Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akut skrotum merupakan suatu keadaan timbulnya gejala nyeri dan bengkak pada
skrotum beserta isinya yang bersifat mendadak dan disertai gejala lokal dan sistemik. Gejala
nyeri ini dapat semakin menghebat atau malah hilang perlahan-lahan seiring dengan
berjalannya waktu. Gejala nyeri pada skrotum yang menetap, semakin menghebat, dan disertai
dengan mual dan muntah merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan medis
secepatnya. Timbulnya nyeri pada salah satu ataupun kedua skrotum merupakan hal yang
memerlukan perhatian secara serius serta penanganan medis karena skrotum dan testis
merupakan glandula reproduksi dari seorang pria yang menghasilkan sperma sehingga
kesalahan penanganan akan menimbulkan ketidaknyamanan sepanjang hidup seorang lelaki.
Bila keadaan ini tidak ditangani akan menimbulkan gangguan-gangguan seperti infertilitas,
disfungsi ereksi, bahkan kematian jaringan testis yang mengakibatkan testis tersebut harus
dibuang untuk selamanya.
Beberapa hal yang dapat menimbulkan akut skrotum seperti proses infeksi, non infeksi,
trauma, dan berbagai macam benjolan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Proses
infeksi yang sering menimbulkan keluhan akut skrotum adalah epididimitis. Menurut laporan
jurnal di Amerika, epididimitis merupakan keluhan kelima terbanyak di bidang urologi yang
dikeluhkan oleh laki-laki berusia 18-50 tahun dan 70% menjadi penyebab keluhan nyeri akut
pada skrotum. Sekitar 40% epididimitis terbanyak terjadi pada laki-laki usia 20-39 tahun dan
sekitar 29% terjadi pada laki-laki usia 40-59 tahun. Epididimitis jarang terjadi pada anak-anak
prepubertas.
Proses non infeksi yang sering menimbulkan keluhan nyeri akut pada skrotum adalah
torsio testis. Torsio testis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang urologi karena
torsio testis menyebabkan strangulasi pada aliran darah testis sehingga dapat berakhir dengan
nekrosis dan atrofi testis. Angka kejadian torsio testis adalah 1 dari 160 orang remaja laki-laki
dan 1 dari 4000 orang laki-laki berusia kurang dari 25 tahun. Dua pertiga kasus terjadi pada
rentang usia 12 – 18 tahun. Keadaan ini harus dibedakan dengan keluhan nyeri akut pada
skrotum lainnya karena keterlambatan diagnosis dan penanganan akan menyebabkan
hilangnya testis dan skrotum. Berdasarkan penelitian, torsio testis dapat diselamatkan 100%
bila ditangani kurang dari 6 jam sejak terjadinya nyeri, hanya 20% yang dapat diselamatkan
bila penanganan torsio dilakukan sesudah 12 jam, dan 0% testis yang dapat bertahan bila
ditangani sesudah 24 jam sejak timbulnya nyeri. Faktor lain yang dapat menimbulkan keluhan
nyeri akut pada skrotum adalah trauma. Jumlah trauma pada skrotum yang murni berdiri
sendiri yang terjadi di Amerika hanya sekitar 1%. Rentang usia berkisar antara 10-30 tahun.
Testis kanan lebih sering terkena trauma dibandingkan dengan testis kiri karena kemungkinan
besar dapat terbentur saat mengenai os pubis. Hernia inguinalis inkarserata sebagai salah satu
diagnosa banding dari nyeri akut pada skrotum banyak dikeluhkan oleh laki-laki. Hernia
inguinalis yang sering mengalami inkarserta adalah hernia inguinalis lateralis dan 75% lebih
sering terjadi pada laki-laki.
Berdasarkan penyebab terjadinya akut skrotum, maka perlu diketahui lebih lanjut
mengenai hal-hal yang berbeda dari setiap penyebab sehingga lebih mudah dalam menegakkan
diagnosis. Menentukan diagnosis akut skrotum bukanlah suatu hal yang mudah karena akut
skrotum dapat ditimbulkan oleh berbagai macam sebab dan area pemeriksaan yang lunak
membuat pemeriksaan klinis menjadi lebih sulit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Skrotum


Skrotum merupakan sebuah kantung kulit yang terdiri dari dua lapis: kulit dan
fascia superficialis. Fascia superficialis tidak mengandung jaringan lemak, tetapi pada
fascia superficialis terdapat selembar otot polos tipis, dikenal sebagai tunica dartos, yang
berkontraksi sebagai reaksi terhadap dingin, dan dengan demikian mempersempit luas
permukaan kulit. Ke arah ventral fascia superficialis dilanjutkan menjadi lapis dalamnya
yang berupa selaput pada dinding abdomen ventrolateral, dan ke arah kaudal dilanjutkan
menjadi fascia superficialis perineum.

Gambar 2.1 Traktus urinarius Pria


Gambar 2.2 Anatomi scrotum

1. Perdarahan:
Arteria pudenda externa mengurus perdarahan bagian ventral scrotum, dan arteria
pudeda interna bagian dorsal. Bagian ini juga dipasok oleh cabang-cabang dari arteria
testicularis dan arteria cremasterica.
Vena scrotales mengiringi arteri arteri tersebut dan bergabung dengan vena
pudenda externa. Pembuluh limfe ditampung oleh nodi lymphoidei inguinales
superficiales
2. Saraf scrotum ialah :
a. Ramus genitalis dari nervus genitofemoralis (LI,L2) yang bercabang menjadi
cabang sensoris pada permukaan scrotum ventral dan lateral.
b. Cabang nervus ilioinguinalis (L1), juga untuk permukaan scrotum ventral
c. Ramus perinealis dari nervus pudendalis (S2-S4) untuk permukaan scrotum dorsal
d. Ramus perinealis dari nervus cutaneus femoris posterior (S2,S3) untuk permukaan
scrotum kaudal.
3. Skrotum merupakan sebuah kantong yang mempunyai isi. Isi dari skrotum terdiri dari:
A. Testis
Testis berbentuk lonjong dengan ukuran sebesar buah zaitun dan terletak di
dalam skrotum. Biasanya testis kiri agak lebih rendah dari testis kanan. Testis
merupakan organ reproductive primer pada pria dan memproduksi spermatozoa
dan hormon, terutama testosteron. Setiap testis mempunyai panjang: 4-5 cm.

Gambar 2.3 Testis

Permukaan masing-masing testis tertutup oleh lamina visceralis tunicae


vaginalis, kecuali pada tempat perlekatan epididymis dan funiculus spematicus.
Tunica vaginalis ialah sebuah kantung peritoneal yang membungkus testis dan
berasal dari processus vaginalis embrional. Lamina parietalis tunicae vaginalis
berbatasan langsung pada fascia spermatica interna dan lamina visceralis tunicae
vaginalis melekat pada testis dan epididymis. Sedikit cairan dalam rongga tunica
vaginalis memisahkan lamina visceralis terhadap lamina parietalis dan
memungkinkan testis bergerak sercara bebas dalam scrotum.
Testis diperdarahi oleh arteria arteria cremasterica, arteria testicularis dan
ductus deferens. Arteria testicularis berasal dari pars abdominalis aortae, tepat
kaudal arteria renalis. Vena-vena meninggalkan testis dan berhubungan dengan
plexus pampiniformis yang melepaskan vena testicularis dalam canalis inguinalis.
Limfe dari testis disalurkan ke nodi lymphoidei lumbales dan nodi lymphoidei pre-
aortici. Saraf autonom testis berasal dari plexus testicularis sekeliling arteria
testicularis. Saraf ini mengandung srabut parasimpatis dari nervus vagus dan
serabut simpatis dari segmen medulla spinalis.
B. Epididimis
Struktur berbentuk huruf C yang berada disisi posterior testis dan membesar
dari bagian caput,corpus dan cauda. Tunika vaginalis membungkus epididimis
kecuali pada bagian posterior. Vaskularisasi dan inervasi epididimis sama dengan
testis. Epididimis juga merupakan tuba terlilit yang panjangnya mencapai 20 kaki
atau 4m-6m. Bagian kranial yang melebar, yakni caput epididymis terdiri dari
lobul-lobul yang dibentuk oleh gulungan sejumlah ductuli efferentes. Ductuli
efferentes membawa spermatozoon dari testis ke epididymis untuk ditimbun.
Corpus epididymis terdiri dari ductus epididymis yang berbelit-belit. Cauda
epididymis bersinambung dengan ductus deferens yang mengangkat spermatozoon
dari epididymis ke ductus ejakulatorius untuk dicurahkan ke dalam pasr prostatica
urethrae.

A: Caput or head of the


epididymis.
B: Corpus or body of the
epididymis.
C: Cauda or tail of the
epididymis.
D: Vas deferens.
E:Testicle

Gambar 2.4 Epididimis

C. Vas Deferens
Merupakan kelanjutan dari epididimis dengan panjang 30-45 cm dan
berfungsi untuk membawa sperma ke duktus ejakulatorius. Lilitan portio dari
duktus deferens menjadi lurus dengan diameter 2-3mm,kemudian berjalan ke
posterior dari testis dan ke arah medial epididimis sesudah itu ke duktus asendens
pada bagian posterior dari spermatic cord sampai pada daerah cincin inguinal
medial yang mana berperan dalam pembentukan spermatic cord.
Perjalanan duktus deferens sepanjang lateral dinding pelvik,medial,dan
distal ureter,sepanjang dinding posterior dari buli-buli sampai pada vesika
seminalis dan bagian dorsal dari prostat. Duktus deferens mempunyai arteri yang
biasanya berasal dari arteri vesikal superior. Dengan aliran vena ke pelvik pleksus
venosus. Aliran limfe pada duktus deferens menuju ke nodus iliaka eksternal dan
internal,dan inervasi utamanya adalah saraf simpatis dari pleksus pelvik.
D. Spermatic Cord
Merupakan perpanjangan dari cincin inguinal yang ,menuju ke kanalis
inguinalisdan ke testis. Urutan lapisan spermatic cord dari luar ke dalam: fascia
spermatic eksterna(berasal dari fascia terdalam dari muskulus oblikus abdominalis
eksterna,fascia Cremasterika(dari muskulus oblikus interna),dan fascia spermatic
interna(dari fascia tranversalis). Struktur pambentuk spermatic cord terdiri
dari:duktus deferens,hubungan pembuluh darah dan persarafan(dinding posterior
dari cord),arteri testikularis,pleksus venosus pampiniformis. Akhirnya membentuk
vena testikularis,dan percabangan genital dari nervus genitofemoral.

Gambar 2.5 spermatic cord dan komponennya

2.2 Fisiologi Skrotum


Skrotum merupakan kantong pembungkus organ reproduksi pria yang berfungsi
untuk membungkus dan menopang testis dari luar tubuh,sehingga pada suhu optimum
testis dapat memproduksi sperma.Dalam skrotum terdapat testis yang berfungsi untuk
menghasilkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) juga
hormon testosterone, Membentuk gamet-gamet baru yaitu spermatozoa, yang terjadi di
Tubulus seminiferus dan Menghasilkan hormon testosterone yang dilakukan oleh sel
interstinale yaitu sel Leydig. Sedangkan sel sertoli berfungsi untuk menghasilkan makanan
bagi sperma. Testis mempunyai fungsi eksokrin dalam spermatogenesis dan fungsi
endokrin untuk mensekresikan hormon-hormon seks yang mengendalikan perkembangan
dan fungsi seksual. Semua fungsi dari sistem reproduksi laki-laki diatur melalui interaksi
hormonal yang kompleks.

2.3 Akut Skrotum

Timbulnya nyeri yang akut, pembengkakan, dan atau nyeri intrascrotal disebut akut
skrotum dan merupakan keluhan utama yang umum di urologi pediatrik. Tanda-tanda dan
gejala yang berhubungan dengan nyeri skrotum akut sangat bervariasi dengan tumpang
tindih diagnostik yang luas, sehingga selain gejala klinis diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pencitraan untuk dapat menegakkan diagnosis secara cepat
(Walsh,2012).

2.3.1 Etiologi

Akut skrotum pada anak-anak dan remaja memiliki banyak penyebab yang
potensial. Diagnosis banding meliputi torsio, infeksi, trauma, tumor, dan penyebab
lain.

Gambar 2.6 Etiologi Akut Skrotum (Gunther dan Rubben, 2012)

a. Torsio Testis (Brunicardi et al, 2007)


1. Definisi
Torsio testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat
terjadinya gangguan aliran darah pada testis. Keadaan ini diderita oleh I
diantara 4000 pria yang berumur kurang dari 25 tahun, paling banyak
diderita oleh anak pada masa pubertas (12-20 tahun). Disamping itu, tak
jarang janin yang masih berada dalam uterus atau bayi baru lahir menderita
torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan
testis baik unilateral maupun bilateral

Gambar 2.7 Torsio testis dan testis normal (Gunther dan Rubben, 2012)

Torsio testis atau terpeluntirnya funikulus spermatikus yang dapat


menyebabkan terjadinya strangulasi dari pembuluh darah, terjadi pada pria
yang jaringan di sekitar testisnya tidak melekat dengan baik ke scrotum.
Berdasarkan penelitian, torsio testis dapat diselamatkan 100% bila
ditangani kurang dari 6 jam sejak terjadinya nyeri, hanya 20% yang dapat
diselamatkan bila penanganan torsio dilakukan sesudah 12 jam, dan 0%
testis yang dapat bertahan bila ditangani sesudah 24 jam sejak timbulnya
nyeri.
2. Etiologi
Torsio testis terjadi bila testis dapat bergerak dengan sangat bebas.
Pergerakan yang bebas tersebut ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :
1. Mesorchium yang panjang.
2. Kecenderungan testis untuk berada pada posisi horizontal.
3. Epididimis yang terletak pada salah satu kutub testis.
Selain gerak yang sangat bebas, pergerakan berlebihan pada testis juga
dapat menyebabkan terjadinya torsio testis. Beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan pergerakan berlebihan itu antara lain ; perubahan suhu yang
mendadak (seperti saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan,
batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi atau trauma yang mengenai
scrotum.
3. Patogenesis
Terdapat 2 jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu
torsio intravagina dan ekstravagina. Torsio intravagina terjadi di dalam
tunika vaginalis dan disebabkan oleh karena abnormalitas dari tunika pada
spermatic cord di dalam scrotum. Secara normal, fiksasi posterior dari
epididymis dan investment yang tidak komplet dari epididymis dan testis
posterior oleh tunika vaginalis memfiksasi testis pada sisi posterior dari
scrotum. Kegagalan fiksasi yang tepat dari tunika ini menimbulkan
deformitas, dan keadaan ini menyebabkan testis mengalami rotasi pada cord
sehingga potensial terjadi torsio. Torsio ini lebih sering terjadi pada usia
remaja dan dewasa muda.
Torsio ekstravagina terjadi bila seluruh testis dan tunika terpuntir
pada axis vertical sebagai akibat dari fiksasi yang tidak komplet atau non
fiksasi dari gubernakulum terhadap dinding scrotum, sehingga
menyebabkan rotasi yang bebas di dalam scrotum. Kelainan ini sering
terjadi pada neonatus dan pada kondisi undesensus testis. Otot kremaster
berfungsi menggerakkan testis mendekati dan menjauhi rongga abdomen
untuk mempertahankan suhu ideal untuk testis. Adanya kelainan system
penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak
secara berlebihan. Terpeluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan
obstruksi aliran darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema
testis,dan iskemia. Akhirnya testis dapat mengalami nekrosis. Pada masa
janin dan neonatus, lapisan yang menempel pada muskulus dartos masih
belum banyak jaringan penyangganya sehingga testis, epididimis dan tunika
vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk terpeluntir pada
sumbu funikulus spermatikus. Terpeluntirnya testis pada keadaan ini
disebut torsio testis ekstravaginal.

Gambar 2.8 Jenis torsio testis (Gunther dan Rubben, 2012)

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan


kelainan sistem penyangga testis. Tunika vaginalis yang seharusnya
mengelilingi sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis,
pada keadaan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga
mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini
menyebabkan testis dan epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung
tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus spermatikus. Keadaan ini
dikenal sebagai anomali bell clapper. Keadaan ini menyebabkan testis
mudah mengalami torsio intravaginal.
4. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien-pasien dengan torsio testis dapat mengalami gejala sebagai
berikut :
1. Nyeri hebat yang mendadak pada salah satu testis, dengan atau tanpa
faktor predisposisi
2. Scrotum yang membengkak pada salah satu sisi
3. Mual atau muntah
4. Sakit kepala ringan
Pada awal proses, belum ditemukan pembengkakan pada scrotum.
Testis yang infark dapat menyebabkan perubahan pada scrotum.
Scrotum akan sangat nyeri kemerahan dan bengkak. Pasien sering
mengalami kesulitan untuk menemukan posisi yang nyaman.
Selain nyeri pada sisi testis yang mengalami torsio, dapat juga
ditemukan nyeri alih di daerah inguinal atau abdominal. Jika testis yang
mengalami torsio merupakan undesendensus testis, maka gejala yang
yang timbul menyerupai hernia strangulata.
b. Pemeriksaan fisik
Dalam phisical examination, Testis yang mengalami torsio letaknya
lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral.
Kadang-kadang pada torsio testis yang baru terjadi, dapat diraba adanya
lilitan atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini biasanya tidak
disertai dengan demam.
Testis kanan dan testis kiri seharusnya sama besar. Pembesaran
asimetris, terutama jika terjadi secara akut, menandakan kemungkinan
adanya keadaan patologis di satu testis. Perubahan warna kulit scrotum,
juga dapat menandakan adanya suatu masalah. Hal terakhir yang perlu
diwaspadai yaitu adanya nyeri atau perasaan tidak nyaman pada testis.
Reflex cremaster secara umum hilang pada torsio testis. Tidak adanya
reflex kremaster, 100% sensitif dan 66% spesifik pada torsio testis. Pada
beberapa anak laki-laki, reflex kremaster dapat menurun atau tidak ada
sejak awal, dan reflex kremaster masih dapat ditemukan pada kasus-
kasus torsio testis, oleh karena itu, ada atau tidak adanya reflex
kremaster tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya acuan
mendiagnosis atau menyingkirkan diagnosis torsio testis.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio
testis dengan keadaan akut scrotum yang lain adalah dengan
menggunakan stetoskop Doppler, ultrasonografi Doppler, dan sintigrafi
testis, yang kesemuanya bertujuan untuk menilai aliran darah ke testis.
stetoskop Doppler dan ultrasonografi konvensional tidak terlalu
bermanfaat dalam menilai aliran darah ke testis. Penilaian aliran darah
testis secara nuklir dapat membantu, tetapi membutuhkan waktu yang
lama sehingga kasus bisa terlambat ditangani. Ultrasonografi Doppler
berwarna merupakan pemeriksaan noninvasif yang keakuratannya
kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan nuclear scanning.
Ultrasonografi Doppler berwarna dapat menilai aliran darah, dan dapat
membedakan aliran darah intratestikular dan aliran darah dinding
scrotum. Alat ini juga dapat digunakan untuk memeriksa kondisi
patologis lain pada scrotum.

Bagan 2.1 Diagnosis torsio testis


5. Diagnosis Banding

1. Epididimitis akut. Penyakit ini secara umum sulit dibedakan dengan torsio testis.
Nyeri scrotum akut biasanya disertai dengan kenaikan suhu, keluarnya nanah
dari uretra, adanya riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan senggama
dengan selain isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi uretra sebelumnya.
Pada pemeriksaan, epididimitis dan torsio testis, dapat dibedakan dengan
Prehn’s sign, yaitu jika testis yang terkena dinaikkan, pada epididmis akut
terkadang nyeri akan berkurang (Prehn’s sign positif), sedangkan pada torsio
testis nyeri tetap ada (Prehn’s sign negative). Pasien epididimitis akut biasanya
berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urin didapatkan
adanya leukosituria dan bakteriuria.
2. Hernia scrotalis incarserata. Pada anamnesis didapatkan riwayat benjolan yang
dapat keluar masuk ke dalam scrotum.
3. Hidrokel
4. Tumor testis. Benjolan dirasakan tidak nyeri kecuali terjadi perdarahan di dalam
testis
5. Edema scrotum yang dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya
sumbatan saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang
tidak diketahui sebabnya (idiopatik).
6. Tatalaksana
a. Non operatif
Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus
dapat mengembalikan aliran darah.
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan jalan
memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio
biasanya ke medial, maka dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral terlebih
dahulu, kemudian jika tidak ada perubahan, dicoba detorsi ke arah medial.
Metode tersebut dikenal dengan metode “open book” (untuk testis kanan), Karena
gerakannya seperti membuka buku. Bila berhasil, nyeri yang dirasakan dapat
menghilang pada kebanyakan pasien. Detorsi manual merupakan cara terbaik
untuk memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat
menghindarkan dari prosedur pembedahan.
Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit
gawat darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan ini
sulit dilakukan tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya
terdetorsi atau dapat kembali menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang dari
RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke arah mana testis mengalami torsio adalah
hampir tidak mungkin, yang menyebabkan tindakan detorsi manual akan
memperburuk derajat torsio.
b. Operatif
Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya
untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari
lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu
terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik
lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan.
Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu :
1. Untuk memastikan diagnosis torsio testis
2. Melakukan detorsi testis yang torsio
3. Memeriksa apakah testis masih viable
4. Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis masih
viable
5. Memfiksasi testis kontralateral
Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain disebabkan
oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah berlangsung
lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih mempertahankan pendapatnya untuk
tetap melakukan eksplorasi dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi
dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika
masih mungkin), dan untuk melakukan orkidopeksi pada testis kontralateral.
Saat pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral. Hal
ini dilakukan karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio di lain
waktu.
Jika testis masih viable, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos
kemudian disusul pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan dengan
menggunakan benang yang tidak diserap pada tiga tempat untuk mencegah agar
testis tidak terpuntir kembali. Sedangkan pada testis yang sudah mengalami
nekrosis, dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian disusul
orkidopeksi kontralateral. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap berada
di scrotum dapat merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga
mengurangi kemampuan fertilitas di kemudian hari.
7. Komplikasi
1. Atropi testis
2. Torsio rekuren
3. Wound infection

b. Epididimitis
1. Definisi
Epididimitis merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi pada
epididimis. Berdasarkan timbulnya nyeri, epididimitis dibedakan menjadi
epididimitis akut dan kronik. Epididimitis akut memiliki waktu timbulnya
nyeri dan bengkak hanya dalam beberapa hari sedangkan pada epididimitis
kronik, timbulnya nyeri dan peradangan pada epididimis telah berlangsung
sedikitnya selama enam minggu disertai dengan timbulnya indurasi pada
skrotum
2. Etiologi
Bermacam penyebab timbulnya epididimitis tergantung dari usia pasien,
sehingga penyebab dari timbulnya epididimitis dibedakan menjadi:
1. Infeksi bakteri non spesifik
Bakteri coliforms (misalnya E coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella)
menjadi penyebab umum terjadinya epididimitis pada anak-anak, dewasa
dengan usia lebih dari 35 tahun dan homoseksual. Ureaplasma
urealyticum, Corynebacterium, Mycoplasma, and Mima polymorpha juga
dapat ditemukan pada golongan penderita tersebut. Infeksi yang
disebabkan oleh Haemophilus influenzae and N meningitides sangat
jarang terjadi.
2. Penyakit Menular Seksual
Chlamydia merupakan penyebab tersering pada laki-laki berusia kurang
dari 35 tahun dengan aktivitas seksual aktif. Infeksi yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Trichomonas dan
Gardnerella vaginalis juga sering terjadi pada populasi ini.
3. Virus
Virus menjadi penyebab yang cukup dominan pada anak-anak. Pada
epididimitis yang disebabkan oleh virus tidak didapatkan adanya pyuria.
Mumps merupakan virus yang sering menyebabkan epididimitis selain
coxsackie virus A dan varicella
4. Tuberkulosis
Epididimitis yang disebabkan oleh basil tuberkulosis sering terjadi di
daerah endemis TB dan menjadi penyebab utama terjadinya TB
urogenitalis.
5. Penyebab infeksi lain (seperti brucellosis, coccidioidomycosis,
blastomycosis, cytomegalovirus [CMV], candidiasis, CMV pada HIV)
dapat menjadi penyebab terjadinya epididimitis namun biasanya hanya
terjadi pada individu dengan sistem imun tubuh yang rendah atau menurun.
6. Obstruksi (seperti BPH, malformasi urogenital) memicu terjadinya refluks.
7. Vaskulitis (seperti Henoch-Schönlein purpura pada anak-anak) sering
menyebabkan epididimitis akibat adanya proses infeksi sistemik.
8. Penggunaan Amiodarone dosis tinggi Amiodarone adalah obat yang
digunakan pada kasus aritmia jantung dengan dosis awal 600 mg/hari –
800 mg/ hari selama 1 – 3 minggu secara bertahap dan dosis pemeliharaan
400 mg/hari. Penggunaan Amiodarone dosis tinggi ini (lebih dari 200
mg/hari) akan menimbulkan antibodi amiodarone HCL yang kemudian
akan menyerang epidididmis sehingga timbullah gejala epididimitis.
Bagian yang sering terkena adalah bagian cranial dari epididimis dan kasus
ini terjadi pada 3-11 % pasien yang menggunakan obat amiodarone.
9. Prostatitis
Prostatitis merupakan reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat
disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri dapat menyebar ke skrotum,
menyebabkan timbulnya epididimitis dengan rasa nyeri yang hebat,
pembengkakan, kemerahan dan jika disentuh terasa sangat nyeri. Gejala
yang juga sering menyertai adalah nyeri di selangkangan, daerah antara
penis dan anus serta punggung bagian bawah, demam dan menggigil. Pada
pemeriksaan colok dubur didapatkan prostat yang membengkak dan terasa
nyeri jika disentuh.
10. Tindakan pembedahan seperti prostatektomi.
Prostatektomi dapat menimbulkan epididimitis karena terjadinya infeksi
preoperasi pada traktus urinarius. Hal ini terjadi pada 13% kasus yang
dilakukan prostatektomi suprapubik.
11. Kateterisasi dan instrumentasi
Terjadinya epididimitis akibat tindakan kateterisasi maupun pemasangan
instrumentasi dipicu oleh adanya infeksi pada urethra yang menyebar
hingga ke epididimis.

3. Patogenesis
Patofisiologi terjadinya epididimitis masih belum jelas, dimana
diperkirakan terjadinya epididimitis disebabkan oleh aliran balik dari urin yang
mengandung bakteri, dari uretra pars prostatika menuju epididimis melalui
duktus ejakulatorius vesika seminalis, ampula dan vas deferens. Oleh karena
itu, penyumbatan yang terjadi di prostat dan uretra serta adanya anomali
kongenital pada bagian genito-urinaria sering menyebabkan timbulnya
epididimitis karena tekanan tinggi sewaktu miksi. Setiap kateterisasi maupun
instrumentasi seperti sistoskopi merupakan faktor resiko yang sering
menimbulkan epididimitis bakterial
Infeksi berawal di kauda epididimis dan biasanya meluas ke tubuh dan hulu
epididimis. Kemudian mungkin terjadi orkitis melalui radang kolateral. Tidak
jarang berkembang abses yang dapat menembus kulit dorsal skrotum. Jarang
sekali epididimitis disebabkan oleh refluks dari jalan kemih akibat tekanan
tinggi intra abdomen karena cedera perut
4. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala yang timbul tidak hanya berasal dari infeksi lokal namun juga
berasal dari sumber infeksi yang asli. Gejala yang sering berasal dari
sumber infeksi asli seperti duh uretra dan nyeri atau itching pada uretra
(akibat uretritis), nyeri panggul dan frekuensi miksi yang meningkat, dan
rasa terbakar saat miksi (akibat infeksi pada vesika urinaria yang disebut
Cystitis), demam, nyeri pada daerah perineum, frekuensi miksi yang
meningkat, urgensi, dan rasa perih dan terbakar saat miksi (akibat infeksi
pada prostat yang disebut prostatitis), demam dan nyeri pada regio flank
(akibat infeksi pada ginjal yang disebut pielonefritis)
Gejala lokal pada epididimitis berupa nyeri pada skrotum. Nyeri
mulai timbul dari bagian belakang salah satu testis namun dengan cepat
akan menyebar ke seluruh testis, skrotum dan kadangkala ke daerah
inguinal disertai peningkatan suhu badan yang tinggi. Biasanya hanya
mengenai salah satu skrotum saja dan tidak disertai dengan mual dan
muntah
b. Pemeriksaan fisik
1. Pada pemeriksaan ditemukan testis pada posisi yang normal, ukuran
kedua testis sama besar, dan tidak terdapat peninggian pada salah satu
testis dan epididimis membengkak di permukaan dorsal testis yang
sangat nyeri. Setelah beberapa hari, epididimis dan testis tidak dapat
diraba terpisah karena bengkak yang juga meliputi testis. Kulit
skrotum teraba panas, merah dan bengkak karena adanya udem dan
infiltrat. Funikulus spermatikus juga turut meradang menjadi bengkak
dan nyeri.
2. Hasil pemeriksaan refleks kremaster normal
3. Phren sign bernilai positif dimana nyeri dapat berkurang bila skrotum
diangkat ke atas karena pengangkatan ini akan mengurangi regangan
pada testis. Namun pemeriksaan ini kurang spesifik.
4. Pembesaran kelanjar getah bening di regio inguinalis.
5. Pada colok dubur mungkin didapatkan tanda prostatitis kronik yaitu
adanya pengeluaran sekret atau nanah setelah dilakukan masase
prostat.
6. Biasanya didapatkan eritema dan selulitis pada skrotum yang ringan
7. Pada anak-anak, epididimitis dapat disertai dengan anomali kongenital
pada traktus urogenitalis seperti ureter ektopik, vas deferens ektopik,
dll.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui
adanya suatu infeksi adalah:
1. Pemeriksaan darah dimana ditemukan leukosit meningkat
dengan shift to the left (10.000-30.000/µl)
2. Kultur urin dan pengecatan gram untuk kuman penyebab
infeksi
3. Analisa urin untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak
4. Tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoeae.
5. Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada
penderita
5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding epididimitis meliputi;
1. Orkitis
2. Hernia inguinalis inkarserata
3. Torsio testis
4. Seminoma testis
5. Trauma testis
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan epididimitis meliputi dua hal yaitu penatalaksanaan medis
dan bedah, berupa :
1. Penatalaksanaan Medis
Antibiotik digunakan bila diduga adanya suatu proses infeksi. Antibiotik
yang sering digunakan adalah :
a. Fluorokuinolon, namun penggunaannya telah dibatasi karena terbukti
resisten terhadap kuman gonorhoeae
b. Sefalosforin (Ceftriaxon)
c. Levofloxacin atau ofloxacin untuk mengatasi infeksi klamidia dan
digunakan pada pasien yang alergi penisilin
d. Doksisiklin, azithromycin, dan tetrasiklin digunakan untuk mengatasi
infeksi bakteri non gonokokal lainnya
Penanganan epididimitis lainnya berupa penanganan suportif, seperti ;
a. Pengurangan aktivitas
b. Skrotum lebih ditinggikan dengan melakukan tirah baring total selama
dua sampai tiga hari untuk mencegah regangan berlebihan pada
skrotum.
c. Kompres es
d. Pemberian analgesik dan NSAID
e. Mencegah penggunaan instrumentasi pada urethra
2. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan di bidang bedah meliputi :
a. Scrotal exploration
Tindakan ini digunakan bila telah terjadi komplikasi dari epididimitis
dan orchitis seperti abses, pyocele, maupun terjadinya infark pada
testis. Diagnosis tentang gangguan intrascrotal baru dapat ditegakkan
saat dilakukan orchiectomy.
b. Epididymectomy
Tindakan ini dilaporkan telah berhasi mengurangi nyeri yang
disebabkan oleh kronik epididimitis pada 50% kasus.
c. Epididymotomy
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan epididimitis akut
supurativa.
7. Komplikasi
Komplikasi dari epididimitis adalah :
1. Abses dan pyocele pada skrotum
2. Infark pada testis
3. Epididimitis kronis dan orchalgia
4. Infertilitas sekunder sebagai akibat dari inflamasi maupun obstruksi
dari duktus epididimis
5. Atrofi testis yang diikuti hipogonadotropik hipogonadism
6. Fistula kutaneus

c. Orchitis
1. Definisi
Orchitis merupakan reaksi inflamasi akut dari testis terhadap
infeksi. Sebagian besar kasus berhubungan dengan infeksi virus gondong
, namun, virus lain dan bakteri dapat menyebabkan orchitis.
Kejadian diperkirakan 1 diantara 1.000 laki-laki . Dalam orchitis
gondong, 4 dari 5 kasus terjadi pada laki-laki prepubertal (lebih muda dari
10 tahun). Dalam orchitis bakteri, sebagian besar kasus berhubungan
dengan epididimitis (epididymo-orchitis), dan mereka terjadi pada laki-
laki yang aktif secara seksual lebih tua dari 15 tahun atau pada pria lebih
tua dari 50 tahun dengan hipertrofi prostat jinak (BPH).
2. Etiologi
 Virus: orchitis gondong (mumps) paling umum. Infeksi
Coxsackievirus tipe A, varicella, dan echoviral jarang terjadi.
 Infeksi bakteri dan pyogenik: E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,
Staphylococcus, dan Streptococcus
 Granulomatous: T. pallidum, Mycobacterium tuberculosis,
Mycobacterium leprae, Actinomycetes
 Trauma sekitar testis
 Virus lain meliputi coxsackievirus , varicella , dan echovirus .
 Beberapa laporan kasus telah dijelaskan imunisasi gondong, campak,
dan rubella (MMR) dapat ,enyebabkan orchitis
 Bakteri penyebab biasanya menyebar dari epididimitis terkait dalam
seksual pria aktif atau laki-laki dengan BPH; bakteri termasuk
Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae , Pseudomonas aeruginosa , Staphylococcus,
Streptococcus
 Idiopatik
3. Patofisiologi
Hippocrates pertama kali melaporkan orchitis pada abad ke-5 SM. Radang
pada testis dapat disebabkan oleh berbagai virus ataupun bakteri. Hal ini
akan menimbulkan proses inflamasi pada testis yang meliputi kalor, rubor,
dolor, tumor, dan function laesa.
4. Diagnosis
a. Anamnesis
 Orchitis ditandai dengan nyeri testis dan pembengkakan.
 Nyeri berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai nyeri yang
hebat.
 Kelelahan / mialgia
 Kadang-kadang pasien sebelumnya mengeluh gondongan
 Demam dan menggigil
 Mual
 Sakit kepala
b. Pemeriksaan Fisik
 Pembesaran testis dan skrotum
 Erythematous kulit skrotum dan lebih hangat.
 Pembengkakan KGB inguinal
 Pembesaran epididimis yang terkait dengan epididymo-orchitis
c. Pemeriksaan Penunjang
 Diagnosis orchitis lebih dapat ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
 Pemeriksaan darah tidak dapat membantu menegakkan diagnosis
orchitis.
 USG dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan torsio
testis.
5. Tatalaksana
Pengobatan suportif: Bed rest, analgetik, elevasi skrotum. Yang
paling penting adalah membedakan orchitis dengan torsio testis karena
gejala klinisnya hampir mirip. Tidak ada obat yang diindikasikan untuk
pengobatan orchitis karena virus. Pada pasien dengan kecurigaan bakteri,
dimana penderita aktif secara seksual, dapat diberikan antibiotik untuk
menular seksual (terutama gonore dan klamidia) dengan ceftriaxone,
doksisiklin, atau azitromisin. Antibiotik golongan Fluoroquinolon tidak
lagi direkomendasikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
(CDC) untuk pengobatan gonorrhea karena sudah resisten. Contoh
antibiotik:
1. Ceftriaxone
Sefalosporin generasi ketiga dengan spektrum luas, aktivitas gram-
negatif; efikasi lebih rendah terhadap organisme gram-
positif. Menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mengikat satu
atau lebih penicillin-binding proteins. Dewasa
IM 125-250 mg sekali, anak : 25-50 mg / kg / hari IV; tidak melebihi
125 mg / d
2. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan cara
mengikat 30S dan kemungkinan 50S subunit ribosom bakteri.
Digunakan dalam kombinasi dengan ceftriaxone untuk pengobatan
gonore. Dewasa cap 100 mg selama 7 hari, Anak: 2-5 mg / kg / hari
PO dalam 1-2 dosis terbagi, tidak melebihi 200 mg / hari
3. Azitromisin
Mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh strain
rentan mikroorganisme. Diindikasikan untuk klamidia dan infeksi
gonorrheal pada saluran kelamin. Dewasa 1 g sekali untuk infeksi
klamidia, 2 g sekali untuk infeksi klamidia dan gonokokus. Anak: 10
mg / kg PO sekali, tidak melebihi 250 mg / hari
4. Trimetoprim-sulfametoksazol
Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis asam
dihydrofolic. Umumnya digunakan pada pasien > 35 tahun dengan
orchitis. Dewasa 960 mg q12h untuk 14 hari. Anak 15-20 mg / kg /
hari, berdasarkan TMP, PO tid / qid selama 14 hari
5. Ciprofloxacin
Fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap pseudomonas, streptococci,
MRSA, S epidermidis, dan gram negatif sebagian besar organisme,
namun tidak ada aktivitas terhadap anaerob. Menghambat sintesis
DNA bakteri dan akibatnya pertumbuhan bakteri terhambat. Dewasa
tab 500 mg PO selama 14 hari. Anak tidak dianjurkan
Pemeriksaan pada Akut Skrotum

a. Anamnesis

Nyeri skrotum yang terjadi tiba-tiba dan berat seringkali diakibatkan oleh
torsioo testis sampai terbukti sebaliknya. Puntiran spermatic cord. Karakteristik
torsioo testis menyebabkan penurunan cepat suplai darah yang menyebabkan
nyeri iskemia. Berbeda dengan epididimitis yang seringkali nyeri progresif
lambat dan rasa terbakar(non-iskemik). Rasa nyeri pada torsioo testis
berkembang detik hingga menit, sedangkan nyeri pada epididimitis berkembang
dalam hitungan jam hingga hari (Davis et al, 2009).

Perbedaan antara nyeri konstan-progresif dan intermiten-kolik sangat


berarti pada nyeri akut skrotum. Nyeri yang konstan dan progresif seringkali
timbul pada peradangan,seperti epididimitis, sedangkan pada nyeri intermitten
dan kolik terjadi pada iskemia (Davis et al, 2009).

Gejala sistemik pada akut skrotum pada torsio testis lebih sering muncul
seperti mual muntah, sedangkan etiologi lain pada peradangan jarang muncul
mual muntah, sekalipun ada,biasanya ringan, sering juga muncul malaise dan
demam. Pada pasien dengan nyeri skrotum akut seringkali disertai nyeri perut
bawah, ekstremitas bawah(pangkal paha, paha bagian dalam,inguinal) atau nyeri
panggul. Selalu tanyakan perubahan buang air kecil, termasuk frekuensi, warna,
volume, nyeri berkemih, hematuria. Masalah buang air kecil dapat menjadi
banyak penyebab dari skrotum akut, epididimitis seringkali muncul keluhan
seperti disuria dan urgensi (Davis et al, 2009).

b. Pemeriksaan fisik

Ketika memeriksa pasien dengan keluhan skrotum akut, penampilan


umum mereka memberikan petunjuk diagnostik yang penting. Pasien dengan
"intermiten dan kolik" sakit (yaitu, torsio testis atau kolik ginjal) cenderung
menggeliat pada brankar atau gelisah sekitar ruang pemeriksaan karena mereka
tidak dapat menemukan posisi yang nyaman. Sebaliknya, pasien dengan kondisi
peradangan yang progresif (seperti epididimitis atau epididymo-orchitis)
cenderung meminimalkan aktivitas, seperti sedikit gerakan dapat memperburuk
rasa sakit mereka, sementara istirahat dan elevasi memperingan keluhan (Davis
et al, 2009).

Pemeriksaan abdomen lengkap sangat penting dalam setiap pasien


menyajikan dengan skrotum akut, karena banyak kondisi intra-abdominal
mungkin muncul dengan komponen rasa sakit GU. Penting untuk memeriksa
alat kelamin pria baik saat pasien berdiri dan berbaring telentang. Hati-hati saat
memeriksa pasien berdiri karena beberapa laki-laki mungkin mengalami respon
vagal yang kuat untuk skrotum (atau prostat) stimulasi, yang mengarah ke pra-
sinkop atau sinkop. Pemeriksaan testis dan epididimis juga dapat menyebabkan
ketidaknyamanan bahkan tanpa adanya patologi. Selalu melakukan pemeriksaan
pada daerah yang tidak dipengaruhi rasa sakit(seringkali terjadi unilateralisasi
rasa nyeri) sebagai kontrol dan meningkatkan kepercayaan pasien. Visualisasi
pertama yang muncul pada torsioo testis seringkali tampak testis naik tinggi
seolah-olah naik,yang disebabkan oleh puntiran spermatic cord. Cukup sering
pasien dengan nyeri skrotum akut, terlepas dari etiologi yang mendasari, hadir
identik: dengan nyeri difus, bengkak, nyeri tekan hemiscrotum (Davis et al,
2009).

Pemeriksaan refleks kremaster ipsilateral dilaporkan sangat sensitif


untuk menyingkirkan diagnosis torsio testis. Refleks ini ditimbulkan dengan cara
menggores paha bagian dalam dehingga mengakibatkan elevasi testis melalui
kontraksi otot kremaster. Prehn’s sign atau dengan cara menghilangkan rasa
sakit dengan elevasi skrotum, yang diperkirakan sebelumnya untuk membantu
dalam membedakan epididimitis dari torsio testis. Namun, tanda ini umumnya
dianggap tidak dapat diandalkan di membedakan 2 gangguan ini (meskipun
referensi khusus untuk sensitivitas dan spesifisitas tetap sulit dipahami setelah
banyak mencari) . Oleh karena itu, penggunaannya untuk tujuan ini adalah
sifatnya tambahan tetapi tidak diagnostik. “Blue dot” tanda patognomonik untuk
torsioo appendix,Temuan ini sangat spesifik, namun tidak sensitif (Davis et al,
2009).

Transiluminasi dapat membantu dalam kasus dugaan hidrokel. Cairan


skrotum diduga bertransiluminasi ketika sinar menembus dinding posterior
skrotum. Namun, praktisi yang jarang memanfaatkan teknik ini cenderung
"overcall" hasil tes positif (yaitu, setiap skrotum transiluminasi), sehingga
hasilnya harus hati-hati ditafsirkan dalam konteks gambaran klinis secara
keseluruhan (Davis et al, 2009).

c. Pemeriksaan Penunjang

Kebanyakan alat bantu diagnostik rutin (seperti kerja darah dan urine)
sedikit tambahan untuk membedakan antara etiologi umum nyeri skrotum akut.
Sebaliknya, malah menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis, Jika temuan
riwayat dan pemeriksaan menunjukkan diagnosis torsio testis, konsultasi urologi
(atau bedah anak) dan rencana untuk eksplorasi bedah segera harus dimulai tanpa
penundaan. Seorang pasien usia yang tepat (neonatus, remaja) dengan temuan
klasik torsio testis tidak memerlukan tes diagnostik (Davis et al, 2009).

Meskipun eksplorasi bedah adalah pengobatan awal pilihan dengan


kecurigaan klinis yang kuat untuk torsio testis, pedoman yang diterbitkan oleh
American College of Radiology pencitraan konfirmasi dapat dilakukan jika
tersedia dan dilakukan dalam waktu 30 sampai 60 menit dari permintaan yang
secara bersamaan mempersiapkan ruang operasi (Davis et al, 2009).

Aliran warna Doppler duplex ultrasound mungkin sangat membantu


dalam kasus nyeri skrotum akut.Sonografi klasik menemukan sugestif dari torsio
testis yaitu berkurangnya aliran darah intratesticular.Sonografi High-resolution
gray-scale pada funiculus spermaticus dapat menunjukkan puntiran dan lilitan
pada lokasi torsio (Davis et al, 2009).

Sonografi digunakan tidak hanya untuk menyingkirkan torsio testis


tetapi juga untuk mencari penyebab alternatif nyeri skrotum akut. Pada
epididimitis, perfusi akan normal (atau meningkat) karena efek dari mediator
inflamasi di vaskular lokal.Ultrasonografi juga dapat mengidentifikasi
hydroceles, hematoceles, varikokel, hernia, tumor, abses atau vaskulitis gonad
(Davis et al, 2009).

Computed tomography (CT) dapat membantu dalam menilai


komplikasi kasus infeksi GU (abses, penyakit Fournier), atau dalam pencarian
cedera yang menyertai dalam evaluasi trauma GU.Dalam kasus penyakit
Fournier, keterlambatan dalam diagnosa dan debridement definitif dapat
mengancam kehidupan, sehingga pencitraan tidak harus menunda konsultasi
bedah (Davis et al, 2009).
Gambar 5. Alur diagnosis dan tatalaksana akut skrotum (Gunther dan Rubben, 2012)

Anda mungkin juga menyukai