


yang sama.
2. Menggunakan key work center daripada semua mesin – mesin. Dengan
angapan bahwa pada key work center lah kesulitan – kesulitan sering kali
terjadi.
3. Dipilih suatu tipikal produk dalam grup produk dan menggunakan “bill of
material”nya. “route sheets” dan waktu standarnya untuk menentukan
kebutuhan kapasitas untuk perencanaan produksi bagi grup produk
dimaksud.

Untuk memperjelas metode ini, maka berikut ini akan dijabarkan satu contoh
kasusnya.
Dua kelompok produk A dan B (produk kap lampu hias dan kap lampu baca)
mempunyai struktur produk (bill of material) sebagai berikut :

A B

C (1) D (1) C (1) E (1)

Process sheets dari pembuatan produk tersebut adalah sebagai berikut :


( asumsi 1 work center = 1 orang dan 1 mesin )

Nomor Set – Up Operasi


Item Work Center Operasi
Operasi (jam) (jam)
A 10 1030 Assembly 0 2.00
B 10 1030 Assembly 0 3.00
C 10 1012 Milling 0.3 0.14
20 1020 Drilling 2.4 0.40
30 1012 Milling 2.7 0.23
40 1018 Grinding 1 0.21
D 10 1012 Milling 0.4 0.15
20 1020 Drilling 2.8 0.35
30 1018 Grinding 2.2 0.24
E 10 1012 Milling 0.3 0.18
20 1020 Drilling 2.1 0.39
30 1012 Milling 2.5 0.26
40 1020 Grinding 1.3 0.23

Jika diketahui EOQ produksi untuk setiap item A,B,C,D dan E berturut – turut
adalah 15, 10, 25, 20 dan 30, maka dapat dihitung waktu standar operasi untuk
setiap work center dengan rumus :
Set Up
Waktu standar operasi = + waktu operasi
EOQ
Misalnya untuk item C pada work center milling (operasi 10-30) :

0.3 + 2.7
Waktu standar operasi = + 0.14 + 0.23 = 0.49 jam
25

BLest 80 dari 132


Manajemen Produksi

Dengan cara yang sama waktu standar operasi untuk tiap item pada masing –
masing work center dapat dihitung dan hasil perhitungannya dapat dilihat sebagai
berikut :
Setelah itu dibuat “Bill of Resources” yang pada prinsipnya menjumlahkan waktu
standar operasi per unit untuk work center yang sama.

Waktu Standar
Item Work Center
Operasi Per Unit
C (Q* = 25) Milling 0.49
Drilling 0.50
Grinding 0.25
D (Q* = 20) Milling 0.17
Drilling 0.49
Grinding 0.35
E (Q* = 30) Milling 0.53
Drilling 0.46
Grinding 0.27
A (Q* = 15) Assembly 2
B (Q* = 10) Assembly 3

Bill of Resource

Waktu Standar Operasi Per Unit


Work Center
Group Produk A Group Produk B
1012 milling 0.66 1.02
1020 drilling 0.99 0.96
1018 grinding 0.60 0.52
1030 assembly 2.00 3.00

Andaikan rencana produksi jangka panjang kita masing – masing produk adalah
sebagai berikut :

Unit Per Tahun


Item
1 2 3 4 5
A 3000 4000 3000 3000 3000
B 2000 2000 3000 3500 4000

Kebutuhan kapasitas untuk work center milling dengan demikian dapat dihitung
(mis. Untuk tahun 1) = (3000 x 0.66) + (2000 x 1.02) = 4020 jam

Oleh karena itu rencana kebutuhan kapasitas (Rough-Cut) untuk milling center saja
dapat diresumekan sebagai berikut :

Beban Operasi Per Tahun


1 2 3 4 5
Dibutuhkan 4020 4680 5040 5550 6060
Tersedia 5000 5000 5000 5000 5000
Kekurangan 590 1650
Asumsi : kapasitas yang tersedia = 5000 jam operasi / tahun

BLest 81 dari 132


Manajemen Produksi

b. RESOURCE REQUIREMENT PLANNING

Pada dasarnya sama dengan Rough-Cut Capacity Planning, hanya saja dalam
RRP estimasi kebuthan kapasitas lebih spesifik pada waktu yang lebih pendek.
Tidak serperti pada RCCP maka RRP memperhitungkan lead time produksi
sebagaimana halnya MRP. Langkah – langkah dalam Resource Requirement
Planning adalah sebagai berikut :

1. Hitung profil beban (load Profile) dari setiap grup produk. Profil beban
didasarkan pada satu unit produk rata – rata

2. Tentukan total beban (load) yang diperlukan untuk setiap resource dari
JIP yang dimaksud. Penentuan ini disebut Resource Requirement
Profile.

3. Simulasi efek dari suatu alternatif JIP terhadap kebutuhan sumber


(resource) dan pilih suatu JIP yang feasible.

Profil beban produk dapat dikembangkan dengan memilih suatu typical produk
dalam sebuah grup produk. Untuk menghitung profil, jalankan satu unit produk
melalui sistem MRP, tanpa menggunakan lot sizing dan tanpa persediaan awal bagi
semua item. Kebutuhan kotor (Gross Requirement / GR) dari satu unit typical
produk dieksploitasikan ke semua level dan struktur produk untuk kemudian
diturnkan Rencana Produksinya (Planned Order Release / POR). Perhitungan
dilakukan hanya satu kali dan profil beban disimpan dalam komputer untuk
digunakan dikemudian hari.

Resource Requirement Profile memberikan perkiraan kasar dari beban pada key
resource. Resource Requirement Profile diperoleh dari perluasan profil beban untuk
setiap grup produk dalam gross master production schedule (JIP). Resource
Requirement Profile disiapkan terutama untuk critical machine centers dan
dibandingkan dengan kapasitas yang tersedia untuk melihat apakah ada masalah
kapasitas. Bila suatu masalah ditemukan, maka alternatif jadwal Induk Produksi
digunakan untuk membuat Resource Requirement Profile yang baru.

Berikut ini akan dijabarkan contoh kasusnya untuk memperjelas pengertian dan
prosedur Resource Requirement Planning.

Kita tinjau kasus yang sama, tetapi untuk kelompok produk A dengan struktur
produk dan lead timenya (minggu) sebagai berikut :

A (LT = 1)

C (LT = 2) D (LT = 3)

Untuk memecahkan persoalan diatas mula – mula kita hitung Rencana Produksi
(POR) kelompok produk A (kita buat kebutuhan Kotor (GR) = 1 satuan produk).
Hasilnya sebagai berikut :

BLest 82 dari 132


Manajemen Produksi

Minggu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Produk akhir A (LT = 1 minggu)
Kebutuhan Kotor (GR) 1
Rencana Produksi (POR) 1
Item C (LT = 2 minggu)
GR 1
POR 1
Item D (LT = 3 minggu)
GR 1
POR 1

Kemudian hitung waktu standar operasi per unit (cara menghitung sama seperti
pada Rough-Cut Capacity Planning) dan hasilnya sebagai berikut :

Waktu Standar
Nomor Waktu Waktu
Item Work Center Operasi Per
Operasi Set Up Operasi
Unit
A 10 Assembly 0 2.0 2.000
B 10 Assembly 0 3.0 3.000
C (Q*=25) 10 Milling 0.3 0.14 0.152
20 Drilling 2.4 0.40 0.492
30 Milling 2.7 0.23 0.338
D (Q*=20) 40 Grinding 1.0 0.21 0.250
10 Milling 0.4 0.15 0.170
20 Drilling 2.8 0.35 0.490
30 Grinding 2.2 0.24 0.350

Setelah itu dihitung profil beban untuk masing – masing machine center.
Perhitungan itu dapat dilihat pada tabel berikutnya. Tampak disitu untuk operasi 10
dan 30 milling (item C) kita alokasikan waktu standar operasi untuk masing –
masing operasi (0.152 dan 0.338 jam) pada minggu ke 7 dan 8 dengan perhitungan
POR yang telah kita lakukan sebelumnya.
Perhitungan profil beban :

Minggu
Mesin
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Assembly beban 2.000
Milling
Beban untuk C 0.152 0.338
Beban untuk D 0.170
Total 0.170 0.152 0.338
Drilling
Beban untuk C 0.500
Beban untuk D 0.490
Total 0.990
Grinding
Beban untuk C 0.250
Beban untuk D 0.350
Total 0.600

BLest 83 dari 132


Manajemen Produksi

Untuk mempermudah penjelasan, sekarang mari kita lihat profil beban untuk milling
work center saja. Dan asumsikan Gross Master Production Schedule (JIP) kita
adalah sebagai berikut :

Minggu 6 7 8 9 10
Produk A 200 200 200
Produk B 150 150

Perhitungan profil beban untuk kelompok produk A dengan demikian dapat


dilakukan sebagai berikut :

Minggu ke-8 : (200) x (0.338) = 67.6 jam

Minggu ke-7 : (200) x (0.152) = 30.4 jam

Minggu ke-6 : (200) x (0.170) = 34.0 jam

Profil beban ini secara grafis dapat dilihat pada gambar dibawah. Dengan cara yang
sama kita dapat melakukan perhitungan profil beban untuk work center yang lain
dan juga untuk produk B.
Produk beban kelompok produk A untuk milling work center :
Waktu Standar untuk 1 unit A

-- 1.0

-- 0.5 0.338
0.17
0.152

| | | | | | | | | | |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perioda

Perhitungan Resource Requirement Profile untuk Milling Machine Center (untuk


grup produk A dan B) dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Produk
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lot 1 Lot 2 Lot 3 Lot 4 Lot 5
Grup A Grup B Grup A Grup B Grup A
200 150 200 150 200
Lot 1 grup A 200x0.17=34.00 30.40 67.60
Lot 2 grup B 64.80 102.15
Lot 3 grup A 34.00 30.40 67.60
Lot 4 grup B 64.80 102.15
30.40
Lot 5 grup A 34.00 67.60
Total 34.00 30.40 166.40 132.55 166.40 132.55 67.60

BLest 84 dari 132


Manajemen Produksi

GR 6 7 8 9 10
Grup A 200 200 200
Grup B 150 150

Berikut diperlihatkan Resource Requirements Profile secara grafis.


Waktu standar

200 --

Lot 5 kapasitas yang tersedia


150 --
Lot 3

Lot 5
Lot 3
100 -- Lot 2 Lot 4

Lot 4
Lot 2
50 -- Lot 5
Lot 3
Lot 1
Lot 1
Lot 1
. | | |
| |
| | | | |
1 2 3
5 4
6 7 8 9 10
Perioda
pada gambar diatas terlihat bahwa pada minggu ke 4, 5, dan 6 total kebutuhan
resources melampaui kapasitas yang tersedia, oleh karena itu jika kondisinya tidak
memungkinkan untuk melakukan perubahan kapasitas, maka JIP harus dirubah.

Misalkan JIP dirubah menjadi 100 produk A dan 75 produk B setiap minggunya,
maka sekarang total kebutuhan resources masih berada dibawah kapasitas
tersedia yang tersedia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada tabel berikut ini. (total
kebutuhan jam maksimum hanya 149,5 jam yang berarti masih berada di bawah
kapasitas 150 jam per minggunya). Tentunya kita menginginkan beban yang lebih
merata dari minggu ke minggu (uniform production rate) dan untuk itulah dilakukan
simulasi pada JIP sehingga benar – benar didapatkan hasil yang sesuai dengan
keinginan kita. Apa yang terdapat pada tabel ini hanya merupakan salah satu
bentuk alternatif JIP yang feasible.
Perencanaan kebutuhan kapasitas untuk mesin milling

Periode
1 2 3 4 5 6 7 8 9
POR
Grup A 100 100 100 100 100 100
Grup B 75 75 75 75 75
Grup A, periode 4 17.0 15.2 33.8
Grup B, periode 4 32.4 51.1
Grup A, periode 5 17.0 15.2 33.8
Grup B, periode 5 32.4 51.1
Grup A, periode 6 17.0 15.2 33.8
Grup B, periode 6 32.4 51.1
Grup A, periode 7 17.0 15.2 33.8
Grup B, periode 7 32.4 51.1
Grup A, periode 8 17.0 15.2 33.8
Grup B, periode 8 32.4 51.1
Total 149.5 149.5 149.5

BLest 85 dari 132


Manajemen Produksi

TUGAS LATIHAN

Kasus PT. PREFAC dikerjakan berkelompok.

LAMPIRAN A
Contoh Perhitungan Kapasitas.

1. Menyusun Peta Proses Operasi


Sebagai contoh berikut ini disajikan peta proses operasi meja tamu sederhana

Komponen Atap Plywood Komponen Rangka Besi Batang Besi

Dipotong 0-1 Dipotong


1” circular saw 1” circular saw

Dihaluskan
O-6 grinder 0-2 Dibentuk
1,5” 2” press

1” 0-7 Dilubangi 1” 0-3 Dilubangi


drill drill

0-8 Dicat O-4 Dicat


2” painting 1” painting

1-2 1-1

3” Pengepakan
O-9 packing

2. MENYUSUN MPPC
Tujuan menyusun MPPC adalah untuk menghitung kebutuhan jam mesin dari setiap
mesin yang digunakan dalam pembuatan satu unit produk. MPPC itu tidak lain
adalah penggambaran kembali peta proses operasi yang disesuaikan dengan jenis
mesinnya. Berdasarkan atas hasil dari MPPC ini maka akan dapat dihitung
kapasitas mesin. Bentuk MPPC dari contoh meja tamu sederhana adalah sebagai
berikut :

BLest 86 dari 132


Manajemen Produksi

Kebutuhan
Komponen
Atap R. Besi Finishing Jam Mesin
Mesin
(menit)
Circ. Saw 5 1” 1 1” 2”

Grinder 6 1,5” 1,5”

Drill 7 1” 3 1” 2”

Press 2 2” 2”

Painting 8 2” 4 2” 4”

Packing 9 3” 3”

3. PERHITUNGAN KAPASITAS MESIN


Selain data kebutuhan jam mesin ada data yang diperlukan dalam perhitungan
kapasitas mesin yaitu :

¾Jumlah setiap jenis mesin yang ada


¾Jumlah jam kerja efektif setiap periode (hari, bulan, dasb)

Secara matematis dapat dinyatakan bahwa kapasitas mesin adalah :

Mi x E Unit / periode
Ki =
Ji
Dimana :
Ki = Kapasitas produksi mesin ke-i
Mi = Jumlah mesin ke-i
E = Jumlah jam kerja effektif
Ji = Kebutuhan jam mesin ke-I untuk membuat satu unit produk

Berikut ini contoh perhitungan kapasitas mesin bila jumlah jam kerja effektif E jam /
hari.

Kebutuhan Mesin Kapasitas mesin /


Jenis Mesin (I) Jumlah Mesin (Mi)
(Ji) hari (Ki)
Circular Saw 2 2” 360
Grinder 2 1,5” 480
Drill 2 2” 360
Press 2 2” 360
Painting 2 4” 180
Packing 2 3” 240

BLest 87 dari 132


Manajemen Produksi

4. IDENTIFIKASI MESIN BOTTLE NECK


Terlihat disini bahwa mesin Painting mempunyai kapasitas terkecil yaitu 180 unit /
hari. Oleh sebab itu kapasitas dari pabrik yang ada akan ditentukan oleh kapasitas
mesin Painting yaitu 180 unit/hari. Selanjutnya bila telah diketahui kapasitas pabrik
dan dimana letak bottleneck maka untuk menaikan kapasitas dapat ditunjuk
berbagai cara, misalnya :

¾Menambah jam kerja


¾Menambah jumlah mesin
¾Memperbaiki metoda kerja, dsb.

Cara mana yang terbaik harus dilihat dari segi kriteria ekonomisnya.

BLest 88 dari 132


Manajemen Produksi

9 PENJADWALAN MESIN

A. TUJUAN
1. Memperkenalkan persoalan penjadwalan yang dihadap dalam suatu kegiatan
produksi
2. memperkenalkan teknik / metoda dasar penjadwalan dan melatih untuk
mempergunakannya

B. PENGANTAR
Dilihat dari seluruh urutan proses perencanaan kapasitas maka persoalan
penjadwalan merupakan persoalan yang bersifat sangat operasional oleh sebab itu
perlu suatu ketelitian dan ketepatan yang memadai.

Persoalan panjadwalan merupakan permasalahan operasional yang biasa dihadapi


pada saat akan melakukan pembagian tugas (pekerjaan) kedalam mesin / fasilitas
yang dimiliki. Pekerjaan (tugas) mana yang perlu didahulukan dan mana yang perlu
diselesaikan kemudian.

Persoalan penjadwalan akan menjadi semakin kompleks apabila jumlah pekerjaan


(job) dan jumlah mesin yang tersedia semakin banyak, ditambah dengan pola aliran
pekerjaan yang kurang teratur dari suatu pekerjaan ke pekerjaan yang lain.
Persoalan ini biasa disebut sebagai persoalan job-shop, sedangkan bila aliran
pembuatan teratur dari mesin yang satu ke mesin yang lain maka sering disebut
sebagai persoalan flow-shop.

Dalam pokok bahasan ini akan dikaji lebih lanjut tentang persoalan job-shop,
sedangkan untuk flow-shop akan dibahas pada sesi lain.

C. MATERI

1. PERSOALAN UMUM PENJADWALAN

Conway mendifinisikan pengurutan (sequencing) sebagai proses membuat urutan


produk pada satu mesin dalam jangka waktu tertentu, sedangkan penjadwalan
(scheduling), didefinisikan sebagai proses pengurutan secara menyeluruh pada
beberapa mesin. Kenneth R.Baker memberikan definisi penjadwalan sebagai
proses pengalokasian sumber – sumber untuk memilih sekumpulan tugas dalam
jangka waktu tertentu. Dengan definisinya tersebut Baker menyatakan bahwa
penjadwalan berfungsi sebagai alat pengambil keputusan yaitu untuk menetapkan
suatu jadwal.

Persoalan penjadwalan menjadi masalah jika ada tugas – tugas yang harus
ditetapkan urut – urutannya, yang mana yang harus didahulukan dan yang mana
yang kemudian. Masalah ini semakin rumit jika ditemui n tugas untuk proses pada m
mesin, yang berarti ada (n)m buah jadwal yang mungkin ditemui dan satu

BLest 89 dari 132


Manajemen Produksi

diantaranya harus dipecahkan untuk memenuhi ukuran penampilan yang telah


ditetapkan.

Dari struktur permasalahan, sistem penjadwalan operasional dipengaruhi oleh


situasi tertentu. Model penjadwalan dapat dibedakan oleh beberapa keadaan
berikut :
1. Proses dengan mesin tunggal atau proses dengan mesin ganda.
2. Pola aliran proses yang identik atau pola aliran proses yang
sembarang
3. Sejumlah tertentu dan tetap dari pada pekerjaan atau kedatangan
kontinu
4. Informasi yang lengkap atas pekerjaan dan mesin atau adanya
ketidakpastian pada salah satu atau kedua elemen diatas.

Pada model pertama, sejumlah mesin dapat dibedakan atas mesin tunggal dan
mesin ganda. Masalah mesin tunggal sangat mendasar untuk analisa menyeluruh
dan masalah ini dapat diterapkan pada mesin ganda.

Pada model ke dua, pola aliran dapat dibedakan atas flow-shop dan jo-shop. Setiap
pekerjaan dalam job-shop mempunyai aliran yang berbeda, sedangkan dalam flow-
shop hanya dijumpai pola aliran yang identik dari satu mesin ke mesin yang lain.
Walau pada flow-shop semua tugas akan mengalir pada jalur produksi yang sama,
yang biasa dikenal dengan pure flow-shop, namun kadang kala dapat berbeda pola
alirannya. Pertama, disebabkan suatu shop dapat menangani tugas yang
bervariasi. Kedua, tugas yang datang ke dalam flow-shop tidak harus dikerjakan
pada semua mesin. Jadi mungkin saja suatu proses dilewati. Jenis flow-shop diatas
disebut dengan general flow-shop. Gambar dibawah memperlihatkan macam –
macam pola aliran tugas yang membedakan antara pure flow-shop, general flfow-
shop dan job-shop.

Input (pekerjaan – pekerjaan baru)

Mesin Mesin Mesin Mesin Mesin


1 2 3 m-1 m

a. Aliran pekerjaan dalam Pure flow-shop


Output
(pekerjaan lengkap)

input input input input input

Mesin Mesin Mesin Mesin Mesin


1 2 3 m-1 m

Output output output output output

b. Aliran pekerjaan dalam General flow-shop

BLest 90 dari 132


Manajemen Produksi

pekerjaan – pekerjaan baru

pekerjaan – perkerjaan Mesin pekerjaan - pekerjaan


k

pekerjaan – pekerjaan lengkap

c. Aliran pekerjaan dalam Job-shop

Pada model ke tiga, pola kedatangan tugas dapat dibedakan atas pola kedatangan
statis dan dinamis. Pada pola statis, tugas datang secara bersamaan dan siap
dikerjakan pada mesin – mesin yang tidak bekerja. Dipihak lain pola dinamis
mempunyai sifat kedatangan tugas tidak tentu, jadi di jumpai adanya variabel
waktu.

Pada model ke empat, perilaku elemen – elemen penjadwalan dapat dibedakan


atas deterministik dan stokastik. Model deterministik dapat dilihat dengan adanya
kepastian atas informasi tentang elemen – elemen yang ada. Sedangkan pada
model stokastik, mengandung unsur ketidakpastian. Dengan demikian informasi ini
hanya dapat diramal dengan metoda statistik. Elemen – elemen yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
1. Karakteristik tugas dari segi kedatangan, batas waktu penyelesaian,
dan perbedaan kepentingan diantara tugas
2. Karakteristik tugas dari segi banyaknya operasi, susunan mesin,
waktu proses dan kendalanya.
3. Karakteristik mesin dari segi jumlah dan kapasitas mesin yang
dipunyai, dan kemampuan serta kecocokan tiap mesin dengan tugas
yang diberikan.

2. MASALAH GENERAL N/M JOB-SHOP

Pada bagian ini dan selanjutnya akan dibahas masalah – masalah khusus general
Job-shop, dimana sifat dan aliran operasi – operasi dari tugas – tugas adalah umum
,tidak dijumpai suatu pola tertentu. Masalah ini dapat dilihat dari klasifikasi
persoalan penjadwalan job-shop sebagai berikut :

1. Job dan operasi yang akan diproses


2. Jumlah dan type mesin yang terdapat didalam shop
3. Disiplin yang membatasi cara penugasan
4. Kriteria untuk mengawasi jadwal, yang dapat dinyatakan dengan
notasi A/B/C/D, dimana :

A: menggambarkan proses kedatangan job. Untuk persoalan statis,


notasi ini menunjukkan jumlah job yang datang serentak. Jika
dinyatakan dengan notasi ‘n’, maka ini berarti persoalan
penjadwalan yang dimaksud bersifat statis dengan jumlah job
sebanyak n, dimana n sembarang dan finit.

BLest 91 dari 132


Manajemen Produksi

B: menyatakan jumlah mesin. Untuk persoalan statis dinyatakan


dengan notasi ‘m’, dimana m adalah sembarang dan finit.

C: menyatakan pola aliran operasi didalam shop. Jika C ditulis


dengan notasi F, maka pola aliran proses (routing) adalah
searah sebagaimana ditemukan dalam persoalan Flow-shop.
Jika C ditulis dengan notasi G, maka pola aliran adalah umum
(general)

D: menyatakan kriteria evaluasi jadwal. Ini menyatakan tujuan


penjadwalan, misalnya meminimumkan panjang dalam skala
waktu dan sebagainya.

Menjadwalkan proses general job-shop berarti menugaskan tiap operasi ke posisi


spesifik dalam skala waktu dari mesin tertentu. Dalam penjadwalan job-shop hal ini
berarti menentukan untuk tiap operasi satu atau lebih interval waktu (b1,c1),
(b2,c2),….. sedemikian sehingga :
1. (c1-b1) + (c2-b2) +…… lebih besar atau sama dengan jumlah waktu
pemrosesan operasi – operasi tersebut.
2. b1x, yakni nilai b1 yang ditugaskan pada operasi x harus lebih besar
atau sama dengan b1y untuk setiap operasi y dari job yang sama,
sehingga operasi -x > operasi –y
3. Masing – masing interval (b1,c1) terletak seluruhnya didalam salah
satu interval yang tersedia sesuai dengan mesin yang diperlukan.

2.1. ROUTING DALAM PERSOALAN GENERAL JOB-SHOP


Suatu karakteristik utama dari disiplin penugasan adalah urutan tipe mesin yang
diperlukan untuk mengerjakan suatu job yang disebut “routing”. Dalam general job-
shop, routing suatu job tidak harus sama dengan routing job lain dari sejumlah n job
yang akan dijadwalkan. Hal inilah yang membedakan persoalan general job-shop
dengan flow-shop yang memiliki routing yang sama untuk sejumlah n job. Routing
dari sejumlah job yang dijadwalkan ditabulasikan dalam suatu matrik yang disebut
matrik routing. Contoh matrik routing bagi persoalan general job-shop dan flow-
shop diperlihatkan dalam gabar dibawah.

Dari susunan elemen routing dalam kedua matrik routing tersebut dapat dilakukan
bahwa persoalan flow-shop merupakan salah satu bentuk dari pada persoalan
general job-shop. Elemen r ij dari matrik routing menyatakan tipe mesin yang
diperlukan oleh job-i pada operasi ke-j.
2 1 3 1 2 3

1 3 2 1 2 3

1 2 3 1 2 3

a. Matrik routing b. Matrik routing


general job-shop flow-shop

2.2. MATRIK WAKTU


Didalam kita menggambarkan persoalan General Job-shop diperlukan juga besaran
waktu yang diperlukan untuk memproses operasi – operasi dari tiap – tiap job.

BLest 92 dari 132


Manajemen Produksi

Besaran waktu ini tersusun dalam sebuah matrik yang disebut matrik waktu, seperti
terlihat pada gambar dibawah. Elemen t ijdari matrik waktu menyatakan besar waktu
yang diperlukan oleh job-i operasi ke-j. jika dihubungkan dengan matrik routing,
maka tipe mesin yang diperlukan oleh job-i pada operasi ke-j adalah r ij dengan
waktu yang diperlukan sebesar t ij.

t 11 t12 …. t1m

t 21 t 22 …. t2m
. . …. .
. . …. .
t n1 tn2 …. tnm

2.3. KRITERIA EVALUASI WAKTU


Biasanya jadwal dievaluasi dengan besaran – besaran yang melibatkan informasi
mengenai job-job yang disebut dengan ukuran penampilan. Ukuran penampilan
jadwal merupakan fungsi dari sekumpulan waktu penyelesaian. Sebagai contoh,
jika ada n-job yang akan dijadwalkan, maka ukuran penampilan dapat berupa
optimasi terhadap besaran – besaran sebagai berikut :

6
1 n

- Waktu Penyesuaian rata-rata : F = Fi


i=1
(mean flow time) n

6
1 n

- Waktu Keterlambatan rata-rata : T = Ti


i=1
(mean tardiness) n

- Maksimum keseluruhan waktu penyelesaian (maximum flow times)

F max = max (F i)
1 < i < n

- Maksimum keseluruhan waktu keterlambatan (number of tardy jobs)

T max = max (T i)
1< i < n

6
1 n

- Jumlah produk yang mengalami Keterlambatan: N T= G (T i)


i=1
(number of tardy jobs) n

dimana, G(x) = 1 jika x >0


dan G(x) = 0 jika x < 0

karena ukuran penampilan ini merupakan fungsi dari pada waktu penyelesaian,
maka bentuk umumnya adalah :

Z = f (C1, C2, C3, ….. Cn)

BLest 93 dari 132


Manajemen Produksi

Besaran – besaran ini membentuk suatu klasifikasi ukuran penampilan yang


disebut dengan ukuran “regular”. Suatu ukuran penampilan dikatakan regular jika
dipenuhi :
1. Tujuan penjadwalan adalah minimasi Z, dan
2. Z dapat diperbesar jika sekurang – kurangnya salah satu waktu
penyelesaian yang ada di dalam jadwal diperbesar juga.

Dengan kata lain jika Z dan Z’ masing – masing merupakan ukuran regular dari
pada jadwal S dan S’, maka akan berlaku Z’ > Z jika C1 > Ci sekurang –
kurangnya untuk satu harga I;
Sehingga dapat disimpulkan bahwa C maks = maks (C1, C2, C3, … Cn) adalah
suatu ukuran reguler.

Dari sekian banyak ukuran penampilan perlu dipilih kriteria – kriteria yang terdefinisi
dan terkuantifisir. Beberapa kriteria berhubungan dengan sifat – sifat tertentu yang
diinginkan dan beberapa yang lain berhubungan dengan sifat – sifat yang tidak
diinginkan. Maka perlu untuk menentukan kepentingan relatif dari beberapa kriteria
yang akan dipilih. Sebelum menginjak kepada kriteria, berikut ini akan dikemukakan
beberapa istilah dasar yang cukup penting :

Job flow time, adalah rentang waktu yang diperlukan oleh suatu pekerjaan di
dalam bengkel kerja

Lateness, adalah pekerjaan secara aljabar antara waktu penyelesaian dengan


batas waktu penyerahan.

In-waiting inventory, adalah pekerjaan yang sedang dikerjakan atau sedang


menunggu dikerjakan pada suatu mesin tertentu

Utilitas shop, adalah ratio keseluruhan beban kerja terhadap kapasitas yang
tersedia dari mesin – mesin pada suatu periode produksi tertentu

Completion time, adalah waktu dimana tugas terakhir dari suatu pekerjaan
tertentu diselesaikan

Due-date, adalah waktu dimana tugas suatu pekerjaan tertentu telah siap
dikerjakan da siap untuk diserahkan kepada pelanggan

Conway et all memberikan klasifikasi dari beberapa kriteria yang ada dengan
melihat kepada karaktristik tugas dan shop (atau mesin) sebagai berikut :
1. Kriteria atribut tugas, didirikan oleh hubungannya dengan tugas,
contohnya adalah minimum flow time, minimum lateness dan
minimum in-waiting inventory
2. Kriteria atribut shop, dicirikan oleh hubungan dengan shop (atau
mesin). Kriteria – kriteria ini adalah maksimum utilitas shop atau
minimum waktu set up mesin.

BLest 94 dari 132


Manajemen Produksi

3. PERFORMANSI DAN ASUMSI

3.1. UKURAN PENAMPILAN UNTUK SHOP


ukuran – ukuran umum secara teoritis untuk menyatakan penampilan suatu jadwal
dipakai antara lain : rata – rata atau maximal completion time, flow time, mean flow
time atau maximal flow time, lateness atau tardiness dan sebagainya. Optimisasi
dimaksudkan meminimasi ukuran – ukuran tersebut.

Namun kadang – kadang penentuan suatu jadwal lebih cenderung kepada ukuran
penampilan yang berhubungan dengan keseluruhan shop, dibandingkan dengan
individual job. Yang paling nyata dan penting dalam hal ini adalah utilitass fasilitas,
sebagai bagian dari kriteria atribut yang berhubungan dengan shop.

Utilitas adalah bagian dari kapasitas mesin yang tersedia atau dibebani untuk
menjalankan proses – proses yang dibutuhkan, yakni ratio waktu proses terhadap

6
waktu yang tersedia : n
Pi
i=1
U =
m. F max

Dalam masalah penjadwalan untuk persoalan yang tertentu (finite) diasumsikan


bahwa seluruh mesin tersedia sepanjang waktu yang dibutuhkan untuk proses
keseluruhan, dimana untuk kasus utilitas rata – rata berbanding terbalik maksimum
flow-time (Fmax).

Karena nilai Pi konstan untuk semua job, yang penting diperhatikan hanya
pembilang saja dalam persamaan utilitas. Maka menaikkan utilitas rata – rata
berarti diperoleh dengan meminimumkan Fmax.

Sebagai hasilnya, utilitas jelas merupakan hal yang penting didalam masalah
praktis, walaupun jarang dinyatakan secara eksplisit di dalam penjadwalan.

3.2. ASUMSI
Penyelidikan untuk memecahkan masalah penjadwalan sering mengalami kesulitan
– kesulitan terutama oleh karena jadwal tersebut saling berkaitan dengan
penundaan atau perubahan keputusan yang tidak terduga. Penundaan ini bisa
disebabkan oleh :
1. Kemungkinan kerusakan mesin
2. Variasi kondisi kerja
3. Ketidakhadiran kerja
4. Penundaan pengiriman bahan – bahan dan alat
5. Perubahan yang mungkin dibuat pada spesifikasi tugas dan batas
waktu penyerahan produk
6. Penekanan oleh langganan untuk mempercepat pekerjaan sehingga
mengakibatkan penundaan pada tugas yang lain.
7. Kerusakan pada beberapa unit produk yang mengakibatkan perlunya
pengulangan operasi
8. Waktu pemrosesan yang bervariasi yang tegantung metoda estimasi
9. Kemungkinan – kemungkinan lain

BLest 95 dari 132


Manajemen Produksi

Berkenaan dengan kemungkinan – kemungkinan diatas, maka untuk dapat


memecahkan masalah penjadwalan diperlukan asumsi – asumsi yang menyangkut
karakteristik tugas – tugas, mesin dan waktu pemrosesan.

Asumsi – asumsi tersebut adalah sebagai berikut :


1. Asumsi mengenai tugas :
a. Setiap tugas diselesaikan menurut urutan yang telah disusun dan
tidak berdasarkan rute lain
b. Setiap tugas yang telah dimulai harus diselesaikan, tidak boleh ada
penundaan
c. Setiap tugas yang telah dimulai pada sebuah mesin harus dikerjakan
sampai selesai sebelum tugas lain dikerrjakan pada mesin itu.
d. Setiap tugas merupakan suatu kesatuan, walaupun mungkin terdiri
dari beberapa unit.
e. Setiap tugas tidak boleh diproses dilebih dari satu mesin pada waktu
yang sama. Ini untuk menghindari “Lap-phasing” dimana suatu tugas
mulai dikerjakan pada suatu operasi yang sedang berjalan setelah
beberapa bagian selesai dikerjakan pada operasi sebelumnya.
f. Setiap tugas mungkin harus menanti diantara dua mesin sampai
waktu penantian selesai.
g. Setiap tugas memiliki waktu penyerahan yang pasti, yang ditentukan
secara bersama oleh pelanggan.
h. Setiap tugas boleh diproses lebih dari satu kali dimesin yang sama.
i. Setiap tugas memiliki jumlah operasi yang tertentu, dimana setiap
operasi dikerjakan hanya di satu mesin.

2. Asumsi mengenai mesin :


a. Setiap pusat mesin mengandung hanya satu mesin, yang hanya ada
satu mesin pada setiap tipenya.
b. Setiap mesin dalam bengkel dioperasikan secara independen dan
karenanya setiap mesin dapat beroperasi pada kecepatan output
yang maksimum
c. Setiap mesin secara kontinu siap untuk dibebani tugas selama
periode penjadwalan, tanpa mengalami interupsi oleh kerusakan dan
pemeliharaan mesin.
d. Setiap mesin dapat memproses paling banyak satu tugas pada satu
saat.

3. Asumsi mengenai waktu proses :


a. waktu pemrosesan telah diketahui dan tertentu
b. waktu pemrosesan bisa termasuk secara implisit waktu pemindahan
kerja antara mesin – mesin, waktu set-up dan penghentian mesin.
c. Waktu pemrosesan termasuk “change over”, tidak tergantung kepada
sequence untuk mana tugas – tugas dikerjakan.

Yang perlu ditekankan adalah bahwa pada masalah statis diasumsikan


semua tugas telah diketahui dan siap untuk dimulai sebelum periode
penjadwalan dimulai.
Asumsi diatas menunjukkan betapa perlunya dinyatakan secara eksplisit
suatu kondisi masalah sebelum konsep pemecahan masalah penjadwalan
dikembangkan.

BLest 96 dari 132


Manajemen Produksi

4. Ruang Jawab Penjadwalan General Job-Shop.


Definisi : jadwal fisibel dalam persoalan general job-shop diperoleh dari
penugasan dengan telah dipenuhinya :
a. Keseluruhan operasi dari semua job telah ditugaskan
b. Ketentuan presedensi (tidak ada overlap diantara operasi) dan
waktu operasi.

Dari definisi diatas maka diperoleh jadwal fisibel yang jumlahnya tidak
terbatas. Hal ini disebabkan kita dapat menyisipkan waktu menganggur
diantara operasi tanpa melanggar ketentuan presedensi. Dalam hal ini kita
perlu mempertimbangkan jadwal yang mendekati kepada ukuran penampilan
yang akan dipilih. Jadwal – jadwal fisibel tersebut diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Set jadwal semi aktif (SA) adalah set jadwal dimana tidak satupun
operasi dapat dikerjakan lebih awal tanpa merubah susunan operasi
– operasi pada mesin.
2. Set jadwal aktif (A) adalah set jadwal dimana tidak satupun operasi
dapat dipindahkan lebih awal tanpa menunda operasi lain
3. Set jadwal non delay (Nd) adalah set jadwal dimana tidak satupun
mesin dibiarkan menganggur jika pada saat yang sama terdapat
operasi yang memerlukan mesin tersebut.
4. Set jadwal Optimal (O) adalah set jadwal dimana tidak terdapat
jadwal lain yang memiliki tingkat preferensi lebih tinggi dari set jadwal
optimal.

Pergeseran ke kiri (lebih awal) tanpa merubah susunan operasi tersebut


dirubah tetapi tanpa menunda operasi lain dikenal sebagai global left shift.

Dapat disimpulkan bahwa jadwal optimal terdapat dalam set jadwal aktif,
atau jadwal optimal merupakan jadwal dengan tingkat preferensi paling tinggi
dari set jadwal aktif. Meskipun jadwal non-delay merupakan subset dari
jadwal aktif, jadwal optimal belum tentu berada didalam set jadwal non-delay.

Hubungan antara set – set jadwal diatas diperlihatkan dalam diagram Venn
dibawah.

F F

A A Op
Op

Nd Nd
SA SA

a. Set Non-delay (Nd) ∩ b. Set Non-delay (Nd) ∩


Set Optimal (O) + Φ Set Optimal (O) = Φ

BLest 97 dari 132


Manajemen Produksi

4. PROSEDUR PEMBENTUKAN JADWAL


Berdasarkan cara penentuan waktu start operasi, prosedur pembuatan jadwal
dapat diklasifikasikan sebagai mekanisme single-pass dan mekanisme adjusting.
Dalam prosedur single-pass waktu start suatu operasi tidak berubah bila sekali
operasi tersebut ditugaskan. Oleh karena itu, jadwal lengkap dapat dibuat dengan
prosedur single-pass untuk semua operasi. Dalam prosedur adjusting, waktu start
dapat ditentukan setelah operasi – operasi yang berurutan terdapat didalam jadwal.
Prosedur single-pass lebih dikenal dalam praktek karena dengan mudah dapat
disesuaikan dengan kesatangan job yang dinamis, kemungkinan kerusakan mesin,
atau persoalan lain yang berpengaruh disepanjang waktu.

Salah satu prosedur yang menggunakan mekanisme single-pass adalah prosedur


dispatching. Prosedur ini menyusun operasi dalam urutan yang konsisten dengan
hubungan presedensi dari persoalan tersebut. Tidak sebuah operasipun
dipertimbangkan sampai operasi pendahulunya (predecessor) dijadwalkan. Jika
semua operasi predecessor dari suatu operasi (i,j,k) telah dijadwalkan, maka (i,j,k)
disebut “schedulable” (siap dijadwalkan). Operasi – operasi ditugaskan satu persatu
pada setiap stage yang dipilih dari set operasi schedulable berdasarkan aturan
prioritas penugasan tertentu.

Suatu pendekatan sistematis dalam pembuatan jadwal aktif pertama sekali


diusulkan oleh Giffler dan Thompson. Prosedur tersebut diformulasikan oleh
K.B.Baker sebagaimana yang telah terlihat pada alogaritma 2-1. Dalam prosedur
pembuatan jadwal selanjutnya akan digunakan notasi – notasi berikut :

PSt = suatu jadwal persial yang mengandung sejumlah t-operasi yang telah
dijadwalkan.

St = set operasi – operasi schedulable pada stage ke-t

σj = saat paling awal dimana operasi j St dapat mulai dikerjakan

Φj = saat paling awal operasi j St dapat diselesaikan ; dimana Φj = j + t ij

t ij = waktu pemrosesan dari job i pada operasi yang ke-j

k
Besarnya j dari suatu operasi yang memerlukan mesin k = ( σ )
j

ditentukan oleh waktu penyelesaian dari operasi pendahuluannya Φ (j-1) dan


penyeleaian operasi terakhir pada mesin k, sehingga berlaku :
k
( σ ) = maks (Φji , fk)
j

Algoritma 1 : Pembuatan Jadwal Aktif

Langkah 1. Pada t = 0, maka PSt = 0

Langkah 2. Tentukan Φ* = min j ∈ St (Φj) dan mesin m*, yaitu mesin yang
merealisasikan Φ*.

Langkah 3. Untuk semua operasi-j St yang memerlukan mesin m* dan memenuhi

BLest 98 dari 132


Manajemen Produksi

σj < Φ* maka tambahkan operasi-j yang memenuhi syarat ini ke dalam Pst dan
mulai dikerjakan pada saat σj.

Langkah 4. Untuk setiap kemungkinan jadwal persial yang dapat dibuat pada
langkah ke-3 diatas akan menyebabkan perubahan – perubahan :
a. Keluarkan operasi j dari St
b. Masukkan operasi selanjutnya dari job sama dari operasi yang dikeluarkan
tersebut ke dalam St.
c. Harga t berubah menjadi t + 1

Langkah 5. Kembali kelangkah 2 untuk setiap alternatif jadwal persial PSt yang
dapat dibuat pada langkah ke 3. Lanjutkan proses ini sampai semua jadwal aktif
telah dihasilkan.

Algoritma 2 : Pembuatan Jadwal Nondelay

Langkah 1. Sama dengan algoritma 1

Langkah 2. Tentukan σ* = min (σ*j) dan mesin m* yang digunakan untuk


mengerjakan σ*.

Langkah 3. Untuk semua operasi j St yang memerlukan mesin m* dan memiliki


σ j = σ*, maka tambahkan operasi-j ke dalam PSt dan dimulai pada saat σ j

langkah 4. Sama dengan algoritma 1

langkah 5. Sama dengan algoritma 1

5. TEKNIK - TEKNIK PEMECAHAN PERSOALAN GENERAL JOB-SHOP


Prosedur pembuatan jadwal dari algoritma 1 dan algoritma 2 didasarkan pada
pendekatan struktur cabang (tres structured). Simpul – simpul menggambarkan
jadwal persial dan cabang – cabang yang terdapat pada setiap simpul menunjukkan
alternatif penugasan operasi pada suatu jadwal parsial. Jika setiap cabang
ditelusuri satu persatu maka akan dihasilkan semua jadwal aktif (algoritma 1) dan
semua jadwal nondelay (algoritma 2). Oleh karena itu maka jadwal optimal dapat
diperoleh dengan jalan mencari jawaban terbaik dari algoritma 1.

5.1. TEKNIK INTEGER PROGRAMMING


Masalah General Job-Shop dapat dimodelkan sebagai masalah integer
programming sebagaimana juga dapat dimodelkan sebagai masalah flow-shop dan
pengurutan mesin tunggal. Model ini dimaksudkan untuk mendapat jadwal optimal
dan dapat dipakai untuk maksud dan pendekatan yang umum. Model ini
pertamakali dikembangkan oleh Manne dan diformulasikan oleh K.Baker.

Formulasi berpijak pada variabel keputusan yang menspesifikasikan urut – urutan


operasi. Jika xik adalah waktu penyelesaian job i pada mesin k, merupakan variabel
keputusan dan nilainya akan menentukan jadwal. Dalam menyatakan
pertidaksamaan yang menggambarkan konstrain presedensi dimisalkan operasi j
dari job i membutuhkan mesin k ,operasi (j-1) dari job i membutuhkan mesin h.
untuk mendapatkan set xik yang fisibel, diperlukan kontrain berikut :
Xik – tijk > xih 1 < j < m ; 1 < i < n ……….(1)

BLest 99 dari 132


Manajemen Produksi

Untuk operasi pertama (j=1) konstrainnya adalah :


Xik – tijk > 0 ; 1 < i < n ……….(2)

Untuk menjamin tidak akan terjadi operasi yang bersamaan pada satu mesin, maka
diperlukan konstrain lain. Jika job i mendahului job p pada mesin k, dengan kata
lain operasi (ij,k) diselesaikan sebelum operasi (p,q,k) dimulai, maka konstrainnya
adalah :
Xpk – tpqk > xik

Dengan cara yang sama jika job p mendahului job i pada mesin k berlaku :
Xik – tijk > xpk

Karena kedua konstrain ini harus dipenuhi, maka untuk memformulasikan model
diperlukan variabel indikator berikut :
Yipk = 1 jika job i mendahului job p pada mesin k, Selain itu maka = 0

Maka kedua konstrain diatas menjadi :

Xpk - xik + H (1 – Yipk) > tpqk ………. (3)

Xik - xpk + H Yipk > tijk ………………..(4)

Dimana H adalah bilangan positif yang sangat beast. Untuk masalah Mean Flow

6 X iki
Time, Formulasinya adalah sebagai berikut :
Min.

S/t Xik – tijk > xih untuk (i, j-1, h) < (i, j, k)
Xpk – xik + H(1-Yipk) > tpqk ; 1 < i ; p < n ; 1 < k < m

Xik – xpk + HYipk > tijk ; 1 < i ; p < n ; 1 < k < m


Xik > 0 Yipk = 0 atau 1

Dimana ki adalah nomor identifikasi mesin yang mengerjakan operasi terakhir dari
job i. Identifikasi jumlah variabel untuk persoalan m mesin dan n job dari formulasi
diatas memberikan :
- untuk pertidaksamaan (1) dan (2) = mn
- untuk pertidaksamaan (3) dan (4) = mn (n-1)

Total jumlah konstrain = mn2

Jumlah variabel :
- variabel xik = mn
- variabel Yipk = mn (n-1)/2

Total jumlah variabel = mn (n+1)/2

Nampak bahwa untuk persoalan 10 job dengan 5 mesin saja membutuhkan 500
konstrain dan 275 variabel. Jadi terlalu sulit memformulasikan pertidaksamaannya.
Studi ini dilakukan oleh Wagner, Story, Grilio untuk persoalan flow-shop dan
general job-shop. Nyata bahwa ukuran resultante dari model integral programming
sangat memakan waktu dan code komputer. Greenberg telah mengembangkan

BLest 100 dari 132


Manajemen Produksi

code komputer khusus untuk memecahkan masalah integral programming ini.


Dalam formulasinya, Greenberg pada awalnya mengabaikan pertidaksamaan (3)
dan (4) dan persoalan selanjutnya (sub problem) dipecahkan dengan program linier
dimana konflik yang timbul pada suatu mesin k, untuk job i dan p dipecahkan
dengan memberikan kepada kedua subproblem konstrain tambahan sebagai
berikut :

Xpk – tpqk > xik dan xik – tijk > xpk

Studi Greenberg ini berhasil memecahkan persoalan konflik dan memberikan solusi
yang lebih cepat, namun masih belum memberikan penentuan formulasi dan batas
bawah (lower bound) yang produktif.

5.1. TEKNIK BRANCH AND BOUND


Satu teknik lain yang sering digunakan untuk memecahkan masalah penjadwalan
job-shop adalah teknik branch and bound.

Teknik ini merupakan pengembangan dan modifikasi dari integer programming


yang pada mulanya dikembangkan dan diterapkan untuk masalah – masalah
travelling salesmen oleh Little, Murty dan Karet. Untuk masalah general job-shop
kemudian dikembangkan oleh Brooks dan White yang menggunakan pendekatan
struktur diagram cabang Algoritma 1 untuk bentuk routing flowshop.

Prosedur dari teknik branch and bound dapat ditulis sebagai berikut :
a. Pemeriksaan semua cabang pada setiap simpul alternatif jadwal dengan
menggunakan “bound” sebagai pedoman.
b. Cabang yang memiliki bound terkecil (lower bound), dipandang sebagai
cabang yang mempunyai kemungkinan paling besar yang akan
memberikan solusi terbaik.
c. Setelah dihasilkan satu jadwal lengkap, maka panjang jadwal tersebut (=PJ)
dijadikan ukuran untuk memilih cabang – cabang yang memiliki “bound” <
PJ. Pemeriksaan ini dikenal dengan “Back Tracking” (penelusuran mundur)
d. Jika pada back tracking ditemukan jadwal lain dengan panjang Fmaks < PJ,
maka nilai PJ yang baru adalah sama dengan Fmaks. Proses back tracking
berlangsung terus sampai diperoleh jadwal terbaik dari semua alternatif
jawaban dari diagram cabang.

Perhitungan bound didasarkan pada dua hal, yaitu yang berhubungan dengan job
dan yang berhubungan dengan mesin. Perhitungan bound yang berhubungan
dengan job memakai asumsi bahwa tidak akan terjadi konflik diantara sumberdaya
jika pemrosesan operasi – operasi yang belum dijadwalkan dari tiap job dijadwalkan
seketat mungkin.perhitungan ini bersumber dari jadwal parsial, PSt, dan set operasi
yang schedulable, St. pada setiap stage akan ada satu operasi didalam set St untuk
setiap job yang belum diselesaikan. Untuk operasi j didalam set St, kita notasikan j
adalah saat tercepat dapat dimulainya proses j dan Rj adalah total waktu
pengerjaan bagi operasi yang belum dijadwalkan dari job yang berhubungan
dengan operasi j, maka untuk menyelesaikan job ini sekurang – kurangnya akan
diperlukan waktu sebesar j+Rj. Sehingga diperroleh “lower bound” yang
berhubungan dengan job sebesar :
b1 = maks (σ j + Rj)
j ∈ St

BLest 101 dari 132


Manajemen Produksi

Dalam perhitungan “bound” yang berhubungan dengan mesin dipakai asumsi


bahwa tidak akan terjadi konflik presedensi jika pemrosesan selanjutnya dari setiap
job yang dijadwalkan seketat mungkin. Jika tk menyeatakan saat penyelesaian dari
operasi terakhir di mesin k dan Mk menyatakan total waktu yang diperlukan untuk
operasi – operasi yang belum dijadwalkan yang memerlukan mesin k, maka
panjang jadwal sekurang – kurangnya adalah tk + Mk sehingga diperoleh “lower
bound” yang berhubungan dengan mesin sebesar :

b2 = maks (tk + Mk)


j ∈ St
sehingga “ lower bound” akhir adalah sebesar :

B = maks (b1, b2)

Bound yang brhubungan dengan mesin dapat diperbaiki dengan tambahan


perhitungan. Waktu tk dapat diganti dengan fk, yaitu saat tercepat dari operasi –
operasi yang belum dijadwalkan dapat dimulai di mesin k, sehingga :

b’2 = maks (fk + Mk) dan


B = maks (b1, b’2)
1<k<m

Kedua jenis bound yang dikemukakan diatas sama baiknya untuk digunakan bagi
pengurangn jumlah jadwal yang akan diperiksa dalam diagram cabang Algoritma 1
atau Algoritma 2.

Pemeriksaan semua cabang alternatif jawaban dari algoritma 1 untuk mendapatkan


solusi optimal ternyata menemui kesulitan beban komputasi dalam memecahkan
persoalan berukuran menengah dan besar (jumlah n dan m menengah dan besar).
Ini merupakan kesimpulan Brooks dan White, mereka menyarankan untuk meneliti
prosedur “dispatching” dari cabang – cabang yang dihasilkan pada solusi dari teknik
branch and bound tanpa melakukan back tracking.

5.2. TEKNIK PRIORITY DISPATCHING


Teknik ini besumber dari diagram cabang yang dihasilkan oleh Algoritma 1 dan 2,
dimana teknik ini hanya memilih satu cabang pada setiap simpul dalam lintasan
membentuk jadwal lengkap. Ini berarti bahwa teknik priority Dispatching harus
menentukan aturan prioritas untuk memilih satu operasi diantara operasi – operasi
yang mengalami konflik pada mesin m* pada setiap stage. Untuk maksud ini maka
langkah 3 dari Algoritma 1 atau 2 harus diadaptasi. Adaptasi dari Algoritma 1 dapat
berbentuk sebagai berikut :

Langkah-3. Untuk setiap operasi J, St yang memerlukan mesin m* dan dimana


j < m*, dihitung indeks prioritas sesuai dengan aturan prioritas yang ditetapkan.
Masukkan operasi dengan indeks prioritas tertinggi ke dalam PSt seawal mungkin
sehingga hanya menciptakan satu jadwal parsial PSt +1 untuk stage berikutnya.

BLest 102 dari 132


Manajemen Produksi

10 KESEIMBANGAN LINTAS PRODUKSI

A. TUJUAN

1. Mengenal berbagai permasalahan yang terjadi pada suatu lintasan produksi


dan faktor – faktor penyebab ketidakseimbangan lintasan
2. Memahami teknik dan metoda perancangan lintasan dan aplikasinya dalam
pengelolaan pabrik

B. PENGANTAR

Dalam sistem produksi yang menghasilkan barang dalam jumlah besar dan
berkesinambungan (high volume production system) maka mesin – mesin /
peralatan produksi ditata sedemikian rupa mengikuti urutan proses pembuatan
produk sehingga membentuk apa yang sering disebut sebagai lintasan produksi.
Dalam pengertian yang luas lintasan produksi tidak hanya dapat dijumpai dapa
sistem produksi yang menghasilkan bentuk nyata, tetapi juga dapat dijumpai pada
suatu unit usaha jasa. Pada Bank misalnya, terlihat sederetan karyawan yang
secara berurutan melayani dokumen – dokumen dan keperluan konsumen.

Salah satu kelemahan dalam lintas produksi seperti apa yang digambarkan diatas
adalah tidak handalnya lintasan tersebut, artinya kerusakan dari suatu mesin akan
menyebabkan kemacetan / terhentinya lintasan tersebut untuk operasi produksi.
Disamping itu output dari lintasan produksi akan ditentukan oleh kapasitas mesin /
peralatan (stasion kerja) yang rendah. Akibatnya dapat terjadi under utilized dari
mesin – mesin / peralatan yang lain.

Dalam pokok bahasan disini akan dicoba untuk dibahas hal – hal yang berkaitan
dengan masalah ketidakseimbangan lintasan, khususnya yang berkaitan dengan
proses perancangan lintasan yang baik, sehingga akan diperoleh tingkat
penggunaan peralatan / mesin yang optimal.

C. MATERI

I. PERMASALAHAN

Dasar Line Balancing


Lintas perakitan biasanya terdiri dari sederetan area kerja yang dinamakan stasiun
kerja yang ditangani seorang atau lebih operator dan berkemungkinan ditangani
dengan beragam alat. Masing – masing operator mengerjakan elemen kerja apabila
unit produk melewati stasiun kerjanya. Jadi dalam proses pengerjaan sebuah
produk, semua atau hampir semua stasiun kerja terlibat dan item yang menjalani
pengerjaan akan bertambah komplit pada setiap stasiun.

Salah satu tujuan dasar dalam menyusun lintas perakitan yang dikenal dengan line
balancing adalah untuk membentuk atau menyeimbangkan beban yang

BLest 103 dari 132


Manajemen Produksi

dialokasikan pada setiap stasiun kerja. Tanpa keseimbangan seperti ini, maka akan
terjadi sejumlah ketidakefisienan karena beberapa stasiun akan mempunyai beban
kerja yang lebih banyak dari yang lain.

Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pada masing – masing


stasiun kerja biasanya disebut service time atau station time. Sedangkan waktu
yang tersedia pada masing – masing stasiun kerja disebut waktu siklus. Waktu
siklus biasanya sama dengan waktu stasiun kerja yang paling besar.

Dalam membuat perakitan sebuah produk biasanya ada sejumlah k elemen kerja
(operasi). Untuk masing – masing elemen kerja dibutuhkan waktu proses selama tk
(k= 1, 2, …..k) dan total waktu yang dibutuhkan untuk merakit sebuah produk :
k

∑tk
k-1

k elemen kerja juga dibatasi oleh hubungan preseden yang biasa diberikan oleh
diagram precedence. Gambar dibawah menunjukan salah satu bentuk diagram
precedence. Simbol didalam lingkaran menyatakan elemen kerja dan nomor diluar
lingkaran menyatakan waktu pengerjaan elemen. Elemen kerja 1 merupakan
predecessor dari elemen kerja j jika proses perakitan menghendaki elemen kerja 1
dikerjakan terlebih dahulu sebelum j.

U2 U3 U9 U10
5
2 2 6

U1
5 U11
U1 6
4
U1
7
U1 U1
5
U1 3
1

Apabila ada sejumlah Q unit yang akan diasembling di lintas perakitan dan pi (i = 1,
2, ….., n) menyatakan waktu stasiun yaitu jumlah dari waktu yang ditugaskan pada
stasiun i untuk masing – masing unit, maka :
n k

∑Pi = ∑tk
i=1 k=1

Tujuan dasar dari penyeimbangan lintas perakitan ialah untuk mengelompokan


elemen – elemen kerja pada stasiun – stasiun kerja dimana batasan precedence
dan zoning tidak dilanggar agar waktu menganggur (idle time) minimal, yaitu
dengan meminimasi
n

∑ (c-Pi) dimana ; c > Pi , i = 1, 2, …., n


i=1

BLest 104 dari 132


Manajemen Produksi

karena
n n n

∑ (c-Pi)nc - ∑ Pi = nc - ∑ tk = nc - konstanta
i=1 i=1 k=1

Maka minimasi persamaan diatas sama dengan minimasi jumlah stasiun atau
waktu siklus atau keduanya tergantung mana yang akan memberikan hasil yang
lebih baik.

Penyeimbangan lintas perakitan mempunyai kombinasi yang sangat kompleks


dengan sejumlah penyelesaian baik yang eksak maupun yang heuristik.

II. BEBERAPA TEKNIK LINE BALANCING


Untuk menyeimbangkan lintas perakitan ada beberapa teori yang dikemukakan
oleh para ahli yang meneliti bidang ini. Secara garis besar metoda yang ada sampai
saat ini terbagi atas dua bagian yaitu :

1. Pendekatan Analitis
2. Pendekatan Heuristik

Pada awalnya teori line balancing dikembangkan dengan pendekatan matematis /


analitis yang akan memberikan solusi yang optimal. Tapi lambat laun para ahli yang
meneliti bidang ini mulai menyadari bahwa pendekatan matematis semata tidaklah
ekonomis. Memang semua problem bisa dipecahkan secara matematis, akan tetapi
usaha yang dilakukan untuk perhitungan terlalu besar. Banyak usaha dilakukan
para ahli untuk memberikan alternatif baru, akan tetapi tidak satupun yang dapat
mengurangi jumlah perhitungan pada tingkat yang bisa diterima.

Semua hal diatas membawa para ahli untuk mengembangkan metoda heuristik.
Metode ini didasarkan pada pendekatan matematis dan akal sehat. Batasan
heuristik menyatakan pendekatan trial and error, fan teknik ini memberikan hasil
yang secara matematis belum tentu optimal tapi cukup mudah untuk memakainya.
Usaha yang dikeluarkan untuk perhitungan agar mendapatkan solusi yang optimal
seringkali sangat besar dan sangat riskan apabila data yang dimasukkan tidak
akurat. Jadi teknik yang memberikan alternatif solusi yang baik dan juga cukup
mudah untuk dihitung, baik dengan tangan maupun dengan komputer, merupakan
alat yang sangat berguna untuk menganalisa lintas perakitan. Pendekatan heuristik
merupakan cara yang sangat praktis, mudah dimengerti dan diterapkan.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap berikut ini akan diberikan
beberapa model heuristik untuk penyeimbangan lintas perakitan.

Metoda Hegelson dan Birnie

Metoda ini biasanya lebih dikenal dengan nama ranked positional weight system
(sistem rpw). Langkah pertama adalah membuat diagram precedence dan matrix
precedence. Kemudian dihitung bobot positional untuk setiap elemen yang didapat
dari penjumlahan waktu pengerjaan elemen tersebut dengan waktu pengerjaan
elemen lain yang mengikuti elemen tersebut.

BLest 105 dari 132


Manajemen Produksi

b 3

c 4

a 6 9
e
d 2

Dari diagram precedence diatas bobot setiap elemen dapat dihitung sebagai
berikut :

Untuk elemen a = a + b + c + d + e = 24
Untuk elemen b = b + c + e = 16
Untuk elemen c = c + e = 13
Untuk elemen d = d + e = 11
Untuk elemen e = e = 24

Hubungan precedence juga bisa dibuat dalam bentuk matrix dimana setiap
hubungan bernilai –1, 0 dan 1. Hubungan precedence bernilai +1 jika si elemen
yang mau dihubungkan dikerjakan sebelum elemen yang mau dihubungkan
dengannya ;-1 jika sebaliknya dan 0 apabila tidak ada hubungan.

Tabel 1 :matrix precedence

Elemen a b c d e
A 0 1 1 1 1
B -1 0 1 0 1
C -1 -1 0 0 1
D -1 0 0 0 1
E -1 -1 -1 -1 0

Dari matrix precedence, bobot setiap elemen didapat dari penjumlahan waktu
pengerjaan untuk elemen tersebut dengan elemen yang nilainya +1 pada masing –
masing baris. Sebagai contoh diambil elemen b.

Elemen a b c d e
b -1 0 1 0 1
Positional
0 3 4 0 9=16
weight

Terlihat bahwa masing – masing elemen mempunyai bobot dan elemen yang
mempunyai bobot paling besar menempati rank,1. Bobot yang besar berikutnya
menempati rank,2 dan begitu seterusnya sampai semua elemen didaftar. Apabila
ada dua elemen yang bobotnya sama mereka bisa diurut sesuai urutan mereka
dalam daftar.

Penugasan elemen – elemen terhadap stasiun kerja mengikuti langkah sebagai


berikut :
1. Elemen yang mempunyai bobot paling tinggi (rank,1) ditempatkan
pada stasiun 1

BLest 106 dari 132


Manajemen Produksi

2. Hitung perbedaan antara elemen ai yang telah ditempatkan dan


waktu siklus.
3. Kemudian dipilih elemen dengan bobot terbesar berikutnya dan
dilakukan pemeriksaan terhadap :
a. Precedence
Hanya elemen – elemen yang semua elemen
pendahulunya sudah ditempatkan boleh bergabung
b. Waktu pengerjaan dielemen tersebut harus sama atau
lebih kecil dari waktu stasiun yang masih tersedia atau t
pada perhitungan no.2.
Apabila (a) dan (b) sudah dipenuhi kemudian elemen
tersebut ditempatkan pada stasiun yang pertama dan
teruskan langkah dengan elemen dengan bobot tertinggi
berikutnya, kemudian hitung (C – (ai + a i+1)) dan apabila
a i+2 < C – (ai + a i+1) dan precedencenya sudah
ditempatkan semua, maka a i+2 ditempatkan pada
stasiun kerja 1. Apabila kondisi (a) dan (b) tidak
terpenuhi tinggalkan elemen tersebut dan lanjutkan
dengan elemen rank berikutnya.
4. Langkah 2 dan 3 diulang sampai tidak ada perbedaan waktu antara
jumlahdari waktu elemen – elemen distasiun kerja dengan waktu
siklus c; atau tidak ada kemungkinan untuk menugaskan elemen lagi
pada stasiun kerja karena batasan precedence; atau semua waktu
dari elemen sisa lebih besar sari waktu stasiun yang tersedia.
5. Stasiun kerja kedua dimulai dengan memilih elemen yang bobotnya
paling besar dari elemen yang belum ditempatkan.
6. Langkah 2, 3, 4, dan 5 berlanjut sampai semua elemen
dikelompokkan dalam stasiun – stasiun kerja.

Yang perlu diingat disini adalah bahwa waktu siklus yang dihitung pada lintasan
merupakan gambaran dari target dan kenyataannya waktu siklus dalam lintasan
merupakan waktu stasiun kerja yang paling lama yang mungkin sama atau tidak
dengan waktu siklus target.

Balance delay bisa dihitung untuk memberikan gambaran apakah telah tercapai
keseimbangan yang baik atau belum. Balance delay dihitung dengan perhitungan
sebagai berikut :
n

n.Sm - ∑ Si
i=1

D =
n.Sm

D = balance delay
Sm= waktu stasiun yang paling maksimum dalam lintasan
n = jumlah stasiun kerja
Si = waktu masing – masing stasiun (i = 1, 2, 3, …,n)

Prosedur metode rpw diatas akan lebih dijelaskan dengan contoh berikut;
Misalkan diagram precedence berikut ini akan diseimbangkan.

BLest 107 dari 132


Manajemen Produksi

b 3
h 7

c
6 i 3
a 6
4
3 k
d
j 3
e 5 g
2

f 4

Diagram Precedence untuk contoh kasus Metode RPW

Tabel Matrix Precedence dari gambar diatas

Elemen Kerja a b c d e f g h i j k
a 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
b -1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1
c -1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1
d -1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
e -1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
f -1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
g -1 0 0 -1 -1 -1 0 0 0 1 1
h -1 -1 -1 0 0 0 0 0 1 0 1
i -1 -1 -1 0 0 0 0 -1 0 0 1
j -1 0 0 -1 -1 -1 -1 0 0 0 1
k -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 0

Bobot masing – masing elemen dihitung dan didapat hasil seperti dibawah ini :

Elemen Waktu Elemen Bobot Rank


a 4 46 1
b 3 19 3
c 6 22 2
d 3 14 7
e 5 16 4
f 4 15 6
g 2 11 8
h 7 16 5
i 3 9 9
j 3 9 10
k 6 6 11
Total 46

BLest 108 dari 132


Manajemen Produksi

Misalnya C didapat 12 menit dan dilakukan langkah berikutnya. Langkah berikut ini
berbentuk tabel yang terdiri dari beberapa kolom yang masing – masing kolom dari
kiri kekanan menunjukkan ; rank untuk menyatakan urutan elemen; nomor elemen
yang menyatakan identitas elemen sesuai dengan rank; pengecekan precedence
untuk mengetahui apakah precedence elemen tersebut sudah digabung; kemudian
dihitung perbedaan dari kumulatif waktu yang bergabung dengan waktu siklus C;
dan terakhir keterangan menyatakan bergabung atau tidaknya suatu elemen dalam
satu stasiun kerja.

Beda antara
Nomor Pengecekan Waktu komulatif waktu
Rank elemen dengan
Keterangan
Elemen Precedence Proses
C
Stasiun Kerja 1
1 a √ 4 8 Masuk
2 c √ 6 2 Masuk
3 b √ 4 negatif Tidak
Waktu elemen – elemen d, e, f terlalu besar dan elemen lain tidak memenuhi batasan precedence
Stasiun Kerja 2
3 b √ 3 9 Masuk
4 e √ 5 4 Masuk
5 h √ 7 (-) Tidak
6 f √ 4 0 Masuk
Stasiun Kerja 3
5 h √ 7 5 Masuk
7 d √ 3 2 Masuk
8 g √ 2 0 Masuk
Stasiun Kerja 4
9 i √ 3 9 Masuk
10 j √ 3 6 Masuk
11 k √ 6 0 Masuk

Ringkasan hasil

Stasiun kerja 1 elemen a dan c ; waktu = 10 menit


Stasiun kerja 2 elemen b, e, f ; waktu = 12 menit
Stasiun kerja 3 elemen h, d, g ; waktu = 12 menit
Stasiun kerja 4 elemen i, j, k ; waktu = 12 menit

Sesuai dengan hubungan precedence tiap elemen yang bergabung dalam stasiun –
stasiun kerja maka bentuk hubungan tiap stasiun kerja adalah sebagai berikut :

Stasiun 1 Stasiun 2

Stasiun 3 Stasiun 4

Gambar Hubungan antar stasiun Hasil Metoda rpw

BLest 109 dari 132


Manajemen Produksi

Metoda Kilbridge dan Wester

Dalam metoda ini diagram precedence dengan elemen – elemennya


dikelompokkan dalam sejumlah kolom independen karenanya bisa dipermutasikan
diantara mereka dalam berbagai cara tanpa melanggar kaidah precedence. Elemen
– elemen juga bisa ditransferkan dari satu kolom ke kolom kain dikanannya tanpa
perubahan dengan menjaga permutabilitas dalam kolom yang baru.

Adapun lengkapnya langkah – langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan


persoalan adalah sebagai berikut :
1. Buat diagram precedence dari persoalan yang dihadapi
2. Kelompokkan daerah precedence dari kiri ke kanan kedalam bentuk
kolom – kolom.
3. Gabungkan elemen – elemen dalam daerah precedence yang paling
kiri dalam berbagai cara dan ambil hasil gabungan terbaik yang
hasilnya sama atau hampir sama dengan waktu siklus
4. Apabila ada elemen – elemen yang belum bergabung dan jumlahnya
lebih kecil dari C lanjutkan penggabungan dengan elemen didaerah
precedence dikanannya dengan memperhatikan batasan precedence.
5. Proses berlanjut sampai semua elemen bergabung dalam suatu
stasiun kerja.

Untuk menerangkan pemakaian metoda diatas lihat contoh sebagai berikut. Dari
diagram precedence dilakukan pengelompokan sesuai dengan batasan
precedence.

I II III IV V

b 3
h 7

c
i 3
6
a 4 k
d 3 3
j
2
e 5 g

4
f

Gambar diagram Precedence untuk contoh Metoda Kilbridge

BLest 110 dari 132


Manajemen Produksi

Diambil yang sesuai dengan urutan yaitu a, b, c, kemudian modifikasi tabel dengan
membatasi elemen yang sudah bergabung dalam satu stasiun kerja dengan garis
putus – putus.

Jumlah Waktu Waktu


Kolom Elemen Waktu Proses
Proses Stasiun
I a 4 4
II b 3
e 5 12
c 6
d 3
f 4 13
III g 2
h 7 9
IV i 3
j 3 6
V k 6 6

Dalam tabel diatas terlihat pada kolom II elemen yang belum bergabung adalah
elemen c, d, dan f. Jumlah waktu ketiga elemen ini adalah 13 yang berarti lebih
besar dari C. jadi penggabungan terjadi pada kolom II ini dengan kemungkinan
penggabungan.

Elemen c dan d – waktu 9 menit

Elemen c dan f – waktu 10 menit

Penggabungan yang diambil adalah c dan f dan tabel kembali dimodifikasikan.


Bentuknya adalah sebagai berikut.

Jumlah Waktu Waktu


Kolom Elemen Waktu Proses
Proses Stasiun
I a 4 4
II b 3
e 5 8 12
c 6
f 4 10 10
d 3 3
III g 2
h 7 9
IV i 3
j 3 6
V k 6 6

BLest 111 dari 132


Manajemen Produksi

Stasiun kerja berikutnya stasiun 3 dan dilihat dari tabel elemen yang bisa
bergabung adalah elemen d, g, h dan terakhir stasiun 4 jatuh pada elemen i, j, k.

Jumlah Waktu Waktu


Kolom Elemen Waktu Proses
Proses Stasiun
I a 4 4
II b 3
e 5 8 12
III c 6
f 4 10 10
IV d 3 3
g 2
h 7 9 12
V i 3
j 3 6
k 6 6 12

Dari diagram precedence dibuat tabel berikut :

Jumlah Waktu Waktu


Kolom Elemen Waktu Proses
Proses Stasiun
I a 4 4
II b 3
c 6
d 3
e 5
f 4 21
III g 2
h 7 9
IV i 3
j 3 6
V k 6 6

Apabila diambil waktu siklus = 12 menit dan perhatikan jumlah komulatif waktu
kolom maka stasiun kerja pertama akan terdiri dari kolom I dan beberapa elemen di
kolom II. Karena semua elemen dalam kolom saling tidak bergantung maka semua
elemen bisa diseleksi.

Jadi alternatif yang mungkin untuk stasiun I adalah :

Elemen a dan c = 10 menit, atau


Elemen a, b, e = 12 menit, atau
Elemen a, d, f = 12 menit
Elemen a, b, f = 11 menit
Elemen a, d, f = 11 menit

Alternatif yang dipilih boleh a, b, e atau a, d, e.

BLest 112 dari 132


Manajemen Produksi

Jadi hasil akhir dari penyelesaian dengan metoda Kilbridge dan Wester adalah
sebagai berikut :
Stasiun kerja 1 elemen a, b, e –waktu = 12 menit
Stasiun kerja 2 elemen c dan f –waktu = 10 menit
Stasiun kerja 3 elemen d, g, f –waktu = 12 menit
Stasiun kerja 4 elemen i, j, k –waktu = 12 menit

Sesuai dengan batasan precedence tiap elemen hubungan antar stasiunnya adalah
seperti dibawah ini

Stasiun 1 Stasiun 2

Stasiun 3 Stasiun 4

Bentuk hubungan antar stasiun hasil dari metoda Kilbridge dan Wester

Untuk contoh soal sama, terlihat bahwa ada perbedaan antara hasil yang didapat
dengan metoda Helgeson dan Birnie dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
dengan metoda Kilbridge dan Wester. Elemen – elemen yang bergabung dalam I
stasiun berbeda antara kedua metoda.

Sulit untuk mengatakan metoda mana yang lebih baik, karena kalau dihitung delay
time antara kedua metoda hasilnya akan sama. Kalau dilihat kemudahan dalam
penerapannya misalnya untuk jaringan kerja yang rumit mungkin metoda Kilbridge
dan Wester lebih mudah diterapkan. Tapi pemakaian metoda tentu saja tergantung
keadaan yang dihadapi, mana yang cocok dan lebih mudah diterapkan.

BLest 113 dari 132


Manajemen Produksi

11 PERENCANAAN JADWAL KERJA

TUJUAN

1. Memperkenalkan permasalahan perencanaan dan pengaturan tenaga kerja


pada level operasional (pabrik)
2. memperkenalkan metoda dasar perencanaan tenaga kerja dan melatih unutk
mempergunakannya dalam permasalahan riil dalam pabrik

PENGANTAR

Setelah Jadwal Induk Produksi (JIP) disusun maka salah satu permasalahan yang
perlu diperhatikan adalah mengatur dan merencanakan tenaga kerja.
Perencanaan tenaga kerja yang dimaksud adalah dalam tingkatan yang
operasional bukan hal yang berkaitan dengan rekruitmen, cara penggajian, promosi
dan sebagainya. Level operasional tersebut meliputi antara lain :
1. Penentuan jumlah tenaga kerja
2. Pengaturan jam lembur
3. Penggiliran kerja

Dalam pokok bahasan disini dibatasi pada faktor tenaga kerja operator sedangkan
faktor – faktor yang lainnya seperti mesin, material dan sebagainya dianggap tidak
ada permasalahan

MATERI

I. PENENTUAN JUMLAH TENAGA KERJA


Masukkan yang perlu dalam pengaturan jadwal kerja disamping jadwal induk
produksi, adalah masukan mengenai sumber daya (resource) yang dimiliki, dalam
hal ini adalah waktu kerja yang tersedia dalam kurun perencanaan produksi yang
diliput dalam jadwal induk produksi dan waktu penyelesaian pembuatan produk
(completion time).

Prosedur penentuan jumlah tenaga kerja selengkapnya adalah sebagai berikut :

a. Menghitung waktu kerja yang tersedia untuk satu orang dalam 1 tahun
atau dalam satu kurun perencanaan tertentu (WE). Untuk menghitung
waktu kerja yang tersedia, contoh berikut ini akan menunjukkan
gambarannya.

Misalkan diketahui untuk 1 tahun tersedia 250 hari kerja dan I hari
pabrik bekerja 8 jam; maka waktu kerja yang tersedia adalah 250 x 8 =
2.000 jam. Biasanya dalam 1 tahun seorang pekerja pernah tidak
bekerja, entah oleh alasan sakit atau lainnya. Dengan demikian waktu
kerja efektif akan berkurang dari jumlah tersebut. Misalkan tingkat

BLest 114 dari 132


Manajemen Produksi

absensi adalah 10% maka waktu efektif adalah (1-0,1 x 2.000) = 1.800
jam. Waktu kerja ini adalah waktu kerja seorang pekerja selama
setahun.

b. Menghitung waktu produksi yang dibutuhkan dalam 1 tahun atau


dalam satu kurun perencanaan tertentu (WP). Dari JIP dapat diketahui
jumlah produksi yang akan dibuat dalam setahun; misalkan saja 2.500
unit, sedangkan waktu untuk mengerjakan satu unit produk (waktu
baku) misalkan adalah 10 jam, sehingga waktu produksi yang
dibutuhkan adalah 2.500 x 10 jam = 25.000 jam

c. Menghitung jumlah tenaga kerja yang diperlukan (JK). Dengan


membagi hasil perhitungan b dengan a, maka akan diperoleh jumlah
tenaga kerja yang diperlukan.

JK = WP / WE

Dalam contoh tersebut tenaga kerja yang diperlukan (JK) = 25.000 /


1.800 = 13,88 orang.

Dengan jumlah tenaga kerja tersebut artinya jika digunakan 13 tenaga


kerja maka terdapat sejumlah produk yang tidak dapat diselesaikan.
Dengan kata lain jika ingin seluruh produk tersebut terselesaikan
harus dilakukan penambahan jam kerja atau lembur. Jika digunakan
14 tenaga kerja berarti produksi dapat dipenuhi tetapi terdapat
kelebihan jam kerja.

Untuk menentukan jumlah tenaga kerja dapat dilakukan pemilihan


penggunaan tenaga kerja yang memberikan konsekuensi ongkos
paling kecil. Misalkan saja upah tenaga kerja pada jam kerja biasa
(regular time) adalah Rp. 2.000/jam dan pada jam kerja lembur (over
time) adalah Rp. 3.000/jam, maka dihitung :

- Upah tenaga kerja dengan 14 orang :


14 x 1.800 x Rp. 2.000 = Rp. 50.400.000
- Upah tenaga kerja dengan 13 orang ditambah lembur :
Jam kerja biasa;
13 x 1.800 x Rp. 2.000 = Rp. 46.800.000
Jam kerja lembur;
(25.000 – (13 x 1.800 )) x Rp. 3.000 = Rp. 4.860.000
Jumlah = Rp. 51.600.000

Dengan dilihat ongkos yang ditimbulkan lebih murah jika


menggunakan 14 orang tenaga kerja.

II. PEMBUATAN JADWAL KERJA


Dengan telah didapatnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan maka dapat
dilakukan pengaturan jadwal kerja secara lebih terinci. Sebagai gambaran contoh
berikut ini akan menerangkan bagaimana pengaturan tersebut dilakukan.

BLest 115 dari 132


Manajemen Produksi

Misalkan JIP yang dimaksud adalah sebagai berikut (periode dalam JIP dinatakan
dalam kuartal) :

Periode I II III IV
Produksi 625 625 625 625

Sedangkan hari kerja yang tersedia pada setiap kuartal

Periode I II III IV
Produksi 65 50 70 65

Kebijakan perusahaan dalam menentukan besarnya jam lembur yang


diperbolehkan adalah 15% dari jam kerja setiap kuartalnya. Ongkos simpan produk
jadi bila produk disimpan adalah Rp. 100/jam kerja/kuartal.

Dengan tambahan keterangan tersebut maka pengaturan jadwal kerja yang


dilakukan adalah sebagai berikut :

Jam kerja yang


Kuartal I II III IV
dibutuhkan
RT OT RT OT RT OT RT OT
I 6250 Tersedia 6522 982
Ongkos 2000 3000
Alokasi 6250 -
II 6250 Tersedia 302 982 5040 756
Ongkos 2100 3100 2000 3000
Alokasi 320 152 5040 756
III 6250 Tersedia - 830 - - 7056 1058
Ongkos - 3200 - - 2000 3000
Alokasi - - - - 6250 -
IV 6250 Tersedia - 830 - - 806 1058 6552 982
Ongkos - 3300 - - 2100 3100 2000 3000
Alokasi - - - - - 6250 -
6552 5040 6250 6250 -
TOTAL jam kerja
152 756 -

Dari tabel diatas terlihat bahwa lembur dilakukan pada kuartal I dan II yang
semuanya untuk memenuhi permintaan pada kuartal II

Berdasarkan pengaturan jadwal kerja ini bisa pula dibuat kesimpulan yang
menggambarkan rencana produksi yang lebih rinci lagi, dimana gambaran tingkat
persediaan produk jadi pada suatu periode juga dapat diketahui

Pada contoh tersebut kesimpulan rencana produksi yang dimaksud adalah sebagai
berikut :

Rencana Produksi Rencana tingkat


Kuartal Permintaan
Reguler Over time persediaan
I 625 655 15 45
II 625 504 76 -
III 625 625 - -
IV 625 625 - -

BLest 116 dari 132


Manajemen Produksi

III. PENGGILIRAN KERJA


Sering terjadi bahwa pabrik harus bekerja 7 hari dalam satu minggu, sementara
seorang pekerja biasanya bekerja 5 hari dalam satu minggu, sehingga ada dua hari
libur yang diperoleh pada hari yang berturutan. Disamping itu kebutuhan tenaga
kerja setiap harinya juga tidak sama, ada hari yang sibuk dan ada yang tidak. Untuk
menyelesaikan persoalan ini dapat digunakan algoritma TIBREWALA, PHILIPPE
dan BROWNS yang pada prinsipnya sebagai berikut :

Untuk melakukan penggiliran kerja dapat digunakan :


1. Tugaskan pekerja pada hari – hari sibuk dan liburkan pada hari yang
tidak sibuk. Hari tidak sibuk diperoleh 2 hari berurutan yang
menandakan hari libur.
2. Jika ada dua alternatif hari libur, pilih satu yang memiliki jumlah
kebutuhan terkecil.
3. Ulangi sampai selesai

Contoh :

Hari Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb Total
Kebutuhan 4 8 7 7 7 7 6 46

Jumlah pekerja yang dibutuhkan = 46 / 5 = 9,2 = 10

Contoh :

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
4 8 7 7 7 7 6
-1 -1 -1 -1 -1 Shift 1
4 7 6 6 6 6 6
0 -1 -1 -1 -1 -1 0 Shift 2
4 6 6 6 5 5 6
-1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 Shift 3
3 5 5 5 4 4 5
-1 -1 -1 -1 0 0 -1 Shift 4
2 4 4 4 4 4 4
0 -1 -1 -1 -1 -1 0 Shift 5
2 3 3 3 3 3 4
0 0 -1 -1 -1 -1 -1 Shift 6
2 3 2 2 2 2 3
-1 -1 0 0 -1 -1 -1 Shift 7
1 2 2 2 1 1 2
-1 -1 -1 -1 0 0 -1 Shift 8
0 1 1 1 1 1 1
0 -1 -1 -1 -1 -1 0 Shift 9
0 0 0 0 0 0 1
0 0 -1 -1 -1 -1 -1 Shift 10
-1 -1 -1 -1 0

BLest 117 dari 132


Manajemen Produksi

12 SISTEM INFORMASI PRODUKSI


TUJUAN

1. Memberikan dasar pengetahuan pengelolaan Informasi untuk Manajemen


Produksi

2. Memberikan pengetahuan lingkup bahasan Sistem Informasi Produksi

A. SISTEM PRODUKSI

SISTEM
PENGENDALIAN

Keputusan Informasi

SISTEM
FISIK

Tiga jenis aliran yang terjadi :


1. Aliran material
2. Aliran data
3. Aliran keputusan

Pengendalian Produksi berkepentingan atas keputusan :


1. Volume dari jenis produk yang akan dibuat
2. Aspek waktu dari kegiatan produksi

Fokus perhatian pada :


1. Mengendalikan waktu aliran pekerjaan
2. Utilisasi kapasitas
3. Performansi pemenuhan persamaan

Keputusan utamanya meliputi :


1. Pembebanan dan penjadwalan pekerjaan, termasuk penentuan saat
pemenuhan persamaan
2. Pengepasan pekerjaan
3. Alokasi kapasitas dan pengurutan pekerjaan

BLest 118 dari 132


Manajemen Produksi

FASILITAS PRODUK

Operasi Standar Perintah Penguraian Penggabungan

OPERASI PERINTAH STRUKTUR


KERJA PRODUKSI

Model Konseptualisasi Sistem Informasi Produksi

Fungsi
Pemrosesan Data
Administrasi
Data Produksi
Produksi

Transaksi Data pada Sistem Informasi Produksi

Fungsi
Pemrosesan Data
Administrasi
Data Produksi
Produksi

Pemantauan

Pengendalian melalui Sistem Informasi Produksi

BLest 119 dari 132


Manajemen Produksi

Permintaan Informasi

Pemrosesan Fungsi
Informasi
Keputusan Keputusan
Koordinasi Koordinasi

Data Pemrosesan Informasi Fungsi


Produksi Keputusan Keputusan

Permintaan Informasi

Parameter Pengendalian Performansi tujuan utama


Keputusan Kegiatan
Performansi tujuan lokal

Pemrosesan
Data

Sistem Pengendalian Produksi dan Sistem Informasi dirancang untuk memenuhi


fungsi tertentu pada suatu organisasi. Perancangan sistem Informasi Produksi
akan melibatkan restrukturisasi fungsi – fungsi organisasi, tugas – tugas dan
tanggung jawab.

B. PERMASALAHAN PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI

DEFINISI
PERENCANAAN PRODUKSI :

Aktivitas untuk menetapkan


¾Apa yang harus diproduksi
¾Berapa banyak
¾Kapan
¾Sumber – sumber apa yang dibutuhkan

BLest 120 dari 132


Manajemen Produksi

PENGENDALIAN PRODUKSI :

Aktivitas untuk menetapakan


¾Apakah sumber – sumber yang digunakan dapat memenuhinya
¾Apakah produksi bisa dijalankan sesuai dengan rencana; apabila tidak,
maka dilakukan tindakan perbaikan

TUJUAN
Tujuan utama perencanaan dan pengendalian produksi adalah :
1. Memaksimumkan pelayanan pada konsumen.
MTO : waktu yang singkat dan sesuai dengan jadwal
MTS : pemenuhan order konsumen

2. Meminimumkan investasi pada persediaan. Bahan, WIP, Part,


Assembly dan produk

3. Memaksimumkan efisiensi penggunaan sumber – sumber

Tujuan diatas satu sama lain konflik, sehingga keputusan yang harus dilakukan
adalah ‘trade off’ diantara tujuan tersebut.

FUNGSI
Fungsi – fungsi yang terlibat pada masalah Perencanaan dan Pengendalian
Produksi adalah :

PERENCANAAN PRODUKSI :
¾Menyiapkan rencana produksi tingkat agregat perusahaan
¾Menjadwalkan penyelesaian produk spesifik
¾Merencanakan produksi dan pembelian komponen dan bahan baku
¾Menjadwalkan urutan proses stasiun kerja / mesin

PERENCANAAN PERSEDIAAN :
¾Menyiapkan persediaan bahan baku, WIP dan bahan jadi tingkat
agregat
¾Merencanakan persediaan produk individu (item) dengan
mempertimbangkan berbagai faktor seperti : ukuran lot ekonomis, lead
time, ketidakpastian permintaan dan tingkat pelayanan kepada
konsumen.

PERENCANAAN KAPASITAS :
¾Perencanaan kapasitas jangka panjang, menengah dan pendek untuk
mencapai jadwal produksi, termasuk akuisisi fasilitas dan peralatan,
penambahan – pengurangan tenaga kerja, lembur dan subkontrak.

PENGESAHAN PRODUKSI DAN PENGADAAN :


¾Pengesahan produksi melalui order produksi atau jadwal produksi
¾Pengesahan pengadaan bahan baku dan komponen melalui
permintaan pembelian

PENGENDALIAN PRODUKSI, PERSEDIAAN DAN KAPASITAS :

BLest 121 dari 132


Manajemen Produksi

¾Pengendalian, pencatatan dan pelaporan kontinu kemajuan proses


produksi tingkat persediaan dan kapasitas.
¾Perbandingan terhadap rencana (plans)
¾Memperbaiki variansi (perubahan) dari rencana dengan bekerja sama
mengatasi masalah yang timbul.

PENYIMPANAN DAN PERGERAKAN MATERIAL :


¾Menerima bahan (material) dari pemasok.
¾Menyimpan digudang
¾Pengambilan stock order dari bagian produksi atau konsumen.
¾Pengemasan
¾Penanganan material dalam pabrik

FUNGSI – FUNGSI LAIN :


¾Tools
¾Routing dan process planning

ORGANISASI

Unit kerja yang menangani masalah Perencanaan dan Pengendalian Produksi


dapat berupa (dengan nama) :
• Unit kerja produksi
• Unit kerja pengendalian produksi
• Unit kerja perencanaan dan pengendalian produksi
• Unit kerja pengendalian produksi dan persediaan
• Unit kerja perencanaan produksi

Presiden dan
General Manajer

Bendahara Sekretaris

V.P. Pemasaran V.P. Manufaktur V.P. Rekayasa V.P. Hubungan


Produksi Masyarakat

Manajer Rekayasa Manajer Manajer Manajer


Manufaktur Pengadaan Perencanaan & Pabrik
Pengendalian
Produksi

Jadwal Induk Kontrol Produksi Pengendalian Gudang


Persediaan Penanganan

Kewenangan Mengelola Aliran Material di Pabrik

BLest 122 dari 132


Manajemen Produksi

Presiden dan
General Manajer

Bendahara Sekretaris

V.P. Pemasaran V.P. Manufaktur V.P. Rekayasa V.P. Hubungan


Produksi Masyarakat

Pengadaan Jadwal Kontrol Pengendalian Gudang Distribusi


Induk Produksi Persediaan Penanganan

Kewenangan = Mengelola Aliran Material dimulai dari Pembelian, Produksi dan Distribusi

LINGKUP PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI


Sistem informasi produksi untuk perencanaan dan pengendalian produksi akan
melibatkan berbagai modul atau subsistem dan harus dirancang untuk
memenuhi tujuan perencanaan dan pengendalian produksi

Setiap subsistem akan menangani permasalahan :

• Perencanaan material
• Perencanaan kapasitas
• Fungsi / pengendalian

Keterhubungan antar subsistem akan terkendali melalui aliran informasi.

SISTEM PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN

• Perencanaan Bisnis
Merupakan rencana perusahaan dalam satuan uang (rupiah); meliputi
: proyeksi laba – rugi, neraca, sumber dan penggunaan dana dan
ukuran performansi seperti EPS, ROI dll
• Perencanaan Pemasaran
Meliputi lini produk apa yang akan diproduksi dan dijual, pasar yang
akan dimasuki dan proyeksi tingkat permintaan.
• Perencanaan Produksi
Merupakan pernyataan rencana produksi perusahaan tiap periode
dalam satuan agregat. Termasuk juga persediaan penundaan
pengiriman (backlog) dan pengemasan

BLest 123 dari 132


Manajemen Produksi

SISTEM PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN

Perencanaan Bisnis

Perencanaan
Manajemen Permintaan, Perencanaan Manajemen
Peramalan, Perencanaan Pemasaran Atas
Kebutuhan, Distribusi,
Penerimaan Order

Perencanaan Perencanaan
Produksi Sumber Daya

Penjadwalan Penjadwalan Induk Perencanaan


Perakitan Akhir Produksi Kapasitas Kasar

Perencanaan
Manajemen
Operasi
Perencanaan Perencanaan
Kebutuhan Material Kebutuhan Kapasitas

Kontrol Aktivitas Pengadaan :


Produksi: Pemilikan Pemasok,
Penglepasan Order, Pelaksaan Pemesanan, Eksekusi
Penjadwalan Operasi, Penjadwalan Pemasok, Manajemen
Dispatching, Expediting, Tindak lanjut order Operasi
Pelaporan

Pengukuran Performansi

¾Perencanaan Sumber Daya


Subsistem perencanaan sumber daya menentukan kapasitas yang dibutuhkan
untuk mencapai target produksi. Hal ini dapat dinyatakan dalam satuan jam
mesin – manusia setiap departemen atau pabrik keseluruhan.
¾Jadwal Induk Produksi (MPS)
Merupakan rencana produksi produk akhir tiap periode selama selang waktu
satu tahun hingga tiga tahun
¾Perencanaan Kapasitas Kasar (RCCP)
Menentukan kapasitas yang diperlukan untuk melaksanakan jadwal induk
produksi (JIP). Perencanaan ini melibatkan informasi lebih rinci dari
perencanaan sumber daya, karena JIP merupakan jadwal produksi produk
akhir (spesifik) sedangkan perencanaan produksi (production plan) merupakan
jadwal produksi famili produk (agregat). Perencanaan ini digunakan untuk
menentukan kapasitas jangka menengah
¾Manajemen Permintaan

BLest 124 dari 132


Manajemen Produksi

Merupakan seluruh aktivitas yang mengidentifikasikan permintaan produk


perusahaan dan kapasitas dan mengorganisasikannya dalam bentuk masukan
(input) bagi perencanaan produksi dan jadwal induk produksi. Aktivitasnya
meliputi : peramalan, perencanaan kebutuhan distribusi, pemasukan data order,
pengiriman barang dan kebutuhan suku cadang.
¾Peramalan
Meliputi proyek kebutuhan lini produk, produk, alternatif dan suku cadang
menggunakan metode kualitatif – kuantitatif berdasarkan data historis yang
ada.
¾Perencanaan Kebutuhan Distribusi (DRP)
Subsistem ini menentukan rencana pengiriman dari pabrik ke gudang distributor
dalam bentuk jumlah yang harus dikirim setiap periode tertentu.
¾Pemasukan Data Order
Meliputi pemasukan order konsumen, menterjemahkan order menjadi
kebutuhan manufaktur dan menentukan janji pengiriman kepada konsumen.
¾Penjadwalan Perakitan Akhir (FAS)
Melibatkan persiapan suatu jadwal operasi akhir produk dalam jadwal induk
produksi
¾Perencanaan Kebutuhan Material (MRP)
Subsistem ini menggunakan bill of material, lead time, aturan lot-sizing dan
informasi persediaan untuk menjabarkan jadwal induk produk menjadi
kebutuhan komponen yang lebih kecil dan material.
¾Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP)
Modul ini menggunakan MRP dan data routing untuk menentukan kapasitas
yang dibutuhkan setiap periode dan stasiun kerja. Proyeksi kebutuhan
kapasitas CRP lebih rinci dari RCCP karena perhitungan didasarkan order
komponen dan mempertimbangkan waktu order, ukuran lot, status persediaan
dan order yang sedang dibuat (WIP)
¾Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC)
Subsistem ini meliputi eksekusi jadwal produksi, menentukan urutan (prioritas)
proses produksi, tugas setiap stasiun kerja, penjadwalan kembali order yang
terlambat dan pelaporan hasil eksekusi.
¾Pembelian
Fungsi ini meliputi pemilihan pemasok, penempatan pesanan yang dibeli,
penjadwalan pemasok dan tindak lanjut pemesanan
¾Pengukuran Performansi
Pengukuran performansi memungkinkan manajemen untuk mengevaluasi
operasi sistem, menemukan sumber masalah dan menentukan tindakan yang
perlu dilakukan. Modul ini meliputi tujuan sistem, toleransi sistem terhadap
tujuan dan cara untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan sistem tersebut.

KARAKTERISTIK SISTEM

¾Sistem Hirarkhi
Keputusan pada jadwal produksi dan rencana kapasitas yang dihasilkan pada
tingkat (level) tertentu, terjadi pembatasan untuk rencana produksi dan
kapasitas pada tingkat yang lebih rinci. Tingkat yang lebih rendah harus
mendukung rencana tingkat yang diatasnya.
¾Umpan Balik

BLest 125 dari 132


Manajemen Produksi

Apabila rencana dari tingakt yang diatasnya ternyata tidak fisibel pada waktu
dijabarkan menjadi rencana pada tingakt berikutnya, hal ini harus
diinformasikan pada tingkat diatasnya, sehingga dilakukan modifikasi
¾Sistem Komputer / Manual
Sistem komputer bukan berarti otomasi penuh. Peran manusia masih tetap
diperlukan. Komputer berfungsi sebagai alat bantu.
¾Basis Data Tunggal
Sistem manual menyebabkan duplikasi data dan pemeliharaan data dilakukan
di beberapa tempat.
Misal : Bill of material diperlukan oleh rekayasa (engineering, perencanaan,
produksi dan akuntansi)
Sistem komputer menggunakan basis data tunggal
¾Integrasi
Berbagai modul harus bekerja bersama – sama. Data yang dihasilkan dari satu
modul akan digunakan oleh modul lain.
¾Waktu Reaksi
Operasi perusahaan akan menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi pada
interval yang beragam. Perubahan order, status mesin, material rekayasa
(engineering) harus cepat diantisipasi.
¾Transportasi
Jika sistemnya transportasi, keputusan atau rekomendasi dapat mudah
dimengerti oleh perencana. Hal ini akan memudahkan dalam pengelolaannya.
¾Management of exception
Pengelolaan terhadap masalah item secara keseluruhan membutuhkan waktu
yang panjang. Keputusan atau rekomendasi cukup diberikan terhadap masalah
– masalah yang membutuhkan perhatian.
¾Ketepatan Data
Sistem manual dapat menyebabkan tingginya ketidakakuratan data. Sistem
komputer bekerja berdasarkan data yang diberikan. Kesalahan data sumber
dari data mentahnya.

C. SISTEM BASIS DATA PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI

Jantung sistem informasi berbasis komputer adalah basis data. Untuk


merencanakan aktivitas produksi, basis data berupa data tentang :
• Produksi
• Perakitan
• Komponen
• Material

Dalam hubungannya dengan :


• Persediaan
• Pembuatan atau perakitan
• Sumber yang tersedia diperlukan

Master file :
• Item master file
• Bill of material file
• Routing file
• Work center file
• Tool file
BLest 126 dari 132
Manajemen Produksi

ITEM MASTER FILE


Item master file atau part master file / inventory record file berisi data setiap item
persediaan : produk, perakitan, komponen, material dan pendukung.
Data berisi empat kategori :
1. Identifikasi deskripsi
2. Data rencana, misal, jumlah pesanan
3. Data persediaan
4. Data ongkos

BILL OF MATERIAL FILE


Bill of material file berisi data tentang material, komponen, sub peralatan dan
peralatan apa yang digunakan dalam pembuatan produk. Data yang tersimpan
berupa hubungan induk – anak
Out put yang biasa diperlukan :
1. Explosions
2. Emplosions

ROUTING FILE
Routing file berisikan data tentang operasi – operasi yang harus diselesaikan untuk
membuat suatu item. File ini biasanya disiapkan oleh unit kerja teknik produksi atau
teknik industri. Unit kerja menetapkan operasi, urutan, mesin dan peralatan yang
digunakan. Unit kerja yang melakukan pengukuran waktu, mandor melengkapi file
ini.

WORK CENTER FILE


Work center file berisikan data sumber – sumber produksi yang dimiliki seperti :
- Mesin
- Tenaga kerja

File ini diperlukan untuk perencanaan kapasitas. Selain itu digunakan


untuk menjadwalkan dan memantau pemeliharaan mesin

TOOL FILE
Tool file ini berisikan data tentang semua peralatan dan statusnya. File ini
diperlukan untuk mendukung operasi dan pemeliharaan.

Loading Maintenance Inquiries

Item
Master Proses Master
BOM File
Data
Routing File

Tool File

Retrieves

BLest 127 dari 132


Manajemen Produksi

MODUL JADWAL INDUK PRODUKSI


Master scheduler mempunyai fungsi :
- Berpartisipasi dalam pembuatan rencana produksi
- Melakukan disagregasi rencana produksi menjadi JIP
- Menyiapkan jadwal perakitan akhir (FAS)
- Memonitor JIP dan FAS dan merevisinya
- Menyediakan informasi selesainya order, untuk unit pemasaran
- Melakukan koordinasi dengan unit pemasaran dan produksi dalam hal
terjadinya konflik pada JIP dan FAS.

Master scheduler melaporkan pekerjaannya kepada manajer pengendalian


produksi atau manajer material.

Jadwal pengiriman ke

Sub Sistem Perencanaan Pemasukan


Peramalan Kebutuhan Order
Distribusi

Pemasukan
Order
Program
Jadwal Induk Open Order
File

BOM File

Jadwal Exception Sumber Simulasi


Induk Reports Permintaan Jangka
Aktual

MODUL PERENCANAAN KEBUTUHAN MATERIAL


Cara pemrosesan MRP :
1. Regeneration
2. Net Change

Out put MRP :


1. MRP report
2. Exception Report
3. Pegging Report
Jadwal Induk
Produksi
Pegging
Exception Report
Item
Master File MRP Report
Program MRP
BOM File

BLest 128 dari 132


Manajemen Produksi

MODUL PERENCANAAN KAPASITAS


Perencanaan kapasitas adalah fungsi yang melakukan kegiatan :
1. Penentuan kapasitas yang diperlukan oleh jadwal produksi
2. Pembandingan kebutuhan kapasitas terhadap kapasitas yang ada
3. Penyesuaian jadwal produksi agar memenuhi kapasitas yang ada

Elemen kapasitas :
1. Tenaga kerja
2. Mesin
3. Gudang
4. Rekayasa (engineering)

Keberhasilan perencanaan dan pengendalian produksi ditentukan oleh


perencanaan kapasitas.

Rencana Rencana
Produksi Sumber Daya

Jadwal induk Rencana


Produksi Kapasitas Kasar

Rencana Rencana
Kebutuhan Kebutuhan
Material Material

Pengendalian Aktivitas Produksi

Horison
Perencanaan
Panjang, Rencana
Sumber Daya

Panjang, Rencana Kapasitas Kasar


sedang

Sedang, Rencana Kebutuhan


pendek

Pabrik Departemen Stasiun


Tingkat

BLest 129 dari 132


Manajemen Produksi

Menyiapkan
Jadwal
Produksi

Menentukan
Kebutuhan
Kapasitas

Kebutuhan
Kapasitas = Y
Stop
Kapasitas ?

T Rencana
Kapasitas
Mencukupi?

Y
Stop

SUBSISTEM PENGENDALIAN AKTIVITAS PRODUKSI


Pengendalian aktivitas produksi merupakan fungsi yang memantau dan
melakukan koreksi dalam melaksanakan kegiatan produksi :
POR
Status Report
Order Release

Order Request Data Collection &


Release Production Reporting

Status
Dispatching

Instruction

Mover Producer

Execution

BLest 130 dari 132


Manajemen Produksi

ORDER RELEASE
Order Review
Sebelum order produksi / shop / job / manufacturing / kerja diturunkan, perlu
diperiksa apakah sumber siap digunakan.
Sumber – sumber yang diperiksa antara lain :
1. Material
2. Tenaga kerja
3. Mesin
4. Peralatan

Dokumentasi Order
Apabila sumber – sumber memungkinkan, order produksi dibuat dan
dikeluarkan, meliputi :
1. Routing
2. Blue Print
3. Permintaan material dan identifikasi material
4. Permintaan peralatan
5. Operation ticket
6. Scrap ticket
7. Move ticket

DISPATCHING
Dispatching adalah penentuan urutan pekerjaan pada stasiun kerja dan
penugasan pada pekerja dan mesin.

Tujuannya menjamin terlaksananya jadwal produksi yang telah dilaksanakan.

DATA COLLECTION & PRODUCTION REPORTING


Data collection adalah pengumpulan data aktivitas produksi untuk kebutuhan
pengendalian produksi, supervisi, penggajian dan akuntansi.

Laporan yang dibuat meliputi :


1. Laporan status order
2. Laporan status order yang tidak dapat / belum diturunkan
3. Laporan scrap
4. Laporan rework
5. Laporan keterlambatan order
6. Laporan kehadiran
7. Laporan utilisasi
8. Laporan efisiensi

BLest 131 dari 132


Manajemen Produksi

Shop Floor Control

Plan Order
Release

BOM File

Routing Route Sheet


Order
File Release Material
Request

Routing Job Cards


File Dispatching
Move Tickets
Work Center
File
Part List
Dispatching
Tool File List
Estimated
Competition
Times

Open Order
Order
File
Bograss

Job Order
Status Report
Exception
Reports

BLest 132 dari 132

Anda mungkin juga menyukai